Perlindungan Konsumen Dunia Virtual Perdagangan Elektronik Oleh Fery nurdiansyah
Transformasi perkembangan zaman telah menjadi paradigma baru. Keberadaannya ditandai dengan maraknya internet sebagai media komunikasi. Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya adalah suatu kenyataan, menjadi salah satu media yang efektif bagi perusahaan maupun perseorangan untuk memperkenalkan dan menjual barang atau jasa kepada konsumen dari seluruh dunia. Dahulunya sistem perdagangan face to face kini telah bergeser menggunakan teknologi bebasis internet. Membawa perekonomian dunia memasuki era baru yang lebih populer dengan istilah digital economic atau ekonomi digital. Berdasarkan Harian Kompas, tercatat bahwa pada tahun 2012 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta, yang tiap tahunnya selalu bertambah. Penyebab membaiknya kondisi perekonomian di Indonesia salah satunya merupakan transaksi e-commerce. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa 56,5 % populasi Indonesia atau sekitar 134 juta jiwa masuk kategori kelas menengah dengan nilai belanja 2-20 dollar AS per hari. Model bisnis modern tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik serta tidak memakai tanda tangan asli, pasalnya di dalam dunia virtual, e-commerce telah mereformasi perdagangan konvensional, di mana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung. E-commerce telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model- model interaksi antara produsen dan konsumen di dunia. Alhasil internet dapat menggunakan untuk melakukan perniagaan dan meningkatkan lalu lintas perekonomian. E-commerce bisa menjadi solusi terbaik bagi konsumen Indonesia di tengah-tengah buruknya infrastruktur transportasi, isu kemacetan dan buruknya sarana transportasi massal ke pusatpusat perbelanjaan tentu membuat konsumen harus berupaya tinggi untuk dapat berbelanja. Dengan e-commerce masalah tersebut tentu bisa teratasi. Pengertian e-commerce secara terminologi merupakan penyebaran, pembelian, penjualan pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik halnya internet, televisi, atau jaringan komputerlainnya. Yang juga dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis. ecommerce sendiri juga dapat di kategorikan sebagai salah satu istilah “perdagangan elektronik”. Transaksi e-commerce berdasarkan Wartaekonomi.com memberitakan bahwa tahun ini volume e-commerce di Indonesia sebesar US$ 230 juta, dan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 1,8 miliar pada 2015. Pertumbuhan ini didukung dengan data dari Menkominfo yang menyebutkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp. 130 triliun. Akan tetapi Berkembangnya cara transaksi e-commerce merupakan revolusi terbesar yang diikuti oleh sederetan masalah-masalah yang muncul dari terjadinya transaksi ini. Transaksi Ter(percaya) E-commerce Dalam Seminar Perpajakan "Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Bagi Pelaku E-commerce Di Indonesia" yang diadakan oleh Direkorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Jakarta, 27 Agustus 2014. Bahwa alasan lain orang lakukan e-commerce adalah hemat waktu dan hemat biaya. Selain itu,
terdapat lima masalah utama e-commerce di Indonesia. Top five Indonesia e-commerce Issue adalah masalah Behaviour, Payment Options, Mobile, Logistic dan Regulations. Berbelanja online bukanlah sesuatu yang baru bagi orang Indonesia yang tinggal di kota besar, hal ini telah diketahui namun sebagian besar konsumen Indonesia masih kurang mempercayai situs-situs e-commerce, bukan tentang keamanan dari berbelanja online, namun justru merchant-nya. Merasa waspada terhadap penipuan, selain itu kurangnya kredibilitas atau reputasi yang diberikan oleh pasar semakin memperburuk keadaan. Berdasarkan laman Ditjen pajak, Dalam hal sikap (behavior), kepercayaan publik masih rendah terhadap online shopping. Rata- rata pembeli online hanya bertransaksi antara Rp. 100.000,sampai dengan Rp. 1.000.000.- saja. Namun pergolakan mengenai perniagaan terhadap kepercayaan perdagangan online di Indonesia, menurut Sharing Vision TM pada tahun 2003 hanya berada pada penyedia e-commerce raksasa, seperti Kaskus, Toko bagus, Bhinneka, Lazada, Berniaga. Pada dasarnya transaksi jual beli melalui internet ini tidak menutup kemungkinan timbulnya berbagai perbuatan yang melanggar hukum seperti penipuan sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli melalui internet seperti ini harus tetap dapat diselesaikan secara hukum, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum dan akhirnya menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi serta kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Dikategorikan sebagai cyber crime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet. Permasalahan yang harus dipecahkan perusahaan e-commerce dari sisi infrastruktur dan juga sistem pembayarannya. Perusahaan e-commerce harus bisa meyakinkan calon customer agar berbelanja secara online mendapat keamanan dan kenyamanan, khususnya untuk target pasar anak muda yang pada umumnya sangat mengetahui perkembangan teknologi. Berdasarkan data riset dari Nielsen menyatakan bahwa 60% orang Indonesia masih tidak percaya untuk memberikan informasi kartu kredit mereka di internet untuk belanja online, lebih besar dari negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina. Bila suatu perusahaan e-commerce dapat memberikan rasa kenyamanan dalam berbelanja online dan menyediakan sistem pembayaran yang dapat diterima banyak orang, diharapkan akan semakin banyak orang Indonesia yang tidak akan ragu untuk berbelanja, baik menggunakan kartu kredit ataupun debit mereka. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia memiliki berbagai macam bank. Banyaknya bank ini termasuk hal yang mempersulit perusahaan e-commerce untuk menerima sistem pembayaran dari berbagai bank. Untuk mengatasi hal ini, sudah terdapat beberapa perusahaan penyedia ecommerce di Indonesia yang menawarkan sistem pembayaran dari berbagai macam bank. Dengan begini, tidak ada lagi alasan untuk masalah transaksi berbelanja online, karena masalah pembayaran sudah dipecahkan.
Hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai identitas perusahaan milik pelaku usaha sangat diperlukan, seperti alamat jelas di dunia nyata dan nama pemilik toko online. Hak tersebut kurang dapat direalisasikan dalam transaksi e-commerce, karena pada website pelaku usaha sering kali tidak dicantumkan alamat lengkap perusahaan di dunia nyata, biasanya yang ditampilkan pada website hanya nomor telephone dan alamt e-mail. Yang pada akhirnya kembali konsumen yang dirugikan. Pengaturan Perlindungan Konsumen E-commerce Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam melakukan transaksi e-commerce mutlak diperlukan. Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. UUPK belum dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce karena ketentuan– ketentuan yang tercantum dalam UUPK belum dapat mengakomodir hak–hak konsumen dalam transaksi e-commerce. Hal tersebut dikarenakan e-commerce mempunyai karakteristik tersendiri dibandingan dengan transaksi konvensional. Yaitu tidak bertemunya penjual dan pembeli, media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi batas–batas yuridis suatu negara, barang yang diperjual-belikan dapat berupa barang/jasa atau produk digital seperti software merupakan karakteristik e-commerce. Pasalnya persoalan perlindungan konsumen transaksi e-commerce tidak terbatas pada aspek penawaran dan penerimaan saja. Namun lebih jauh, mencakup persoalan mengenai ruang lingkup, sengketa, transparansi, dan lain-lain. Sungguh disayangkan sekali, di saat indutri bertumbuh dengan cepat, pemerintah Indonesia belum dapat mengakomodir secara optimal peraturan maupun regulasi perdagangan perdagangan elektronik, sehingga masyarakat belum mendapat jaminan kepastian hukum atas e-commerce. Perlindungan hukum dalam transaksi elektronik pada prinsipnya harus menempatkan posisi yang setara antar pelaku usaha online dan konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia atas pemanfaatan barang atau jasa dari produsen/pelaku usaha yang diatur dalam UUPK. Undang–undang ini telah disahkan pada tanggal 20 April 1999, sekalipun baru berlaku setahun kemudian. Namun, setelah satu semester diberlakukannya UUPK, keberadaan UUPK belum juga terdengar santer. Sementara, ketidaktahuan konsumen akan hak–haknya menjadi salah satu penghambat terlaksananya perlindungan hukum. Oleh sebab itu, jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk melindungi konsumen agar semakin menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap e-commerce.
Pada prinsipnya, menurut KUHPer, bentuk suatu perjanjian adalah bebas, tidak terikat pada bentuk tertentu. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang (ps.1339 KUHPer). Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya (ps.1347 KUHPer).
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli. Dilihat dari UU ITE, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua belah pihak antara pelaku usaha dan konsumen. Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga dalam sudut pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet. Akan tetapi pada pasal 18 UUPK, menyatakan bahwa perjanjian klausula baku adalah batal demi hukum. Lain halnya dengan hak–hak konsumen, secara normatif yang diatur oleh UUPK terkesan hanya terbatas pada aktivitas perdagangan yang bersifatnya konvensional. Di samping itu perlindungan difokuskan hanya pada sisi konsumen serta sisi produk yang diperdagangkan sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha seperti informasi tentang identitas perusahaan pelaku usaha serta jaminan kerahasiaan data–data milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak–hak tersebut sangat penting untuk diatur terhadap keamanan konsumen dalam bertransaksi. Selain itu, berdasarkan laman Badan Perlindungan Konsumen Nasional, bahwa “sampai saat ini belum terbentuk Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSE) atau Certification Authority (CA) yaitu badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik, seperti diamanatkan oleh pasal 13 ayat 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Lembaga Lembaga Sertifikasi Keandalan, lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik, seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Oleh sebab itu, Kementeriaan Komunikasi dan Informatika atau Komite Akreditasi Nasional (KAN) perlu segera membentuk komite akreditasi baru khusus untuk e-commerce. Karena belum ada upaya memadai untuk melakukan edukasi kepada konsumen, tertutama untuk mengetahui ciri-ciri perusahaan perdagangan online yang handal, perusahaan online resmi dan terdaftar yang memiliki persyaratan perijinan dan memiliki alamat perusahaan yang jelas. Dilihat dari perspektif hukum, digital signature merupakan sebuah pengaman pada data digital yang dibuat dengan kunci tanda tangan pribadi (private siganture key), yang penggunaannya tergantung pada kunci publik (public key) yang menjadi pasangannya. Eksistensi digital signature ini ditandai oleh keluarnya sebuah sertifikat kunci tanda tangan (signature key certificate) dari suatu badan pembuat sertifikat (certifier). Dalam sertifikat ini ditentukan nama
pemilik kunci tanda tangan dan karakter dari data yang sudah ditandatangani, untuk kekuatan pembuktian (German Draft Digital signature Law, 1996). Beberapa masalah yang mungkin timbul dari sistem digital signature ini terkait dengan sistem hukum yang sudah ada. Pada banyak negara, disyaratkan bahwa suatu transaksi haruslah disertai dengan bukti tertulis, dengan pertimbangan kepastian hukum. Permasalahannya, bagaimana sebuah dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis. Di lnggris, bukti tertulis haruslah berupa tulisan(typing), ketikan (printing), litografi (lithography), fotografri, atau buktibukti yang mempergunakan cara-cara lain, yang dapat memperlihatkan atau mengolah kata kata dalam bentuk yang terlihat secara kasat mata. Definisi dari bukti tertulis itu sendiri sudah diperluas hingga mencakup juga telex, telegram, atau cara-cara lain dalam telekomunikasi yang menyediakan rekaman dan perjanjian" (UNCITRAL Model Law on Internatinal Commercial Arbitration, art.7 (2)). Sebenarnya, dari fakta-fakta tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital signature dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis. Tetapi, terdapat suatu prinsip hukum yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan dan dokumen elektronik atau digital signature, yakni adanya syarat bahwa dokumen tersebut harus dapat di lihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk kertas. Menurut penulis, sangat merugikan bagi konsumen bila dalam bertransaksi terdapat masalah, seperti barang yang dikirim tidak sesuai dengan barang yang dipesan, barang yang dipesan belum sampai di tangan konsumen tepat pada waktunya. Sehingga konsumen akan kesulitan jika akan komplain pada pelaku usaha. Konsumen tidak mengetahui dengan jelas dengan siapa dia bertransaksi. Selain itu, keabsahan transaksi bisnis dari aspek hukum perdata, masalah tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik dan data message, apabila dilakukan oleh orang yang belum cakap atau dewasa. Selain itu permasalahan yang timbul misalnya berkenaan dengan jaminan keaslian data, kerahasiaan dokumen, kewajiban sehubungan dengan pajak, serta hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak. Pengaturan tentang e-commerce selain diatur dalam UU ITE terkait hal-hal yang bersifat teknis Information Tehnology (IT), hal-hal lain terkait dengan transaksi, hubungan dagang, persyaratan administrasi perizinan, perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa perlu diatur dalam UU Perdagangan. diperlukan edukasi kepada konsumen agar bisa membedakan pedagangan on-line yang bonafide untuk dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menghindari tertipunya konsumen oleh pedagang on-line. Dikembangkannya serta diatur pengoperasianya perusahaan penyelenggara jasa “rekening bersama”, sebagai penghubung antara konsumen dan pedagang on-line, di mana uang yang dikirim oleh konsumen ke“rekening bersama”, baru bisa dicairkan oleh pedagang on-line setelah barang diterima dengan baik dan telah sesuai perjanjian. Karena penyelenggara jasa “rekening bersama” juga merupakan titik rawan penyebab terjadi kerugian konsumen mapun pelaku usaha, maka harus ada pengaturan sehinga menjamin terjadinya transaksi yang aman bagi konsumen. Lain halnya dengan beberapa persoalan yang berkaitan dengan cyber crime, dalam kejahatan bisnis ini sangat jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun
2008 Tentang ITE yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah sebagai aturan Pelaksanaan UU ITE perlu segera ditetapkan agar bisa dijadikan landasan dalam pelaksanaan kegiatan e-commerce. Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna internet. Pengguna internet dapat menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”. Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan tindak kejahatan dan kecurangan dalam menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Upaya penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus diprioritaskan. Indonesia harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan teknologi ini dengan sebuah payung hukum yang mempunyai suatu kepastian hukum. Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk meletakkan dasar legal dan kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam pergaulan masyarakat yang memanfaatkan kecanggihan dibidang teknologi informasi. Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun adanya keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan penyidikan. Sehingga diharapkan aparat penegak hukum lebih dapat memahami dan “mempersenjatai” diri dengan kemamampuan dalam penyesuaian globalisasi perkembangan teknologi ini. Dengan demikian, secanggih apapun kejahatan yang dilakukan, maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk mengamankan dan meminimalisir perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, serta dapat tercapainya suatu kepastian hukum terhadap konsumen. Di luar Yurisdiksi Permasalahan lain adalalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UUPK dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Lalu bagaimana jika terjadi perselisihan atau sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dalam transaksi elektronik di luar wilayah yurisdiksi indonesia. Kesulitan-kesulitan yang timbul apabila terjadi sengketa antara para pihak di dalam transaksi ecommerce, bukan saja menyangkut pilihan hukum yang akan diterapkan untuk dijadikan dasar menyelesaikan sengketa yang timbul, tetapi juga mengenai pilihan pengadilan yang akan memeriksa sengketa tersebut. Hal itu dapat dihindari apabila para pihak menentukan di dalam
perjanjian di antara mereka pengadilan mana yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul di kelak kemudian hari berkenaan dengan pelaksanaan dan penafsiran perjanjian di antara mereka. Bila pelaku usahanya berada di luar yuridiksi hukum Indonesia, maka persoalan pilihan hukum ini tergantung dari perjanjian antara pihak penjual dan pembeli dengan cara menyantumkannya dalam salah satu klausul di perjanjian e-commerce. Namun menurut Edmon Makarim, salah seorang pakar Hukum Telematika, salah satu “kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen untuk melindungi pihak pembeli (konsumen) dalam transaksi e-commerce adalah hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia”. Jadi walaupun belum menjangkau e-commerce secara keseluruhan tetapi untuk perusahaan yang jelas alamat dan kedudukannya (di Indonesia), bila si pelaku usaha tersebut melakukan wanprestasi maka ia tetap dapat dituntut menurut hukum Indonesia. bahwa transaksi elektronik dapat dituangkan dalam kontrak elektronik. Dalam kontrak elektronik tersebut dapat ditentukan pilihan hukum mana yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan (dispute). Jika pilihan hukum tidak dilakukan, maka yang berlaku adalah hukum yang didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Begitupun dengan pilihan forum pengadilan mana yang berhak. Para pihak dalam transaksi e-commerce dapat menentukan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya mana yang dipilih dalam e-contract. Dan jika tidak dilakukan pemilihan forum, maka penyelesaian sengketa akan kembali pada asas dalam Hukum Perdata Internasional. Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan dua hal penting. Pertama, pengakuan transaksi elektronik dan dokumen eletronik dalam rangka perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin. Para pihak dapat pula menentukan di dalam perjanjian itu bahwa sengketa yang mungkin timbul di kelak kemudian hari diselesaikan oleh suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase institusional maupun badan arbitrase ad hoc. Klausul dalam perjanjian yang mengatur mengenai hal ini disebut arbitration provisions atau klausul arbitrase. Oleh sebab itu kalau ada peraturan yang membutuhkan fleksibilitas sesuai dengan perkembangan maka pihaknya akan menerapkan perundang-undangan lebih rendah. Aturan perdagangan elektronik belum diberlakukan secara optimal. Baik berskala nasional maupun internasional yang menjadikan Indonesia sebagai pasar, menekankan, tujuan dari pengaturan e-commerce dalam UU Perdagangan adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen itu sendiri seharusnya menjadi target utama dalam UU Perdagangan.