1
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
Juli - Agustus 2014
Kemudi
Perbudakan di Perdagangan Ikan Dunia
The Guardian juga mencatat, sedikitnya 15 buruh migran asal Myanmar dan Kamboja diperdagangkan dengan harga sebesar Rp 4 juta. Praktik perbudakan yang dijalankan di Thailand berlangsung dalam rupa: (1) bekerja selama 20 jam; (2) pemukulan; (3) penyiksaan; dan (4) pembunuhan. Tokoh Muhammad Sarli: Impor Sengsarakan Petambak Garam Indonesia
Konsultasi Hukum Hak Nelayan dalam Perspektif Perburuhan
Dapur Otak-otak Bandeng Khas Lamongan
Catatan
REDAKSI
Pekerja Perikanan (Belum Di-) Lindungi Juli - Agustus 2014
4
DAFTAR ISI Jelajah Kemudi
21
Petambak Garam Madura Dikalahkan Pemerintah dan Impor
Nama dan Peristiwa
Garpe: 26 Kajsa Peduli Mangrove dan Perempuan Nelayan
Konsultasi Hukum
Nelayan dalam Perspektif 28 Hak Perburuhan
Tokoh
Sarli: 31 Muhammad Impor Sengsarakan Petambak
Perbudakan di Perdagangan Ikan Dunia Kebij akan
Penyuluhan 11 Sistem Pertanian, Perikanan, dan
Garam Indonesia
Kesehatan
36 Asam Urat dan Mangrove
Dapur
Bandeng Khas 38 Otak-otak Lamongan
Kehutanan
Setara
Rodi: 18 Salmi Peran dan Keberadaan
Perempuan Nelayan Belum Diakui
KABAR BAHARI adalah Buletin dua bulanan terbitan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang mengangkat dinamika isu kenelayanan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. DEWAN REDAKSIPemimpin Redaksi: Abdul HalimRedaktur Pelaksana: Selamet DaroyniSidang Redaksi: Susan Herawati, Ahmad Marthin Hadiwinata, Susi Oktapiana, Irma Yanti, Anto, Muhammad AlfinDesain Grafis: Dodo Alamat RedaksiJl Manggis Blok B Nomor 4 Perumahan Kalibata Indah, Jakarta 12750Telp./Faks: +62 21 799 3528Email:
[email protected]Website: www.kiara.or.id
Perbudakan adalah musuh umat manusia. Sedikitnya 29,8 juta orang hidup di dalam situasi perbudakan modern, di antaranya bekerja di luar waktu normal tanpa jaminan dan upah yang layak. The Guardian juga mencatat sedikitnya 15 buruh migran asal Myanmar dan Kamboja diperdagangkan dengan harga sebesar Rp4 juta. Praktek perbudakan yang dijalankan di Thailand berlangsung dalam rupa: (1) bekerja selama 20 jam; (2) pemukulan; (3) penyiksaan; dan (4) pembunuhan. Laporan eksklusif media Inggris ini mengakibatkan produk udang Thailand dilarang memasuki pasar internasional, khususnya di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini terjadi seiring ditemukannya fakta bahwa Charoen Phokpand Foods menggunakan pakan hasil perbudakan dalam sistem produksinya. Sedikitnya 20 pekerja di kapal perikanan Thailand meninggal dunia akibat praktek perbudakan ini (The Guardian, 10 Juni 2014). Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat jumlah buruh pengolahan dan pemasaran hasil perikanan meningkat dari tahun ke tahun: 3.791.682 (tahun 2007) menjadi 6.214.727 (tahun 2011). Sayangnya, peningkatan jumlah buruh ini tidak dibarengi dengan perlindungan yang layak dari negara. Belum lagi kelalaian negara melindungi hak-hak dasar pelaku perikanan tradisional yang jumlahnya mencapai 6.081.958 orang, terdiri dari 2.730.510 nelayan (2011) dan 3.351.448 pembudidaya (2010). Meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No. 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan adalah pekerjaan rumah pertama yang harus diselesaikan oleh Presiden Jokowi, di samping menghentikan praktek-praktek hubungan industrial outsourcing dan kerja kontrak yang hanya akan melanggengkan praktek perbudakan tanpa ada hubungan kerja seimbang antara pekerja dan pengusaha. Terakhir, menindaktegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum pidana perburuhan di Indonesia, seperti melakukan pemberangusan serikat buruh, tidak membayar upah kerja, membayar upah di bawah standar regional. Kabar Bahari edisi Juli-Agustus 2014 ini mengetengahkan pentingnya perlindungan pekerja perikanan sebagai sajian utama. Selain itu, juga terdapat informasi kesehatan mengenai cara mengobati asam urat dengan mangrove. Selamat membaca.
Kemudi
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
5
Sumber: nbcnews.com
PERBUDAKAN di PERDAGANGAN IKAN DUNIA
P
roduk udang Thailand dilarang memasuki pasar internasional, khususnya di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini terjadi seiring ditemukannya fakta bahwa Charoen Phokpand Foods menggunakan pakan hasil perbudakan dalam sistem produksinya. Sedikitnya 20 pekerja di kapal perikanan Thailand meninggal dunia akibat praktik perbudakan ini (The Guardian, 10 Juni 2014).
The Guardian juga mencatat, sedikitnya 15 buruh migran asal Myanmar dan Kamboja diperdagangkan dengan harga sebesar Rp 4 juta. Praktik perbudakan yang dijalankan di Thailand berlangsung dalam rupa: (1) bekerja selama 20 jam; (2) pemukulan; (3) penyiksaan; dan (4) pembunuhan.
bahwa Charoen Phokpand Foods telah memberhentikan 1.200 tenaga kerjanya selama kuartal pertama 2014 dan memindahkan usahanya ke Vietnam sejak Februari 2014.
Senada dengan fakta tersebut di atas, Globefish dalam laporan resminya di bulan Juni 2014 menyebutkan bahwa 3 perusahaan udang terbesar di Thailand menghentikan industri pengolahannya karena kekurangan bahan baku.
Kasus Thailand harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Apalagi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah semakin dekat. Hal terpenting lainnya adalah pemerintah harus mengambil pelajaran dari kasus 2004, di mana produk udang Indonesia diembargo oleh pasar Amerika Serikat, karena aktivitas reekspor dari Tiongkok.
Ketiga perusahaan tersebut adalah The PTN Group, Narong Seafoods dan Charoen Pokphand (CP) Foods. Laporan tersebut juga menyatakan
Selain Indonesia, Thailand, Ekuador, India, Vietnam dan Brasil juga mengalami hal yang sama. Saat itu Tiongkok memanfaatkan pasar
6KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 Indonesia sebagai jembatan untuk mengekspor produk udangnya ke Amerika Serikat. Akibatnya, pada pertengahan Januari 2004, beberapa peti kemas udang dari Indonesia ditolak di Amerika Serikat, karena bukan produksi Indonesia. Komoditas itu sebelumnya diimpor dari China, lalu dire-ekspor ke AS.
Seperti binatang Kapal setan Thailand, demikian The Guardian menyebutnya, yang mempekerjakan dan bahkan membunuh pekerja di atas kapalnya merupakan bagian dari mata rantai perdagangan udang global. Mereka bekerja di bawah ancaman kekerasan yang sangat menakutkan dan tanpa bayaran selama beberapa tahun. Ironisnya, dari merekalah Asia bisa memproduksi dan menjual makanan laut ke Amerika Serikat, Inggris dan pedagang-pedagang besar di Eropa dan dunia, seperti Walmart, Carrefour, Costco dan Tesco. Investigasi yang dilakukan selama 6 bulan oleh The Guardian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja laki-laki di atas kapal penangkap ikan Thailand dijual dan diperlakukan seperti binatang. Di dalam laporannya, juga disebutkan bahwa Charoen Pokphand (CP) Foods membeli pakan ikan (fishmeal) untuk budidaya udang dari beberapa penyuplai yang memiliki, mengoperasikan atau membeli dari kapal perbudakan. Laki-laki yang bekerja di atas kapal yang menyuplai kebutuhan pakan CP
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
Foods terus mencoba melarikan diri. Hal ini dikarenakan kondisi pekerjaan yang tidak manusia -20 jam kerja, pemukulan berulang-ulang dan pembunuhan. Lebih parah lagi, mereka dipaksa mengonsumsi obat-obatan jenis methamphetamines agar terus bekerja. Dalam situasi seperti inilah, banyak pekerja yang meninggal dunia di depan pekerja lainnya. Sebanyak 15 pekerja dari Burma dan Kamboja juga mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai pekerjaan. Ditambahkan juga bahwa mereka mengeluarkan biaya kepada makelar agar bisa mendapatkan pekerjaan di Thailand. Sebaliknya, mereka justru dijual seharga Euro 250 atau setara Rp 3.781.770. “Saya berpikir bahwa akan meninggal dunia,” harap cemas Vuthy, laki-laki asal Kamboja yang pernah dijual dari kapten kapal satu ke lainnya. “Mereka menjaga kami dengan ketat dan tidak mempedulikan atau memberi makanan. Mereka menjual kami seperti binatang, meski kami bukan binatang. Kami adalah manusia,” ujar Vuthy kesal. Korban perdagangan manusia lainnya mengatakan bahwa sebanyak 20 pekerja yang diperbudak di atas kapal meninggal dunia dan dibuang ke laut di depan maatanya. "Kami dianiaya, meski kami kerja keras,” kata pekerja yang tidak mau disebutkan namanya. “Semua pekerja dari Burma, meski berada di kapal penangkap ikan yang lain, juga diperdagangkan. Sangat banyak dan sulit menghitungnya,” tambahnya.
CP Foods – sebuah perusahaan dengan pendapatan tahunan sebesar US$ 33 miliar (Eur 20 miliar) dan menempatkan dirinya sebagai “dapur dunia” (the kitchen of the world) – menjual produk pakan udang kepada pemilik tambak dan pemasok supermarket-supermarket internasional. Selain Walmart, Carrefour, Costco dan Tesco, the Guardian juga mengidentifikasi Alfi, Morrisons, Cooperative dan Islandia sebagai pembeli produk-produk CP Foods. Mereka menjual udang beku dan matang. “Kami di sini bukan untuk membela diri mengenai (perbudakan di atas kapal penangkap ikan Thailand) yang sedang terjadi,” kata Bob Miller, Direktur CP Foods di Inggris. “Kami mengetahui berbagai isu berkenaan dengan bahan baku yang dipasok (ke CP Foods), akan tetapi dalam beberapa hal kami tidak memiliki daya jangkau atas soal-soal tersebut,” tambahnya. Mata rantai yang bekerja sebagai berikut: para budak di atas kapal bekerja di perairan internasional Thailand untuk menangkap ikan rucah dan ikan kecil dalam jumlah besar. The Guardian sudah menelusuri dan mengetahui bahwa ikan yang didaratkan di pabrik-pabrik dan dijual ke CP Foods. Kemudian perusahaan menggunakannya untuk memproduksi pakan ikan dan menjualnya ke konsumen-konsumen internasional. Peringatan mengenai perbudakan di industri perikanan Thailand telah disampaikan oleh LSM dan laporan-
7
laporan PBB. Akan tetapi sekarang, untuk kali pertama, the Guardian mempublikasikan mata rantai perbudakan di sektor perikanan, mulai dari pekerja di atas kapal, pemasok, produsen pakan dan distributor yang dikenal masyarakat perikanan dunia. “Jika Anda membeli udang dari Thailand, Anda akan membeli produk yang mempekerjakan budak,” ujar Aidan McQuade, direktur Anti-Slavery International. The Guardian melakukan wawancara dengan nelayan, kapten kapal, manajer kapal, pemilik pabrik dan pemerintah, serta pengelola pelabuhan di Thailand. Hasilnya, Thailand merupakan eksportir udang dan makanan laut terbesar di dunia dengan total nilai perdagangan sebesar US$ 7,3 miliar. Dalam setahun, kapal-kapal Thailand mengakut 500.000 ton udang - hampir 10% dari yang dibudidayakan oleh CP Foods saja. Meskipun perbudakan terlarang di seluruh negara, meliputi Thailand, sedikitnya 21 juta laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan di dunia (International Labour Organisation). Mereka dijual seperti properti dan dipaksa bekerja di bawah tekanan mental dan fisik. Memang Thailand dikenal sebagai negara yang menjadi lokasi transit dan tujuan perbudakan, serta sedikitnya 500 ribu orang dipercaya diperdagangkan di perbatasan. Pemerintah Thailand memperkirakan lebih dari 300.000 orang bekerja di industri perikanan, 90% dari mereka adalah pekerja imigran yang rentan,
8KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 diperdagangkan dan dijual di tengah laut. Sebagian pihak yang memiliki kepedulian terhadap hak-hak pekerja mengatakan bahwa perbudakan terjadi disebabkan oleh permintaan udang ke Eropa dan Amerika Serikat dengan harga murah. Hal ini mendorong terjadinya praktek perbudakan untuk mendapatkan pekerja dengan bayaran murah pula. "Kami ingin memecahkan masalah Thailand, karena tidak ada keraguan atas kepentingan komersial yang telah menciptakan masalah ini," akui Miller, direktur CP Foods. The Guardian datang pada saat yang genting. Setelah diperingatkan selama empat tahun berturut-turut bahwa tidak ada langkah dan perkembangan yang berarti dalam mengatasi perbudakan, Thailand beresiko berada di posisi buncit di dalam Indeks Perdagangan Manusia ketimbang 188 negara lainnya. Karena hal tersebut bergantung kepada seberapa besar upaya negara mengatasi dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. Turun ke peringkat ke-3 akan menempatkan Thailand, yang bergulat dengan situasi politik pasca kudeta, setara dengan Korea Utara dan Iran, dan dapat mengakibatkan penurunan peringkat status perdagangan Thailand dengan Amerika Serikat. “Thailand berkomitmen untuk memerangi perdagangan manusia," kata Duta Besar Thailand untuk Amerika Serikat, Vijavat Isarabhakdi. "Kita tahu masih banyak yang harus dilakukan, tetapi kami juga telah
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
membuat kemajuan yang sangat signifikan untuk mengatasi masalah tersebut”. Meskipun pemerintah Thailand telah mengatakan kepada The Guardian bahwa “memerangi perdagangan manusia merupakan prioritas nasional”, penyelidikan yang kami lakukan menunjukkan bahwa industri yang dijalankan tidak diatur dan dikendalikan oleh mafia Thailand - difasilitasi oleh pejabat Thailand dan ditopang oleh makelar yang menyediakan tenaga kerja migran murah untuk pemilik kapal. "Pihak berwenang Thailand bisa menyingkirkan makelar dan membuat aturan (hukum) tentang pekerjaan (yang layak)," jelas seorang pejabat tinggi Thailand yang bertugas menyelidiki kasus perdagangan manusia dan tidak mau disebutkan namanya. "Ironisnya, pemerintah tidak mau melakukan hal tersebut sepanjang pemilik kapal masih bergantung kepada makelar -bukan pemerintahuntuk mendatangkan pekerja, dan masalahpun tidak akan pernah teratasi,” tambahnya. Aktivis hak asasi manusia percaya bahwa industri ekspor makanan laut Thailand mungkin akan runtuh tanpa perbudakan. Mereka mengatakan, ada sedikit insentif bagi pemerintah Thailand untuk bertindak dan telah menyerukan konsumen dan pengecer internasional agar mengambil tindakan. "Pedagang dan pengecer internasional dapat melakukan langkah-langkah pencegahan tanpa terlalu banyak risiko
hanya dengan menegakkan standar pemasok mereka, yang biasanya melarang kerja paksa dan pekerja anak," kata Lisa Rende Taylor dari AntiSlavery International. “Dan jika bisnis lokal menyadari bahwa ketidakpatuhan terhadap hukum akan berakibat pada kerugian perusahaan, maka akan hadir perubahan positif yang sangat besar dalam kehidupan buruh migran dan korban perdagangan manusia.” The Guardian meminta supermarket untuk mengomentari temuan kami perbudakan di rantai pasokan mereka. Semua mengatakan mengutuk perbudakan dan perdagangan manusia untuk tenaga kerja. Mereka juga menunjuk sistem audit yang mereka miliki untuk memeriksa kondisi tenaga kerja. Beberapa pengecer telah bergabung dengan inisiatif baru yang disebut Project Issara (Proyek Kebebasan) untuk membahas bagaimana mereka harus merespons dan menghadiri pertemuan dengan produsen utama di Bangkok pada akhir bulan lalu di mana perbudakan dibahas. Walmart, pengecer terbesar di dunia, mengatakan: “Kami secara aktif terlibat di dalam masalah ini dan memainkan peran penting dalam membawa para pemangku kepentingan untuk membantu memberantas perdagangan manusia dari sektor ekspor makanan laut Thailand.” Carrefour mengatakan melakukan audit sosial kepada semua pemasok, termasuk pabrik Charoen Pokphand yang memasok beberapa udang. Hal ini untuk memperketat proses setelah
9
adanya peringatan pada tahun 2012. Kami mengakui bahwa selama ini tidak memeriksa mata rantai perdagangan udang yang rumit. Costco mengatakan kepada The Guardian akan memperlakukan beberapa persyaratan kepada pemasok udang asal Thailand agar mengambil tindakan atas persoalan perbudakan. Seorang juru bicara Tesco mengatakan: “Kami menganggap perbudakan sebagai persoalan yang sungguhsungguh tidak bisa diterima. Karena itu, kami bekerja sama dengan CP Foods untuk memastikan rantai pasokan bebas dari perbudakan dan juga menjalin kemitraan dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Ethical Trading Initiative (Inisiatif Perdagangan Etis) untuk menjangkau produsen sebanyak mungkin agar seluruh industri perikanan Thailand berubah”. Morrisons mengatakan akan membawa masalah perbudakan kepada CP Foods secepatnya. “Kami prihatin dengan temuan penyelidikan. Kebijakan perdagangan etis kami melarang penggunaan kerja paksa oleh pemasok dan pemasok mereka”. The Co-operative di antara mereka yang mengutuk perbudakan mengatakan bahwa dapat memahami kondisi kerja melebihi tingkat kerja pengolahan. “Perbudakan di atas kapal merupakan masalah serius yang harus segera diatasi dan membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terlibat”.
Kebijakan
10KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 Pekerjaan rumah Persoalan perbudakan di atas mendesak Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan agar pro-aktif mengantisipasi ancaman embargo tersebut, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, memastikan bahwa PT Central Proteinaprima yang beroperasi di Indonesia tidak mempekerjakan budak di tambaktambak milik perusahaannya dan segera mengembalikan hak-hak petambak Bumi Dipasena, Lampung. Hal ini perlu ditegaskan, karena PT Central Proteinaprima Indonesia dengan Charoen Phokpand Foods, Thailand, memiliki kaitan perusahaan yang sama. Kedua, mendesak Bea Cukai untuk memantau udang-udang impor yang masuk ke Indonesia dan memastikan bahwa produk udang impor tersebut bukan berasal dari Thailand. Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam periode Januari-Maret 2014 Indonesia masih melakukan impor udang jenis frozen, meski jumlahnya belum terlalu besar. Laporan BPS juga menyebut total impor udang frozen Indonesia dalam periode Januari-Maret 2014 tercatat sebesar 367,374 kwintal dengan nilai sebesar US$ 2,58 juta. Ketiga, pemerintah dan para petambak udang nasional perlu memanfaatkan kasus udang Thailand ini untuk meningkatkan daya saing. Terlebih harga udang internasional saat
ini dalam kondisi baik. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa harga udang internasional per April 2014 tercatat sebesar US$ 17,09/kilogram. Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun 2011, 2012 dan 2013, yang rata-rata sebesar US$ 11,93/kilogram, US$ 10,06/kilogram, dan US$ 13/kilogram.
SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN dan KEHUTANAN
Keempat, ASEAN harus melakukan investigasi dan mendesak pemerintah Thailand untuk menghentikan, menindak-tegas pelaku, dan merumuskan aturan menanggulangi praktik perbudakan di sektor perikanan. Apalagi The Guardian juga mencatat bahwa Thailand tidak memiliki aturan terkait pemberantasan praktik perbudakan, meski secara resmi mereka menyebutnya sebagai prioritas nasional. Kelima, PBB/FAO mengharuskan anggotanya untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan merumuskan kebijakan nasional berkenaan dengan pemberantasan praktek perbudakan di sektor perikanan.*** Diolah dari The Guardian, Globefish dan ILO (AH).
[Bagian 1/3]
Pendahuluan
S
ejak tanggal 15 Nopember 2006, Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU Sistem Penyuluhan) berlaku. UU Sistem Penyuluhan terdiri dari 41 pasal yang terbagi ke dalam 13 bab. Pembagian bab tersebut yaitu: Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Asas, Tujuan, dan Fungsi, Bab III tentang Sasaran Penyuluhan, Bab IV tentang Kebijakan dan Strategi, Bab V tentang Kelembagaan, Bab VI tentang Tenaga Penyuluh, Bab VII tentang Penyelenggaraan, Bab VIII tentang Sarana dan Prasarana, Bab IX tentang Pembiayaan, Bab X tentang Pembinaan dan Pengawasan, Bab XI tentang Ketentuan Sanksi, Bab XII tentang Ketentuan Peralihan, Bab XIII tentang Ketentuan Penutup.
12KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 Dalam pertimbangan UU ini, menjelaskan secara umum maksud dan tujuan dari penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pertama penyuluhan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang merupakan hak asasi warga negara. Kedua, memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri. Ketiga, memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha. Keempat, meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Kelima, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan khususnya di perdesaan. Keenam meningkatkan pendapatan nasional. serta kedelapan untuk menjaga kelestarian lingkungan; Peningkatan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dilakukan dengan menghadirkan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis. Sehingga dapat terbangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi serta dapat melakukan pelestarian hutan dan lingkungan yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Patut digaris bawahi bahwa terdapat penekanan melakukan pelestarian dalam sektor ‘hutan’ dan lingkungan hidup yang bisa menjadi merupakan penekanan sektor yang disasar dari undang-undang ini.
Substansi UndangUndang Jika didalam pendahuluan telah dipaparkan terdapat tiga belas bab dalam UU No. 16 Tahun 2006 maka terdapat bab-bab penting yang pokok yang mengatur tentang UU Sistem Penyuluhan ini. babbab penting tersebut yaitu: Bab III tentang Sasaran Penyuluhan, Bab IV tentang Kebijakan dan Strategi, Bab V tentang Kelembagaan, Bab VI tentang Tenaga Penyuluh, Bab VII tentang Penyelenggaraan, Bab VIII tentang Sarana dan Prasarana, Bab IX tentang Pembiayaan. Walaupun hanya akan membahas Bab III hingga Bab IX namun tulisan ini akan mencoba membahas UU Sistem Penyuluhan sebagai suatu sistem yang semuanya akan terkait baik dari Bab I hingga Bab XIII.
Asas, Tujuan dan Fungsi Penyuluhan diselenggarakan dengan asas demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat.1 Tujuan umum pengaturan sistem penyuluhan yaitu melakukan pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Pengaturan sistem penyuluhan dilakukan dengan: a memperkuat pengembangan pertanian, perikanan, 1 Pasal 2 UU Sistem Penyuluhan
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
serta kehutanan yang maju dan modern; b. memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi; c. kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka, berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat; d. memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; e. mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Fungsi dari sistem penyuluhan ini meliputi: a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; d. membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi,
13
produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; e. membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; f. menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan g. melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Pelaku dan Sasaran Penyuluhan Penyuluh menurut undang-undang ini adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan yang statusnya terbagi dalam tiga penyuluh yaitu penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya.2 Yang dimaksud dengan Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Sementara penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan
2 Pasal 1 angka 18 UU Sistem Penyuluhan.
14KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 mampu menjadi penyuluh.
3
Penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.4 Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.5 Penyuluh diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan rencana kerja tahunan berdasarkan 3 Lihat Pasal 1 angka 19 hingga 21 UU Sistem Penyuluhan. 4 Pasal 20 ayat (3) UU Sistem Penyuluhan.
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
programa penyuluhan. Penyuluh melakukan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang sesuai dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.6 UU Sistem Penyuluhan membagi dua sasaran penyuluhan yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan yaitu sasaran utama dan sasaran antara.7 Sasaran utama terdiri
dari pelaku utama dan pelaku usaha. Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, beserta keluarga intinya.9 Sementara itu pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, 8
6 Pasal 26 UU Sistem Penyuluhan. 7 Pasal 5 ayat (1) UU Sistem Penyuluhan.
8 Pasal 5 ayat (2) UU Sistem Penyuluhan. 9 Pasal 1 angka 8 UU Sistem Penyuluhan.
5 Pasal 29 UU Sistem Penyuluhan.
15
perikanan, dan kehutanan.
10
Mengenai sasaran antara meliputi pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.11 Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Yang dimaksud dengan “generasi muda dan tokoh masyarakat”, yaitu dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. 10 Pasal 1 angka 16 UU Sistem Penyuluhan. 11 Pasal 5 ayat (3) UU Sistem Penyuluhan.
Tabel. Sasaran Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sasaran Sasaran Utama
Dua kategori Pelaku utama
Definisi Pelaku Utama dan Pelaku Usaha Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, beserta keluarga intinya (Pasal 1 angka 8).
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sasaran utama penyuluhan pertanian meliputi petani, pekebun, peternak, baik individu maupun kelompok, dan pelaku usaha lainnya (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)). Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat (Pasal 1 angka 3).
Definisi Lebih Lanjut Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang (Pasal 1 angka 10). Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha perkebunan (Pasal 1 angka 11). Peternak adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan (Pasal 1 angka 12). tidak ditemukan penjelasan leih lanjut menenai ‘pelaku usaha lainnya’ dalam penyuluhan pertanian
16KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 Sasaran
Dua kategori
Pelaku usaha
Sasaran Antara
Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat. Yang dimaksud dengan “generasi muda dan tokoh masyarakat”, yaitu generasi muda dan tokoh masyarakat dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender (Penjelasan Pasal 5 Ayat (3)).
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
Definisi Pelaku Utama dan Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan (Pasal 1 angka 16).
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sasaran utama penyuluhan perikanan meliputi nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, baik individu maupun kelompok yang melakukan kegiatan perikanan (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)).
17
Definisi Lebih Lanjut Nelayan adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang mata pencahariannya atau kegiatan usahanya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 angka 13). Pembudi daya ikan adalah perorangan Mengenai Perikanan adalah semua kegiatan warga negara Indonesia atau korporasi yang berhubungan dengan pengelolaan yang melakukan usaha pembudidayaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan ikan (Pasal 1 angka 14). lingkungannya secara berkelanjutan, mulai Pengolah ikan adalah perorangan warga dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai negara Indonesia atau korporasi yang dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam melakukan usaha pengolahan ikan (Pasal 1 suatu sistem bisnis perikanan (Pasal 1 angka). angka 15). Sasaran utama penyuluhan kehutanan meliputi Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah penduduk yang bermukim hutan, kelompok, atau individu masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan pengelola komoditas yang dihasilkan dari yang memiliki kesatuan komunitas sosial kawasan hutan (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)). dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya Kehutanan adalah sistem pengurusan yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan (Pasal 1 angka 9). hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkelanjutan (Pasal 1 angka 6).
Setara
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
Salmi Rodli
PERAN DAN KEBERADAAN PEREMPUAN NELAYAN BELUM DIAKUI
“K
ami gelisah melihat suami melaut di tengah cuaca yang tidak menentu. Dalam situasi itulah, kaum perempuan nelayan di Gresik tergerak mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terutama pendidikan anak,” ujar Salmi Rodli, Koordinator Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) yang tinggal di Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik.
Desa Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur tidak pernah senyap dari aktivitas warganya. Apalagi jika nelayan baru pulang melaut dan membawa hasil tangkapannya, perempuan nelayan dan penjual ikan akan berkerumun menyambut kapal-kapal yang datang. Keterlibatan perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil di Desa Ujung Pangkah kian terasa saat mereka tidak sekadar memainkan peran sebagai orang yang membantu mempersiapkan kebutuhan nelayan melaut, namun juga tulang punggung perekonomian keluarga. Salmi memulai harinya dengan mempersiapkan keperluan suaminya miyang (melaut). Sosoknya yang mungil tidak mengurangi kelihaiannya dalam mengurus segala kebutuhan melaut. Sore hari Salmi bergabung dengan perempuan nelayan lainnya, menunggu nelayan-nelayan datang dan mendaratkan kapal-kapalnya. Ujung Pangkah juga disebut Estuari atau tempat bertemunya air tawar dan air laut, maka tidak heran jika pemijahan telur ikan dapat berkembang dengan baik. Di sisi lain, nelayan dari Demak, Rembang dan Lamongan acapkali melaut di Gresik. Salmi Rodli, yang lahir pada tanggal 15 September 1972 merupakan pejuang hak-hak perempuan nelayan dari Ujung Pangkah. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan nelayan dilatari keprihatinannya melihat kehidupan perempuan nelayan yang miskin dan terlilit hutang. Alasan lainnya adalah kondisi anak-anak balita yang tinggal
19
di Ujung Pangkah berada dalam kondisi yang kurang baik. Kedua hal inilah yang mendorong Salmi untuk aktif dan terlibat di Posyandu.
Tergerak Salmi selalu meyakini tempatnya memiliki potensi besar. Pada tahun 1997 daerahnya menjadi tempat penghasil ikan bandeng terbesar di Jawa Timur. Tahun itu menjadi masa cemerlang Ujung Pangkah, di mana penghasilan nelayan cukup baik. Namun, hal ini berubah drastis saat perusahaan datang dan mencemari laut. Kondisi ini membuat penghasilan mereka menurun dan alih profesi sebagai buruh pabrik. “Miris saya, banyak yang terus jadi buruh pabrik, anak-anak juga jadi sering sakit,” ucap Salmi prihatin. Kehadiran perusahaan pengeboran minyak di Desa Ujung Pangkah kian memburuk ketika cuaca ekstrem dan musim yang tidak menentu. Kondisi ini merugikan masyarakat nelayan. Pada tahun 2007, Salmi aktif di dalam Organisasi Tanggung Renteng. Organisasi ini merupakan kumpulan dari 6 kelompok usaha industri rumah tangga. Keterlibatannya di organisasi inni tidak lantas membuat Salmi nonaktif sebagai kader PKK dan Posyandu. “Saya mulai berbuat dengan hal sederhana, seperti membantu ibu-ibu nelayan mengolah hasil tangkapan suami atau membantu pengobatan anak-anak yang sakit. Sederhana saja, tapi bermanfaat bagi orang lain,” jelas Salmi sembari tersenyum.
Jelajah
20KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
Salmi kian aktif membantu perempuan nelayan yang mulai memproduksi dan menjual kerupuk udang, keripik teri, keripik udang, terasi dan ikan asap. Kreativitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah semakin beragam, terlebih lagi dengan adanya produk pangan inovatif, seperti kepiting bumbu saus atau kepiting balado. Banyaknya aktivitas perempuan nelayan di Ujung Pangkah belum terwadahi, misalnya melalui koperasi. Apalagi akses informasi dan harga di pasaran acapkali menjadi kendala dalam pemasaran produk olahan kelompok. Pada tahun 2011, Salmi terlibat di dalam organisasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Beragam pelatihan dan pertukaran informasi telah ia ikuti, hasilnya perempuan nelayan di Ujung Pangkah kian paham pentingnya berorganisasi
dan semakin giat mengembangkan potensi sumber daya perikanan yang ada. “Perempuan nelayan juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus mendapat perlindungan dan pemberdayaan. Kami juga tidak hanya berperan di belakang suami. Negara harus mengakui peran dan keberadaan perempuan nelayan,” harap Salmi. Oleh karena itu, PPNI tengah mendorong hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan bersama dengan KIARA. “Perempuan nelayan ibarat estuari”, kata Salmi. Simbol yang bukan sekadar tempat pertemuan air laut dan air tawar, menjadi sumber daya penopang kehidupan manusia. “Karena itu, peran dan keberadaan perempuan nelayan harus segera diakui dan didukung oleh Negara,” tegas Salmi mengulangi pernyataannya.*** (SH)
Petambak Garam Madura Dikalahkan Pemerintah dan Impor
M
adura merupakan pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa dan luasnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil dari Pulau Bali). Pulau berpenduduk sekitar 4 juta jiwa ini identik dengan garam sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan Pemerintah menyatakan, Madura bisa menyuplai sekitar 689 ton lebih atau sekitar 50 persen kebutuhan garam nasional. Atau dapat disimpulkan bahwa Madura memiliki potensi produksi garam yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk dapat memenuhi konsumsi nasional. Dari jumlah produksi tersebut di atas, 60% dihasilkan oleh para petambak garam yang tersebar di Kabupaten Sampang (Kecamatan Pangarengan, Sreseh, Jrengik, Camplong dan
Sampang). Luas lahan garam yang ada di Kabupaten Sampang ±5.545 Ha, yang terdiri dari lahan garam rakyat seluas 4.300 Ha dengan kapasitas produksi garam ±300.000 ton/tahun, dan lahan
22KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 milik PT. Garam dengan luas lahan ±1.245 Ha dengan kapasitas produksi garam berkisaran 60.000 ton/tahun. Artinya, Kabupaten Sampang bisa memproduksi garam sebanyak ±360.000 ton/tahun dari total produksi garam nasional yang berada di kisaran angka 1,2 juta ton/tahun. Antusiasme masyarakat pesisir untuk mengembangkan pertambakan garam sebagai mata pencaharian sangat tinggi. Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) menemukan fakta produksi garam nasional mengalami kenaikan. Dari tahun 2011 sebesar 1,621,594 ton menjadi 2,473,716 ton (2012). Tapi sangat disayangkan, tingginya produktivitas tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang berpihak kepada petambak garam skala kecil. Temuan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan nilai dan volume impor garam di awal tahun 2014 meningkat signifikan. Kenaikan volume dan nilai impor garam pada Januari 2014 dibandingkan Januari 2013 melonjak di atas 70%. Total garam yang diimpor selama Januari 2014 mencapai 278 ribu ton atau naik 78% secara volume. Sedangkan nilai impornya mencapai US$ 13,4 juta atau naik 75% secara nilai impor. Padahal pada periode yang sama di 2013, impor garam tercatat sebesar 156 ribu ton dengan nilai impor US$ 7,7 juta. Pemberlakukan kebijakan impor
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
garam tersebut, telah berimbas terhadap anjloknya penyerapan garam dan petambak garam lokal mengalami kerugian. Produktivitas garam rakyat semakin menurun dan tidak sedikit lahan tambak garam rakyat telah beralih fungsi dan terlantar. Di sisi lain, sebagian besar petambak garam tidak dapat mengakses permodalan ke bank sehingga memicu para petambak garam terperangkap dalam sistem ijon dan permainan tengkulak. Ditambah lagi dengan kondisi tidak adanya standardisasi dan pengawasan harga minimal di tingkat petambak garam sehingga harga tidak menentu dan sering lebih rendah dari harga pasaran.
Kalah dari Impor
Untuk menghasilkan garam proses pembuatannya lumayan rumit dan sangat bergantung dengan kondisi cuaca. Di saat musim penghujan tiba para petambak tidak bisa memproduksi garam, lahan tambak yang biasa digunakan untuk memproduksi garam beralih fungsi menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Ketika musim kemarau tiba, para petani harus memperbaiki lahan tambak tersebut untuk dikembalikan ke fungsi semula sebagai lahan garam. Menurut Sahnawi, salah satu petambak garam dari Desa Gersik Putih Gapura Sumenep, untuk memperoleh garam dengan kualitas yang baik harus melalui
beberapa proses. Proses pertama adalah persiapan dan perbaikan lahan. Untuk memperbaiki lahan dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena harus memperbaiki pematang, kemudian dilanjutkan dengan meratakan dan mengeraskan lahan yang bertujuan agar garam tidak tercampur tanah. Sedikitnya butuh waktu sekitar 15 hari bila dalam kondisi panas matahari normal. Sebaliknya jika dalam masa proses tersebut terjadi hujan, maka perbaikan lahan harus diulangi lagi dari awal lagi. Secara teknis, ada dua cara pembuatan garam yang dikenal oleh petambak garam. yaitu cara biasa dan yang kedua dikenal dengan istilah aplak (Portugis Sistem). Secara faktual, walaupun dengan menggunakan cara aplak kualitas garamnya lebih bagus dan harganya lebih mahal, mayoritas petambak enggan menggunakan cara aplak, karena disamping waktu panen yang lebih lama dari cara biasa, cara ini rentan dengan kegagalan karena apabila sebelum masa panen terjadi hujan maka garam gagal panen dan otomatis proses harus diulang dari awal. Dengan alasanya modal terbatas dan meminimalisir resiko, para petambak umumnya lebih tertarik memakai cara biasa karena garam bisa dipanen lebih awal dan hasilnya bisa segera dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari.
23
Harus diakui, saat ini pemerintah belum maksimal memberikan perhatian kepada para petambak garam skala kecil. Para petambak garam skala kecil ini mengalami hambatan permodalan dan kesulitan mengakses pinjaman dari perbankkan atau lembaga keuangan. Program PUGAR dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum memberikan dampak positif bagi pergaraman nasional. Selain tidak tepat sasaran, bentuk bantuan berupa barang/peralatan yang diberikan oleh KKP tidak sesuai dengan kebutuhan petambak garam. Pemerintah secara konstitusi telah memiliki mandat untuk menyejahterakan petambak garam. Kebijkakan ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan garam untuk kebutuhan masyarakat dan industri yang berasal dari produksi dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menko Perekonomian Nomor: KEP-11/M. EKON/03/2011 tentang Tim Koordinasi Swasembada Garam Nasional ini ternyata tidak sesuai dengan harapan. Justru sebaliknya, di tengah ketidakmampuan negara menjalankan kewajibannya dalam mensejahterakan petambak garam skala kecil, pemerintah pada tahun 2012 mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 Tentang Ketentuan Impor Garam. Kebijakan
24KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 ini tidak saja merampas keadilan, tetapi juga telah mematikan usaha garam skala kecil yang telah menjadi bagian dari warisan sumber ekonomi dan budaya bagi para keluarga petambak garam di seluruh Indonesia. Salah satu dampak paling nyata akibat dibukanya kran impor garam, yaitu kehidupan penggarap tambak garam di Sampang semakin sulit, hasil penjualan garam tahun 2014 turun menjadi Rp.550.000/ton. Padahal pada tahun 2013, harga garam masih mencapai Rp.700.000/ton. Selain tidak sebanding dengan ongkos produksi yang tinggi, harga garam yang ada juga tidak sesuai dengan kerja keras yang mereka lakukan di bawah sinar terik matahari. Para petambak sangat terheranheran karena secara kualitas hasil garam tahun ini lebih bagus ketimbang tahun lalu, namun justru harganya lebih buruk dari tahun lalu. Para petambak garam terpaksa menjual dengan harga rendah karena tidak memiliki pilihan lain. Bila tidak segera dijual, garam akan rusak karena tidak memiliki gudang yang layak untuk menyimpan garam. Di sisi lain mayoritas para petambak garam tidak memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lebih parah lagi dengan kondisi yang terjadi pada diri Sukribang, buruh tambak garam lanjut usia di Pekaban, Sumenep, Madura. Menurut Sukribang, harga garam
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
hasil panen petambak garam di Pekaban hanya dihargai Rp. 375.000/ton. Dalam satu tahun periode membuat garam hanya dapat dilakukan pada bulan JuliNovember setiap tahun. Dalam satu tahun rata-rata dengan lahan 1 hektar dapat menghasilkan garam mencapai 100 ton. Dengan harga Rp.375.000 X 100 = Rp. 37.500.000/tahun, kemudian jumlah tersebut dibagi 2 dengan pemilik tambak. Itu artinya penghasilan seorang petambak garam dalam satu tahun hanya Rp.18.750.000. atau hanya Rp.1.562.500/bulan. Lebih ironis lagi, para pembeli tidak langsung membayar dan harus menunggu hingga satu minggu bahkan sampai 1 bulan. Padahal Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 tanggal 5 Mei 2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petambak Garam, telah secara jelas ketentuannya, yaitu: (1) Harga penjualan garam KP1 minimal Rp. 750/kg; (2) Harga penjualan garam KP2 minimal Rp. 550/kg. Namun karena tidak ada keseriusan dan lemahnya pengawasan, harga yang dipatok oleh para pengepul jauh dari ketetapan pemerintah. Anjloknya harga garam telah berdampak bagi kehidupan keluarga petambak garam. Tidak sedikit petambak garam yang
meninggalkan kegiatan tambak garam karena dari tahun ke tahun tidak semakin baik harganya, tetapi justru memburuk akibat biaya produksi lebih tinggi ketimbang keuntungan yang diperoleh. Para petambak garam skala kecil beralih profesi sebagai buruh lepas atau menjadi penyiram tembakau dan menjadi buruh kapal/perahu mencari ikan. Kebijakan pergaraman nasional yang di bangun oleh Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih menonjolkan ego sektoral dan justru menjadi kendala dalam mengoptimalkan pengelolaan dan swadaya garam nasional. Belum terintegrasi dalam satu kebijakan yang berpihak kepada petambak garam dalam negeri. Aktivitas pembuatan garam dan pemenuhan garam secara mandiri dalam negeri harus menjadi cita-cita bersama. Terlebih dengan potensi garis pantai mencapai 104.000 kilometer, maka pemerintah harus memiliki perhatian lebih serius akan masa depan industri garam nasional dan kesejahteraan petambak garam di mata internasional. Persoalan mendasar carut-marut pengelolaan garam nasional akibat kebijakan hulu-hilir garam diatur secara terpisah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan,
25
serta Kementerian Perindustrian. Koordinasi di tiga Kementerian ini masih sangat buruk. Akibatnya, petambak garam tidak kunjung sejahtera. Pemerintah juga tidak serius dalam mendukung pengembangan petambak garam skala kecil di dalam negeri. Padahal para petambak memiliki potensi sangat besar untuk memasok kebutuhan garam konsumsi dan garam industri. Namun, petambak selalu dihadapkan pada anjloknya harga jual garam karena impor. Agenda penyejahteraan petambak garam skala kecil dapat terwujud dan tidak terjadi penelantaran dan mematikan produksi garam dalam negeri, maka diperlukan komitmen Pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 Tentang Ketentuan Impor Garam. Karena kebijakan ini telah terbukti menghancurkan industri garam nasional. Pemerintah juga harus segera membuat kebijakan satu pintu dalam pengembangan garam nasional dan memastikan usaha produksi garam skala kecil dapat berkembang dan didukung secara penuh, termasuk kemudahan permodalan sehingga dapat menuju kedaulatan garam nasional tanpa impor.*** pelbagai sumber (SD)
Nama dan Peristiwa
sa j a K
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
berkunjung ke rumahnya, bisa diakses dengan kereta api dalam kota dan antarkota selama 30-45 menit.
e p r Ga Dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia, Kajsa Garpe sangat tertarik dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki negeri 13.000 lebih pulau ini. Bahkan saat datang ke Pulau Haruku, Maluku Tengah, ia manfaatkan keindahan ekosistem pesisir dan lautnya dengan mengitari pulau dengan berenang, pulau yang pernah menjadi lokasi Pertemuan Nasional KIARA di tahun 2009.
Peduli Mangrove dan Perempuan Nelayan
27
N
amanya Kajsa Garpe. Doktor lulusan Departemen Zoologi, Universitas Stockholm, Swedia, ini aktif di dalam organisasi masyarakat sipil Swedish Society for Nature Conservation (SSNC). Ia dipercaya sebagai Manajer Ekosistem Laut Tropis dan Perikanan untuk kerjasama internasional.
Saking kagumnya, ia ingin menjaga kelestarian ekosistem dan keberlanjutan sumber daya yang terkandung di laut. Di akun twitternya, Kajsa memperingatkan, “The ocean is in deep trouble, and that trouble will only get deeper if we don’t deal decisively with the problem of climate change #IPCC”. Laut sedang menghadapi kesulitan besar. Masalah ini akan semakin membesar dan meluas apabila tidak ada keputusan tegas untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Perempuan yang aktif berkampanye terkait isu kelautan global, udang dan mangrove, serta perempuan nelayan ini berasal dari Kotamadya Karlstad di Provinsi Varmland atau sebelah barat Swedia. Provinsi ini berdiri sejak 1971. Kini ia tinggal di Stockholm. Untuk
Dalam kesehariannya, Kajsa ditemani oleh suaminya yang berprofesi sebagai psikolog dan 3 buah hatinya, yakni Silas, Milla dan Lola. Rumahnya sangat asri dan nyaman. Tersedia akses internet dan perpustakaan keluarga. Sungguh bahagia penulis bisa mendapatkan kesempatan bersilaturahmi. Dalam disertasinya, ia mengemukakan bahwa kerusakan ekosistem laut dan keberlanjutan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikarenakan aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitatif (antropogenik). Penelitian disertasi S3nya dilakukan di Afrika bagian Timur. Tak lama berselang, ia dikabarkan sakit dan tak lagi aktif di organisasinya. Kajsa adalah perempuan tangguh yang gigih memperjuangkan hakhak perempuan nelayan, baik di level nasional, regional dan internasional. Ia juga sangat bangga melihat mangrove di Asia dan Afrika tumbuh dan berkembang, serta bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Semoga lekas sehat dan kembali berjuang bersama, Kajsa!*** (AH)
Konsultasi Hukum
Konsultasi dipandu oleh: Ahmad Marthin Hadiwinata, SH (Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan)
K
onvensi ILO No. 188 yahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Konvensi 188/2007) disahkan pada Konferensi Buruh Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-69 yang rutin diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ ILO). Konferensi tersebut diadakan pada Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Hak Nelayan dalam Perspektif Perburuhan
Konvensi ini terdiri dari 9 sembilan bagian, yaitu bagian pertama mengenai definisi dan ruang lingkup; bagian kedua mengenai Prinsip-prinsip umum; bagian ketiga mengenai persyaratan minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan; bagian keempat mengenai persyaratan layanan; bagian keenam mengenai Perawatan
Redaksi KABAR BAHARI membuka forum diskusi dan tanya jawab tentang hukum kelautan dan perikanan. Pertanyaan atau topik diskusi dapat disampaikan ke alamat Redaksi KABAR BAHARI, Jl Manggis Blok B Nomor 4 Perumahan Kalibata Indah Jakarta 12750 Telp./Faks: +62 21 799 3528, atau email :
[email protected] Disclaimer: Seluruh informasi dan data yang disediakan dalam Rubrik Konsultasi Hukum adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan dan advokasi. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum dan daftar sumber bacaan yang digunakan dalam rubrik ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
kesehatan, perlindungan kesehatan dan jaminan sosial; bagian ketujuh mengenai mematuhi dan menegakkan peraturan; bagian kedelapan mengenai Perubahan Lampiran I, II dan III dan bagian kesembilan sebagai ketentuan akhir. Selain itu terdapat tiga lampiran yaitu Lampiran I mengenai Kesetaraan dalam pengukuran; Lampiran II mengenai Perjanjian kerja awak kapal dan Lampiran III mengenai Akomodasi di kapal penangkap ikan. Tulisan ini bermaksud untuk membedah Konvensi 188/2007 dengan tujuan memberikan pengetahuan kepada nelayan dan organisasi nelayan mengenai konvensi tersebut dan dapat dijadikan sebagai landasan dan kerangka advokasi.
Mengenai Konvensi Dituliskan dalam pembukaan, tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memastikan bahwa awak kapal mempunyai kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan dalam hal persyaratan minimal untuk bekerja di kapal; standar-standar persyaratan layanan; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan sosial. Secara mendasar bidang pengaturan dalam konvensi membahas antara lain: (1) tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan dan nakhoda untuk keselamatan nelayan di kapal dan kemanan kapal; (2) usia minimum untuk bekerja di kapal penangkap ikan dan untuk bertugas dalam suatu jenis pekerjaan tertentu; (3) pemeriksaan
29
medis dan sertifikasi yang diperlukan untuk bekerja di kapal penangkap ikan, dengan kemungkinan pengecualian untuk kapal kecil atau orang-orang yang melaut untuk periode singkat; (4) waktu bekerja/melaut dan jam istirahat; (5) daftar awak kapal/ABK; (6) perjanjian kerja nelayan/melaut/ ABK; (7) pemulangan; (8) rekrutmen dan penempatan pekerjaan nelayan, dan penggunaan agen tenaga kerja swasta; (9) penggajian nelayan; (10) akomodasi di atas kapal dan pangan; (11) perawatan medis di laut; (12) keselamatan dan kesehatan kerja; (13) jaminan sosial; dan terakhir mengenai perlindungan dalam hal sakit yang berhubungan dengan pekerjaan, cedera atau kematian (melalui sistem tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan atau kewajiban asuransi, kompensasi atau skema lainnya).
Siapa yang Dilindungi? Konvensi ini berlaku terhadap pekerja perikanan tangkap komersil baik di perairan tawar maupun di perairan air asin (pesisir dan laut). Standar perlindungan dalam konvensi diberlakukan terhadap satu atau beberapa syarat kapal perikanan berikut: • Kapal dengan panjang 24 meter atau lebih; • Kapal yang berlayar di laut selama lebih dari tujuh hari; • Kapal dengan rute melaut lebih jarak 200 mil laut dari garis pantai; • Kapal dengan rute melaut lebih
30KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 garis terluar dari landas kontinen dan; • Pekerja yang berada di kapal penangkap ikan. Dari syarat tersebut konvensi ini berlaku secara luas kepada kapal skala besar di atas 24 meter maupun terhadap kapal skala kecil apabila secara khusus melakukan kegiatan melaut lebih dari tujuh hari atau dengan jarak di atas 200 mil. Juga tingkat penggunaan teknologi yang tidak terbatas. Konvensi ini berlaku juga terhadap pekerja perikanan dalam usaha pengolahan yang dilakukan di atas kapal baik perairan tawar maupun perairan asin. Pengecualian pemberlakuan konvensi dilakukan terhadap perikanan subsisten dan perikanan rekreasi (memancing untuk olahraga). Sebagai penjelas, Subsisten maksudnya hanya untuk memenuhi kebutuhan seharihari sebagai makan keapada keluarga dan tidak menjual hasil tangkapan.
Perlindungan apa yang diberikan kepada nelayan? Konvensi ini menitikberatkan terhadap negara bendera sebagai tempat mendaftarkan kapal-kapal perikanan dan sebagai yurisdiksi keberlakuan hukum negara tersebut. Tidak terbatas kepada tempat melakukan penangkapan ikan. Selain itu juga terhadap negara pelabuhan yang memiliki yurisdiksi terhadap kapal perikanan terlepas dari kebangsaan
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
kapal. Di mana kapal tersebut akan melapor kepada pelabuhan di bawah yurisdiksi negara tersebut. Negara tersebut baik negara bendera maupun negara pelabuhan, dimandatkan untuk memenuhi standar-standar yang ada dalam konvensi. Pertama mengenai Persyaratan Minimum untuk Bekerja pada Kapal Perikanan: • Usia minimum untuk tugas di kapal penangkap ikan, agar tidak membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda;
• Hak nelayan untuk repatriasi (pemulangan) dari pelabuhan asing; • Rekrutmen dan penempatan nelayan; • Mekanisme untuk menjamin pembayaran gaji rutin ke nelayan; Ketiga mengenai Akomodasi (tempat tinggal) dan Makanan • Ketentuan di kapal penangkap ikan sehubungan dengan akomodasi (tempat tinggal), makanan dan air minum; Keempat mengenai Perawatan Medis, Perlindungan Kesehatan dan Jaminan Sosial
• Pemeriksaan medis, untuk memastikan bahwa nelayan yang cocok untuk melakukan tugas mereka di papan kapal penangkap ikan;
• Perawatan medis dan hak untuk perawatan medis darat, dan hak untuk diambil darat pada waktu yang tepat dalam hal cedera serius atau penyakit;
Kedua mengenai Kondisi Layanan keamanan berlayar, untuk memastikan navigasi yang aman dan pengoperasian kapal penangkap ikan;
• Pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan risiko yang berhubungan dengan pekerjaan di kapal penangkap ikan, termasuk evaluasi risiko dan manajemen;
• adanya waktu reguler untuk beristirahat bagi pekerja di kapal penangkap ikan, untuk menjamin keselamatan dan kesehatan mereka; • Membawa daftar awak di kapal penangkap ikan dan memberikan salinannya kepada pihak berwenang, sebelum keberangkatan kapal; • Penyusunan perjanjian kerja nelayan dan keterangan minimum mereka, untuk menjamin pekerjaan dan kondisi kehidupan yang layak untuk nelayan pada kapal penangkap ikan;
• Pelatihan bagi nelayan dalam penanganan jenis alat tangkap dan dalam pengetahuan tentang operasi penangkapan, pelaporan dan menyelidiki kecelakaan di kapal penangkap ikan; • Memastikan bahwa nelayan dan tanggungan mereka berhak untuk mendapatkan keuntungan dari perlindungan jaminan sosial dalam kondisi yang tidak kurang menguntungkan daripada yang berlaku untuk pekerja lain,
31
mencapai perlindungan jaminan sosial yang komprehensif untuk semua nelayan dan untuk menjamin pemeliharaan hak-hak jaminan sosial; • Perlindungan bagi pekerjaan yang berhubungan dengan penyakit, cedera dan kematian dan untuk memastikan bahwa pemilik kapal penangkap ikan bertanggung jawab untuk penyediaan bagi nelayan perlindungan kesehatan dan perawatan medis; dan Kelima mengenai Kepatuhan dan Penegakan Hukum • Penerapat secara efektif mengenai yurisdiksi dan kontrol atas kapal dengan membangun sistem yang menjamin kepatuhan atas persyaratan dari Konvensi.
Bagaimana nelayan skala kecil dapat memanfaatkan Konvensi? Konvensi ini dapat mencegah kondisi tenaga kerja di perikanan skala kecil dari yang diterima begitu saja, terutama di banyak perikanan negara berkembang. Sehingga sangat jelas terdapat kebutuhan untuk kerangka hukum untuk mengatur proses keterlibatan antara kondisi kerja dan kondisi perikanan di seluruh dunia, bahkan di subsektor perikanan skala kecil. Meskipun dalam Konvensi Perikanan 2007, tidak membuat pengaturan terkait secara tegas mengenai
Tokoh
32KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 untuk skala besar-atau skala kecil atau nelayan atau kapal penangkap ikan artisanal, yang lingkup-tunduk pada pengecualian, pembebasan dan pengecualian-meliputi semua operasi penangkapan ikan. Ketentuanketentuan Konvensi yang berpotensi dapat menguntungkan kapal nelayan skala kecil meliputi: • Standar minimum usia; • Pemeriksaan medis; • Daftar awak; • Waktu reguler untuk istirahat; • Perjanjian kerja; • Pembayaran/penggajian secara rutin; • Akomodasi, makanan dan air minum di atas kapal penangkap ikan; • Peralatan medis dan obat-obatan, termasuk kebutuhan untuk memiliki awak kapal di kapal yang memenuhi syarat atau dilatih dalam pertolongan pertama; • Hak untuk mendapat perawatan medis di pantai; • Pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan risiko yang berhubungan dengan pekerjaan di kapal penangkap ikan; • Pelatihan nelayan dalam penanganan jenis alat tangkap; • Pelaporan dan menyelidiki kecelakaan di kapal penangkap ikan; • Perlindungan kesehatan dan perawatan medis; dan
• Jaminan sosial. Namun, operasional perikanan skala kecil yang akan mendapat manfaat dari ketentuan-ketentuan di atas akan tergantung, antara lain, pada apakah kategori tertentu mengenai perikanan skala kecil akan tunduk dalam ruang lingkup Konvensi. Kategori perikanan skala kecil yang akan mendapat manfaat dari Konvensi akan sangat ditentukan di tingkat nasional.
Muhammad Sarli
Impor Sengsarakan Petambak Garam Indonesia
Pemberlakuan Konvensi ini akan belaku setelah ratifikasi oleh sepuluh Negara Anggota ILO, di mana delapan di antaranya adalah adalah Negara pantai. Data terakhir pada Mei 2014, Konvensi telah diratifikasi oleh Argentina (2011), Bosnia Herzegovina (2010), Republic Kongo (2014), Moroko (2013), dan Africa Selatan (2013), yang semuanya adalah negara pantai/pesisir. Mengingat proses ratifikasi ini bertujuan untuk melindungi pekerja perikanan dan nelayan, maka penting untuk mendorong ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Dengan peran signifikan sebagai negara pantai/ pesisir, Indonesia juga menjadi negara dengan banyak pekerja perikanan yang terlibat perikanan baik skala kecil dan besar. Oleh karena itu perlu untuk memastikan kategori perikanan skala kecil Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Konvensi ini sehingga tujuannya untuk melindungi pekerja perikanan tercapai.*** (AMH)
G
elisah, sedih dan marah bercampur aduk di dalam pikiran mayoritas petambak garam Tanah Air. Bukan tanpa alasan, maraknya impor garam yang diinisiasi oleh pemerintah telah menjatuhkan harga garam produksi dalam negeri. Para petambak garam skala kecil menjerit akibat tidak berimbangnya biaya produksi dengan hasil yang mereka dapatkan.
Salah satu orang yang merasakan dampak kebijakan pemerintah mengimpor garam adalah Muhammad Sarli. Petambak garam yang memiliki 3 anak, lahir dan besar di Indramayu 58 tahun lalu ini harus bersusah payah memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika tidak ada usaha lain yang dijalankan istrinya, keluarga Sarli
34KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014 bakal terjepit biaya hidup. Pada tahun 1990, Sarli menggeluti budidaya bandeng dan udang. Setahun setelahnya, Sarli juga mengembangkan usaha produksi garam. Pilihan ini dilakukan untuk menambah pemasukan keluarga yang terkadang minim pendapatan atau mengantisipasi bila terjadi gagal panen akibat banjir dan penyakit. Juga dikarenakan potensi pasar yang luas dan harga yang tinggi, sementara modal dan resiko relatif kecil.
Tambak garam
Persinggungannya dengan aktivitas pertambakan garam ini menjadikan Sarli semakin memahami seluk-beluk dan problematika yang dihadapi para petambak garam. Kehidupan petambak garam, khususnya di Indramayu sebagian besar cukup miris. Bagaimana sulitnya mencari permodalan sehingga mereka sangat bergantung terhadap tengkulak. Sistem produksi pun masih tradisional. Hal yang paling memprihatinkan adalah tidak stabilnya harga garam. Puncaknya pada tahun 2011, harga garam mengalami penurunan dan petamabk garam resah. Kondisi inilah yang kemudian membuat Sarli dan rekan-rekannya membentuk Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Barat. Sarli ditunjuk menjadi Sekretarisnya. HMPG dibentuk dengan tujuan
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
mewadahi petambak garam sekaligus menjadi media advokasi untuk memperjuangkan hak-hak petambak garam di Jawa Barat agar tidak semakin terpuruk. Di tengah-tengah keputusasaan akibat adanya impor garam dari luar negeri, Sarli dan rekan-rekan sesama petambak mendapatkan kabar bahwa pemerintah akan memberikan perhatian terhadap petambak garam dalam negeri. Terbukti, Pemerintah melalui Keputusan Menko Perekonomian Nomor: KEP-11/M.EKON/03/2011 tentang Tim Koordinasi Swasembada Garam Nasional. Dalam kebijakan ini, dinyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan garam masyarakat dan produksi, maka pemerintah harus memprioritaskan sumber dari produksi garam dalam negeri. Ternyata kebijakan ini tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi para petambak garam dalam negeri. Tiba-tiba para petambak garam dikejutkan dengan adanya isu masuknya garam impor dari beberapa negara ke sentra-sentra garam di dalam negeri.
Garam impor
Sarli bersama beberapa rekannya cukup penasaran dengan isu impor garam dari luar negeri. Ternyata bukan isapan jempol belaka, dengan mata kepala sendiri Sarli bersama rekan-rekannya menyaksikan adanya aktivitas bongkar muat garam impor di
Pelabuhan Cirebon pada tanggal 27 Oktober 2013. Tidak tanggungtangggung, garam tersebut didatangkan dari Australia sebanyak 23.000 ton atau satu tongkang. Garam impor tersebut ditampung oleh PT. Garam Cemerlang yang berkedudukan di Cirebon, Jawa Barat. Belakangan diketahui bahwa aktivitas impor garam ini terjadi akibat adanya kebijakan dari pemerintah yang memperbolehkan impor garam. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/ PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Sarli menyatakan bahwa akibat adanya impor tersebut, harga garam hasil petambak garam tradisional turun drastis. Garam hasil produksi petambak garam hanya dihargai kisaran Rp.350 per kg. Bahkan tidak jarang garam hasil petambak di Indramyau dan Cirebon hanya dihargai Rp.200 – Rp.300 per kg. Padahal, menurut Sarli, dalam Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 tanggal 5 Mei 2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petambak Garam, telah jelas ketentuannya, yaitu: (1) Harga penjualan garam KP1 minimal Rp. 750/Kg; dan (2) Harga penjualan garam KP2 minimal Rp. 550/Kg.
35
Lebih miris lagi, garam impor tersebut dibongkar muat dari kapal di sentra utama penghasil garam di wilayah Jawa Barat, yaitu di Pelabuhan Cirebon dan garam impor tersebut dihargai Rp.1.300/ Kg. Kondisi ini memancing amarah Sarli dan rekan-rekannya sesama petambak garam. Berbagai upaya dilakukan, sejak tahun 2012 telah melakukan protes keras kepada pemerintah atas kebijakan ini. Bahkan pada Juli tahun 2013, perwakilan petambak garam Indramayu telah melakukan gugatan terhadap pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta pusat, namun sayang gugatannya ditolak dengan alasan salah alamat. Lebih ironis, pernyataan gugatan salah alamat tersebut dikeluarkan menjelang putusan akhir persidangan. Di tengah kegamangannya, Sarli dan rekan-rekannya masih punya harapan untuk menjadikan aktivitas pergaraman nasional ini menjadi media untuk menyejahterakan warga dan mengurangi kantong-kantong kemiskinan di penjuru tanah air. Untuk mencapai hal tersebut, Sarli mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan impor garam. Ditunjang dengan kebijakan satu pintu serta adanya fasilitas dolog yang memadai, serta kepastian kestabilan harga garam di tingkat produsennya.*** (SD)
Kesehatan
KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014
orang yang berusia 30 tahun ke atas. dikira penyakit ini merupakan penyakit karena jika tengah meradang sungguh terbayangkan rasa sakit yang akan penderitanya.
Asam Urat dan Mangrove
S
iapa kini yang tidak kenal mangrove? Tanaman eksotis pesisir ini kini sudah banyak kita jumpai. Ekosistem mangrove yang memiliki fungsi ekologi, sumber daya dan jasa, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fungsi utama lainnya, yaitu fungsi ekonomi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir.
Manfaat dari mangrove itu sendiri pun kita sudah tahu: tak hanya jadi penghias pesisir saja, namun mangrove kini sudah menjadi panganan berbagai macam olahan. Dari mulai makanan ringan, seperti kerupuk, dodol, keripik, ondeonde ataupun makanan pelengkap hidangan makan berat seperti urap mangrove serta olahan berbagai minuman dan olahan untuk kecantikan lainnya. Namun tahukah kamu bahwa mangrove juga bisa menjadi obat bagi penyakit asam urat? Asam urat sekarang ini telah menjadi sebuah penyakit yang sering kali dialami oleh orang-
Sebagian besar para penderita asam urat mempunyai penyakit lainnya, seperti hipertensi darah tinggi), diabetes atau juga penyakit ginjal. Namun faktor kegemukan (obesitas) juga sering kali dijumpai pada penderita asam urat. Apabila penyakit asam urat tidak segera diobati, maka bisa berkembang menjadi penyakit batu ginjal dan akhirnya bisa mengakibatkan gagal ginjal penderita asam urat tersebut.
37
Namun jangan yang ringan lho, tidak dapat dirasakan para juga (tekanan
Pada rubrik kesehatan kali ini, kami membagi cara meramu olahan mangrove untuk penyembuhan asam urat tersebut. Yuk disimak: jenis mangrove yang digunakan adalah daun Jeruju dan Beluntas. Bahan yang dibutuhkan: daun Jeruju & Beluntas 70%, Air/Alkohol 15%, dan Beras 15%.
Cara pembuatan:
Masukkan daun mangrove ke dalam tumbukan, tambahkan air secukupnya, tumbuk hingga homogen, tambahkan beras dan tumbuk hingga menyatu. Setelah menyatu, lalu cetak dengan bentuk bulat. Jika sudah dicetak, dijemur menggunakan nampan yang terbuat dari bambu maksimal 3 hari.
Aturan pakai:
1 kali pakai : 1-2 butir.
Cara pakai:
Tambahkan alkohol atau air secukupnya di dalam 1 butiran mangrove yang sudah dicetak dan oleskan pada bagian yang sakit.***(SO)
Dapur •
S
udah pernah berkunjung ke Lamongan? Kota yang berbatasan langsung dengan laut Jawa di bagian utara ini memiliki olahan ikan yang enak. Masyarakat Lamongan menyebutnya otak-otak Bandeng. Apa keistimewaan olahan ikan ini? Proses pembuatannya mudah dan nyaris tanpa kerja keras saat memakannya. Karena duri ikan Bandeng sudah dibuang terlebih dahulu. Ingin tahu cara membuatnya? Sederhana dan mudah.
Bahan-bahan dibutuhkan: (1) 750 gr bandeng (1 ekor) Q 1/2 kg daging ikannya. (2) 120 gr roti tawar (3 lembar). (3) 1 butir telur ayam untuk isi. (4) 1 butir telur ayam untuk mengoles. (5) 1 sdm minyak untuk menumis. (6) 1 sdt kecap manis.
Bumbu-bumbu yang dihaluskan: (1) 5 butir kemiri. (2) 5 siung bawang putih.
•
Otak-otak Bandeng Khas Lamongan (3) 3 buah cabai merah. (4) 1 iris jahe. (5) 2 lembar daun jeruk. (6) 1 sdm gula pasir.
CARA MEMBUAT OTAK-OTAK BANDENG: •
Ikan bandeng dibuang sisiknya dan cuci sampai bersih.
•
Bandeng dibersihkan dengan mengeluarkan insang dan isi perutnya melalui insang, lalu dicuci sampai bersih.
•
Tarik bagian ekor dan kepala secara bersamaan, sampai berbunyi supaya lepas durinya.
•
•
•
Pukul-pukul badan bandeng agar daging hancur dan lepas dari kulitnya dengan memakai penumbuk kayu. Belah sedikit kulit di bawah kepala lalu keluarkan daging ikan melalui lubang tersebut sambil perlahanlahan kulit dibalik melalui lubang itu untuk memudahkan mengambil dagingnya sampai bersih dan tinggal kulit bersama ekor dan kepala, cuci bersih. Daging bandeng yang telah dikeluarkan tadi diletakkan dalam wajan, beri sedikit air dan jerang di atas api sehingga duri-duri lepas dari daging, angkat daging yang telah dijerang tadi kemudian dipilih dan dibersihkan dari durinya, lalu masukkan daring yang telah bebas dari duri-duri tadi ke dalam 1 buah mangkok. Campur daging ikan yang telah bersih dari duri tadi dengan roti dan diblender sampai halus dan campur dengan bumbu yang dihaluskan dan 1 butir telur. Setelah semua tercampur rata, masukkan kembali campuran ini kedalam badan ikan bandeng yang berbentuk kulit, diisi penuh sampai berbentuk ikan seperti semula.
•
Bandeng yang sudah diisi tali dibungkus daun pisang dan dikukus sampai masak (sekitar 30 menit), angkat.
•
Setelah dingin buka daun pisangnya, pecahkan telur ayam, beri sedikit garam, dan balurkan ke seluruh badan ikan.
•
Panggang di oven sampai kering, kuning kecoklatan, angkat.
•
Hidangkan dengan diiris-iris. Untuk = 10 porsi (1 porsi = 110 kalori).
Petunjuk Membuat Otak-otak Bandeng: •
Pilihlah ikan yang segar agar rasa tetap segar dan kulit tidak mudah sobek.
•
Saat memukul daging ikan, jangan terlalu keras dan jangan memakai bahan yang keras atau tajam, seperti bahan dari besi. Ini bertujuan untuk menghindari kulit menjadi mudah sobek.
•
Bumbu yang dipakai untuk isi bandeng disesuaikan dengan selera, ada yang ingin bumbu opor dengan santan. Resep ini memakai bumbu Bali supaya otakotak bandeng bisa tahan lebih lama.
•
Otak-otak bandeng dalam resep ini bisa dibuat satu hari sebelum disantap, disimpan dalam lemari es, dan bila hendak disantap, dipanggang/digoreng terlebih dahulu.
•
Jika ingin lebih lama disimpan, selama tiga hari sebelum disantap, simpan dalam lemari es pembeku, dan selanjutnya dipanggang/ digoreng bila hendak disantap.
Mudah bukan? Yuk bikin Otak-Otak Bandeng khas Lamongan di rumahrumah kita. Selamat mencoba.*** (AT/ MF)
40KABAR BAHARI IX 1 Juli - Agustus 2014