PENERAPAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DI INDONESIA : STUDI KASUS KEBIJAKAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA
TESIS
IMAN KUSTIAMAN NPM. 0706174650
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM JAKARTA DESEMBER 2008
Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
PENERAPAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DI INDONESIA : STUDI KASUS KEBIJAKAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.)
IMAN KUSTIAMAN NPM. 0706174650
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM EKONOMI JAKARTA DESEMBER 2008
Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
HALAMAN PERNYATAAN ORSINILITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutif maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Iman Kustiaman
NPM
: 0706174650
Tanda Tangan : Tanggal
: 30 Desember 2008
ii Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
Iman Kustiaman 0706174650 Magister Ilmu Hukum PENERAPAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DI INDONESIA : STUDI KASUS KEBIJAKAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D
(
)
Penguji
: Adolf Warouw, SH, LL.M
(
)
Penguji
: Adijaya Yusuf, SH, LL.M
(
)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 30 Desember 2008
iii Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan persyaratan untuk menyelesaikan studi sarjana S-2 Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof H Hikmahanto Juwana, S.H., LLM, Phd, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing dan mencurahkan pemikirannya untuk memberikan masukan-masukan dan saran kepada penulis sampai dengan selesainya Tesis ini. 2. Bapak Adolf Warouw, SH, LL.M dan Bapak Adijaya Yusuf, SH, LL.M, selaku penguji tesis yang telah memberikan banyak saran dan perbaikan tesis. 3. Bapak dan Ibu dosen, pengelola beserta staf Program Magister Ilmu Hukum pada
Program
Pascasarjana
Universitas
Indonesia
(UI)
yang
telah
membimbing dan mencurahkan ilmunya yang sangat berharga bagi penulis. 4. Kedua Orang Tua Penulis; Ayah dan Ibunda tercinta, atas kasih sayang, pengorbanan, do’a restu dan telah banyak memberikan dorongan baik moril maupun materiil selama penulis menyelesaikan Tesis ini serta keluarga tercinta yang telah mendorong penulis agar selalu berhasil di dalam menuntut ilmu. 5. Keluarga Besar Sekretariat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI, tempat penulis mendedikasikan diri dalam tugas kedinasan. Terimakasih atas dorongannya baik moril maupun materiil selama penulis menuntut ilmu dan menyusun tesis sampai akhirnya menyelesaikan tugas belajar. 6. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama ini dalam penulisan Tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
iv Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
Sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Desember 2008 Penulis
v Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Iman Kustiaman
NPM
: 0706174650
Program Studi : Magister Hukum Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exculive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PENERAPAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) DI INDONESIA : STUDI KASUS KEBIJAKAN IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 30 Desember 2008 Yang menyatakan
(Iman Kustiaman)
vi Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
ABSTRAK
Nama : Iman Kustiaman Program Studi : Magister Ilmu Hukum Judul : Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures World Trade Organization (Wto) Di Indonesia : Studi Kasus Kebijakan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (Tpt) Indonesia
Tesis ini menganalisa penerapan agreement on import licensing procedures world trade organization (WTO) di indonesia : studi kasus kebijakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia dengan tetap melindungi kepentingan nasional Indonesia. Penelitian menggunakan kajian hukum normatif sekaligus juga empiris. Hasil penelitannya kebijakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia sudah sesuai dengan agreement on import licensing procedures world trade organization (WTO). Kata kunci: Agreement on import licensing procedures, world trade organization (WTO) dan Kebijakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT).
vii Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
ABSTRACT
Name : Iman Kustiaman Program Study : Magister of Law Judul : Implementation Agreement On Import Licensing Procedures World Trade Organization (WTO) in Indonesia : Case Study Policy of Import Textile and Product Textile in Indonesia.
This Tesis analyze agreement on import licensing procedures world trade organization (WTO) in Indonesia Case Study Policy of Import Textile and Product Textile in Indonesia which have a purpose to protect national necessity of Indonesia. This research use of normatif law and also empirical. The result of this research are the policy of import textile and product textile in Indonesia are complied with agreement on import licensing procedures world trade organization (WTO). Key Word : Agreement on import licensing procedures, world trade organization (WTO) and Policy of import textile and product textile
viii Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
DAFTAR ISI
Bab 1 Pendahuluan .................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................
7
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................
7
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................
8
1.5 Batasan Penulisan .....................................................................
8
1.6 Sistematika Penulisan ...............................................................
8
Bab 2 Pengaturan Agreement On Import Licensing Procedures Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO) .................
10
2.1 Latar Belakang Agreement On Import Licensing Procedures ................................................................
10
2.2 Pokok-Pokok Agreement on Import Licensing Procedures .....
12
2.3 Jenis Import Licensing .............................................................
15
1. Automatic Import Licensing .................................................
15
2. Non-Automatic Import Licensing .........................................
16
2.4 Komite Import Licensing .........................................................
18
Bab 3 Metode Penelitian Dan Landasan Teori .....................................
20
3.1 Metode Penelitian .....................................................................
20
3.1.1 Kajian Hukum Normative ...............................................
20
3.1.2 Kajian Hukum Empiris ..................................................
22
3.2 Landasan Teori .........................................................................
23
3.3 Kerangka Konseptual ...............................................................
24
Bab 4 Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures World Trade Organization (WTO) Dan Permasalahan Hukum Yang Pernah Terjadi Di Indonesia ..........................................
27
4.1 Sejarah Kebijakan Impor Indonesia .......................................... 4.2 Kebijakan Tata Niaga Impor ....................................................
30
4.3 Kebijakan Penerapan Agreement on Import Licensing Procedures di Indonesia ..........................................................
36
4.4 Pemanfaatan Import Licensing Procedures untuk Akses Pasar ....................................................................
37
ix Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
4.5 Tinjauan Mengenai Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures Dalam Kebijakan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) Di Indonesia Dan Permasalahan Hukum .................................
38
4.5.1 Latar Belakang Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia ........................................
38
4.5.2 Kronologis Kebijakan Impor Tekstil Di Indonesia .......
40
4.5.2.1 Kebijakan Era Tahun 2002 ...............................
40
4.5.2.2 Kebijakan Era Tahun 2005 ...............................
42
4.5.2.3 Kebijakan Era Tahun 2008 ...............................
46
4.5.2.4 Rencana kebijakan Tahun 2010 ........................
48
4.6 Analisis Kesesuaian Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia dengan Agreement on Import Licensing Procedures ...........................
50
4.6.1 Ketentuan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) ..........
51
4.6.2 Persyaratan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) .......
54
4.7 Permasalahan Hukum Terkait Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia Ditinjau Dari Agreement On Import Licensing Procedures ..................
57
4.7.1 Latar Belakang Penerbitan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil ...............................................................
57
4.7.2 Keberatan Amerika Serikat Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 Tentang Tata Niaga Impor Tekstil ..............................
58
4.7.3 Proses Penyelesaian Permasalahan ..............................
60
4.7.4 Analisis Penulis Mengenai Kasus Hukum Terkait Keberatan Amerika Serikat Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil ................................
63
4.8 Analisis Bagaimana Seyogyanya Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures Dalam Komoditi Tekstil Dan Produk Tekstil Agar Dapat Melindungi Kepentingan Indonesia ............................................................
69
x Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
BAB 5 Kesimpulan Dan Saran ...............................................................
72
5.1 Kesimpulan ..............................................................................
72
5.2 Saran ........................................................................................
76
Daftar Pustaka ..........................................................................................
78
xi Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay “Uruguay Round”, yang merupakan perundingan multilateral untuk menata kembali aturan main di bidang perdagangan internasional telah berlangsung sejak bulan September 1986 dan berakhir April 1994. Dengan diselesaikannya perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dan disepakati secara resmi oleh para menteri pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh Maroko, dimulailah era baru dalam hubungan perdagangan internasional dengan harapan agar perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka dapat tercapai. Terbentuknya World Trade Organization (WTO) merupakan salah satu keberhasilan perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dalam upaya memperkuat kelembagaan/institusi perdagangan multilateral. WTO merupakan lembaga yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay untuk melaksanakan persetujuan-persetujuan multilateral yang dirundingkan oleh negara-negara anggotanya. WTO dibentuk karena lemahnya dasar hukum General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) selama ini karena adanya dua masalah yang menjadi agenda dalam Putaran Uruguay namun pada waktu itu belum pernah ditangani oleh GATT yaitu perdagangan jasa (services) dan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights). Adapun fungsi WTO sebagai organisasi perdagangan dunia, dalam Persetujuan
Pembentukan
Organisasi
Perdagangan
Dunia/Agreement
Establishing The World Trade Organization, terdapat dalam Article III Functions of the WTO, sebagai berikut 1: 1. The WTO shall facilitate the implementation, administration and operation, and further the objectives, of this Agreement and of the Multilateral Trade Agreements, and shall also provide the framework for the implementation, administration and operation of the Plurilateral Trade Agreements; 2. The WTO shall provide the forum for negotiations among its Members 1
WTO Agreement. Agreement Establishing The World Trade Organization, Article III.
1 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
2
concerning their multilateral trade relations in matters dealt with under the agreements in the Annexes to this Agreement. The WTO may also provide a forum for further negotiations among its Members concerning their multilateral trade relations, and a framework for the implementation of the results of such negotiations, as may be decided by the Ministerial Conference; 3. The WTO shall administer the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (hereinafter referred to as the "Dispute Settlement Understanding" or "DSU") in Annex 2 to this Agreement; 4. The WTO shall administer the Trade Policy Review Mechanism (hereinafter referred to as the "TPRM") provided for in Annex 3 to this Agreement; 5. With a view to achieving greater coherence in global economic policymaking, the WTO shall cooperate, as appropriate, with the International Monetary Fund and with the International Bank for Reconstruction and Development and its affiliated agencies. Maksud dari ketentuan Article III Agreement Establishing The WTO, bahwa WTO sebagai organisasi perdagangan dunia mempunyai fungsi sebagai berikut : 1.
Harus memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi, dan mencapai sasaran-sasaran
dari
Persetujuan
ini
serta
Persetujuan-persetujuan
Perdagangan Multilateral, dan juga harus memberi suatu kerangka kerja bagi pelaksanaan, administrasi dan operasi Persetujuan-persetujuan Perdagangan Plurilateral; 2.
Harus menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral mereka dalam bidang yang diatur didalam persetujuan-persetujuan yang dilampirkan dalam Persetujuan ini. WTO dapat juga menyediakan suatu forum bagi perundingan-perundingan lebih lanjut diantara anggota-anggotanya mengenai hubungan-hubungan perdagangan multilateral mereka, dan suatu kerangka kerja pelaksanaan hasil-hasil dari perundingan-perundingan tersebut, sebagaimana yang dapat diputuskan oleh Konperensi Tingkat Menteri;
3.
Harus mengatur kesepakatan mengenai Tata Tertib aturan dan prosedur Penyelesaian Sengketa.
4.
Harus mengatur Mekanisme Pemantauan Kebijaksanaan Perdagangan; dan
5.
Untuk mencapai keterkaitan yang lebih besar dalam pengambilan
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
3
kebijaksanaan ekonomi global, WTO harus bekerjasama sebagaimana mestinya dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan serta badan-badan afiliasinya. Pada prinsipnya WTO memiliki Struktur dasar persetujuan sebagai berikut 2: 1. Barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT); 2. Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS); 3. Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs); dan 4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements). Persetujuan-persetujuan diatas berhubungan dengan sektor-sektor di bawah ini 3: 1. Agreement on Agriculture (persetujuan tentang Produk Pertanian); 2. Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (Persetujuan tentang Perlindungan Kesehatan Manusia, Hewan dan Tanaman); 3. Agreement on Textiles and Clothing (Persetujuan mengenai Tekstil dan Pakaian Jadi); 4. Agreement on Technical Barriers to Trade (Persejuan Hambatan Teknis di bidang Perdagangan); 5. Agreement on Trade-Related Investment Measures (Persetujuan tentang Kebijakan Investasi yang berkaitan dengan Perdagangan); 6. Agreement on Implementation of Article VI/Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI (Anti-dumping and Countervailing Duties/Tindakan anti-dumping; 7. Agreement on Implementation of Article VII/Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VII (Customs Valuation Methods/Penilaian Pabean); 8. Agreement on Preshipment Inspection (Persetujuan tentang Pemeriksaan sebelum Pengapalan); 9. Agreement on Rules of origin (Persetujuan tentang Asal Barang); 10. Agreement on Import Licensing Procedures (Persetujuan tentang Tata Cara Perijinan Impor); 11. Agreement on Impor tekstil dan produk tekstiles and Contervailing Measures (Persetujuan tentang Impor tekstil dan produk tekstil dan Tindakan Pengimbangan); dan 12. Agreement on Safeguards (Persetujuan tentang Tindakan Pengamanan).
2
Panjaitan, Iskandar dan Ratna Juwita Supratiwi. “World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia,”
. Diakses tanggal 27 November 2007. 3
Ibid.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
4
Sedangkan untuk bidang jasa terdapat dalam Annex General Agreement on Trade and Services (GATS)4: 1. 2. 3. 4. 5.
Pergerakan tenaga kerja (movement of natural persons); Transportasi udara (air transport); Jasa keuangan (financial services); Perkapalan (shipping); dan Telekomunikasi (telecommunication).
Indonesia adalah salah satu dari sejumlah 81 (delapanpuluh satu) negara yang pada tanggal 1 Januari 1995 resmi menjadi original member dari WTO. Cerminan dari diterimanya hasil-hasil Putaran Uruguay oleh bangsa Indonesia adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994 tentang Pengesahan
Agreement
Establishing
The
World
Trade
Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dengan adanya ratifikasi tersebut, maka secara legal semua Persetujuan WTO menjadi hukum positif Indonesia. Artinya, Indonesia wajib memenuhi semua kewajiban dalam perjanjian WTO secara konsisten dan menyesuaikan segala peraturan dan kebijakan nasional yang belum sesuai dengan instrumen-instrumen yang terdapat dalam perjanjian perdagangan WTO. Sudah jelas bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sektor perdagangan khususnya perdagangan luar negeri. Mengkaji implikasi dari peranan WTO terhadap Indonesia tentunya akan sangat luas mengingat adanya berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Kajian implikasi peranan lembaga WTO tidak hanya dari aspek ekonomi semata namun juga dari aspek-aspek lain seperti ideologi, politik, budaya, hukum dan sebagainya. Berbagai pandangan dapat timbul dari upaya mengkaji peranan dari WTO dimaksud, termasuk dari sudut pandang masalah hukum. Terlepas dari berbagai pandangan dalam mengkaji implikasi peranan WTO hendaknya tidak mengesampingkan kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri. Berbicara mengenai kebijakan luar negeri khususnya kebijakan impor 4
Ibid.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
5
tekstil dan produk tekstil, maka kebijakan pemerintah dalam bidang impor tekstil dan produk tekstil tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian WTO, dalam hal ini adalah ketentuan dalam Agreement on Import Licensing Procedures yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini. Mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang impor termasuk kebijakan impor tekstil dan produk tekstil juga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Agreement on Import Licensing Procedures telah diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Agreement on Import Licensing Procedures sebagai berikut 5: “Members shall ensure that the administrative procedures used to implement import licensing regimes are in conformity with the relevant provisions of GATT 1994 including its annexes and protocols, as interpreted by this Agreement, with a view to preventing trade distortions that may arise from an inappropriate operation of those procedures, taking into account the economic development purposes and financial and trade needs of developing country Members”. Maksud dari ketentuan Pasal 1 ayat 2 Agreement on Import Licensing Procedures diatas adalah bahwa setiap prosedur-prosedur administratif yang digunakan dalam rezim perizinan impor di setiap negara anggota WTO harus sesuai dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) dengan tujuan untuk mencegah distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedur-prosedur impor tersebut dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan kebutuhan keuangan dan perdagangan dari para negara berkembang yang menjadi anggota WTO. Indonesia sejak menjadi anggota WTO telah melaksanakan penyesuaian berbagai peraturan kebijakan perdagangannya menurut ketentuan WTO. Kebijakan perdagangan yang menyangkut perijinan import (import licensing) termasuk salah satu peraturan yang harus merujuk pada Agreement on Import Licensing Procedures WTO. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota membuat peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan terprediksi. Meskipun demikian, upaya penyesuaian kebijakan impor tersebut menghadapi beberapa kendala. Pada kenyataannya di Indonesia sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang maupun dari pemangku kepentingan 5
WTO Agreement, Agreement on Import Licensing Procedures, Article 1.2.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
6
dalam negeri. Mereka menganggap bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai proteksi terselubung dan mendistorsi pasar. Terbukti dalam sidang Import Licensing Agreement – WTO, tanggal 30 Oktober 2006, Amerika Serikat mempermasalahkan peraturan impor tekstil sebagaimana termuat di dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Indonesia diminta untuk mencabut peraturan tersebut karena mendistorsi pasar dan tidak konsisten dengan Agreement on Import Licensing Procedures – WTO demi memproteksi industri tekstil domestik. Sebenarnya Indonesia telah memberikan tanggapan atas pertanyaan Amerika Serikat tersebut, dalam tanggapannya Indonesia menegaskan bahwa kebijakan impor tekstil tersebut tidak bertentangan dengan Agreement on Import licensing Procedures. Sektor perdaganan adalah sektor yang sangat dinamis, maka kebijakan di bidang perdagangan tidak mungkin berhenti di satu titik. Sebagai wujud konsistensi keikutertaan Indonesia dalam forum WTO, maka pemerintah kemudian merefisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 /M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil, pemerintah tidak pernah berhenti dalam melakukan refisi dalam kebijakan tekstil dan produk tekstil dengan tujuan supaya kebijakan tersebut efektif dan tidak menyulitkan pelaku usaha tetapi juga tetap memperhatikan industri tekstil dalam negeri, hal ini penting agar industri tekstil dalam negeri tetap dapat bersaing dari tekstil yang berasal dari impor negara lain. Pada tanggal 5 Mei 2008 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
15/M-Dag/Per/5/2008
Tentang
Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil, Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 1.2 Perumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan dan untuk mengantisipasi sejauh
mana
permasalahan
mungkin
timbul,
maka
penulis
mencoba
mengidentifikasinya, yang antara lain adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
7
1. Bagaimana Agreement On Import Licensing Procedures diatur dalam WTO? 2. Bagaimana penerapan Agreement On Import Licensing Procedures di Indonesia? 3. Bagaimana penerapan Agreement On Import Licensing Procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia? 4. Bagaimana
seyogyanya
Penerapan
Agreement
On
Import
Licensing
Procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia? Dengan melihat permasalahan-permasalahan di atas, maka diharapkan penulisan tesis ini dapat mengetengahkan rumusan mengenai pengaturan import licensing procedures dalam World Trade Organization (WTO, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures di Indonesia dan mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia. 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini, adalah: 1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang bagaimana Agreement on import licensing procedures diatur dalam WTO? 2. Memperoleh gambaran yang jelas tentang bagaimana penerapan Agreement on import licensing procedures di Indonesia? 3. Menganalisis penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia? 4. Menganalisis bagaimana seyogyanya Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia?
1.4 Manfaat Penulisan Dengan diketahuinya jawaban atas permasalahan, dan atau tujuan dari penelitian ini berarti dapat diketahui manfaat mengenai pengaturan import licensing procedures dalam WTO, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures di Indonesia, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
8
Indonesia dan mengenai penerapan agreement on import licensing procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan indonesia.
1.5 Batasan Penulisan Seperti telah dijelaskan dalam rumusan masalah, penulisan ini memfokuskan diri pada permasalahan mengenai pengaturan import licensing procedures dalam WTO, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures di Indonesia, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia dan mengenai penerapan agreement on import licensing procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan indonesia.
1.6 Sistematika Penulisan Dalam penulisan ini terdiri dari empat bab, yang isinya saling berhubungan. Bab I adalah bagian pendahuluan, yang memuat Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Ruang Lingkup Penulisan, Tujuan dan Kegunaan Penulisan, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II menguraikan mengenai Pengaturan Import Licensing dalam WTO, Latar belakang kebijakan Import Licensing dalam WTO, Pokok-pokok pengaturan dalam Agreement on Import Licensing Procedures, Jenis-jenis Import Licensing dan Komite dalam Import Licensing. Bab III menguraikan Metode Penelitian dan Landasan teori. Bab IV menguraikan mengenai Penerapan Agreement on Import Licensing Procedures di Indonesia, Kebijakan Import Licensing di Indonesia, Kebijakan Impor Indonesia, Kebijakan Tataniaga Impor Indonesia, Pemanfaatan Import Licensing Procedures untuk Akses Pasar, Bagaimana penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia, Perubahan-perubahan dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia, Menganalisis menganai kasus hukum yang pernah terjadi terkait
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
9
dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Menganalisis bagaimana seyogyanya penerapan agreement on import licensing procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia. Bab V sebagai akhir dari penulisan ini, merupakan bab penutup berupa kesimpulan dan saran yang dikemukakan penulis sebagai hasil dari penelitian yang mendalam.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
10
BAB 2 PENGATURAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES DALAM KERANGKA WTO
2.1 Latar Belakang Agreement On Import Licensing Procedures Import Licensing Procedures merupakan prosedur administratif yang digunakan sebagai persyaratan didalam pengajuan permohonan atau dokumentasi tertentu kepada badan administrasi yang berwenang dan harus dipenuhi sebelum proses impor barang. Persetujuan Agreement On Import Licensing Procedures adalah bagian dari Single Undertaking Putaran Uruguay dan terdapat didalam Annex 1 A GATT–1994. Tujuan dari Agreement On Import Licensing Procedures antara lain adalah untuk6: a. Mempermudah dan menjamin transparansi terhadap prosedur kebijakan impor; b. Sistem administrasi yang adil dan transparan; dan c. Mencegah terjadinya efek restrictive dan distortive di dalam peraturan impor. Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun satu kali setiap akhir bulan September. Notifikasi ini akan direview oleh Committee on Import Licensing setiap dua tahun satu kali. Keberadaan Agreement on Import Licensing Procedures ini sering dirasakan sebagai beban yang merupakan tekanan negara maju terhadap negara berkembang. Meskipun demikian, setiap anggota WTO yang merasa dirugikan akses pasarnya oleh kebijakan impor negara mitra dagangnya, maka anggota yang dirugikan tersebut dapat menggunakan notifikasi ini sebagai “sarana” untuk menekan anggota WTO yang dituju dan terlebih lagi bagi anggota yang belum melakukan kewajiban notifikasi mereka. Anggota WTO yang tidak melakukan notifikasi tidak serta merta dianggap melakukan pelanggaran terhadap Agreement On Import Licensing Procedures. Meskipun demikian, anggota yang tidak memenuhi kewajiban notifikasi tersebut suatu saat akan ‘dipaksa’ untuk memenuhinya. 6
Sulistyo Widayanto, Tantangan Kebijakan Tata Niaga Impor di Forum WTO, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Dep. Perdagangan, 2007, hal.2.
10 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
11
Salah satu cara memaksa adalah dengan mengirimkan daftar pertanyaan mengenai kebijakan impor yang tidak dinotifikasikan. Tanpa melalui WTO setiap negara dapat memperoleh informasi tentang kebijakan impor yang berlaku di negara mitra dagangnya melalui perwakilan masing-masing. Keadaan ini dialami Indonesia. Melakukan notifikasi segera ke Sekretariat WTO akan jauh lebih menguntungkan daripada menunda atau tidak melakukan notifikasi sama sekali. Negara anggota WTO yang mengajukan pertanyaan terhadap notifikasi anggota WTO lainnya dapat dianggap sebagai indikasi bahwa anggota yang harus menjawab pertanyaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi terhadap anggota lainnya. Anggota yang melakukan notifikasi tidak dapat dipersengketakan karena notifikasi yang disampaikan ke WTO. Sengketa mengenai Kebijakan Impor Licensing dapat terjadi apabila aplikasi atau penerapan import licensing mengakibatkan terjadinya “penghapusan atau nullification” dan “perusakan atau impairment” bagi anggota WTO lainnya. Pelanggaran di dalam Import Licensing tidak terdapat sanksi yang harus dipenuhi oleh pelanggar, kecuali mengganti kebijakan import licensing sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Agreement On Import Licensing Procedures, sehingga import licensing dimaksud sesuai dengan WTO. Persetujuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin bagi para pemakai sistem perizinan impor, dan untuk meningkatkan transparansi serta keterdugan (predictability). Sebagai contoh, Persetujuan ini mengharuskan para pihak untuk menerbitkan informasi yang memadai untuk para pedagang agar mereka mengetahui bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan perizinan.
Persetujuan
ini
memperketat
peraturan-peraturan
tentang
pemberitahuan tentang prosedur-prosedur perizinan impor atau perubahanperubahan yang terjadi terhadapnya. Perihal prosedur-prosedur perizinan yang otomatis, persetujuan ini menetapkan kriteria yang mengandaikan bahwa prosedur-prosedur ini tidak menimbulkan akibat yang membatasi perdagangan. Sedangkan untuk prosedurprosedur perizinan yang tidak otomatis, beban administratif bagi importir dan eksportir harus dibatasi pada perihal yang betul-betul diperlukan untuk mengelola tindakan-tindakan yang diterapkan. Persetujuan ini menetapkan batas waktu
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
12
selama-lamanya 60 hari untuk mempertimbangkan permohonan-permohonan. Agreement on Import Licensing Procedures merupakan bagian dan Multilateral Agreement on Trade in Goods. Pada dasarnya, Agreement on Import Licensing Procedures ini memuat batasan-batasan yang menetapkan sejauh mana negara-negara anggota WTO boleh menerapkan kebijakan administratifnya untuk mengatur masuknya barangbarang dari luar negeri, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Agreement on Import Licensing Procedures ini merupakan perluasan dan penyempurnaan dari Import Licensing Code pada tahun 1979 yang merupakan hasil perundingan Putaran Tokyo guna mengatur lebih lanjut praktek-praktek kebijakan administratif yang berkaitan dengan bidang impor. Dalam perundingan Putaran Tokyo, jumlah negara-negara yang bersedia mengikatkan diri pada Import Licensing Code dan menjadi anggota Import Licensing Committee masih sangat terbatas. Padahal masih banyak negara lain menerapkan kebijakan administratif yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam “code” dan berdampak menghambat perdagangan internasional. Kebijakan administratif dimaksud pada umumnya diterapkan dengan dalih untuk melindungi kepentingan ekonomi dan industri dalam negeri masing-masing negara, namun prosedurnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan General Agreement on Tariffs and Trade 1994(GATT 1994). Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka aturan-aturan dalam Import Licensing Code telah diperluas serta disempumakan dalam Putaran Uruguay dan hasilnya tertuang dalam Agreement on Import Licensing Procedures.
2.2 Pokok-Pokok Agreement on Import Licensing Procedures Untuk mendapatkan pemahaman mengenai pokok-pokok yang ada dalam Agreement on Import Licensing Procedures, berikut ini pemaparannya : 1. Didalam agreement ini, yang dimaksud dengan import licensing (lisensi impor) adalah prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan mengenai lisensi impor. Prosedur dimaksud mensyaratkan pengajuan aplikasi atau dokumentasi lainnya (di luar yang dipersyaratkan untuk keperluan pabean) kepada lembaga administratif yang relevan, yang
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
13
merupakan syarat untuk melaksanakan impor atau memasukkan barang ke dalam daerah pabean negara pengimpor.7 2. Prosedur administratif yang diterapkan dalam pelaksanaan ketentuan lisensi impor harus dijamin tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) yang relevan, termasuk protokol dan lampiran-lampirannya, sebagaimana diinterpretasikan dalam agreement. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan prosedur administratif tersebut tidak menimbulkan hambatan bagi perdagangan, mempertimbangkan kebutuhan pengembangan ekonomi, keuangan dan perdagangan di negaranegara anggota yang sedang berkembang.8 3. Aturan-aturan mengenai prosedur liensi impor dalam pelaksanaannya harus netral dan diadministrasikan secara adil dan seimbang. Aturan-aturan tersebut serta seluruh informasi mengenai prosedur pengajuan aplikasi, termasuk informasi mengenai perorangan, lembaga atau perusahaan yang dapat mengajukan aplikasi, lembaga administratif yang harus dihubungi dan daftar komoditi atau produk yang memerlukan lisensi, pengecualian-pengecualian yang diberikan, semuanya harus dipublikasikan, dan dinotifikasikan kepada Committee on Import Licensing. Transparansi tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak yang berkepentingan termasuk dunia usaha dalam memahaminya. Apabila mungkin, publikasi tersebut harus dapat disediakan sebelum ketentuan prosedur lisensi impor yang bersangkutan mulai diberlakukan. Dalam kaitan dengan prosedur lisensi impor ini, negara-negara anggota Iainnya juga dapat memberikan komentar secara tertulis dan bilamana meminta kesempatan untuk mendiskusikannya, permintaan tersebut harus dipenuhi.9 4. Pada prinsipnya, prosedur aplikasi lisensi impor termasuk formulir serta informasi yang harus dipenuhi oleh pemohon harus dibuat sesederhana mungkin dan pemohon harus diberikan waktu yang cukup untuk pengajuan aplikasi dan tidak kurang dari 21 (duapuluh satu hari). Apabila terdapat 7
WTO Agreement, Agreement on Import Licensing Procedures, Op. cit, Article 1.1.
8
Ibid., Article 1.2.
9
Ibid., Article 1.4.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
14
kekurangan pada aplikasi yang diajukan dalam batas waktu tersebut, maka harus diberikan kemungkinan penambahan batas waktunya.10 5. Tentang lembaga administratif yang harus dihubungi pemohon untuk mengajukan aplikasinya, ketentuan agreement menetapkan bahwa pemohon harus menghubungi hanya satu lembaga administratif. Apabila memang sangat diperlukan (dan tidak dapat dihindari) untuk menghubungi lebih dan satu lembaga administratif, ditetapkan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) lembaga administratif saja.11 6. Berkenaan dengan aplikasi yang diajukan pemohon, agreement menetapkan bahwa tidak dibenarkan menolak aplikasi yang disebabkan hanya karena kesalahan kecil pada dokumentasi yang tidak berkaitan dengan muatan data utama yang diperlukan. Selebihnya, agreement juga menetapkan bahwa hanya sangsi yang bersifat peringatan yang dapat diberikan atas kekurangan atau kesalahan pada dokumen atau prosedur yang jelas bukan merupakan kesengajaan pemohon.12 7. Impor yang sudah mendapatkan lisensi tidak boleh ditolak hanya karena sedikit variasi yang disebabkan perbedaan yang terjadi dalam pengapalan, atau perbedaan lain yang disebabkan praktek normal dalam dunia bisnis sehingga mengakibatkan nilai, jumlah atau beratnya berbeda dengan yang dinyatakan dalam lisensi.13 8. Untuk keperluan pembayaran impor, valuta asing juga harus disediakan untuk pemegang lisensi dengan basis yang sama dengan importir komoditi lain yang tidak memerlukan lisensi.14 9. Ketentuan agreement ini juga mensyaratkan kerahasiaan informasi untuk keperluan penegakan hukum, memelihara kepentingan umum, kepentingan bisnis atau kepentingan perusahaan maupun perorangan.15
10
Ibid., Article 1.6.
11
Ibid.
12
Ibid., Article 1.7.
13
Ibid., Article 1.8.
14
Ibid., Article 1.9.
15
Ibid., Article 1.11.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
15
2.3 Jenis Import Licensing Mengenai jenis Import Licensing, terdapat 2 (dua) jenis Import Licensing, sebagai berikut : 1. Automatic Import Licensing Automatic Import Licensing diatur dalam Artcle 2 Agreement on Import Licensing Procedures. Automatic import licensing (lisensi impor otomatis) adalah lisensi impor yang aplikasinya pasti disetujui dalam kasus apapun. Prosedur lisensi impor otomatis ini juga tidak boleh diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi hambatan perdagangan. Di dalam agreement disebutkan bahwa prosedur lisensi impor otomatis akan mempunyai dampak menghambat perdagangan bila tidak memenuhi kriteria sebagai berikut: a. bahwa aplikasi lisensi impor otomatis tersebut dapat diajukan dan diperoleh oleh setiap orang, perusahaan atau lembaga yang secara hukum telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan kegiatan impor yang melibatkan produk yang terkena ketentuan prosedur lisensi impor otomatis; b. aplikasi untuk mendapatkan lisensi dapat diajukan pada setiap hari kerja, sebelum ditempuh prosedur pabean; c. persetujuan atas permohonan lisensi impor yang lengkap dan benar, diberikan secepat mungkin dan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. 2. Non-Automatic Import Licensing Non-Automatic Import Licensing diatur dalam Article 3 Agreement on Import Licensing Procedures. Non-automatic import licensing (lisensi impor non-otomatis) adalah lisensi impor dimana aplikasinya tidak selalu disetujui. Seperti halnya pada prosedur lisensi impor otomatis, prosedur lisensi impor non-otomatis juga tidak boleh menimbulkan dampak tambahan yang menghambat
perdagangan
selain
yang
diakibatkan
oleh
penerapan
kebijaksanaan pembatasan impor. Prosedur lisensi impor non-otomatis dimaksud juga tidak boleh menjadi beban administratif bagi pemohon, selain
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
16
yang memang mutlak diperlukan dalam rangka penerapan kebijaksanaan yang bersangkutan. Non-automatic import licensing bertujuan untuk mengontrol arus barang masuk. Non-automatic import licensing dipilih bagi negara yang mau menjaga arus asal barang mereka, dan juga dipilih untuk mengendalikan arus impor barang (misalnya: quota). Biasanya Non-automatic import licensing diberlakukan antara lain terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang berbahaya,
bahan
peledak,
barang
yang
diawasi
seperti
minuman
beralkohol,bahan kimia serta limbah berbahaya. Non-automatic import licensing dibuat untuk mengendalikan arus barang masuk. Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai pelaksanaan dari non-automatic import licensing ini berbentuk kuota atau quantitive restriction. Tindakan pembatasan impor melalui alokasi kuantitatif ini dilakukan Pemerintah antara lain untuk melindungi “balance of payment”, melindungi produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis dengan barang yang diimpor, dan atau untuk mengendalikan impor bahan penolong yang bersifat multifungsi dan terdapat potensi untuk disalah gunakan bagi tindakan yang membahayakan. Meskipun quantitive restriction ini harus diterapkan secara bijaksana dan fair, serta harus memperhatikan prinsip most favoured nations atau tanpa ada pengecualian. Penerapan tindakan quantitive restriction harus digunakan secara hati-hati berdasarkan alasan-alasan tertentu yang logis terutama bila yang digunakan adalah alasan untuk menjaga kepentingan “public morals”. Alasan agama tidak dapat digunakan. Pembatasan kuantatif sering digunakan sebagai filter untuk produk yang tarif bea masuknya sudah 0%.16 Dalam hal ada persyaratan lisensi untuk tujuan di luar pelaksanaan kebijaksanaan pembatasan kuantitatif, maka informasi yang memadai harus disebarluaskan agar negara anggota yang lain serta para pengusaha dapat mengetahui alasan atau dasar pemberian dan atau alokasi lisensi. Demikian pula bila terdapat kemungkinan untuk mengajukan kekecualian dalam persyaratan lisensi, maka informasinya harus disebar luaskan termasuk informasi bagaimana 16
Widayanto, Op. cit., hal.4.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
17
prosedur yang harus ditempuh untuk mengajukan kekecualian, dan bilamana mungkin juga indikasi tentang kondisi di mana permintaan akan dipertimbangkan. Pada prinsipnya, prosedur lisensi impor non-otomatis yang diterapkan harus transparan bagi negara anggota WTO lainnya serta bagi para pengusaha. Terlebih bila prosedur lisensi tersebut merupakan kebijaksanaan pembatasan perdagangan, informasi yang menyangkut pemberian lisensi/alokasi, distribusi lisensi dan datadata lainnya yang relevan harus disebar luaskan di kalangan negara pemasok. Dalam hal persetujuan atas aplikasi yang diajukan tidak dapat diberikan, maka pemohon, atas permintaan, harus diberi penjelasan tentang alasan-alasan penolakan. Di samping itu, pemohon juga mempunyai hak untuk mengajukan banding atau peninjauan kembali sesuai dengan ketentuan hukum dan prosedur yang berlaku di negara pengimpor. Agreement ini menetapkan bahwa aplikasi harus diproses dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari dengan basis “first come first service” dan 60 (enampuluh) hari bila secara simultan. Jangka waktu tersebut boleh dilampaui apabila memang terdapat hal-hal yang diluar kemampuan kendali pemerintah. 17 Masa berlaku dari lisensi juga harus ditetapkan tidak terlalu singkat yang dapat menghambat pelaksanaan impor. Di dalam mengalokasikan lisensi, pemerintah juga harus mempertimbangkan kinerja dan importir, termasuk apakah lisensi yang telah diberikan sebelumnya sudah direalisir atau belum. Pertimbangan juga harus diberikan atas pemberian lisensi kepada importir baru, terutama bila akan mengimpor produk yang berasal dari negara-negara sedang berkembang atau kurang berkembang. Dalam hal penerapan kuota impor diatur melalui lisensi, dan tidak dialokasikan ke negara-negara pemasok, maka importir pemegang lisensi harus bebas memilih negara asal impornya. Apabila kuotanya dialokasikan ke negara-negara pemasok, maka Iisensinya harus jelas menyebutkan negara-negara pemasok dimaksud.
2.4 Komite Import Licensing Untuk kelancaran pelaksanaan agreement on import licensing procedures, 17
Laporan Akhir Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Final ACT-URUGUAY ROUND, Program Kerjasama antara PascaSarjana Universitas Indonesia dengan Dep. Perdagangan, Jakarta, 1995, hal. 226-227.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
18
maka dibentuk Committee on Import Licensing yang anggotanya terdiri dan wakil-wakil dari negara anggota. Aturan mengenai Committee on Import Licensing diatur dalam Article 4 Agreement on Import Licensing Procedures. Committee ini akan memberikan konsultasi untuk berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan agreement ini. Committee on Import Licensing juga menampung atu menerima notifikasi yang wajib disampaikan oleh negara-negara anggota dan notifikasi dimaksud harus memuat informasi sebagai berikut18: a. daftar produk yang terkena prosedur lisensi; b. tempat/kantor yang dapat dihubungi untuk mendapatkan informasi mengenai persyaratan-persyaratan; c. lembaga administratif yang dapat dihubungi untuk pengajuan aplikasi; d. tanggal dan nama media di mana prosedur lisensi diterbitkan; e. indikasi tentang prosedur lisensi, otomatis atau non-otomatis; f. tujuan administratif, untuk prosedur lisensi impor otomatis; g. indikasi tentang tindakan yang dilaksanakan melalui prosedur lisensi impor non-otomatis; dan h. perkiraan jangka waktu prosedur lisensi atau alasan-alasannya bila informasi tentang jangka waktu tersebut tidak dapat diberikan. Dengan memperhatikan tujuan, hak dan kewajibannya, sekurangkurangnya setiap dua tahun sekali, committee melakukan peninjauan atas pelaksanaan dari agreement ini. Untuk keperluan peninjauan dimaksud, maka negara-negara anggota wajib mengisi dan menyampaikan daftar pertanyaan tahunan tentang prosedur lisensi impor secara langsung dan lengkap. Untuk keperluan konsultasi dan penyelesaian sengketa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan agreement ini maka pelaksanaannya tunduk pada ketentuan Article XXII dan XXIII General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1994). Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan, maka negara-negara anggota wajib menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam negerinya dengan ketentuan agreement ini selambat-lambatnya pada tanggal mulai berlakunya WTO Agreement.
18
Ibid., hal. 228.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
19
BAB 3 METODE PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI
3.1 Metode Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya adalah kegiatan penyelesaian masalah. Adapun cara penyelesaian masalah dilakukan oleh peneliti dengan jalan mengidentifikasi dan mengkualifikasi fakta-fakta, dan mencari norma hukum yang berlaku, untuk kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan fakta-fakta dan norma hukum tersebut.19 Penelitian ini menggunakan kajian hukum normative untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta.20 Dipergunakan kajian empiris untuk identifikasi terhadap faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa hukum yang bersangkutan.
3.1.1 Kajian Hukum Normative Dalam menjelaskan tentang norma hukum yang terkait dengan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil dalam hubungan perdagangan internasional dan industri tekstil di Indonesia, penelitian akan dilakukan dengan menggunakan kajian hukum normatif. Kajian hukum normatif dilakukan untuk memahami implimentasi dari norma hukum terhadap fakta yang timbul. Untuk memperoleh data – data yang diperlukan untuk menganalisa dalam kajian hukum normatif penulisan ilmiah ini akan digunakan metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan akan dilaksanakan dengan menganalisa data – data kualitatif dengan memperhatikan 19
Agus Brotosusilo, et al., Penulisan Hukum: Buku Pegangan Dosen. Jakarta: Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994, hal. 8. Ibid. hal. 11. 20
Hans Kelsen berpendapat bahwa kajian hukum (normatif) memilki ciri yang khusus dank has, yang membedakannya dengan disiplin kajian lain, yaitu: tidak tunduk pada hubungan “causality” yang berlaku bagi “the law of Nature” tetapi terkait pada prinsip hubungan “Imputation”. Lihat Hans Kelsen, The Pure Theory Of Law , L.Q.R. vols. 50 and 51, 1934-1935. Lihat juga Hans Kelsen, What is Justice? 1957, h. 324-327, naskah orisinilnyaterbit pada tahun 1950. Diambil dari Ringkasan Disertasi Agus Brotosusilo, Globalisasi Ekonomi Dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-Undang Anti Damping dan Safeguard, Tahun 2006, hal. 12.
19 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
20
hal – hal sebagai berikut: 1.
Penelitian ini bertitik tolak dari pendekatan kualitatif;
2.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan hukum atas dokumen – dokumen terkait dengan GATT, Agreement on Import Licensing Procedures, Kebijakan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia. Bahan – bahan hukum yang merupakan sumber data dari penelitian ini terbagi dalam: Bahan Hukum Primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat21 yang
a.
terdiri dari peraturan perundang – undangan; b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan – bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan – bahan hukum primer22, seperti hasil – hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum serta buku – buku, majalah – majalah dan jurnal – jurnal ilmiah tentang hukum perdagangan internasional khususnya yang terkait dengan Agreement on Import Licensing Procedures dan penerapan Agreement on Import Licensing Procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil Indonesia;
c.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan – bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder23, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain – lain.
Kajian hukum normatif akan menghasilkan kajian yang preskriptif – kritis yang merumuskan dan mengajukan pedoman-pedoman dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi oleh praktek hukum dan dogmatik hukum, dan bersifat kritis.24 Sedangkan untuk menganalisa fakta – fakta yang terkait dengan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil, penelitian akan dilakukan dengan kajian hukum empiris, dengan menganalisa faktor – faktor yang menjadi latar belakang penerapan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil Indonesia.25 21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal 52 dan hal. 9 – 10. 22
Ibid.
23
Ibid.
24
Agus Brotosusilo (2), Materi Kuliah Filsafat Hukum dan Teori Hukum bidang Hukum Ekonomi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum,(Jakarta: FH-UI, 2005), hal. 1 25
Dennis Lloyd and M.D.A. Freeman,Introduction to Jurisprudence, 7th ed, (London: Sweet & Maxwell Limited, 2004), p. 14.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
21
3.1.2 Kajian Hukum Empiris Kajian hukum empiris akan diterapkan dalam menganalisa kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia dalam kaitannya dengan aturan – aturan agreement on import licensing procedures WTO. Kajian hukum empiris dibatasi pada kegiatan pemaparan ilmiah-positif, analisis, perumusan hipotetis dan pembentukan teori secara obyektif.26 Penerapan kajian hukum empiris ini sangat menentukan dalam menganalisa fakta – fakta yang timbul dikarenakan hubungan antara Peneliti dengan obyek yang diteliti dalam proses kajiannya dipergunakan konstruksi relasi Subyek-Obyek, sehingga dapat mencapai hasil kajian yang obyektif.27 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan memanfaatkan hasil studi perbadingan sistem hukum import licensing agreement dengan kebijakan impor khususnya kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Kajian perbandingan sistem hukum tidak cukup hanya dilakukan dengan memperbandingkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku diantara obyek kajian, tentang hal tersebut Pound mengemukakan “…There should be comparison of system, not merely precept by precept…“28 Dalam literature dikenal berbagai penegertian sistem hukum, salah satu pengertian sistem hukum yang paling sederhana adalah yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yang intinya adalah bahwa sistem hukum terdiri dari komponen substansi,29 komponen struktural,30 dan komponen budaya 26
Brotosusilo (2), Op. cit., hal. 1.
27
Ibid.
28
Roscoe Pound, Philosophy of Law and Comparative Law, 100 U. of Pa. Law Review I (1951). Lebih lanjut lagi Lee mengemukakan lebih rinci : “…true comparison must take into account totally, the physiognomy of the legal system to which the study extend. Pendapat Lee ini dikutif oleh M. Schmithoff pada : Cambridge Law Journal, vol. 7, No. 98, 1939. Sedangkan G. Escarra menekankan : “the guiding factor for the comparatist in this investigation should not be a “what” by “why”. He should concern himself with the why of the existence of divergencies of jurisprudence and the reason for the doctrinal devergencies if he wants his labour to assume the dignity of science”. G. Escarra. “The aim of Comparative Law”. Ibid. hal.13. 29
Lawrence M. Freidman. : American Law. W.W. Norton & Company, New York, 1984,
30
Ibid, hal. 5.
hal. 6.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
22
hukum.31 Pengertian tentang sistem hukum ini dijadikan sebagai rujukan untuk memperdalam pengertian, dan dipergunakan sebagai alat untuk mempertajam analisis.
3.2 Landasan Teori Penelitian ini, menggunakan Theory of Justice yang diperkenalkan oleh Aristoteles dan Garcia sebagai landasan teoritis dalam analitis dalam upaya melindungi perdangangan dalam negeri dari globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional di Indonesia terutama dalam kaitannya mengenai pengaturan Agreement on Import Licensing Procedures dalam WTO, penerapan Agreement on Import Licensing Procedures di Indonesia, mengenai penerapan Agreement on Import Licensing Procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia dan bagaimana agar penerapan Agreement on Import Licensing Procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil dapat melindungi kepentingan Indonesia. Ini penting di karenakan kita wajib menjalankan peraturan-peraturan yang terdapat di WTO Agreements, tetapi dengan tidak mengkesampingkan kepentingan nasional negara kita. Theory of Justice
ini terdiri dari distributive justice dan rectificatory
justice.32 Distributive justice adalah peristiwa apabila hukum dan institusi-institusi publik mempengaruhi alokasi manfaat-manfaat sosial. Sedangkan rectificatory justice adalah ukuran dari prinsip-prinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Pada intinya rectificatory justice meliputi pemulihan keadaan terhadap keuntungan yang diperoleh dengan tidak wajar.33 Thesis ini juga akan menggunakan pemikiran Garcia mengenai Theory of
31
Lihat Lawrence M. Friedman: “On Legal Development,” 24 Rutgers Law Review 11, 53, 1969, h. 28. Lihat juga Lawrence M. Friedman: “Legal Culture and Social Development” 4 Law and Society Review 29, 1969. Ibid. 32
Aristoteles, The Nichomacean, dalam Agus Brotosusilo, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang Undang Anti Dumping Dan Safeguard,” (Ringkasan Disertasi,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), hal 5. 33
Agus Brotosusilo, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang Undang Anti Dumping Dan Safeguard,” ( Ringkasan Disertasi,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), Ibid. hal 6.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
23
Justice. Teori Garcia ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:34 1. Hukum perdagangan internasional yang adil harus dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi kesetaraan moral seluruh individu yang terpengaruh olehnya. Hal ini meliputi komitmen terhadap free trade sebagai perinsip ekonomi, utamanya untuk mempertahankan prasyarat liberal bagi keadilan. 2. Teori liberal tentang perdagangan yang adil mempersyaratkan bahwa hukum perdagangan internasional harus beroperasi sedemikian rupa untuk kepentingan negara-negara yang paling tidak diuntungkan, dengan demikian menggaris bawahi pentingnnya prinsip ”special and differential treatment” sebagai justifikasi bagi hukum perdagangan internasional. 3. ”liberal Justice” mempersyaratkan bahwa hukum perdagangan internasional tidak mengorbankan hak-hak asasi manusia, dan perlindungan yang efektif terhadap hak-hak asasi manusia, dalam rangka pencapaian keuntungan. Pada dasarnya “Theory of Justice” dibutuhkan dalam hukum perdagangan internasional paling tidak untuk tiga hal 35: 1. Secara normatif adalah untuk menghindari konflik dan kerancuan institusionel maupun doktrinal. 2. Untuk memulihkan keadaan-keadaan akibat kegagalan-kegagalan dalam penerapan “free trade”. 3. Sebagai penekanan bahwa kewajiban-kewajiban moral liberal harus diterapkan sama. 3.3 Kerangka Konseptual Untuk menghindari adanya suatu kesalahan baik dalam definisi ataupun persepsi, serta untuk mendapatkan suatu pemahaman yang sama mengenai istilah – istilah yang digunakan didalam penelitian ini, maka dibawah ini diuraikan istilah – istilah atau konsep – konsep hukum dimaksud:
Agreement on Import Licensing Procedures adalah sebuah perjanjian/kesepakatan para negara anggota WTO yang mengatur mengenai perijinan impor.
34
Frank J Garcia, Book Review on “The Law of the Peoples”, dalam Agus Brotosusilo, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang Undang Anti Dumping Dan Safeguard,” (Ringkasan Disertasi,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), Ibid. hal 9. 35
Ibid.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
24
Import licensing sebagaimana disebutkan dalam Article 1.1 Agreement on Import Licensing Procedures adalah 36: “import licensing is defined as administrative procedures used for the operation of import licensing regimes requiring the submission of an application or other documentation (other than that required for customs purposes) to the relevant administrative body as a prior condition for importation into the customs territory of the importing Member.” Terjemahan bebas : Ijin impor adalah prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan rezim ijin impor mensyaratkan pengajuan aplikasi atau dokumentasi lainnya (di luar yang dipersyaratkan untuk keperluan pabean) kepada lembaga administratif yang relevan, merupakan syarat untuk melaksanakan impor atau memasukkan barang ke dalam daerah pabean negara pengimpor.
Automatic Import Licensing sebagaimana disebutkan dalam Article 2.1 Agreement on Import Licensing Procedures adalah 37: “Automatic import licensing is defined as import licensing where approval of the application is granted in all cases, and which is in accordance with the requirements of paragraph 2 (a).” 2 (a) automatic licensing procedures shall not be administered in such a manner as to have restricting effects on imports subject to automatic licensing. Automatic licensing procedures shall be deemed to have trade-restricting effects unless, inter alia: (i) any person, firm or institution which fulfils the legal requirements of the importing Member for engaging in import operations involving products subject to automatic licensing is equally eligible to apply for and to obtain import licences; (ii) applications for licences may be submitted on any working day prior to the customs clearance of the goods; (iii) applications for licences when submitted in appropriate and complete form are approved immediately on receipt, to the extent administratively feasible, but within a maximum of 10 working days; 36
WTO Agreement, Agreement on Import Licensing Procedures, Op. cit., Article 1.1.
37
Ibid, Article 2.1.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
25
Terjemahan bebas : Perizinan impor otomatis berarti perizinan impor dimana persetujuan atas permohonan diberikan dalam semua kasus, dan yang sesuai dengan persyaratan Ayat 2(a). 2 (a)prosedur-prosedur perizinan otomatis tidak boleh di administrasikan dengan cara yang berakibat membatasi impor yang dikenakan perizinan otomatis. Prosedur-prosedur perizinan otomatis akan dianggap berakibat membatasi perdagangan kecuali, antara lain: (i) setiap perorangan, perusahaan atau lembaga yang memenuhi persyaratan hukum Para Anggota pengimpor untuk melakukan kegiatan impor produk-produk yang dikenakan perizinan otomatis berhak sama untuk memohon dan mendapat izin impor; (ii) permohonan-permohonan izin dapat diajukan pada setiap hari kerja sebelum pengeluaran barang melalui bea dan cukai; (iii) permohonan izin bilamana diajukan dalam bentuk yang tepat dan lengkap disetujui segera sesudah diterimanya, sejauh hal itu layak secara administratif, tetapi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 hari kerja; Non-automatic import licensing (lisensi impor non-otomatis) adalah lisensi impor dimana aplikasinya tidak selalu disetujui.
Committee on Import Licensing, aturan mengenai Committee on Import Licensing diatur dalam Article 4 Agreement on Import Licensing Procedures. Committee ini akan memberikan konsultasi untuk berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Agreement on Import Licensing Procedures.
General Agreement on Tariff and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia.38
38
Indonesia, Lampiran Undang – Undang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), UU No. 7, LN. No. 57 TAHUN 1994, TLN.No. NOMOR 3564.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
26
WTO adalah Organisasi Perdagangan Dunia sebagai pengganti Sekretariat GATT yang selanjutnya akan mengadministrasikan dan mengawasi pelaksanaan persetujuan perdagangan serta menyelesaikan sengketa dagang diantara negara anggota.39
Industri dalam negeri atau "domestic industry" adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat 4.1, Agreement On Implementation Of Article VI Of The General Agreement On Tariffs And Trade 1994:40 the term "domestic industry" shall be interpreted as referring to the domestic producers as a whole of the like products or to those of them whose collective output of the products constitutes a major proportion of the total domestic production of those products. Terjemahan bebas: Istilah Industri Dalam Negeri harus diartikan sebagai produsen dalam negeri barang sejenis (like product) sebagai keseluruhan atau pada mereka yang output kolektifnya mewakili proporsi mayoritas dari produksi didalam wilayah negaranya.
39
Ibid.
40
WTO (2), Agreement On Implementation Of Article VI Of The General Agreement On Tariffs And Trade 1994, (1994), Article. 4, Par. 4.1.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
27
BAB 4 PENERAPAN AGREEMENT ON IMPORT LICENSING PROCEDURES WTO DAN PERMASALAHAN HUKUM YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA
4.1 Sejarah Kebijakan Impor Indonesia Berbicara mengenai kebijakan perdagangan di bidang perdagangan luar negeri khususnya di bidang impor, telah titetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas Dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri, yang dimaksud dengan tugas dan wewenang Menteri Perdagangan dalam bidang impor adalah 41: (1) (2)
Menetapkan daftar barang-barang yang dapat diimpor ke Indonesia; Membina dan membimbing aparat-aparat perdagangan impor sektor usaha Negara maupun Swasta ke arah fungsinya yang positif dalam membantu berhasilnya Program Pemerintah.
Untuk mendapatkan gambaran atau definisi mengenai impor, telah dituangkan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan “Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean”.42 Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen dimana Indonesia sebagai suatu negara berdaulat sepenuhnya atas wilayah tersebut. Kebijakan impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang bertujuan untuk memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barang-barang impor dari negara lain. Pemagaran kepentingan nasional melalui kebijakan Impor juga dilakukan dalam rangka perlindungan dari “unfair trade practices” misalnya pemberian impor tekstil dan produk tekstil oleh negara-negara 41
Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas Dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2). 42
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Pasal 1 Ayat 13.
27 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
28
produsen komoditi pertanian kepada petaninya, yang kita anggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam WTO. Kebijakan impor Indonesia Dalam pelaksanaannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan “Agreement Establishing The World Trade Organization” (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)yang memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO. Sejarah kebijakan impor dimulai pada era tahun 1982, pada waktu itu pemerintah mengatur mengenai ketentuan umum di bidang impor melalui Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 28/KP/I/1982 yang telah beberapa kali durubah dan ditambah, dan terakhir pada tanggal 4 Juli 1997 diterbitkan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, isi dari Keputusan ini Menjelaskan antara lain 43: 1. Barang yang di impor harus dalam keadaan baru; 2. Impor hanya boleh dilakukan oleh perusahaan yang telah memiliki Angka Pengenal Importir (API), Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T); 3. Pengecualian dari ketentuan diatas diberikan kepada Badan atau Perusahaan yang mengimpor barang-barang sebagai berikut: a. Barang pindahan; b. Barang impor sementara; c. Barang kiriman, hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau kebudayaan; d. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia beradasarkan azas timbal balik; e. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang tinggal di Indonesia; dan f. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan Kebijakan umum impor diarahkan dalam upaya untuk Menurunkan ekonomi biaya tinggi, Memperlancar arus barang dan meningkatkan efisiensi distribusi, Meningkatkan daya saing komoditi ekspor, Memberikan dukungan bagi pengembangan sektor prioritas. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pemerintah dalam penetapan kebijakan impor mencakup aspek internal atau domestik yaitu mengenai 43
Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.
dan
Perdagangan
Nomor
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
29
kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM), perlindungan industri dalam negeri dan petani atau produsen. Selain aspek internal, penetapan kebijakan impor juga harus memperhatikan aspek eksternal yaitu mengenai komitmen Indonesia sebagai anggota WTO, sehingga kebijakan impor yang dibuat pemerintah harus sesuai dengan syarat-syarat dalam Agreement Import Licensing procedure serta komitmen Indonesia terhadap Konvensi atau Agreement yang diikuti yaitu komitmen terhadap Konvensi tentang senjata kimia, komitmen terhadap Konvensi Wina atau Montreal Protokol terkait pengawasan Barang Perusak Ozon, Konvensi Basel terkait pengawasan Limbah, Konvensi Narkotika atau Psikotropika terkait pengawasan Prekursor, Kyoto Protokol terkait pengawasan bahan kimia berdampak pemanasan global, dan ASEAN Free Trade Agreement terkait pengawasan terkait penerapan bea masuk impor dan akses pasar. Tidak mudah untuk merumuskan kebijakan perdagangan luar negeri khususnya di bidang Impor, karena terkait kepentingan internasional dalam memanfaatkan pasar domestik. Kepentingan domestik (propinsi/kabupaten/kota) perlu mendapat prioritas utama dalam konten kebijakan, namun dunia internasional hanya mengenal kebijakan negara bukan (propinsi/kabupaten/kota) sehingga kebijakan impor dilakukan secara terpusat. Dalam merumuskan kebijakan perdagangan luar negeri, termasuk kebijakan impor, selain harus memprhatikan rambu-rambu yang telah ditentukan dalam perjanjian WTO, perjanjian-perjanjian yang ada dalam WTO juga memberikan peluang yang sifatnya terbatas yang dapat dimanfaatkan oleh setiap negara anggota untuk kepentingan nasional. Operasionalisasi dari ketentuan-ketentuan WTO dilakukan melalui berbagai perangkat hukum nasional, berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri Perdagangan yang pada dasarnya untuk kepentingan sebagai berikut 44: 1. Menunjang terciptanya iklim usaha yang mendorong peningkatan efisiensi dalam perdagangan nasional; 2. Mengendalikan impor yang berkaitan dengan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual; 44
Departemen Perdaganan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri: Kebijakan Umum di Bidang Impor, Tahun 2006, hal 1-2.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
30
3. 4. 5. 6.
Mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; Mendorong investasi dan produksi untuk tujuan ekspor dan impor; Penghematan devisa dan pengendalian inflasi; Meningkatkan efisiensi impor melalui harmonisasi tariff dan tata niaga impor; 7. Menertibkan dan mengingkatkan peranan sarana serta lembaga penunjang impor; dan 8. Memenuhi ketentuan WTO. Dengan memperhatikan pertimbangan diatas, maka seharusnya setiap kebijakan
pemerintah
khususnya
di
bidang
perdagangan
selain
harus
mengakomodir semua ketentuan yang ada dalam perjanjian-perjanjian yang ada dalam WTO juga harus membawa dampak positif terhadap sektor perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional Indonesia. Perdagangan internasional mencakup dua sektor pokok yaitu perdagangan barang dan perdaganan jasa, dalam perdaganan di bidang barang dalam hal ini impor dikenal dua jenis hambatan (barrier) yaitu hambatan tariff dan hambatan non tariff, dalam komitmen dibidang akses pasar, semua hambatan dibidang non tariff harus dihapus dan diganti dengan mekanisme tariff (tariffication).
4.2 Kebijakan Tata Niaga Impor Pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional. Berbicara mengenai perdagangan internasional, salah satu wujud dari perdagangan internasional adalah kegiatan impor. Kebijakan pemerintah dalam mengatur tata niaga impor pada intinya memiliki tujuan dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan. Dalam kebijakan pemerintah di bidang impor, dikenal dengan suatu kebijakan mengenai tata niaga impor yang merupakan bagian dari kebijakan
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
31
perdagangan untuk memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barang-barang impor dari negara lain. Pada dasarnya semua komoditi dalam perdagangan itu adalah termasuk dalam kategori barang bebas atau barang yang tidak diatur tata niaga impornya, untuk komoditi seperti ini bukan merupakan subyek dari pengaturan kebijakan tata niaga impor, kebijakan impor yang diterapkan pada suatu komoditi mengklasifikasikan komoditi menjadi komoditi yang diatur atau dilarang dan tidak lagi menjadi komoditi bebas. Dalam konteks tata niaga impor, Departemen Perdagangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya. Secara eksplisit ketentuan tersebut menetapkan barang-barang yang dilarang impornya serta barang-barang yang diatur tata niaga impornya berikut beberapa pengecuaian-pengecualian. Sedangkan secara implisit, ketentuan tersebut juga menetapkan barang-barang yang bebas untuk di impor, ketentuan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya Pasal 13 Ayat (1) ini juga memuat pengecualian-pengecualian yang membebaskan barang-barang tertentu dari tata niaga impor, untuk kategori sebagai berikut45: 1. Barang pindahan; 2. Barang-barang yang bersifat hibah dari negara atau badan kepada pemerintah Republik Indonesia; 3. Barang-barang yang dibiayai dengan bantuan luar negeri kepada Pemerintah Republik Indonesia; 4. Barang dan/atau bahan yang dimasukkan ke Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (PPDKB) atau ke Entrepot Produksi untuk tujuan Eksport (EPTE) untuk diolah lebih lanjut menjadi barang olahan sesuai ijin industri PPDKB atau EPTE yang bersangkutan; 5. Barang dan/atau yang dimasukan ke Kawasan Berikat untuk ditimbun, disimpan, diletakan atau dikemas.
Pengecualian dari ketentuan tata niaga impor tersebut pada umumnya juga disertai dengan pengecualian dari ketentuan kepabeanan dan perpajakan, yang hal ini juga ditujukan untuk mendukung program investasi dan peningkatan ekspor
45
Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya, Pasal 13 ayat (1).
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
32
non migas. Pengecualian dari tata niaga impor juga dapat diberikan dengan persetujuan Direktur Jenderal Perdaganan Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk, yaitu untuk pengimporan barang-barang sebagai berikut 46: 1. Barang impor sementara; 2. Untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetauan dan teknologi; 3. Untuk hibah dan bantuan lainnya bagi keperluan sosial yang tidak diperdagangkan kembali; 4. Unuk impor kembali setelah diperbaiki di luar negei yang sebelumnya adalah barang asal impor; 5. Untuk barang contoh sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 140/KMK.05/1997; 6. Untuk impor kendaraan bermotor keperluan Kedutaan Besar Negara Asing dan Kantor Perwakilan Diplomatik Asing serta Lembaga Internasional sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 326/Kp/XI/1993. Ketentuan tata niaga impor yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan bertujuan untuk mengatur kegiatan importasi, ada beberapa barang-barang teretentu yang hanya dapat di impor oleh47: 1. Importir Terdaftar (IT) Importir Terdaftar adalah pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang mendapat tugas khusus mengimpor barang tertentu yang diarahkan oleh Pemerintah. 2. Importir Produsen (IP) Importir Produsen adalah importir yang disetujui untuk mengimpor sendiri barang bukan limbah yang diperlukan semata-mata unutk proses produksinya, 3. Importir Umum (IU) atau importir terdaftar/Agen Tunggal (IU atau IT/AT) serta lembaga-lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pelaksana impor. Importir Umum adalah importir yang merupakan badan usaha pemilik Agka Pengenal Importir Umum (API-U) untuk mengimpor barang bukan limbah yang tidak diatur tata niaga impornya. Sedangkan Importir Tunggal atau Agen Tunggal adalah importir yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Pada umumnya barang-barang yang di impor melalui Importir Terdaftar 46
Ibid, Pasal 13 ayat (3).
47
Ibid. Pasal 1.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
33
(IT) adalah barang konsumsi yang impornya perlu dikendalikan karena mempunyai dampak langsung terhadap industry barang sejenis di dalam negeri. Dengan demikian terkandung unsur proteksi terhadap industri dalam negeri, yang hal ini dapat lebih fleksibel dilakukan oleh pemerintah. Importir Terdaftar (IT) pada umumnya terdiri dari oerseroan niaga (BUMN) atau perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengimpor baarang-barang yang bersangkutan agar dari segi jumlah maupun mutunya sesuai dengan kebutuhan nasional dan pertimbangannya dengan produksi dalam negeri. Mekanisme pengaturan tata niaga impor melalui Importir Produsen (IP) berbeda dengan Importir Terdaftar (IT). Apabila jumlah Importir Terdaftar (IT) terbatas dan relatif tetap, maka Importir Produsen (IP) dapat bertambah mengikuti kebutuhan dunia industry. Barang-barang yang diimpor Importir Produsen (IP) pada umumnya merupakan bahan baku untuk industri hulu yang belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, dengan demikian perlu dijamin pengadaannya. Untuk menjamin pengadaan tersebut maka hanya produsen yang menggunakan barang-barang dimaksud sebagai bahan baku untuk produksinya yang dapat mengimpor. Tujuan dari pengaturan Importir Produsen (IP) ini adalah supaya barang-barang yang bersangkutan diimpor untuk digunakan dalam proses produksinya sendiri. Kebijakan perdagangan yang menyangkut perijinan import (import licensing) termasuk salah satu peraturan yang harus merujuk pada Agreement on Import Licensing Procedures WTO. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota membuat peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan terprediksi. Persetujuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin-disiplin bagi para pemakai perizinan impor, dan untuk meningkatkan transparansi serta keterdugaan (predictability). Sebagai contoh persetujuan ini mengharuskan para pihak untuk menerbitkan informasi yang memadai untuk para pedagang agar mereka mengetahui bagaimana jalan yang ditempuh untuk mendapatkan perizinan. Persetujuan ini memperketat peraturan-peraturan tentang prosedurprosedur perizinan impor atau perubahan yang terjadi terhadapnya. Dalam konteks ini, perijinan (lisensi) impor yang berlaku di Indonesia
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
34
dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Perijinan dasar, yakni perijinan yang dipersyaratkan kepada pengusaha untuk memperoleh pengakuan sebagai importir (angka Pengenal Importir/API). Perijinan dasar tersebut antara lain adalah Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) atau yang setara, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Berdasarkan kriteria agreement, ijin-ijin tersebut termasuk Automatic Import Licensing karena setiap permohonan yang diajukan untuk mendapatkan ijin-ijin tersebut pasti disetujui. 2. Ijin operasi, yakni ijin yang harus dimiliki pengusaha untuk dapat melakukan kegiatan impor terdiri dan Angka Pengenal Importir Umum (API Umum) dan Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT). Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT) diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi impor dalam rangka penanaman modal. Bagi barang-barang yang terkena ketentuan tata niaga impor, maka transaksi impor hanya dapat dilakukan oleh importir yang ditunjuk atau mendapat pengakuan dari pemerintah Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP). Dilihat dari prosedurnya, Importir Terdaftar (IT) termasuk non-automatic licensing karena tidak semua aplikasi mendapat persetujuan. Namun dalam aspek operasinya, bagi perusahaan atau lembaga yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Terdaftar (IT) tidak perlu mengajukan aplikasi impor untuk setiap transaksi yang akan dilakukan. Jumlah yang dapat diimpor disetujui dan dialokasikan untuk selama periode tertentu misalnya satu tahun. Hal ini berbeda dengan Importir Produsen (IP) yang aplikasinya pada umumnya mendapat persetujuan bila telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Untuk impor barang-barang yang tata niaganya tidak diatur, pemegang API Umum otomatis dapat melakukan transaksi impor tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin lagi. Didalam prosesnya, importir hanya diwajibkan melakukan Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) untuk keperluan pabean. Bila dibandingkan dengan ketentuan agreement, prosedur penyelesaian aplikasi Importir Produsen (IP) lebih cepat karena hanya memerlukan waktu 7 (tujuh) hari, sedangkan agreement menetapkan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari. Agreement on import licensing procedures menetapkan bahwa negara-
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
35
negara anggota wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum di bidang impor yang berlaku dimasing-masing negara dengan ketentuan Agreement on import licensing procedures. Bagi Indonesia, hal ini berarti bahwa ketetuan-ketentuan yang mengatur bidang impor juga harus disesuaikan dengan pengertian bahwa apabila ketentuan-ketentuan yang berlaku sudah lebih maju dibandingkan dengan ketentuan Agreement on import licensing procedures maka tidak perlu disesuaikan lagi. Dalam kebijakan impor, terdapat dua pembagian terhadap komoditi atau barang yaitu 48: 1. Barang atau komoditi yang dilarang : Barang impor tersebut berbahaya terhadap K3LM (Keamanan, Kesehatan, Keselamatan, lingkungan hidup, moral bangsa), atau mengganggu kelangsungan hidup Petani dan/atau Industri dalam negeri serta tidak ada atau kurang bermanfaat bagi kepentingan nasional dan atau menurut hukum nasional atau konvensi internasional dilarang impor. 2. Barang atau komoditi yang diatur : a. Barang Impor tersebut berbahaya dari sisi K3LM, namun di perlukan untuk kebutuhan industri sebagai bahan baku atau penolong; b. Apabila barang impor tersebut mendapat dukungan perlakuan yang tidak fair, sehingga akan memojokkan dan menekan produsen (Industri dan Petani) di dalam negeri. Pada prinsipnya Pemerintah tentunya memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat sebuah kebijakan impor, karena selain harus memperhatikan ketentuan yang telah diatur dalam Agreement on Import Licensing Procedures dalam membuat kebijakan impor Pemerintah juga tetap harus memperhatikan kondisi pasar dalam negeri agar tetap kondusif. Maka dalam membuat atau merumuskan kebijakan impor tersebut Pemerintah harus harus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak diantaranya dunia usaha. Berikut ini gambaran atau flow chart mekanisme penetapan kebijakan impor oleh Pemerintah :
48
Departemen Perdaganan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri: Kebijakan Umum di Bidang Impor, Tahun 2005.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
36
4.3 Kebijakan Penerapan Agreement on Import Licensing Procedures di Indonesia Pembuatan peraturan dan Penetapan kebijakan impor Indonesia dilakukan berdasarkan WTO-Rules: Artikel XX (General Exceptions), Artikel XXI (Security Exceptions), Agreement on Import Licensing Procedures, Konvensi-konvensi internasional, dan Kebijakan Nasional terkait lainnya. Perumusan kebijakan impor dilakukan melalui persiapan bahan pertimbangan keputusan berupa masukan dari Stakeholders (swasta, LSM, anggota DPR dan masyarakat umum) kemudian melakukan analisa dampak dari sebuah keputusan. Berdasarkan jenisnya, kebijakan impor Indonesia yang dikategorikan sebagai Automatic Licensing adalah sebesar + 91,4 % (dari seluruh pos HS Indonesia)49. Sisanya adalah kebijakan jenis Non-automatic licensing adalah sebesar + 8,6% yang diberlakukan terhadap sejumlah komoditi barang seperti minuman beralkohol, Nitrocellulose (bahan peledak), beras, prekursor, cakram 49
Data diambil dari direktorat Impor Departemen Perdagangan, tidak dipublikasikan.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
37
optik dan intan kasar. Kebijakan Impor Indonesia merupakan bagian dari kebijakan perdagangan untuk memagari kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang- barang impor negara lain. Tujuan untuk memagari kepentingan nasional yang dimaksud adalah memagari kepentingan nasional terhadap faktor-faktor kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa. Di dalam pelaksanaannya, kebijakan impor Indonesia sering mengundang pertanyaan dari negara mitra dagang baik untuk sekedar permintaan klarifikasi, penjelasan, atau tuntutan agar kebijakan yang dibuat harus segera dicabut. Menghadapi masalah seperti ini, pejabat Indonesia dituntut untuk mampu memberikan
tanggapan
tanpa
mengorbankan
mandat
untuk
melindungi
kepentingan nasional. Meskipun demikian, sering kali kekurang pahaman Indonesia mengenai Agreement on Import Licensing Procedures WTO menyebabkan pejabat Indonesia mengalami kesulitan untuk menanggapinya. Akibatnya, negara yang mempertanyakan akan terus menerus mengejar jawaban dan dengan mencocokkan rujukan berdasar Agreement On Import Licensing Procedures.
4.4 Pemanfaatan Import Licensing Procedures untuk Akses Pasar. Kebijakan Import Licensing dalam kenyataannya tidak hanya dipakai sebagai instrumen untuk melindungi industri dan pasar domestik, namun juga dapat dimanfaatkan untuk memperluas, mengamankan, dan meningkatkan akses pasar produk domestik di luar negeri. Indonesia dapat menggunakan Import Licensing untuk membuka akses pasarnya. Cara terbaik untuk memanfaatkan Agreement on Import Licensing Procedures adalah secara agresif mempelajari peraturan Import Licensing yang dimiliki oleh negara lain melalui notifikasi yang mereka lakukan. Terdapat ketentuan Agreement on Import Licensing Procedures yang menyatakan adanya perlakuan khusus (misalnya kemudahan dalam bentuk persyaratan atau waktu) yang diberikan ke negara berkembang di dalam menerbitkan persetujuan Import Licensing. Hal ini bisa dijadikan “loop hole” karena, adanya kata-kata “special consideration” dimana pengertian “special
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
38
consideration” tidak pernah diutarakan secara jelas. Apabila Indonesia menemukan ketidakkonsistenan import licensing dari negara mitra dagang, maka hal yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan melalui pendekatan bilateral demi untuk mengamankan akses pasar terlebih dulu. Namun apabila pendekatan bilateral tidak membuahkan solusi maka bisa digunakan adalah pendekatan regional, dan jika gagal maka yang terakhir perlu dilakukan adalah pendekatan multilateral. Pemanfaatan Agreement on Import Licensing Procedures yang tidak kalah pentingnya adalah mempelajari dari cara negara lain merespon kebijakan impor yang dipermasalahkan oleh negara lain. Salah satu caranya adalah dengan memodifikasi peraturan yang dipermasalahkan atau dengan menyampaikan kembali notifikasi dengan format dan tujuan yang berbeda. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Australia di dalam kondisi yang sangat noticeable oleh negara anggota lainnya.
4.5 Tinjauan Mengenai Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures Dalam Kebijakan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) Di Indonesia Dan Permasalahan Hukum 4.5.1
Latar Belakang Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Dengan berkembang pesatnya perdagangan internasional saat ini telah
mendorong keterbukaan pasar, sehingga menimbulkan persaingan pasar yang semakin ketat terhadap barang impor di Indonesia yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Untuk memenuhi kebutuhan atas barang yang belum dapat diperoleh dari sumber dalam negeri untuk proses produksi, konsumen nasional dan untuk mempertahankan iklim usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap kondusif di pasar dalam negeri serta dalam upaya mencegah praktek perdagangan tidak adil yang mengakibatkan kerugian terhadap industri dan konsumen tekstil dan produk tekstil (TPT), maka pemerintah perlu mengatur kebijakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Pemerintah berusaha menerapkan kebijakan impor tekstil dan produk
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
39
tekstil (TPT) yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan perlindungan terhadap industri dalam negeri, hal ini penting karena jangan sampai kebijakan impor tekstil dan produk tekstik (TPT) tersebut justru mematikan industri tekstil dalam negeri. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka pemerintah pada tahun 2002 menerbitkan Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Penerbitan kebijakan di bidang Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tersebut diikuti dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 276/MPP/Kep/4/2002 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impot Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), kemudian keputusan ini dirubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 646/MPP/Kep/10/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 276/MPP/Kep/4/2003 tentang Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Dan Produk Tekstil (TPT) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 389/MPP/Kep/5/2003 serta menetapkan surveyor sebagai pelaksana verifikasi sesuai Keputusan Menteri Perindustrian
dan
307/MPP/Kep/11/2003
Perdagangan tentang
Republik
Penunjukan
Surveyor
Indonesia
Nomor
Sebagai
Pelaksana
Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Pada tahun 2005 Pemerintah telah merubah dan menyempurnakan Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Peraturan ini didasarkan dalam rangka mempertahankan iklim usaha dibidang tekstil dan produk tekstil (TPT) agar tetap kondusif didalam negeri dan mencegah praktek perdagangan tidak adil yang merugikan industri dan konsumsi tekstil dan produk tekstil (TPT). Pemerintah terus menerus berusaha melakukan penyempurnaan kebijakan di bidang impor tekstil dan produk tekstil (TPT), pada tahun 2008 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
40
DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil, peraturan ini menggantikan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). 4.5.2
Kronologis Kebijakan Impor Tekstil Di Indonesia Untuk mendapatkan gambaran mengenai kebijakan impor Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT) di Indonesia, maka akan dipaparkan kronologis mengenai kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia dari tahun ke tahun sebagai berikut:
4.5.2.1 Kebijakan Era Tahun 2002 Pada tahun 2002 merupakan awal pengaturan kebijakan di bidang tekstil, pada waktu itu Departemen Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Kebijakan ini diikuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 276/MPP/Kep/4/2003 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teksnis Impor Tekstil dan Produk Teksil sebagaimana telah dirubah beberapa kali terakhir dengan Nomor 646/MPP/Kep/10/2003 serta menetapkan surveyor sebagai pelaksana verifikasi sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 307/MPP/Kep/11/2003 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Latar belakang dari kebijakan ini adalah dalam rangka mencegah beredarnya impor tekstil secara ilegal di pasaran Indonesia yang menimbulkan perdagangan tidak adil dan mengakibatkan kerugian terhadap tekstil produksi dalam negeri serta guna mempertahankan iklim usaha atau industri tekstil dalam negeri tetap kondusif, adapun tujuan dari penerbitan kebijakan ini adalah dalam menciptakan tertib administrasi di bidang impor tekstil. Pokok-pokok pengaturan dalam Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
41
Niaga Impor Tekstil mengatur antara lain 50: 1. Tekstil adalah tekstil lembaran yang termasuk dalam klasifikasi barang impor/Pos Tarif (HS) 50 s/d 60. 2. Tekstil hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil). 3. Pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) menyangkut antara lain tentang jumlah dan jenis tekstil yang dapat diimpor dan waktu pengapalannya. 4. Tekstil yang diimpor oleh Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) hanya dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan dilarang diperjual belikan maupun dipindah tangankan; 5. Pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 6. Untuk dapat diakui sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) perusahaan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan melampirkan : a. Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri atau Izin Usaha lain yang setara dari Departemen Teknis/Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang membidangi usaha tersebut; b. Nomor Pengenal Importir Khusus Tekstil dan Produk Tekstil (NPIK-TPT); c. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T); d. Tanda Daftar Perusahaan (TDP); e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan f. Surat Pernyataan Rencana Kebutuhan Bahan Baku atau Bahan Penolong dan Pemasaran Hasil Produksi 1 (satu) tahun yang ditandasyahkan oleh penanggung jawab perusahaan. 7. Pengakuan atau penolakan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) diterbitkan paling lambat dalam jangka waktku 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima. 8. Pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) berlaku selama 1 (satu) tahun. 9. Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) wajib menyampaikan laporan realisasi impor secara tertulis kepada Direktur Impor Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya importasi tekstil tersebut paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. 10. Pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) dibekukan apabila perusahaan didak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan tertulis sebanyak 2 (dua) kali. 50
Indonesia, Keputusan Menteri perindustrian 732/MPP/KEP/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil.
dan
perdagangan
Nomor
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
42
11. Pembekuan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) dapat dicairkan apabila perusahaan telah memenuhi segala kewajibannya terkait laporan realisasi impor; 12. Pembekuan pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) serta pencairannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 13. Pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) dicabut apabila : a. pengurus perusahaan mengubah, menambah dan atau mengganti isi yang tercantum dalam Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil); atau b. perusahaan memperjual belikan atau memindah tangankan tekstil yang diimpor; atau c. pengurus perusahaan dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil). 14. Pencabutan pengakuan Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Kebijakan ini dinilai sangat sesuai pada waktu itu, dimana pada waktu kebijakan ini diterbitkan banyak kasus masuknya tekstil secara illegal ke Indonesia, dihawatirkan tekstil hasil produski dalam negeri tidak dapat bersaing dipasar dalam negeri sendiri karena tekstil yang masuk secara illegal tersebut dijual dibawah harga tekstil yang diproduksi didalam negeri. Departemen Perdagangan tidak pernah berhenti dalam menyusun kebijakan dibidang impor tekstil dengan tujuan agar kebijakan tersebut benarbenar efektif dan mencerminkan praktek perdagangan yang adil dengan tetap memperhatikan industri tekstil dalam negeri, maka Departemen Perdagangan kemudian melakukan pengkajian ulang atas Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil ini, kemudian kebijakan ini direfisi dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
4.5.2.2 Kebijakan Era Tahun 2005 Pada era tahun 2005 dipergunakan istilah Tekstil dan Produk Tekstil untuk kebijakan impor tekstil. Departemen Perdagangan tidak pernah berhenti dalam merumuskan kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil yang bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi di bidang impor Tekstil dan Produk Tekstil
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
43
(TPT), maka pada tanggal 30 September 2005 Departemen Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Latar belakang diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) ini merupakan refisi atau perbaikan dari Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi pada tahun 2005 dan sebagai wujud konsistensi Indonesia sebagi anggota WTO dimana salah satu kewajibannya adalah menyesuaikan kebijakan impor dengan ketentuan Agreement on Import Licensing Procedures. Pokok-pokok Pengaturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang merupakan refisi dari Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil mengatur antara lain 51: 1. Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), adalah kain lembaran dan produk yang menggunakan kain lembaran sebagai bahan baku/penolong yang termasuk dalam klasifikasi barang impor/Pos Tarif (HS) 50 s/d 63 kecuali serat dan benang. Pos Tarif (HS) 60.2 dirubah menjadi 60.5 dan 60.6 disebabkan adanya perubahan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI). Kain goni dikeluarkan dari IP-Tekstil. 2. Importasi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Tekstil dengan ketentuan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang diimpor oleh IP-Tekstil hanya dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dan industri yang dimiliki oleh IPTekstil yang bersangkutan dan dilarang diperjualbelikan mapun dipindahtangankan. 3. Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) adalah perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T) yang disetujui untuk mengimpor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebagai bahan baku dan/atau bahan penolong yang diperlukan untuk proses produksinya. 4. Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang diimpor oleh IP-Tekstil hanya dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dan industri yang dimiliki oleh Importir Produsen Tekstil (IPTekstil) yang bersangkutan dan dilarang diperjualbelikan mapun 51
Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
44
dipindahtangankan. 5. Pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan. 6. Direktur Jenderal menerbitkan pengakuan atau penolakan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. 7. Pengakuan sebagai IP-Tekstil berlaku paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali. 8. Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) wajib menyampaikan laporan tentang pelaksanaan importasi tekstil dalam format Kartu Kendali Impor kepada Direktur Jenderal Cq. Direktur Impor, Departemen Perdagangan setiap 3 (tiga) bulan dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka Cq. Direktur Jenderal Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Departemen Perindustrian. 9. Selain Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil), Menteri atau Pejabat yang ditunjuk Menteri dapat menunjuk perusahaan lain untuk melaksanakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Perusahaan yang mendapat penunjukan untuk melaksanakan impor Tekstil dan Produk Tekstil hanya dapat memasok kepada industri yang tidak melaksanakan importasi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sendiri dan dilarang untuk memperdagangkan ke pasar dalam negeri. 10. Setiap importasi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi di negara muat barang, kecuali untuk importasi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) : a. Yang dimasukkan kedalam: 1. Kawasan Berikat atau Gudang Berikat yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan 2. Kawasan Perdagangan Bebas Sabang; b. Yang merupakan: 1. barang keperluan Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya; 2. barang keperluan penelitian dan pengembangan teknologi; 3. barang bantuan teknik dan bantuan proyek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1955; 4. barang hibah; 5. barang contoh 6. barang pindahan; 7. barang pribadi penumpang atau awak sarana pengangkut atau pelintas batas dan barang promosi; 8. barang kiriman melalui jasa kurir dengan menggunakan pesawat udara; 9. barang kiriman yang bernilai sebesar FOB US$ 1000,00 atau kurang tanpa melalui jasa kurir dengan menggunakan pessawat udara. c. Mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan atau Cukai serta PPN dan PPn BM tidak dipungut atas impor barang dan atau bahan
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
45
untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor berdasarkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 129/KMK.04/2003. 11. Pengakuan sebagai IP-Tekstil dibekukan apabila yang bersangkutan: a. tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan sebanyak 2 (dua) kali; atau b. dalam penyidikan atas dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan pengakuan sebagai IP-Tekstil. 12. Pembekuan pengakuan sebagai IP-Tekstil dapat dicairkan setelah yang bersangkutan mendapat klarifikasi dari Direktur Jenderal atas kelalaiannya dalam melaksanakan kewajiban atau yang bersangkutan tidak terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan pengakuan sebagai IP-Tekstil. 13. Pembekuan pengakuan serta pencairan kembali sebagai IP-Tekstil dilakukan oleh Direktur Jenderal. 14. Pengakuan sebagai IP-Tekstil dicabut apabila yang bersangkutan : a. tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan lebih dari 2 (dua) kali; b. mengubah dan atau menambah dan atau mengganti isi yang tercantum dalam dokumen pengakuan sebagai IP-Tekstil; atau c. dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan pengakuan sebagai IP-Tekstil. 15. Pencabutan pengakuan Sebagai IP-Tekstil dilakukan oleh Direktur Jenderal. Serangkaian kebijakan dibidang impor tekstil yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) ini pun kemudian berulang kali mendapat pertanyaan dari
Amerika
Serikat,
terakhir
yang
tertuang
dalam
dokumen
WTO
G/LIC/Q/IND/7/Add.1 tanggal 8 Januari 2007 perihal pertanyaan Amerika Serikat mengenai tata niaga impor tekstil sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustiran
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang dianggap tidak konsisten dengan Agreement On Import Licensing Procedures-WTO terkait penerapan automatic-licensing atau non-automatic licensing yang terdapat dalam kebijakan ini yang menyebutkan bahwa Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) hanya dapat diimpor oleh Importir Produsen (IP). Hal tersebut menjadi pertimbangan Departemen Perdagangan untuk
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
46
merefisi kebijakan di bidang impor tekstil, maka kemudian pada tanggal 5 Mei 2008 terbitlah kebijakan baru di bidang impor tekstil dan produk tekstil yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT). 4.5.2.3 Kebijakan Era Tahun 2008 Berkembang pesatnya perdagangan internasional saat ini telah mendorong keterbukaan pasar, sehingga menimbulkan persaingan pasar yang semakin ketat terhadap barang impor di Indonesia yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan untuk memenuhi kebutuhan atas barang yang belum dapat diperoleh dari sumber dalam negeri untuk proses produksi, konsumen nasional dan untuk mempertahankan iklim usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap kondusif di pasar dalam negeri, maka Pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan pada tanggal 5 Mei 2008 menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT), peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Latar belakang diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), karena beberapa kebijakan yang telah ada dalam Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
19/M-DAG/PER/9/2005
tentang
Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dianggap sudah tidak sesuai lagi. Pokok-pokok Pengaturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) yang merupakan refisi dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) antara lain 52: 52
Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
47
1. Sesuai Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terdapat sebanyak 81 (delapan puluh satu) Pos Tarif/HS 4 (empat) digit, dengan dikeluarkanya 6 (enam) Pos Tarif/HS dan 1 (satu) Pos Tarif/HS yang ganda (No.urut 13 dan 26), maka dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 menjadi 74 (tujuh puluh empat) Pos Tarif/HS; 2. Beberapa komoditi tekstil yang terkait dengan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) dikeluarkan dari ketentuan pengaturan impor tekstil dan produktekstil antar lain terhadap Pos Tarif/HS 53.09, 53.10, 53.11, 56.02, 58.02, 58.03, 58.04, 58.10, dan 58.11; 3. Terhadap beberapa Pos Tarif/HS 58.03, 59.04, 59.05, 59.08, 62.16 dan 63.08. dibebaskan dari kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis impor. Dengan demikian Pos Tarif/HS tersebut dikeluarkan dari ketentuan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT), dan importasinya tetap diwajibkan memiliki Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri PErindustrian dan Perdagangan Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/M-DAG/PER/3/2008; 4. Dalam Peraturan ini juga dilakukan beberapa perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) antara lain : a. Penambahan persyaratan melampirkan Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) bagi pemohon Importir Produsen Tekstil (IPTekstil); b. Penambahan daftar tekstil dan produk tekstil (TPT) dari pengecualian ketentuan kewajiban Importir Produsen Tekstil (IPTekstil), diatur dalam Pasal 4; c. Perubahan penerbitan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) yang semula oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri menjadi oleh Direktur Impor dan waktu proses penerbitan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) dikurangi dari semula 10 (sepuluh) hari kerja menjadi 5 (lima) hari kerja; d. Penambahan ketentuan realisasi dalam bentuk kartu kendali yang semula hanya dalam bentuk fotokopi dengan bentuk print out dalam rangka mengantisipasi penerapan Nasional Single Windows (NSW); e. Pembebasan dari ketentuan kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis terhadap tekstil dan produk tekstil yang diimpor dalam rangka fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan pengawasan kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis atas hasil olahan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikeluarkan dari Kawasan Berikat, Gudang Berikat dan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang ke daerah Pabean Indonesia lainnya;
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
48
f. Ketentuan wajib memiliki Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) dinyatakan tidak berlaku terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT): a. yang dimasukkan ke dalam: 1. Kawasan Berikat atau Gudang Berikat yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan; atau 2. Kawasan Perdagangan Bebas Sabang; b. yang merupakan: 1. barang keperluan Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya; 2. barang keperluan penelitian dan pengembangan teknologi; 3. barang bantuan teknik dan bantuan proyek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1955 tentang Peraturan Pembebasan Dari Bea Masuk Dan Bea Keluar Golongan Pejabat Dan Ahli Bangsa Asing Tertentu; 4. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; 5. barang untuk keperluan badan Internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; 6. barang pindahan; 7. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan; 8. barang promosi; 9. keperluan pemberian hadiah untuk tujuan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan dan/atau untuk kepentingan bencana alam; 10. barang milik pribadi penumpang atau awak sarana pengangkut atau pelintas batas; 11. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang dimasukan kembali ke Indonesia; 12. barang ekspor yang ditolak oleh pembeli luar negeri kemudian diimpor kembali dalam kuantitas yang sama dengan kuantitas pada saat diekspor; atau 13. barang kiriman yang bernilai paling tinggi sebesar FOB US$ 1,000.00 (seribu dolar Amerika) melalui dan/atau tanpa jasa kurir dengan menggunakan pesawat udara. Dengan diterbitkannya kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang baru ini maka diharapkan tujuan untuk memenuhi kebutuhan atas barang yang belum dapat diperoleh dari sumber dalam negeri untuk proses produksi, konsumen nasional dan untuk mempertahankan iklim usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap kondusif di pasar dalam negeri dapat tercapai.
4.5.2.4 Rencana Kebijakan Tahun 2010 Rencana kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) pada tahun
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
49
2010 akan memberikan lebih banyak lagi kemudahan dan kelonggaran bagi importir Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), bahkan rencanya Indonesia akan membebaskan impor tekstil pada tahun 2010, itu artinya Tekstil dan Produk Tekstil menjadi barang bebas yang tidak diatur mekanisme impornya, hal ini seperti yang dikutif Bisnis Indonesia sebagai berikut : “Pemerintah akan menyesuaikan kembali sejumlah aturan dan ketentuan impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) yang dinilai kaku dan tidak memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Pada akhir tahun 2010 akan lebih banyak lagi dilonggarkan tetapi industri dalam negeri juga harus kuat dan pihak Bea Cukai tetap memantau perbatasan agar tidak ada barang impor yang masuk secara illegal”.53 Kemudahan dan kelonggaran yang diberikan terhadap importir Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tersebut telah diatur juga dalam
Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) yang merupakan refisi dari Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
19/M-DAG/PER/9/2005
tentang
Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Pemerintah membebaskan 7 (tujuh) dari 81 (delapan puluh satu) nomor Pos Tarif/HS empat digit dari kewajiban verifikasi atau penelusuran teknis dan aturan Importir Produsen (IP), kelonggaran tersebut juga menyangkut barang-barang promosi. Pada tahap pertama penghapusan penggunaan Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) untuk nomor HS produk yang impornya sangat kecil, selanjutnya pembebasan impor bagi produk yang rata-rata impornya besar tetapi ada pengaruh terhadap prouk hilir atau garmennya. Kelonggaran impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan akomodasi dari desakan pemerintah dan pengusaha tekstil Amerika Serikat yang memiliki kapasitas ekspor kapas besar, hal ini juga menyusul atas tuduhan Amerika Serikat terhadap kebijakan impor tekstil Indonesia yang mempraktekan non automatic import licensing (pembatasan impor) diatas ketentuan WTO yang sebesar 36 % (tiga puluh enam persen). Selama ini aturan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang ketat dan hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen (IP) ditujukan untuk melindungi produsen garmen dalam negeri dari
53
Fahmi Ahmad, Bisnis Indonesia, Edisi Rabu 7 Juli 2008.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
50
serbuan produk impor, seharusnya kebijakan yang diterapkan adalah melalui mekanisme tariff bea masuk sepanjang tariff tersebut tidak melebihi 15 % (lima belas persen). Implikasi mengenai rencana pemerintah yang akan membebaskan impor Tekstil dan Produk Tekstil pada tahun 2010 tentunya akan sangat beragam, keputusan pemerintah untuk membebaskan impor Tekstil dan Produk Tekstil pada tahun 2010 salah satunya dilatar belakangi bahwa selama ini kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil memberatkan pelaku usaha non Importir Produsen yang kesulitan untuk melakukan impor Tekstil dan Produk Tekstil padahal mereka membutuhkannya untuk keperluan bahan baku atau penolong dalam kegiatan industrinya, sebagaimana diketahui bahwa dalam kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil yang telah ada di era tahun 2002 sampai tahun 2005 mengatur bahwa Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP). Dampak lainnya dari rencana kebijakan pemerintah untuk membebaskan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) pada tahun 2010 adalah dikhawatirkan akan terjadi praktek illegal transshipment, maka untuk mencegah terjadinya hal tersebut untuk produkproduk yang tidak terkena aturan Importir Produsen (IP), Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) dan Angka Pengenal Impor (API) tetap harus dilakukan verifikasi dan harus ada laporan surveyornya, hal ini juga nerupakan salah satu cara untuk tetap melindungi industri dalam negeri. 4.6 Analisis Kesesuaian Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia dengan Agreement on Import Licensing Procedures Pada prinsipnya kebijakan impor Indonesia Dalam pelaksanaannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan “Agreement
Establishing
The
World
Trade
Organization”
(Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO. Pembuatan peraturan dan Penetapan kebijakan impor Indonesia dilakukan berdasarkan WTO - Rules: Artikel XX (General Exceptions), Artikel XXI (Security Exceptions), Agreement on Import Licensing Procedures, Konvensikonvensi internasional, dan Kebijakan Nasional terkait lainnya.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
51
Pada bagian ini akan dibahas mengenai Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures dalam Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia. Dalam Agreement On Import Licensing Procedures salah satu ketentuanya mengatur mengenai kewajiban anggota WTO untuk menyesuaikan peraturan domestiknya di bidang impor dengan ketentuan yang ada dalam Agreement On Import Licensing Procedures sebagaimana diatur dalam Article 8.2 (a) sebagai berikut : “Each Member shall ensure, not later than the date of entry into force of the WTO Agreement for it, the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with the provisions of this Agreement”54. Dalam melakukan analisis mengenai kesesuaian kebijakan impor tekstil Indonesia dengan Agreemen on Import Licensing Procedures, akan digunakan beberapa article di dalam Agreement on Import Licensing Procedures untuk menguji apakah kebijakan impor tekstil Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Perindustiran
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang kemudian direfisi dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), peraturan ini kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT), untuk mengetahui apakah kebijakan impor tekstil Indonesia telah sesuai atau mengacu kepada agreement ini, berikut ini analisisnya : 4.6.1
Ketentuan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang mengatur “tekstil hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil)”55, ketentuan tersebut kembali diatur dalam Pasal yang sama pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil 54
WTO Agreement, Agreement On Import Licensing Procedures, Op. cit., Article 8.2 (a).
55
Indonesia, Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil, Op. cit., Ibid, 2.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
52
dan Produk Tekstil (TPT), peraturan ini kemudian dicabut dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) juga kembali mengatur hal tersebut dalam Pasal 2 ayat (1). Ketentuan dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang mengatur “Pengakuan atau penolakan sebagai IP Tekstil diterbitkan paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima”56 juga kembali diatur dalam pasal yang sama pada Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
19/M-DAG/PER/9/2005
tentang
Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), bahkan terakhir dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) menyebutkan Direktur menerbitkan pengakuan atau penolakan pengakuan sebagai IP-Tekstil dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Ketentuan dalam kebijakan-kebijakan impor tekstil ini akan diuji kesesuaiannya dengan Article 2 Agreement on Import Licensing Procedures mengenai automatic import licensing, sebagai berikut 57: Article 2 Automatic import licensing is defined as import licensing where approval of the application is granted in all cases, and which is in accordance with the requirements of paragraph 2(a). Paragraf 2 (a) Automatic licensing procedures shall not be administered in such a manner as to have restricting effects on imports subject to automatic licensing. Automatic licensing procedures shall be deemed to have trade-restricting effects unless, inter alia: (i)
any person, firm or institution which fulfils the legal requirements of the importing Member for engaging in import operations involving products subject to automatic licensing is equally eligible to apply for and to obtain import licences;
56
Ibid, Pasal 4.
57
WTO Agreement, Agreement On Import Licensing Procedures, Op. cit., Article 2.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
53
(ii)
applications for licences may be submitted on any working day prior to the customs clearance of the goods; (iii) applications for licences when submitted in appropriate and complete form are approved immediately on receipt, to the extent administratively feasible, but within a maximum of 10 working days; Untuk menganalisis kesesuaian tersebut diatas, terlebih dahulu akan di jelaskan mengenai definisi Importir Produsen (IP) sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya dalam Pasal 1 huruf c sebagai berikut “IP adalah Importir Produsen yang disetujui untuk mengimpor sendiri barang bukan limbah yang diperlukan semata-mata untuk proses produksinya”58. Pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) tidak hanya diberikan kepada perusahaan domestik saja melainkan diberikan juga kepada perusahaan Penanaman Modal Asing sepanjang memenuhi persyaratan untuk mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) seperti yang telah dibahas sebelumnya, dengan demikian permasalahan mengenai impor tekstil yang hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil) terbukti merupakan automatic import licensing dan konsisten dengan Agreement on Import Licensing Procedures, karena sepanjang perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan untuk mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen (IP) maka perusahaan tersebut memperoleh pengakuan sebagai Importir Produsen. Pengakuan atau penolakan sebagai IP Tekstil diterbitkan paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima, hal ini juga konsisten dengan Article 2 Paragraf 2 (a) angka (iii) Agreement on Import Licensing Procedures yang mengatur pembatasan waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan untuk mendapat pengakuan atau penolakan permohonan izin tersebut. Bahkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) penerbitkan pengakuan atau penolakan
58
Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya, Op. cit., Pasal 1 Huruf C.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
54
pengakuan sebagai IP-Tekstil hanya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Demikian analisis yang penulis coba paparkan, berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia yang memuat ketentuan hanya Importir Produsen (IP) yang dapat mengimpor tekstil dan mengenai batas waktu minimal untuk mendapat pengakuan atau penolakan sebagai Importir Produsen (IP) sudah sesuai atau konsisten dengan Agreement on Import Licensing Procedures. 4.6.2
Persyaratan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) Untuk mengetahui gambaran apakah ketentuan persyaratan untuk
mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) sudah sesuai dengan ketentuan Agreemen on Import Licensing Procedures, maka akan digunakan beberapa Artilce dalam Agreement ini untuk menganalisisnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam Article 1.2 Agreement on Import Licensing Procedures mengatur bahwa: “Members shall ensure that the administrative procedures used to implement import licensing regimes are in conformity with the relevant provisions of GATT 1994 including its annexes and protocols, as interpreted by this Agreement, with a view to preventing trade distortions that may arise from an inappropriate operation of those procedures, taking into account the economic development purposes and financial and trade needs of developing country Members”. 59 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka para anggota WTO harus memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam General Agreement On Tariff and Trade 1994 (GATT 1994) yang relevan, termasuk segala lampiran dan protokolnya, sebagaimana ditafsirkan di dalam Persetujuan ini, dengan tujuan mencegah distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedur-prosedur tersebut yang tidak wajar, dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan kebutuhan keuangan dan perdagangan dari negara berkembang yang menjadi anggota WTO. Untuk lebih memperdalam analisis tersebut, digunakan juga Article 1.6 59
WTO Agreement, Agreement on Import Licensing Procedures, Op. cit., Article 1.2.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
55
Agreemen on Import Licensing Procedures sebagai berikut : “Application procedures and, where applicable, renewal procedures shall be as simple as possible. Applicants shall be allowed a reasonable period for the submission of licence applications. Where there is a closing date, this period should be at least 21 days with provision for extension in circumstances where insufficient applications have been received within this period. Applicants shall have to approach only one administrative body in connection with an application. Where it is strictly indispensable to approach more than one administrative body, applicants shall not need to approach more than three administrative bodies”.60 Dalam article ini dapat dijabarkan bahwa prosedur-prosedur permohonan dan, apabila ada prosedur perpanjangan harus sesederhana mungkin. Para pemohon harus diberikan jangka waktu yang wajar bagi pengajuan permohonan izin. Apabila ada tanggal penutupan jangka waktu tersebut hendaknya tidak kurang dari 21 hari disertai ketentuan bagi perpanjangan dalam keadaan jumlah permohonan yang diterima dalam jangka waktu itu belum cukup. Apabila benarbenar diperlukan untuk menghubungi lebih dari satu instansi administratif, para pemohon hendaknya tidak perlu menghubungi lebih dari tiga instansi administratif. Hal ini bertujuan untuk lebih mengefisiensikan waktu dalam pengurusan prosedur impor tersebut. Kedua article inilah yang akan digunakan sebagai dasar pengujian terhadap ketentuan mengenai persyaratan untuk mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) dalam ketentuan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia. Ketentuan mengenai impor Tekstil dan Produk Tekstil yang hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen Teksitl (IP-Tekstil) tidaklah mutlak, karena dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) terdapat pengecualian terhadap impor Tekstil dan Produk Tekstil yang dapat dilakukan oleh perusahaan non Importir Produsen Tekstil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 peraturan ini. Ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) telah diatur dalam Pasal 3 ayat (2)
60
Ibid., Article 1.6.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
56
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
15/M-
DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT), untuk dapat diakui sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) sebagaimana dimaksud perusahaan yang bersangkutan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur dengan melampirkan 61: a. Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri atau Izin Usaha lain yang setara dari Departemen Teknis/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha tersebut; b. Nomor Pengenal Importir Khusus Tekstil dan Produk Tekstil (NPIKTPT); c. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T); d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); e. Nomor Identitas Kepabeanan (NIK); f. Rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri, Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian;dan
Dalam Pasal 3 ayat (2) ini, apabila dikaji mengenai instansi yang terkait dalam hal penerbitan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) maka disini terdapat 3 (tiga) instansi, berikut ini analisisnya : 1. Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri atau Izin Usaha lain yang setara dari Departemen Teknis/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha tersebut. Artinya izin yang dimaksud diperoleh dari salah satu instansi tersebut; 2. Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, mengenai Nomor Pengenal Importir Khusus Tekstil dan Produk Tekstil (NPIK-TPT). Dan huruf c, Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T). instansi
yang
menerbitkan
(NPIK-TPT)
maupun
(API-TPT)
adalah
Departemen Perdagangan. 3. Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dan huruf e, mengenai Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), keduanya diterbitkan oleh Departemen Keuangan; dan 4. Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f, mengenai Rekomendasi dari Direktur Jenderal 61
Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil, Op. cit., Pasal 3 Ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
57
Industri, Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian, sudah jelas diterbitkan oleh Departemen Perindustrian. Untuk mempertegas analisi penulis mengenai hanya terdapat 3 (tiga) instansi yang terkait dalam penerbitan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) adalah sesuai dengan ketentuan Article 1.6 , maka dapat diuraikan bahwa ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf f dapat diartikan hanya 1 (satu) instansi saja yang menerbitkan izin atau rekomendasi. Berdasarkan analisis tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa ketentuan mengenai persyaratan unutk mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) adalah konsisten atau sesuai dengan Agreement on Import Licensing Procedures.
4.7 Permasalahan Hukum Terkait Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia Ditinjau Dari Agreement On Import Licensing Procedures Untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
contoh
permasalahan
hukum/contoh kasus tekait kebijakan impor tekstil Indonesia ditinjau dari agreement on import licensing procedures, penulis mengambil contoh kasus mengenai keberatan Amerika Serikat atas kebijakan impor tekstil Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustiran dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Berikut ini posisi kasus yang penulis coba uraikan.
4.7.1
Latar Belakang Penerbitan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil Pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri
Perindustrian
Dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Lahirnya kebijakan ini
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
58
dalam rangka mencegah beredarnya tekstil impor ilegal di pasaran Indonesia yang menimbulkan perdagangan tidak adil dan mengakibatkan kerugian terhadap tekstil produksi dalam negeri serta guna mempertahankan iklim usaha tetap kondusif. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil diantaranya mengatur sebagai berikut : 1. Ketentuan mengenai jenis-jenis tekstil tertentu yang dapat diimpor sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Keputusan ini diatur dalam Pasal 1; 2.
Ketentuan bahwa impor tekstil hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1); dan
3. Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan sebagai IP Tekstil wajib menyampaikan laporan realisasi impor secara tertulis kepada Direktur Impor Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya importasi tekstil tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1). Ketiga pokok-pokok pengaturan dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil ini ternyata akhirnya menuai protes atau keberatan dari Amerika Serikat.
4.7.2
Keberatan Amerika Serikat Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil Berdasarkan dokumen WTO G/LIC/Q/IDN/2, tanggal 1 Oktober 2003
perihal pertanyaan Amerika Serikat mengenai Tata Niaga Impor Tekstil Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil, berikut ini isi dari pertanyaan Amerika Serikat 62: “The government of the United State remains concerned that all importers must submit a montly report to the Minister of Trade that tracks each importation of applicable fabric by date, destination, quantity, price, duty 62
Lihat Understanding on Procedures for the Review of Notifications (G/LIC/2)
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
59
and country of origin. This requirenment, as well as the requirenment to submit a yearly Statement of Plan, in order to recive an import license places an undue burden on importers and may deter legitimate trade. It appear that the decree is use to restrict and distort trade. It requires that fabric must be imported only by manufacturers and may not be sold or otherwise transferred to other legitimate buyers. This unnecessarily limits the market for imported fabric, gives discreation to domestic producer to limit import competition, and unfairly restricts access to imported fabrics by retail customers and other distributors. If domestically produced, fabrics identical to those listed in Attachment 1 of the Decree may be freely sold or otherwise transferred without such licensing procedures or the paperwork requirenments imposed on purchasers of imported fabric, e.g., montly reports submission of a yearly Statement of Plan.
The United State requests that Indonesia clarify in what way the Decree constitutes either “aoutmatic licensing” as define in Article 2 of the Agreement on Import Licensing Procedures or “non-aoutomatic licensing” as define in Article 3 of that Agreement. Indonesia’s response to the United States and in G/LIC/Q/IDN/5 (6ii) and Australia in G/LIC/Q/IDN/6 specially states that the 10 day period required for licensing is “mush less than period for in Article 3.5(f) of the Agreement on Import Licensing Procedures which requires 30 day working days to be approved,” an indicator that non- aoutomatic licensing should be applicable. However, in G/LIC/Q/IDN/8 Indonesia states that license I “aoutomatic”. In addition to response to the foregoing question, we request that Indonesia report to the Committee as soon as possible on the result of the government of Indonesia’s studies on this issue as soon as possible.
Pada intinya terdapat 3 (tiga) isu menurut Amerika Serikat yang mengindikasikan bahwa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil ini membatasi dan mendistorsi perdagangan dan Amerika Serikat mengaggap bahwa ketentuan itu sebagai bentuk hambatan karena bersifat non automatic licensing yang diterapkan Indonesia, yakni : 1. Pembatasan penggunaan jenis tekstil tertentu serta siapa saja (Perusahaan) yang dapat mengimpornya, Amerika beranggapan hanya importir lokal saja yang dapat mengimpor; 2. Masalah persyaratan bahwa importir harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu baik jumlah maupun waktu pengimporannya dimana menurut Amerika Serikat hal ini berarti tidak otomatis disetujui;
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
60
3. Persyaratan laporan bulanan apabila tidak dilaksanakan oleh importir akan mengakibatkan tidak diberikannya izin impor selanjutnya. Pemerintah Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk segera merevisi atau menghapus aturan tertentu mengenai impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT). Salah satunya adalah aturan yang menyebutkan bahwa tekstil hanya dapat diimpor oleh Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil), seperti telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Keberatan Amerika Serikat juga dikarenakan kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia yang mengatur bahwa importasi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil) yang memiliki Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) saja. Amerika Serikat menginginkan agar Indonesia menghapus kebijakan tersebut atau setidak-tidaknya merubah peraturan tersebut dan disesuaikan dengan ketentuan dalam Agreement on Import Licensing Procedures-WTO.
4.7.3
Proses Penyelesaian Permasalahan Berikut ini mengenai Proses Penyelesaian Permasalahan atas pertanyaan
Amerika Serikat terhadap kebijakan impor tekstil Indonesia : 1. Committee on Import Licensing WTO telah menyelenggarakan Sidang di Jenewa pada tanggal 30 Oktober 2006. Sidang dihadiri oleh Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dari Departemen Perdagangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Atase/Kepala Bidang Perdagangan. Sidang tersebut telah membahas isi pokok yang menjadi kepentingan Indonesia antara lain menyangkut : a) Pertanyaan Amerika Serikat atas Kebijakan Impor Tekstil Indonesia; b) Notifikasi Kebijakan Impor; dan c) Draft Report (2006) of the Committee to the Council for Trade in Goods. 2. Pertanyaan Amerika Serikat atas Kebijakan Impor Tekstil Indonesia dijawab pada giliran kedua dalam session pertama Sidang Committee Import Licensing, Indonesia memberikan tanggapan melalui pernyataan sebagai jawaban atas pertanyaan Amerika Serikat yang telah dinotifikasi dalam
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
61
dokumen G/LIC/Q/IDN/8 tanggal 11 Juli 2006. Adapun isi dari jawaban Indonesia atas pertanyaan Amerika Serikat mencakup 3 (tiga) sebagai berikut63: 1. (the first concern) The Decree (No. 732/MPP/Kep/10/2002 date 22 October 2002 does not have any provision to prohibit foreign company(ies) to be an approved imported and has the authorization to import certain fabrics. As we have explained in our replies (see G/LIC/Q/IDN/2, 1 October 2003), license to be an approved imported will be automatically granted soon after the application has been fulfilled with all requirements. This license is open to any bonafide company. 2. (the second concern) We confirm that this license is an “automatic license” and not “non automatic license” as the Decree does not specipically request the company to have recommendation from other ministries but should fulfill all of the requirements in order to meet the administrative procedures. And we have explained above that as long as all requirements have been fulfill, an import license will be automatically granted. 3. (the third concern) We fully agree with US views that all importers should submit such a montly report to Minister (now is the Minister of Trade) that tracked each importation of fabric by date, destination, quantity, price, duty and country of origin. And the failure to submit the report will result in suspension of approval of import licenses as a penalty. As wea are all aware that to combat the smuggling activities is the idea behind this regulation/decree. Indonesia is a country of archipelago which consists of thousand islands (around 17.000 islands among which 5 island are big). There are many entery port (most of them are small) found all over Indonesia whish are very difficult to controlin particulare the smuggling activities. Huge illegal textile (including cloting) with low price were flooding the domestic market whish is finally resulting in the collapse of many domestic textile producers. This situation has created an unhealthy competition between illegal textile products and domestic textiles products which has create jobless. Unemployment was found everywhere, the purchasing power has been significantly decreased and finally they to occurred social riots. Finally, this decre is intended to protect million of poor labours working in the textile sector. 63
WTO, Committee on Import Licensing, G/LIC/IDN/8, tanggal 11 July 2008, Notification Under Article 5 Of The Agreement On Import Licensing Procedures From Indonesia, Replies from Indonesia to questions from the United State.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
62
Dalam jawabannya Indonesia menegaskan bahwa Kepmenperindag No. 732/MPP/Kep/10/2002 tidak menghambat perusahaan asing untuk mendapat persetujuan sebagai importir selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri ini. Keputusan Menteri ini juga bersifat otomatis, karena Keputusan Menteri ini tidak secara spesifik meminta rekomendasi dari instansi lain tetapi harus memenuhi persyaratan administrasi, maka selama perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan administrasi tersebut secara otomatis ijin impor akan dikeluarkan untuk perusahaan tersebut. Indonesia menggunakan alasan penyelundupan yang berpotensi akan sering terjadi mengingat Indonesia negara kepulauan, maka Keputusan Menteri ini dijadikan salah satu alat untuk mencegah penyelundupan dengan cara mendata setiap kegiatan importasi yang dilakukan perusahaan. Akan tetapi Amerika Serikat tidak puas atau tidak setuju dengan jawaban Indonesia yang termuat dalam G/LIC/Q/IDN/8 yang menganggap bahwa Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil bersifat otomatis. Amerika Serikat meminta ketegasan bahwa Keputusan dimaksud bersifat nonotomatis. Amerika Serikat juga meminta penjelasan lebih lanjut tentang notifikasi atas hasil studi Indonesia mengenai dampak penyelundupan yang dipakai sebagai dasar pembuatan Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil tersebut. Hasil studi yang termuat dalam notifikasi jawaban Indonesia G/LIC/Q/IDN/8 diminta untuk segera disampaikan kepada Committee on Import Licensing WTO. Amerika Serikat kembali mempertanyakan hal yang sama dengan pertanyaan
terdahulu,
pertanyaan
kali
ini
termuat
dalam
dokumen
G/LIC/Q/IDN/7/Add.1 tanggal 8 Januari 2007. Indonesia pun kembali menyampaiakan jawaban melalui notifikasi atas pertanyaan Amerika Serikat tersebut, tetapi notifikasi kali ini merupakan pemberitahuan bahwa Keputusan Menteri
Perindustrian
Dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil telah diamandemen
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
63
dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil, dalam notifikasi kali ini Indonesia menegaskan kembali bahwa kebijakan di bidang impor tekstil Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Kebijakan Impor Tekstil dan Produk Tekstil adalah bersifat otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan ini. Dalam notifikasi ini juga disebutkan Direktur Jenderal menerbitkan pengakuan atau penolakan pengakuan sebagai IP-Tekstil atas permohonan dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.
4.7.4
Analisis Penulis Mengenai Kasus Hukum Terkait Keberatan Amerika Serikat Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil Dalam melakukan analisis terhadap kasus ini, penulis akan mencoba
memfokuskan pada pokok permasalahan yang menyebabkan timbulnya pertanyaan atau keberatan dari Amerika Serikat atas Kebijakan Indonesia di bidang tekstil yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil dengan cara menjawab satu persatu dari pertanyaan dari Amerika Serikat tersebut. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa terdapat 3 (tiga) pokok pertanyaan Amerika Serikat atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang dinilai tidak konsisten dengan Agreement on Import licensing Procedures – WTO. Berikut ini adalah pertanyaan yang diajukan Amerika Serikat terkait kebijakan impor tekstil dan produk tekstil Indonesia dan jawaban serta analisis yang coba penulis uraikan : Pertanyaan : 1. Pembatasan penggunaan jenis tekstil tertentu, serta siapa saja (Perusahaan) yang dapat mengimpornya, Amerika beranggapan hanya importir lokal saja yang dapat mengimpor.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
64
Jawaban dan Analisis Penulis : Setidaknya terdapat 3 (tiga) poin yang dipertanyakan Amerika Serikat dalam pertanyaan pertama ini, berikut ini analisis pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan tersebut yang penulis coba uraikan, yaitu : a. Pembatasan jenis tekstil Bahwa dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil dalam Pasal 1 Keputusan ini yang dimaksud dengan Tekstil adalah tekstil lembaran yang termasuk dalam Pos Tarif HS sebagaimana dimaksud Lampiran 1 Keputusan ini.
Sudah jelas disebutkan dalam
konsideran menimbang Keputusan Menteri ini adalah dalam rangka mencegah beredarnya tekstil impor ilegal di pasaran Indonesia yang menimbulkan perdagangan tidak adil dan mengakibatkan kerugian terhadap tekstil produksi dalam negeri serta guna mempertahankan iklim usaha tetap kondusif. Jadi menurut penulis, alasan hukum dari pembatasan jenis tekstil tersebut adalah dalam rangka mencapai tujuan dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini yang tertuang dalam konsideran menimbang tersebut. Dengan dibatasi jenis tekstilnya maka diharapkan akan mempermudah pengawasannya.
b. Pembatasan perusahaan yang dapat menjadi pelaku impor; Dalam Keputuasn Menteri ini sama sekali tidak membatasi perusahaan yang dapat menjadi pelaku impor. Bahwa memang dalam Pasal 2 ayat (1) yang intinya mengatur tekstil hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Tekstil (IP Tekstil), tetapi ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Pengakuan IP Tekstil ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Perusahaan dapat mengajukan Permohonan Tertulis untuk dapat diakui sebagai IP Tekstil kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
65
Perindustrian dan Perdagangan, dengan syarat-syarat yang telah diatur pada ayat (2) Keputusan Menteri ini. Artinya bahwa tidak ada pembatasan bagi perusahaan untuk mendaptkan Pengakuan sebagai IP Tekstil, selama perusahaan yang mengajukan permohonan tertulis untuk mendapat pengakuan sebagai IP Tekstil tersebut memenuhi syarat, maka perusahaan tersebut secara otomatis akan mendapatkan pengakuan sebagai IP Tekstil, dan dapat melakukan importasi tekstil. Sementara ketentuan mensyaratkan kepemilikan Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) untuk dapat diakui sebagai Importir Produsen Tekstil (IP-Tekstil), ketentuan Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) telah diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK), dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri ini disebutkan bahwa “Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) adalah tanda pengenal sebagai importir khusus yang harus dimiliki setiap perusahaan yang melakukan perdagangan impor barang tertentu”64, diatur juga dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai berikut “Perusahaan yang akan melakukan impor barang tertentu harus memiliki NPIK” 65.
c. Amerika beranggapan hanya importir lokal yang dapat melakukan importasi tekstil Dalam Keputusan Menteri ini tidak ada satu pasal pun yang mengatur mengenai larangan perusahaan asing untuk melakukan importasi tekstil. Seperti diketahui, jawaban yang diberikan Pemerintah Indonesia atas protes Amerika Serikat tersebut menyatakan, perusahaan asing tidak dilarang untuk mendapatkan Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) asalkan persyaratannya dipenuhi. Pemegang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) hanya diwajibkan melaporkan realisasi impornya, jika tidak izin impornya bisa dihambat. Kebijakan tersebut diambil pemerintah 64
Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK), Pasal 1 ayat (1). 65
Ibid., Pasal 2 ayat (2).
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
66
Indonesia untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik penyelundupan atau impor illegal. Pertanyaan : 2. Masalah persyaratan bahwa importir harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu baik jumlah maupun waktu pengimporannya menurut Amerika Serikat hal ini berarti tidak otomatis disetujui dan larangan untuk memperjual belikan tekstil yang di impor. Jawaban dan Analisis Penulis : Pertanyaan nomor 2 (dua) tersebut diatas terdiri dari 2 (dua) poin pertanyaan, yaitu : A. Mengenai persyaratan bahwa importir harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan importasi baik jumlah maupun waktu pengimporannya, analisis penulis berdasarkan pada : 1. Ekspor TPT ke negara tradisonal (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Turki dan Norwegia) mulai dikenakan kuota oleh negara pengimpor sejak sekitar tahun 1980 dibawah kerangka kesepakatan Multi Fibre Arrangements (MFA). 2. Dengan telah
disepakatinya
hasil Putaran Uruguay pada tanggal 15 April 1994 di
Marrakesh, maka Perjanjian Tekstil dan Pakaian Jadi sesuai kesepakatan GATT segera diimplementasikan
bersamaan
dengan
pembentukan
Organisasi
Perdagangan
Dunia(WTO).
3.
Prinsip
Utama dari isi perjanjian Tekstil Pakaian Jadi adalah bahwa
perdagangan TPT dunia yang selama ini diatur dalam MFA yang memperkenankan adanya pembatasan impor melalui system kuota akan dikembalikan ke dalam aturan GATT dengan masa peralihan selama 10 tahun sejak tahun 1994 dan terbagi dalam 4 tahap, yaitu : a. Tahap I: 16% dari total daftar TPT sejak 1 Januari 1995 untuk masa 1 (satu) tahun. b. Tahap II: 17% dari total daftar TPT (menjadi 33%) sejak 1 Januari 1998 untuk masa 3 (tiga) tahun. c. Tahap III: 18% dari total daftar TPT (menjadi 51%) sejak 1 Januari 2002 untuk masa 7(tujuh) tahun. d. Tahap IV: Selebihnya 49% dari total daftar TPT (100%) berakhir 1 Januari 2005 untuk masa 10 (sepuluh) tahun. 4. Indonesia adalah salah satu negara bekembang pengekspor TPT yang
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
67
tergabung dalam kelompok organisasi International Textile and Clothing Bureau
(ITCB),
bersama
negara-negara
berkembang
lain
untuk
memperjuangkan masa proses integrasi Multi Fibre Arrangement (MFA) ke dalam ketentuan GATT/WTO dalam waktu 10 tahun (sejak diberlakukannya Persetujuan Pembentukan WTO). Pengaturan TPT berbeda dengan pada masa GATT dimana MFA berada di luar pengaturan GATT, maka pada masa berdirinya WTO ini, terhadap pengaturan TPT dilakukan proses integrasi yaitu memasukan TPT terikat ke dalam kelompok Multilateral Trade in Goods yaitu dalam Agreement on Textiile and Clothing (ATC). 5. Dengan demikian, setelah tahun ke 10 perdagangan TPT dunia menjadi bebas dari systemn kuota tepatnya pada tanggal 1 Januari 2005. Indoensia selama ini tidak pernah melakukan hambatan impor apapun terhadap
komoditi
TPT
dan
tetap
melaksanakan
komitmen
untuk
mengintegrasikan TPT dalam Persetujuan yang telah di sepakati dalam Uruguay. Hal yang mendapat perhatian Indonesia dalam masa transisi MFA ke dalam
ketentuan
GATT/WTO
adalah
ketentuan
mengenai
adanya
penanggulangan mewaspadai tindakan anti circunvention yaitu upaya pengelakan yang diterapkan oleh negara pengimpor terhadap kesepakatan persetujuan, yakni dengan membuat ketentuan untuk memantau secara ketat mengenai ekspor TPT ke negara kuota maupun ke negara non kuota. Indonesi secara terus menerus mengamati sejauh mana negara-negara pengimpor melaksanakan komitmen penghapusan hambatan kuantitatif (kuota) secara bertahap sesuai persetujuan di bidang TPT hasil putaran Uruguay, sehingga terlihat seberapa jauh Indoensia dapat memanfaatkan adanya penghapusan hambatan kuantitatif tersebut di negara pengimpor. Dalam hal tahap awal proses integrasi dimana negara pengimpor ternyata tidak melakukan pengahapusan secara bertahap hambatan kuantitatif dimaksud karena dianggap masih sensitive oleh negara pengimpor tersebut, dalam hal ini perlu dilakukan upaya memanfaatkan dengan cara mengembangkan industri dan investasi di bidang TPT yang diarahkan kepada
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
68
produk yang di negara pengimpor telah dihapuskan hambatan kuantitatifmya. B. Adanya larangan untuk meperjual belikan tekstil yang di impor oleh importir produsen tekstil (IP-Tekstil) sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Tekstil yang di impor hanya dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan dilarang diperjual belikan maupun dipindah tangankan. Hal ini bertujuan untuk melindungi industry tekstil dalam negeri.
Pertanyaan : 3. Persyaratan laporan bulanan apabila tidak dilaksanakan oleh importir akan mengakibatkan tidak diberikannya izin impor selanjutnya. Jawaban dan Analisis Penulis : Dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil, mengatur Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan sebagai IP Tekstil wajib menyampaikan laporan realisasi impor secara tertulis kepada Direktur Impor Departemen Perindustrian dan Perdagangan setiap bulan tentang dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya importasi tekstil tersebut. Hal ini juga bertujuan untuk tertib administrasi seperti yang telah dikemukakan dalam jawaban kedua. Tidak diberikannya izin impor apabila tidak menyampaikan laporan realisasi impor tiap bulan merupakan sanksi atas kelalaian karena tidak menyampaikan laporan tersebut. Dalam hal ini juga ada mekanismenya, sesuai ketentuan dalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Pada ayat (1) disebutkan Pengakuan IP Tekstil dibekukan apabila perusahaan didak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan tertulis (laporan realisasi impor) sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian ada pengaturan mengenai pencairan kembali atas pengakuan IP Tekstil sebagaimana diatur pada ayat (2) disebutkan Pembekuan pengakuan sebagai IP Tekstil dapat dicairkan apabila peprusahaan telah memenuhi segala kewajibannya kembali dalam hal ini
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
69
adalah menyampaiakan laporan realisasi impor. Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pemerintah Indonesia menegaskan kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia sudah konsisten dengan ketentuan Agreement on Import Licensing Procedures seperti telah di analisis oleh penulis pada bagian terdahulu.
4.8 Analisis Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures Dalam Komoditi Tekstil Dan Produk Tekstil Agar Dapat Melindungi Kepentingan Indonesia. Dengan berkembang pesatnya perdagangan internasional saat ini telah mendorong keterbukaan pasar, sehingga menimbulkan persaingan pasar yang semakin ketat terhadap barang impor di Indonesia yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepentingan pembangunan ekonomi nasional, demikian halnya dengan impor tekstil. Mengenai bagaimana seyogyanya penerapan agreement on import licensing procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia, penulis menggunakan Theory of Justice yang diperkenalkan oleh Aristoteles dan Garcia sebagai landasan teoritis dalam melakukan analisis, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab terdahulu bahwa pada intinya theory of justice itu menjelaskan bagaimana hukum atau sebuah kebijakan mempengaruhi kehidupan sosial dengan prinsip-prinsip teknis dalam pengaturan penerapan hukum itu sendiri. Hal lain yang penting dari Theory of justice dalam kaitannya dengan perdagangan internasional adalah (1) Secara normatif adalah untuk menghindari konflik dan kerancuan institusionel maupun doktrinal, (2) Untuk memulihkan keadaan-keadaan akibat kegagalan-kegagalan dalam penerapan “free trade”, (3) Sebagai penekanan bahwa kewajibankewajiban moral liberal harus diterapkan sama. Berdasarkan landasan teori tersebut, maka seyogyanya agreement on import licensing procedures harus benar-benar mencerminkan sebuah keadilan dalam kegiatan perdaganan internasional yang bebas, dengan terciptanya keadilan tersebut maka dapat meminimalisir terjadinya konflik dalam praktek perdagangan internasional.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
70
Timbulnya permasalahan hukum dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil Indonesia, dimana kebijakan tersebut dianggap oleh Amerika Serikat bertentangan dengan agreement on import licensing procedures, hal ini mencerminkan bahwa dalam merumuskan kebijakan impor harus mencerminkan keadilan sebagaiman dijelaskan dalam theory of justice bahwa kebijakan hukum itu akan mempengaruhi kehidupan sosial, dan kebijakan hukum yang dibuat khususnya kebijakan hukum yang terkait dengan perdagangan internasional harus menghindari adanya konflik. Seperti telah dijelaskan terdahulu, bawha rezim kebijakan impor tekstil di Indonesia dimulai pada era tahun 2002 Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang kemudian menuai keberatan dari Amerika Serikat, kemudian di era tahun 2005 Pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan merevisi Keputusan Menteri tersebut dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dan terakhir peraturan ini dicabut oleh Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT). Apabila memperhatikan serangkain kebijakan yang terus mengalami penyempurnaan tersebut, maka pada intinya adalah Pemerintah menginginkan bahwa kebijakan yang diterbitkan dapat dilaksanakan dengan efektif. indikator bahwa kebijakan tersebut efektif adalah berkurangnya tekstil yang masuk ke Indonesia secara illegal, terciptanya iklim usaha tetap kondusif, hal ini sesuai dengan landasan filosofis diterbitkannya Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Berbicara mengenai bagaimana seyogyanya penerapan agreement on import licensing procedures WTO dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia. Maka penulis berpendapat bahwa : 1. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan di bidang impor tekstil dan produk tekstil harus tetap mengacu kepada agreement on import licensing procedures WTO;
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
71
2. Selain tetap mengacu kepada agreement on import licensing procedures WTO dalam merumuskan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil, pemerintah juga harus mempertahankan iklim usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap kondusif di pasar dalam negeri, hal ini dapat tercapai dengan cara melibatkan pelaku usaha dalam setiap perumusan kebijakan tersebut. Dua hal tersebut menurut penulis yang merupakan pilar penting dalam pencapaian tujuan agar penerapan agreement on import licensing procedures WTO dalam komoditi tekstil dan produk tekstil dapat melindungi kepentingan Indonesia.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
72
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Penulisan tesis ini menggunakan landasan teoritis Theory of Justice yang diperkenalkan oleh Aristoteles dan Garcia dalam menganalisa terhadap globalisasi dan perdagangan internasional di Indonesia, terutama dalam kaitannya mengenai pengaturan Agreement on Import Licensing Procedures dalam WTO, penerapan Agreement on import licensing procedures di Indonesia, mengenai penerapan Agreement on import licensing procedures dalam kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia dan bagaimana seyogyanya Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures dalam komoditi tekstil dan produk tekstil agar dapat melindungi kepentingan Indonesia. Teori ini terdiri dari distributive justice dan rectificatory justice seperti yang telah diuraikan dalam kerangka teoritis dan konseptual. Pada dasarnya distributive Justice adalah peristiwa apabila hukum mempengaruhi alokasi manfaat-manfaat sosial. Rectificatory Justice pada intinya ukuran dari prinsipprinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Apabila mengkaji mengenai rectificatory justice, maka diperoleh gambaran bahwa pada intinya rectificatory justice meliputi pemulihan Keadaan terhadap keuntungan yang diperoleh secara tidak wajar. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh secara tidak wajar sering dijumpai pada persaingan internasional dalam kaitannya dalam pangsa pasar sebagai hasil liberalisasi perdagangan. Satu contoh mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan jenis ini adalah panel WTO, yang merupakan lembaga untuk penerapan antarlembaga prinsip-prinsip “corrective justice” terhadap situasi-situasi dalam hal perolehan keuntungan dari satu negara atau perusahaanperusahaan dari suatu negara dipertanyakan. Teori keadilan distributive dari Aristoteles ini dipergunakan untuk mengukur mengenai keadilan seharusnya diperoleh Indonesia sebagai negara
72 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
73
berkembang dalam menyepakati Agreement on Import Licensing Procedures, dan apakah kebijakan impor tekstil dan produk tekstil di dalam negeri sudah sesuai dengan ketentuan agreement on import licensing procedures. Garcia juga mengemukakan Theory of Justice liberal di bidang perdagangan internasional, menurut Garcia teori ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut66: 1. Hukum perdagangan internasional yang adil harus dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi kesetaraan moral seluruh individu yang terpengaruh olehnya. Hal ini meliputi komitmen terhadap free trade sebagai perinsip ekonomi, utamanya untuk mempertahankan prasyarat liberal bagi keadilan. 2. Teori liberal tentang perdagangan yang adil mempersyaratkan bahwa hukum perdagangan internasional harus beroperasi sedemikian rupa untuk kepentingan negara-negara yang paling tidak diuntungkan, dengan demikian menggaris bawahi pentingnnya prinsip ”special and differential treatment” sebagai justifikasi bagi hukum perdagangan internasional. 3. ”liberal Justice” mempersyaratkan bahwa hukum perdagangan internasional tidak mengorbankan hak-hak asasi manusia, dan perlindungan yang efektif terhadap hak-hak asasi manusia, dalam rangka pencapaian keuntungan. Pada dasarnya “Theory of Justice” dibutuhkan dalam hukum perdagangan internasional paling tidak untuk tiga hal: 1. Secara normatif adalah untuk menghindari konflik dan kerancuan institusionel maupun doktrinal.67 2. Untuk memulihkan keadaan-keadaan akibat kegagalan-kegagalan dalam penerapan “free trade”.68 3. Sebagai penekanan bahwa kewajiban-kewajiban moral liberal harus diterapkan sama.69 Berdasarkan teori tersebut, setelah melakukan kajian tentang penerapan Agreement on Import Licensing Procedures di Indonesia khususnya terhadap 66
Agus Brotosusilo, “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang Undang Anti Dumping Dan Safeguard,” ( Ringkasan Disertasi,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), Op. cit., hal. 9. 67
Ibid.
68
Ibid.
69
Ibid.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
74
kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), penulis berkesimpulan teori ini sangat sesuai dengan penulisan tesis ini. Berdasarkan kajian-kajian yang telah dilakukan penulis, maka untuk mendapatkan gambaran mengenai bagaimana pengaturan Agreement on Import Licensing Procedures dalam WTO dan bagaimana penerapannya di Indonesia khususnya dalam kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Import Licensing merupakan prosedur administratif yang digunakan sebagai persyaratan didalam pengajuan permohonan atau dokumentasi tertentu kepada badan administrasi yang berwenang dan harus dipenuhi sebelum proses impor barang. Persetujuan Agreement On Import Licensing Procedures adalah bagian dari Single Undertaking Putaran Uruguay dan terdapat di Annex A GATT–1994. Tujuan dari Agreement On Import Licensing Procedures antara lain adalah untuk70: a. Mempermudah dan menjamin transparansi terhadap prosedur kebijakan impor; b. Sistem administrasi yang adil dan transparan; dan c. Mencegah terjadinya efek restrictive dan distortive di dalam peraturan impor. Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun satu kali setiap akhir bulan September. Notifikasi ini akan direview oleh Committee on Import Licensing setiap dua tahun satu kali. Terdapat 2 (dua) jenis Import Licensing, sebagai berikut : 1) Automatic Import Licensing Automatic import licensing (lisensi impor otomatis) adalah lisensi impor yang aplikasinya pasti disetujui dalam kasus apapun. Prosedur lisensi impor otomatis ini juga tidak boleh diterapkan sedemikian rupa sehingga menjadi hambatan perdagangan. 2) Non-Automatic Import Licensing Non-automatic import licensing (lisensi impor non-otomatis) adalah lisensi impor dimana aplikasinya tidak selalu disetujui. Seperti halnya pada prosedur lisensi impor otomatis, prosedur lisensi impor non-otomatis juga tidak boleh 70
Widayanto, Op. cit. hal.4.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
75
menimbulkan dampak tambahan yang menghambat perdagangan selain yang diakibatkan oleh penerapan kebijaksanaan pembatasan impor. Prosedur lisensi impor non-otomatis dimaksud juga tidak boleh menjadi beban administratif bagi pemohon, selain yang memang mutlak diperlukan dalam rangka penerapan kebijaksanaan yang bersangkutan. 2. Pembuatan peraturan dan Penetapan kebijakan impor Indonesia dilakukan berdasarkan WTO - Rules: Artikel XX (General Exceptions), Artikel XXI (Security Exceptions), Agreement on Import Licensing Procedures, Konvensikonvensi internasional, dan Kebijakan Nasional terkait lainnya. Perumusan kebijakan impor dilakukan melalui persiapan bahan pertimbangan keputusan berupa masukan dari Stakeholders (swasta, LSM, anggota DPR dan masyarakat umum) kemudian melakukan analisa dampak dari sebuah keputusan. 3. Berbicara mengenai kebijakan luar negeri khususnya kebijakan impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT), maka kebijakan pemerintah dalam bidang impor tekstil dan produk tekstil tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian WTO, dalam hal ini adalah ketentuan dalam Agreement on Import Licensing Procedures. Kebijakan impor tekstil Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustiran
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil yang kemudian direfisi
dengan
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
19/M-
DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), peraturan ini kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) telah sesuai dengan ketentuan Agreement on Import Licensing Procedures. 4. Penerapan agreement on import licensing procedures WTO dalam komoditi tekstil dan produk tekstil dikatakan melindungi kepentingan Indonesia apabila Pemerintah dalam merumuskan kebijakan di bidang impor tekstil dan produk tekstil tetap mengacu kepada agreement on import licensing procedures WTO dan dalam merumuskan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil, pemerintah
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
76
juga mempertahankan iklim usaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap kondusif di pasar dalam negeri, hal ini dapat tercapai dengan cara melibatkan pelaku usaha dalam setiap perumusan kebijakan tersebut.
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis berpendapat bahwa kebijakan impor tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia sudah sesuai atau mengacu pada Agreement On Import Licensing Procedures WTO. Demikian pemaparan penulis yang merupakan hasil kajian dari judul tesis “Penerapan Agreement On Import Licensing Procedures WTO Di Indonesia : Studi Kasus Kebijakan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia” dengan menggunakan Theory of Justice yang diperkenalkan oleh Aristoteles dan Garcia.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan penulis, maka penulis menyampaikan beberapa saran terkait judul tesis, sebagai berikut : 1. Sebaiknya
Agreement
on
Import
Licensing
Procedures
benar-benar
merepresentasikan keadilan bagi negera-negara berkembang yang menjadi anggota WTO, kebijakan Agreement on Import Licensing Procedures terus di evaluasi dengan tujuan untuk penyempurnaan kebijakan tersebut, sehingga kebijakan tersebut benar-benar mengakomodir kegiatan importasi yang kemungkinan akan terus berkembang.; 2. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan impor Indonesia harus mengacu kepada Agreement on Impor Licensing Procedures; 3. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan impor tekstil dan produk tekstil juga harus mengacu kepada Agreement on Impor Licensing Procedures; dan 4. Selain itu Pemerintah berusaha agar implementasi Agreement on Impor Licensing Procedures dalam kebijakan impor dalam negeri khususnya kebijakan impor tekstil dan produk tekstil dengan tetap mempertahankan iklim usaha di pasar dalam negeri di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT) agar tetap kondusif, hal ini dapat tercapai dengan cara melibatkan pelaku usaha dalam setiap perumusan kebijakan tersebut.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
77
Demikian saran dari penulis terkait judul tesis yang menjadi kajian penulis, semoga saran tersebut diatas dapat memperkaya pemahaman kita tentang penerapan kebijakan Agreement on Import Licensing Procedures WTO di Indonesia khususnya dalam kebijakan Impor Tekstil dan produk Tekstil (TPT).
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
78
DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles, The Nichomacean Ethnics. Translated with an Introduction by David Ross, Revised by J.O. Urmson, Oxford University Press, Oxford: First Published, 1925; Reprinted 1980. Brotosusilo, Agus. et al., Penulisan Hukum: Buku Pegangan Dosen. Jakarta: Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994. Bruggink, J.J.H. Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit de recthstheire. Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta sebagai: Refleksi Tentang Hukum. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Departemen Perdaganan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri: Kebijakan Umum di Bidang Impor, Tahun 2005. Departemen Perdaganan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri: Kebijakan Umum di Bidang Impor, 2006. Freidman, Lawrence M. American Law. W.W. Norton & Company, New York, 1984. -------------------. On Legal Development, 24 Rutgers Law Review 11, 53, 1969. -------------------. Legal Culture and Social Development, 4 Law and Society Review 29, 1969. Gijssels, Jan and Mark Van Hoecke, diterjemahkan oleh B. Arief Sidarta: Apakah Teori Hukum itu? Penerbitan tidak berkala No.3, Laboratorium Hukum, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, 2000. Kelsen, Hans, The Pure Theory Of Law , L.Q.R. vols. 50 and 51, 1934-1935. -----------, What is Justice? 1957, naskah orisinilnya terbit pada tahun 1950. Lloyd, Dennis and M.D.A. Freeman, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet&Maxwell Limited, Seventh Edition: Third Impression, 2004, Six Edition, 1994. Laporan Akhir Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi Final ACT-URUGUAY ROUND, Program Kerjasama antara PascaSarjana Universitas Indonesia dengan Dep. Perdagangan, Jakarta, 1995. Pound, Roscoe. Philosophy of Law and Comparative Law, 100 U. of Pa. Law Review I. 1951.
78 Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
79
Jurnal Hukum dan Karya Ilmiah Hukum Schmithoff, M. G. Escarra. The aim of Comparative Law, Cambridge Law Journal, vol. 7, No. 98, 1939. Widayanto, Sulistyo. Tantangan Kebijakan Tata Niaga Impor di Forum WTO, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Dep. Perdagangan, 2007. Ahmad, Fahmi. Indonesia Bebaskan Impor Tekstil Indonesia Tahun 2010, Bisnis Indonesia, Edisi Rabu 7 Juli 2008. Website : http//www.WTO.org/WTO/ Organisasi Perdagangan Dunia, oleh Dr. Iskandar Panjaitan dan Ratna Juwita Supratiwi.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas Dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK). Keputusan Menteri perindustrian dan perdagangan Republik Indonesia Nomor 732/MPP/KEP/10/2002 tentang Tata Niaga Impor Tekstil. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Impor Tekstil Dan Produk Tekstil. WTO Agreement. Agreement Establishing The World Trade Organization. WTO Agreement, Agreement on Import Licensing Procedures.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008
80
Dokumen/laporan Sidang Committee on Import Licensing WTO, Committee on Import Licensing, G/LIC/IDN/8, tanggal 11 July 2008, Notification Under Article 5 Of The Agreement On Import Licensing Procedures From Indonesia, Replies from Indonesia to questions from the United State.
Universitas Indonesia Penerapan agreement..., Iman Kustiaman, FHUI, 2008