BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan anak adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan anak juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya perdagangan anak dalam suatu Negara ataupun suatu daerah di Indonesia telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional. Perdagangan anak yang menjadi korbannya anak yang disebut juga sebagai human trafficking untuk tujuan eksploitasi seksual komersial saat ini banyak dibicarakan di dalam masyarakat. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang kompleks dan menjadi fenomena di dunia internasional, regional, serta local. Berbagai cara perdagangan anak dapat terjadi, misalnya di tempat hiburan yang menyajikan kenikmatan seks, tempat ini menjadi tempat prostitusi dan ajang pelacuran yang dimana anak dijajakan untuk dijual1. Aparat penegak hukum mempunyai tugas untuk mencegah permasalahan perdagangan anak dengan menggunakan, perundang undangan yang ada pada saat ini. Upaya pencegahan dan penanggulangan permasalahan ini dilakukan ditingkat internasional, regional, dan lokal, dengan melakukan kerjasama terhadap instansi terkait, dalam hal ini pihak kepolisian. Aparat penegak hukum harus bisa bekerja sama dan bekerja keras guna menanggulangi permasalahan perdagangan anak. Aparat penegak hukum ditingkat lokal yakni kepolisian sebagai penyidik harus bisa menerapkan dengan tepat peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia untuk menjerat pelaku agar bisa memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
1
Tunggal Setiahadi,2013, Kejahatan Dalam Masyarakat, Citra Aditya, Bandung, hal 30
1
anak. Peraturan yang terkait dalam permasalahan perdagangan anak adalah Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut Undang-Undang Perdagangan Orang). Selain itu aparat terkait harus dengan giat melakukan kegiatan guna mencegah permasalahan perdagangan anak2. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perdagangan Orang, diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan anak. Di Indonesia sudah banyak terjadi permasalahan atau tindak pidana perdagangan anak. Banyak anak-anak terjebak dalam perdagangan anak yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dengan janjijanji yang akan diberikan oleh para perekrut anak kepada anak yang akan menjadi korban perdagangan anak. Perdagangan anak disini sering diidentikkan dengan prostitusi dan pelacuran. Alasan ekonomi menjadi alasan mendasar anak terjerumus dalam dunia prostitusi atau pelacuran. Perdagangan anak merupakan kegiatan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas dan dihapuskan. Tindak pidana perdagangan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik kejahatan yang terorganisasi ataupun tidak. Tindak pidana perdagangan anak tidak hanya melibatkan perseorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara Negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Jembrana pada tahun 2014 di Jembrana sudah terjadi 2 kasus perdagangan anak. Korban berasal dari Banyuwangi Jawa Timur yang berinisial A dan I. Kedua korban diketahui masih duduk dibangku sekolah. Dari kedua korban tersebut dalam interogasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan LPA Kabupaten Jembrana, mereka mengaku awalnya hanya diajak oleh orang yang baru mereka kenal untuk bertemu temannya di Bali sekalian untuk rekreasi, namun setelah 2
L.M Lapian Gandi dan Geru H Hetty,2005, Trafficking Anak dan Wanita, Rineka Cipta, Jakarta, hal 134.
sampai di Bali mereka dititipkan di cafe remang-remang di daerah Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Pihak kepolisian dan LPA Kabupaten Jembrana berhasil menjemput kedua korban setelah adanya laporan dari polres Banyuwangi, ada 2 remaja putri menghilang dari rumah orang tuanya. Ketentuan mengenai larangan perdagangan anak pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 297 KUHP yang menentukan mengenai larangan perdagangan manusia dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasi kegiatan tersebut sebagai suatu kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan perdagangan, menjual, menculik anak untuk kepentingan diri sendiri atau untuk dijual3. Namun dalam ketentuan KUHP dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan anak yang tegas secara hukum, disamping itu Pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita oleh korban kejahatan perdagangan anak untuk eksploitasi seksual. Undang-Undang Perdagangan Orang mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara atau semua bentuk eksploitasi, termasuk perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial. Undang-Undang Perdagangan Orang mengatur perlindungan saksi dan korban dimana saksi dan korban ini menjadi aspek penting dalam penegakan hukum. Perlindungan dasar saksi dan korban adalah penyimpanan identitas, alamat dan lainnya. Selain itu Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan anak dalam bentuk hak retitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan anak sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial ,pemulangan serta reintergrasi yang harus dilakukan oleh Negara
3
Arif Gosita, 2009, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, hal.83.
terutama bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik,psikis dan sosial akibat tindak pidana perdagangan manusia. Tindak pidana perdagangan manusia merupakan kejahatan yang tidak hanya terjadi didalam wilayah Negara melainkan antar Negara, oleh karena itu perlu dikembangkan kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbale balik dalam msalah tindak pidana dan atau kerjasama teknis lainnya sesuai peraturan perundang undangan. Perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial yang melibatkan anak sehingga disebut perdagangan anak banyak anak yang baru dewasa terjebak dalam perdagangan anak karena anak yang baru dewasa biasanya labil dalam memilih teman dan pergaulan maka ini menjadi sasaran yang empuk dari pelaku perdagangan anak. Di Indonesia telah banyak terjadi tindak pidana perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial, praktek perdagangan anak diindonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan, menimbulkan kerisauan dan kecemasan kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan4. Data dari UNICEF pada tahun 2014 di Indonesia banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun5. Di wilayah Bali khususnya di wilayah Kabupaten Jembrana sudah terjadi kasus perdagangan anak, namun dalam penegakan hukum banyak terjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap perdagangan anak. Pemerintah dan pihak yang berwenang mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan anak dengan peraturan
4 5
Irsan Koesparmono,2008, Perlindungan Anak dan Wanita, Akademika Presindo,Jakarta, hal 143. UNICEF, 2014, Factsheet About Child Trafficking in Indonesia, UNICEF, New York, hal 3.
perundang-undangan yang sudah ada sehingga Pemerintah dapat menjerat pelaku dan memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan anak. Pemerintah disini yang dimaksud ialah aparat penegak hukum yang termasuk didalamnya ialah kepolisian, jaksa dan juga hakim serta seluruh aparat yang berwenang, polisi sebagai aparat penegak hukum mempunyai tanggung jawab yang berat untuk menanggulangi perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial. Tentunya dengan menerapkan peraturan peraturan hukum serta perundang undangan yang berlaku di Indonesia,maka diharapkan kepolisian mampu untuk melakukan upaya pencegahan (preventive) dan bahkan menanggulangi. Sehingga tidak ada lagi perdagangan anak
untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Diharapkan kepolisian dan
Pemerintah mampu bekerja sama dengan efektif untuk mencegah dan menanggulangi perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial. Dan juga diharapkan peran serta instansi instansi lainnya seperti dinas sosial, dinas kependudukan dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk menanggulangi kejahatan perdagangan anak(human trafficking). Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA. 1.2 Rumusan Masalah Adapun beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dari latar belakang masalah yang diuraikan adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana upaya perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban perdagangan anak di wilayah hukum Kabupaten Jembrana?
2) Apa saja faktor- faktor yang menghambat perlindungan terhadap korban perdagangan anak di wilayah hukum Kabupaten Jembrana? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Maksud dari ruang lingkup masalah dalam penulisan ini merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan dan membatasi area penelitian dan umumnya digunakan untuk mempersempit pembahasan yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah ditetapkan. Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini pada hakikatnya berkaitan dengan: 1) Terhadap permasalahan pertama ruang lingkupnya meliputi bagaimana perlindungan terhadap korban tindak perdagangan anak di wilayah Kabupaten Jembrana 2) Terhadap pemasalahan kedua ruang lingkupnya meliputi faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat pelaksanaan perlindungan terhadap korban perdagangan anak. 1.4. Tujuan Penelitian Setiap penulisan karya ilmiah akan mempunyai suatu tujuan yang akan memberikan arah yang jelas bagi kegiatan penelitian bersangkutan.adapun tujuan dari penulisan ini dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: a. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan skripsi ini untuk memahami tentang bagaimana penegakan hukum dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan anak di Kabupaten Jembrana.
b. Tujuan Khusus Mendasarkan pada permasalahan hukum yang dibahas, adapun tujuan khusus dari penelitian skripsi ini adalah: 1) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perdagangan anak di Kabupaten Jembrana. 2) Untuk mengetahui faktor faktor penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan anak di Kabupaten Jembrana. 1.5. Manfaat Penelitian Mengenai manfaat yang diharapkan dapat dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. a. Manfaat Teoritis Adapun manfaat teoritis yang dapat diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk pembangunan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana. Khususnya tentang viktimologi sehingga melalui penelitian ini dapat diketahui berbagai penyebab timbulnya kejahatan perdagangan anak, bagaimana penanggulangannya, dan aspek – aspek lain yang terkait dengan perlindungan hukum korban perdagangan anak. b. Manfaat Praktis Sementara manfaat praktis yang diharapkan dari penulis ini adalah sebagai berikut: 1) Pemerintah, kepolisian, serta masyarakat umum agar memberi efek jera kepada pelaku tindak pidana perdagangan anak di Kabupaten Jembrana. 2) Para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah yang relevan dalam pengembangan organisasi sejenis sebagai agen perubahan sebagai paradigma baru dan agar dapat
berkembang menjadi organisasi yang tangguh dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam kinerjanya dan pada gilirannya akan dapat mencegah pelaku tindak pidana perdagangan anak di Kabupaten Jembrana. 3) Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dalam rangka tindak pidana perdagangan anak di Kabupaten Jembrana. 1.6. Landasan Teoritis a. Sifat – Sifat Perlindungan Hukum Korban Perdagangan Anak Perdagangan anak adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan 6seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, dan penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari anak yang memegang kendali atas anak lain tersebut, baik yang dilakukan didalam Negara ataupun antar Negara untuk tujuan eksploitasi sehingga anak menjadi tereksploitasi. Eksploitasi seksual merupakan tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban, tetapi tidak terbatas pada pelacuran atau pelayanan paksa, perbudakan atau peraktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik seksual organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ atau jaringan tubuh atau menmanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil atau inmateriil, dan dapat diambil kesimpulan eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Pasal 12 Undang-Undang Perdagangan Orang: “Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan anak dengan cara 6
Ibid, hal 148
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan anak, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan anak untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil keuntungan hasil tindak pidana perdagangan anak dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun, dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan dipidana denda palin sedikit Rp. 120.000.000,00 dan paling banyak Rp. 600.000.000,00. b. Teori Penanggulangan Kejahatan Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan kota kota besar lainnya semakin meningkat bahkan di beberapa daerah dan sampai kekota kota kecil, upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut7. Dalam pelaksanaannya ada dua upaya yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan, yaitu : 1) Upaya pencegahan (preventif) Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha usaha untuk memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi
7
Irsan Koesparmono,2008, Perlindungan Anak dan Wanita, Akademika Presindo,Jakarta, hal 143.
kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis8. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan9: a) Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan kebutuhan untuk mengembangkan dorongan dorongan sosial atau tekanan tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang kearah perbuatan jahat. b) Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis. Cara tersebut diatas menunjukan bahwa kejahatan
dapat kita tanggulangi apabila
keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang kearah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor faktor biologis, psikologis merupakan faktor yang sekunder saja10. Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan ketegangan sosial yang mendorong timbulnya
8
Adam Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT . Raja Grafindo, Jakarta, hal.158 Ninik Waskita, 2012, Kejahatan Dalam Mapenulisrakat, Citra Aditya, Bandung, hal.46. 10 Ibid, hal. 150. 9
perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama11. 2) Upaya penanggulangan (represif) Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan anak lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat. Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih jelas uraiannya sebagai berikut : a) Perlakuan (treatment) Perlakuan berdasarkan penerapan hukum , yang membedakan berat dan ringannya suatu perlakuan adalah pertama perlakuan yang tidak menerapkan sanksi sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada anak yang belum terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum bgitu berbahaya sebagai upaya pencegahan. Kedua perlakuan dengan sanksi sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan12. Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini di titikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul didalam masyarakat seperti sedia kala.
11 12
Ibid, hal.161. Muladi, Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,Bandung, hal.20.
b) Penghukuman (punishment) Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan PerUndang-Undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan pada pelanggaran hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan13. Jadi dengan sistem pemasyarakatan disamping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, merekapun dididik dan dibina serta dibekali dengan suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi anak yang berguna didalam masyarakat dan bukan lagi menjadi seseorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena meresahkan karena segala perbuatan jahat mereka dimasalalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat disekitar dia bertempat tinggal. c. Teori Penegakan Hukum Hukum merupakan suatu sarana dimana didalamnya terkandung nilai nilai atau konsepkonsep tentang keadilan , kebenaran kemanfaatan sosial , dan sebagainya14. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide – ide atau konsep–konsep, penegakan hukum yang merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi kenyataan.
13 14
Soerdjono D,2008, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung, hal.14 Ibid, hal.98
Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai- nilai atau kaedah – kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran , penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional tetapi menjadi tugas dari setiap anak. Meskipun demikian dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide – ide atau kosep- konsep tentang keadilan, kebenaran , kemanfaatan sosial , dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha mengumpulkan ide dan konsep- konsep tadi untuk menjadi kenyataan. Sutjipto Raharjo juga membedakan istilah penegakan hukum dengan penggunaan hukum tetapi penegakan hukum adalah dua hal yang berbeda. Anak dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tapi anak juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain15. Pencegahan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebagaimana tersirat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan asas asas hukum yang berlaku dilingkungan bangsa bangsa yang beradab, agar penegakan hukum dapat menghindarkan diri dari praktik- praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.16 J.B.J.M Ten Berge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu : a) Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interprestasi. b) Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal.
15 16
Sutjipto Raharjo,2006, Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, hal.169 Ibid, hal.70
c) Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara obyektif dapat ditentukan. d) Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum17. Penegakan hukum dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa penegakan hukum dilakukan oleh anak yang betul betul ahli dibidangnya dan dalam penegakan hukum akan lebih baik jika penegaka hukum mempunyai pengalaman praktik berkaitan dengan bidang yang ditanganinya18. 1) Faktor -faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum Secara konsepsional inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata mata berarti pelaksanaan PerUndang-Undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia kecenderungan adalah seperti tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
17
Abdullrahman,2009, Perkembangan Peraturan Tentang Pemidanaan Hukum Nasional, Akademika Presindo, hal.27l 18 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.17.
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a) Faktor hukumnya sendiri , yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang saja. b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hkum. d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya , cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup19. Dalam proses penegakan hukum terdapat beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, diantaranya: a) Kepastian hukum Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. b) Kemanfaatan Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul keresahan didalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum. c) Keadilan
19
Soerjono Sokanto, 2007, Faktor -Faktor Persada, Jakarta, hal.8
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum , mengikat setiap anak, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan20. Dalam penegakan hukum juga terdapat Undang-Undang dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar Undang-Undang tersebut mempunyai dampak positif. Asas tersebut adalah: a) Undang-Undang tidak berlaku surut. b) Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi. c) Mempunyai kedudukan yang tinggi. d) Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila pembuatannya sama. e) Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang dibuat terdahulu. f) Undang-Undang tidak bisa diganggu gugat. g) Undang-Undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahtraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian maupun pembaharuan. Penegakan hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan inspirasi masyarakat. Seseorang penegak hukum sebagai sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya yang mempunyai beberapa kedudukannya dan peranan sekaligus. Peranan penegak hukum sangatlah penting, oleh
20
Sudikno Mertokusumo,2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,hal.145
karena pembahasannya terhadap peegakan hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Diskresi juga menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum,dimana penilaian pribadi juga memegang peran21. 1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk dalam penelitian hukum empiris, yakni suatu penelitian yang beranjak adanya kesenjangan das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dan praktiknya, kesenjangan antara teoritis dan fakta hukum, dan adanya situasi ketidak tahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik22. Dalam hal ini permasalahan mengenai Pelaksanaan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak Di Wilayah Hukum Kabupaten Jembrana. b. Sifat Penelitian Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan lain dalam masyarakat23. c. Sumber Bahan Hukum Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris adalah memakai sumber bahan hukum primer dan bahan sekunder. 1) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama dilapangan dimana data itu berasal dari observasi dan pengamatan tentang informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara itu didalamnya termasuk fakta-fakta , pendapat, persepsi24. 21
UKI FH, 2006, Membangun dan Menegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD1945, Erlangga, Jakarta, hal.34. 22 Soerjono Sokanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.67. 23 M.Iqbal Hasan, 2008, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.43.
2) Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan sumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk-bentuk bahan hukum25. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,diantaranya: Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum/literatur ,jurnal, makalah dan sebagainya. d. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Teknik Studi Dokumentasi dan Teknik Wawancara (interview). Yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Mengenai teknik studi dokumentasi dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelum untuk memperoleh yang diajukan dalam penelitian. Dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisa26. e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposif sampling yakni sampel penelitian ditentukan sendiri oleh
24
Amirudin dan H.Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
hal.30. 25 26
Burhan Ashshofa,2008, Metode Penelitian Hukum, Cetakan II, Rineke Cipta, Jakarta,hal.22. Ibid, hal.98.
sipeneliti dengan mencari key informan (informasi kunci) ataupun responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti27. f. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dengan analisis kualitatif. Adapun yang dimaksud analisi kualitatif adalah analisa yang tidak digambarkan dengan angka angka tetapi berbentuk penjelasan dan pendeskripsian, dan data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi28. Jadi sampel lebih kepada non probabilitas dan pengumpulan data meggunakan pedoman wawancara dan observasi ke lapangan yang disusun secara sistematis dan analisisdengan mengunakan teori yang ada di lapangan.
27
Ibid, hal.59. Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti,Jakarta,hal.93 28