I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan, pengangkutan antar daerah dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan orang, terutama perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk tujuan mengeksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili) buruh imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril. (Harkristuti, 2003 : 45) Kejahatan Perdagangan orang (trafficking) pada masa sekarang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, bahkan dilakukan dengan
2 cara profesional dan sifatnya telah melampaui lintas negara sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok yang terorganisasi maupun sebuah korporasi. Permintaan pasar yang cukup besar karena maraknya bisnis hiburan di kota-kota besar, sehingga membuat sebagian perempuan dan anak termasuk orang tua, menjadi korban penipuan oleh para calo atau perantara yang keluar masuk desa atau kelurahan. Kondisi ini didorong pula oleh latar belakang keluarga di bidang ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya lapangan kerja di daerah. Perdagangan orang menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diartikan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Selanjutnya bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan sanksi yang cukup berat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
3 belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Tabel 1. Data Korban Perdagangan Orang Mulai dari Maret 2005-April 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Provinsi Jumlah Kalimantan Barat 707 Jawa Barat 650 Jawa Timur 384 Jawa Tengah 340 Nusa Tenggara Barat 217 Sumatera Utara 211 Lampung 157 Nusa Tenggara Timur 122 Sumatera Selatan 65 Banten 64 Sulawesi Selatan 55 DKI Jakarta 42 Total 3014 Sumber : http://www.detikNew.com, diakses tanggal 13 Oktober 2011. Berdasarkan daerah asal, maka para korban sebagian besar berasal Kalimantan Barat (707), Jawa Barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340), Nusa Tenggara Barat (217), Sumatera Utara (211), Lampung (157), Nusa Tenggara Timur (122), Sumatera Selatan (65), Banten (64), Sulawesi Selatan (55), dan DKI Jakarta (42). Sementara dilihat dari daerah atau negara tujuan mereka diperdagangkan adalah selain di dalam negeri, sebagian besar ke Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan, Iraq. Perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri. Biasanya, perdagangan perempuan lebih kearah praktekpraktek prostitusi dan tunasusila yang dilakukan oleh germo/mucikari. Pengertian germo/mucikari menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Bandar
4 Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, adalah orang laki-laki atau perempuan yang menyelenggarakan pengusahaan rumah atau tempat pelacuran dengan memelihara pelacur wanita. Salah satu kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh seorang mucikari atas nama Andre bin Herman dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 470/Pidsus/2011/ PN.TK. Dimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara alternatif yaitu dengan dakwaan pertama melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP Jo. 506 KUHP dan dakwaan kedua melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Setelah proses persidangan, ternyata terdakwa didakwa dengan dakwaan pertama dan dijatuhi pidana penjara selama 4 bulan 15 hari. Apabila dibandingkan dengan ancaman pada dakwaan kedua tentunya masih belum efektif dan belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku yang lain, maksudnya dengan adanya sanksi yang ringan menyebabkan seseorang tidak mengurungkan niatnya untuk melakukan perbuatan serupa. Sedangkan ancaman tersebut masih sangat jauh dibandingkan dengan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Ancaman pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan dalam kasus di atas mengisyaratkan masih lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia,
5 dimana penegakan hukum pada dasarnya sebagai instrumen untuk memperoleh rasa keadilan ternyata belum maksimal. Penderitaan yang dialami oleh korban di mata hukum ternyata belum mampu dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum terutama penjatuhan pidana penjara bagi pelaku tindak pidana. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Pertanggungjawaban Pidana Mucikari dalam Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 470/Pidsus/2011/ PN.TK)”. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah : a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK? 2. Ruang Lingkup Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan
6 Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/ 2011/PN.TK. Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian yaitu pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang : a. Pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan. b. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK. 2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan. b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam rangka penjatuhan pidana terhadap pelaku mucikari dalam tindak pidana kesusilaan.
7 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Menurut Soerjono Soekanto (1984:125, kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti. Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada yaitu menggunakan pendapat ahli hukum tentang pertanggungjawaban pidana pelaku mucikari dalam tindak pidana perdagangan orang serta dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada. Moeljatno (2005: 73) menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine straf). Roeslan Saleh (1981 : 126), mengemukakan bahwa pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan
8 berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang
dapat
dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Barda Nawawi Arief (1995:106) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat, melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat dan saling terkait. Menurut Harkristuti (2003 : 45), Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan, pengangkutan antar daerah dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan orang, terutama perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk tujuan mengeksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili) buruh
9 imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril. Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menentukan bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, yaitu kebebasan terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (strafmodus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding). Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo.
10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Soedarto (1990 : 74) menyatakan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut : a. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya; b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya; c. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana. Bismar Siregar (1995 : 36) berpendapat bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
11 2. Konseptual Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris. Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Pertanggungjawaban
pidana
adalah
suatu
perbuatan
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 2003: 71). b. Pelaku yaitu orang yang melakukan dan menjadi penanggung jawab mandiri (Wirjono Projodikoro, 2003 : 89). c. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat (Mulyana W. Kusumah, 1984: 58) d. Mucikari adalah orang yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP).
12 e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37). f. Tuna susila adalah seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dengan bergantian pasangan di luar perkawinan yang sah dengan mendapat uang, materi atau jasa (Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung). E. Sistematika Penulisan Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan
tentang
pokok
permasalahan
mengenai
pengertian
pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana, pengertian mucikari atau germo, serta pengertian perdagangan orang.
13 III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK. V. PENUTUP Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.