BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS)
A. Pengertian Kebijakan Kandungan Lokal Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negaranegara anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan penanaman modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai local content requirement, yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produkproduk buatan dalam negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman modal asing melakukan impor secara langsung.45 Local content requirement atau kebijakan kandungan lokal dilarang karena tindakan tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminatif terhadap barang impor.
Dengan
adanya
kewajiban
bagi
investor
untuk
membeli
atau
mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini 45
Mahmul Siregar, Loc. cit, hlm. 74.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah telah memberikan perlakuan yang lebih baik pada barang buatan dalam negeri dari pada barang impor. Perlakuan yang diskriminatif seperti ini dengan sendirinya menciptakan persaingan yang tidak adil antara barang impor dan barang buatan dalam negeri. Melalui persyaratan kandungan lokal sebenarnya Pemerintah host country telah membatasi akses pasarnya bagi barang-barang yang sama dari negara-negara anggota lain.46 Konten lokal adalah nilai tambah yang dibawa ke negara tuan rumah (daerah regional dan lokal di negara tersebut) melalui kegiatan industri minyak dan gas. Konten lokal ini mengacu pada nilai tambah yang dibawa ke negara tuan rumah melalui:47 a. pembinaan tenaga kerja 1. menggunakan tenga kerja lokal 2. memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal c. pengembangan investasi terhadap supplier 1. pengembangan barang dan jasa lokal 2. pengadaan barang dan jasa lokal Sedangkan, Anthony Paul dari asosiasi spesialis energi di Karibia menyimpulkan definisi konten lokal sebagai:48 a. Pendapatan yg diterima masyarakat lokal b. Pendapatan yg diperoleh dari pemilik tanah dan sumber daya 46
Ibid. IPIECA, Loc. Cit. 48 Local Content Policies in the Oil, Gas and Mining Sectors - A World Bank conference,http://goxi.org/profiles/blogs/local-content-policies-in-the-oil-gas-and-mining-sectorsa-world (diakses pada tgl 24 Februari 2014 pukul 23.35 WIB). 47
Universitas Sumatera Utara
c. Pendistribusian pendapatan kepada pemegang saham kreditor lokal.
Singkatnya, input disediakan oleh pihak lokal ke industri ekstraktif adalah dalam bentuk barang dan jasa. Kebijakan kandungan lokal antara satu negara dengan negara lain biasanya berbeda. Misalnya, perusahaan asing mungkin perlu bermitra dengan perusahaan lokal untuk melakukan bisnis di negara setempat. Sebagai alternatif perusahaan asing diharuskan untuk memiliki cabang di negara setempat dan melalui cabang tersebutlah, perusahaan asing dapat menjalankan usaha dan/atau kegiatan komersialnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perusahaan asing memiliki partisipasi lokal dan/atau kepemilikan lokal pada keseluruhan operasi.49 Sebuah perusahaan minyak internasional perlu bermitra dengan pihak lokal yang biasanya perusahaan minyak nasional. Dalam rangka mengoperasikan kebijakan kandungan lokal di negara tuan rumah, perusahaan asing harus beradaptasi dengan dan menyetujui persyaratan ini baik dalam mempekerjakan tenaga kerja, pengadaan barang, materi maupun jasa-jasa, atau pun bermitra dengan perusahaan lokal, persyaratan penggunaan kandungan lokal akan mempengaruhi cara perusahaan asing melakukan bisnis di negara tuan rumah.
B. Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan Lokal Penanaman modal adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional upaya untuk meningkatkan akumulasi modal, menyediakan lapangan 49 Derek J Anchodo, “Local Content Requirements In The Oil and Gas Sector: A Way Of Life Or An Emerging Trend?”, Oil and Gas Newsletter, October 2010, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
kerja, menciptakan transfer teknologi, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru, memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan menambah pengetahuan serta membuka akses kepada pasar global. Penanaman modal asing dapat memberikan keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya menciptakan lowongan pekerjaan bagi penduduk tuan rumah sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup, menciptakan kesempatan bekerjasama dengan perusahaan lokal sehingga mereka dapat berbagi manfaat, meningkatkan ekspor sehingga meningkatkan cadangan devisa negara dan menghasilkan alih teknologi.50 Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti kewajiban kandungan lokal (local content requirement), kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri , kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha, pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing, dan lain sebagainya. Adakalanya
persyaratan
penanaman
modal
tersebut
dapat
menghambat
perdagangan internasional. Tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi apakah
suatu
persyaratan
penanaman
modal
menghambat
perdagangan
internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan
50 Penanaman Modal Asing di Indonesia, http://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia?login=&email_was_t aken=true (diakses pada tgl 25 Februari 2014 pukul 23.22 WIB).
Universitas Sumatera Utara
tersebut.51 Kewajiban bagi investor untuk menggunakan barang-barang buatan dalam negeri host country yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat melakukan penanaman modal atau untuk kemudahan pajak, menyebabkan adanya perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri.52 Salah satu prinsip persyaratan penanaman modal yang paling sering diterapakan oleh negara host country adalah kebijakan kandungan lokal. Kebijakan kandungan lokal dapat ditemukan dalam kebijakan penanaman modal asing di Brazil, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Umumnya kewajiban tersebut divariasikan dengan insentif pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk dan kewajiban perpajakan.53 Hasil pengamatan badan GATT yang mengawas kebijakan perdagangan negara-negara anggotanya, yaitu TPRM (Trade Policy Review Mechanism), terdapat 19 negera dari 27 negara sedang berkembang yang menerapkan kewajiban kandungan lokal ini. Bidang industri yang paling jelas terlihat adalah industri otomotif, tetapi juga terdapat cabang-cabang industri lainnya yang menyangkut mesin-mesin.54 Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan peraturan perdagangan dalam negeri sebenarnya telah menjadi pembahasan masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Confrence on Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konvensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari 51
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Invesstasi Multilateral, hlm. 35. 52 Asmin Nasution, Op.cit, hlm. 75. 53 Mahmul Siregar, Op. cit., hlm. 119. 54 An An Chandrawulan, Op.cit, hlm. 147.
Universitas Sumatera Utara
perlakuan diskriminatif terhadap investor asing. Namun kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian. Masalah ini kembali menarik perhatian pada saat Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Review Act pada tanggal 12 Desember 1973.55 Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA Case. FIRA Case berawal dari tindakan Parlemen Kanada yang melakukan perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada. Perubahan undangundang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan asing di wilayah Kanada menghasilkan kentungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada. Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika menurut Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakukan halhal berikut:56 a. Membeli sejumlah presentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. Menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada; c. Membeli barang-barang dari Kanda jika barang-barang tersebut dapat bersaing
dengan
barang
impor
(misalnya
jika
harga
atau
persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari Kanada); 55 56
Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 73. Mahmul Siregar, Op. Cit., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
d. Membeli dari supplier Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dari perusahaan asing). Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaanperusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka. Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada menyampingkan
kewajiban-kewajiban
mereka
berdasarkan
perjanjian
internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General
Universitas Sumatera Utara
Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut:57 "... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT.” Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment. 58 Panel tersebut menyimpulkan bahwa persyaratan kandungan lokal tidak konsisten dengan prinsip National Treatment berdasarkan Article III: 4 GATT (1), sedangkan persyaratan ekspor tidak konsisten dengan ketentuan di bawah GATT. Keputusan panel dalam FIRA Case ini signifikan karena menegaskan bahwa ketentuan berdasarkan GATT berlaku terhadap persyaratan yang diberlakukan
57 Mahmul Siregar, “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal”, USU Repository, 2005, hlm. 5. 58 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
oleh pemerintah dalam konteks penanaman modal sejauh persyaratan tersebut membedakan barang impor dari barang lokal.59 Selain Kanada, Indonesia juga pernah bersengketa dengan WTO terkait dengan kasus mobil nasional(mobnas) pada tahun 1996. Awal mula muncul kasus ini karena inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional. Oleh karena itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional melalui Inpres No.2 tahun 1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor otomotif Indonesia. Tujuan Mobnas adalah sebagai embrio kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobnas ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai pelopor yang memproduksi Mobnas. Namun karena Mobnas masih belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka perlu dikeluarkan Keputusan Presiden No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang kemudian diberi merek “Timor” (baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/ CBU) dari Korea Selatan.60 Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa (ME), dan Amerika Serikat (AS) protes. Mereka mengklaim bahwa program Mobnas ini diskriminatif dan telah melanggar aturan perdagangan internasional antara lain: Pasal I dan III GATT, Pasal 2 Perjanjuian TRIMs, Pasal 3, 6, dan 28 Perjanjian SCM (Subsidi dan Bea 59
Agreement on Trade Related Investment Measures, http://www.wto.org/english/tratop_e/invest_e/invest_info_e.htm (diakses pada tgl 26 Februari 2014 pukul 00.06). 60 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, http://www.scribd.com/doc/129547242/Sengketa-Mobil-Nasional-Timor-Di-WTO (diakses pada tgl 25 February 2014 pukul 00.49 WIB).
Universitas Sumatera Utara
Masuk Imbalan), serta Pasal 3, 20, dan 65 TRIPS. Mereka memohon konsultasi terpisah dengan Pemerintah RI pada bulan Oktober 1966. Setelah konsultasi gagal, mereka mengajukan pembentukan panel yang kemudian terbentuk pada bulan Juni dan Juli 1997. 61 Dalam putusannya, panel menyimpulkan bahwa kebijakan Program Mobnas di Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yaitu:62 1. GATT Art. I:1 (most-favoured-nation treatment): yaitu adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara, misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor. 2. GATT Art. III:2, first and second sentences (national treatment-taxes and charges): Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama 2 tahun. 3. TRIMs Agreement Art. 2.1 (local content requirement): soal kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20% pada tahap pertama dan 60% tahun ketiga tidak terpenuhi. 4. ASCM Art. 5(c) (serious prejudice). Dalam penyelesaian kasus mobnas, WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebutdinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan 61 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 147. 62 Robby Adrian, “Kebijakan Otomotif Nasional (“ Mobnas Timor “) ditinjau dari prinsip Most Favoured Nation”, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa: 63 a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan
usahanya
di
Indonesia.
Dengan
diberlakukannya
penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya,dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan. b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturanaturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,antara lain adalah hambatanhambatan perdagangan Non Tarif. Oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan lokal terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan 63
Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat. Sebagai respon Indonesia terhadap putusan panel, maka pada tgl 21 Januari 1998 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1998
tentang
Pencabutan Keputusan Presiden No. 2 tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 20 tahun 1998 ini, maka seluruh peraturan-peraturan yang melaksanakan Keppres No. 2 tahun 1996, termasuk di dalamnya Inpres No. 2 tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Kendaraan Bermotor Nasional dinyatakan tidak berlaku.64 Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related on Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay bermunculan sengketasengketa perdagangan internasional yang lahir dari peraturan penanaman modal. Selain Kanada dengan “Fira Case” dan Indonesia dengan kebijakan “mobil nasional”, adapula beberapa negara yang kebijakan penanaman modalnya melanggar ketentuan GATT terutam prinsip national treatment antara lain Brazil dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya. Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa adakalanya peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang internasional ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan 64
Mahmul, Siregar, Op.Cit., hal 134.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban
internasional
dari
host
country
berdasarkan
prinsip-prinsip
perdagangan internasional yang diatur di dalam GATT/WTO.65 C. Prinsip Nondiskriminasi dalam WTO dan Kebijakan Kandungan Lokal Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya.66 Adapun prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa melalui asas hukum ini peraturan-peratran hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis.67 Tentang pengertian prinsip atau principle, Black’s Law Dictionary, memberikan pernyataan sebagai berikut.68 “A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule of doctrine which furnishes a basis or drigen for others, a settled rule of actions procedure or legal determination. A truth or preposition so clear that it can not be proves or contradicted anless by a preposition which is still cleaner. That which constitutes the essence of a body or its constituents parts. That which pertains theoritical part of a science.” Dari pengertian prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum adalah suatu yang sangat mendasar bagi suatu konsep hukum. Prinsip hukum dalam pengertian substansinya tidak meerupakan bagian terpisah dari kategori
65
Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 74. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN. Balai Pusaka, 1986), hlm. 768. 67 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006) , hlm. 45. 68 Syahmin A.K., Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 36. 66
Universitas Sumatera Utara
norma-norma hukum, melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya.69 Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut
Wil D. Verwey
dalam Ginanjar Kartasasmita ialah prinsip non diskriminasi yang mengundang tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional. Prinsip-prinsip itu berakar dari filsafah liberalisme barat, yang dikenal dengan “Trinita”, yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan asas timbal balik (reciprocity).70 Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama kedudukannya. Dari prinsip-prinsip tersebut tersirat prinsip persaingan bebas melalui kesempatan yang sama. Prinsip-prinsip hukum liberal tersebut menganggap semua negara sama kuat. Namun demikian muncul persoalan ketika muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industtri maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akhirnya asas persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru memperbesar ketidakadilan.71 Oleh karena itu, perlulah peraturan-peraturan dasar dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum WTO menjadi acuan sistem perdagangan multinasional. Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang diantaranya adalah menjadi anggota WTO. Konsekuensi penting dari kenggotaan 69
Ibid., hlm. 36. Ginanjar Kartassasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: Cidesindo, 1996), hlm. 100. 71 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 40. 70
Universitas Sumatera Utara
suatu orgaanisasi dunia, seperti WTO yang diratifikaasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994 mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi. Ratifikasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas Agreement Establishing the World Trade Organization dilihat dari segi hukum merupakan suatu langkah yang tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang berkembang dengan posisi lemah dalam peraturan dagang internasional, Indonesia harus meletakkan tumpuan pada suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan internasional di bidang perdagangan antarnegara, yang diharapkan menegakkan rule of law dalam masyarakat global.72 Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan multilateral yang diatur didalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi (the principle of nondiscriminatory), prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, prinsip perdagangan adil (fairness principle), dan prinsip tarif mengikat (tariff binding principle).73 Berikut akan diuraikan mengenai prinsip non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi adalah salah satu prinsip utama WTO, artinya merupakan prinsip-prinsip yang menjadi landasan seluruh kebijakan dan tata aturan perdagangan dalam sistem WTO. Prinsip non-diskriminasi berarti prinsip yang menolak kebijakan atau tindakan yang diskriminatif.74 Terdapat dua prinsip non diskriminasi dalam hukum organisasi perdagangan dunia (WTO/GATT) yaitu 72
Asmin Nasution,Op.cit., hlm. 48. Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 41. 74 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm. 131. 73
Universitas Sumatera Utara
kewajiban The Most Favoured Nation (MFN) Treatment dan kewajiban The National Treatment. 1. Prinsip Most Favoured Nation (MFN) Pada tahun 1978, International Law Commission (ILC) mengajukan UN General Assembly suatu Draft Articles Most Favoured Nation Clause. Dalam Article 5 draft itu dirumuskan pengertian Most Favored Nation Treatment sebagai berikut:75 “MFN Treatment adalah suatu perlakuan yang diberikan oleh granting State kepada beneficiary State, atau kepada orang atau barang dalam suatu hubungan tertentu dengan Negara tersebut, tidak lebih kurang nyaman dari perlakuan yang diberikan oleh granting State kepada suatu negara ketiga atau orang atau barang dalam suatu hubungan yang serupa dengan negara pihak ketiga tersebut.” Prinsip ini juga diatur didalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip nondiskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO. Article 1 section (1) GATT 1947 mengharuskan MFN atas semua konsesi tarif yang telah diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa:76 “With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to 75
Ibid., hlm. 132. The General Agreement on Tariffs And Trade, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XYVkHpxx9GcJ:www.wto.org/english/d ocs_e/legal_e/gatt47_e.doc+&cd=1&hl=en&ct=clnk (diakses pada tanggal 3 February 2014 pukul 23.38). 76
Universitas Sumatera Utara
any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.” Dalam sistem GATT DAN WTO, prinsip Most Favoured Nation merupakan salah satu tonggak sistem tersebut karena prinsip ini memainkan peran sentral dalam memastikan sistem perdagangan yang bersifat multilateral yang dibangun dalam GATT. Prinsip Most Favoured Nation mengharuskan setiap anggota WTO tidak mendiskriminasikan anggota WTO yang satu dengan anggota-anggota WTO lainnya.77 Apabila suatu negara hendak memberikan kemudahan atau fasilitas perdangangan internasional kepada negara kedua, maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan seterusnya. Kebaikan dari prinsip ini adalah bahwa ia secara umum memberlakukan lagi seluruh peserta perjanjian keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh salah satu dari mereka kepada negara ketiga. Prinsip ini diberlakukan tanpa memandang struktur sosial politik ekonomi negara peserrta.78 Umumnya perjanjian Bilateral Investment Treaty (BIT) memuat aturan dasar prrinsip Most Favoured Nations.79 Pengecalian terhadap prinsip Most Favoured Nations sebagaimana diatur dalam GATT 1947, yaitu tidak berlaku:80 a. Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya negara AFTA (Indonesia) dengan India. 77
Rusli Pandika, Loc.Cit., hlm. 132. Syahmin A.K., Op. Cit., hal 38 79 Huala Adolf, Loc. Cit, hlm. 169. 80 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 42. 78
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences). 2. Prinsip National Treatment Hakikat prinsip National Treatment dalam konteks WTO adalah kewajiban bagi setiap negara anggota untuk tidak menempatkan barang, jasa, atau orang dari anggota WTO lain dalam suatu competitive disadvantage dibandingkan barang, jasa, atau warga negaranya sendiri.81 Prinsip ini terdapat pada 3 (tiga) WTO Agreements yang utama yaitu Article III, khususnya Article III(4) GATT, Article XVII GATS,dan Article 3 TRIPS Agreement. Disamping itu, prinsip ini dimasukkan ke dalam berbagai perjanjian yang menjadi bagian dari Annex IA WTO Agreement, antara lain di dalam Agreement on Technical Barriers to Trade dan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, juga di dalam Agreement on Government Procurement.82 Prinsip National Treatment memberikan persamaan perlakuan di dalam suatu negara, baik terhadap orang asing maupun terhadap warga negara sendiri. Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri.83 Suatu anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama bagi pemasok jasa dari setiap anggota lain seperti yang diberikan kepada pemasok jasa nasional dari anggota yang bersangkutan. Dengan kata lain, tidak boleh ada perlakuan 81
Rusli Pandika, Op.Cit., hlm. 136. Ibid., hlm. 136. 83 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 49. 82
Universitas Sumatera Utara
diskriminatif antara jasa-jasa dan pemasok-pemasok jasa nasional dan asing.84 Negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produkproduk impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang sama buatan dalam negeri. Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku pula terhadap perundangundangan,
pengaturan
dan
persyaratan-persyaratan
hukum
yang
dapat
mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. 85 Dengan demikian bahwa prinsip national treatment ini menghindari diterapkannya peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan terhadap kesejahteraan ekonomi. Dengan persaingan yang adil antara produk impor dan produk dalam negeri, maka terjadi perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan produk impor. sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih 84 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace and Library, 2007), hlm. 43. 85 Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, Loc. cit, hlm. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
baik dan harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya, karena berkurangnya keleluasaan investor untuk mengambil keputusan bisnis yang lebih bebas.86 Klausul National Treatment sering ditemukan dalam berbagai perjanjian termasuk dalam GATT dan perjanjian-perjanjian persahabatan, perdagangan, dan navigasi.87 Penerapan prinsip ini acapkali dilakukan dengan menerapkan prinsip resiprositas dalam hubungan ekonomi internasional. Praktik-praktik seperti ini telah lama dilakukan. Misalnya, larangan pembatasan-pembatasan impor kuantitatif yang ditandatangani antara Prancis dan Belanda pada tahun 1968; antara Prancis dan Spanyol pada tahun 1654; antara Swedia dan Belanda pada tahun 1679; dan antara Prancis dan Inggris pada tahun 1713.88 Menurut Herman Mosler dalam Taryana Sunandar, bahwa unsur-unsur penting yang terkandung dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:89 a. Adanya kepentingan lebih dari satu negara; b. Kepentingan tersebut terletak di wilayah yurisdiksi suatu negara; c. Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang berada di wilayahnya; dan 86
Ibid Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 38. 88 Ibid., hlm. 39. 89 Taryana Sunandar, “Penulisan Karya Ilmiah tentang Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 sampai terbentuknya WTO (World Trade Organizartion)”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman , 1996, hlm. 24. 87
Universitas Sumatera Utara
d. Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain. Penerapan prinsip National Treatment merupakan pencerminan dari pembatasan kedaulatan suatu negara. Hal ini kerapkali diperjanjikan dalam rangka mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional yang sering bertentangan. Menurut Taryana Sunandar, tujuan daripada penerapan prinsip ini adalah untuk menciptakan harmonisasi dalam perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif antara produk domestik dan produk impor, artinya kedua produk tersebut harus mendapatkan perlakuan yang sama.90 D. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMS) Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara langsung mulai tampak pada masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia (investor) bersama modalnya dari negara Eropa ke Asia, Afrika, dan Amerika selatan. Umumnya modal yang ditanamkan tersebut ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara tersebut. Pemerintah penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang menarik bagi para investor asing. Mereka juga memberikan perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya dapat tunduk kepada aturan pengadilan negara penerima di mana para investor tersebut
90
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menginvestasikan modalnya.91 Standar-standar bagi perlindungan penanaman modal ini sesungguhnya dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara maju dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan perlindungan modalnya. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the regulations of foreign investment protection of property rights), penyelesaian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan.92 Menurut sistem WTO, masalah perdagangan bebas dalam hubungan dengan penanaman modal asing ini terdapat ketentuannya dalam Agreement on Trade Related Invested Measures (TRIMs). TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. Secara umum sesuatu didefinisikan sebagai TRIMs jika peraturan investasi di negara bersangkutan dikaitkan dengan persyaratan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Persetujuan ini dimaksudkan untuk memacu perkembangan dan liberalisasi yang progresif perdagangan dunia dan memudahkan arus penanaman modal antarnegara.93 TRIMs ditentukan dalam Lampiran 2A WTO, yang merupakan lanjutan pelaksanaan GATT 1994, terutama tentang perlakuan diskriminatif yang tercantum dalam Pasal I GATT yang mengandung prinsip Most 91
Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Loc.
cit. 92 Latar Belakang Negosiasi TRIMs, http://mekar-sinurat.blogspot.com/2009/10/latarbelakang-negosiasi-trims.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014 diakses pada pkul 23.18 WIB). 93 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
Favoured Nation.94 Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan diaturnya masalah penanaman modal asing dalam TRIMs adalah sebagai berikut:95 a. Karena adanya pengaturan tertentu dari masalah penanaman modal asing di negara tertentu yang dapat menyebabkan pembatasan perdagangan dan memiliki distorsi-distorsi tertentu. b. Untuk melakukan elaborasi terhadap ketentuan GATT yang berkenaan dengan efek retriktif terhadap perdagangan dari pengaturan dan praktek tentang penanaman modal asing di negara-negara anggota WTO. c. Untuk mempromosikan dan memfasilitasi investasi di negara-negara anggota WTO yang sesuai dengan liberalisaasi perdagangan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara WTO. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994, sebagai instrumen untuk membatasi penanaman modal asing, namun ada pengecualian-pengecualian tertentu asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu juga. TRIMs terdiri dari enam 94
Jeane Neltje Saly, Usaha Kecil, Penanaman Modal Asing dalam Perspektif Perdagangan Internasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Assasi Manusia,2001), hlm. 40. 95 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, http://mahendraputra.net/wpcontent/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-HUKUM-PERNIAGAAN-INTERNASIONAL10.pdf (diakses pada tgl 7 Februari 2014 pukul 23.08 WIB).
Universitas Sumatera Utara
pasal dan lampiran yang berisi daftar yang mengindikasikan apa yang dimaksud sebagai TRIMs. TRIMs merupakan unsur penting yang diterapkan negara penerima modal, terutama negara berkembang. Negara berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak dari penanaman modal asing. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.96 Pembangunan tersebut baik juga untuk negaranya untuk pembangunan masyarakatnya misalnya dalam hal penyediaan lapangan kerja dan alih teknologi yang memang bermanfaat bagi (pembangunan) negara tersebut. Negara penerima modal juga menerapkan kebijakan penanaman modal yang sifatnya membatasi ruang gerak penanaman modal asing untuk mencegah dampak buruk terhadap perekonomian negara dari penanaman modal asing. Sejumlah negara maju menganggap bahwa pengaruh persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam kebijaksanaan penanaman modal di negara-negara berkembang sebagai upaya memajukan industri domestik yang dapat menjadi penghambat terhadap perdagangan, sehingga dianggap bertentangan dengan ketentuan GATT tertentu.97 Persyaratan pelaksanaan yang paling umum adalah sebagai berikut:98 a. Persyaratan menggunakan kandungan lokal (local content requirements); b. Persyaratan perdagangan yang berimbang (trade balancing requirements); 96
Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), http://referensi-hukum.blogspot.com/2010/10/perjanjian-penanaman-modal-dalam-hukum.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014 pukul 23.43 WIB). 97 H. Gofar. Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 57. 98 An An Chandrawulan, Op.Cit., hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
c. Persyaratan ekspor (export performance requirements); d. Pembatasan impor (limitation on imports); e. Persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing (foreign exchange and remittance requirements); f. Persyaratan modal minimum (minimum local equity requirements); g. Persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements); dan h. Persyaratan lisensi produk (product licensing requirements). Secara singkat dapat dikatakan bahwa Kesepakatan TRIMs tidak terlalu membebani negara-negara anggotanya secara signifikan dan tidak menghambat negara anggotanya, khususnya negara berkembang untuk mengatur penanaman modal asing di wilayahnya. Namun demikian, larangan menggunakan kandungan lokal dan persyaratan perdagangan yang berimbang telah memaksa negara sedang berkembang untuk secara bertahap memberhentikan pencantuman persyaratan terhadap penanaman modal asing untuk menggunakan kandungan atau komponen lokal. Hal ini merupakan implikasi negatif karena negara-negara berkembang acapkali menerapkan persyaratan-persyaratan ini untuk memajukan industri dalam negeri dan pembangunan ekonominya. Implikasi lainnya dari Kesepakatan TRIMs adalah bahwa kesepakatan tersebut membatasi kewenangan atau kontrol negara penerima modal terhadap penanaman modal secara langsung.99 Kesepakatan TRIMs ini harus membantu menciptakan iklim berusaha yang lebih aman bagi masuknya penanaman modal yang menghambat perdagangan.100
99
Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, Op. cit. hlm.3. H. Gofar Bain, Op.Cit., hlm. 86.
100
Universitas Sumatera Utara
1. Ruang Lingkup TRIMs Pasal
1
dari
TRIMs
menerangkan
tentang
ruang
lingkup,
yaitu: “This Agreement applies to investment measures related to trade in goods only (referred to in this Agreement as “TRIMs”)” […….Perjanjian ini hanya berlaku untuk tindakan-tindakan investasi yang berkaitan dengan perdagangan barang]. Menurut Prof Erman Radjagukguk, Pasal 1 ini atas memiliki 2 (dua) alternatif, pertama bahwa TRIMs berhubungan dengan perdagangan barang, dan kedua
TRIMs
meliputi
peraturan-peraturan
yang
mempunyai
akibat
penyimpangan dari prinsip GATT dan merugikan perdagangan barang. Sementara pengertian kedua hal tersebut adalah mengurangi atau menghapus segala kebijakan investasi yang menghambat kegiatan perdagangan dan kebebasan kegiatan investasi dan menghapus aturan investasi yang dapat mengganggu dan menghambat perdagangan barang dagangan pada TRIMs yang diidentifikasi.101
2. Penerapan Prinsip National Treatment dan Quantitative Restrictions Pasal 2, mengatur tentang penerapan prinsip “National Treatment” dan “Quantitative Restrictions”, yang berbunyi:102
101 Perdagangan Global dan Tindakan Investasi, http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/trade-related-investment-measures-trims/ (diakses pada tgl 8 Februari 2014 pukul 20.50 WIB). 102 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
“Without prejudice to other rights and obligations under GATT 1994, no Member shall apply by TRIMs that is inconsistent with the provisions of Article XI of GATT 1994.” […….Tanpa merugikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana diatur dalam GATT 1994 tak satupun negara anggota diperkenankan memberlakukan TRIMs yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal XI GATT 1994] “An illustrative list of TRIMs that are inconsistent with the obligation of national treatment provided for in paragraph 4 of Article III of GATT 1994 and the obligation of general elimination of quantitative restrictions provided for in paragraph 1 of Article XI of GATT 1994 is contained in Annex to this Agreement”. […….Daftar
ilustrasi
TRIMs
yang
tidak
konsisten
dengan
kewajiban
melaksanakan prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam paragraf 4 Pasal III GATT dan kewajiban melakukan penghapusan batasan-batasan kuantitatif sebagaimana ditentukan dalam paragraf 1 Pasal XI GATT terdapat dalam Lampiran Perjanjian ini]. Pasal diatas menyatakan bahwa peraturan investasi yang berhubungan dengan perdagangan barang tidak boleh bertentangan dengan pasal III dan XI dari GATT dan daftar ilustrasi sebagai apa yang dianggap sebagai TRIMs berdasarkan pasal III ayat 4 dan pasal XI ayat 1 dari GATT. Pasal III GATT berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan national treatment dibidang perpajakan dalam negeri dan pasal XI berhubungan dengan larangan umum pembatasan kwantitatif.103 Pasal III GATT mengatur khusus tentang perdagangan barang impor yang harus diperlakukan sama dengan produk dalam negeri (internal tacation), dan halhal yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, dan sebagainya.104 Pasal III GATT melarang negara-negara anggota menyimpang dari National Treatment pada saat menerapkan pajak dalam negeri, pungutan, undang-undang, peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban untuk memproduksi, menjual, mengangkut, mendistribusikan, atau memakai produk dalam negeri atau produk impor.105 Pasal XI GATT menentukan bahwa suatu negara anggota dapat menggunakan suatu “quantitative restriction”, atau pembatasan secara kuantitatif terhadap produk pertanian dan perikanan (yang kemudian berkembang menjadi produksi barang pada umumnya) dengan persyaratan tertentu. Pasal XI menentukan peraturan-peraturan kwantitatif sebagai quota, izin import atau eksport atau peraturan-peraturan lainnya. Tindakan tersebut dibolehkan asalkan bertujuan untuk menstabilkan pasaran dalam negeri. 106
103
Erman Rajagukguk, “TRIMs dan Investasi”, Materi Kuliah 1: Pendahuluan, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hlm. 5. 104 Jeane Neltje Saly, Op. Cit., hlm. 41. 105 Erman Rajagukguk, Loc.cit. 106 Jeane Neltje Saly, Op. cit., hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
Dalam uraian mengenai TRIMs yang dianggap bertentangan dengan pasalpasal GATT tersebut dilampirkan pada Agreement ini. Yang termasuk dalam daftar ini adalah:107 a. Aturan-aturan tentang local content requirements yang mengharuskan pembelian input dari dalam negeri (lokal) pada tingkat tertentuoleh suatu perusahaan; atau b. Aturan-aturan tentang trade balancing requirements yang mensyaratkan bahwa volume atau nilai impor yang dapat dilakukan harus dikaitkan denga tingkat produk yang diekspornya. Kedua contoh ini bertentangan dengan Artikel III.4 GATT. Contoh yang terakhir juga dianggap bertentangan dengan Artikel XI.I GATT sebagai bentuk pembatasan tertentu akses terhadap valuta asing maupun pembatasan impor pada tingkat kualitas tertentu.108 3. Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Pasal 4 dari perjanjian ini mengijinkan negara-negara berkembang menyimpang untuk sementara waktu dari kewajiban-kewajiban menerapkan larangan-larangan
TRIMs.
Pengecualian
dibuat
sehingga
negara-negara
berkembang dapat memelihara neraca perdagangannya. Dengan kata lain negaranegara berkembang diizinkan untuk menyimpang sementara waktu dari kewajiban-kewajiban yang menerapkan larangan-larangan TRIMS sampai neraca perdagangan di negara berkembang kembali normal. Pasal ini membolehkan negara-negara untuk menyimpangi sementara waktu ketentuan Pasal 2, sepanjang 107
H.S. Kartadjomena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round.,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997), hlm. 226. 108 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan sesuai dengan ketentuan Pasal III dan XI GATT dapat disimpangi sesuai dengan Pasal XVIII GATT 1994, The Understanding on the Balance-of-Payments of GATT 1994 dan Deklarasi mengenai Upaya-upaya Perdagangan yang diambil guna tujuan penyeimbangan neraca perdagangan (Declaration on Trade Measures taken for Balance-of- Payment Purposes of 28 November 1979).109 Pasal XVIII GATT section memberikan peluang bagi negara berkembang, seperti Indonesia untuk melakukan tindakan quantitative restrictions guna melindungi infant industry yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Tindakan ini baru dapat diambil apabila tindakan tarif tidak memungkinkan memberikan perlindungan terhadap infant industry tersebut.110
4. Persyaratan Notifikasi dan Kewajiban Transparansi Pasal 5 dari TRIMs mengatur tentang Notification and Transnational Arrangements. Pasal 5 ayat 1 ini mensyaratkan negara anggota untuk menotifikasi kepada Dewan Perdagangan Barang (The Trade in Goods Council) dalam jangka waktu 90 hari setelah berlakunya perjanjian WTO semua TRIMs yang tidak sesuai yang ditetapkan negara-negara anggota.111 Pasal 5 ayat 2 juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menghapuskan semua TRIMs dalam jangka waktu 2 (dua) tahun untuk negara
109 110
111
Perdagangan Global dan Tindakan Investasi, Loc. cit. Jeane Neltje Saly, Loc. cit., hlm. 42. Huala Adolf, Op,Cit, hlm. 108.
Universitas Sumatera Utara
maju, 5 (lima) tahun untuk negara berkembang, dan 7 (tujuh) tahun untuk negara miskin (least developed countries).112 Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa:113 “On request, the Council for Trade in Goods may extend the transition period for the elimination of TRIMs notified under paragraph 1 for a developing country Member, including a leastdeveloped country Member, which demonstrates particular difficulties in implementing the provisions of this Agreement. In considering such a request, the Council for Trade in Goods shall take into account the individual development, financial and trade needs of the Member in question.” Dari isi pasal tersebut diatas tercantum bahwa negara berkembang dapat pula memohon perpanjangan waktu transisi apabila mereka menghadapi masalah dalam melaksanakan perjanjian TRIMs.114 Disamping itu, Pasal 5 ayat (5) ini memuat pula suatu ketentuan khusus yang membolehkan penerapan TRIMs terhadap perusahaan-perusahaan (baru) selama jangka waktu transisi apabila hal ini dipandang perlu agar ttidak merugikan perusahaan yang telah ada yang tunduk kepada Kesepakatan TRIMs .115 Pasal 6 memuat kewajiban transparansi di dalam menerapakan perjanjian TRIMs. Pasal ini mensyaratkan kewajiban notifikasi kepada sekretariat WTO mengenai publikasi adanya TRIMs, termasuk TRIMs yang diterapkan oleh pemerintah daerah atau pejabat-pejabat TRIMs yang memiliki kewenangan di bidang kebijakan penanaman modal di dalam wilayah kekuasaannya. 116 112
Ibid., hlm. 108. URUGUAY ROUND AGREEMENT: Agreement on Trade-Related Investment Measures, http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/18-trims_e.htm (diakses pada tgl 10 Februaryi 2014 pukul 12.24 WIB). 114 Sejarah Perjalanan GATT menuju WTO, Op.cit., hlm. 93. 115 Huala Adolf, Op. Cit, hlm. 109. 116 Sejarah Perjalanan GATT menuju WTO, Loc.cit. 113
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia termasuk negara yang cepat memenuhi kewajibannya dengan melakukan notifikasi dan transparansi segala aturan-aturan penanaman modal yang mengandung TRIMs. Keadaan ini justru kontras dengan keadaan di dalam negeri, dimana transparansi hukum selalau menjadi persoalan krusial. Respon yang dilakukan Indonesia dalam konteks hubungan perdagangan luar negeri tidak serta merta menumbuhkan kepercayaan investor terhadap jaminan kepastian hukum di dalam negeri.117
5. The Committee on Trade Related Investment Measures Pada Pasal 7 ayat (1)
memuat pembentukan badan baru, yaitu The
Committee on Trade Related Investment Measures (The “Committee”).118 Keanggotaan Committee on TRIMs terbuka bagi semua negara anggota WTO. Committee on TRIMs ini mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:119 a) Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan TRIMs; b) Sekali dalam setahun melaporkan hasil monitoringnya kepada Council for Trade in Goods; c) Melakukan pertemuan berkala minimal 1 kali setahun; d) Melakukan pertemuan jika dimintakan oleh setiap anggota WTO;
117
Asmin Nasution, Op.Cit, hlm. 19. Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 110. 119 Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional., Op.cit., hlm. 2. 118
Universitas Sumatera Utara
e) Memberikan kesempatan kepada para anggota WTO yang ingin berkonsultasi dengan Committee on TRIMs tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan TRIMs; dan f) Melakukan tugas-tugas lain yang dibebankan oleh TRIMs kepadanya.
Pasal 8 terkait dengan penyelesaian sengketa TRIMs. Pasal ini memberlakukan Pasal XXII-XXIII GATT 1994. Ketentuan penyelesaian sengketa ini kemudian mengacu pula kepada Annex 2 mengenai the Dispute Settlement Understanding.120 Di samping itu, untuk menjaga ketentuan TRIMs maka minimal dalam 5 (lima) tahun berlakunya WTO Agreement, Council for Trade in Goods dari WTO harus me-review pelaksanaan TRIMs. Bila perlu mengusulkan amandemen terhadap TRIMs tersebut kepada The Ministerial Conference dari WTO, untuk diputuskan oleh The Ministreal Conference dari WTO, untuk diputuskan oleh The Ministerial Conference tersebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam WTO.121 Hal ini sesuai dengan ketentuan TRIMs pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut:122 “Not later than five years after the date of entry into force of the WTO Agreement, the Council for Trade in Goods shall review the operation of this Agreement and, as appropriate, propose to the Ministerial Conference amendments to its text. In the course of this review, the Council for Trade in Goods shall consider whether the Agreement should be complemented with provisions on investment policy and competition policy.”
120 121 122
Huala Adolf., Op.Cit., hlm. 110. Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional, Loc.cit. An An Chandrawulan, Op.Cit, hlm. 140.
Universitas Sumatera Utara
Peserta konferensi yang membicarakan Perjanjian TRIMs di Marrakesh tidak berhasil mencapai kesepakatan (penuh) tentang apa saja yang tercakup dalam pengertian TRIMs ini, sehingga Dirjen GATT merumuskan suatu Illustratve List yang dilampirkan pada Agreement mengenai TRIMs. Illustrative List ini pada intinya merupakan pembatasan penetapan keharusan memakai komponen-komponen lokal dalam proses produksi industri.123 Berikut adalah daftar ilustrasi yang dilarang berdasarkan Perjanjian TRIMs: 124 a. Berdasarkan perlakuan nasional yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu keuntungan dalam hal penerapan: 1) persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk lokal oleh perusahaan (local content requirement); atau 2) pembelian atau penggunaan suatu produk impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai dari produk lokal yang diekspor (trade balancing requirement); b. TRIMs yang tidak sesuai dengan kewajiban Pasal XI ayat 1, yakni: 1) import produk hingga jumlah tertentu yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai produk yang diekspor (trade balancing); 2) impor produk dengan membatasi akses perusahaan kepada nilai mata uang asing hingga sejumlah masuknya jumlah mata uang ke perusahaan tersebut (foreign exchange restrictions); atau
123 124
Ibid., hlm. 145. Latar Belakang Negosiasi TRIMs, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
3) ekspor suatu produk yang dikaitkan dengan nilai produk lokal (domestic sales requirement).
Dari daftar tersebut di atas, tampak bahwa TRIMs lainnya tidak masuk dalam daftar. Upaya penanaman modal tidak tercakup oleh Kesepakatan TRIMs, termasuk persyaratan mengenai kepemilikan saham, alih teknologi dan lisensi, persyaratan produksi untuk kebutuhan lokal, dan persyaratan ekspor. pembatasan tenaga kerja, dan pembatasan pemulangan keuntungan ke negara atau perusahaan asal (induk) (local equity, technology transfer and licensing, local manufacturing, local employment, and export performance requirements, personnel entry restrictions, remmitance restrictions). Hal ini berarti bahwa upaya-upaya lainnya masih dimungkinkan berdasarkan Perjanjian TRIMs. Ketentuan ini tampaknya berupaya mengakomodasi kepentingan negara sedang berkembang yang acapkali masih menerapkan atau membebankan persyaratan ini terhadap investor asing. Disamping itu, ketentuan ini di banyak negara berkembang bersifat mengikat.125
125
Huala Adolf. Op. Cit., hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara