BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah indikasi geografis diatur dalam Perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), yang mewajibkan negaranegara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktek atau tindakan persaingan
curang. Dengan diratifikasinya
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
Persetujuan Pembentukan
oleh Indonesia pada tanggal 2
November 19941 maka Indonesia wajib menerima persetujuan-persetujuan WTO dan yang menjadi lampirannya, termasuk TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas enam jenis hak kekayaan intelektual sebagaimana terdapat dalam persetujuan TRIPs, termasuk perlindungan indikasi geografis. Salah satu langkah dalam pelaksanaan komitmen tersebut adalah Indonesia mengintegrasikan perlindungan indikasi geografis ke dalam Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan adanya perlindungan dalam kerangka TRIPs melalui ratifikasi negara terhadap pembentukan WTO, maka diharapkan dapat memberikan skema perlindungan secara internasional yang sistematis dan berkelanjutan bagi negara yang berpeluang dalam produk-produk indikasi geografis. Ironisnya bagi Indonesia, sampai saat ini perlindungan indikasi geografis tidak cukup mampu memberikan perlindungan terhadap produk-produk berpotensi indikasi geografis. Dalam lingkup internal, hingga saat ini jumlah sertifikat indikasi geografis masih tergolong sedikit dibandingkan dengan potensi indikasi geografis yang ada. Pada saat yang bersamaan, secara eksternal telah terdapat sejumlah pelanggaran terhadap indikasi geografis Indonesia. 1
Undang-Undang RI No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, LN Tahun 1994 Nomor 57, TNL Nomor 3564
1
Salah satu kasus pelanggaran yang terjadi adalah pendaftaran kopi toraja sebagai merek “TOARCO TORAJA” oleh perusahaan Key Coffee Inc Corporation Japan dengan nomor pendaftaran 75884722 lengkap dengan gambar rumah Toraja. Selain itu, kopi toraja juga pernah didaftarkan sebagai merek “SULATCO KALOSI TORAJA COFFEE” dengan nomor pendaftaran 74547036, milik IFES Inc. Corporation California dan juga merek “SULATCO KALOSI TORAJA COFFEE” dengan gambar rumah Toraja, dengan nomor pendaftaran 74547000, milik IFES Inc. Corporation California (Sommeng dan Damarsasongko, 2008: 91-92). Hal
ini
memberikan akibat hukum dan kerugian bagi Indonesia karena menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda nama Toraja. Pihak Jepang melarang pihak Indonesia melakukan kerjasama dengan pihak manapun selain dengan pihaknya, serta pihak Jepang bebas menjual kopi toraja ke pihak manapun tanpa izin sedangkan Indonesia tidak bebas mengekspor kopi toraja ke luar negeri. Di daerah asalnya sendiri, kopi toraja dipalsukan oleh pihak-pihak tertentu yaitu dengan memasukkan kopi (biji kering) dari luar Toraja dan kemudian dilabeli dengan nama kopi toraja dan dibawa kembali untuk dijual ke pasaran. Pencaplokan dengan menggunakan label Toraja ini, tentunya sangat merugikan pihak produsen, khususnya para petani di Toraja. Bukan hanya karena masalah financial semata, namun citra kopi toraja sebagai salah satu kopi specialty yang terkenal di dunia dapat dirusak oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Mengatasi masalah tersebut, maka perlindungan hukum berupa sertifikat indikasi geografis bagi kopi arabika toraja merupakan sebuah keharusan. Apalagi berdasarkan peraturan internasional dalam WTO menyatakan bahwa setiap negara anggota tidak diwajibkan untuk melindungi produk indikasi geografis yang tidak dilindungi di negara asalnya. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan alas hukum perlindungan domestik dan internasional, maka perlindungan di dalam negeri berupa sertifikat indikasi geografis merupakan langka yang paling utama. Hal ini penting mengingat
2
gaung kopi arabika toraja di dunia internasional dan dalam negeri sebagai kopi yang berkualitas dengan cita rasa yang khas dan hanya berasal dari Toraja sudah sangat diketahui, dengan kata lain, kopi arabika toraja adalah produk berpotensi indikasi geografis yang bernilai ekonomis tinggi. Akhirnya, pada tanggal 25 januari 2014, sertifikat indikasi geografis kopi arabika toraja diserahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM kepada Pemerintah Toraja. Hal ini tentunya tidak terlepas dari berbagai upaya para aktor domestik dalam berbagai aspek yang terkait dan berbagai kendala yang dihadapi. Maka dari itu, berdasarkan pada kondisi yang dijelaskan sebelumnya, tesis ini bertujuan untuk menjelaskan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam berbagai aspek yang terkait. Selain itu, tesis ini
berusaha
menjelaskan
kendala
yang
dihadapi
dalam
proses
memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja.
B. Rumusan Masalah Adapun pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh tesis ini adalah: Apa upaya Indonesia dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja?
C. Tinjauan Literatur Penelitian mengenai masalah indikasi geografis di Indonesia telah cukup banyak dilakukan dalam konteks yang beranekaragam. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya perhatian terhadap masalah indikasi geografis, terutama dalam pembahasan perlindungan potensi indikasi geografis setelah diintegrasikannya peraturan perlindungan indikasi geografis ke dalam Undang-Undang Merek pada tahun 2007. Tinjauan literatur dalam penelitian ini meliputi empat kelompok pembahasan, yaitu perlindungan indikasi geografis di Indonesia, pentingnya indikasi geografis, permasalahan dan sengketa di bidang indikasi geografis, serta
perlindungan dan
penyelesaian sengketa indikasi geografis.
3
Masalah perlindungan indikasi geografis di Indonesia seperti dijelaskan Sommeng dan Damarsasongko (2008) meliputi ketentuan indikasi geografis di Indonesia, termasuk di dalamnya pihak-pihak yang berhak untuk mendaftarkan indikasi geografis; tata cara permohonan indikasi geografis; pemeriksaan permohonan indikasi geografis; tim ahli indikasi geografis; tata cara pemeriksaan substantive permohonan indikasi geografis; pengumuman dan pengawasan terhadap pemakaian indikasi geografis; serta pelanggaran indikasi geografis. Lebih lanjut, Sommeng dan Damarsasongko (2008)
menjelaskan
kebutuhan akan perlindungan indikasi geografis di tanah air merupakan hal yang sangat penting mengingat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal produk-produk yang dapat dilindungi sebagai indikasi geografis. Adanya sistem perlindungan indikasi geografis akan memberikan banyak manfaat, antara lain adanya perlindungan hukum pada produk-produk indikasi geografis di Indonesia. Selanjutnya, indikasi geografis dapat digunakan sebagai marketing tool dalam dunia perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di samping itu, dengan indikasi geografis produk-produk daerah lokal akan memiliki nilai tambah. Hal tersebut diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Senada dengan hal tersebut, Ayu (2005)
menggambarkan bahwa
indikasi geografis selain sebagai rezim Hak Kekayaan Intelektual yang perlindungannya masih paling terbuka bagi pengaruh keragaman budaya bangsa-bangsa di dunia, indikasi geografis juga amat menghargai keterkaitan historis
antara
suatu
produk
dengan
tempat
asalnya.
Karakter
kepemilikannnya pun bersifat komunal dan kolektif. Selain itu, indikasi geografis juga amat potensial untuk menjamin agar keuntungan ekonomi tertinggi dari suatu produk dapat tetap paling dinikmati oleh produsen dari daerah asal produk itu sendiri. Bahkan, di beberapa negara maju indikasi geografis secara nyata mengangkat kesejahteraan
produsen-produsen
di
dalam suatu lokalitas tertentu yang letaknya terpencil dan hanya memiliki alternative mata pencaharian yang amat sedikit. Aspek-aspek perlindungan
4
hak kekayaan intelektual yang paling dibutuhkan oleh mayoritas negaranegara Asia, yang terkenal dengan keragaman budaya, akar historis produk yang kuat, budaya kepemilikan kolektif, kepentingan untuk tetap menguasai produk-produk bangsanya sendiri, serta persoalan kemiskinan. Indonesia memiliki banyak sekali potensi produk indikasi geografis yang harus dilindungi. Salah satunya adalah kopi. Di Indonesia pertumbuhan kopi dapat dikatakan sebagai produk indikasi geografis karena setiap daerah perkebunan kopi akan menghasilkan cita rasa yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor alam berbeda yang dapat dijadikan sebagai dasar perbedaan cita rasa kopi tersebut. Salah satu contohnya adalah kopi toraja. Kopi toraja dikenal dan diakui sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Kopi ini merupakan salah satu dari kopi yang tumbuh di daratan Sulawesi. Sebagai bagian dari fenomena bisnis dan perdagangan, suatu produk yang mempunyai reputasi internasional akan diikuti oleh praktek peniruan, termasuk dalam bentuk dan cara penggunaan nama-nama produk yang sudah terkenal tersebut. Begitu pula dengan kopi toraja yang sudah terkenal mempunyai reputasi di luar negeri. Nama kopi toraja telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek TOARCO TORAJA2. Kasus pendaftaran merek kopi toraja oleh pihak Key Coffee Jepang menjadi fokus bahasan
Nielson. Nielson (2005) berusaha menjelaskan
bagaimana rantai supplai kopi toraja sampai ke Tokyo Jepang dan mampu menguasai konsumen di Jepang. Jaminan kualitas, rasa dan karakteristik kopi toraja yang identik dengan daerah asal atau identitas geografisnya menjadikan kopi toraja sebagai kopi yang diakui bukan hanya di Jepang namun juga dunia internasional. Kimura Coffee (beralih menjadi Key Coffee), sebagai perusahaan yang awalnya memproduksi dan mengelolah perkebunan kopi di Toraja kemudian mendaftarkan merek kopi toraja
dengan nama Toarco
Toraja, sehingga hak eksklusif terhadap kopi toraja tidak dimiliki oleh
2
Merek TOARCO TORAJA dengan nomor pendaftaran 75884722 milik Key Coffe Inc. Corporation Japan menggunakan gambar Rumah Toraja
5
Indonesia dan memberikan kerugian bagi para pengusaha dan petani kopi Toraja. Kasus sengketa indikasi geografis produk kopi juga pernah diteliti oleh Yusnita (2010), dimana kopi kintamani bali juga didaftarkan sebagai merek “Kintamani” pada Direktorat Jenderal HKI oleh sebuah perusahaan nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Merek pemegang hak indikasi geografis kopi kintamani dapat mengajukan gugatan pembatalan terhadap merek terdaftar “Kintamani” untuk melindungi reputasinya itu, karena kopi kintamani bali telah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis pertama dari Direktorat Jenderal HKI pada tahun 2008. Pada tataran internasional, kasus sengketa indikasi geografis juga pernah terjadi di India, yaitu kasus darjeling tea. darjeling tea merupakan salah satu produk indikasi geografis di India yang cukup terkenal karena kekhasannya. Teh ini hanya tumbuh di daerah pegunungan
Sadar,
Kalimpong dan Kurseong dari distrik Darjeeling, West Begal, India. Pemerintah
India
berupaya keras untuk melindungi komoditas ini dari
kemungkinan penyalahgunaan yang dapat menurunkan reputasi atau penggunaan secara tanpa hak yaitu dengan membentuk Tea Board of India. Lembaga ini merupakan pemegang hak atas darjeling tea. Dengan adanya lembaga tersebut maka perlindungan atas produk indikasi geografis Darjeeling Tea dapat terjamin keberadaannya. Kisah sukses perlindungan indikasi geografis darjeling tea
serta
berhasilnya kopi kintamani bali mendapatkan sertifikasi indikasi geografis ini menjadi acuan dan titik terang bagi bangsa Indonesia dalam upaya perlindungan
indikasi geografis kopi toraja. Nielson (2005) menyatakan
bahwa potensi besar kopi toraja yang telah mendunia akan mampu memberikan keuntungan maksimal bagi para produsen di wilayah Toraja jika telah mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Berbeda dengan berbagai karya di atas, tesis ini hendak menyajikan sebuah ulasan tentang upaya
Indonesia dalam mengatasi
masalah
perlindungan potensi indikasi geografis kopi toraja. Karya ini hendak melihat
6
upaya dan peran dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, MPIG serta produsen dalam upaya perlindungan potensi indikasi geografis kopi toraja dan berbagai kendala yang dihadapi.
D. Kerangka Konseptual 1. Indikasi Geografis Indikasi geografis
merupakan sebuah nama dagang yang
dikaitkan, dipakai atau dilekatkan
pada kemasan suatu produk dan
berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut amat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik bagi
masyarakat,
khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk (Ayu, 2006:1). Indikasi Geografis secara internasional disepakati dalam Perjanjian Trade Related Aspects of Intelectual Property Right (TRIPs) yang merumuskan defenisi indikasi geografis dalam Pasal 22 (1) yaitu (Sommeng dan Damarsasongko, 2008: 9-11) : Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan perjanjian ini adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Sebagai penandatangan perjanjian TRIPs, Indonesia merunutkan lagi aturan internasional ini ke dalam Undang-Undang Nasional Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam pasal 56 dijelaskan tentang indikasi geografis, bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua
7
faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.3 Dari segi rumusan, defenisi indikasi geografis sebagaimana diatur dalam pasal 79 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan ketentuan indikasi geografis dalam perjanjian TRIPs, yaitu terdiri dari dua hal pokok : 1. Tanda yang menunjukkan suatu daerah asal atau barang yang dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia 2. Produk dari barang yang dihasilkan tersebut mempunyai ciri dan kualitas. Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu. Dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Tanda dapat berupa bentuk atau etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Selain itu dapat pula berupa nama tempat, daerah atau wilayah, atau kata, gambar, huruf atau kombinasi unsur-unsur tersebut. Seperti halnya pemegang hak atas merek, pemegang hak atas indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan indikasi geografis
yang sama. Pelanggaran terhadap aturan ini menyebabkan
pemegang hak indikasi geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain. Namun, UU Merek menentukan bahwa indikasi geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar4. Hal ini juga berlaku bagi Negara lain, hal ini didasarkan pada peraturan WTO, Negara anggota berkewajiban memberikan perlindungan produk yang sudah dilindung di negara asalnya (terdaftar), maka dari itu pendaftaran indikasi geografis menjadi aspek penting dan bahkan syarat utama dalam mengupayakan perlindungan terhadap produk-produk yang berpotensi indikasi geografis. 3
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131) 4 Pasal 56 ayat (2), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, LN tahun 2011 Nomor 110, TLN Nomor 4131
8
Indonesia menganut sistem pendaftaran yang bersifat konstitusi, yaitu menerapkan asas first to file (pihak yang mendaftarkan terlebih dahulu yang memperoleh hak). Hal tersebut mengimplikasikan bahwa hanya indikasi geografis yang pertama terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang memperoleh hak ekslusif, yaitu hak untuk menkomersialisasikan indikasi geografis sehingga pemegang hak dapat menikmati keuntungan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut mempunyai implikasi lebih luas dalam konteks perlindungan indikasi geografis secara internasional, mengingat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (9) TRIPs, tidak terdapat kewajiban untuk memberikan perlindungan indikasi geografis terhadap indikasi geografis yang tidak dilindungi di negara asalnya.5 2. Konflik antara indikasi geografis dan merek Pengaturan mengenai indikasi geografis dirasakan semakin diperlukan bagi setiap negara mengingat perkembangan akhir-akhir ini yang menunjukkan banyaknya merek-merek dagang atau jasa
yang
mendopleng reputasi indikasi geografis. Banyak pula kasus penggunaan secara tanpa hak nama indikasi geografis. Dalam praktek perdagangan di beberapa negara, antara indikasi geografis dan merek sering terjadi konflik dalam memahami
kedua objek tersebut.
Sebagian
masyarakat
menganggap bahwa indikasi geografis adalah bagian dari merek karena indikasi geografis selalu berkaitan dengan tanda dari suatu produk geografis. Di beberapa negara, misalnya Perancis, Australia dan India, untuk menghindari pemahaman yang keliru antara objek merek dan indikasi geografis, dibuat aturan tersendiri. Menurut sistem dan pemahaman yang dikembangkan di negara-negara tersebut, ruang lingkup perlindungan indikasi geografis berbeda dengan merek. Demikian pula sistem pendaftarannya. 5
Pasal 24 ayat (9), Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights, Part II, Section 3. World Trade Organization.
9
Di Perancis, untuk pendaftaran indikasi geografis harus melalui prosedur yang cukup panjang, termasuk melalui pengujian secara teliti tentang struktur tanah, alam dan lingkungan serta intervensi faktor manusia. Meskipun demikian masih sering terjadi konflik antara indikasi geografis dan merek, terutama dalam bentuk penggunaan nama indikasi geografis dipergunakan sebagai merek dagang atau jasa. Misalnya, champagne dipergunakan untuk jenis barang parfum. Dalam hal demikian orang akan mengira bahwa pendaftaran indikasi geografis berarti pendaftaran merek atau terdapat dua perlindungan yang berlaku secara otomatis yaitu merek dan indikasi geografis. Dari segi lingkup pengaturan, terdapat perbedaan prinsip antara indikasi geografis dan merek. Pokok-pokok perbedaan tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Perbedaan merek dan indikasi geografis No. 1
Defenisi/pengertian
2
Sifat
3
Pemilik
4
Jangka waktu Perlindungan
5
Exploitasi
MEREK
INDIKASI GEOGRAFIS
Adalah sebuah tanda atau nama yang merupakan hasil kreasi intelektual dan dipergunakan pada barang atau jasa Merek tidak menunjukkan kualitas produk
Adalah nama daerah yang digunakan sebagai indikasi yang menunjukkan wilayah/daerah asal produk tersebut. Indikasi geografis menunjukkan kualitas, reputasi dan karakteristik suatu produk Indikasi geografis dimiliki secara komunal
Merek dimiliki oleh perorangan atau perusahaan Merek mempunyai jangka waktu perlindungan
Merek diperjualbelikan dilisensikan
dapat atau
Indikasi Geografis tidak mempunyai batas waktu perlindungan. Atau perlindungan Indikasi geografis berakhir apabila wilayah tersebut tidak dapat menghasilkan lagi produk indikasi geografis. Indikasi geografis tidak dapat diperjualbelikan/dilisensikan.
Sumber : Institut national de l’origene et de la qualite 2001 (INAO) (Sommeng dan Damarsasongko, 2008:95) 10
Dalam praktek memang dimungkinkan adanya pemakaian merek dan indikasi geografis secara berdampingan untuk produk yang sama. Hukum tidak melarang produsen menggunakan merek yang memiliki kaitan dengan indikasi geografis sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku dalam merek dan indikasi geografis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi makin adanya perbedaan indikasi geografis dengan merek. Karena adanya
perbedaan tersebut seringkali terjadi praktek
pemboncengan nama indikasi geografis untuk produk lainnya. 3. Politik domestik dalam kebijakan perdagangan Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam negeri. Henry Kissinger (dalam Hanrieder, 1971:22), akademi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa “foreign policy begins when domestic policy ends”. Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara (domestic) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional (lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik. Politik domestik berhubungan langsung dengan semua isu dan aktivitas di dalam sebuah batas negara. Politik domestik mencakup area yang luas, termasuk bisnis, pendidikan, energi, kesehatan, penegakan hukum, uang dan pajak sumber daya alam, kesejahteraan sosial, hak asasi dan kebebasan dan juga masalah kebijakan perdagangan (Bardes, Shelley, Schmidt, 2013). Politik domestik dalam kebijakan perdagangan menghadirkan dua pendekatan. Pendekatan society centered (pendekatan berpusat pada masyarakat), yaitu menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan dalam suatu negara merupakan kebijakan yang hadir sebagai respon dari tuntutan kelompok kepentingan domestik (domestic
interest groups).
Sedangkan pendekatan state centered (pendekatan berpusat pada negara)
11
menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan yang diambil dalam suatu negara merupakan upaya negara otonom untuk meningkatkan posisinya dalam sistem internasional (Oatley, 2004:76). Dalam tulisan ini digunakan pendekatan society centered, yaitu untuk menganalisis bagaimana upaya dari kelompok kepentingan domestik dalam mempengaruhi kebijakan perdagangan yang diputuskan oleh pemerintah dalam sebuah negara. Kepentingan sosial tidak bertranformasi
langsung
dalam
kebijakan
perdagangan,
namun
kepentingan sosial dibawa ke dalam arena politik dan bertranformasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan yang diproses melalui institusi politik (Oatley, 2004:96). Institusi politik dapat dianggap sebagai wadah bagi masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Krasner (dalam Busch 1978:10) menyatakan bahwa
kebijakan
perdagangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan negara dalam hal bagaimana pemerintah
mampu mewadahi
kelompok kepentingan,
merubah tindakan aktor private dan mentranformasikan ke dalam struktur ekonomi domestik. Sedangkan Goldstein dan Martin (2000) menekankan bahwa perdagangan internasional berinteraksi dengan kepentingan aktor domestik. Politik domestik tidak bisa diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang irrasional dalam membentuk kebijakan perdagangan, sebaliknya
politik
domestik
bekerja
secara
sistematik
dalam
mempengaruhi kebijakan perdagangan. Dibutuhkan aksi kolektif antara negara dalam hal ini pemerintah dengan kelompok kepentingan domestik dalam hal ini masyarakat/kelompok kepentingan terhadap pembentukan sebuah kebijakan perdagangan. Aktor dalam aksi kolektif harus mengetahui atau menyadari bahwa mereka
memiliki
kepentingan
yang sama
atas
suatu
kebijakan
perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aksi kolektif yang dibentuk atas dasar kepentingan inilah yang disebut dengan kelompok kepentingan (interest group) yang bertujuan untuk memperjuangkan suatu kepentingan dan dapat memberikan pengaruh terhadap lembaga-lembaga
12
politik yang ada sehingga menghasilkan keputusan yang menguntungkan dan menghindarkan dari kerugian (Budiarjo, 1982). Goldstein dan Martin (2000) menyebutkan ada tiga hal yang mempengaruhi aksi kolektif, yaitu: besar kecilnya kepentingan oleh aktor-aktor tersebut, kadar informasi mengenai kepentingan aktor-aktor tersebut serta kalkulasi keuntungan yang bisa diambil dari kebijakan pemerintah tersebut. Almond dalam Interest Group and Interest Articulation-nya (1974) menyebutkan setidaknya ada empat jenis kelompok kepentingan yaitu : 1. Kelompok anomik yaitu kelompok yang terbentuk diantara unsurunsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika, dan karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka kelompok ini sering tumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvensional, seperti, demontrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik dll. 2. Kelompok Non Assosiasional, yaitu kelompok yang termasuk kategori kelompok masyarakat awam (belum maju) dan tidak terorganisir rapi dan kegiatannya bersifat temporer (kadangkala). Wujud kelompok ini antara lain adalah kelompok keluarga, keturunan, etnik, regional yang menyatakan kepentingan melalui individu-individu, klik-klik, kepala keluarga dan atau pemimpin agama. 3. Kelompok Institusional, yaitu adalah kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi, tugas, fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya, partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan lain-lain. 4. Kelompok Assosiasional, yaitu kelompok yang terbentuk dari masyarakat
dengan
fungsi
untuk
mengartikulasi
kepentingan
anggotanya kepada pemerintah. Kelompok ini memakai tenaga profesional
dan
memiliki
kepentingan dan tuntutannya.
prosedur
baku
untuk
merumuskan
Contoh lembaga ini adalah Serikat
Buruh, KADIN, Paguyuban, MUI, NU, Muhammadiyah, KWI dan lain-lain. Lebih lanjut, kelompok asosiasional ini dibagi lagi menjadi
13
(1) Sectional/funcional groups, kelompok ini dibentuk berdasarkan fungsi sektoral misalnya : Asosiasi Petani, Asosiasi Buruh, Korpri, PGRI, IDI. (2) Promotional Groups, kelompok ini dibentuk didasarkan pada isu yang terjadi, misalnya : Green Peace, Kontras, LBH dan (3) Sosial Movement Group, kelompok ini lebih merupakan spirit yang menggerakkan dua asosiasi diatas. Konsep politik domestik dalam kebijakan perdagangan ini dianggap relevan dalam menjelaskan
kasus ini yaitu dengan
menggunakan pendekatan society centered. Pendekatan society centered digunakan untuk menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yaitu sertifikat indikasi geografis bagi kopi arabika toraja merupakan hasil dari tuntutan para aktor domestik yang tergabung dalam
kelompok kepentingan domestik.
Melalui
pendekatan ini akan dikaji bagaimana para aktor domestik yaitu kelompok kepentingan mengupayakan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja dalam berbagai aspek sesuai dengan ranah tanggungjawabnya masing-masing. Kelompok kepentingan yang dimaksud adalah Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja. MPIG Kopi Arabika Toraja dibentuk dengan memiliki prosedur baku dalam merumuskan kepentingan dan tuntutannya, serta didukung oleh tenagatenaga professional sehingga termasuk dalam kategori jenis kelompok kepentingan assosiasional. Dan secara spesifik masuk dalam kategori sectional/functional groups karena adanya fungsi sektoral dan tujuan yang jelas. MPIG Kopi Arabika Toraja merupakan gabungan dari para
produsen kopi, pengolah kopi, dan dewan penasehat yang
bertujuan untuk memohonkan perlindungan indikasi geografis bagi kopi arabika toraja yang diharapkan mampu memberikan manfaat dan keuntungan maksimal bagi mereka. Selain MPIG Kopi Arabika Toraja, keberadaan
aktor-aktor
domestik
seperti
keterlibatan
DJHKI,
Pemerintah daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, LSM dan 14
produsen kopi dalam upaya mewujudkan tuntutan atau permohonan yang diajukan oleh MPIG Kopi Arabika Toraja turut menjadi bagian yang diperhatikan.
E. Argumen Utama Upaya Indonesia dalam memperjuangkan pengakuan indikasi geografis kopi arabika toraja dapat dijelaskan dengan melihat adanya tuntutan kelompok kepentingan domestik yaitu MPIG Kopi Arabika Toraja yang mendaftarkan permohonan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja pada 12 September 2012. MPIG Kopi Arabika Toraja dalam istilah Almond (1974) merupakan salah satu jenis kelompok kepentingan assosiasional yang merupakan gabungan dari para produsen kopi (petani), pengolah kopi (koperasi, pengolah dan penyangrai) dan dewan penasehat (Pemda, LSM dan para pembeli kopi arabika toraja).
Oathley (2004) menyatakan
bahwa
meskipun para kelompok kepentingan tidak bertransformasi langsung dalam menentukan kebijakan tersebut, namun transformasi ini secara jelas tampak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui institusi-institusi politiknya, yaitu dengan dikeluarkannya sertifikat indikasi geografis kopi arabika toraja oleh Kementrian Hukum dan HAM (Kemenhumham).
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian ilmu sosial yang bersifat deskriptif dan berusaha untuk menginterpretasikan
gejala yang
terjadi pada sebuah konteks sosial. Penelitian ini menekankan penggalian data secara mendalam melalui sumber-sumber yang tertulis dan wawancara yang mendalam dengan narasumber. Harapan dari setiap penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti (Bogdan and Steven, 1975). Pengumpulan data untuk penulisan tesis ini dilakukan melalui dua cara, yaitu :
15
1. Data primer, data dikumpulkan melalui wawancara dengan orang yang memiliki authority di bidang ini, seperti : Pemerintah dalam hal ini Dirjen HKI, Pemerintah
Daerah Tana Toraja & Toraja Utara atau
Pejabat/pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja dan Toraja Utara, Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Produsen dalam hal ini petani kopi setempat. 2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil tulisan orang lain yang telah dipublikasikan, seperti buku, jurnal, dokumen, artikel, media cetak dan juga laporan dari berbagai sumber yang relevan dengan hasil penelitian yang akan diakumulasikan
dan
disusun. Data yang diperoleh kemudian dikomparasikan
sehingga
dapat
diperoleh
generalisasi terhadap data tersebut. Penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dalam menganalisis data yang ada dengan maksud untuk memberikan gambaran secara jelas tentang perkembangan kasus perlindungan terhadap potensi indikasi geografis kopi toraja ini serta upaya-upaya apa yang telah dan dapat diterapkan dalam proses penyelesaian dan pencegahan terhadap kasus yang sama.
E. Sistematika Penulisan Tesis Sistematika penulisan ini akan dijelaskan dalam lima bab. Bab
I
Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan literatur, kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan tesis. Bab II Memahami perlindungan indikasi geografis yang akan membahas tentang
perlindungan indikasi geografis
dalam
kerangka perjanjian internasional, dimana bagian ini akan membahas konvensi internasional terkait indikasi geografis yang juga memberikan pengaruh terhadap TRIPs. Lebih lanjut, bab ini akan membahas secara spesifik tentang perlindungan indikasi geografis di Indonesia yang membahas tentang ketentuan indikasi geografis di Indonesia serta tata cara pengajuan
16
permohonan indikasi geografis di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dan terakhir akan menguraikan tentang kopi arabika toraja sebagai produk indikasi geografis, yaitu menjelaskan karakteristik
dan kualitas kopi arabika toraja dan
pendaftaran indikasi geografis kopi arabika toraja. Bab III Perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja : upaya dan kendala. Bab ini secara garis besar akan membahas upaya yang telah dilakukan dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja. Bagian pertama akan membahas upaya yang dilakukan oleh para pihak dalam aspek hukum, upaya dalam peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang indikasi geografis; upaya pemberdayaan petani kopi toraja; bantuan dana, pemeriksaan dan kontrol keterunutan terhadap kopi arabika toraja. Bagian kedua akan membahas tentang kendala yang dihadapi dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja. Kendala ini akan dilihat dari aspek hukum; pendidikan dan kesadaran para aktor; aspek prosedur pendaftaran: biaya dan administrasi; aspek ekonomi; serta kendala dalam aspek sosial budaya. Bab IV Penutup, dimana bagian ini yang akan memberikan jawaban pertanyaan yang telah diajukan dalam bagian awal penelitian. Kesimpulan akan diambil berdasarkan temuan dan ringkasan yang diperoleh dari bagian pembahasan. Kesimpulan sementara menunjukkan bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait telah mengusahakan upaya perlindungan
indikasi
geografis kopi toraja. Kerjasama dan koordinasi dari semua elemen dalam berbagai aspek merupakan bagian penting demi tercapainya maksud dari perlindungan produk-produk berpotensi indikasi geografis pada umumnya, dan kasus kopi toraja pada khususnya.
17