BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai otoritas tertinggi dalam perdagangan bebas dunia, World Trade Organization (WTO) tidak hanya mengatur perdagangan barang, ia juga mengatur perdagangan jasa. Jika aturan perdagangan barang tertuang dalam General Agreement on Trade and Tariff (GATT), maka aturan perdagangan jasa tertuang dalam General Agreement on Trade in Service (GATS).
Berbeda dengan GATT yang hampir dapat dikatakan secara otomatis memasukkan semua jenis barang yang didagangkan ke dalam schedule of commitment (meskipun ada beberapa pengecualian), negosiasi liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dalam model initial request dan initial offer. Setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor jasa yang diinginkan untuk dibuka di negara lain, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh negara yang diminta dengan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri (initial offer). Perundingan untuk perluasan perdagangan sektor jasa ini diserahkan oleh WTO untuk dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negara, yang apabila kemudian ditemukan kata sepakat akan berlaku secara multilateral (Setiawan, 2008).
12
Jasa pendidikan yang di negara berkembang umumnya disediakan oleh negara pun tak luput dari proses liberalisasi ini. Ada 4 buah model perdagangan jasa pendidikan yang diidentifikasi oleh WTO. (1) Cross-Border Supply, Institusi pendidikan tinggi menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program bagi peminat dari luar negeri. (2) Consumption Abroad, jasa pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari luar negeri. (3) Commercial Presence, kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan memebentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement, dengan perguruan tinggi lokal. (4) Presence of Natural Person, kehadiran dosen atau pengajar dari luar negeri pada lembaga pendidikan tinggi lokal (Effendi, 2005, p. 6).
Liberalisasi saja sudah sangat dimusuhi, apalagi jika ditambah embel-embel pendidikan. Pada awal mula mencuatnya isu liberalisasi pendidikan di tahun 2000, ia dianggap sebagai agenda dari negara maju untuk semakin menguatkan ekspansi perdagangannya. Paling tidak ada tiga negara yang dianggap sangat berkepentingan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hal ini dikarenakan fakta yang menunjukkan bahwa di tahun 2000 Amerika Serikat mampu menghasilkan US$ 14 Milyar dari ekspor jasa pendidikan. Australia mampu meraup AUS$ 1,2 Milyar dari ekspor jasa pendidikan dan pelatihan. Sementara di Inggris, sektor jasa pendidikan mampu menyumbang 4 persen dari total pemasukan sektor ekspor jasa (Setiawan, 2008).
13
Melihat fakta yang ada di atas, maka wajar jika sampai saat ini perdebatan mengenai liberalisasi pendidikan di Indonesia masih berlangsung sengit. Di Indonesia, akar proses liberalisasi pendidikan dimulai ketika terbitnya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi berhak menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya (Pasal 50 ayat 6). Proses ini kemudian berlanjut dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007, yang mengkategorikan pendidikan sebagai sebuah bidang usaha. Dalam PP ini, sektor pendidikan boleh mendapatkan modal asing hingga angka 49%.
Sebelumnya,
beberapa perguruan tinggi telah ditetapkan berstaus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seperti UGM, UI, ITB, dan IPB, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Mereka berhak menjalankan peraturan yang ada di Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden No.77 Tahun 2007.
Puncak dari pembahasan isu liberalisasi pendidikan tinggi terjadi pada tahun 2009, ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU ini kemudian menuai kontroversi di berbagai kalangan –mulai dari mahasiswa hingga akademisi-, karena dianggap sebagai legitimasi pelepasan tanggung jawab pemerintah di ranah pendidikan. UU ini akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tak lama berselang. Di tahun 2012,
14
DPR kembali merumuskan UU Pendidikan Tinggi, yang juga masih menuai kontroversi. UU tersebut kini sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
Batalnya UU Badan Hukum Pendidikan bukan berarti menandakan tidak terjadinya proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Karena setidaknya secara kasat kita bisa melihat Mode 2, 3, dan 4 WTO hadir di sini. Kita melihat ada beberapa universitas besar yang memiliki program kerjasama dual degree dengan universitas di luar negeri. Beberapa universitas juga membuka kelas internasional yang memungkinkan mahasiswa asing untuk belajar. Dan beberapa pengajar dari luar negeri juga mengajar di universitas tersebut. Namun liberalisasi ini tidak berjalan massif, karena belum didukung oleh aturan yang kuat.
Sementara itu, hal yang berbeda terjadi di Cina. Di dalam Education Reform and Education Policy in East Asia, Ka Ho Mok menjelaskan bahwa liberalisasi pendidikan telah berlangsung sejak tahun 1985 di Cina. Ini sudah sangat lama, bahkan jauh sebelum Cina bergabung dengan WTO di tahun 2000. Liberalisasi yang terjadi di Cina sangat menarik, karena dianggap berhasil menghadirkan kolaborasi apik antara pemerintah dan swasta yang diistilahkan dengan nama Guayou Minban (Mok, 2006, p. 103).
Puncak dari proses liberalisasi pendidikan tinggi di Cina terjadi pada Tahun 2003. Kala itu Cina mengeluarkan Undang-Undang yang bernama Regulations of the People's Republic of China on Chinese-Foreign Cooperation in Running Schools.
15
Tak hanya sekedar memperbolehkan adanya program dual degree, kehadiran mahasiswa asing, ataupun tenaga pengajar asing, Undang-Undang ini bahkan menjadi dasar hukum bagi beroperasinya perguruan tinggi asing ke Cina dengan format join venture. Komitmen Cina pada liberalisasi pendidikan ini kemudian dipertegas dengan berdirinya The University of Nottingham Ningbo China (UNNC) pada tahun 2004. Dua tahun kemudian, Liverpool University dalam kemitraan dengan Xi'an Jiaotong salah satu perguruan tinggi terbaik di China, membuka sebuah universitas baru yang berada 100km (60 mil) dari kota Shanghai (Economist, 2008).
Cina terbukti semakin giat dalam menjalankan liberalisasi pendidikan. Data dari laporan KPMG –sebuah lembaga audit Independen- di tahun 2010, menunjukkan bahwa di tahun 2009 ada 30 perguruan tinggi asing yang beroperasi di Cina, serta ada 350 kerjasama yang telah disepakati dalam hal pengadaan jasa pendidikan tinggi tingkat sarjana ke atas (KPMG, 2010). Gambaran komitmen Cina ini tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Jika tesis mengenai liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan akses pendidikan tinggi sebuah negara benar, maka mungkin saja liberalisasi pendidikan tinggi bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar bagi berbagai persoalan yang sama yang ada di Indoensia, yaitu belum berhasilnya pemerintah dalam menjamin kepastian akses pendidikan tinggi bagi seluruh
16
rakyatnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini hanya 16% anak usia 19-25 tahun Indonesia yang bisa menikmati bangku kuliah (BPS, 2013).
Selain itu, saat ini Indonesia juga sedang mendapatkan Bonus Demografi, yaitu kesempatan yang dinikmati oleh negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang usia15-64 tahun). Bonus demografi ini jika dikelola dengan baik tentu dapat mendatangkan efek yang baik pada beragam aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya). Namun jika salah mengelola, ia juga bisa menjadi kutukan. Misalkan, ketika ledakan jumlah usia produktif ini tidak diimbangi oleh ketersediaan akses pendidikan dan lapangan pekerjaan. Dan tentu saja, hal paling vital yang harus dipenuhi agar bonus demografi ini bisa bermanfaat adalah terciptanya akses pendidikan yang menyeluruh, yang mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Barangkali Indonesia butuh contoh, bagaimana gambaran lain dinamika liberalisasi pendidikan, dan apa saja untung rugi yang didapatkan. Oleh karena itu, sangat menarik untuk membandingkan proses liberalisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia dan yang terjadi di Cina. Selain karena sama-sama negara sedang berkembang
yang
masih
terus
meningkatkan
kemampuan
negara
untuk
menyejahterakan rakyat, menjaga kedaulatan, dan meningkatkan daya saing di kancah internasional, Cina dan Indonesia juga memiliki kemiripan kultur sebagai bangsa timur. Indonesia dan Cina pun sama-sama negara dengan populasi penduduk
17
yang sangat besar. Penduduk Cina di tahun 2013 sekitar 1,34 Milyar jiwa, sedangkan Indonesia sekitar 248 juta jiwa. Di kedua negara yang pembangunannya agak terlambat dan juga memiliki sejarah kelam perpolitikan domestik ini –Cina dalam kekangan rezim komunisme yang sangat terkomando dan tertutup, dan Indonesia yang mengalami periode kolonialisme yang amat panjang-, negara cukup kesulitan untuk memberikan pendidikan yang layak kepada seluruh warga negaranya. Dan yang paling utama, Cina dan Indonesia saat ini sama-sama sedang menghadapi tuntutan perdagangan bebas dalam kerangka kerjasama WTO.
Masyarakat Indonesia juga perlu memilki pemahaman lebih jauh mengenai regulasi yang ada dalam liberalisasi pendidikan secara khusus, dan perdagangan jasa secara umum. Seperti jasa apa saja yang bisa diperdagangkan, dan bagaimana berlakunya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment. Tesis ini kemudian akan coba menjawab bagaimana respon dan aplikasi ide-ide alternatif dalam proses liberalisasi pendidikan tinggi di era rezim perdagangan bebas, terutama yang terjadi di negara sedang berkembang.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana perbandingan dinamika liberalisasi pendidikan tinggi di Cina dan Indonesia?
18
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan tema liberalisasi atau internasionalisasi pendidikan tinggi telah cukup banyak dilakukan sebelumnya. Dua dari yang paling banyak dirujuk antara lain adalah Strategies for Internationalisation of Higher Education; A Comparative study of Australia, Canada, Europe and the United States of America (1995), karya Jane Knight dan Hans de Wit, serta Trade in Higher Education Service: the Implications of GATS (2002) karya Jane Knight.
Karya yang pertama fokus pada penjabaran sejarah internasionalisasi pendidikan tinggi sejak zaman rennaisance hingga zaman perang dingin, serta pembahasan mengenai orientasi negara dalam melakukan liberalisasi pendidikan tinggi. Terkait fokus kedua, karya ini membagi orientasi negara dalam dua hal besar: alasan-alasan ekonomi dan politik, dan alasan-alasan budaya dan pendidikan. Alasan-alasan ekonomi dan politik menggabungkan argumen yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam perekonomian di masa depan, pasar tenaga kerja, kebijakan luar negeri, insentif keuangan dan kebutuhan pendidikan di ranah nasional. Sedangkan untuk dimensi budaya dan pendidikan, adalah alasan yang terkait dengan fungsi budaya, pengembangan individu, dimensi internasional dari penelitian dan pengajaran, pembangunan institusi, serta peningkatan kualitas dalam pendidikan dan penelitian.
19
Sementara karya yang kedua, Jane Knight seperti ingin menyempurnakan hasil penelitian pada karyanya bersama Hans de Wit. Karya ini secara umum ingin menunjukkan bahwa setiap negara sebenarnya memiliki alasan yang berbeda-beda dalam menjalankan internasionalisasi pendidikan. Dalam karya ini dijelaskan mengenai orientasi Australia dalam liberalisasi pendidikan tinggi, yang lebih menekankan pada kemudahan akses pendidikan bagi seluruh warganya. Lalu Selandia Baru yang lebih fokus pada pencarian manfaat ekonomi dan sosial. Serta Amerika Serikat yang lebih berorientasi pada penyebaran pemahaman homogenisasi pemikiran ekonomi global, dan peningkatan daya saing negaranya. Selain dua penelitian tersebut, ada juga penelitian lain yang relevan yaitu karya Li Wen Zang yang berjudul China's Higher Education Trade and The Impact of The WTO/GATS Liberalization (2006). Fokus utama dari karya ini adalah penjabaran mengenai manfaat langsung yang dirasakan Cina akibat adanya liberalisasi pendidikan, terutama dalam bidang ekonomi. Karya ini menjelaskan 3 manfaat utama yang diperoleh Cina, yaitu: peningkatan keahlian tenaga kerja, meluasnya jaringan yang tersebar di seluruh dunia, serta brain gain, di mana banyak warga negara Cina yang kuliah di luar negeri, yang kemudian berkomitmen untuk pulang dan membangun negaranya. Sementara di Indonesia sendiri, pada bulan April 2014 lalu terbit sebuah karya dari Darmaningtyas, Edi Subkhan dan Fahmi Panimbang, yang berjudul Melawan Liberalisme Pendidikan. Karya ini mengkaji secara detil bagaimana perubahan
20
orientasi Perguruan Tinggi di Indonesia, yang semenjak adanya tuntutan liberalisasi pendidikan tinggi dari WTO, dirasa semakin komersil. Karya ini juga dilengkapi dengan catatan perlawanan berbagai elemen masyarakat di Indonesia dalam menolak liberalisasi pendidikan tinggi. Dalam tesis yang penulis buat ini, penulis juga menjadikan karya-karya di atas sebagai bahan referensi. Karya-karya Jane Knight misalkan, sangat membantu penulis dalam melihat alasan-alasan mengemukanya diskusi-diskusi mengenai perdagangan jasa pendidikan pada akhir tahun 80an dan awal 90an, serta di dalam perundinganperundingan WTO.
Karya Li Wen Zang membantu penulis dalam memulai
penelusuran mengenai dinamika liberalisasi pendidikan tinggi di Cina. Sedangkan karya Dharmaningtyas dkk, sangat membantu penulis dalam memahami sudut pandang kritis terhadap kebijakan liberalisasi pendidikan yang ada di Indonesia. Tesis penulis sendiri adalah sebuah upaya untuk membandingkan respon dan pengalaman Cina dan Indonesia terkait dengan liberalisasi sektor pendidikan tinggi. Tak hanya sekedar membandingkan, penulis juga berupaya melihat pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia dari pengalaman Cina, serta beberapa hal yang menjadi tantangan Indonesia ke depannya terkait dengan liberalisasi pendidikan tinggi.
D. Kerangka Konseptual
21
Untuk menjelaskan bagaimana dinamika liberalisasi pendidikan tinggi di Cina dan Indonesia, setidaknya ada dua faktor yang terlebih dahulu harus dijabarkan. Pertama, mengenai bagaimana kondisi struktur politik internasional
yang
mempengaruhi kedua negara dalam mengambil langkah liberalisasi pendidikan tinggi. Yang kedua, penjabaran persoalan-persoalan domestik yang dianggap sulit untuk dipecahkan secara internal. Negara kemudian mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan ini melalui dukungan dari ranah eksternal, yang dimungkinkan akibat adanya pengaruh dari kondisi politik internasional.
Terkait hal yang pertama, tentu saja kemunculan liberalisasi perdagangan jasa pendidikan tinggi di Cina dan Indonesia sangat terpengaruh dengan konsep globalisasi yang begitu populer di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. Oleh karena itu, penting kemudian untuk menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud globalisasi.
Menurut Anthony Giddens, globalisasi sangat terkait dengan transformasi ruang dan waktu. Di dalam globalisasi, ruang dan waktu direntangkan. Kita semakin tak terikat dengan ruang dan waktu. globalisasi juga ditandai dengan intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil dan begitu pula sebaliknya. Globalisasi adalah suatu proses dialektis karena peristiwa
22
lokal mungkin bergerak ke depan dari relasi berjarak yang membentuk mereka (Giddens, 2005, p. 84).
Saat ini bisa dikatakan globalisasi telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia. Ia menjadi menarik karena bercita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Manifestasi utama dari globalisasi dapat dilihat dari terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 1995, yang mencita-citakan terwujudnya pembangunan yang merata di seluruh dunia melalui penghilangan sekat-sekat yang membatasi lalu lintas baik jasa maupun barang.
Salah satu pilar utama dalam pembangunan hajat hidup umat manusia adalah pendidikan. Oleh karena itu, ia pun menjadi salah satu bagian utama dalam globalisasi. Pendidikan kini tak lagi mengenal sekat-sekat batas. Tidak hanya orang Inggris yang boleh belajar di Inggris. Orang Indonesia pun berhak belajar di Inggris. Bahkan saat ini muncul anggapan bahwa sah-sah saja bila ada perguruan tinggi dari luar negeri yang beroperasi di dalam negeri demi memastikan terpenuhinya akses pendidikan. Pendidikan kemudian dianggap sebuah entitas universal, yang tujuan utamanya dianggap homogen di seluruh dunia.
Sebenarnya globalisasi dalam dunia pendidikan sudah sangat lama terjadi. Hal ini terlihat dari banyaknya orang-orang yang belajar ke luar negeri sejak zaman dahulu. Namun hal ini semakin diintensifkan seiring dengan berdirinya WTO, yang kemudian menelurkan aturan GATS. Indonesia yang bergabung dengan WTO pada tahun 1995,
23
dan Cina yang bergabung pada tahun 2001, kemudian secara langsung ikut terseret dalam arus globalisasi pendidikan ini.
Lalu terkait dengan faktor kedua, Cina dan Indonesia merupakan negara yang sama-sama mengalami ledakan jumlah penduduk yang amat besar. Penduduk Cina di tahun 2013 sekitar 1,34 Milyar jiwa, sedangkan Indonesia sekitar 248 juta jiwa. Di kedua negara yang pembangunannya agak terlambat dan juga memiliki sejarah kelam perpolitikan domestik ini –Cina dalam kekangan rezim komunisme yang sangat terkomando dan tertutup, dan Indonesia yang mengalami periode kolonialisme yang amat panjang-, negara cukup kesulitan untuk memberikan pendidikan yang layak kepada seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan globalisasi, kedua negara seperti menemukan jalan keluar atas persoalan ini, yaitu liberalisasi pendidikan.
Globalisasi pendidikan tinggi ini pada umumnya dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan, diharapkan tenaga kerja suatu negara dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam konteks negara-negara Association of South East Asia Nations (ASEAN), mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Cina pun seperti itu, untuk membangun
24
negaranya yang amat luas, tentu ia memerlukan manusia-manusia terdidik yang cemerlang.
WTO dan Aturan Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Untuk menjelaskan bagaimana dinamika liberalisasi pendidikan tinggi yang ada di Indonesia dan Cina setelah bergabung dengan WTO, perlu untuk melihat aturan perdagangan jasa yang ada di dalam perjanjian WTO, dalam hal ini yang tertuang dalam GATS. Di dalam Pasal 1 artikel 3(b) disebutkan bahwa “service includes any service in any sector except services supplied in the exercise of governmental authority” -jasa mencakup setiap jasa pada setiap sektor kecuali jasa-jasa yang diberikan dalam rangka melaksanakan wewenang pemerintah-. Sedangkan pada artikel 3(c) dijelaskan “a service supplied in the exercise of governmental authority’ means any service which is supplied neither on a commercial basis, nor in competition with one or more service suppliers”. -suatu jasa diberikan dalam rangka untuk melaksanakan wewenang pemerintah berarti suatu jasa yang diberikan tidak untuk komersial atau tidak berkompetisi dengan satu atau lebih pemberi jasa lain- (Hawin, 2012).
Dari definisi jasa menurut WTO di atas, penting untuk digarisbawahi bahwa jasa yang bisa diperdagangkan dalam kerangka GATS adalah jasa-jasa yang memang dikomersilkan dan bukan merupakan jasa yang menjadi hak monopoli pemerintah. Di dalam kuliah Hukum Perdagangan Internasional yang penulis
25
ikuti, Prof. Hawin (Guru Besar Fakultas Hukum UGM) menjelaskan lebih detil mengenai pengertian komersil di dalam pasal tersebut. Menurutnya, jasa yang komersil adalah jasa yang praktik perdagangannya memiliki kompetisi dengan minimal satu penyedia jasa sejenis yang lain.
Pengkategorian jasa yang tergolong komersil atau bukan tentu memiliki perbedaan di masing-masing Negara. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dijabarkan sedikit di latar belakang masalah, negosiasi liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dalam model initial request dan initial offer. Setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor jasa yang diinginkan untuk dibuka di negara lain, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh negara yang diminta dengan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri (initial offer). Perundingan untuk perluasan perdagangan sektor jasa ini diserahkan oleh WTO untuk dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negara, yang apabila kemudian ditemukan kata sepakat akan berlaku secara multilateral (Setiawan, 2008).
Sedangkan bentuk-bentuk perdagangan yang diatur di dalam GATS adalah sebagai berikut (Ennew, 2009):
GATS Mode 1 (Cross Border Supply): Penyedia dan penerima jasa tetap berada di negara asal mereka. Layanan jasa ini disampaikan melalui
media-media
yang
memungkinkan
seseorang
untuk
26
berinteraksi jarak jauh tanpa harus ada pergerakan dari tempat ia berasal. Salah satu contohnya adalah kuliah online yang bisa diikuti oleh orang-orang dari luar negeri. GATS Mode 2 (Consumption Abroad): Penerima pelayanan pendidikan bergerak ke negara penyedia jasa. Ini adalah format paling umum dan telah berlangsung sangat lama dalam sektor perdagangan jasa pendidikan. Praktiknya adalah, sebuah lembaga pendidikan merekrut siswa dalam jangkauan internasional untuk mempelajari semua atau sebagian dari program di lembaga pendidikan tersebut. Peneliti yang melakukan penelitian di sebuah kampus di luar negeri dalam format joint research atau fellowship program juga termasuk dalam kategori ini. GATS Mode 3 (Commercial Presence): Kategori ini melibatkan kehadiran langusng penyedia jasa komersial, di mana penyedia menetapkan basis permanen di pasar domestik penerima. Pada awal kerjasamanya, kategori ini biasanya akan berbentuk waralaba, lalu kemudian
akan
berkembang
menjadi
kampus internasional sendiri yang berusaha menarik peminat dari siswa-siswa di negara tuan rumah. GATS Mode 4 (Presence of Natural Person): Kategori ini juga merupakan salah satu kategori yang sudah lazim terjadi. Praktik
27
perdagangannya berbentuk kehadiran tenaga pengajar dari luar negeri yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan lokal.
Setelah memahami bagaimana rincian dari bentuk-bentuk perdagangan yang diatur didalam GATS, penting juga untuk memahami bagaimana berlakunya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment di dalam perjanjian GATS.
Prinsip Most Favoured Nation atau prinsip non-diskriminasi dipahami sebagai perlakuan yang “sama” oleh anggota WTO kepada semua anggota WTO lainnya. Sedangkan prinsip National Treatment dipahami sebagai perlakuan yang “sama” antara produk dalam negeri dan produk impor. Di dalam perjanjian GATS, prinsip Most Favoured Nation –beserta ketentuan transparency- berlaku secara umum bagi setiap jasa yang dibuka perdagangannya ataupun tidak. Sedangkan prinsip National Treatment –beserta ketentuan Market Access- hanya berlaku untuk sektor dan subsektor yang dibuka dan juga harus dinegosiasikan. Negara-negara yang memberi komitmennya juga boleh menetapkan syarat-syarat dan pembatasan-pembatasan berlakunya prinsip National Treatment dan Market Access. Lalu, diperbolehkan juga menentukan “exemptions” untuk Most Favoured Nation (Hawin, 2012).
Penjabaran ini tentu menarik untuk disimak, karena prinsip yang serupa tidak berlaku sama pada perdagangan lain, misalkan perdagangan barang yang diatur di
28
dalam GATT. Di dalam GATT, prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment berlaku secara umum baik untuk barang-barang yang sudah tercantum dalam schedule of commitment maupun barang-barang yang tidak tercantum. Keduanya juga berlaku otomatis tanpa dinegosiasikan.
Perbedaan yang ada antara aturan GATT dan GATS ini kemudian memberikan celah yang begitu besar bagi Negara dalam memainkan perannya di percaturan politik perdagangan global. Walaupun negara tidak dapat menghalangi akses bagi masuknya layanan jasa dari luar negeri setelah ia memberikan komitmennya, namun setidaknya Negara dapat mengatur sedemikian rupa perbedaan perlakuan antara penyedia jasa-jasa dari luar negeri dan penyedia jasa lokal. Negara juga berhak menentukan hal-hal prinsipil apa yang harus dipatuhi oleh setiap penyedia layanan jasa yang ingin beroperasi di negaranya. Oleh karena itu, sekilas dapat dipastikan bahwa dalam liberalisasi perdagangan jasa global, Negara masih memiliki kekuatan untuk melindungi produk-produk lokalnya yang seringkali ditakutkan akan mendapatkan dampak buruk. Ini yang kemudian menjadi menarik, yaitu melihat bagaimana Cina dan Indonesia bergulat dalam memanfaatkan celah dalam perjanjian GATS demi kepentingan nasionalnya.
29
E. Argumen Utama
Globalisasi dan kelahiran WTO secara langsung telah mendorong negara-negara berkembang seperti Cina dan Indonesia untuk mengambil kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi. Alasan utamanya adalah keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan akses pendidikan tinggi yang disebabkan oleh besarnya ledakan jumlah penduduk dan luasnya jangkauan geografis. Di Cina, liberalisasi pendidikan tinggi ini secara umum terus telah berjalan dan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh penciptaan regulasi yang baik, yang juga didukung oleh sistem politik domestik terkomando. Sedangkan di Indonesia, liberalisasi pendidikan tinggi masih mengahadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh (1) ketidakjelian pembuat undang-undang dalam melihat celah-celah yang bisa dimanfaatkan dalam aturan GATS, (2) terkait faktor pertama, regulasi yang dihasilkan masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang sangat alot. Apalagi perdebatan tersebut didukung oleh sistem politik domestik yang demokratis.
F. Jangkauan Penelitian Agar pembahasan lebih terfokus pada permasalahan, maka penulis memberikan batasan pada tesis ini. Secara umum, penulis hanya akan menjelaskan bagaimana globalisasi melalui instrumen perdagangan bebasnya yang diatur di dalam WTO, telah mendorong negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Cina untuk mengambil kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi. Penulis akan mengidentifikasi
30
secara umum bagaimana sejarah mengenai munculnya gagasan untuk memasukkan perdagangan layanan jasa ke dalam skema aturan perdagangan global. Setelah itu penulis akan mendeskripsikan secara rinci dari waktu ke waktu, bagaimana dinamika liberalisasi pendidikan di Cina dan Indonesia pasca bergabung dengan WTO. Akan dijelaskan juga mengenai gambaran aturan liberalisasi pendidikan yang ada di kedua negara, yang ditujukan untuk memilah apa perbedaannya, serta untuk melihat strategi-strategi khusus yang dipergunakan oleh kedua negara dalam meminimalisir dampak buruk liberalisasi pendidikan. G. Metode Pengumpulan Data Penulis berupaya mengembangkan tulisan yang bercorak deskriptif analitis; yaitu memberikan gambaran mengenai dinamika liberalisasi pendidikan tinggi yang telah dijalani oleh Cina dan Indonesia. Penulis akan coba menggambarkan mengenai bagaimana starategi yang dilakukan Cina dalam menghadang dampak buruk yang mungkin terjadi akibat adanya liberalisasi pendidikan. Dalam penulisan tesis ini penulis menghimpun data lewat studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan ini merupakan teknik pengumpulan data lewat bacaan (general reading) dengan mengumpulkan materi tulisan lewat referensi, buku-buku, artikel-artikel yang berhubungan GATS secara umum, Liberalisasi pendidikan tinggi secara khusus, serta sumber-sumber yang terkait dengan UndangUndang dan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi yang ada di Cina dan Indonesia.
31
Beberapa literatur penulis miliki sendiri, sedangkan yang lain meminjam dari berbagai perpustakaan yang ada. Penulis juga memanfaatkan fasilitas internet sebagai sumber data yang lain. Adapun mengenai analisis data, penulis menggunakan metode induktif atas berbagai materi tulisan dengan mencari hal-hal khusus yang tampak dari beberapa referensi yang dibaca. Beberapa data yang diperoleh dari banyak literatur penulis kumpulkan dan dianalisa dengan cara membandingkan serta melakukan seleksi H. Sistematika Penulisan BAB I Bab ini merupkan bab pengantar yang berisi Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penelitian, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Kerangka Dasar Pemikiran, Hipotesa, Metodologi Penulisan, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Bab ini menguraikan sejarah singkat berdirinya WTO yang kemudian melahirkan perjanjian GATS, serta uraian mengenai alasan mengapa negara dituntut untuk meliberalisasi sektor pendidikannya. BAB III Bab ini menguraikan perbandingan sejarah liberalisasi pendidikan tinggi di Cina dan Indonesia, serta bagaimana dinamika dan ciri kebijakannya. Penulis juga akan
32
menitikberatkan pada pembahasan mengenai sejarah dan bagaimana ciri kebijakan liberalisasi pendidikan di era GATS (WTO). BAB IV Bab ini menjabarkan bagaimana respon kedua negara terhadap liberalisasi pendidikan tinggi, bagaimana kontroversi politiknya, serta analisis mengapa proses liberalisasi pendidikan di Cina berjalan lancar, sedangkan di Indonesia mengalami berbagai hambatan. Di akhir bab ini penulis akan menjabarkan sedikit mengenai tantangan Indonesia ke depannya, terkait dengan bagaimana Indonesia harus memanfaatkan liberalisasi pendidikan tinggi untuk memanfaatkan bonus demografi yang kini tengah didapat. BAB V Bab ini berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
33