BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagai salah satu negara anggota WTO (World Trade Organization), Indonesia melakukan ratifikasi perjanjian-perjanjian didalam WTO termasuk di dalamnya perjanjian TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) yang berkaitan dengan
Hak Kekayaan Intelektual. TRIPs tidak memberikan definisi
tentang HKI, hanya memberikan penjelasan tentang ruang lingkupnya yaitu yang terdiri dari : 1.
Hak Cipta dan Hak Terkait;
2.
Merek Dagang;
3.
Indikasi Geografis;
4.
Desain Industri;
5.
Paten;
6.
Tata Letak (topografi) sirkuit terpadu;
7.
Perlindungan informasi rahasia;
8.
Kontrol terhadap praktik persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi;
1
Berkenaan dengan paten, TRIPs mengatur lebih tegas menyangkut patentable subject matter yaitu bahwa perlindungan paten diberikan kepada semua penemuan di bidang teknologi termasuk di dalamnya teknologi pengobatan (pharmaceutical patent) dan bahkan bio teknologi.5 Ditegaskan pula bahwa paten hanya diberikan kepada penemuan yang bersifat baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam proses industri (industrially applicable) sehingga suatu paten tidak akan pernah ada jika tidak bisa diterapkan dalam proses industri. Dengan demikian titik berat perlindungan paten lebih kearah pemilik modal sehingga seringkali perusahaan yang mengajukan permohonan paten pada suatu negara tidak benar-benar melaksanakannya karena pemilik modal bertindak berdasarkan pertimbangan ekonomi. Tujuan dari paten yang dimintakan perlindungannya tersebut hanya untuk memonopoli teknologi serta untuk melindungi modal yang telah diinvestasikan dalam melakukan research and development pada invens dan paten tersebut tetap memperoleh perlindungan dalam kurun waktu 20 tahun. Hal ini menimbulkan permasalahan yang sering dialami oleh negara-negara berkembang anggota WTO terutama terkait dengan teknologi pengobatan dan akses pada obat-obatan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Pada 14 November 2001, WTO mengadopsi Doha Declaration yang memberikan fleksibilitas kepada negara anggota untuk menetapkan kondisi tertentu yang digunakan untuk melindungi kesehatan masyarakat termasuk untuk memperoleh
5
Agus Sardjono, “Membumikan HKI di Indonesia”, (Bandung, Nuansa Aulia, 2009), hlm.12
2
kemudahan dalam mengakses obat-obatan yang masih dipatenkan tanpa memberikan batasan pada jenis obat. Pembahasan ini tercantum dalam paragraf 1 sampai dengan 6 dari Doha Declaration.6 1. “We recognize the gravity of the public health problem afflicting many developing and least-developed countries, especially those resulting from HIV/AIDS, tuberculusis, malaria and other epidemics. 2. We stress the need for the WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) to be part of the wider national and international action to addres these problems. 3. We recognize that intellectual property protection is important for the development of new medicines. We also recognize the concerns about its effects on prices. 4. “The TRIPs Agreement does not and should not prevent Members from taking measures to protect public health. Accordingly, while reiterating our commitment to the TRIPs Agreement, we affirm that the Agreement can and should be interpreted and implemented in manner supportive of WTO Member’s right to protect public health and, in particular, to promote acess to medicines for all. In this connection, we reaffirm the right of WTO Members to use, to the full, the provisions in the TRIPs Agreement, which provide flexibility for this purpose. 5. Accordingly and in the light of paragraph 4 above, while maintaining our commitments in the TRIPs Agreement, we recognize that these flexibilities include : (a). In applying the customary rules of interpretation of public international law, each provision of the TRIPs Agreement shall be read in the light of the object and purpose of the Agreement as expressed, in particular, in its objectives and principles. (b). Each Member has the right to grant compulsory licences and the freedom to determine the grounds upon which such licences are granted.
6
“Doha Declaration”, http://www.wto.org, diakses tanggal 19 Desember 2014
3
(c). Each Member has the right to determine what constitutes a national emergency or other circumstances of extreme urgency, it being understood that public health crises, including those relating to HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics, can represent a national emergency or other circumtances of extreme urgency. (d). The effect of the provisions in the TRIPs Agreement that are relevant to the exhaustion of intellectual property rights is to leave each Member free to establish its own regime for such exhaustion without challenge, subject to the MFN (Most Favourable Nation) and national treatment provisions of Articles 3 and 4. 6. We recognize that WTO Members with insufficient or no manufacturing capacities in the pharmaceutical sector could face difficulties in making effective use of compulsory licensing under the TRIPs Agreement. We instruct the Council for the TRIPs to find an expeditious solution to this problem and to report to the General Council before the end of 2002.”
Selanjutnya dalam pasal 31 (f) perjanjian TRIPs menyatakan bahwa produksi obat yang menggunakan lisensi wajib harus diutamakan untuk persediaan domestik. Ketentuan ini membatasi obat-obat generik yang akan diekspor sesuai dengan ketentuan
Lisensi-Wajib pada Doha Declaration.
Hal ini berarti ada
pembatasan atas jumlah impor obat versi generik yang lebih murah, oleh negara yang tidak memiliki industri farmasi atau industri farmasinya tidak memadai, selain itu impor obat dapat juga dilaksanakan karena ada skala ekonomi minimum bagi produksi, keterbatasan teknologi dan ketersediaan bahan baku.7 Oleh karena itu diperlukan solusi atas paragraf 6 pada Doha Declaration, pasal 31 (f) tersebut diamandemen pada bulan Desember 2005. Amandemen tersebut berdasarkan pada keputusan tanggal 30 Agustus yang menetapkan rincian ketentuan
7
Lutfiyah Hnaim & Hira Jhamtani, “Membuka Akses Pada Obat Melalui Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Indonesia” (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,Jakarta, 2010), hlm. 20
4
dan syarat bagi negara-negara yang hendak memproduksi dan mengekspor obat generik dari obat-obatan paten kepada negara yang kapasitas industri farmasinya tidak memadai atau tidak memiliki industri dan fasilitas untuk memproduksi obat. 8 Berdasarkan Doha Declaration tersebut maka perkembangan industri farmasi anggota TRIPs dibagi menjadi beberapa kategori negara yaitu : 1. Negara yang mempunyai industri farmasi yang sudah maju dan yang berdasarkan pada research base contoh Belanda, Jepang, US, Inggris, Perancis, Jerman; 2. Negara yang mempunyai kemampuan untuk berinovasi contoh Argentina, Australia, Canada, China, India; 3. Negara yang mempunyai kemampuan produktif untuk memproduksi zat aktif obat dan obat-obatan itu sendiri contoh Brazil, Cuba, Polandia, Bolivia; 4. Negara yang mempunyai kemampuan produktif untuk produksi obat-obatan dengan cara mengimpor zat aktif obat tersebut contoh Afganistan, Kamboja, Brunei, Bangladesh; 5. Negara yang tidak memiliki pabrik-pabrik farmasi contoh Bahrain, Bermuda, Oman, Qatar, Senegal. 9 Klasifikasi ini digunakan sebagai data untuk mempermudah distribusi maupun pengawasan dalam implementasi Doha Declaration karena anggota WTO dari negara berkembang yang akan menjadi importir harus mengirimkan notifikasi kepada WTO dalam kaitannya dengan perjanjian TRIPs. Notifikasi ini dilakukan untuk tujuan
8
Ibid “Medicine Patent Pool : Facilitating Access to HIV Treatment”, http://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2011/03/article_005.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2014. 9
5
informasi dan bukan untuk mendapatkan pengesahan atau persetujuan dari badanbadan di WTO. Dalam tingkat perkembangan industri farmasi, Indonesia termasuk kedalam negara berkembang yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi zat aktif obat dan produk jadi obat, bukan kemampuan untuk inovasi, sehingga akan mengalami kesulitan dalam alih teknologi paten dari obat paten HIV/AIDS dan obat-obatan retroviral. Kendala lain adalah bahwa di Indonesia anggaran yang dialokasikan untuk reasearch and development tidak memadai untuk mengasilkan suatu invensi paten yang mempunyai nilai ekonomis. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) bahwa di Indonesia permohonan paten lebih banyak datang dari perusahaan-perusahaan asing, baik yang beroperasi di Indonesia atau yang hanya mendaftarkan paten sekedar untuk melindungi produk mereka yang telah diperdagangkan di Indonesia. 10 Meskipun telah ada fleksibilitas dari TRIPs, penerapannya sulit dilakukan terutama oleh negara-negara berkembang yang kurang mempunyai kemampuan inovasi. Selain itu paten memberikan hak eksklusif kepada pemilik paten untuk memonopoli obat dalam menentukan cara produksi dan pendistribusian obat yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga obat tersebut. Selain itu harga obat juga dapat dipengaruhi oleh pembayaran royalti kepada pemilik paten. Harga obat yang tinggi ini akan memepengaruhi akses masyarakat untuk memperoleh obat-obatan, terutama obat-obatan HIV/AIDS dan obat-obatan antiretroviral seperti stavudine, 10
Agus Sardjono, Op.Cit, hlm. 23
6
didanosine, nelvinavir, efavirenz, latinavir, ritonavir, lamivudine, zidovudine, yang berarti bahwa paten dapat menghambat akses masyarakat untuk memperoleh obatobatan. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memiliki paten atas invensi di bidang farmasi, dan tidak ada produk lain yang memiliki aplikasi yang sama dengan produk farmasi tersebut, perusahaan dapat mengontrol harga produk yang dihasilkan. Akibatnya, harga obat menjadi mahal dan masyarakat tidak mampu membeli obat. Hal ini sangat merugikan negara-negara berkembang karena pendapatan sebagian orang yang hidup di negara berkembang relatif rendah. 11 Di Indonesia harga obat-obatan HIV/AIDS atau obat anti retroviral pada tahun 2004 rata-rata berkisar Rp. 380.000,- per paket. Harga ini masih dikategorikan sebagai harga yang mahal untuk obat-obatan karena penderita HIV/AIDS diharuskan menggunakan obat retroviral untuk memulihkan sistem kekebalan yang melemah dengan dosis yang harus diminum perhari untuk mengendalikan jumlah virus HIV/AIDS di tubuh pasien. Sejak pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1980-an sampai dengan tahun 2007, jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 36,1 juta orang diseluruh dunia. Lebih dari 90 persen penderita HIV/AIDS hidup di negara berkembang dan miskin. Berdasarkan laporan dari UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) yang merupakan lembaga PBB yang menangani masalah HIV/AIDS menyebutkan bahwa penyebaran HIV berkembang sangat cepat,
11
Tim Lindsey et al, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, (Bandung, PT. Alumni, 2006), hlm.284
7
diperkirakan satu kasus baru HIV muncul setiap 15 detik diseluruh dunia. Sampai dengan tahun 2008, penderita HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari 32 propinsi tercatat sebanyak 11.868 orang. 12 Selain harga yang tinggi, ketersediaan obat HIV/AIDS dan obat-obat retroviral ini menyebabkan permasalahan sendiri karena tidak sebanding dengan
jumlah
penderita, terutama di negara-negara berkembang ketersediaan obat-obat retroviral yang lengkap dalam tiap terapi kelasnya masih sulit untuk didapatkan terutama untuk obat-obatan retroviral yang baru. Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) saat ini hanya 3 orang
penderita
HIV/AIDS
yang
mempunyai
akses
terhadap
pengobatan
HIV/AIDS.13 Kendala lainnya dari pengobatan HIV/AIDS adalah resistensi obat terhadap penderita yang berarti obat yang dikonsumsi sudah tidak menghasilkan efek lagi sehingga diperlukan adanya obat baru untuk memenuhi terapi pengobatan. Untuk sebagian besar pasien, terapi ini tidak memungkinkan untuk diperoleh. Pada tahun 2009, sebesar 2.6 juta penderita AIDS/HIV dilaporkan hidup di negara-negara berkembang dan hanya sebanyak 1.2 juta orang pasien yang dapat memperoleh terapi pengobatan AIDS/HIV untuk pertama kali. Sebesar 2.5 juta anakanak terinfeksi oleh virus ini dan 85 % dari penderita tidak dapat memperoleh pengobatan dan sebagian besar penderita HIV/AIDS anak-anak tersebut berasal dari
12
Lutfiyah Hanim, Hira Jhamtani, Op.Cit, hlm.3 “Medicine Patent Pool : Facilitating Access to HIV Treatment”, http://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2011/03/article_005.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2014. 13
8
negara berkembang. Peningkatan pasien yang tidak sebanding dengan jumlah pasien yang dapat memperoleh terapi pengobatan menyebabkan adanya peningkatan terhadap kebutuhan akan terapi pengobatan generasi pertama sehingga diperlukan dengan segera akses untuk terapi pengobatan generasi kedua dan kebutuhan akan akses terapi pengobatan generasi kedua ini seringkali harganya terlalu mahal untuk diperoleh pasien. Usaha untuk research and development diharapkan dapat menciptakan suatu inovasi baru obat antiretoviral dan kelas terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan alternatif pengobatan untuk penderita HIV/AIDS. Adanya perubahan pandangan dalam dunia farmasi di negara-negara berkembang saat ini mempengaruhi implementasi dalam perjanjian TRIPs. Perubahan pandangan ini menyangkut keersediaan obat-obat retroviral dalam kelas generik. Pada umumnya negara-negara berkembang tidak memberikan perlindungan paten untuk kategori farmasi, sehingga obat-obat retroviral untuk terapi pengobatan generasi pertama tidak mendapatkan perlindungan paten. Berdasarkan kapasitas produksi, biaya produksi yang rendah, strategi pemasaran dan tidak adanya perlindungan paten dapat memicu timbulnya versi generik dari obat-obatan yang masih dipatenkan. Hal ini didukung dengan sifat pengajuan permohonan paten yang bersifat teritorial, yang berarti tiap negara mempunyai kekuasaan tersendiri untuk menentukan suatu permohonan paten diterima atau ditolak. Berdasarkan Journal of the International AIDS Society menyatakan bahwa 80 persen obat-obat generik untuk
9
obat anti retroviral diproduksi oleh negara India. 14
Dalam klasifikasi tingkatan
farmasi, negara India termasuk kedalam negara yang mempunyai perkembangan inovasi yang tinggi, sehingga memungkinkan sekali jika versi generik dari obat-obat yang dipatenkan berasal dari negara tersebut. Perkembangan ini memicu semakin banyaknya produksi obat-obat generik anti retroviral di negara-negara berkembang lainnya. Dengan
adanya
perubahan
pandangan
ini
dan
kebutuhan
untuk
mempertahankan kompetisi obat-obatan generik dalam dunia farmasi melalui perjanjian lisensi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat pada negara-negara berkembang dengan tetap memperhatikan hak dari pemegang paten, maka pada bulan Juli 2010, dengan dukungan dari UNITAID yang merupakan lembaga pembiayaan terbesar untuk terapi pengobatan HIV/AIDS pada anak-anak, Medicine Patent Pool (MPP) mengadakan perjanjian lisensi dengan United States Nation Institutes of Health (NIH) untuk membentuk patent pool yang ditujukan untuk terapi pengobatan HIV/AIDS, malaria dan tuberculosis. Selain itu juga terdapat Patent Pool lain untuk obat virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan diagnosa genetik oleh MPEG-LA yang akan menciptakan teknik standar dan alih teknologi lainnya. Sebenarnya pembahasan mengenai patent pool ini telah dilakukan pada tahun 2008 dimana WHO telah menyadari pentingnya peranan patent pool untuk meningkatkan inovasi dan akses pada produk kesehatan dan alat-alat kesehatan.
14
Ibid.
10
Pada September 2010, WIPO bekerjasama dengan MPP dan didukung dengan UNITAID mengadakan workshop yang dihadiri oleh ahli dibidang lisensi untuk menentukan persyaratan dan kondisi dari lisensi patent pool. Proyek WIPO dalam
workshop
ini
juga
mencakup
untuk
memberikan
bantuan
dalam
mengidentifikasi status paten antiretroviral pada beberapa negara dan melakukan mapping paten untuk obat HIV/AIDS. Hasil dari workshop ini adalah diluncurkannya website yang memuat semua informasi tentang paten antiretroviral yang digunakan untuk kepentingan bersama untuk tujuan kesehatan masyarakat. “Patent Status Database for Selected HIV Medicines” diluncurkan pada 4 April 2011. Website tersebut dapat diakses oleh negara-negara anggota patent pool secara luas dan juga dapat juga diakses secara terbatas oleh negara-negara lain yang berkepentingan. Dari penjelasan tersebut sangat diharapkan adanya campur tangan pemerintah dalam kemudahan masyarakat untuk mengakses obat-obatan terutama obat-obatan HIV/AIDS dan obat antiretroviral. Undang-Undang yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual dan kesehatan masyarakat adalah Undang-Undang Paten nomor 14 tahun 2001 dan Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009. Yang perlu menjadi perhatian adalah peraturan dalam undang-undang tersebut apakah sudah mengakomodir terhadap tuntutan akan kebutuhan masayarakat dalam kemudahan untuk mengakses obat-obatan.
11
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran umum yang telah diuraikan diatas , maka pokok-pokok
permasalahan yang akan dibahas pada penulisan ini adalah : 1. Apakah patent pool obat diatur di Indonesia ? 2. Bagaimana potensi pengaturan patent pool obat di Indonesia ?
C. Keaslian Penelitian Terdapat banyak tulisan penelitian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual tetapi hanya terdapat 1 penelitian yang membahas mengenai patent pool yaitu “ Perjanjian Lisensi Patent Pooling Terkait Aspek Hukum Persaingan Usaha” yang ditulis oleh Maria Edietha tahun 2010. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dari segi tinjauan aspeknya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Maria Edietha, patent pooling ditinjau dari segi hukum Persaingan Usaha yang berkaitan dengan lisensi dan pembahasan mengenai patent pooling hanya secara umum sedangkan penelitian penulis meninjau patent pool dari segi tinjauan yuridis yang berkaitan dengan pembahasan patent pool obat melalui Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001, Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
12
D. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penulisan ini adalah : 1. Untuk memberikan gambaran mengenai peraturan perundang-undangan yang memberikan ruang terhadap berlakunya patent pool obat di Indonesia. 2. Untuk mengetahui potensi pengaturan patent pool obat di Indonesia termasuk permasalahannya.
E. Kegunaan penulisan Secara teoritis, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan peraturan perundang-undangan di bidang hukum paten, hukum kesehatan serta secara umum dalam hukum persaingan usaha dan anti monopoli. Secara khusus penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pembuat Undang-Undang untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 dengan memasukkan aturan tentang patent pool secara umum dan patent pool obat secara khusus begitu juga dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 diharapkan terdapat pengaturan mengenai patent pool obat yang dapat membantu masyarakat untuk memperoleh kemudahan dalam akses obat-obatan terutama obat-obatan dengan harga yang tinggi dan perlunya pengaturan terhadap persyaratan patent pool untuk memaksimalkan manfaatnya dari segi ekonomi, sehingga diperlukan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 13