BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdagangan dunia telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan peningkatan intensitas kerja sama perdagangan regional, bilateral maupun multilateral. Salah satu bentuk kerja sama perdagangan adalah perdagangan furniture kayu. Industri furniture kayu telah lama diakui sebagai industri padat karya dan banyak menyerap tenaga kerja. Pengembangan industri ini diarahkan pada industri yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, berdaya saing global dan berwawasan lingkungan. Sampai saat ini, industri furniture kayu masih merupakan industri yang banyak menarik minat para pengusaha baik lokal, maupun internasional untuk terus memproduksinya karena nilai produknya yang cukup menjanjikan dan melihat adanya peluang produksi yang semakin hari semakin bertambah. Perekembangan industry furniture kayu yang cukup pesat juga terjadi di Indonesia. Industry furniture kayu di Indonesia tersebar di banyak wilayah seperti di Jepara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Banyaknya wilayah industry furniture kayu di Indonesia menyebabkan konsumsi produk hutan juga meningkat. Akan tetapi konsumsi produk hutan di Indonesia sebagian besar dilakukan secara illegal. Ada tiga faktor pendorong utama penyebab terjadinya illegal loging, degradasi hutan, dan berkurangnya bahan baku pada
14
industri furniture kayu. Pertama, perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah. Kedua, manajemen hutan yang tidak efektif. Ketiga, tatakelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah. Penggunaan bahan baku yang illegal dilakukan untuk mendapatkan biaya yang rendah demi mendapatkan keuntungan yang tinggi. Kondisi ini senada dengan pernyataan Loebis (2005), dua cara perusahaan lokal untuk bersaing dalam ekonomi global yaitu low road dan high road. Para pengusaha furniture Indonesia cenderung menggunakan cara low road yang artinya mereka bersaing dengan membayar upah serendah mungkin dengan mengabaikan standar lingkungan dan menghindari pajak. Perusahaan yang menggunakan low road didominasi oleh para pengusaha furniture kayu yang masih berskala kecil. Penggunaan low road oleh para pengusaha dikarenakan bahan baku industri furniture kayu yang diperoleh secara illegal didapat dengan proses yang mudah dan dengan biaya yang murah. Pemerolehan bahan baku secara illegal menyebabkan kerusakan hutan dalam bentuk deforestasi, konservasi keanekaragaman hayati serta berkurangnya bahan baku produk kayu akibat penebangan liar. Kondisi ini menarik perhatian para pemerhati lingkungan dunia sehingga tercetuslah ide sertifikasi untuk produk furniture kayu Indonesia. Sertifikasi produk furniture kayu berfungsi sebagai bukti pengesahan atau seal of approval bahwa produk yang diberi label sertifikasi tersebut diproduksi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan tentunya ramah lingkungan. Sertifikasi produk furniture kayu diawali dengan adanya Standardization Regime yang dibuat karena Trend konsumen dunia saat ini yang menginginkan produk
15
furniture kayu bersertifikat ramah lingkungan. Salah satu bentuk sertifikasi untuk produk furniture kayu yang digunakan di Indonesia dan telah memenuhi standar pasar internasional adalah Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK telah lama dicanangkan di Indonesia. Penggunaannya baru diberlakukan pada awal Januari 2013 untuk kayu hasil hutan yang akan diekspor ke luar negeri. Sementara itu, pemberlakuan SVLK pada produk furniture kayu baru akan diberlakukan pada tahun 2015. SVLK sendiri merupakan suatu kebijakan yang dihasilkan dari kerja sama antara Indonesia dan UE yang digunakan untuk produk yang berbahan dasar kayu yang berarti juga digunakan pada produk furniture kayu. Kebijakan sertifikasi ini merupakan penjaminan ketaatan pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan serta pemilik hutan hak dalam
pemenuhan
kewajiban
pada
kegiatan
penebangan/pemanenan,
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran hasil industri produk kayu sebagai landasan bagi keberhasilan pengelolaan dan pemasaran hasil industri produk kayu, sebagai landasan bagi keberhasilan pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan penjaminan ketaatan
industri
primer, industri
lanjutan, industri rumah
tangga/pengrajin dan eksportir. Kebijakan sertifikasi SVLK untuk produk furniture kayu Indonesia berfungsi untuk menunjukkan legalitas produk dan juga untuk mengembalikan citra Indonesia dari negara yang dulu dikenal sebagai Illegal Logger, menjadi negara pertama di Asia yang berkomitmen mempromosikan kayu legal dalam perdagangan kayunya, khususnya ke pasar mancanegara. Penggunaan SVLK juga
16
diharapkan mampu untuk meningkatkan Added Value (daya saing) dan memperluas pangsa pasar internasional. Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk furniture kayu melalui SVLK dalam perdagangan internasional dipengaruhi oleh para actor yang terlibat di dalamnya. Para actor tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap penciptaan dan pengimplementasian SVLK pada produk furniture kayu. Kondisi yang saling mempengaruhi antar actor pembuat kebijakan SVLK yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia, NGO, pihak UE, dan para pengusaha furniture kayu seperti tergambar dalam konsep commercial diplomacy. Prinsip utama diplomasi komersial dalam perdagangan global produk furniture kayu Indonesia adalah adanya kerja sama yang terjalin antara pemerintah Indonesia dengan UE untuk menciptakan dan memberlakukan SVLK pada produk furniture kayu. Dalam hal ini, kebijakan SVLK sebagai sebuah kebijakan yang bertaraf internasional yang diambil oleh pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh para actor diantaranya UE, NGO, dan para pengusaha furniture kayu. Selain adanya factor yang saling mempengaruhi antar actor tersebut, dalam diplomasi komersial juga mencakup area perdagangan global sehingga SVLK yang digunakan pada produk furniture kayu akan dapat diterima oleh pasar global karena telah memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan oleh dunia internasional. Usaha
pemerintah
Indonesia
untuk
menghasilkan
SVLK
dan
menerapkannya pada furniture kayu Indonesia dalam lingkup diplomasi perdagangan di pasar internasional menjadi menarik untuk dikaji. Hal ini
17
dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya pembuatan dan penerapan kebijakan SVLK yang digunakan pada produk furniture kayu melibatkaan dua actor utama yaitu pemerintah Indonesia dan UE dengan tujuan agar produk furniture kayu Indonesia dapat memenuhi standar internasional dan dapat diterima di pasar internasional; dan penerapan SVLK pada produk furniture kayu Indonesia dirasa belum sepenuhnya maksimal karena belum semua perusahaan furniture memiliki SVLK dikarenakan oleh beberapa alasan diantaranya adalah biaya SVLK yang terlalu mahal, prosedur SVLK yang terlalu berbelit, dan lain sebagainya. Berdasarkan dua alasan utama pada paragraph sebelumnya maka penelitian ini fokus pada bagaimana upaya diplomasi perdagangan internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menciptakan SVLK yang memiliki standar internasional sehingga dapat ditetima oleh pasar internasional; dan fokus pada penerapan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesia sebagai usaha untuk menaikkan daya saing produk di kancah internasional.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana sertifikasi SVLK berperan sebagai instrument diplomasi perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional? C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menguraikan SVLK sebagai instrument
diplomasi perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional;
18
menggambarkan penggunaan SVLK pada produk furniture kayu; mendeskripsikan penerapan SVLK pada produk furniture kayu dan upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia agar diterima di pasar internsional untuk menaikkan daya saing; dan menyajikan hasil analisis model penerapan SVLK pada produk furniture kayu dengan mengambil studi kasus pada industry furniture kayu di Yogyakarta.
D.
Tinjauan Literatur Penelitian dalam bidang sertifikasi yang mencakup sertifikasi produk
hutan maupun produk furniture kayu telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa orang diantaranya adalah Indrawan (2012) dengan judul „Strategi Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Industri Furniture di Indonesia‟. Penelitian ini mengkaji tentang isu illegal logging dan illegal trading yang terjadi di Indonesia beserta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi SVLK pada industry furniture di Indonesia dan bagaimana strategi implementasi SVLK pada industri furniture di Indonesia. Penelitian kedua adalah dari Salam, Purwanto, dan Suherman (2013) dengan judul ‟SVLK; Salah Satu Jenis Eco Label untuk Mengontrol Pergerakan Kayu pada Industri Furnitur di Jepara‟. Penelitian ini bermula dari adanya sorotan yang dilakukan oleh masyarakat internasional akan penggunaan bahan baku dari hutan tropis yang dilakukan secara illegal sehingga menyebabkan industri pengolahan kayu di Jepara terkena imbasnya. Oleh karenanya, penelitian ini menekankan pada penerapan penerapan SVLK yang dilakukan oleh beberapa industri furnitur kayu di Jepara; dan menjelaskan seberapa besar manfaat yang
19
diperoleh dari penerapan ekolabel tersebut dan kendala apa saja yang didapat dari penerapan tersebut. Penelitian ketiga adalah dari Sukradi (2009) yang menyingkap dua hal penting yang banyak menjadi bahan perbincangan para pemerhati hutan dan kehutanan. Pertama adalah tentang pengertian sertifikasi yang berbeda dengan sustainable forest management. Kedua adalah mengenai pentingnya kriteria dan indicator dalam Pengelolaan Hutan Lesari (PHL). Terdapat tiga aspek penting yang digunakan sebagai kriteria dan indikator yaitu adanya keseimbangan antara unsur-unsur ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sukradi menjelaskan pentingnya menyeimbangkan ketiga aspek tersebut sehingga pemanfaatan terhadap hutan dapat memeberikan keuntungan yang sebesar-besarnya baik bagi negara maupun masyarakat sekitarnya tanpa mengorbankan aspek kelestarian hutan dan fungsi ekologisnya. Penelitian keempat adalah dari Haryadi (2009) yang mengkaji tentang perkembangan industri furniture dengan sertifikasi di Indonesia dalam menghadapi persaingan di pasar global.
Penelitian ini menjelaskan bahwa
sosialisasi dan promosi perlu dilakukan untuk meningkatkan permintaan produk furniture bersertifikat sehingga bila permintaan meningkat maka produsen akan mau memproduksi walaupun dengan modal yang lebih tinggi karena harga jualnya pun meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pelanggan akan mempengaruhi pilihan dari pelanggan tersebut. Penelitian kelima adalah dari Hamilton dan Zilberman (2006) tentang daya saing furniture dengan sertifikat. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa
20
keunggulan produk furniture bersertifikat dari sisi lingkungan merupakan bonus tambahan, tetapi sering kali menjadi faktor yang menentukan antara nilai produk dan kualitas. Mereka juga menjelaskan peran pemerintah dalam pengembangan furniture bersertifikat dengan cara melakukan dan menggalakkan green public procurement (GPP) terhadap furniture untuk memastikan bahwa pemerintah berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Penelitian keenam adalah dari Alt (2001). Penelitian ini membandingkan pendapat antara perusahaan bersertifikat dengan perussahaan yang tidak bersertifikat. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perusahaan yang memiliki sertifikat menyatakan bahwa faktor paling penting dalam suatu usaha adalah marketing advantage, akses ke pasar baru, publikasi/dampak image; dan faktor yang kurang penting adalah cost, demand, profits. Sedangkan untuk perusahaan tidak bersertifikat, factor paling penting dalam suatu usaha adalah profits. Tinjauan literatur yang ketujuh diambil dari artikel dengan judul “Aspek Perdagangan Terkait dengan Sertifikasi PHL” (1996). Artikel ini menjelaskan tentang sertifikasi PHL dan pelabelan produk hasil hutan sebagaimana program sertifikasi yang lain dan dimaksudkan untuk memberi informasi dan meningkatkan kesadaran konsumen mengenai karakteristik produk hasil hutan yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan. Berdasarkan uraian tinjauan literature di atas, penelitian dalam tulisan ini akan dikhususkan pada kajian bagaimana kebijakan SVLK pada produk furniture kayu Indonesia berperan sebagai alat diplo,asi pada perdagangan Internasional
21
untuk meningkatkan daya saing produk furniture kayu di pasar internasional. Penelitian ini juga merupakan studi kasus model penerapan SVLK pada industri furniture kayu di Yogyakarta. Dengan melakukan studi kasus ini diharapkan hasil yang didapat lebih spesifik dan lebih akurat. E.
Landasan Teori Penelitian ini mengkaji bagaimana kebijakan sertifikasi SVLK pada
produk furnitur kayu berperan sebagai instrumen diplomasi baru perdagangan global untuk menaikkan daya saing produk di pasar Internasional, maka digunakanlah tiga landasan teori utama yaitu diplomasi komersial, konsep sertifikasi dan daya saing yang akan diuraikan lebih rinci dalam pembahasan di bawah ini. Diplomasi Komersial adalah diplomasi dengan sentuhan komersial; diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan keputusan peraturan yang mempengaruhi perdagangan global dan investasi. Diplomasi komersial meliputi seluruh analisis, advokasi, dan rantai negosiasi yang mengacu pada perjanjian internasional tentang perdagangan yang berkaitan dengan isu-isu terkait. Permasalahan dalam perdagangan yang terkait dengan kebijakan tunduk pada negosiasi perdagangan. Hal ini cenderung sangat kompleks dan menyentuh berbagai masalah kebijakan domestik, ketentuan hukum, masalah kelembagaan, dan kepentingan politik. Curzon, Saner & Yiu (dalam Kostecki dan Naray, 2007) menyebutkan bahwa diplomasi komersial mencakup dua jenis kegiatan yang berbeda yaitu:
22
1. Kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan, contohnya negosiasi perdagangan multilateral, konsultasi perdagangan, penyelesaian sengketa; dan 2. Kegiatan-kegiatan pendukung bisnis.
Pembagian dua jenis kegiatan di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan pertama
mengacu
pada
diplomasi
perdagangan
dan
dirancang
untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah luar negeri dan peraturan keputusan yang mempengaruhi perdagangan global dan investasi. Sedangkan kegiatan kedua mencakup tindakan-tindakan pendukung bisnis yang dilakukan oleh para actor yang terlibat dalam perdagangan global. Beranjak dari dua jenis kegiatan dalam diplomasi komersial yang dikemukakan oleh Curzon, Saner & Yiu, maka diplomasi komersial tidak hanya digunakan untuk menganalisa isu perdagangan saja tetapi juga dapat digunakan pada permasalahan lainnya seperti investasi, pariwisata, properti intelektual, dan lain sebagainya. Penjelasan lebih rinci mengenai diplomasi komersial dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
23
Tabel 1: The Nature of Commercial Diplomacy Services and Their Managerial Implication (Sumber: Kostecki, Michel dan Naray, Oliver. 2007. Discussion Papers in Diplomacy-Commercial Diplomacy and International Bussiness. Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟
Tabel 1 di atas menjelaskan bahwa fitur-fitur utama diplomasi komersial dapat dikategorikan sebagai sebuah layanan yang meliputi layanan pemerintah, diplomatik, publik, komersial, dan networking; dan juga menjelaskan implikasi managerialnya. Pada tabel 1 di atas juga dijelaskan bahwa para aktor dalam diplomasi komersial dibagi dalam dua kategori yaitu para aktor yang menduduki
24
tingkat atas atau para aktor pembuat kebijakan utama (kepala negara, perdana menteri, menteri atau anggota parlemen); dan ambasador dan para aktor yang berada di level kedua seperti perwakilan perdagangan, commercial attache, atau diplomat komersial. Secara sederhana, diplomasi komersial dapat didefinisikan sebagai sebuah diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan keputusan-keputusan
peraturan
yang
mempengaruhi
perdagangan
global.
Sehingga dalam diplomasi komersial, pemerintah Negara dalam hal ini bukanlah satu-satunya aktor yang berperan, melainkan juga terdapat pihak swasta yang berperan seperti asosiasi, NGO dan perusahaan swasta. Pada penelitian kali ini, teori diplomasi komersial digunakan sebagai salah satu teori untuk menganalisa upaya diplomasi perdagangan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan kebijkan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu di Indonesia agar diterima di Pasar Internasional. Seperti halnya dengan kebijakan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu, kebijakan tersebut dibuat oleh pemerintah yang dalam hal ini pemerintah bukanlah merupakan satusatunya actor yang berperan. Peran swasta pun ikut di dalam nya seperti asosiasi, NGO, dan lain sebgaianya. Peran pemerinah Negara dan swasta bekerjasama menghasilkan kebijakan dan kapasitas administrasi yang kuat pada sertifikasi SVLK produk furniture kayu agar dapat bersaing dan dapat diterima di dalam tatanan ekonomi dunia yang telah mengalami perubahan-perubahan. Susan Strange dan John M. Stopford melihat bahwa negara dan swasta semakin saling
25
tergantung satu sama lain dalam menciptakan tatanan kebijakan yang dalam hal ini sertifikasi SVLK produk furniture kayu. Digunakannya SVLK sebagai sertifikasi produk furniture kayu yang akan diperdagangkan sebagai akibat dari adanya tuntutan pasar yang menginginkan kelegalan suatu produk. Hal ini senada dengan adanya konsep rezim sertifikasi internasional. Elliot (1999) menjelaskan bahwa konsep sertifikasi adalah sebagai instrument kebijakan. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa sertifikasi adalah suatu alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kerja sama untuk menetapkan standar suatu produk berdasarkan kesepakatan yang telah mereka setujui atau berdasarkan standar yang telah ditetapkan secara Internasional. Negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan Certification sebagai : The provision of information about product characteristic, such as those that relate to the environment, to enable more informed consumer purchasing decisions and to differentiate product and create markets for the differentiate products (LEI,2005). Definisi tersebut menggambarkan bahwa sertifikasi merupakan ketetapan informasi tentang karakteristik suatu produk seperti yang berkaitan dengan lingkungan; sertifikasi juga memberikan informasi kepada konsumen tentang produk tersebut sehingga konsumen dapat dengan mudah untuk memutuskan produk mana yang akan dibeli; dan sertifikasi juga merupakan pembeda antar produk dan untuk menciptakan pangsa pasar yang berbeda untuk setiap produk. Sertifikasi dalam penelitian ini dikhususkan pada sertifikasi produk furniture kayu. Sertifikasi pada produk furniture kayu muncul sebagai akibat dari
26
meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap masalah kerusakan hutan yang semakin tinggi yang terjadi di hampir seluruh Negara yang memiliki hutan. Ghazali dan Simula (1994) mendefinisikan Certification sebagai : A process wich result in a written statement which is certificate attesting the origin of wood raw material and its status and/or qualifications following validation by an independent third party (LEI, 2005a). Mereka
menjelaskan
bahwa
sertifikasi
merupakan
suatu
proses
yang
menghasilkan suatu dokumen yang menunjukkan kelegalan bahan kayu mentah dan statusnya dan menujukkan bahwa produk kayu telah memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh pihak ketiga. Senada dengan pengertian di atas, Forest Stewardship Council (FSC) (2005) mendefinisikan Certification sebagai proses pengevaluasian terhadap hutan atau daerah hutan untuk menentukan apakah mereka telah diatur berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, semua produk hutan yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta harus memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan sehingga pemanfaatan produk hutan dapat diimbangi dengan pelestariannya. Konsep sertifikasi produk hutan dan produk furnitur kayu muncul dari adanya Standardization Regime pada lingkup Internasional sebagai respon dari adanya illegal logging dan illegal trade. Standardization Regime bertujuan menjaga hutan dan bahan baku suatu produk yang dihasilkan dari hutan serta mengembalikan kelestarian hutan sebagai sumber daya bahan baku pada produk kayu secara berkelanjutan.
27
Standardization Regime merupakan perwujudan dari keinginan para konsumen produk furnitur kayu dunia yang menuntut adanya produk yang ramah lingkungan dan bersertifikat legal. Legalitas produk furnitur kayu menunjukkan bahwa produk tersebut diproduksi dengan menggunakan cara yang benar dan telah sesuai dengan standar yang ditetapkan mulai dari pengambilan bahan baku, proses produksi, hingga distribusi akhirnya. Standardization Regime juga berkaitan erat dengan organisasi independen yang mengembangkan standar pengelolaan hutan untuk produk kayu dengan baik, dan sebagai auditor independen yang mengeluarkan sertifikat untuk operasi pengelolaan produk hutan yang sesuai dengan standar tersebut. Standar yang digunakan pada masa Standardization Regime adalah berupa sertifikasi yang mempunyai peran sebagai verivikator. Dengan adanya sertifikasi pada produk hutan maupun produk furnitur kayu berfungsi memberikan keterangan bahwa hutan dan produk hutan dikelola dengan baik berdasarkan standar yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa produk kayu datang dari hutan yang terkelola secara dengan baik sehingga dapat mewujudkan suatu tata kelola yang baik (good governance). Sertifikasi yang ditetapkan oleh setiap perusahaan, organisasi, maupun negara baik itu yang bertaraf nasional maupun internasional yang digunakan pada produk hutan maupun produk furnitur kayu memiliki standar yang berbeda. Akibatnya, tidak ada manajemen pengelolaan hutan dan produk hutan yang berstandar tunggal dan setiap sistem mengambil pendekatan yang berbeda dalam mendefinisikan standar untuk pengelolaan hutan dan produk hutan secara lestari.
28
Dari semua standar untuk produk hutan dan produk furnitur kayu yang telah ada terdapat beberapa standar yang dapat digunakan secara umum. Standar ini biasanya berupa standar yang ditetapkan dan diakui oleh dunia Internasional seperti EUTR, Lacey Act, Green Konyuho, SVLK, dan lain sebagainya. Standard produk hutan atau produk furnitur kayu yang telah ditetapkan dan diakui oleh dunia Internasional dapat digunakan dalam perdagangan Internasional. Standar ini sebagai prasyarat agar suatu produk dapat berkompetisi di pasar global dengan lebih leluasa. Brenner (2001, dikutip dari tacconi et al, 2004:7-8) menjelaskan bahwa sertifikasi diyakini membawa berbagai manfaat yang tidak hanya di sektor lingkungan dan kehutanan saja tetapi juga sektor perdagangan, yang diantaranya: 1. Peningkatan daya saing dan pendapatan: sertifikasi dapat mengidentifikasi jenis produk bagi pembeli dengan alasan berikut : i) harga premium yang signifikan, dan ii) preferensi merk dagang yang kuat. 2. Pengurangan resiko: bagi produsen sertifikasi dapat berfungsi untuk mengurangi resiko yaitu: i) resiko pasar, misal pasar luar negeri atau pembeli utama meminta sertifikasi; ii) resiko peraturan: sertifikasi bisa menghindari intervensi peraturan; iii) resiko citra; iv) resiko sumber daya 3. Penggunaan biaya: skema sertifikasi menyatakan adanya peningkatan efisiensi untuk industri yang bersertifikat: i) membaiknya skala ekonomi, misal, lebih besarnya skala ekonomi dalam produksi, pemasaran atau distribusi; ii) akses yang berbiaya efektif pada teknologi dan proses baru; iii) menurunnya komplektisitas operasional, misal efisiensi kegiatan-kegiatan umum dapat ditingkatkan setelah penelitian dan analisis yang ketat dilakukan sebagai upaya sertifikasi. 4. Perbaikan tata kelola kehutanan : adanya sertifikasi diharapkan mampu menjadikan tata kelola (governance) pada sektor kehutanan agar menjadi lebih baik.
29
Seperti yang telah dikemukakan oleh Brenner (2001) di atas bahwa sertifikasi mampu untuk meningkatkan daya saing suatu produk. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi yang diberlakukan pada produk furnitur kayu dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan daya saing di pasar regional maupun internasional. Daya saing yang dimiliki oleh suatu produk akan menjadikan produk tersebut mampu bertahan di pasar. Tyson menjabarkan daya saing sebagai kemampuan kita untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji persaingan internasional” (dikutip dari Cho dan Moon, 2003). Dengan kata lain, daya saing adalah usaha yang dilakukan para produsen dalam memproduksi barang dan jasa yang disesuaikan dengan standar internasional. Menurut Alternbug (1998), “daya saing merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi pasar dengan mensuplai produk secara tepat waktu dan pada harga yang kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon perubahan permintaan secara cepat dan melalui manajemen diferensiasi produk yang sukses dengan membangun kapasitas inovatif dan sistem pemasaran yang efektif.” Penjelasan Alternbug dapat pula dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1: Konsep Daya Saing Menurut Altenburg (Sumber: LIPI, 2008)
30
Pada gambar 1, dijelaskan bahwa daya saing merupakan kemampuan suatu barang dan jasa untuk bertahan di pasar yang didukung beberapa factor diantaranya kemampuan untuk menyuplai barang dan jasa sesuai dengan waktu yang dijadwalkan; pemberian harga yang kompetitif sehingga dapat dijangkau oleh konsumen; melakukan respon yang cepat terhadap setiap perubahan atau selera pasar; dan kemampuan untuk memberikan barang dan jasa yang berbeda yang membedakannya dari produk lainnya sehingga dapat menarik minat konsumen. Lebih lanjut, manajemen diferensiasi produk dipengaruhi oleh dua hal yaitu kapasitas yang inovatif dan sistem pemasaran yang efektif. Porter (1985) daya saing adalah sebagai suatu peluang untuk menerima bisnis yang baru dan kesempatan untuk berinovasi dan berkembang. Daya saing dalam lingkup perdagangan merupakan suatu kondisi dimana suatu produk yang akan dipasarkan memiliki nilai lebih untuk bersaing dengan produk yang sama . Daya saing suatu produk dipengaruhi oleh kompetitornya dan juga tempat produk tersebut dijual sehingga suatu produsen suatu produk akan terus melakukan inovasi agar produknya dapat bertahan di pasar. Kondisi ini senada dengan yang dikemukakan Porter bahwa daya saing sebagai hal yang sifatnya eksternal. Penjabaran daya saing dari Porter dapat dilihat secara lebih rinci pada gambar 2 berikut ini:
Gambar 2: Konsep Daya Saing Menurut Porter (Sumber: LIPI, 2008)
31
Berdasarkan gambar 2, konsep daya saing yang diberikan oleh Porter menunjukkan bahwa daya saing memiliki dua fungsi utama. Fungsi yang pertama adalah untuk meningkatkan produktivitas. Kondisi ini dapat diartinkan bahwa dengan adanya daya saing maka para produsen barang dan jasa akan berlombalomba untuk meningkatkan produksi barang dan jasanya. Porter menjelaskan bahwa peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh peningkatan modal, tenaga kerja, kualitas bahan baku, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Kemudian untuk fungsi yang kedua adalah untuk melakukan perluasan pasar. Daya saing yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa akan menjadikannya mampu untuk memperluas penyebaran barang dan jasa ke berbagai pasar. Porter mengatakan bahwa terdapat empat faktor utama yang menentukan keunggulan bersaing industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), dan struktur persaingan dan strategi industry (firm strategy, structure and rivairy). Disamping itu, terdapat dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu, faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Berpedoman dari beberapa konsep daya saing yang telah diuraikan di atas maka konsep daya saing diyakini sesuai untuk menganalisa implementasi sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesai untuk meningkatkan daya saing di pasar Internasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa SVLK sedang diperbincangkan sebagai salah satu sertifikasi yang dapat meningkatkan daya saing produk furniture kayu Indonesia. Dari pengertian yang dijeaskan oleh
32
Porter, bahwa daya saing produk di pasar internasional dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yang dalam hal ini SVLK berperan dalam menciptakan bahan baku yang berkualitas yang berasal dari bahan baku yang legal dengan proses produksi yang benar.
F.
Argumen Utama Argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa penerapan
sertifikasi SVLK sebagai instrument diplomasi perdagangan baru pada produk furniture kayu dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha industri furniture kayu Indonesia yaitu mendapatkan akseptabilitas dari Negara-negara di dunia khususnya UE. Karena dengan digunakannya SVLK pada produk furniture kayu berarti bahwa produk furniture kayu tersebut telah memiliki standar yang diminta oleh dunia internasional berupa jaminan legalitas produk yang artinya bahwa produk tersebut juga memiliki daya saing sehingga dapat bertahan di pasar internasional. Akan tetapi, penerapan SVLK pada produk furniture kayu belum dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan furniture dengan skala kecil menengah belum memiliki sertifikat SVLK. Mereka terkendala biaya SVLK yang terlalu besar yang mencapai range Rp 20.000.000,00 sampai Rp 50.000.000,00 (sumber: ASMINDO Yogya, 2013) dan juga kurangnya pemahaman terhadap SVLK akibat kurangnya sosialisasi. Masih adanya beberapa pengusaha furniture kayu yang belum memiliki SVLK menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk dapat menyelesaikan hambatan yang dihadapi
33
oleh para pengusaha tersebut sehingga penerapan SVLK pada produk furniture kayu dapat dioptimalkan sepenuhnya.
G.
Jangkauan Penelitian Pembatasan dalam penelitian ini perlu dilakukan guna menghindari
perluasan pembahasan. Batasan yang digunakan dalam penelitian meliputi tahun pengambilan data yaitu pada dari tahun 2009 sampai tahun 2013; pembatasan wilayah pengambilan data hanya pada wilayah industry furniture kayu yang ada di Yogyakarta; dan konsep sertifikasi yang digunakan adalah SVLK.
H.
Metodologi Penelitian Metodologi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu metode
penelitian dan teknik pengumpulan data. 1.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Neuman (1991, 328) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif berkaitan erat dengan pengumpulan dan penganalisaan data kualitatif. Metode ini digunakan sebagai prosedur penelitian untuk mendapatkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari sumber literatur atau lisan dari nara sumber. 2.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini didapat dari dua sumber yakni data
primer dan data sekunder. Penulusuran Informasi data primer yang diperoleh dari narasumber yang relevan dan terpercaya baik melalui penelitian lapangan maupun
34
telaah literatur, serta mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari beragam literatur seperti buku, jurnal, dokumen ataupun rilis media sebagai data penunjang. Subjek penelitian dan pengambilan sampel dilakukan secara purposive, yang berarti dipilih menurut tujuan penelitian.
I.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian.
Bagian pertama yaitu Bab I yang akan menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan literatur, landasan teori, argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua adalah Bab II yang akan menjelaskan beberapa bagian diantaranya: perkembangan diplomasi perdagangan pada produk furnitur kayu, sertifikasi SVLK sebagai bentuk baru diplomasi perdagangan pada produk furnitur kayu, upaya diplomasi perdagangan pemerintah Indonesia terkair sertifikasi SVLK pada produk furnitur kayu, dan SVLK pada produk furnitur kayu di Indonesia. Bagian ketiga adalah Bab III yang akan menguraikan tentang kebijakan dan peran pemerintah dalam implementasi sertifikasi SVLK di pasar internasional, para aktor yang berperan dalam SVLK pada produk furniture kayu, hambatan SVLK pada produk furniture kayu, SVLK sebagai upaya meningkatkan daya saing produk furniture kayu di pasar internasional, dan ekspor produk furniture kayu Indonesia. Bagian keempat yaitu Bab IV yang akan memaparkan tentang studi kasus yang dalam penelitian kali ini akan berfokus pada model penerapan Sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu di Yogyakarta. Bagian
35
kelima adalah Bab V yang akan memaparkan tentang kesimpulan yang berisi rangkuman dari bab I sampai bab IV serta akan menjelaskan hasil akhir dari studi kasus yang telah dilakukan.
36