1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
PT. PLN (Persero) terdiri dari beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya adalah PT. PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau. PT. PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau memiliki beberapa kantor cabang, salah satunya adalah PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru.1 PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru ini merupakan tempat khusus bagi pelanggan listrik besar seperti perusahaan-perusahaan, pabrik, dan sebagainya.
PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru juga mempunyai beberapa unit pelayanan bagi masyarakat kecil, salah satunya adalah PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur ini merupakan suatu wadah bagi masyarakat untuk berinteraksi secara langsung dengan PT. PLN (Persero) tersebut. Interaksi yang dilakukan seperti membuat perjanjian untuk pemasangan instalasi baru, menaikkan dan menurunkan daya listrik, pembayaran rekening listrik, serta keluhan-keluhan masyarakat sebagai pelanggan listrik.
1
http:\\www.pln-riau.co.id\pln cabang pekanbaru, diakses tanggal 19 Mei 2009, pukul 19.15 wib.
2
Tenaga listrik sangat penting artinya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya, dan oleh karenanya usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik. Pembangunan dalam bidang kelistrikan ini dari tahun ke tahun meningkat. Hal ini didasarkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam pemakaian tenaga listrik, di mana dari tahun ke tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak. Mengingat peranan listrik sangat penting di dalam kehidupan masyarakat, maka dijalinlah suatu hubungan melalui suatu perjanjian jual-beli antara PT. PLN (Persero) sebagai penjual jasa berupa tenaga listrik dengan pelanggan listrik sebagai pembeli jasa (tenaga listrik), di mana hubungan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan, dan kesepakatan tersebut di tuangkan dalam surat perjanjian jual-beli tenaga listrik. Surat perjanjian jualbeli tenaga listrik ini merupakan perjanjian baku yang mengatur dan menerapkan tentang prosedur berlangganan, aturan pemakaian, serta hak dan kewajiban para pihak.
Hukum perjanjian mengenal banyak asas, di antaranya adalah asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, dan asas mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda).2 Asas iktikad baik mempunyai
2
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 3.
3
peranan tertinggi di antara asas-asas yang ada.3 Iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. J. M. van Dunne membagi tahapan kontrak (perjanjian) dalam tiga fase, yakni fase pra kontrak ((precontractuele fase), fase pelaksanaan kontrak (contractuele fase), dan fase pasca kontrak (postcontractuele fase).4 Iktikad baik harus sudah ada sejak fase pra perjanjian di mana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan, dan fase pelaksanaan perjanjian. Pembahasan iktikad baik tersebut semestinya dimulai dari iktikad baik dalam fase pra kontrak lantas dilanjutkan dengan iktikad baik pada saat pelaksanaan kontrak, oleh karena doktrin iktikad baik dalam fase pra kontrak baru berkembang belakangan, dan untuk menjelaskannya tidak dapat terlepas dari doktrin iktikad baik yang terlebih dahulu ada, yakni iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Berdasarkan penjelasan di atas, maka iktikad baik dimulai dari pelaksanaan kontrak, karena pada fase pelaksanaan kontrak inilah iktikad baik secara nyata diterapkan. 5 Iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian memang telah berkembang lama sekali, tetapi masih menimbulkan sejumlah permasalahan yang memerlukan pemecahan. Sekurang-kurangnya iktikad baik pelaksanaan perjanjian masih menimbulkan permasalahan hukum. Pertama, berkaitan 3
Ibid, hlm. 5. J. M. van Dunne, Verbintenissenrecht, Deel 1, Contractenrecht, 1e gedeelte, Totstandkoming van overeenkomsten, inhoud contractsvoorwarden, gebreken, Deventer: Kluwer, 1993, hlm. 170. 5 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Pasca Sarjana FH-UI, 2003, hlm. 190. 4
4
dengan standar hukum yang harus digunakan oleh hakim untuk menentukan ada tidaknya dalam perjanjian. Kedua, fungsi iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian. Ruang lingkup pengaturan iktikad baik dalam berbagai sistem hukum umumnya hanya mencakup iktikad baik dalam fase pelaksanaan perjanjian, belum mencakup fase pra perjanjian. Idealnya, iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan.6 Hal ini berdasarkan Pasal 5 dan 7 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tetntang Perlindungan Konsumen, di mana para pihak dituntut untuk beriktikad baik. Kepentingan pihak yang yang harus diperhatikan tersebut merupakan hak pihak tersebut. Pihak yang kepentingannya kurang diperhatikan biasanya adalah pihak konsumen. Konsumen yang dimaksud di sini adalah pelanggan listrik. Adapun hak-hak pelanggan listrik yang harus dipenuhi oleh PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur adalah hak atas ganti-rugi terhadap pelanggan listrik yang mengalami kerusakan pada barang-barang elektronik miliknya yang rata-rata menggunakan jasa tenaga listrik, akibat kenaikan tegangan listrik.7 Hal ini berdasarkan pasal 4h UndangUndang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni “Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Hal tersebut juga sebagai implementasi dari 6
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 7. 7 Nenny Rachmawati, Upaya Perlindungan Hukum bagi Pelanggan Listrik/Konsumen terhadap Kerusakan dan atau Kerugian akibat Kenaikan Tegangan Listrik, www.google.com, diakses tanggal 19 mei 2009, pukul 20.00 wib.
5
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti-rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Namun kenyataannya, iktikad baik itu hanya dapat dilaksanakan pada saat pelaksanaan perjanjian sehingga kebanyakan pelanggan listrik sebagai korban yang dirugikan atas kepentingannya/haknya tidak melakukan upayaupaya hukum untuk menuntut haknya.8 Hal ini membuktikan bahwa lemahnya hukum perlindungan bagi pelanggan listrik/konsumen, walaupun hak-hak konsumen sudah diatur dan dijamin dalam hukum positif.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan asas iktikad baik dalam perjanjian berlangganan listrik pada PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pelanggan listrik di PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur?
8
Lihat Kasus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Pekanbaru.
6
C. Tujuan Penelitian
Penulis dalam melakukan penelitian sudah tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai, tujuan penelitian tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas iktikad baik dalam perjanjian berlangganan listrik pada PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. 2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pelanggan listrik di PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur.
D. Tinjauan Pustaka 1. Perjanjian Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata Pasal 1313 yang menyebutkan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut Subekti, perjanjian dan persetujuan adalah sama artinya karena dua pihak itu setuju untuk melaksanakan sesuatu.9 Pendapat Subekti tersebut dapat diketahui dari definisi perjanjian yang dikemukakannya “Bahwa yang dinamakan perjanjian adalah suatu peristiwa
9
Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1987, hlm.1.
7
di mana seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”.10 Menurut CST. Kansil perjanjian adalah: “Suatu perbuatan di mana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya pada seseorang atau beberapa orang lainnya. Untuk mempermudah memperoleh keperluan-keperluan hidupnya manusia di dalam pergaulan masyarakat saling mengadakan hubungan dan persetujuan-persetujuan berdasar persesuaian kehendak (verbintenissen). Dari persetujuan itu timbul akibat-akibat hukum yang mengikat kedua belah pihak (partijen, contrakten) dan persetujuan yang demikian disebut perjanjian”.11 Suatu perjanjian yang dibuat para pihak harus memenuhi empat syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, adapun syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Syarat kesatu dan kedua disebut syarat subjektif, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya, jika syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian, jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
10
Ibid, hlm.1. CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm.250. 11
8
Perjanjian antara PT. PLN (Persero) dengan pelanggan listrik merupakan perjanjian jual-beli. Perjanjian jual-beli tersebut dianggap telah berlangsung apabila para pihak telah menyepakati tentang keadaan dan harga barang tersebut. Perjanjian jual-beli itu bersifat konsensual dan obligatoir. Sifat konsensual adalah perjanjian jual-beli telah lahir sejak ada kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga, sedangkan sifat obligatoir adalah dengan adanya kata sepakat baru melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Risiko dalam perjanjian jual-beli dapat dilihat dari: 1) Barang tertentu (een zeker bepalde zaak) Berdasarkan Pasal 1460 KUHPerdata risiko atas barang berada pada pihak pembeli sejak terjadinya perjanjian jual-beli. Walaupun barang itu belum diserahkan. 2) Barang dengan timbangan, bilangan, ukuran Risiko atas barang tetap berada pada pihak penjual sampai barang itu ditimbang, diukur atau dihitung. 3) Barang dengan tumpukan atau onggokan Barang menjadi risiko pembeli, walaupun barang-barang itu belum ditimbang, diukur atau dihitung. Risiko jual beli yang diatur oleh Pasal 1460 KUHPerdata dianggap kurang adil dan penuh keganjilan, sehingga Pasal tersebut dicabut oleh SEMA No 3 tahun 1963. Risiko yang dianggap adil adalah pengaturan
9
risiko Pasal 1545 tentang risiko dalam perjanjian tukar-menukar dan Pasal 1553 tentang risiko dalam perjanjian sewa-menyewa. Batasan tentang pengaturan risiko perjanjian menurut teori Clausule Rebus Sic Stantibus adalah “Perjanjian tetap berlaku sebegitu jauh keadaan pada waktu perjanjian dibuat dan dilaksanakan tidak berubah”. Bentuk dan isi perjanjian antara PT. PLN (Persero) dengan pelanggan listrik biasanya menggunakan perjanjian baku. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku adalah: “Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir”.12 Menurut Rijken, di dalam perjanjian baku terkandung klausul eksonorasi yaitu kalusul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti-rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.13 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.14
12
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, Bina Cipta, Jakarta, 1986, hlm.58. 13 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.47. 14 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Penerbit Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.66.
10
Hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih ada. Hapusnya perjanjian mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian itu hapus, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi, dan apa yang telah dipenuhi harus ditiadakan. Dapat juga terjadi, bahwa perikatan berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena: a) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu. b) Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian. c) Para pihak atau Undang-Undang
menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia. d) Pernyataan menghentikan perjanjian (obzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. e) Perjanjian hapus karena putusan hakim. f) Tujuan perjanjian telah tercapai. g) Dengan perjanjian para pihak.15 Menurut Pasal 1381 KUHPerdata, hapusnya atau berakhirnya perikatan karena:
15
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm.69.
11
(1). Pembayaran. (2). Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. (3). Pembaharuan utang. (4). Perjumpaan utang atau kompensasi. (5). Pencampuran utang. (6). Pembebasan utangnya. (7). Musnahnya barang yang terutang. (8). Kebatalan atau pembatalan. (9). Berlakunya suatu syarat batal. (10). Lewatnya waktu.
2. Asas Iktikad Baik Hukum perjanjian mengenal banyak asas salah satunya adalah asas iktikad baik. Iktikad baik dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata,
yang
menyatakan
bahwa
"Suatu
perjanjian
hanya
dilaksanakan dengan iktikad baik". Pasal 531 KUHPerdata juga menyatakan sebagai berikut “Kedudukan itu beriktikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Menurut P. L. Wery, makna pelaksanaan dengan iktikad baik (uitvoering te goeder trouw) dalam Pasal 1374 ayat (3) BW (sebangun
12
dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata Indonesia) masih tetap sama dengan makna bona fides dalam hukum Romawi beberapa abad lalu. Iktikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu-daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya.16 Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa hingga sekarang tidak ada makna tunggal iktikad baik dalam kontrak. Sampai sekarang masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna iktikad baik itu. Doktrin iktikad baik itu di mana diterima, maka disitu terjadi perdebatan pendapat dalam mengartikan iktikad baik tersebut. Kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan iktikad baik.17 E. Allan Farnsworth mencatat bahwa di Inggris doktrin iktikad baik masih merupakan sesuatu kontroversial, karena pengadilan belum mampu menemukan makna iktikad baik yang kongkrit dalam konteks hukum kontrak. E. Allan Farnsworth juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali pandangan yang mencoba memberikan pengertian iktikad baik.18 Akibat ketidakjelasan tersebut, penerapan iktikad baik seringkali tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten.19
16
P. L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, Jakarta: Percetakan Negara, 1990, hlm. 9. 17 James Gordley, “Good Faith in Contract in the Medieval Ius Cummune”, Reinhard Zimmerman dan Simon Whittaker, eds., Good Faith in European Contract Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2000, hlm. 93. 18 David Stack, “The Two Standards of Good Faith in Canadian Contract Law”, Saskatchewan Law Review, Vol. 62(1999), hlm. 202. 19 Steven J. Burton, “Breach of Contract and the Common Law Duty to Perform in Good Faith”, Harvard Law Review, Vol 94, 1980, hlm. 370.
13
Menurut Muhammad Faiz bahwa iktikad baik adalah: “Suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di Pengadilan. Iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan".20 Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi iktikad baik tersebut tidak menjadikan iktikad baik sebagai suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli. Iktikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akalakalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”.21 Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan iktikad baik sebagai berikut: "Iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum".22 Asas iktikad baik ini dapat dibedakan atas iktikad baik yang subjektif dan iktikad baik yang objektif.23 Iktikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan 20
Muhammad Faiz, Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan, www.panmuhamadfaiz.com, diakses tanggal 24 April 2009, pukul 16.00 wib 21 Khoiru, Hukum Kontrak slide 1, http//:Sunan-ampel.ac.id, diakses tanggal 24 april 2009, pukul 16.15 22 Sutan Remy Sjahdeini, op., cit., hlm.112. 23 Muliadi Nur, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard Contract), www.pojokhukum.com, diakses tanggal 24 April 2009 pukul 16.30 wib.
14
suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Iktikad baik dalam pengertian yang objektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Iktikad baik secara subjektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan iktikad baik dalam arti objektif lebih pada hal-hal di luar diri pelaku. Mengenai pengertian iktikad baik secara subjektif dan objektif, dinyatakan oleh Muhamad Faiz bahwa: "Iktikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan iktikad baik, sedangkan iktikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan iktikad baik".24 Iktikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara
24
Muhammad Faiz, Kemungkinan diajukan Perkara… Op.,cit.,
15
tegas diperjanjikan.25 Bentuk iktikad yang ketiga dalam hukum kontrak Romawi bermakna bahwa iktikad baik adalah suatu tindakan atau perilaku yang diharapkan dari seorang yang terhormat atau jujur yang diminta dalam setiap bentuk transaksi. Iktikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya iktikad baik ada pada saat negosiasi pra kesepakatan perjanjian, seperti halnya yang dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa: "Iktikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak di mana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".26 Iktikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya iktikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri, kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan iktikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat. Iktikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. 25 26
Ridwan Khairandy, op., cit., hlm. 132-133. Ibid, hlm. 190.
16
Ketiadaan iktikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki iktikad baik. Sikap batin disini mengarah pada kesengajaan sebagai bentuk kesalahan pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.
3. Hukum Perlindungan Konsumen Konsumen dalam bahasa Inggris yaitu consumer, secara harfiah diartikan sebagai “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang dan/atau menggunakan jasa tertentu”.27 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir. Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya.
27
Marianus Gaharpung, Upaya Perlindungan Hukum bagi Konsumen, www.google.co.id\perlindungan hukum bagi konsumen, diakses tanggal 21 Mei 2009, pukul 19.30 wib.
17
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen, tidaklah mudah untuk menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundang-undangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subjek-subjek hukum yang memenuhi kriteria konsumen. Sebelum diberlakukannya UU No. 8 tahun 1999 terdapat berbagi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Peraturan Prundang-undangan ini memang tidak secara langsung mengenai
perlindungan
konsumen,
namun
secara
tidak
langsung
dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen Peraturan yang dimaksud antara lain: a. Keputusan Menteri Perindustrian No. 727/M/SK/12/1981 tentang Wajib Pemberian Tanda (Label) pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi (Tulis dan Cap), dan Tekstil yang dicetak (printed) dengan Motif (Design) Batik. b. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia, selanjutnya disingkat dengan LN RI, No. 23 tahun 1973)
tentang
Pengawasan
Penggunaan Pestisida.
atas
Peredaran,
Penyimpanan,
dan
18
c. Keputusan Menteri Perindustrian No. 27/M/SK/1/1984 tentang SyaratSyarat dan Ijin Pengolahan Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua Ijin Usaha Industri Pengolahan Kembali Pelumas Bekas. d. Peraturan Pemerintah No. 2/1985 (LN RI No. 4 tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3283.) tentang Wajib dan Pembebanan untuk ditera dan atau ditera Ulang serta SyaratSyarat bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya. e. Undang-Undang tentang Pokok Kesehatan No. 9/1960 (LN RI No. 131 tahun 1960 dan TLN RI No. 2068). f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Label dan Periklanan. g. Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Produksi dan Peredaran Makanan yang Melarang Periklanan yang Menyesatkan, Mengacaukan, atau Menimbulkan Penafsiran Salah atas Produk yang diklankan. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 yang berlaku merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur perlindungan konsumen. Undang-Undang ini mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha, serta tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
19
E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian a. Penerapan asas iktikad baik dalam perjanjian berlangganan listrik pada PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. b. Perlindungan hukum bagi pelanggan listrik di PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. 2. Subjek Penelitian a. Pimpinan PT PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. b. Pelanggan listrik PT PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur. c. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 3. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara dan atau angket (field research). b. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dari kepustakaan berdasarkan literatur, Undang-Undang, atau hal lain yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer dilakukan dengan cara wawancara, yang berupa wawancara bebas.
20
b. Data Sekunder dapat dilakukan dengan cara: 1) Studi kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan
dan
buku-buku
yang
berkaitan
dengan
permasalahan penelitian. 2) Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada nara sumber secara bebas.
5. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan penedekatan yuridisnormatif selain itu juga menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis dalam mengkaji permasalahan ini. 6. Analisis Data Dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis).
F. Kerangka Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini dilakukan secara sistematika yaitu membagi pokok-pokok skripsi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab terdapat sub-sub bab. Penulis dalam skripsi ini membagi dalam empat bab yang diuraikan seperti di bawah ini:
21
BAB I: PENDAHULUAN Penulis dalam bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, yang memuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas, tujuan penulisan yang ingin dicapai, serta tinjauan pustaka yang menguraikan tentang alur pemikiran penulis dalam menjawab hipotesis atau untuk menjawab permasalahan penelitian pada penelitian yang tidak menggunakan hipotesis, kemudian mengemukakan metodologi penelitian yang dilakukan dalam penyelesaian skripsi ini serta diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II: KERANGKA TEORI Secara teoritis dalam bab ini terdiri dari pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian dan macam-macam asas perjanjian, subjek dan objek perjanjian, wanprestasi dalam perjanjian, berakhirnya perjanjian, masalah dalam perjanjian baku, iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian serta hukum perlindungan konsumen.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan berisikan tentang gambaran pembahasan mengenai masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaannya yaitu: bagaimana
penerapan
asas
iktikad
baik
dalam
perjanjian
berlangganan listrik pada PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru
22
Unit Pelayanan Rayon Kota Timur serta bagaimana perlindungan hukum bagi pelanggan listrik di PT. PLN (Persero) Cabang Pekanbaru Unit Pelayanan Rayon Kota Timur.
BAB IV: PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan secara singkat dan sekaligus saran dari hasil analisa dan pembahasan yang bisa bermanfaat.