I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bagian dari wilayah di permukaan bumi, memiliki rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004), bentuk-bentuk rona suatu wilayah dikatakan sebagai negara atau wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago), dari aspek fisiografinya merupakan wilayah yang tidak kompak/seragam (non contigous shape). Non contigous shape yaitu, suatu wilayah yang berbentuk fragmental (kepulauan), terpecah (broken shape), tersebar (scattered shape) dan lingkar laut (sircum marine). Sitaniapessy (2002), menyatakan wilayah kepulauan terbentuk karena adanya perbedaan karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan aspek geografis, fisik, iklim, sosial budaya dan etnis serta adanya perbedaan pada tahap perkembangan pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan Monk et al. (2000), berpendapat bahwa wilayah kepulauan merupakan kumpulan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh laut. Aspek fisiografi di atas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) letak geografisnya bagaikan untaian “zamrud” di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut terluas mencapai 3.1 juta Km2 dan panjang pantai 80 791 km atau sekitar 43 670 mil terpanjang kedua setelah Kanada. Gugusan kepulauan mencapai 17 500-an buah pulau, terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote. Dengan belasan ribu buah pulau memberikan akses pada sumberdaya alam
2
wilayah yang beraneka ragam dan berlimpah untuk segera dikelola yang berbasis local spesific di bidang kelautan atau bahari/maritim (Azis, 2004). Kusumaatmaja (2005), mengatakan bahwa keunggulan sumberdaya alam dan letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) merupakan keunggulan potensi lokal (local spesific) wilayah yang strategis. Keunggulan potensi lokal sumberdaya kelautan atau bahari perlu menjadi pertimbangan di dalam mengelola kegiatan ekonomi. Oleh karena itu secara geopolitik dan geoekonomi sumberdaya tersebut seharusnya menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) bagi negara-negara disekitarnya. Paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pembangunan wilayah daratan (continental) adanya kekeliruan tentang paradigma pembangunan yang tidak berorientasi pada konsep wilayah kepulauan (archipelago/archipelagic state) oleh Lukman (2004), dikatakan sebagai gagalnya pembangunan wilayah yang pengembangan perekonomian wilayah belum berbasis pada sektor perikanan diantaranya belum tercapainya swasembada ikan dan gagalnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor angkutan air (laut). Menurut Lukman sektor angkutan air (laut) merupakan salah satu sektor yang sangat berpengaruh untuk pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sehingga harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Konsep pembangunan selama ini masih dibentuk dengan paradigma pembangunan wilayah daratan (continental/landlock state) tanpa memperhatikan aspek kapasitas atau potensi lokal wilayah. Paradigma pembangunan yang berorientasi wilayah daratan ternyata menimbulkan eksploitasi (backwash effect)
3
secara besar-besaran dari wilayah pusat (core) terhadap wilayah pinggiran (periphery). Pemahaman pola pembangunan yang demikian ternyata menciptakan ketimpangan pembangunan (regional disparity) yaitu, tidak semua wilayah dapat merasakan hasil pembangunan yang sama dengan wilayah lain. Sehingga aspek kapasitas atau potensi lokal tidak tergarap secara optimal. Selanjutnya pemerintah daerah belum mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) karena belum mampu mengidentifikasi/ menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulan mana yang berbasis local spesific. Selain itu seluruh aktivitas perekonomian baik barang dan jasa (infrastruktur, keuangan, transportasi dan komunikasi) dan seluruh investasi terpusat pada satu pusat pertumbuhan yaitu di ibukota provinsi. Hal ini mengakibatkan munculnya persepsi investor yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan yang diperoleh bila berinvestasi di pusat pertumbuhan. Dengan demikian wilayah di luar pusat pertumbuhan (periphery) akan semakin tertinggal dan menimbulkan regional disparity. Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan ekonomi wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago) seharusnya berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah kepulauan yaitu maritim/bahari. Kebijakan ekonomi yang tidak didasari keunggulan wilayah sering mengakibatkan ketertinggalan pada wilayahwilayah lain. Sebagai contoh majunya wilayah-wilayah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya pulau Jawa menimbulkan ketimpangan antar Jawa dengan wilayah di luar Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kota/kabupaten tertinggal di Indonesia sebanyak 183 kota/kabupaten dimana 123 kota/kabupaten
4
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) selain itu 62 persen luas wilayah Indonesia berada di KTI. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) pembuat atau pengambil kebijakan harus merubah paradigma pembangunan wilayah dari berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada konsep wilayah daratan (landlock state/continental) menjadi wilayah kepulauan (archipelago /archipelagic state). Konsep-konsep pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah dan berorientasi maritim /bahari sebagai sektor unggulan atau pada konsep wilayah kepulauan akan menjadikan wilayah di luar pulau Jawa semakin tertinggal dan menimbulkan ketimpangan antarwilayah bahkan disintegrasi bangsa. Menurut World Bank (2009), selama bertahun-tahun unsur spasial belum menjadi perhatian utama sehingga diperlukan konsep pemahaman implementasi pada satu konsep pendekatan
terhadap geografi ekonomi. Dengan demikian
perubahan-perubahan terhadap pergeseran struktural ekonomi wilayah dapat disesuaikan dengan potensi lokal (local spesific) wilayah setempat sesuai sektorsektor unggulannya. Berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 (sebagai revisi dari UU No.22 dan No.25 Tahun 1999) maka pemerintah daerah dituntut untuk semakin mandiri dan mampu dalam mengelola berbagai potensi sumberdaya yang ada dengan tetap memperhatikan sustainable development dari daerah tersebut. Namun seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di era otonomi lebih memperhatikan kebijakan politis dan kurang memperhatikan karakteristik dan infrastruktur yang ada di daerah. Di sisi lain pemerintah daerah
5
setelah otonomi belum mampu mendorong atau mengupayakan peningkatan sektor-sektor berbasis kapasitas dan potensi (local spesific) wilayahnya. Sjafrizal (2008), menyatakan perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan
pembangunan daerah dan terjadinya globalisasi ekonomi akan
menimbulkan perubahan yang cukup dratis dalam pembangunan ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung kebijakan nasional mulai mengalami pergeseran sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Kartasasmita (1996), menyatakan pelaksanaan pembangunan wilayah harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional dan menempati posisi strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan pembangunan daerah bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat di daerah melalui perencanaan pembangunan yang serasi, selaras dan terpadu baik antarsektor dengan perencanaan daerah. Untuk itu sudah sepatutnya daerah-daerah pada era otonomi dan memiliki kewenangan atau kebebasan dalam menjalankan berbagai kebijakan pembangunan, lebih di arahkan pada pengembangan sektorsektor ekonomi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah. Berdasarkan kajian-kajian atau pendapat para pakar ekonomi yang di dasarkan pada perubahan selama kebijakan otonomisasi dilakukan, maka penelitian ini diarahkan untuk menganalisis bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi wilayah dilakukan. Kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai potensi lokal wilayah dan tingkat perkembangan ekonomi wilayah, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk mendorong atau memajukan wilayah-wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku dengan
6
menciptakan pusat pengembangan atau pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah berbasis maritim/bahari harus menjadi political will pemerintah daerah. Oleh sebab itu pemerintah yang berkuasa harus mereorentasi konsep pengembangan wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari sesuai karakteristik/kearifan lokal dengan meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Provinsi Maluku dikenal sebagai daerah “seribu pulau” yang juga dikenal pada masa lampau dengan sebutan “The Spice Island” memiliki luas wilayah seluas 851 000 km2. Provinsi ini dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan lautan seluas 765 272 km2 dan 10 persen daratan sekitar 85 724 km2 (Bappeda Provinsi Maluku, 1999). Sebagai wilayah kepulauan yang memiliki bentuk wilayah atau rona wilayah (non contigous shape). Dengan rona wilayah kepulauan (fragmental), broken shape, scattered shape dan sicrum marine maka Maluku memiliki berbagai karakteristik dan potensi lokal wilayah yang beragam (heterogen) baik dari sisi geografi, ekonomi dan sosial budaya. Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang terdiri dari pulau-pulau dan dipisahkan oleh lautan masih terfokus pada satu pusat pertumbuhan wilayah saja yaitu Kota Ambon. Lemahnya peran di sektor infrastruktur seperti sektor jasa, angkutan dan komunikasi membuat beberapa wilayah di daerah ini, hampir-hampir tidak memiliki akses keluar-masuk (exit and entry) antarwilayah bahkan di dalam wilayah administrasinya sendiri. Hal ini mengakibatkatkan wilayah di luar pusat pertumbuhan provinsi ini belum mampu mengembangkan wilayahnya sesuai kapasitas atau potensi lokal wilayahnya.
7
Kapasitas atau potensi lokal wilayah yang beraneka ragam dan memiliki kemampuan sumberdaya alam bahari melimpah, seharusnya Provinsi Maluku mampu untuk memacu atau mendorong keunggulan potensi sumberdaya alamnya. Keunggulan wilayah pada sumberdaya alam bahari/maritim merupakan potensi lokal seharusnya menjadi sektor unggulan dan pendorong utama (prime mover) terhadap seluruh aktivitas sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan ini. Sesuai kondisi wilayah Provinsi Maluku, maka kebijakan-kebijakan perencanaan pembangunan wilayah yang berbeda dengan kondisi wilayahnya dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan. Kurang mendukungnya infrastruktur (sektor jasa, angkutan dan komunikasi) antarwilayah, antara wilayah pinggiran (periphery) dengan pusat (core) tentunya menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan (disparity) pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Pada pelaksanaannya pembangunan di wilayah Maluku harus benar-benar secara agresif dan integratif dapat memberikan manfaat bagi wilayah-wilayah belakangnya (periphery). Hal ini berhubungan dengan penetapan lokasi investasi sehingga dapat meminimalisasi ketimpangan (disparity) antarwilayah dalam pemanfaatan ruang (spatial) dan potensi lokal sehingga memacu atau mendorong sektor-sektor unggulan setiap wilayah yang ada di Provinsi Maluku. Pembangunan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berorientasi pada pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) sektor unggulan wilayah berbasis local spesific merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah berkarakteristik kepulauan. Oleh sebab itu pembangunan di wilayah ini merupakan suatu ekuilibrium matriks lokasi yang meliputi beberapa pusat
8
pertumbuhan pembangunan (growth poles development) dan memiliki daerah penyangga (hinterland) sehingga mampu mendorong atau mempercepat proses pengembangan wilayah.
Dengan demikian kekuatan – kekuatan agglomerasi
dapat menciptakan dukungan ke depan (spread effect) maupun dukungan ke belakang (backwash effect). Sehingga pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth pole) mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan dan memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages) antarwilayah (interregional) maupun antarsektor (intersectoral). Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berhubungan erat dengan bagaimana daerah mampu mengidentifikasi/menemukan dan menentukan serta mengelola potensi lokal wilayah yang ada. Sebagai wilayah kepulauan dengan potensi maritim/bahari mengharuskan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien serta mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Dengan demikian
penelitian tentang
pengembangan (KSP) pada wilayah kepulauan berdasarkan kapasitas dan potensi lokal dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku sangat perlu untuk dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Provinsi Maluku dikenal dengan sebutan daerah “seribu pulau”, atau “The Spice Islands” memiliki kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah berbasis maritim/bahari melimpah dan beraneka ragam. Kekayaan sumberdaya ini terdapat di berbagai sektor perekonomian, baik yang telah dikelola maupun yang belum dikelola secara ekonomi. Selain itu secara geografis, ekonomi wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari ini belum menjadi perhatian serius
9
sebagai modal dasar penggerak utama (prime mover) pembangunan terhadap sektor pendukung lainnya. Sumberdaya alam yang melimpah dan beraneka ragam hayati serta didukung dengan
jumlah
penduduk yang cukup beragam kepadatannya,
membuat potensi wilayah di provinsi ini belum mampu tergarap secara optimal. Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan ibukota Provinsi Maluku memiliki jumlah penduduk yang cukup padat, berbagai aktivitas ekonomi yang cukup besar menjadikannya sebagai pusat pemasaran, perbankan, pendidikan dan lainnya. Dengan berbagai aktivitas ekonomi tersebut menjadikan Kota Ambon sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) atau daerah inti (core region) satusatunya di Provinsi Maluku. Bila dilihat dari sisi daya pemancaran (spread effect) maupun daya dorong (backwash effect) maka kondisi seperti di atas membuat teraglomerasinya kegiatan ekonomi di Kota Ambon. Sebagai wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) daya dorong (polarisasi) aktivitas ekonomi wilayah, Kota Ambon belum mampu atau lambat dalam memacu percepatan pembangunan ekonomi wilayah di sekitarnya (periphery) yakni kabupaten lainnya. Walaupun UU otonomi memberikan kewenangan pada setiap daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri-sendiri tidak menjadikan kabupaten lainnya sebagai pusat pertumbuhan yang sama dengan Kota Ambon. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Kota Ambon sebagai ibukota provinsi dan besarnya aktivitas ekonomi yang terpusat di kota ini. Oleh karena itu Kota Ambon harus berperan menjadi pusat pertumbuhan wilayah (growth pole) atau daerah inti (core region) bagi wilayah lainnya. Dengan mendorong atau memacu percepatan pembangunan
10
ekonomi wilayah disekitarnya maka akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah baru (new growth poles) selain Kota Ambon dan satu-satunya pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku (saluran distribusi). Pengaruh lain yang cukup mempengaruhi terlambatnya pembangunan di wilayah kabupaten lain adalah adanya pengertian yang salah dari masing-masing wilayah setelah otonomi. Dimana setiap wilayah mengembangkan konsep pengembangan sektor ekonomi yang sama dengan wilayah lainnya tanpa mengidentifikasi/menentukan sektor unggulan wilayahnya. Selain itu keegoisan masing-masing wilayah masih sering diperlihatkan tanpa memperhatikan kebutuhan (needs) atau keterkaiatan (linkages) antarsektor maupun antarwilayah. Dengan demikian pembangunan di era otonomi menjadi tidak terkendali atau ketidak terpaduan pembangunan antarwilayah bahkan secara nasional. Masingmasing daerah atau wilayah lebih mengutamakan kepentingan wilayahnya sendirisendiri. Semua faktor-faktor di atas mengakibatkan rendahnya pengelolaan perekonomian wilayah yang berdampak pada pertumbuhan atau kegiatan ekonomi yang tidak optimal dan menurunnya penerimaan
Produk Domestik Regional
Bruto, lambatnya produktivitas sektor-sektor strategis, rendahnya fungsi dan peran infrastruktur, tingkat pengangguran tinggi sehingga pendapatan perkapita masyarakat menjadi rendah dan berpengaruh buruk terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Hal ini juga turut mempengaruhi peringkat daya saing Provinsi Maluku secara nasional yang berada pada posisi lima terbawah dari kondisi neraca daya saing antar provinsi di Indonesia.(Bank Indonesia, 2002)
11
Sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu memperbaiki peringkat daya saing wilayahnya. Lemahnya daya saing dari provinsi ini sering disebabkan oleh belum mampunya mengidentifikasi/menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) dari wilayahnya. Hal ini terbukti sejak Tahun 1999 persentase investasi domestik (% terhadap PDRB) Provinsi Maluku menduduki peringkat ke-26 sebelum pemekaran provinsi dan berada pada peringkat ke-30 setelah adanya penambahan provinsi baru yaitu sebesar 2.17 persen. Laju pertumbuhan PDRB hanya sekitar 0.20 persen, laju pertumbuhan PMA sekitar 0.39 persen. Sebagai wilayah kepulauan penggunaan angkutan laut untuk barang (arus bongkar-muat) berada pada peringkat 23 dari 33 provinsi yakni hanya sekitar 2 046 juta ton/tahun. Laju pertumbuhan produktivitas sektor jasa dari Tahun 1999 berada di peringkat 28 yaitu sebesar 21.92 persen dari total laju pertumbuhan sektor jasa di seluruh provinsi di Indonesia (Bank Indonesia, 2002). Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi (agglomerasi) di Kota Ambon menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang tidak mampu mendorong/memacu/menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah lain. Dengan demikian hal ini menciptakan ketimpangan (disparitas) pembangunan ekonomi wilayah, sehingga menimbulkan keinginan pengembangan wilayah (outer island) seperti pemekaran wilayah-wilayah baru lainnya. Adanya proses pembangunan yang bersifat eksploitasi dimasa lalu dan lebih menitikberatkan pada pengembangan wilayah daratan (continental) daripada wilayah kepulauan (archipelago) lebih didasarkan pada kepentingan politis dari pemerintahan pusat yang mempercepat pemekaran wilayah.
12
Guna percepatan pembangunan wilayah dan pertumbuhan sektor-sektor unggulan ekonomi wilayah kepulauan diperlukan penciptaan pusat-pusat pengembangan atau pertumbuhan baru (new growth poles) di Provinsi Maluku. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya daya pemancaran (spread effect) dan daya dorong (backwash effect) baik dari pusat pertumbuhan Kota Ambon ke wilayah lainnya hal ini terlihat dari kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang berbeda dari pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku. Berdasarkan latar belakang penelitian memperlihatkan Provinsi Maluku belum
mampu
memberdayakan
keunggulan
sektoralnya
yang
berbasis
maritim/bahari sesuai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Salah satu lemahnya daya saing sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku disebabkan juga karena lemah atau kurang tersedianya fasilitas pelayanan pusat pengembangan. Kurangnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah di Maluku dengan provinsi lain di Indonesia seharusnya menjadi rangsangan di dalam mempercepat arah dan strategi kebijakan daerah. Dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah yang baik dan di dukung dengan kemampuan potensi lokal bahari/maritim akan mempercepat peningkatan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah di masa depan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menentukan arah dan strategi kebijakan
pengembangan
sektor-sektor
unggulan
wilayah
yang
terpadu
antarwilayah, sesuai dengan pengembangan kawasan sentra produksi secara keseluruhan dan menyentuh aspek potensi lokal wilayah serta aspek ekonomi kerakyatan yang melibatkan masyarakat wilayah setempat.
13
Berdasarkan latar belakang, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages terhadap pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis local spesific di Provinsi Maluku? 2. Bagaimana konektivitas sektor-sektor ekonomi yang merupakan sektor unggulan (key sector) dan sektor pendukung (leading sector) dalam pengembangan kegiatan ekonomi wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 3. Bagaimana dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impacts) dari sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor lainnya dan total output Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago)? 4. Apakah pusat-pusat pengembangan wilayah telah berperan atau berfungsi sesuai
dengan
kemampuan
fasilitas
pelayanan
wilayahnya
terhadap
peningkatan sektor-sektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 5. Apakah terjadi pergeseran pusat-pusat pengembangan wilayah sesuai dengan hirarki tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Maluku? 6. Bagaimana arah dan strategi kebijakan pembangunan struktur ekonomi wilayah kepulauan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi unggulan kawasan sentra produksi dalam suatu aktivitas perekonomian kepulauan di Provinsi Maluku?
wilayah
14
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages yang berbasis local spesific di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 2. Menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis konektivitas struktur output dengan nilai tambah bruto, struktur output, nilai tambah bruto dengan multiplier effect, struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dengan intersectoral linkages di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 3. Menganalisis dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impact) sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan terhadap sektorsektor ekonomi berbasis wilayah kepulauan bahari/maritim dan total output Provinsi Maluku, sehingga pemerintah daerah mampu menentukan sektorsektor unggulannya yang berbasis wilayah kepulauan (archipelago). 4. Menganalisis
peran
atau
fungsi
pusat-pusat
pengembangan
wilayah
berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan terhadap pengembangan sektorsektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan. 5. Menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku. 6. Merekomendasikan
arah dan strategi kebijakan pengembangan wilayah
Kawasan Sentra Produksi (KSP) sesuai dengan potensi atau kapasitas lokal (local spesific) wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
15
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan pengembangan wilayah di Indonesia, khususnya wilayah kepulauan dalam meningkatkan perekonomian wilayahnya. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan ada tidak adanya keterkaitan antarwilayah dalam proses pengembangan perekonomian wilayah dan ketergantungan wilayah terhadap potensi lokal yang dimilikinya khususnya wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Kegunaan lain dari penelitian ini yaitu, memberikan kontribusi terhadap pola kebijakan yang secara efektif dapat meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Maluku. Kontribusi dari hasil penelitian diharapkan akan merubah paradigma pemahaman pembagunan wilayah kepuluan di era otonomi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terlebih penting dari semua yang telah diuraikan diatas yaitu, pembangunan wilayah kepulauan harus didasari pada pola kebijakan pembangunan yang berorientasi pada potensi atau kapasitas lokal sumberdaya kepulauan (local spesific/wisdom).
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku dengan fokus penelitian pada pengembangan ekonomi wilayah berbasis karakteristik wilayah sebagai wilayah kepulauan (archipelago) dengan kekuatan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah. Selanjutnya penelitian ini diarahkan untuk mengetahui atau menemukenali dan menganalisis sektor-sektor unggulan (key sectors) apa saja yang berbasis local spesific. Selain menemukenali dan menganalisis sektorsektor unggulan wilayah dengan pendekatan sektoral, penelitian ini juga melakukan pendekatan regional untuk menganalisis struktur atau hirarki pusat-
16
pusat pengembangan (kabupaten/kota) dengan kemampuan fasilitas pelayanannya sebagai pusat pengembangan wilayah yang dapat mendorong percepatan sektorsektor unggulan berbasis wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Berdasarkan analisis penelitian ini diharapkan mampu memberikan arah dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sesuai lokasi kawasan sentra produksi. Dengan mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah dan aktivitas ekonomi lainnya yang didukung ketersediaan fungsi pelayanan wilayah dari berbagai keragaman pelayanan yang terdapat di pusat-pusat pelayanan dengan berbagai tingkatannya di Provinsi Maluku maka ruang lingkup penelitian ini hanya dilakukan pada sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan dan ketersediaan fasilitas pelayanan yang ada dan tersedia di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data makroekonomi yang bersifat sekunder. Dengan menganalisis sektor-sektor atau kegiatan ekonomi yang dikategorikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan berkontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Untuk analisis penelitian disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian dengan meng-update berbagai data Input-Output (I-O) Provinsi Maluku sehingga dapat menjawab permasalahan yang selama ini dialami wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Hasil pengolahan data (I-O) akan didukung dengan analisis skalogram dalam menciptakan keterkaitan fungsional antar satuan pusat pengembangan. Keterkaitan
fungsional
pusat
pengembangan
dikembangkan
berdasarkan
keunggulan fasilitas pelayanan yang dimiliki oleh setiap pusat pengembangan
17
sehingga keunggulan yang dimiliki oleh satu pusat pengembangan mampu mempengaruhi wilayah disekitarnya.
1.6. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan adalah tidak semua wilayah kabupaten di wilayah ini yang diteliti karena, pada beberapa wilayah administrasi yang baru dimekarkan pada tahun 2003 tidak dilakukan pengkajian terhadap wilayah/daerah tersebut. Hanya pada beberapa kabupaten/kota yang telah dimekarkan sejak tahun 2000 sampai tahun 2002 saja yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan kesulitan memperoleh data pada wilayah-wilayah pemekaran baru diatas tahun 2002. Keterbatasan penelitian ini dapat diatasi bila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian seperti yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, karena bagi peneliti berikutnya mengenai permasalahan keterbatasan data di daerah-daerah yang baru dimekarkan diatas tahun 2002 sudah dapat diperoleh untuk penelitian berikutnya.