LAPORAN AKHIR
TIM KOMPILASI PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan :
DR. Inosentius Samsul, SH, MH.
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL TAHUN 2006
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang. Kemajuan teknologi membawa dampak yang sangat siginifikan dalam
penyebarluasan informasi
dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Penyampai pesan mempunyai banyak pilihan untuk dapat menyampaikan pesannya kepada pihak lain dengan cepat dan jelas, sedangkan masyarakat akan dapat lebih mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkannnya. Dalam dunia usaha, penyampaian pesan dari produsen kepada konsumen disebut dengan promosi. Menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UPK), promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa, untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Dalam hal ini penyebarluasan informasi atas suatu barang dan/atau jasa dapat dilakukan dalam bentuk iklan seperti yang ditayangkan melalui media elektronik, seperti televisi, radio, media ruang, brosur dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, kegiatan promosi melibatkan 4 (empat) pihak, yaitu: 1.
Produsen; produsen selaku pemilik barang dan/atau jasa menyampaikan permintaan atau pesan yang baik menyangkut bentuk maupun isi iklan, agar biro iklan mendisain atau memoles bentuk atau isi iklan sesuai dengan keinginan/selera produsen.
2.
Biro Iklan; biro ini bertugas untuk mendisain iklan baik mengenai bentuk dan isinya. Kreatifitas biro iklan ini, akan sangat berpengaruh untuk menarik minat konsumen membeli produk yang ditawarkan.
3.
Media Iklan; media ini hanya bertugas untuk menayangkan barang dan/atau jasa, yang telah dipoles oleh biro iklan, dan
4.
Konsumen, selaku pihak yang menjadi target dari penyampaian iklan.
Informasi yang disampaikan pelaku usaha kepada konsumen atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan harus lengkap, benar, jelas, dan jujur. 1.
Lengkap dalam arti, jangan ada informasi yang sengaja disembunyikan, sehingga konsumen di kemudian hari tidak dirugikan atas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi.
2.
Benar, dalam arti yang berkaitan dengan bahan baku, bahan penolong, komposisi, kadaluarsa, kemanjuran/khasiat, kehalalan, isi atau syaratsyarat dalam perjanjian dsb.
3.
Jelas, dalam arti pemaparan atau pengungkapannya, tidak boleh menimbulkan arti ganda yang dapat menyesatkan konsumen.
4.
Jujur, dalam arti informasi disampaikan harus dilakukan/dibuat oleh orang yang jujur beritikad baik.
Penyampaian informasi yang lengkap, benar, jelas, dan jujur adalah merupakan salah satu kewajiban pelaku usaha, sebaliknya kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan hak konsumen. Selanjutnya pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: 1.
mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa.
2.
mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa.
3.
memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa.
4.
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa.
5.
mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seijin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
6.
melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Mengenai etika periklanan, telah dibuat oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Informasi (P3I) yang mana dalam azas umum dan tata krama periklanan informasi, antara lain disebutkan, bahwa iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, iklan tidak boleh
menyinggung perasaan, dan/atau merendahkan martabat, agama, tata susila dan adat istiadat dan iklan harus dijiwai oleh persaingan sehat. Dalam kenyataannya masih sering dijumpai bentuk-bentuk iklan yang merugikan konsumen. Informasi yang disampaikan oleh pihak produsen, biro iklan dan media iklan seringkali hanya yang bersifat baik-baik saja dan lengkap serta menyesatkan konsumen. Sebagai contoh: 1.
Adakalanya promosi atau iklan yang disampaikan menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti; aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan, tanpa keterangan yang lengkap.
2.
Dalam suatu pameran dan promosi furniture, pelaku usaha membagikan brosur kepada pengunjung, dalam brosur tercantum garansi atas furniture selama 5 (lima) tahun dan untuk 5 (lima) jenis kerusakan. Tertarik atas janji informasi dalam brosur, pengunjung/konsumen memutuskan membeli seperangkat furniture seharga puluhan juta. Setelah 3 tahun 6 bulan, kursi rusak dan dibawa kembali untuk diperbaiki, ternyata ditolak dengan alasan garansi telah berakhir dan juga yang rusak tidak termasuk dalam garansi. Dalam hal ini pelaku usaha telah memberikan informasi yang menyesatkan, dalam brosur masa garansi 5 tahun, untuk 5 (lima) jenis kerusakan tetapi dalam kartu garansi hanya 3 (tiga) tahun dan untuk 3 (tiga) jenis kerusakan.
3.
Iklan susu di televisi, mengatakan anak anda ingin cerdas dan genius, berikan susu merek X. Bagaimana seorang anak menjadi cerdas dan genius, hanya dengan minum susu merek X yang notabene, tidak mempunyai kelebihan yang berarti dengan susu merek lain. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan bagi konsumen karena telah
dibohongi dengan keberadaan iklan dan produk yang ditawarkan. Oleh karena itu masyarakat perlu mendapatkan perlindungan hukum dari promosi dan iklan yang bersifat menyesatkan. Era baru perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang ini menempatkan perlindungan konsumen ke dalam suatu koridor sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
Badan Pembinaan Hukum Nasional bermaksud mengadakan kegiatan kompilasi terhadap perlindungan konsumen terutama dalam kaitannya dengan kegiatan promosi dan periklanan suatu barang.
B.
Maksud dan Tujuan. Maksud
kegiatan
kompilasi
ini
adalah
mengumpulkan
atau
mengkompilasi praktek hukum yang berkembang dalam usaha penyelenggaraan perlindungan konsumen. Tujuannya yang akan dicapai adalah untuk memberi bahan measukan bagi pembangunan hukum, khususnya di bidang perlindungan konsumen. C.
Pokok Bahasan. Adapun yang akan dibahas dalam kompilasi terhadap perlindungan
konsumen terutama dalam kaitannya dengan kegiatan promosi dan periklanan suatu barang akan menginventarisasi praktek hukum yang berkembang dalam perlindungan konsumen. Agar dapat terfokus dalam pelaksanaannya, maka kegiatan ini akan difokuskan terhadap perlindungan konsumen terhadap kegiatan promosi dan iklan di bidang asuransi, bidang kesehatan, bidang perparkiran, bidang transportasi udara, dan bidang obat dan makanan.
D.
Metodologi. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan yuridis normatif
empiris yaitu mengumpulkan data-data yang relevan dengan masalah yang dibahas baik terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang
meliputi
peraturan
perundang-undangan/kebijakan
perlindungan
konsumen serta hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang berhubungan dengan masalah tersebut. E.
Pembiayaan
Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun anggaran 2006, yang dimulai bulan Januari sampai dengan Desember dengan biaya yang dibebankan dengan anggaran Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2006.
F.
Keanggotan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari : Ketua
: Dr. Inosentius Samsul, SH, MH.
Sekretaris
: Achfadz, SH.
Anggota
: 1.
Yusuf Shofie, SH, MH.
2.
Aman Sinaga, SH
3.
Dr. Anwar Ibrahim.
4.
Tiodora Sirait, SH.
5.
Suharsih, SH.
6.
Artiningsih, SH.
7.
Muhar Djunef, SH, MH.
8.
Yul Ernis, SH, MH.
1.
Dadang Iskandar, S.Sos.
2.
Supriyadi.
1.
Tatang Sdarjat.
2.
M. Sidik.
Asisten :
Pengetik:
BAB II HAK KONSUMEN TERHADAP PROMOSI PRODUK MELALUI IKLAN DAN UPAYA PERLINDUNGANNYA
A.
Promosi Produk Melalui Iklan. Promosi atau periklanan mempunyai nilai yang sangat berarti baik dari segi
pendekatan kuantitatif maupun dari segi pendekatan kualitatif. Berbagai aneka bentuk dan jenis kegiatan promosi atau periklanan yang disampaikan melalui peragaan langsung ataupun media cetak dan media elektronik, dapat mempengaruhi bidang kehidupan manusia, seperti bidang kehidupan ekonomi, politik, keagamaan, sosial, budaya dan hukum. Dalam Tata Krama Dan Tata Cara Periklanan Indonesia dikatakan bahwa periklanan adalah sebagai salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan, memegang peranan penting di dalam pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia. Sebagai sarana penerangan dan pemasaran, periklanan merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital bagi pengembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang pembangunan. Untuk itu demi tanggung jawab sosial perlindungan nilai-nilai budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, perlu dibentuk pola pengarahan periklanan yang konsepsionnal. Pola pengarahan periklanan itu harus menunjang asas trilogi pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha, periklanan nasional dan media komunikasi massa. Pesan-pesan iklan pada hakekatnya adalah “titipan opini” dari masyarakat periklanan dalam dan luar negeri yang disalurkan melalui medianya.1 Dalam pengertian ini pesan-pesan iklan itu disamping memuat nilai-nilai komersial,
1
Budyatna, Muhammad, Hasil laporan Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Tanggung Jawab Pemasangan Iklan, (Jakarta : BPHN, 1997/1998).
juga dapat memiliki nilai-nilai yang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya Indonesia. Oleh karena itu masyarakat periklanan atau pelaku usaha promosi (periklanan) seharusnyalah dibebani tanggung jawab agar segala opini, pesan atau apa saja yang dikomunikasikan kepada masyarakat konsumen tidak bertentangan dengan tatanan sosial budaya yang ada. Dari itu peran serta promosi atau periklanan hendaknya senantiasa diarahkan supaya promosi atau periklanan berdimensi dan berwawasan nasional. Begitu banyaknya bidang-bidang yang terkait dengan kegiatan bidang promosi atau periklanan, maka dalam kegiatannya diperlukan kerjasama antar instansi, lembaga dan instansi yang terkait, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku. Saat ini meskipun telah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang berapa pasalnya telah memuat ketentuan tentang hal-hal yang dilarang atau hal yang tidak boleh dilakukan dalam kegiatan promosi atau periklanan, namun dalam praktek masih saja ditemui kegiatan promosi (periklanan) yang bertentangan dengan aturan yang ada dan seringkali menjadi sasaran keluhan dari masyarakat konsumen karena dianggap tidak jujur (unfair) dan menyesatkan (misleading) atau mengelabui serta melawan hukum dan kode etik
misalnya adanya ekses negatif dalam pengadaan iklan perumahan
khususnya oleh developer swasta tidak terlepas dari keberadaan iklan perumahan tersebut, dan dari sekian banyak iklan perumahan ada beberapa cara yang digunakan develover dalam menjelaskan lokasi perumahan antara lain pertama, dengan menggunakan indikator jarak tempuh atau waktu tempuh, seperti tiga kilo meter dari tol Cibubur. Kedua dengan menggunakan indikator harga , seperti harga terjangkau. Ketiga dalam lingkungan strategis, alam segar dan bebas banjir. Keempat dengan menggunakan indikator kualitas bangunan dan lain-lain. Begitupun dibidang pengawasan periklanan, ada instrumen yang dapat dipakai dalam mengontrol keberadaan suatu iklan, yaitu hukum dan etik. Keduanya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Hukum dapat di-
enforce oleh sesuatu kekuatan /lembaga dari luar, sementara etik tidak ada enforcement formalnya. Etik berasal dari dalam diri dan hati nurani dari orang yang bersangkutan. Disinilah letak kelemahan, sekaligus kekuatan etik.2 Tata krama dan tata cara periklanan yang dijadikan salah satu landasan pengawasan periklanan, bukanlah merupakan produk perundangan yang bisa dibebani sanksi, karena ketentuan tersebut hanya merupakan etika yang didasari pada kesadaran moral para anggotanya, sehingga norma-norma yang tercantum didalamnya tidak bersifat memaksa atau mengikat. Berdasarkan hal diatas, peraturan perundang-undangan dan kode etik yang ada menyangkut perlindungan konsumen khususnya di bidang promosi atau periklanan perlu ditegakkan dan dilakukan pengawasan
oleh yang
berwenang serta pelaku usaha periklanan harus dapat bertanggung jawab penuh terhadap terjadinya pelanggaran kode etik atau peraturan perundang-undangan tentang promosi(periklanan). A.1 Kode Etik dan Ketentuan Yuridis Tentang Promosi (Iklan) Suatu Produk Para sponsor dan penyusun kode etik dan kode praktek periklanan Indonesia, memilih istilah bagi regulasi sendiri mereka sebagai Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.3
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia sebagai sarana pemasaran dan sarana penerangan memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu : a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat agama, tata susila, adat, budaya, suku dan golongan. c. Iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat. Jujur maksudnya iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui,dan memberikan janji 2
Sudaryatmo, Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen, (Jakarta : PIRAC&PEG, 2001), hl. 58. Az Nasution , Konsumen dan Hukum; Tinjauan sosial , Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hl.145. 3
yang berlebihan. Dan bertanggung jawab maksudnya iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayanan dan merugikan masyarakat. Sedangkan tidak bertentangan dengan hukum maksudnya iklan harus mematuhi undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan dalam kegiatan periklanan sebagaimana yang dijelaskan didalam penerapan khusus Tata krama dan tata cara periklanan. Dalam tata krama periklanan diatur pula mengenai hubungan dengan Pemerintah, dikatakan bahwa
pembuatan
iklan
tidak
boleh
bertentangan
dengan
peraturan
perundangan yang berlaku. A.2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Promosi atau Periklanan. Dalam Pasal 20 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyebutkan bahwa, pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Dan bagi pelaku usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi serta segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan itu akan dikenakan sanksi administratif oleh Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 (UUPK). Selain itu pelaku usaha juga bertanggung jawab terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran ketentuan promosi atau periklanan yang dilarang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9, 10, 12, 13( ayat 1& 2), dan 17 UUPK. Maka bagi pelaku usaha yang tidak mengindahkan ketentuan tersebut akan dapat dikenakan sanksi Pidana (Pasal 62 UUPK). Sebagai suatu bentuk perjanjian yang tunduk kepada ketentuan umum-yang diatur dalam buku III, khususnya bab II dan bab IV Kitab Undang-undang Hukum Perdata-berbagai macam hak, kewajiban, serta pertanggungjawaban yang
dilahirkan
dari
perjanjian
“periklanan”
tersebut
tidaklah
boleh
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu asas kepatutan dan kesusilaan, serta ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.4
4
Gunawan Widjaja, Ahmad yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia, 2000), hl. 43.
Konsepsi periklanan pada dasarnya bertujuan berkomunikasi dengan khalayak dan mendorong terjadinya penjualan. Dalam pelaksanaannya, terkait misi perusahaan.Yang kegiatannya melibatkan pengusaha pengiklan, perusahaan periklanan, dan media periklanan. Karena itu, pengiklan harus benar-benar berperan dalam memberikan arah, batasan dan masukan pada kreativitas yang di usulkan Perusahaan Periklanan, penerapan aspek ini, jelas bukan hanya menuntut profesionalitas, tetapi juga kematangan pribadi dan kepekaan sosial dari pihak pengiklan.5 Pada dasarnya
sumber utama unsur informasi yang ada pesan-pesan
periklanan, diakui berasal dari pihak pengiklan. Disamping itu, pesan-pesan iklan yang diproduksi pihak Perusahaan Pengiklanan selalu dilakukan untuk dan dengan persetujuan pengiklan yang membayar biaya dan imbalannya atas produksi periklanan tersebut. Berdasarkan hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk menjadikan pihak pengiklan sebagai penanggung jawab utama dalam hal terjadinya pelanggaran etika periklanan..Walaupun demikian, terdapat cukup banyak kasus dimana informasi pelengkap yang diperoleh sendiri dari akses Perusahaan Periklanan yang justru digunakan dalam pesan-pesan periklanan. Dari itu menyebabkan adanya tanggung jawab moral juga pada pihak perusahaan periklanan. Mengenai promosi beradiah kepada konsumen, pihak pengiklan diharapkan dapat sepenuhnya memenuhi janjinya. Baik kuantitas dan kualitas hadiah, maupun yang menyangkut tanggal serta media yang akan digunakan untuk mengumumkan hasil-hasilnya. Selanjutnya dikatakan bahwa pesan periklanan selain mengandung unsur informasi juga mengandung unsur persuasi. Unsur informasi yang bersumber dari pengiklan agar dapat dipilah-pilah yang benar-benar menyangkut khalayak. Sedangkan perusahaan periklanan hendaknya, berupaya agar dalam menggali dan mendayagunakan unsur persuasi pada pesan-pesan periklanan, tidak menimbulkan atau mendorong terjadinya pelanggaran tata krama maupun tata cara periklanan. Pengertian iklan yang pada hakekatnya adalah “titipan opini “ dari masyarakat yang disalurkan melalui media.
5
Budyatna, op.cit., hl. 72.
Oleh karena itu media
periklanan ikut memikul tanggung jawab agar segala “opini”yang disampaikan masyarakat, tidak berbenturan dengan tatanan sosial budaya yang ada. A.3. Pengawasan Periklanan. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan perlindungan konsumen swadaya masyarakat (Pasal 30 UUPK). Bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan atau jasa yang beredar dipasar dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lainlain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha (Pasal 30 ayat (3) Penjelasan UUPK). Pada berbagai negara dengan kesadaran pengusaha-pengusaha yang berhubungan dengan periklanan terhadap berbagai dampak dari periklanan, telah mendorong mereka untuk menagadakan pengawasan sendiri atas segala perilaku periklanan yang dijalankan. Misalnya di Amerika Serikat, Reichert menyebut sebagai “advertising helpspolice itself”6 Mengenai
perkembangan
“mengawasi
perilaku
sendiri
“tersebut
sesungguhnya tidaklah dijalankan dengan “smooth.”Hak-hak dasar rakyat (Bill of rights) yang termuat dalam konstitusi Amerika. Peluang untuk menumbuhkan kreaktivitas dengan menyandarkan diri pada Bill of Rights itu, telah dijalankan sedemikian rupa, sehingga mereka mulai menyadari perlunya disediakan prasarana dan sarana untuk menjaga agar mereka tetap dalam batas-batas yang patut dan sehat. Maka untuk keperluan itu beberapa badan telah mereka bentuk dengan tugas menjalankan pengawasan atas perilaku diri sendiri, diantaranya telah didirikan lebih dari 100 kantor Better Businees Bureau, yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pengusaha, dengan tugas “to upgrade unhetical advertising”.
6 Gene Reichert, Advertising, Alexander Hamilton Institute, New York 1972, hal. 20., dalam bukunya Az. Nasution , Konsumen dan Hukum (Jakarta : Pustaka, 1995), hl.155.
Selain dari itu American Association of Advertising Agencies (AAAA), telah berusaha terus-menerus agar iklan yang diproduksi oleh perusahaanperusahaan periklanan anggotanya tetap “etis”. Dengan menerbitkan kode etik periklanan yang berjudul “Creative Code”. B.
Hak Konsumen Terhadap Promosi Produk Melalui Iklan. Salah satu kemajuan besar dari kehadiran Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dalam sistem perlindungan konsumen adalah rumusan mengenai hak-hak Konsumen. Pasal 4 UUPK merumuskan 9 (sembilan) hak konsumen, yaitu: 1)
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2)
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3)
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4)
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5)
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6)
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7)
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8)
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9)
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.7 Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, dalam setiap transaksi 7
Pasal 4 UUPK.
atau pengguaan suatu produk barang dan jasa tertentua, pihak pelaku usaha harus menjamin semua hak tersebut terpenuhi. Dari perspektif kepentingan konsumen, tahap-tahap dalam transaksi antara pelaku usaha dan konsumen, maka hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Hak atas informasi ini penting, karena informasi yang diperoleh menjadi dasar bagi konsumen untuk mengambil keputusan untuk melanjutkan transaksi atau keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan suatu produk barang dan jasa. Dengan kata lain, hak atas informasi ini penting, karena hak ini menjadi dasar bagi pelaksanaan hak-hak yang lainnya, misalnya hak untuk memilih produk yang kemudian dilanjutkan dengan hak atas fair agreement. Tanpa perlindungan atas hak informasi, konsumen akan menghadapi kesulitan dalam menentukan hakhak lainnya. Secara teoritis, informasi produk sebenarnya tidak saja untuk kepentingan konsumen, tetapi juga untuk kepentingan produsen sendiri, karena informasi tentang produk juga berfungsi sebagai tanda atau penbeda antara produk yang satu dengan produk yang lainnya.
Artinya, produk yang dijual akan dicari
konsumen karena pengetahuannya tentang produk tersebut melalui berbagai sarana informasi . Pada akhirnya, dari perspektif pelaku usaha, informasi yang disampaikan bersifat promotif, atau menjadi bagian dari strategi promosi produk. Dalam praktek hubungan antara produsen dan konsumen, iklan merupakan salah satu instrumen promosi dan sumber informasi yang paling digunakan oleh pelaku usaha. Suka atau tidak, iklan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat baik secara positif maupun negatif. Pengaruh positif iklan adalah memberikan informasi kepada konsumen sehingga memudahkan konsumen memilih produk apa yang digunakan. Melalui informasi yang didapat dari iklan, konsumen dimudahkan untuk mengetahui keunggulan suatu produk dibandingkan
dengan
produk
yang
lain
sehingga
konsumen
dapat
mempertimbangkan dengan seksama sebelum memutuskan untuk memilih. Pengaruh negatifnya adalah iklan dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Masyarakat yang sebenarnya tidak membutuhkan barang dan/atau jasa tertentu terkadang dengan
adanya iklan terpengaruh untuk membeli dan/atau memanfaatkan jasa tersebut karena di dalam iklan digambarkan seolah-olah masyarakat membutuhkannya. Sebagai sarana komunikasi dan pemasaran, iklan memegang peranan penting, sehingga iklan haruslah jujur, bertanggungjawab, tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, dan tidak boleh menyinggung perasaan dan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku, golongan, serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Iklan yang pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemesaran yang bermaksud untuk mendekatkan konsumen dengan pelaku usaha pada kenyataan sering menjadi “batu sandungan” si pelaku usaha. Hal ini disebabkan banyaknya iklan yang justru mengecewakan konsumen karena memberikan informasi yang berlebihan, menyesatkan, dan menipu. Kekecewaan konsumen akan iklan yang berlebihan, menyesatkan, dan menipu ini tercermin dengan banyaknya keluhan yang disampaikan melalui surat kabar. Kita tentu sering membaca di surat kabar misalnya di kolom Redaksi Yang Terhormat di koran kompas, dimana konsumen mengeluh tentang suatu produk kerena ternyata produk tersebut tidak sesuai dengan iklannya. Periklanan dalam pengertian-pengertian pokok Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia
ialah
seluruh
proses
yang
meliputi
penyiapan,
perencanaan, pelaksanaan dan penyampaian iklan. Dengan demikian periklanan lebih kepada manajemen iklan sebagai keseluruhan proses yang merupakan salah satu bentuk komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran, dan bukan semata-mata aspek teknis. Periklanan
harus
mampu
membujuk
khalayak
agar
berperilaku
sedemikian rupa sesuai dengan strategi pemasaran perusahaan untuk mencetak penjualan dan pemilihan dan keputusan membeli. Pengaruh iklan sebagai proses komunikasi memiliki unsur mempengaruhi khalayak penerimanya, pengaruh yang ditimbulkan itu merupakan efek yang terjadi pada diri khlayak akibat penyampain pesan komunikasi (pengusaha). Dengan demikian setiap produsen pasti mengharapkan iklannya memiliki efek tertentu pada khalayak. Efek itu menjadi tujuan komunikasi dari suatu iklan, namun bukan berarti efek yang diharapkan adalah produk yang diiklankannya tersebut akan langsung dibeli oleh
khalayak, karena walaupun tugas utamanya membantu menciptakan penjualan, iklan tidak dirancang untuk menciptkan penjualan seketika. Dengan kata lain, efek iklan bersifat jangka panjang. Pengaruh iklan terhadap khalayak, terutama konsumen sangat terasa, kebanyakan
dari
konsumen/khalayak
menentukan
pembelian
suatu
barang/produk atau menggunakan jasa ide tertentu akibat dari adanya pengaruh informasi dan persuasi iklan baik melalui televisi maupun media cetak seperti majalah, koran dan sebagainya. Terkait dengan iklan yang menippu, profesionalisme dalam beriklan sangat penting. Ketidakcermatan dapat mengubah fungsinya. Kalau hal ini sengaja, maka ia menjadi kebohongan, dan dapat dikategorikan sebagai penipuan (Fraudulent
Misrepresentation).
Setidaknya
ada
dua
kategori
untuk
misrepresentation. Misalnya menyebutkan adanya sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau sebaliknya, adanya zat tertentu dalam produk, tetapi tidak disebutkan. Kedua, adalah pernyataan yang menyesatkan (mislead). Istilah lain yang juga digunakan adalah deceptive (memperdayakan). Kecuali dua kategori itu ditemukan istilah-istilah, yakni berupa puffery, mock-ups, deceptive. Puffery adalah iklan yang menyatakan suatu produksi secara berlebihan dengan menggunakan opini subjektif. Contohnya iklan yang menggunakan kata-kata : nomor satu; terbaik; lebih unggul; pasti cocok; tiada tandingan dan ungkapan lain tanpa memberikan suatu fakta tertentu. Mock-ups, yakni cara mengiklankan sesuatu produksi dengan menggunakan tiruan. Secara konseptual, penipuan (deceptive) terjadi bila suatu iklan yang disampaikan pada proses persepsi khalayak dan hasil out put dari proses persepsi
tersebut
mempengaruhi
(1)
sikap
berbeda membeli
dengan
kenyataan
(Buying
sebenarnya
Behavior)
yang
dan
(2)
merugikan
khalayak/konsumen. Input atau masukan itu sendiri mungkin dapat diterapkan mengandung kesalahan. Hal yang lebih sulit dan kasus yang lebih umum terjadi adalah saat input atau iklan tersebut tidak secara jelas salah, tetapi proses persepsi menimbulkan kesan menipu. Sebuah penolakan mungkin tidak akan melewati saringan perhatian atau pesannya mungkin akan ditafsirkan secara kalah (ministerpreted). Padahal langkah agar khalayak mendapatkan persepsi
seperti yang diinginkan pemasang pesan merupakan proses memerlukan pertimbangan matang. Dalam hal ini perancang pesan harus memperhitungan latar pengalaman (Field of experience) dan kerangka acuan (Frame of reference) khalayak yang perlu diteliti dan dianalisa sebelumnya. B.1. Promosi Produk Dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara tegas, apakah jasa angkutan udara masuk dalam kerangka sistem hukum perlindungan konsumen. Dalam penjelasan UUPK terdapat 23 Undang-Undang yang diakui memuat norma yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Dari 23 Undang-Undang tersebut, UU No. 15 Tahun 1992 tidak termasuk di dalamnya. Penulis berpendapat, bahwa angkutan udara merupakan salah satu bentuk jasa yang tunduk pada prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen, karena penyebutan undang-undang dalam penjelasan umum UUPK hanya sebagai bentuk penegasannya saja, dan tidak bersifat limitatif. Pasal 1 UUPK merumuskan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.8 Sedangkan jasa dirumuskan sebagai berikut: “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.”9 Selanjutnya, UUPK merumuskan bahwa Promosi adalah Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen
terhadap
barang
dan/atau
jasa
yang
akan
dan
sedang
diperdagangkan.10 B.2. Larangan Dalam Melakukan Promosi Jasa. Sebagai suatu bagian dari sistem perdagangan barang dan jasa, UUPK mengakui adanya kegiatan promosi tersebut, karena promosi dari perspektif 8
Pasal 1 angka 2 UUPK. Pasal 1 angka 5 UUPK. 10 Pasal 1 angkat 6 UUPK. 9
Konsumen
merupakan
sumber
informasi
dalam
memutuskan
untuk
menggunakan suatu produk. Namun, karena promosi juga dari satu sisi lebih memenuhi kepentingan pelaku usaha, maka UUPK mengatur larangan dalam melakukan kegiatan promosi. Larangan yang diatur dalam UUPK, pada dasarnya mengatur mengenai dua hal, yaitu pertama mengenai teknik atau cara promosi dan juga mengenai substansi dari barang atau jasa itu sendiri. Dalam kaitannya dengan teknik atau cara mempromosikan jasa UUPK melarang untuk mempromosikannya seolah-olah: a.
barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
b.
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
c.
barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
d.
secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
e.
menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
f.
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.11
Apabila tebukti pelanggaran terhadap larangan tersebut di atas, UUPK juga mengatur bahwa kegiatan promosi tersebut dihentikan dan jasanya tidak dapat diperdagangakan. Dari segi substansinya,
UUPK melarang kegiatan promosi yang
menyesatkan mengenai: a.
harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.
kegunaan suatu barang dan/atau jasa;kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
c.
tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
d.
bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.12
11 12
Pasal 9 UUPK. Pasal 10 UUPK.
Di samping itu, UUPK mengatur pula mengenai promosi mengenai tarif, janji pemberian hadiah, dan pemberian hadiah melalui undian, larangan promosi dengan cara pemaksaan,
13
tidak mefnepati pesanan dan/atau kesepakatan,
14
dan larangan meproduksi iklan yang mengelabui konsumen, membuat infomrasi yang keliru/salah atau tidak tepak.
Ketentuan penting yang terkait dengan
kegiatan promosi dalam UUPK adalah mengenai sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13.
C.
Peranan
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Perlindungan Konsumen (UUPK) telah memberikan legitimasi terhadap keberadaan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Dalam Pasal 44 disebutkan bahwa: (1)
Pemerintah
mengakui
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat. (2)
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3)
Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan
kewajiban
dan
kehati-hatian
konsumen
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.
memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;membantu
konsumen
dalam
memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
13 14
Pasal 15 UUPK Pasal 16 UUPK.
d.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di Indonesia peran sebagaimana dimaksud UUPK tersebut, antara lain
telah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi perlindungan konsumen yang sudah mengalami pasang-surutnya perlindungan konsumen di Indonesia. LSM ini sudah terbiasa melakukan tugas-tugas pelayanan dan pendampingan para korban, meskipun masih dirasakan sangat terbatas serta melakukan pemantauan (monitoring) isu-isu konsumerisme15. Di bidang perlindungan konsumen (the field of consumer protection), peran yang serupa sudah sangat lama dilakukan National Association of Victim Support Schemes (NAVSS), juga dilakukan oleh badan-badan suka rela (voluntary bodies), seperti: The Citizens’ Advice Bureaux (CABx)16, The Consumers’Association17, dan The National Federation of Consumer Groups (NFCG)18, dan The British Standard Institution (BSI)19, yang memberikan advis, informasi atau dengan berbagai cara pemberian pelayanan bantuan kepada konsumen (provide services of assistance to consumers).
NAVSS yang
menerima dukungan finansial dari pemerintah, sampai tahun 1991 dengan 370 skim/pola/rencana yang tergabung, dimana 7.000 volunter lembaga ini, telah 15 Konsumerisme, yaitu: gerakan masyarakat konsumen di dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Konsumtif bermakna negatif, yaitu: mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan berdasarkan desakan psikologis semata (status sosial, iklan, dan lainlain), dan tidak rasional. Lihat: Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet.ke-1, 2000), hal.244. 16 Pada tingkat pusat, pekerjaan/kegiatan CABx dibiayai pemerintah pusat, sedangkan pada tingkat lokal dibiayai pemerintah local. Lihat: David Oughton dan John Lowry, Textbook on Consumer Law. London: Blackstone Press Ltd, 1997., hal.42-43. 17 The Consumers’ Asociation menerbitkan majalah Which? yang dipublikasikan secara luas. Majalah ini memberikan informasi tentang persaingan produk dan jasa yang diperlukan berbagai segmen masyarakat konsumen. Sampel-sampel produk dan jasa yang dipublikasikan itu, sering diprotes para pelaku usaha dengan alasan terlampau kecil dan tidak representatif. Lihat: Ibid. Pengalaman Which? juga dialami majalah bulanan Warta Konsumen yang diterbitkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak awal pendiriannya sampai saat ini. 18 NFCG melakukan koordinasi berbagai aktivitas yang mendorong dipenuhinya kepentingankepentingan lokal konsumen setempat. Kegiatan lembaga ini didanai The Consumers’ Association. Lihat: Ibid. 19 Sejak tahun 1929, BSI telah melakukan tugasnya dalam penetapan standard, dimensi dan spesifikasi barang-barang yang diproduksi. Lihat: Ibid.
menghubungi 600.000 ribu korban tindak pidana. Dukungan yang diberikan Victim Support
20
kepada para korban semula merupakan suatu kedermawanan
(charity) yang diwujudkan dalam bentuk pemberian dukungan individual kepada para korban dengan tujuan perbaikan ketentuan-ketentuan pelayanan bagi korban dan melakukan kampanye tentang hal-hal yang berkaitan korban, seperti: pemberian kompensasi dan ketentuan-ketentuan bagi korban di pengadilan.21 C.1.
Perwakilan
Konsumen
(Consumers
Representative)
dan
Resistensinya. UUPK merupakan salah satu kemajuan yang diperoleh melalui advokasiadvokasi 22 seperti itu selama lebih dari 25 tahun. Advokasi-advokasi yang telah dilakukan itu dapat disebut sebagai “filantropi” (philanthropy), yang oleh Erna Witoelar diartikan sebagai keikhlasan untuk menolong dan memberi sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara suka rela untuk kepentingan orang lain. Pada pelaksanaannya, filantropi tidaklah sekedar memuaskan keinginan untuk memberi, melainkan juga ada suatu keperdulian kepada siapa, untuk apa, dan dampak apa dari pemberian tersebut benar-benar membawa manfaat bagi yang menerima23. Menurut Witoelar, pengaturan kegiatan-kegiatan filantropi sudah diatur dengan undang-undang di banyak negara.
Pengaturan dilakukan guna
20 Victim Support, yaitu: organisasi suka rela (voluntary organization) yang memberikan perhatian pada pemberian advis dan dukungan kepada para korban kejahatan. Lihat: Ibid., hal. 414. 21 Ibid., hal.376. 22 Menurut Mansour Fakih, advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Semula di masa Orde Baru, advokasi selalu diberi makna sebagai usaha-usaha makar kalangan anti kemapanan untuk merongrong pemerintah yang sah, padahal makna sebenarnya tak seperti itu. Advokasi bukan suatu revolusi, tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Pengertian advokasi di sini tidaklah sekedar kegiatan beracara di peradilan (litigasi) yang dilakukan para advokat/pengacara, melainkan sangat luas, dalam hal ini advokasi untuk keadilan sosial(social justice), yaitu advokasi yang justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama. Kepentingan para korban menjadi agenda pokok dan penentu arah advokasi. Lihat: Mansour Fakih, “Memahami Makna Advokasi”, dalam Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo (ed), Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi untuk Organisasi Non Pemerintah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, REaD, dan INSIST, 2000), hal.iii-vi. 23 Kata Pengantar Erna Witoelar, mantan Presiden Consumers International (CI), dalam kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Asia Pasific Philantrophy Consortium (APPC), dalam Thomas Silk (ed.), Filantropi dan Hukum di Asia: Tantangan untuk Indonesia (Jakarta: Asia Pasific Philantrophy Consortium, 1999), hal.5-6. Edisi bahasa Inggris buku ini diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Philantrophy Law in Asia. Lihat: Thomas Silk (et.al), Philantrophy and Law in Asia (San Fransisco: JosseyBass Inc, 1999).
mempermudah, mendorong, serta memberi insentif bagi upaya filantropi, serta mencegah penyalahgunaan filantropi untuk kepentingan pribadi, politik, komersial, dan sebagainya.24 Keinginan mengatur Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)25, sebutan UUPK terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam UUPK mengingatkan kita pada keinginan Pemerintah Orde Baru untuk mengatur LSM dengan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) yang mengacu pada sejumlah peraturan perundang-undangan terkait,26 yang pokok-pokok persoalannya telah disosialisasikan dalam Forum Komunikasi antara Pemerintah dan LSM pada awal Februari 199427. Dalam perkembangannya lebih lanjut, resistensi terhadap kegiatankegiatan filantropi yang dilindungi UUPK ini semakin mengemuka setelah berlakunya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No.49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4282). Terutama Pasal 31 UU Advokat berikut ini: “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.” Dalam salah satu publikasi di media massa dikemukakan: “Apakah Pengurus LSM masih dapat melakukan tindakan hukum mewakili kepentingan masyarakat?”.28 24
Resistensi tersebut tampil ke permukaan sebagai akibat
Ibid. Menurut Pasal 1 butir 9 UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 26 Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993 (GBHN 1993), Undang-undang No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No.8 tahun 1985, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1990 tentang Pembinaan LSM, dan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sosial No. 78 tahun 1993 tentang Pembinaan Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketentuan-ketentuan terkait itu dirujuk dalam Konsep Bahasan Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Kemasyarakatan tanggal 10 Februari 1994, yang disusun dan dipersiapkan oleh Direktorat Pembinaan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri. 27 Zaim Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1995), hal. 134-137. 28 Headline publikasi tersebut berbunyi: “Penjara 5 Tahun bagi Pemberi Jasa Hukum”. Sejumlah issue dipertanyakan, yaitu: “Apakah personil biro hukum yang bukan/belum menjadi Advokat pada instansi pemerintah atau swast, dapat mewakili instansinya baik di dalam maupun di luar pengadilan?; Apakah Konsultan Hukum yang selama ini ada tapi bukan Advokat masih dapat memberikan Jasa Konsultasi Hukum pada kliennya?; Apakah semua tindakan mewakili yang menggunakan Surat Kuasa harus dilakukan oleh Advokat?; Apakah anggota TNI dan POLRI masih dapat mendampingi anggotanya di pengadilan?; Apakah debt collector dari Bank dan Perusahaan Leasing masih dapat melakukan penagihan 25
pemahaman Undang-Undang (UU) tidak dalam kerangka sistem hukum di Indonesia.
Padahal berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UUPK, Pengurus LPKSM
memiliki tugas kemasyarakatan di bidang perlindungan konsumen. Menyangkut pemahaman tersebut, dalam amar Putusan Perkara No.006/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004 (dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 103 Tahun 2004, terbit Selasa, 24 Desember 2004), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 31 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Indonesia serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. C. 2. Legal Standing (Hak Gugat Organisasi non Pemerintah) Sebagai Bagian dari Penyelesaian Sengketa Konsumen. Istilah “legal standing” terkait dengan konsep locus standi/prinsip persona standi in judicio (the concept of locus standi), yaitu: seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat. Kata seseorang di sini diperluas pada badan hukum.
Badan hukum
(rechtpersoon; legal entities; corporation) sebagai subjek penggugat ataupun tergugat bukanlah hal yang sama sekali baru. Seseorang dianggap mempunyai kepentingan yang memadai (sufficient interest) atau locus standi berkaitan dengan suatu pokok masalah/perkara (subject matter), jika hak-hak perseorangannya (personal rights) dilanggar. Konsep tersebut telah diperluas untuk kebutuhan penegakan hukum. Pengadilan telah menunjukkan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar terhadap konsep tersebut.29 Hal baru yang sebenarnya menyangkut penegakan hukum, yaitu: ada tidaknya kepentingan langsung penggugat dengan objek sengketa.
Dalam
doktrin hukum perdata sudah lazim dikenal asas tiada gugatan tanpa kepentingan (point d’interet, point d’action).
Doktrin ini sudah sering dan
pada Kredit Macet?; Apakah Pengurus LSM masih dapat melakukan tindakan hukum mewakili kepentingan masyarakat?” (Kursif oleh penulis/peneliti). Publikasi tersebut diumumkan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dalam penyelenggaran Seminar yang direncanakan Kamis, 29 Januari 2004, Pukul 09.00-17.00 di Kirana Ball Room, Hotel Kartika Chandra, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Lihat: Kompas, Selasa, 20 Januari 2004, hal.18. 29 “…he has sufficient interest or locus standi (right to interfere) in respect to the subject matter, that is, when his personal right has somehow been infringed. However, the concept of having a legal standing has been liberalized and the courts have shown a great deal of flexibility.” Lihat: Reaching Justice (Consumer Law for Activists) (Calcutta, India: Consumer Unity & Trust Society/CUTS, 1997), hal.69.
dirujuk dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia.
Tak
berlebihan bila dikatakan doktrin ini sudah menjadi yurisprudensi tetap. Namun tanpa kepentingan (langsung) pada objek gugatan, badan hukum (seperti: Yayasan) diperkenankan bertindak sebagai penggugat jika telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Menurut Pasal 46 ayat (1) butir c dan ayat (2) UUPK, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat diajukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di peradilan umum.
LPKSM itu harus
memenuhi persyaratan, yaitu: (1) berbentuk badan hukum atau yayasan; (2) di dalam Anggaran Dasarnya disebutkan secara tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen; (3) telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar. Subjek penggugat, yaitu: Organisasi non Pemerintah (Ornop) (non gonvernmental
organizations,
disingkat
NGO)
atau
Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Konsumen bukanlah subjek penggugat dalam prosedur gugatan legal standing ini. Sedangkan Subjek tergugat, yaitu: Pelaku Usaha. Istilah “Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)” diusulkan oleh Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan Ornop yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan di Ungaran pada tahun 1978.
Pada awalnya diusulkannya nama
Lembaga Pembinaan Swadaya Masyarakat, namun kemudian diubah menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat, dan akhirnya diubah menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat.
Akhirnya disepakati untuk mengganti sebutan Ornop
(NGO) dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), meskipun di lingkungan pergaulan internasional sebutan Ornop (NGO) masih dipakai dan lebih dipahami30.
30 Sebastian Saragih dalam Susanto Agus dan Sumantri Bambang Sigap. Lihat: Sebastian Saragih, Membedah Perut LSM (Jakarta: Puspa Swara, 1995), hal.7-8. Mansour Fakih secara konsisten sampai saat ini tetap menggunakan sebutan Ornop (NGO) untuk LSM. Lihat: Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo (ed), Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi untuk Organisasi Non Pemerintah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ReaD dan INSIST, 2000). Dalam bukunya yang lain, Fakih mengemukakan bahwa istilah NGOs (baca: NGO) dan LSM merupakan konsep dan memiliki akar sejarah yang berbeda. Dengan merujuk pada George Junus Aditjondro ia mengemukakan bahwa istilah LSM
Ornop dapat berbadan hukum berbentuk yayasan31 sebagaimana dimaksud Undang-undang No.16 tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.16 Tahun 2001 selanjutnya disebut Undangundang Yayasan. Sejumlah Ornop dengan bentuk “yayasan” sudah lama menjalankan aktivitasnya jauh sebelum Undang-undang Yayasan diundangkan. Diantaranya, yaitu:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Menanggulangi Masalah Merokok, dan Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau.
Ada pula Ornop yang tidak berbadan hukum, misalnya:
kelompok-kelompok pencinta alam atau kelompok-kelompok konsumen. Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disingkat UUPK, tidak menggunakan istilah Ornop, melainkan menggunakan istilah “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat” (LPKSM). Dalam Pasal 1 butir 10 UUPK ditentukan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Istilah yang digunakan UUPK tersebut analog dengan istilah LSM; tinggal menambahkan “PK” (Perlindungan Konsumen) antara huruf “L” (Lembaga) dan “SM” (Swadaya Masyarakat).
Yang menarik pada batasan
LPKSM tersebut, Pembentuk Undang-undang mengintroduksi “lembaga nonpemerintah” dalam batasan LPKSM.
Jadi, semestinya tak akan ada lagi
perdebatan yuridis formal tentang pengggunaan sebutan Ornop dengan LSM. Bila semula ada pemahaman bahwa istilah/sebutan Ornop selalu diasosiasikan anti pemerintah, sedangkan LSM dipahami sebagai istilah/sebutan yang netral, kini kedua istilah/sebutan melebur jadi satu khusus untuk perlindungan
mengandung masalah di dalamnya. Lihat: Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Pergolakan Ideologi LSM Indonesia) (Cet.Kesatu) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.3 dan 34. 31 Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.16 Tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan (LNRI Tahun 2001 Nomor 112, TLNRI No.4132) sebagaimana diubah terakhir dengan Undangundang No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.16 Tahun 2001 (LNRI Tahun 2004 No.115, TLNRI No.4430), Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
konsumen. Diperkirakan perdebatan akan beralih pada istilah “terdaftar” dan “diakui”32. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, di bidang perlindungan konsumen, secara legalistik formal menurut UUPK Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat (Pasal 44 ayat (1) UUPK). Yang dimaksudkan “memenuhi syarat”, yaitu: antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.33 Kata “antara lain” di situ berarti masih diperlukan persyaratan-persyaratan lain bagi Ornop yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Ada tidaknya pengakuan Pemerintah terhadap Ornop perlindungan konsumen didasarkan pada kriteria dipenuhi tidaknya syarat-syarat yang ditentukan. Pasal 44 UUPK tidak mengatur syarat-syarat tersebut; pada ayat (4) nya ditegaskan tugas LPKSM akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Menurut Pasal 2 ayat (1) PP No. 59 tahun 2001 tanggal 21 Juli 1999 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (disingkat PP LPKSM), terdapat dua syarat untuk diakui sebagai LPKSM, yaitu: (1) terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; (2) bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM. Maksud pendaftaran, yaitu: sebagai pencatatan dan bukan perizinan (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) PP LPKSM).
LPKSM yang sudah terdaftar itu
diperkenankan membuka kantor perwakilan atau cabang di daerah lain dan 32 Yusuf Shofie, “Menyoal Status Lembaga Perlindungan Konsumen”, artikel Koran Tempo, 11 Februari 2002. Dalam perkara gugatan legal standing perbuatan melawan yang melibatkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) (Penggugat I), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3) (Penggugat II), Yayasan Jantung Indonesia (YJI) (Penggugat III), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT) (Penggugat IV), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) (Penggugat V) melawan (PT Djarum Kudus Tbk (Tergugat I), PT HM Sampurna Tbk (Tergugat II), PT Prada Suara Production (Tergugat III), PT Citra Lintas Indonesia (Tergugat IV), PT Metro Perdana Indonesia Advertising (Tergugat V), PT Radjawali Citra Indonesia (RCTI) (Tergugat VI), PT Surya Citra Televsisi (Tergugat VII), PT Jurnalindo Aksara Grafika (Tergugat VIII) dan PT Era Media Informasi (Tergugat IX), dengan register No. 278/Pdt.G/2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Materi gugatan menyangkut, yaitu: gugatan legal standing pelanggaran jam tayang dan isi iklan rokok berdasarkan Undang-undang Kesehatan (UUK) dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, dalam hal ini melindungi hak konsumen atas keamanan dan keselamatan yang dijamin Pasal 4 butir a UUPK. Dalam perkara ini, para tergugat mempersoalkan eksistensi para penggugat sebagai LPKSM. Sementara proses peradilan berjalan, gugatan kelima Onrop/NGO tersebut didesak untuk dicabut oleh Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) di Jember pada tanggal 7 September 2002. Gugatan itu dinilai untuk kepentingan sepihak, tanpa memikirkan nasib petani. Menurut Abdus Setiawan, Sekretaris Jenderal APTI, dampak gugatan itu akan menimpa 6 juta orang yang menggantungkan nasib di agrobisnis tembakau dan cengkih, padahal industri rokok mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja. Lihat: “Petani Desak LSM Cabut Gugatan Iklan Rokok”, Koran Tempo, 10 September 2002. 33 Periksa Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UUPK.
tidak perlu lagi melakukan pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten/ Kota dimana kantor perwakilan atau cabang berada, melainkan melaporkan keberadaan kantor perwakilan atau cabang LPKSM itu.34 Bila kedua persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka LPKSM tersebut dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia.
Adapun tata cara
pendaftaran LPKSM (Pasal 2 ayat 3 PP LPKSM) pembatalan pendaftaran LPKSM (Pasal 10 ayat (2) PP LPKSM) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Keputusan Menteri dimaksud yang telah diterbitkan ternyata direvisi kembali dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.480/MPP/Kep/6/2002 tanggal 30 Juni 2002 tentang Perubahan atas Keputusan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Penggunaan kata “anggaran dasar” pada Pasal 2 ayat (1) butir b PP LPKSM ini mengingatkan penulis pada kata “anggaran dasar yayasan” sebagaimana dimaksud Pasal 14 Undang-undang Yayasan (UUY).
Melalui
ketentuan Pasal 14 UUY ini, anggaran dasar LPKSM harus sesuai dengan UUY. Menurut Pasal 14 ayat (2) UUY, anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat: (1) nama dan tempat kedudukan; (2) maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; (3) jangka waktu pendirian; (4) jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda; (5) cara memperoleh dan penggunaan kekayaan; (6) tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; (7) hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas; (8) tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; (9) ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; (10) penggabungan dan pembubaran yayasan; dan (11) penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. Menurut Pasal 10 ayat (1) PP LPKSM, Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM, jika LPKSM tersebut: (1) tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau; (2) terbukti melakukan kegiatan pelanggaran 34
Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (1) PP LPKSM.
ketentuan UUPK dan peraturan pelaksanaan UUPK. Alasan pembatalan butir (2) itu terlalu berlebihan, karena subjek norma-norma UUPK bukanlah LPKSM, melainkan pelaku usaha. Terdapat 3 (tiga) hal penting yang ingin dicapai melalui gugatan legal standing35. Pertama, kredibilitas dan konsistensi kegiatan-kegiatan/upayaupaya Ornop/NGO diuji secara hukum, meskipun tanpa lewat gugatan legal standing bisa jadi kredibilitas dan konsistensinya mendapatkan apresiasi yang luar biasa di mata publik.
Oleh karena itu, saya menyebut gugatan legal
standing sebagai Forum hukum Ornop/NGO. Pada kenyataannya, tidak jarang keterlibatan/keaktifan Ornop/NGO dengan bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah menunjukkan secara faktual kredibilitas Ornop/NGO di mata Pemerintah dan publik (masyarakat luas).
Tidak berlebihan bila
keterlibatan/keaktifan tersebut sebagai pengakuan Pemerintah terhadap Ornop/NGO tersebut. Kedua, perbaikan kebijakan yang ditempuh pelaku usaha di dalam berbagai kegiatannya di bidang ekonomi, seperti: kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa; kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa; kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa; serta kegiatan pasca transaksi penjualan barang dan/atau jasa. Kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan di bidang ekonomi merupakan kriteria untuk menilai ada tidaknya perbaikan dan/atau peningkatan kebijakan yang ditempuh pelaku usaha menyangkut kegiatan-kegiatannya tersebut, baik pada saat pra transaksi, transaksi dan pasca transasksi barang dan/atau jasa.
Dalam hubungan ini,
menarik untuk dikemukakan di sini pendapat Mas Achmad Santosa, seorang ahli hukum terkemuka di Indonesia, ketika mengkritisi perkara gugatan legal standing (hak gugat organisasi) di bidang lingkungan dalam perkara antara Yayasan WALHI vs PT Inti Indorayon Utama (PT IIU). Ia sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut bahwa gugatan legal standing tersebut merupakan upaya penegakan peraturan perundangundangan (baca: lingkungan hidup) agar Tergugat menghormati hak-hak 35 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK): Teori dan Praktek Penegakan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, Cet.ke-1), hal.98-101.
subjektif pihak lainnya.36 Di bidang perlindungan konsumen, ada tidaknya sikap pro
aktif
pemerintah
terhadap
pelanggaran-pelanggaran
norma-norma
periklanan dalam UUPK, gugatan legal standing37 dapat ditempuh Ornop/NGO di bidang perlindungan konsumen. Gugatan legal standing memberikan status hukum yang sah bagi Ornop/NGO mewakili kepentingan konsumen melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran satu atau lebih norma UUPK.
Pelanggaran dapat saja terjadi, diketahui dan/atau
dirasakan akibat-akibatnya pada tahap pra transaksi, tahap transaksi dan/atau pasca transaksi. Ketiga, dalam doktrin legal standing yang diketengahkan Mas Achmad Santosa, tuntutan ganti kerugian moneter tidak diperkenankan diajukan dalam gugatan legal standing, kecuali ganti kerugian sepanjang atau terbatas pada kerugian atau ongkos-ongkos yang diderita atau dikeluarkan oleh Para Penggugat, bukan ganti kerugian yang mengatasnamakan orang banyak.38 Saya sependapat dengan pandangan ini bahwa kalaupun tuntutan ganti kerugian moneter diajukan, maka tuntutan tersebut bukan untuk Ornop/NGO an sich. Meskipun doktrin legal standing tidak sama sekali baru bagi kalangan akademisi dan Ornop/NGO, pendirian hakim di Indonesia belumlah konstan mengenai pengecualian pengajuan petitum ganti kerugian dalam gugatan legal standing. Hingga kini sebagai praktisi hukum, saya masih melihat hampir semua perkara yang diajukan dalam proses perkara perdata dikenakan biaya perkara, tanpa pandang bulu. Hampir tak ada akuntabilitas terhadap publik, diperuntukkan untuk apa saja biaya perkara. C. 3. Praktek Gugatan Legal Standing. 36 Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing) (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law/ICEL, 1997), hal. hal.28-29. 37 Bandingkan dengan pendapat Pandjaitan yang mengatakan: “… Pasal 17 ayat (1) huruf f UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan jalan tol yang luar biasa bagi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat untuk melakukan gugatan bagi semua pelaku usaha periklanan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Dengan ketentuan yang demikian, maka semua iklan yang melanggar peraturan perundangundangan yang ada seperti UU No.23 tahun 1992 jis PP No.81 tahun 1999 dan PP No.38 tahun 2000, UU No.24 tahun 1997, UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No.8 tahun 1999 sendiri dapat dituntut oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat melalui mekanisme gugatan legal standing. Lihat: Hinca Pandjaitan, “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah: Suatu Catatan Kritis Legalistik”, makalah pada Diskusi Panel dengan tema “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah”, di Jakarta, 22 Februari 2001, diselenggarakan Lembaga Pengkajian ESCOM dan R & R Strategic Communications, hal.16. 38 Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, op.cit., hal.23.
Terhadap pelaksanaan Acara Promosi “Pall Mall Top 40 the Party” dengan tajuk “Cruissing the Night Shaking Party”, termasuk juga acara “Dress You Up”39,
Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak, disebut
Yayasan
KAKAK/ Penggugat menggugat PT British American Tobacco (BAT) Indonesia Tbk/ Tergugat I, PT Ardan Komunika/ Tergugat II, Herman Ardianto, Direktur Biz Plus Syndicate/ Tergugat III, PT Graha Mulya Wirastama, pengelola Quality Hotel/ Tergugat IV, dan Kepolisian RI cq Kepolisian Daerah Jawa Tengah cq Kepolisian Wilayah Surakarta cq Kepolisian Resort Kota Surakarta/ Tergugat V) . Dalam kasus seperti ini, tidak mudah mengidentifikasi korban, __terdapat suatu abstract victim __ sehingga peranan yang dilakukan Yayasan KAKAK untuk melindungi masyarakat luas perlu mendapatkan suatu apresiasi dari komunitas hukum sebagai bentuk kepedulian publik atas pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat konsumen. Atas gugatan Yayasan KAKAK tersebut, melalui putusan tanggal 12 Nopember 2001 No. 127/Pdt.G/2000/PN Ska
Pengadilan Negeri Surakarta
menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:40 Dalam Konpensi: A. Dalam Eksepsi - Menyatakan menerima eksepsi Tergugat I butir ke-1.4, butir ke-1.6, butir ke-1.10, butir ke-1.11.5 dan butir ke-1.12, eksepsi Tergugat II butir ke-2 dan butir ke-4, ekspsi Tergugat IV butir ke-1, dan eksepsi Tergugat V butir ke-1 dan butir ke-3; B. Dalam Pokok Perkara - Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; - Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga putusan ini terhitung sebesar Rp 605.000 (enam ratus lima ribu rupiah); Dalam Rekonpensi: 39 Perusahaan rokok makin tak peduli rambu-rambu periklanan dan promosi. Unsur seks dan funky makin ditonjolkan agar kaum muda usia kian terangsang untuk jadi perokok. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Solo dan Yogyakarta mengajukan somasi kepada Pall Mall karena mengadakan “kontes nyaris telanjang”. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial mengecam keras produsen Pall Mall dan mendukung somasi tadi. Di setiap kota seperti: Bandung, Solo, Semarang dan Yogya, penonton disuguhi tarian sejumlah gadis muda berpakaian minim. Masih ada pula kontes adu berani tampil dengan pakaian minim dan goyang merangsang. Di Solo, acara yang terakhir ini dijuluki Dress You Up, namun yang terjadi malah sebaliknya, yaitu: siapa paling berani mencopot penutup tubuh dia yang menang. Pemenangnya diiming-imingi hadiah Rp 300.000. Lihat: “Acara Promosi Rokok Pall Mall Disomasi”, Kompas, 28 September 2000; “PT BAT Indonesia Bantah Promosi Pall Mall Langgar Norma”, Kompas, 4 Oktober 2000; “Dirjen POM Dukung Somasi terhadap Pall Mall”, Kompas, 2 Oktober 2000; dan “Copotlah Baju dan Isaplah Pall Mall”, Kompas, 3 Oktober 2000. 40 Dari rekan Emmy L. Smith, salah seorang Pengurus Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Yayasan KAKAK) diperoleh penjelasan Yayasan KAKAK telah mengajukan banding atas putusan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 127/Pdt.G/2000/PN Ska tanggal 12 Nopember 2001.
A. Dalam Provisi - Menolak tuntutan provisional Penggugat Rekonpensi B. Dalam Eksepsi - Menyatakan menerima eksepsi Tergugat Rekonpensi C. Dalam Pokok Perkara - Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima - Biaya perkara nihil Terdapat beberapa catatan hukum atas putusan tersebut yang menarik untuk diulas di sini.41 Pertama, Yayasan KAKAK telah didirikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu: dengan suatu akta notaris dan kemudian telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan sebagaimana ditunjuk di dalam anggaran dasar yang merupakan bagian dari akta pendirian Yayasan KAKAK, sehingga karenanya keberadaannya sebagai yayasan adalah sah dan diakui sebagai badan hukum. Kedua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) wajib didaftarkan pada instansi yang berwenang untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaannya, namun
perubahan
peraturan
atau
lahirnya
peraturan
baru
tidaklah
menghapuskan pengakuan terhadap suatu LSM yang sebelumnya telah ada, dalam hal ini Yayasan KAKAK telah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan pada Kantor Sosial Politik Kabupaten Karanganyar; artinya yayasan tsb dapat melakukan kegiatannya seluruh wilayah RI. Oleh karenanya Yayasan KAKAK memiliki legitima persona standi in judicio untuk melakukan gugatan melalui legal standing. Ketiga, untuk bertindak di muka Pengadilan, suatu yayasan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri harus diwakili oleh pengurusnya sesuai Anggaran Dasar, dalam hal ini Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK. Ketiadaan alat bukti, baik Berita Acara Rapat Dewan Pendiri atau Surat Keputusan Dewan Pendiri tentang Pengangkatan Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK, mengakibatkan kuasa untuk mengajukan gugatan yang diberikan ketiga orang Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK menjadi cacad hukum dan karenanya tidak sah. Keempat, prinsip hukum gugatan legal standing, yaitu: pihak penggugat adalah suatu organisasi yang tidak mempunyai kepentingan langsung
41
Yusuf Shofie, op.cit., hal. 104-106.
dengan pokok perkara dan karenanya bukan merupakan pihak yang dirugikan; sesuai Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka gugatan legal standing semata-mata hanya ditujukan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha. Kelima, ketidakhadiran salah satu pihak tergugat di persidangan (Tergugat III) dan kekeliruan penyebutan alamat tergugat tsb tidaklah berakibat gugatan menjadi kurang pihak, melainkan hanya mengakibatkan gugatan Penggugat khusus terhadap tergugat tsb dinyatakan tidak dapat diterima. Keenam, tuntutan permintaan maaf mestinya diikuti dengan tuntuan pembayaran uang paksa (dwangsom), agar bila tuntutan tsb dikabulkan dan kemudian tidak dilaksanakan secara suka rela, maka putusan atas tuntutan tersebut dapat dilaksanakan (executable). Permintaan maaf pada dasarnya adalah merupakan ungkapan perasaan dari salah satu pihak kepada pihak lain yang disampaikan secara verbal atau visual yang di dalamnya terkandung itikad baik dan penyesalan sehubungan dengan peristiwa yang telah terjadi atau suatu perbuatan yang telah dilakukan, sehingga bentuk dan ukuran permintaan maaf bukanlah merupakan suatu hal yang utama. Berkaitan dengan acara “Pall Mall Top 40 The Party”, permintaan maaf yang telah dilakukan Tergugat I dan Tergugat IV telah cukup pantas dan mewakili semua pihak yang terlibat dan kegiatan tsb, serta tergugat-tergugat telah menghentikan kegiatan selanjutanya dan tidak menyelenggarakan acara serupa. Dalam Putusan Perkara No. No. 278/Pdt.G/2002 tanggal 28 Maret 2003, yaitu: gugatan legal standing pelanggaran jam tayang dan isi iklan rokok berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (disingkat
UUK)
dan
peraturan
perundang-undangan
pelaksanaannya,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan. Dalam amar putusan tersebut, sejumlah eksepsi yang tidak biasa dalam perkara-perkara lainnya diajukan Para Tergugat, namun ditolak Majelis Hakim perkara a quo. Sebaliknya majelis menolak gugatan Para Penggugat dan mengabulkan sebagian gugatan rekonpensi Tergugat. Meskipun putusan a quo belum berkekuatan hukum tetap, karena masih dilakukan upaya hukum oleh kuasa hukum Para Penggugat, beberapa catatan layak untuk dikemukakan sebagai bahan diskusi
para ahli hukum untuk pengembangan ilmu dan praktik
42.
Pertama, gugatan
tersebut diajukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, dalam hal ini melindungi hak konsumen atas keamanan dan keselamatan yang dijamin Pasal 4 butir a UUPK. Uniknya soal kualitas produknya sendiri, dalam hal ini, produk rokok, tidaklah termasuk dalam komoditas barang dan/atau jasa yang dimaksudkan UUPK.
Kualitas rokok bukanlah masalah perlindungan
konsumen. Ornop/NGO yang bertindak sebagai para penggugat tidak pernah menangani pengaduan masalah kualitas/mutu rokok. Perlindungan konsumen menyangkut masalah-masalah: bioteknologi (biotechnology), perilaku pelaku usaha, bahan-bahan berbahaya (chemicals), pendidikan konsumen, lingkungan hidup, teknologi informasi, pemasaran dan periklanan (marketing and advertising), obat-obatan (pharmaceuticals), keamanan produk (product safety), rokok (tobacco), dan sebagainya.43
Jadi, produk rokok tidaklah
42 Perkara gugatan legal standing perbuatan melawan hukum di bawah daftar No. 278/Pdt.G/2002 tanggal 30 Mei 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. LSM yang menggugat adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), dan Yayasan Kanker Indonesia. Pihak tergugat adalah PT Djarum Kudus Tbk, PT HM Sampoerna Tbk, PT Perada Swara Production, PT Citra Lintas Indonesia, PT Metro Perdana Indonesia Advertising, PT Radjawali Citra Televisi Indonesia, PT Surya Citra Televisi, PT Jurnalindo Aksara Grafika sebagai penerbit harian Bisnis Indonesia, dan PT Era Media Informasi sebagai penerbit majalah Gatra. Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat Tulus Abadi, Sudaryatmo, Paulus R. Mahulette, Carrel Ticualu, Freddy K Simanungkalit dan Sularsi serta rekan-rekan lainnya di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3), Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) atas kesempatan bertukar pikiran dalam berbagai kesempatan selama persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lihat juga: Yusuf Shofie, op.cit., hal.104-106. 43 Lihat Replik Para Penggugat tanggal 5 September 2002 dalam perkara tersebut, antara lain dikutipkan sebagai berikut: “Gugatan Penggugat memang bukan soal kualitas barang dan/atau jasa __ betapa pun “sangat tingginya kualitas rokok” yang diproduksi, diiklankan dan dijual Para Tergugat, rokok tetap membahayakan kesehatan! Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 butir a UUPK). Jadi, menurut sistem UUPK, soal “kualitas/mutu rokok”, bukanlah masalah perlindungan konsumen. Dari sejak berdirinya Para Penggugat menolak “kualitas/mutu rokok” sebagai komoditas barang dan/atau jasa dalam perlindungan konsumen sehingga tidak pernah menangani pengaduan kualitas/mutu rokok” (hal.7). Uraian tentang isu bahaya merokok merupakan bagian dari perlindungan konsumen, lihat: Rajeswari Kanniah, International Law and the Consumer Interest: A Select Annotated Bibliography of International Instruments relating to Consumer Protection, Penang, Malaysia: International Organization of Consumers Unions Regional Office for Asia and Pasific, April 1990; dan “Consumers International and the FCTC”, The AP Consumer Vol.28 2/2002, Kualalumpur, Malaysia: Consumers International Regional Office for Asia dan the Pasific.
termasuk
komoditas
yang
berhak
mendapatkan
perlindungan
hukum
berdasarkan UUPK. Kedua, gugatan legal standing tersebut dilakukan dengan pendekatan sistemik berdasarkan Undang-undang Kesehatan (UUK) dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya.
Terlepas dari terbukti
tidaknya dugaan pelanggaran-pelanggaran hukum oleh para tergugat, gugatan tersebut tetap dalam koridor sistem hukum, dalam hal ini UUPK sebagai sub sistem dari sistem hukum nasional (Pasal 46 ayat (1) butir c UUPK jo. Pasal 64 UUPK
jo. UUK dan PP Peraturan Pemerintah No.81 tahun 1999 tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan). Ketentuan-ketentuan UUK dan PP-PPnya tersebut merupakan lex generali terhadap UUPK.
D.
Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Dari sudut politik hukum pidana/kebijakan kriminal (criminal policy)44,
belum atau tidak ditegakkannya norma-norma tindak pidana korporasi dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK),
setelah
setahun
lebih
sosialisasi
UUPK
(1999-2000),
dapat
menimbulkan kesan proses kriminalisasi yang dilakukan UUPK tidak didasarkan pada penilaian-penilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi mengenai
44
Tidak ada perbedaan prinsipil tentang pengertian “politik hukum pidana” dan “kebijakan kriminal”, yang ada hanyalah perbedaan istilah semata. Ketika mengurai reformasi hukum (law reform), khususnya menyangkut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disebutnya sebagai lappedeken, yaitu semacam selimut yang dibuat dari serpihan kain yang beraneka warna yang dijahit menjadi satu, Sudarto menjelaskan politik hukum pidana sebagai berikut ini: “… Hal ini menyangkut politik hukum pidana. Yang dimaksud dengan politik hukum ialah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarkat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat.” (Kursif dari penulis). Lihat: Sudarto (a), Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal.93-94. Pada bagian lain tulisannya, Sudarto memberikan penjelasan politik hukum pidana dengan istilah “politik kriminil” sebagai berikut: “Politik kriminil ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminil itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; sedang dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badanbadan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.” (Kursif dari penulis). Lihat: Sudarto (b), Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal.113-114. Lihat pula: Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.1. Terdapat pula rumusan serupa tentang politik kriminil dari Marc Ancel dalam Muladi dan Arief sebagai berikut: “Politik kriminil ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat”. Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hal.157.
pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem hukum nasional45. Terdapat dua masalah sentral dalam politik hukum pidana/kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu masalah penentuan:46 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; 2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana korporasi dalam UUPK telah melalui proses sosial dan proses politik yang sangat panjang dan melelahkan.47 Proses sosial dan proses politik itu mempunyai arti yang sangat penting dan pengaruh luas bagi masyarakat, termasuk di sini upaya konsientisasi hak-hak konsumen, sosialisasi nilai-nilai yang dikandung dalam gerakan konsumerisme, dan sebagainya.
Biaya proses sosial dan politik yang
telah dijalani selama ini, termasuk di dalamnya pengorbanan kepentingankepentingan 200 juta konsumen Indonesia yang ditelantarkan dan tidak diakui hukum pada saat itu, menjadi sia-sia, bila belum ada kemauan politik (political will) dari Pemerintah untuk menegakkan UUPK. D.1. Kriteria Penggunaan Hukum Pidana. Menurut Sudarto, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi, yaitu:48 1. Sebagai sarana yang tidak sempurna (berfungsi subsider), tujuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dicapai demi perlindungan/ kesejahteraan masyarakat; 2. Perbuatan-perbuatan
yang
dicegah
oleh
hukum
pidana
merupakan
perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yang mengakibatkan kerugian masyarakat atau korban;
45
Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.ke-1, 2002), hal.57. Menurut Muladi dan Arief, kesan seperti itu menimbulkan akibat: 1) krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization) dalam bentuk meningkatnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi; 2) krisis pelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law) ditunjukkan efektifnya usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.163. 46 Ibid., hal.160. 47 “Perjalanan RUU Perlindungan Konsumen”, Warta Konsumen, 1990: 194, Tahun XVII, Mei 1990 (Macetnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen), hal.9 48 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44-48. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.161.
3. Prinsip biaya dan hasil (cost-benefit principle) harus diperhatikan dalam menggunakan hukum pidana; artinya apakah hasil yang ingin dicapai memadai dengan biaya yang dikeluarkan; 4. Kemampuan daya kerja badan-badan (polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya) yang ditugaskan untuk menegakkan hukum pidana cukup memadai sehingga tidak terjadi kelampauan bebas tugas (overbelasting). Marshal B. Clinard dan Peter C. Yeager memberikan beberapa kriteria, yang
pada
umumnya
diterapkan
dalam
keputusan-keputusan
untuk
menggunakan hukum pidana (to bring a criminal action) terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korporasi, yaitu:49 1. Derajat kerugian terhadap publik (The degree of loss to the public); 2. Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager korporasi (The level of complicity by high corporate managers); 3. Lamanya pelanggaran (The duration of the violation); 4. Frekuensi pelanggaran oleh korporasi (The frequency of the violation by the corporation); 5. Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran (Evidence of intent to violate); 6. Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus-kasus suap (Evidence of extortion, as in bribery cases); 7. Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media (The degree of notoriety engendered by the media); 8. Kebiasaan hukum/ putusan-putusan yang sama dalam perkara-perkara yang datang belakangan dengan putusan-putusan terdahulu (Precedent in law); 9. Riwayat pelangaran-pelanggaran serius oleh korporasi (The history of serious violations by the corporation); 10. Kemungkinan pencegahan (Deterence potential); 11. Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi (The degree of cooperation evinced by the corporation). Sejalan dengan pemikiran Muladi tentang fungsionalisasi hukum pidana dalam mengatasi tindak pidana korporasi, penggunaan instrumen hukum pidana 49
hal.93.
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime. New York: The Free Press, 1983..,
tidaklah berlebihan. Membunuh seekor lalat tidaklah perlu menggunakan pistol atau meriam. Artinya penggunaan instrumen hukum itu terhadap tindak pidana korporasi, tidaklah berlebihan. Akibat-akibat yang ditimbulkan tindak pidana korporasi tidaklah dapat dikatakan ringan atau sepele, sehingga menurut Muladi pada bagian, perlu pengorganisasian kebijakan kriminal (criminal policy) secara sistematis sebagaimana dikutipkan berikut ini:50 “Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi …, maka sangat beralasan untuk mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy) guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala…” Mardjono
Reksodiputro
menyebutkan
bahwa
bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) lainnya, seperti: kurang tanggapnya instansi pemerintah, misalnya: pencemaran lingkungan, keamanan dalam pekerjaan, penyebaran barang-barang produksi yang berbahaya bagi konsumen, dapat menimbulkan kerugian yang luas, tidak terbatas hanya pada korban individual saja, bahkan kelompok korban masyarakat luas51. Tak jarang sulit ditentukan korbannya secara pasti. Ke dalam bentuk-bentuk penyalahgunaan ini, tindak pidana korporasi (corporate crime) dimana masyarakat konsumen luas menjadi korbannya, termasuk di dalamnya. Bahwa orientasi hukum pidana yang semula didesain hanya untuk menghadapi perilaku kriminal individu, kini harus diubah dengan membuka kemungkinan korporasi untuk dituntut, diadili dan dijatuhi pidana. D. 2. Wacana Penggunaan Sanksi Pidana.
50
Muladi, “Korban Kejahatan Korporasi" dalam J.E.. Sahetapy (ed), Bunga Rampai Viktimisasi (Karya Ilmiah Para Pakar Hukum) (Bandung: Eresco, 1995), hal. 90-99. Masih menurut Muladi, landasan rasional penggunaan hukum pidana bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan tersebut morally wrong, tetapi demi perlindungan masyarakat (in order to protect the public). Dalam hukum pidana, tindak pidana korporasi itu disebut sebagai mala prohibita (delik undang-undang), dan bukan mala in se (delik kejahatan). Lihat: Ibid. 51 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kedua) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal.94-95.
Dalam pada itu, perkembangan tindak pidana–tindak pidana di luar KUHP, meskipun belum tentu merupakan tindak pidana khusus di luar KUHP, seperti halnya Tindak Pidana Ekonomi (TPE) dan Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang memuat sejumlah penyimpangan terhadap asas-asas yang umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum acara pidana juga mengintroduksi jenis sanksi pidana yang tidak dikenal KUHP, mendahului Rancangan KUHP Nasional. Penggunaan instrumen hukum pidana dalam UUPK sebagai primum remedium membawa konsekuensi logis dimungkinkannya penerapan berbagai sanksi atau hukuman untuk pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen.
UUPK
mengedepankan sanksi administratif dan sanksi pidana (Pasal 60-63 Bab XIII UUPK). Jenis-jenis pidana yang dimungkinkan menurut UUPK, yaitu (Pasal 62 jo. Pasal 63 UUPK):52 1. Pidana pokok, yaitu: 1.1.
Pidana Penjara:
1.1.1. Maksimal 5 (lima) tahun) untuk pelanggaran Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 UUPK; 1.1.2. Maksimal 2 (dua) tahun untuk pelanggaran Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f UUPK; 1.2.
Pidana Denda:53
52 Bandingkan jenis-jenis pidana tersebut dengan jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP yaitu: 1. Pidana pokok meliputi: 1.1. Pidana mati; 1.2. Pidana penjara; 1.3. Pidana kurungan; 1.4. Pidana denda; 1.5. Pidana tutupan (UU No.20 tahun 1946 tanggal 30 Oktober 1946); 2. Pidana tambahan meliputi: 2.1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2.2. Perampasan barang-barang tertentu; 2.3. Pengumuman putusan hakim 53 Menurut Hamzah sanksi pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, bahkan mungkin setua pidana mati. Ia terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, dalam bentuk ganti kerugian atau denda adat. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Dalam perkara pidana: 1) denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat; 2) denda dapat digantikan dengan pidana kurungan jika denda tak dibayar; 3) denda tidak diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaiman dalam perkara perdata; 4) pidana denda tetap dijatuhkan, walaupun terdakwa sudah membayar ganti kerugian kepada korban. Lihat: Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.42-43. Dari uraian Roeslan Saleh diperoleh penjelasan bahwa dalam pidana
1.2.1. Denda maksimal Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) untuk pelanggaran Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 UUPK 1.2.2. Denda maksimal Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pelanggaran Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f UUPK; 2. Pidana tambahan, yaitu: 2.1.
Perampasan barang tertentu;
2.2.
Pengumuman keputusan hakim;
2.3.
Pembayaran ganti rugi;
2.4.
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
2.5.
Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
2.6.
Pencabutan izin usaha. Sanksi pidana yang dikemukakan UUPK tersebut, dalam batas-batas
tertentu dipandang sepadan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan
lebih
200
juta
konsumen
Indonesia,54 yang secara khusus telah dirumuskan sebagai hak-hak konsumen dalam UUPK (Pasal 4 UUPK). Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa hukum pidana sebagai sarana perlindungan masyarakat (social defence) digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat55.
Namun demikian
tidak semua tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi56.
denda: 1) tidak diadakan maksimum denda; yang ditentukan adalah minimum denda; 2) meskipun yang dikenai denda adalah terhukum sendiri, tak ada ketentuan yang melarang jika pihak ketiga membayarkan pidana denda tersebut; 3) terhukum berhak memilih untuk membayar denda atau tidak; dalam hal denda tak dibayar ia dikenakan pidana kurungan pengganti denda yang lamanya minimal 1 (satu) hari dan maksimal 6 (enam) bulan. Lihat: Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.74-75. 54 Yusuf Shofie (b), Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet.ke-1, 2000)., hal.24-25. 55 Kepentingan-kepentingan masyarakat itu, yaitu: 1) Pemeliharaan tertib masyarakat; 2) Perlindungan Masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan orang lain; 3) Pemasyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; 4) Pemeliharaan/pemantapan integritas pandangan-pandangan dasar tentang keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan sosial. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.166. 56 Kriteria untuk menentukan apakah dapat tidaknya suatu perbuatan dipertanggungjawabkan kepada korporasi, yaitu: bila perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usahanya sebagaimana
Sedangkan jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP Nasional (Pasal 60-62), terdiri dari:57 1. Pidana pokok, yaitu: 1.1.
Pidana Penjara;
1.2.
Pidana Tutupan;
1.3.
Pidana Pengawasan;
1.4.
Pidana Denda;
1.5.
Pidana Kerja Sosial;
2. Pidana khusus, yaitu: pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif; 3. Pidana tambahan 3.1.
Pencabutan hak tertentu;
3.2.
Perampasan barang tertentu dan atau tagihan;
3.3.
Pengumuman putusan hakim;
3.4.
Pembayaran ganti kerugian;
3.5.
Pemenuhan kewajiban adat;
Dari jenis-jenis pidana itu, hanya pidana denda (Pasal 75 Rancangan KUHP Nasional) dan semua jenis pidana tambahan (Pasal 84-93 Rancangan KUHP Nasional), yang dapat dijatuhkan kepada korporasi.58 Masih menurut Reksodiputro, penjatuhan pidana kepada korporasi (dan pengurusnya) harus dapat dirasakan oleh: 1. mereka yang secara nyata memimpin atau memberi perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau menimbulkan akibat-akibat yang dilarang hukum pidana; mereka ini tak harus secara organisatoris mempunyai hubungan dengan korporasi yang bersangkutan;
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Pasal 46 Rancangan KUHP Nasional menggunakan rumusan secara negatif sebagai berikut: “Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.18 Rancangan UU. 57 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.2425 Rancangan UU. 58 Ibid., hal.32 dan hal. 38-42 Rancangan UU.
2. para pemegang saham yang mempunyai kekuasaan tertinggi pada korporasi dalam rapat umum pemegang saham; 3. melalui antara lain, penjatuhan pidana pidana denda yang tinggi.59 Dalam hubungan ini individu, dapat dimintai pertanggungjawaban terbatas sepanjang
ia
memiliki
kedudukan
fungsional
dalam
korporasi
yang
bersangkutan60. Sistem pidana denda yang dikemukakan Rancangan KUHP Nasional, yaitu sistem kategorisasi (Pasal 75 Rancangan KUHP Nasional), sebagaimana dikutipkan pada tabel 4 berikut ini. Tabel Kategori Pidana Denda. Kategori Denda Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV Kategori V Kategori VI
Jumlah Maksimum 150.000 750.000 3.000.000 7.500.000 30.000.000
Rp Rp Rp Rp Rp Rp 300.000.000
Keterangan 10 kali dari Rp 15.000 50 kali dari Rp 15.000 200 kali dari Rp 15.000 500 kali dari Rp 15.000 2.000 kali dari Rp 15.000 20.000 kali dari Rp 15.000
Sumber: Rancangan KUHP Nasional (1999-2000), diolah peneliti/ penulis dengan perbaikan.
Angka Rp 15.000 sebagai dasar perhitungan kategori tersebut merupakan pidana denda paling sedikit, jika tidak ditentukan besarnya “minimum khusus” pidana denda tersebut (Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional). Pidana denda Rp 15.000 di situ merupakan “minimum umum”.
Prinsipnya besarnya
“minimum khusus” dan “maksimum khusus” pidana denda ditentukan berdasarkan ketegorisasi tersebut. Cara penentuan pidana denda untuk korporasi, yaitu: minimal ditetapkan Denda Kategori IV dan maksimal kategori lebih tinggi berikutnya (Pasal 75 ayat (6) dan (4) Rancangan KUHP Nasional). Jika di dalam rumusan tindak pidana
59
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kelima) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal.138 dan 143. 60 Bandingkan dengan Pasal 47 Rancangan KUHP Nasional yang berbunyi: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang mempunyai kedudukan yang fungsional dalam struktur organisasi korporasi.” Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 19992000), hal.18 Rancangan UU.
tidak dicantumkan pidana denda terhadap korporasi, maka pidana denda yang diancamkan minimal Denda Kategori IV, sedangkan maksimal, yaitu: 1. Denda Kategori V dalam hal tindak pidana yang disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun; 2. Denda Kategori VI dalam hal tindak pidana yang disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.61 Menurut Pembentuk Rancangan KUHP Nasional, dengan sistem kategorisasi ini ini dimaksudkan:62 1. diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana; 2. lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter. Barda Nawawi Arief mengemukakan suatu catatan futuristik terhadap sistem kategorisasi pada pidana denda tersebut.
Menurut Arief, dalam
penerapan kategorisasi pidana denda itu, Rancangan KUHP Nasional mengenal “minimum umum”, “minimum khusus”, dan “maksimum khusus”, tetapi tidak “maksimum umum”.
Tak ada “maksimum umum” di situ menyebabkan
bervariasinya maksimum pidana denda di luar KUHP.
Lebih lanjut ia
mempertanyakan perlu tidaknya memberi patokan atau rambu-rambu guna membatasi bervariasinya maksimum pidana denda dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP.63
Sanksi pidana denda maksimal Rp 500 juta sampai Rp
2 milyar pada UUPK tersebut di atas merupakan salah satu variasi yang melampaui kategorisasi pidana denda yang terdapat pada Rancangan KUHP Nasional itu.64
Meskipun demikian, jumlah denda pada sistem kategorisasi
dalam Rancangan KUHP Nasional itu tidak mengalami perubahan, masih serupa dengan naskah pada tahun 1993, juga serupa kategorisasi yang dikutip dalam 61
Ibid., hal.32 Rancangan UU, dan hal.44 Rancangan Penjelasan UU. Ibid., hal.44 Rancangan Penjelasan UU. 63 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.178-179. Kritik Arief tersebut tetap relevan dikemukakan di sini, karena tak terdapat perubahan prinsipil pada Rancangan KUHP Nasional (1999-2000) itu. 64 Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.ke-1, 2002), hal. 75. 62
buku Arief yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1996. Padahal sejak krisis moneter pada tahun 1997 hingga saat ini, nilai mata uang rupiah terus menerus merosot, hampir-hampir tak ada peningkatan yang signifikan. Mau tidak mau jumlah denda tersebut harus disesuaikan, terutama ketika Rancangan KUHP Nasional itu akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal pidana denda tidak dibayar korporasi terpidana, Pasal 76 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional menentukan sebagai berikut: “Jika denda …tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana”.65
Pengambilan kekayaan atau pendapatan terpidana di sini sebagai
upaya eksekusi pelaksanaan pidana denda, namun bukan sebagai pidana pengganti denda yang tidak dibayar66. Lain halnya jika pribadi kodrati sebagai (orang, bukan korporasi) terpidana denda, maka alternatif-alternatif berikut ini dapat diterapkan sebagai pidana pengganti denda yang tidak dibayar itu, yaitu (Pasal 76 ayat (3) Rancangan KUHP):67 1. Pidana kerja sosial pengganti68 minimal 7 (tujuh) jam dan maksimal 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) 65 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.33 Rancangan UU. 66 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) – ayat (6) KUHP yang menentukan pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Pidana kurungan pengganti ini minimal 1 (satu) hari dan maksimal 6 (enam) bulan. Pidana ini dapat dijatuhkan maksimal 8 (delapan) bulan, dalam hal pidana denda dinaikkan berkenaan dengan perbarengan (samenloop), pengulangan kejahatan (residivis) atau berkenaan dengan kejahatan dalam jabatan. 67 Ibid. 68 Pasal 79 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional menentukan: “Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial”. Sebelum pidana pengganti ini dijatuhkan, hakim wajib mempertimbangkan: a) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; b) usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; d) riwayat sosial terdakwa; e) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; f) tidak boleh dikomersialkan; g) tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik terdakwa; h) kemampuan terdakwa membayar pidana denda (Pasal 79 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional). Pidana ini dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lain yang bermanfaat (Pasal 79 ayat (5) Rancangan KUHP Nasional). Jika kewajiban pidana kerja sosial ini tak dipenuhi sebagian atau seluruhnya tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan untuk melakukan salah satu dari 3 alternatif berikut ini: a) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial itu; b) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial itu; c) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar (Pasal 79 ayat (6) Rancangan KUHP Nasional). Menurut penjelasan Rancangan KUHP Nasional, pidana kerja sosial diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Tak ada upah/gaji (tidak dibayar) pada pidana kerja sosial tersebut, karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty) sehingga pelaksanaan pidana ini tak boleh dikomersialkan. Adapun riwayat sosial terdakwa
tahun atau maksimal 140 (seratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang belum berusia 18 tahun (Pasal 79 ayat (3) dan (4) Rancangan KUHP)69 ; 2. Pidana pengawasan70 minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun (Pasal 76 ayat (4) butir b Rancangan KUHP); 3. Pidana penjara pengganti71 minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun (Pasal 76 ayat (4) butir c Rancangan KUHP). Dengan demikian Rancangan KUHP Nasional tidak menghendaki adanya pidana pengganti bagi korporasi yang dijatuhi untuk membayar pidana denda.
diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapannya secara fisik dan mental dalam menjalani pidana kerja sosial itu di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembagalembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana. Lihat: Ibid., hal. 35-36 Rancangan UU dan hal.45-46 Rancangan Penjelasan UU. 69 Ibid., hal.35 Rancangan UU. 70 Pidana Pengawasan di sini akan menggantikan apa yang dalam KUHP dikenal sebagai Pidana Penjara Bersyarat (Pasal 14a-14f KUHP) (Pasal-pasal ini diberlakukan pada tahun 1927 berdasarkan Staatsblad 1926 No.251 dan 486 serta Staatsblad 1934 No.172, Lihat: R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1980), hal.33-37). Saleh menjelaskan pidana bersyarat sebagai berikut: “Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tetapi tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terhukum melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terhukum selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu”. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal. 64. Di dalam Penjelasan Rancangan KUHP Nasional itu, dikemukakan bahwa pidana pengawasan merupakan alternatif pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 19992000), hal.42-42 Rancangan Penjelasan UU. Bandingkan penjelasan ini dengan uraian Saleh yang mengemukakan bahwa yang menentukan penjatuhan pidana bersyarat bukanlah pada pidana yang diancamkan atas delik yang dilakukan, melainkan bilamana pidana yang dijatuhkan hakim, yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal.64-65. Menurut Pasal 72 Rancangan KUHP Nasional, pidana pengawasan paling lama 3 tahun (Pasal 73 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional) baru dapat dijatuhkan hakim, bila terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa merupakan dasar pertimbangan penjatuhan pidana ini (Pasal 73 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional). Menurut Penjelasan Rancangan tersebut, pada umumnya pidana pengawasan dijatuhkan terhadap orang yang pertama kali melakukan kejahatan (first offender). Dikemukakan pula di situ: “Penjatuhan pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana…”. Jadi, menurut penulis/peneliti pidana pengawasan tidak dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.3031 Rancangan UU dan hal.43 Penjelasan UU. Menurut penulis/peneliti (Yusuf Shofie), tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam rancangan tersebut apa yang dimaksud dengan keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa. Sampai di sini barangkali uraian Saleh berikut ini membantu menjelaskannya: “Dalam praktek, hakim menjatuhkan pidana bersyarat bilamana ia berpikir bahwa terhukum cukup perasa dengan peringatan sehingga tidak akan melakukan pidana lagi dan juga akan memenuhi syarat-syarat jika diadakan”. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal.65. 71 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) – ayat (6) KUHP yang menentukan pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Menurut penulis/peneliti, Rancangan KUHP Nasional tersebut telah menghapuskan pidana kurungan sebagai pidana pokok yang pernah diterapkan KUHP warisan kolonial Belanda (yang diberlakukan atas dasar Undang-undang tanggal 26 Februari 1946 No.1 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-undang No.73 tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Jadi, pidana penjara pengganti (Rancangan KUHP Nasional) ini nanti akan menggantikan apa yang dalam KUHP saat ini disebut sebagai pidana kurungan pengganti.
Artinya, kejaksaan selaku eksekutor harus terus-menerus melakukan upaya pembayaran pidana denda itu oleh korporasi terpidana. Dalam hal tak dijumpai lagi kekayaan atau pendapatan korporasi guna pelaksanaan pidana denda itu, tak ada lagi upaya hukum lain; apalagi jika korporasi tersebut telah terlanjur dilikuidasi.
Kesulitan-kesulitan teoritis dan praktik ini membuka peluang bagi
segenap pemegang saham, komisaris, atau pengurus/ direksi korporasi untuk melakukan tindakan-tindakan pengalihan asset-asset korporasi dalam koridor hukum, ketika mereka mulai melihat tanda-tanda
aparat penegak hukum
mencium perilaku-perilaku melanggar hukum korporasi72. Diantara berbagai pidana tambahan yang mungkin dijatuhkan terhadap korporasi (Pasal 62 Rancangan KUHP Nasional) di atas, kecuali
pidana
tambahan pemenuhan kewajiban adat yang kiranya dirasakan sangat kongkrit bagi konsumen korban tindak pidana korporasi, yaitu: ganti kerugian. korporasi
pidana pembayaran
Namun dalam hal pidana ganti kerugian itu tak dibayar
terpidana
akan
menimbulkan
persoalan
tersendiri
dalam
pelaksanaannya nanti. Pasal 92 ayat (2) hanya memberikan penyelesaian bagi orang/ pribadi kodrati terpidana yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran ganti kerugian. Terpidana di sini dikenakan pidana penjara pengganti untuk pidana denda yang tak dibayarnya.
Disamping tak ditetapkan berapa lama
pidana penjara pengganti tersebut, pidana penjara pengganti itu tak mungkin dikenakan kepada korporasi. Maksimal yang bisa dilakukan pelaksana eksekusi menurut Rancangan KUHP Nasional (analog
73
dengan Pasal 76 ayat (2)
Rancangan KUHP Nasional), yaitu: pelaksanaan pidana ganti kerugian diambilkan dari kekayaan atau pendapatan korporasi terpidana. Sama halnya dengan penerapan pidana denda (jenis pidana pokok) yang diterapkan pada korporasi, pada penerapan pidana pembayaran ganti kerugian (jenis pidana 72
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.76. Menurut Pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional dan Penjelasannya, penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.2 Rancangan UU, dan hal.7 Rancangan Penjelasan. Menurut penulis/peneliti, yang dilarang di situ adalah penggunaan penafsiran analogi dalam penetapan ada tidaknya tindak pidana, sedangkan analogi dalam hal pelaksanaan pidana ganti kerugian yang tidak dibayar, dalam hal ini diambilkan dari kekayaan atau pendapatan korporasi terpidana, tidak dilarang. 73
tambahan) pada korporasi, juga tak dikenal adanya pidana pengganti, dalam hal korporasi tak membayar pidana denda dan pidana pembayaran ganti kerugian. D. 3. Dimensi Baru Hukum Pidana dalam UUPK. Terdapat 3 (tiga) dimensi baru dengan diundangkannya UUPK dengan berbagai variasi sanksi pidananya. Pertama, dikedepankannya fungsionalisasi hukum pidana, dimana hukum pidana digunakan sebagai primum remedium.74 Pemidanaan melalui instrumen hukum pidana administratif penal law; verwaltungsstrafrecht),75
(administrative
dilakukan atas dasar kepentingan
masyarakat, dalam hal ini konsumen yang menjadi korban tindak pidana korporasi (corporate crime) dan tidak berdasarkan tingkat kesalahan subjektif si pelaku tindak pidana. Jenis sanksi pidana tambahan menurut UUPK, seperti: perintah
penghentian
kegiatan
tertentu
yang
mengakibatkan
kerugian
konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, dan pencabutan izin usaha merupakan penerapan hukum pidana administratif. Kedua, terdapat pergeseran pandangan modern tentang pidana denda.76
Bila semula pidana
denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran ringan atau kejahatan ringan,77 UUPK tak melihat kemungkinan penjatuhan sanksi pidana denda ini sebagai pelanggaran atau kejahatan ringan.
Sanksi pidana denda
tersebut sebagai alternatif lain selain penjatuhan pidana penjara. Korporasi yang melanggar UUPK tak mungkin dijatuhi pidana penjara; pidana penjara hanya mungkin
dijatuhkan
terhadap
para
pengurus/direksi
korporasi
yang
bersangkutan. Menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan tertentu penjatuhan pidana denda lebih berfaedah daripada pidana perampasan kemerdekaan.78 Tak ada penjelasan lebih lanjut keadaan tertentu yang dimaksud Saleh tersebut. Keadaan tertentu tersebut bisa jadi sifatnya kasuistis, tidak dapat disamakan antara satu kasus yang satu dengan kasus lainnya. Relevan dengan jenis sanksi 74
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.77. Lihat: Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 Nopember 1989, hal.4-5; Utrecht, Hukum Pidana I (Bandung: Universitas, 1967), hal.75; dan Sudarto (b), op.cict., hal.63. 76 Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.77. 77 Andi Hamzah, op.cit., hal.43. 78 Roeslan Saleh, op.cit., hal.74. 75
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi (sanksi pidana denda, misalnya), keadaan tertentu di sini dapat ditafsirkan dalam hal subjek tersangka/terdakwanya adalah korporasi.79 Ketiga, pidana pembayaran ganti rugi mulai mendapatkan tempat di dalam sistem pidana di Indonesia.80 Bila semula sistem peradilan pidana sangat kaku terpaku pada mekanisme “Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian” (Bab XIII Pasal 98-101 KUHAP), seperti ditunjukkan penulis/peneliti pada satu pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, kini Jaksa/Penuntut Umum tak perlu ragu lagi memasukkan tuntutan pidana ganti rugi dalam surat dakwaannya pada perkara-perkara tindak pidana korporasi, dimana konsumen individu atau masyarakat konsumen luas menjadi korbannya. Ketiga dimensi baru dalam UUPK ini menampung aspirasi-aspirasi keadilan konsumen yang sering dilupakan dalam pembangunan ekonomi. Dari perspektif korban, secara umum UUPK menjanjikan perbaikan kondisi hukum guna melindungi mereka yang lemah, dalam hal ini konsumen.
Lebih jauh
UUPK merupakan salah satu perwujudan reformasi hukum, dimana aspirasiaspirasi masyarakat internasional dan nasional tentang perbaikan-perbaikan nasib mereka yang termarginalisasi oleh hukum juga telah tertampung di dalamnya.81
79
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal. 77. Ibid. 81 Ibid., 77-78. Hal ini tercermin pada butir-butir konsiderans UUPK berikut ini: c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;” 80
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KAITANNYA DENGAN PROMOSI DAN PERIKLANAN
A.
Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi dan Periklanan di Bidang Asuransi.
Sebuah
buku
terjemahan
sempat terpajang di rak sebuah toko buku kenamaan di Jakarta. Tak tanggung-tanggung berjudul “Masyarakat
Konsumsi”,
dengan judul aslinya.
sesuai
Buku ini
diterbitkan Kreasi Wacana di Kota Gudeg, Yogyakarta di tahun 2004. Hanya dalam waktu singkat, buku tersebut sudah menghilang dari pasaran
pada
bulan-bulan
pertama di tahun 2005.
Sudah
sulit
untuk
didapatkan.
Terbit
pertama kali dalam bahasa aslinya di tahun 1970. Penulisnya Jean P. Baudrillard.
Ada kesan analisis
Baudrillard masih relevan dengan keadaan sekarang di Indonesia. Dengan
merujuk
konsumsi
ia
teori
pada
mengatakan
kita
hidup di jaman dimana kita tidak lagi membeli semua yang kita butuhkan. produk
Kita banyak membeli
barang
dan/atau
jasa
mengikuti selera/ keinginan kita semata apakah
tanpa
memperdulikan
betul-betul
dibutuhkan atau tidak.
sedang Begitu
pula
untuk
produk
disebut asuransi.
jasa
yang
Kesan yang
terbangun produk ini dibutuhkan konsumen. Keikutsertaan konsumen dalam berbagai
program
dan
jenis
asuransi sangat tergantung pada pemahaman konsumen terhadap produk yang ditawarkan. mudah
mencari
tahu
Tidak
seberapa
jauh pemahaman konsumen pada umumnya produk
terhadap asuransi.
sementara
pejabat
Keuangan
RI
produkMenurut
Departemen
(1991),
produk-
produk asuransi tergolong rumit
dan
sukar
dipahami,
sehingga
produk itu tidak marketable82. 18 (delapan belas) tahun yang lalu
(1988),
kegiatan
untuk
mendorong
perasuransian
di
Indonesia, tak tanggung-tanggung Pemerintah pada waktu itu telah mengeluarkan Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (Pakdes 1988). Setelah
dikeluarkannya
ketentuan
tersebut,
paket terdapat
sekitar 130 (seratus tiga puluh) perusahaan
asuransi,
asuransi
kerugian,
asuransi
jiwa,
82
dan
Sumber: Warta Ekonomi, No.6, Tahun III, 8 Juli 1991.
meliputi: reasuransi, asuransi
sosial.83 Data ini sudah banyak mengalami perubahan.
Menurut
Departemen Keuangan RI (2005), jumlah
perusahaan
asuransi
dalam periode 30 September 2004 s.d.
30
September
2005
bertambah 6 (enam) perusahaan, yaitu: dari 327 (tiga ratus dua puluh tujuh) perusahaan menjadi 333 (tiga ratus tiga puluh tiga) perusahaan. terakhir
Perubahan
ini
pemberian sebanyak perusahaan
terjadi
izin 17
karena
usaha (tujuh
(Pialang
data baru belas)
Asuransi
83 Yusuf Shofie, “Industri Asuransi dalam Perspektif Konsumen”, artikel dimuat Suara Pembaruan, 11 Desember 1991.
sebanyak
13
izin,
Pialang
Reasuransi sebanyak 2 izin dan Adjuster Asuransi sebanyak 2 izin) dan adanya pencabutan izin usaha 11
perusahaan
perusahaan
asuransi
asuransi
jiwa,
(6 4
perusahaan asuransi kerugian dan 1
pialang
asuransi).
Dalam
periode yang sama, juga telah diberikan
izin
pembukaan
37
cabang perusahaan asuransi84. Perekonomian
modern
didesain oleh berbagai instrumen/ institusi
bank,
asuransi
dan
lembaga pembiayaan. Konsumen 84
Laporan Kinerja Satu Tahun Departemen Keuangan RI (Oktober 2004 – September 2005), Jakarta: Departemen Keuangan RI, 19 Oktober 2005), hal. 87.
tinggal
memilih
salah
satu,
keduanya atau ketiganya.
Hak
memilih konsumen yang dijamin Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat
UUPK)
sudah dipenuhi. sebagian pengambil
seolah-olah Dahulu kata
pelaku
usaha
(policy
kebijakan
maker)
ketiganya
karakter
produk
dan
memiliki jasa
yang
berbeda. Namanya saja berbeda. Yang dijual tidak sama! Begitu katanya. Entah, mungkin karena kecenderungan membuat
batas
globalisasi ketiganya
kini
menjadi kabur.
Ketiganya tetap
mengandung risiko. Dalam dunia asuransi, risiko diartikan sebagai kerugian yang tidak
(uncertainty
pasti
financial
loss);
terdapat
dua
ketidakpastian
di
dalamnya
unsur, dan
of
yaitu:
kerugian.85
H.M.N Purwosutjipto mengartikan risiko, yaitu: beban kerugian yang diakibatkan peristiwa seseorang,86 seseorang
karena di
luar
suatu kesalahan
misalkan: terbakar
rumah sehingga
pemiliknya mengalami kerugian. 85 Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi (Yogyakarta: BPFE UGM, 1995), hal.12. 86 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pertanggungan (Jakarta: Djambatan, 1990), hal. 47.
Inilah
risiko
yang
harus
ditanggung pemiliknya.
Karena
besarnya risiko ini dapat diukur dengan
nilai
mengalami
barang
peristiwa
yang
di
luar
kesalahan pemiliknya, maka risiko ini
dapat
perusahaan
dialihkan asuransi
kepada kerugian
dalam bentuk pembayaran klaim asuransi. diimbangi
Pengalihan risiko ini dalam
pembayaran perusahaan
bentuk
premi
kepada
asuransi
kerugian
(penanggung) setiap bulan atau tahun, tergantung pada perjanjian yang
tertuang
dalam
polis.
Manfaat peralihan risiko inilah yang
diperoleh
(tertanggung). menyangkut artinya
konsumen
Jika
risiko
nyawa
manusia;
jiwa
seseorang
dipertanggungkan, kematian
risiko
tersebut
perusahaan
itu
ditanggung
asuransi
jiwa
Selama
masa
(penanggung).
pertanggungan, konsumen wajib membayar
preminya
kepada
penanggung. Juga lazim
risiko
sakitpun
menjadi
sudah objek
pertanggungan. Lihat saja pada produk
Jaminan
Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM).87 JPKM
merupakan
salah
satu
strategi pembangunan kesehatan untuk
visi88
mewujudkan
“Indonesia Sehat 2010” sebagai dasar
pandang
kesehatan
yang
upaya-upaya preventif
yang
pembangunan mengutamakan promotif
dan
proaktif
tanpa
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif, dengan empat misi yang diemban, yaitu:89 1)
Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan;
2)
Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; 87
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya (Pasal 1 butir 15 UUK). Sebutan lain JPKM dalam praktek pemberian pelayanan kesehatan, yaitu: program managed care atau managed care concept. Lihat: Sulastomo, “Mencari Model Sistem Pelayanan Kesehatan”, Kompas, 7 Nopember 2001; dan “Ori Sutadji (Dewan Asuransi Indonesia): Dalam ASKES Memang Ada Hal Khusus”, Warta Konsumen, 1999: 11, Tahun XXV, Nopember 1999. 88 Visi, yaitu: gambaran keadaan di masa depan. 89 Departemen Kesehatan RI, Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010 (Jakarta: 2000), hal.xiii dan 8-9. Disamping JPKM, strategi pembangunan kesehatan lainnya, yaitu: Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan, Profesionalisme, dan Desentralisasi.
3)
Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau;
4)
Memelihara
dan
meningkatkan
kesehatan
individu,
keluarga
dan
masyarakat beserta lingkungannya. Dengan sistem JPKM, pembiayaan pemeliharaan kesehatan diperoleh melalui iuran yang dibayar dimuka untuk jangka waktu tertentu (pembiayaan secara praupaya) oleh peserta, baik perorangan, keluarga, ataupun kelompok masyarakat, kepada Badan Penyelenggara JPKM. Badan Penyelenggara JPKM harus berbentuk badan hukum (badan usaha milik negara atau daerah, swasta, koperasi) dan memiliki izin operasional dari Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI (Pasal 66 ayat (3) UUK jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 571/MENKES/PER/VII/1993 tanggal 14 Juli 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 568/MENKES/PER/VI/1996 tanggal 5 Juni 1996). Dibandingkan dengan produk perbankan dan pembiayaan, hanya produk asuransi yang manfaatnya tidak dirasakan secara kongkrit oleh konsumen. Ketika “membeli’ produk ini, yang dirasakan terbatas pada pemenuhan prestasi, yaitu: kewajiban membayar premi asuransi, sedangkan kontra prestasi, yaitu: klaim pembayaran manfaat asuransi, belum atau tidak dirasakan manfaatnya pada saat ini.
Kontra prestasi tersebut dipenuhi sebagai konsekuensi atas
peristiwa yang diperhitungkan atau diprediksikan ternyata terjadi di masa yang akan datang. asuransi.
Jadi, objek transaksi adalah pembayaran/pemenuhan manfaat
Tingkat pendidikan konsumen turut berperanan dalam menentukan
perlu tidaknya membeli produk asuransi. Ada kesan pembeli produk asuransi adalah konsumen yang kebutuhan primer dan sekundernya telah terpenuhi. Bila kesan ini benar, maka produk asuransi merupakan kebutuhan tersier, berbeda halnya dengan produk perbankan yang dimanfaatkan konsumen sekalipun belum sepenuhnya kebutuhan primernya terpenuhi.
A.1. Komitmen Melindungi Konsumen. 7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak banyak yang dapat diungkap tentang dipenuhinya hak-hak konsumen dalam bidang asuransi, meskipun Pemerintah telah menempatkan kosa kata perlindungan konsumen dalam berbagai kebijakan yang telah ditetapkan. Departemen Keuangan RI misalnya, telah menempatkan peningkatan perlindungan terhadap konsumen lembaga keuangan non bank (nasabah, pemilik polis asuransi, peserta dana pensiun) sebagai salah satu strategi pembinaan dan pengawasan yang dilakukannya.
Untuk itu telah
dilakukan penyusunan regulasi dan pengawasan seperti penetapan risk based capital untuk perusahaan asuransi dan ketentuan solvabilitas untuk dana pensiun. Realisasi perlindungan terhadap konsumen tercermin dari pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan non bank sebanyak 148 Surat Keputusan Menteri Keuangan selama periode 30 September 2004 s.d. 30 September 2005.90 Dalam laporan setebal 146 halaman tersebut, belum terlihat bagaimana pemenuhan hak-hak konsumen dalam bidang asuransi, apalagi resume penyelesaian masalah-masalah hukum yang dihadapi konsumen di Indonesia, setidaknya selama periode tersebut. Irwan Rahardjo (2001), praktisi asuransi, berpendapat bahwa dengan berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat
konsumen
seperti
memperoleh
kemenangan
besar
dalam
memperjuangkan hak-haknya. Sebaliknya pelaku usaha dilanda kecemasan akan kemungkinan menghadapi tuntutan-tuntutan konsumen, baik sendiri-sendiri maupun class action.91 Kesan yang terbangun ini masih harus didalami lagi pada tataran realisasi penyelesaian klaim asuransi, terutama pelaksanaan asas utmost good faith yang seharusnya dipegang teguh sebagai hukum kebiasaan dalam hubungan antara perusahaan asuransi dengan konsumen.
90
Laporan Kinerja Satu Tahun Departemen Keuangan RI…, hal.86-87 dan hal.91. Irvan Rahardjo, “Bisnis Asuransi Perlu Undang-undang Perlindungan Konsumen” dalam Irvan Rahardjo, Bisnis Asuransi Menyongsong Era Global: Kumpulan Isu-isu Aktual dan Faktual (Tanpa Kota: Yayasan Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2001, Cet.ke-1), hal. 38. 91
A.2. Mencermati Data Pengaduan Konsumen. Dalam Data Pengaduan Asuransi tahun 1998 pada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), tercatat sejumlah perusahaan asuransi melakukan praktik pematokan/ penetapan kurs secara sepihak bertentangan dengan polis asuransi jiwa dan syarat-syarat/ ketentuan umum asuransi jiwa.
Padahal
instansi pembina perasuransian, dalam hal ini Direktur Asuransi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI melalui suratnya No. S1075/LK/1998 tanggal 24 Februari 1998, telah menegaskan bahwa penyelesaian pelaksanaan klaim, perhitungan nilai tunai atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak-pihak yang dimaksud, yaitu tertanggung dan penanggung, supaya dilaksanakan atas dasar perjanjian polis.92
Baru pada
tahun 2001, Irwan Rahardjo, praktisi asuransi, mengkritisi Dewan Asuransi Indonesia (DAI) yang pernah mencederai prinsip itikad baik dan kejujuran dalam asuransi pada di tahun 1998. Pada saat itu, menurutnya: “DAI menjadi tempat berlindung bagi para pelaku asuransi untuk secara kolektif dan tanpa penelitian menolak atas klaim asuransi terhadap suatu musibah.
Bahkan
secara sepihak menentukan besarnya ganti rugi yang diberikan kepada nasabah”93. Dalam salah satu perkara yang ditangani Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam perkara antara dra. Devi Maryani lawan PT Nabasa Life Insurance Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusannya (Putusan No.416/Pdt.G/1998/PN Jkt.Sel tanggal 30 Maret 1999).94
Dalam
pertimbangan hukumnya, pengadilan berpendapat: 95 92 Lihat pula: “Depkeu belum setujui kurs asuransi jiwa”, Bisnis Indonesia, 18 Februari1998. Selanjutnya Depkeu memberi penegasan bahwa penetapan kurs Rupiah/US$ pada polis (kontrak asuransi) yang telah disepakati tertanggung dengan penanggung. Lihat: “Depkeu: Penetapan Kurs Asuransi sesuai atas dasar Polis”, Bisnis Indonesia, 26 Februari 1998. 93 Irvan Rahardjo, “Ombudsman Asuransi: Upaya Menegakkan Etika Bisnis Penuh Janji” dalam Irvan Rahardjo, op.cit., hal.32. 94 Harap dicermati putusan ini dibacakan 21 hari sebelum tanggal 20 April 1999, tanggal pengundangan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 95 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.416/Pdt.g/1998/PN Jkt.Sel tanggal
30 Maret 1998, hal.20 dan hal. 24. Lihat: Memori Banding Penggugat tanggal 27 Juli 1999 dan Kontra Memori Banding Penggugat tanggal 27 Juli 1999 yang diajukan YLKI sebagai kuasa hukum Penggugat, serta Kontra Memori Banding Tergugat tanggal 16 Agustus 1999
“Menimbang bahwa pasal 7 syarat-syarat umum asuransi jiwa individual menentukan kemungkinan yang dapat dilakukan pemegang polis asuransi sebelum habis masa pertanggungan, yaitu menghentikan pembayaran premi asuransi sama sekali dengan menjual polis serta menyerahkan kwitansi pembayaran premi terakhir (lihat pasal 7 ayat (1) butir (a)). Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-2a, P-2b, ternyata Penggugat telah mengajukan pernyataan pemberhentian keanggotaan asuransi jiwa dengan menyertakan polis dan kwitansi pembayaran premi terakhir dan syarat lain dan minta pembayaran nilai tunai polis; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diuraikan di atas, pengajuan klaim nilai tunai polis dengan menyatakan berhenti sebagai anggota asuransi sebelum berakhirnya masa pertanggungan (menjual polis) terbukti boleh dilakukan oleh pemegang polis dalam syarat-syarat umum asuransi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tindakan Penggugat sehubungan dengan penjualan polis tersebut adalah sah dan dapat dibenarkan, maka Tergugat selaku penanggung wajib untuk memenuhi kewajiban untuk itu sesuai dengan ketentuan yang diatur pada persyaratan umum dan khusus pada polis dimaksud.” (Kursif dari penulis) “Menimbang, bahwa tentang alasan penetapan kurs yang ditentukan oleh Tergugat sebesar Rp 2.448 pada tanggal 8 Juni 1998, majelis mempertimbangkan sebagai berikut: Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 pada catatan dijelaskan: “Nilai tukar yang digunakan pada saat terjadi klaim maupun akhir kontrak adalah kurs BI (Bank Indonesia)”. Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-3 pada pasal 1 g, tentang mata uang sebagai berikut: “Semua jumlah uang yang tercantum dalam dan Memori Banding Tergugat tanggal 20 Juli 1999 yang diajukan kuasa hukum Tergugat. Pada tingkat banding, Pengadilan tetap menghukum PT Nabasa Life Insurance untuk membayar klaim nilai tunai. Belum diketahui putusan pada tingkat kasasi, karena Kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak lagi menjadi kuasa hukum pada tingkat kasasi.
Untuk pertama kalinya putusan ini diberikan anotasi hukum meskipun belum
berkekuatan hukum tetap sebagaimana dikutipkan berikut ini: “Kaidah hukum yang dapat disimpulkan melalui kasus ini, yaitu: penetapan kurs secara sepihak oleh penanggung (perusahaan asuransi) dengan mengesampingkan polis asuransi jiwa dan syarat-syarat/ ketentuan umum polis, tidak dibenarkan menurut hukum.
Hanya sayangnya putusan ini
sulit dieksekusi/ dilaksanakan, bila putusan ini sudah berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde) ternyata tergugat tidak mau melaksanakan putusan tersebut, karena tuntutan (petitum) sita jaminan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, termasuk tuntutan memblokir rekening-rekening tergugat, tidak dikabulkan majelis hakim yang mengadili perkara tersebut. Meskipun demikian, putusan ini dapat mengisi kelangkaan putusan badan peradilan yang memiliki nuansa normatif perlindungan konsumen.” Lihat: Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, Cet.ke1), hal.164-167.
perjanjian pertanggungan ini diperhitungkan menurut mata uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia yang sah serta menurut nilai tukar/ kurs tentang Bank Indonesia yang dilakukan pada saat pembayaran ini dilakukan”. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan bukti tersebut di atas, terbukti Tergugat dalam memenuhi prestasinya pada Penggugat tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dalam hal ini dalam penentuan mata US$ terhadap rupiah” (kursif dari penulis).
Sengaja
pertimbangan-
pertimbangan
putusan
dikutipkan
untuk
bahwa
Pengadilan
tersebut
menunjukkan telah
mengkoreksi pelanggaran hukum kebiasaan utmost good faith oleh perusahaan asuransi. Konon “asuransi” “doktrin” dan
bangun
usaha
dibangun
diatas
kebersamaan
sepenanggungan.
senasib Momen
musibah alam yang semestinya
bisa
diminimalisasi
akibat-
akibatnya pada derajat kesehatan para
korban
berbagai
risiko,
seperti: risiko sakit, cacad, atau bahkan
kematian,
lembaga-lembaga kesehatan, dirasakan.
ternyata Jika saja
melalui asuransi belumlah manfaat
asuransi itu sangat dirasakan oleh warga masyarakat, persis pada saat dan pasca peristiwa genting seperti bahaya banjir di Jakarta pada Februari 2002,96 perusahaan 96 Pada saat itu menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dari 300 ribu pengungsi korban banjir, 18 ribu diantaranya terserang diare, termasuk dalam jumlah itu balita dan anak-anak. Lihat: “Giliran Kuman Berpesta Pora”, rubrik kesehatan, Tempo, 2002: 50, XXX, 11-17 Februari 2002, hal.82-83. Belum lagi berbagai kuman yang akan menyerang sistem pencernaan hingga memicu diare, muntaber, dan demam tifoid. Juga penyakit lainnya seperti, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) (yang ditandai batuk, pilek dan demam) dan penyakit kulit. Dijumpai pula laporan bahwa kondisi psikis korban banjir semakin memburuk. Stress dan frustasi dilaporkan menyerang para pengungsi, apalagi banjir sudah memasuki lebih dari hari ke20. Akibatnya, bisa diperkirakan ketahanan tubuh semakin melemah. Posko Pengobatan Kesdam Jaya di Prumpung, Jatinegara, Jakarta, pada 14 Februari menangani 1.300 pengungsi yang berobat. Lihat pula: “Kondisi Psikis Korban Banjir Makin Rawan”, Warta Kota, 15 Februari 2002.
asuransi kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya promosi atas manfaat asuransi kesehatan atau setidak-tidaknya Saat
itu
memangkasnya.
hampir-hampir
tidak
terdengar pernyataan-pernyataan perusahaan
asuransi
kesehatan
dalam batas-batas lingkup usaha asuransi
kesehatan
keprihatinan
tentang
terhadap
para
konsumen/tertanggung. Seandainya
mereka
mendengar
pernyataan
dari
perusahaan
asuransi secara
kesehatan,
rohani
mengurangi
akan
tentu
ini
membantu
penderitaan
para
konsumen/tertanggung.97 Agaknya mereka cukup terhibur dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta
Sutiyoso
bahwa
Pemerintah memberikan layanan berobat terdekat
gratis
di
dalam
mendatang.98
rumah 2-3
sakit bulan
Sementara itu, PT
Asuransi Allianz Utama Indonesia (PT AAUI), sebuah perusahaan asuransi mengemukakan
kerugian, bahwa
klaim
akibat kerugian banjir akan terus bertambah __ sampai sekarang 97 Yusuf Shofie, “Pelayanan Asuransi Kesehatan di Rumah Sakit Yang Ideal: Harapan dan Keluhan Konsumen”, makalah pada Diskusi tentang Pelayanan Asuransi Kesehatan di Rumah Sakit, diselenggarakan Ikatan Rumah Sakit Jakarta Metropolitan (Jakarta Metropolitan Hospital Association), di Jakarta, Auditorium Dr. Partomo, RSPAD Gatot Subroto, Selasa, 26 Februari 2002. 98 “Kian Miskin Akibat Bah”, rubrik laporan utama, Tempo, 2002: 50, XXX, 11-17 Februari 2002, hal.23.
baru
dibayar
Rp
300
juta.
Sementara itu, menurut perkiraan Asosiasi
Asuransi
Umum
Indonesia (AAUI), klaim asuransi kerugian akibat bencana banjir yang
melanda
beberapa
kota
diperkirakan
Jakarta besar
lebih
dari
dan
lainnya Rp
2
triliun, jauh lebih besar dari klaim akibat
kerusuhan
Mei
1998.99
Sedangkan PT Asuransi Bintang Tbk
akan
membayar
klaim
99 “Allianz Diguyur Klaim Asuransi”, rubrik Bisnis Sepekan, Tempo, 2002: 50, XXX, 11-17 Februari 2002, hal.108-109. Hingga Jum’at sore 1 Februari 2002, PT Asuransi Allianz Utama Indonesia menyatakan telah menerima 59 notifikasi asuransi kerugian harta benda dan 27 notifikasi klaim asuransi kendaraan bermotor yang terkait dengan peristiwa banjir. Diperkirakan ke-86 klaim tersebut mencapai Rp 6,8 milyar. Sementara itu PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), sebuah perusahaan BUMN, mengaku sudah 7 pemegang polis yang tak hanya dilindungi risiko kebakaran, tetapi juga risiko banjir, telah mengajukan klaim yang diperkirakan nilainya tidak besar (ratusan juta rupiah saja). Sedangkan PT Berdikari Insurance mengatakan bahwa perusahaan sedang mengumpulkan data pemegang polis asuransi risiko banjir. Lihat: “Klaim asuransi banjir capai miliaran rupiah”, Bisnis Indonesia, 2 Februari 2002. Sayangnya beberapa waktu kemudian, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Frans Y. Sahusilawane meminta pemegang polis memahami proses klaim yang ditangani asuradur, karena banyaknya klaim yang diajukan di tengah terbatasnya tenaga loss adjuster. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI) Mira Amelia Malik menanggapi pembayaran klaim secara cepat merupakan hak pemegang polis, sama halnya dengan kewajiban pemegang polis membayar premi secara tepat waktu; alasan banyaknya klaim menunjukkan rendahnya profesionalisme perusahaan asuransi. Lihat: “YLKAI: Jangan Tunda Klaim Banjir”, Bisnis Indonesia, 9 Februari 2002.
asuransi akibat banjir berkisar Rp 20–25
milyar
untuk
122
kasus/klaim di Jakarta, Bandung, Surabaya,
Semarang
dan
Palembang, yang diajukan sampai dengan 11 Februari 2002100. Sejumlah
peristiwa
dan
temuan-temuan riset di bidang kesehatan seyogyanya dicermati oleh perusahaan asuransi yang menjual kesehatan. korban
produk
asuransi
Pertama, data-data demam
berdarah.
Menurut Departemen Kesehatan sudah 161 orang meninggal dunia akibat demam berdarah dengue 100
“Klaim banjir Asuransi Bintang Rp 25 milyar”, Bisnis Indonesia, 15 Februari 2002.
(DBD), sedangkan penderita DBD hingga Rabu, 18 Februari 2004 mencapai
8.135
penderita
Indonesia.101
seluruh
wilayah
Kedua,
menyangkut
dokter.
di
malpraktik
Beberapa
peristiwa
dikemukakan berikut ini. Setelah kurang lebih 7 bulan menderita kelumpuhan
kaki
yang
diduga
akibat malpraktik dokter Rumah Sakit Irwanto, Badan
Internasionl PhD,
kelumpuhan 101
Ketua
Narkotika
Jakarta.
Bintaro, Litbang
Daerah
DKI
Irwanto
menderita
setelah
menjalani
“Sudah 161 Orang Meninggal Akibat DBD”, Kompas, 19 Februari 2004, hal.1; “Korban DBD Bergelimpangan”, Warta Kota, 19 Februari 2004, hal.1.
perawatan tersebut. salah
di
rumah
sakit
Penyebabnya
diduga
diagnosa,
menderita
yaitu:
penyakit
pasien jantung
sehingga harus masuk ruangan ICCU.102
Peristiwa
lainnya
dikeluhkan seorang suami yang rela Setelah
ditinggalkan kandungan
minggu
isterinya. berusia
seorang
37
suami
mengantarkan isterinya ke dokter kandungan
dengan
keluhan
pusing-pusing dan mual. Menurut dokter, ia mengalami hipertensi dan karenanya harus dirawat inap di Rumah Sakit Bersalin, tempat 102
“Irwanto Tuntut Rumah Sakit Bintaro”, Warta Kota, 19 Februari 2004, hal.1.
praktek
dokter
Belakangan
tersebut.
isteri
tersebut
dilarikan ke ICU rumah sakit yang lebih besar karena koma setelah menjalani
operasi
Caesar
di
Rumah Sakit Bersalin tersebut. Operasi dilakukan setelah pasien dirawat tiga hari.
Bayi, anak
kedua
pasangan
suami-isteri
selamat.
Ironisnya
tersebut
lembar informed diberikan setelah
consent
baru
untuk
ditandatangani
operasi
berlangsung.
Namun, saat pelaksanaan operasi terjadi pendarahan dan emboli paru, yaitu: oksigen di paru-paru
tersumbat karena masuknya air ketuban
ke
dalam
paru-paru.
Sekitar 3 (tiga) jam kemudian, jiwa ibu si bayi itu sudah tak tertolong lagi, meskipun sempat ditangani dokter di rumah sakit yang lebih besar.103
Ketiga, dari
penelitian yang dilakukan PIRAC (2002), mengemuka bahwa jenisjenis jasa pelayanan kesehatan yang
diberikan,
yaitu:
(1)
pelayanan medik; (2) pelayanan penunjang
medik;
dan
(3)
pelayanan perawatan.104
Hal ini
merupakan
empirik
kenyataan
103 “Kisah Pilu Korban Malapraktik (3/Habis): Pak Doddy, Istri Bapak Sudah Tiada”, Warta Kota, 19 Februari 2004, hal.1. 104 Yusuf Shofie, Nurhasan dan Agung Feriyanto, Penelitian tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit (Jakarta: Public Interest Research and Advocacy Centre, 2002).
bahwa
pelayanan
bersifat
padat
karya,
dan
kesehatan
modal,
padat
padat
teknologi.
Survei terdahulu yang terakhir dilakukan
ayasan
Lembaga
Konsumen
Indonesia
(YLKI)
tentang asuransi kesehatan (tahun 1999)
mengemuka
beberapa
permasalahan: (1) peserta Askes diwajibkan jaminan sakit.
menyerahkan
kepada
pihak
uang rumah
Ada kesan rumah sakit
belum
sepenuhnya
dengan
komitmen
percaya perusahaan
asuransi; (2) adanya perubahan atau
perbaikan
isi
perjanjian,
misalnya
kenaikan
biaya
pelayanan medik dan harga obat, yang tidak segera diinformasikan; (3)
pelayanan
kesehatan,
termasuk pemberian obat-obatan tidak
sesuai
dengan
yang
disepakati dalam perjanjian atau polis;
(4)
pembayaran
klaim
asuransi kesehatan yang berlarutlarut.105 konsumen
Juga survei terhadap PT
(persero)
Askes
yang dilakukan YLKI di tahun 1993 masih relevan direnungkan sebagaimana
105
telah
“Survei dan Dialog Asuransi Kesehatan YLKI: Sebagian Besar Tidak Paham Isi Polis”, Warta Konsumen, 1999: 11, Tahun XXV, Nopember 1999.
disederhanakan pada table berikut ini. Pengaduan Konsumen Asuransi Kesehatan PT (Persero) Askes (Bulan 1 April 1993 – 15 Juli 1993).
RINCIAN MASALAH
KLASIFIKASI KELUHAN KONSUMEN pelayanan
Keluhan tentang
selama berobat
obat (54 jenis
(95 keluhan atau
atau 36,2%)
63,8%) Rujukan (sering kosong;
8 (8,4%)
-
8 (8,4%)
-
16 (16,9%)
-
9 (9,5)
-
pungutan; harus bolak-balik Diskriminasi peserta askes dan non-askes Prosedur berobat (rumit) Cara kerja petugas (datang terlambat, memotong jatah obat, merasa diperlukan)
Buruknya pelayanan secara
29 (30,5%)
-
8 (8,4%)
-
4 (4,2%)
-
6 (6,3%)
-
7 (7,4%)
-
-
23 (42,6%)
-
15 (27,8%)
-
6 (11,1%)
-
10 (18,5%)
keseluruhan selama berobat Biaya ekstra, Tidak tahu pasti biaya yang dijamin Askes Terbatasnya tempat untuk berobat Kebersihan lingkungan rumah sakit Gaji dipotong, tetapi tak pernah terima kartu Askes Prosedur pengambilan obat (rumit) Keterbatasan obat yang dicakup Askes Mahalnya obat yang tak cakup Askes (harus beli di luar) Buruknya pelayanan apotek (mendahulukan obat non Askes yang dibayar tunai. Sumber: Bidang Pengaduan YLKI Tahun 1993, Warta Konsumen, 1993: 235, XIX, Oktober 1993, hal.35-36; data diolah penulis.
Pada data pengaduan tahun 2001, seorang konsumen sebagai penderita diabetes mellitus dan jantung menyampaikan ke YLKI
bahwa ia telah menjalani cuci darah selama 7 bulan. sudah
membayar
kesehatan. sakit
perpanjangan
tanda
kepesertaan
Konsumen asuransi
Pada Februari 2001 konsumen harus masuk ke rumah
untuk menjalani perawatan, tetapi ternyata perusahaan
asuransi menolak menanggung biaya pengobatan dengan alasan kartu peserta baru belum diterima konsumen.
Untuk perusahaan
asuransi yang berbeda, konsumen lainnya yang sudah membayar Rp 501.500, ditolak untuk mendapatkan medical check up dengan alasan polis telah dibatalkan perusahaan asuransi. Secara umum tentang produk dan layanan asuransi dalam data primer pengaduan konsumen kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), setidaknya selama 5 (lima) tahun terakhir (20002005), dijumpai kualitas perlakuan yang tidak layak atau bahkan bertentangan dengan hak-hak konsumen. Berikut disarikan kualitas masalah-masalah hukum yang disampaikan konsumen dari segi alasan diikutinya program asuransi: 1
Asuransi kesehatan: (1) penolakan klaim asuransi dengan alasan penyakit sama106; (2) tindakan medik yang tidak layak (berlebihan) oleh rumah 106
Kasus posisinya sebagaimana dikemukakan Sonny Sukma Wijaya, Jakarta Utara,
diringkaskan sebagai berikut: ‘Saya telah mengajukan klaim ke perusahaan asuransi dengan data-data klaim sbb: Policy holder: PT Royal Terminal Kurir; Policy No.: 9923600763 3, Policy Eff.Date: 01-01-2000; Claim No.: 9; Date Event: 30-06-2004 to 11-07-2004; Claimant: Faradillah S., Certificate No.: 00056-4; Age/sex: 7/F; Claimant Eff.date: 17-10-2003; Hospital Eff.date: 17-10-2003. Faradila anak saya, umur 8 tahun 22 hari semula pada 30 Juni 2004 mengalami sakit pangkreas dan dirawat inap di RS Haji Pondok Gede sampai dengan 11 Juli 2004 (11 hari). Dan pada tanggal 18 Juli 2004 masuk kembali ke RS tersebut dengan diagnosa menderita usus buntu serta harus menjalani operasi dan rawat inap sampai tanggal 25 Juli 2004 (7 hari).
Namun ternyata perusahaan asuransi menolak membayar klaim
keseluruhan biaya di RS tersebut sehingga jumlah Rp 4.721.413 menurut perhitungan konsumen tidak dibayarkan hingga kini. Alasannya: kedua penyakit tersebut (pangkreas dan usus buntu) sama.” YLKI telah melayangkan surat ke Direksi Manulife Financial tanggal 6 Oktober 2004 No. 242/PNG-HK/YLKI/2004. PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia melalui Suratnya kepada YLKI tanggal 21 Oktober 2004 tanpa nomor ditandatangani Syarifudin Yunus (Manager Corporate Communications) telah menyelesaikan klaim konsumen tersebut sebagaimana diringkaskan berikut: “Sehubungan dengan surat YLKI ke Direksi Manulife Financial tanggal 6 Oktober 2004 No. 242/PNG-HK/YLKI/2004, kami memberitahukan
sakit/dokter; (3) perbedaan persepsi manfaat asuransi kesehatan yang ditanggung asuransi.107
bahwa penolakan klaim dengan alasan penyakit sama telah diselesaikan dengan baik antara Manulife Indonesia – Bapak Sonny Sukma Wijaya (tertanggung) – dan Team HRD perusahaan tempat tertanggung bekerja (PT Dokumen Parsel Ekspress) dimana Bapak Sonny Wijaya bekerja. Untuk diketahui YLKI bahwa pembayaran klaim dilakukan sesuai limit/batasan manfaat yang diterima tertanggung dan keluarganya sesuai ketentuan yang tertera dalam polis asuransi kesehatan kumpulan bagi perusahaan dimana Bapak Sonny Sukma Wijaya bekerja. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian YLKI. Hal ini sesuai dengan komitmen kami dalam memberikan pelayanan terbaik kepada para pemegang polis kam. PT AJ Manulife Indonesia terus berupaya meningkatkan kenyamanan dan kepuasan para pemegang polis dari tahun ke tahun. Terima kasih.” Sumber: Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, 2004. 107
Happy Natalia, SE (Jakarta Selatan), pemegang polis asuransi jiwa Ekalife, telah
menyampaikan pengaduannya. Bahwa konsumen pada 25 Juni 2004 mengalami sakit perut yang amat sangat dan mendapat bantuan medis di IGD RS Medistra. Menurut RS Medistra melalui surat-suratnya (Surat No. 1111.2.B.7.04 tanggal 27 Juli 2004,
Surat No.
1094.2.B.7.04 tanggal 23 Juli 2004 dan Surat No. 1072.2.B.7.04), konsumen mengalami nyeri epigastrium. Untuk memastikan diagnosa dan mengatasi gejala nyeri perut, konsumen dianjurkan dirawat dokter spesialis penyakit dalam, apalagi riwayat sakit lambungnya (gastritis) cukup sering. Didapati pula keluhan wajah kiri sering seperti ditarik-tarik. Dipikirkan Trigeminal Neuralgia. Untuk ini, konsumen dianjurkan pemeriksaan endoskopi dan dirujuk ke dokter syaraf, namun konsumen pikir-pikir dulu karena takut sakit. Selama rawat inap sampai dengan 28 Juni 2004, pada hari ke-2 dan ke-3 perawatan diperoleh banyak kemajuan dengan obat-obat suntikan. Baru pada hari ke-3 diberikan terapi obat oral, demikian pula pengobatan dari dokter syaraf. Hari ke-4 (28 Juni), konsumen diperbolehkan pulang, sedangkan endoskopi dilakukan pada saat rawat jalan nanti. Melalui 2 (dua) surat masing-masing, yaitu: masing-masing tanggal 29 Juli 2004 No. 175/KL-IN/VII/04 dan tanggal 6 Juli 2004, perusahaan asuransi menolak membayarkan klaim dengan alasan: (1) Pasal 1 Syarat-syarat Umum Polis Sehat (Rawat Inap) Pasal 1, yaitu: “Rawat Inap adalah dirawat secara terus menerus di dalam rumah sakit untuk sekurangkurangnya 72 (tujuh puluh dua) jam untuk perawatan kesehatan yang wajar dan diperlukan secara medis sesuai dengan ketidakmampuan secara fisik karena Penyakit yang dapat dijamin dan timbul setelah masa tunggu”. (2) “…Tim Dokter Eka Life menyimpulkan perawatan yang telah dilakukan tidak diperlukan secara medis sesuai dengan ketidakmampuan secara fisik karena penyakit yang diderita pasien.” Berkenaan dengan alasan penolakan tersebut, YLKI telah melayangkan surat ke Asuransi Jiwa Ekalife tanggal 28 September 2004 No. 239/PNG-HK/2004 bahwa justru dengan alasan butir (1), klaim rawat inap itu seharusnya dibayarkan. Selanjutnya untuk klausula “… perawatan kesehatan yang wajar dan diperlukan” apakah alasan butir (2) tersebut berarti Tim Dokter Eka Life berkesimpulan perawatan yang diberikan oleh dokter RS Medistra tidak sesuai secara medik? Apakah tidak sebaiknya anggota Tim Dokter Eka Life juga ada di tiap-tiap rumah sakit yang bekerja sama dengan Asuransi Eka Life untuk
2 Asuransi jiwa: (1) penolakan pembayaran klaim meninggal dunia, karena premi dibayar tidak teratur, tetapi semua pembayaran premi diterima; (2) penggabungan (merger atau konsolidasi)108; (3) penolakan pembayaran klaim menghindarkan adanya perbedaan persepsi atas “perawatan kesehatan yang wajar dan diperlukan?” YLKI kepada Asuransi Jiwa Ekalife tanggal 28 September 2004 No. 239/PNGHK/2004 ditembuskan kepada beberapa instansi, yaitu: (1) Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI; (2) Direktur Asuransi, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan RI; (3) Direktur Perlindungan Konsumen, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan; (4) Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan (5) Direktur Rumah Sakit Medistra. Melalui surat tanggal 26 Oktober 2004 No. 182/PL-EL/X/04, Asuransi Jiwa Ekalife meminta waktu untuk bertemu dengan YLKI pada 28 Oktober 2004. Pertemuan yang dihadiri Dr. Hardiano Teddy Saputra (Claim & Provider Division Head Asuransi Jiwa Ekalife), didampingi Yuli Kesuma Rianto, SH (Legal & General Support Div.Head) dengan Yusuf Shofie, SH.MH (Advokat pada YLKI) memperoleh titik temu yang pada intinya perusahaan asuransi pada satu sisi memahmi sepenuhnya itikad baik konsumen & akan memberikan penyelesaian ex-gratia, sedangkan pada sisi lainnya berpendapat bahwa tindakan medik yang dilakukan dokter tidak diperlukan secara medik. Untuk selanjutnya Asuransi Jiwa Ekalife akan menyampaikan penjelasan tertulis menyusul.
Namun hingga pertengahan
November 2004, surat dimakud belum diterima. Sumber: Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, 2004. 108
Kasus posisinya sebagaimana disampaikan Bapak Danang Sasongko Jumantoro
(Bekasi), diringkaskan berikut ini: “Saya pemegang Polis No.11462 Dwiguna Sejahtera Plus 21.
Saya hanya memiliki hubungan dengan Asuransi John Hancock, tidak dengan PT
Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Bila penggabungan kedua perusahaan asuransi tetap dilakukan, saya akan menarik seluruh premi yang telah selalu saya bayarkan tepat waktu. Saya
juga
tidak
ingin
dikenakan
potongan
apapun
dengan
merujuk
pada
Buku
Panduan/Proposal, karena penarikan seluruh premi bukan karena kebutuhan saya, melainkan karena pudarnya kepercayaan akibat rencana penggabungan tersebut. Jadi, saya tidak dirugikan akibat penggabungan tersebut. Penggabungan bukan karena keinginan saya sebagai konsumen.” Atas pengaduan tersebut, YLKI melalui surat tanggal 30 Juni 2004 No. 167/PNG-HK/YLKI/2004 telah merespon pengaduan tersebut. PT Asuransi John Hancock Indonesia melalui Surat tanggal 21 Juli 2004 No.13/Legal/JH/VII/04 ditandatangani Anne Mulya (Direktur) menjawab sebagaimana dikutipkan berikut ini: “Sampai saat ini perusahaan belum melakukan penggabungan (merger) dengan pihak manapun, termasuk dengan Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Perusahaan masih beroperasi seperti biasa. Bila perusahaan sampai menggabungkan diri dengan perusahaan asuransi jiwa lain, dipastikan seluruh polis yang sudah diterbitkan oleh PT AJ John Hancock Indonesia tetap berlaku dan dihormati oleh perusahaan yang menerima penggabungan. Secara hukum penggabungan tidak akan mengubah ketentuan yang sudah dicantumkan dalam polis.” Padahal sebelumnya konsumen pernah dikirimi surat bertanggal 29 April 2004 (tanpa nomor) berlogo John
meninggal dunia dengan alasan faktor material misrepresentation, tetapi pembayaran premi tidak ditolak.109 3 Asuransi Kerugian (Terkait dengan Produk Pembiayaan Kendaraan): konsumen tidak pernah menerima pembayaran klaim asuransi kendaraan, dalam hal kendaraan yang menjadi objek fidusia hilang (musnah) rusak parah akibat kecelakaan.
Klaim pembayaran asuransi diterima sepenuhnya
perusahaan pembiayaan, bahkan masih melakukan penagihan angsuran kendaraan.110
Hancock dan Manulife Financial, ditandatangani oleh Patricia Rolla Bawata/ Direktur PT Asuransi Jiwa John Hancock Indonesia. Isinya: berupa perkembangan terbaru proses integrasi/penggabungan PT AJ John Hancock Indonesia dengan PT AJ Manulife Indonesia yang akan membutuhkan waktu sekitar 5 bulan.
Setelah proses integrasi selesai, polis
konsumen secara administratif di bawah PT AJ Manulife Indonesia dan PT AJ Manulife Indonesia akan menghormati dan melanjutkan semua kondisi dan ketentuan yang tertera dalam kontrak polis sesuai hak dan kewajiban polis konsumen. Proses penggabungan tsb sebelumnya pernah diinformasikan pada 28 September 2003 yang lalu.
Saat ini proses
penggabungan telah selesai dan telah mendapatkan persetujuan dari badan regulator di seluruh dunia serta pemegang saham John Hancock.
Sumber: Bidang Pengaduan dan
Hukum YLKI, 2004. 109
Kasus posisinya sebagaimana diceritakan H. Soeprijadi (Depok), oang tua
konsumen, bermula dari (alm) Priesna Nafastia binti Wibisono, pemegang polis AIG Lippo Karawaci Tangerang No. 17076831 meninggal dunia pada 6 Februari 2004 karena sakit dan meninggalkan seorang anak piatu yang kini berusia 17 bulan. Almarhum konsumen ikut berasuransi dengan tujuan untuk masa depan pendidikan anaknya tersebut. Pembayaran premi telah berlangsung 4 x Rp 180.000. Pada 24 Mei 2004, ibu kandung almarhum ke kantor cabang Bank Lippo Cinere, Depok dengan maksud menarik uang yang sudah masuk serta
sekaligus menutupnya.
Permintaan Bank Lippo untuk melengkapi surat-surat
kematian dari Lurah dan Rumah Sakit serta copy akte lahir – akte lahir pemegang polis, anaknya dan ibu dari almarhum. Semua sudah dipenuhi pada 26 Mei 2004. Namun ternyata diberi keputusan: uang yang sudah masuk tidak dapat ditarik atau hangus. YLKI sudah melayangkan surat ke AIG Lippo tanggal 6 Agustus 2004 No. 203/PNG/YLKI-HK/2004, namun hingga kini tidak ditanggapi. Dari H. Soeprijadi diperoleh informasi bahwa Bapak Nazaruddin dari AIG Lippo Cab.Fatmawati menjelaskan per telpon bahwa premi hangus karena
terkadang
premi
terlambat
dibayar.
Per
menandatangani berita acara pencabutan pengaduan.
telpon
ia
diminta
membantu
Sumber: Bidang Pengaduan dan
Hukum YLKI, 2004. 110 Kasus posisinya sesuai disampaikan Bapak Azwar dan Ibu Tuty Kurniaty (Jakarta) sebagaimana diringkaskan berikut ini: “Saya sangat kecewa dengan pengurusan klaim asuransi kendaraan bermotor Honda Kharisma tahun 2003 No.Pol. B5280RG dengan data-data klaim atas nama: PT BNI QQ PT NSS QQ TUTY KURNIATY, No.Polis: 21.81.03.990001, No.Klaim: 21.81.04.700548/0, DOL: 12 Nopember 2003. Sepeda motor mengalami kecelakaan pada angsuran ke-9 bulan November 2003 dan langsung diajukan
klaim dengan memenuhi semua persyaratan. Setelah saya telusuri ternyata pihak leasing tidak tanggap, karena pengurusan klaim diserahkan pada broker sehingga berlarut-larut. Baru setelah saya proaktif, OTO Claim Centre Asuransi Central Asia melalui suratnya tanggal 11 Mei 2004 No. 541/CCM/IV/F/2004 (6 bulan setelah pengajuan klaim) sudah menyetujui klaim diselesaikan secara CTL (Constructive Total Lost) dengan penggantian, sebesar Rp 11.000.000 (sebelas juta rupiah) (harga bekas) sebelum dikurangi risiko sendiri sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Namun jumlah yang akan dibayarkan ke saya hanya Rp 5.0232,00 (lima ribu dua ratus tiga puluh dua rupiah), padahal saya sudah membayar uang muka (DP) dan angsuran-angsuran ± Rp 8 juta. Setelah pengurusan klaim ternyata sebaliknya leasing malah menerima keseluruhannya berjumlah Rp 19.168.000 (Uang muka Rp 3.000.000 + angsuran 9 kali @ Rp 552.000 + klaim asuransi Rp 10.900.000 + sumbangan broker Rp 300.000), padahal harga sepeda motor Kharisma tersebut Rp 13.500.000. Bukannya saya menerima sebagian pembayaran klaim asuransi, tetapi saya malah diminta pula untuk membayar selisih harga motor baru Rp 13.100.000 dikurangi dengan klaim sebesar Rp 10.900.000, yaitu: Rp 2.200.000 ditambah denda sebesar Rp 607.200 sehingga berjumlah Rp 2.807.200. Denda itu bukan karena saya terlambat bayar, tetapi justru karena berlarut-larutnya pengurusan klaim selama 6 bulan, padahal menurut ketentuan standar asuransi Indonesia selambat-lambatnya 60 hari kerja untuk penyelesaian klaim.” Atas surat YLKI tanggal 28 September 2004 No.238/PNG-HK/YLKI/2004 dan tanggal 19 Oktober 2004No.248/PNG-HK/YLKI/2004, PT Nusantara Surya Sakti melalui Surat tanggal 22 Oktober 2004 No. 039/IX/ASS-NSS/2004 ditandatangani oleh Ukoy (Customer Care) menjawab: “Menanggapi surat YLKI tanggal 28 September 2004 (Surat No.238/PNG-HK/YLKI/2004; red), mohon kiranya dapat kami sampaikan bahwa pada 12 Nopember Bapak Azwar dan Ibu Tuty K datang ke kantor kami melaporkan motornya mengalami kecelakaan. Bagian asuransi (Elly) menjelaskan bahwa asuransinya TLO (Total Lost Only), minimal kerugian 75% dari harga motor. Pada 14 Nopember 2003, kami telah menerima STPL Asli, Copy KTP, SIM, Foto motor rusak serta estimasi kerugian (yang belum ada cap bengkel). Ketika Ibu Tuty telpon, Sdr. Ely sudah menerangkan bahwa angsuran harus tetap dibayar. Jika tidak, dikenakan denda 1% per hari (ada perjanjiannya). Ibu Tuty akan bicara dengan suaminya (Bapak Azwar) dulu. Di hari lain ketika Bapak Azwar telpon, dijelaskan kembali bahwa angsuran harus tetap dibayar. Bapak Azwar bilang angsuran akan dibayar, bila asuransi cair. Pada Maret 2004, secara lisan PT ACA menolak klaim, karena kerusakan tidak mencapai 75% dari harga motor. Hal ini sudah disampaikan kepada Ibu Tuty/Bapak Azwar. Pertengahan Maret s.d. Mei 2004, Bapak Azwar menghubungi sendiri PT ACA. Wakil PT ACA datang sendiri ke rumah Bapak Azwar untuk melihat kondisi motor. Untuk kesekian kalinya klaim ditolak PT ACA. Bapak Azwar/Ibu Tuty belum bisa menerima hal ini. Akhirnya PT ACA meminta motor dibawa ke bengkel lain untuk diestimasi ulang, yang akhirnya disetujui PT ACA dan klaim bisa diproses. Saat asuransi cair tanggal 8 Juni 2004, staf kami (Lela) sudah menghubungi Ibu Tuty untuk menyelesaikannya. Ibu Tuty meminta kebijaksanaan untuk dendanya, dan dijawab untuk bukan wewenang Lela, namun akan diusahakan. 25 Juni 2004, kami memberikan keringanan 20% dari total denda. Baru pada 22 Juli 2004, Bapak Azwar datang ke kantor kami dan ditemui staf kami Astuti dan Elly. Ia minta denda dihitung selama 3 bulan sejak tanggal kecelakaan sehingga denda untuk Ibu Tuti/Bapak Azwar hanya Rp 607.200. Bapak Azwar setuju, tetapi masih pikir-pikir karena bila minta penggantian motor baru masih harus menambah Rp 7.444.720. Jumlah ini berasal dari perhitungan per 22 Juli 2004: Asuransi cair ……………………… Rp 10.900.000 Angsuran Des’03 s/d Juli’04 ……… Rp 4.416.000 (-) Rp 6.484.000 Denda …………………………..... Rp
607.200 (-)
Rp 5.876.000 Biaya ass 16 bulan (sisa lama angs) Rp
271.520 (-)
Rp 5.605.280 Biaya administrasi ………………… Rp
50.000 (-)
Rp 5.555.280 Harga motor karisma baru ………….Rp 13.000.000 (-) Kekurangan ganti motor baru ………. Rp 7.444.720 (Perhitungan tersebut akan disesuaikan dengan tanggal penyelesaian akhir) Untuk mengganti motor, konsumen harus menormalkan angsuran berikut dendanya terlebih dahulu, sesuai pernyataan tertulis yang sudah ditandatangani Ibu Tuty. Kami tidak memberikan dana asuransi cair hanya sebesar Rp 5.032.200 kepada Itu Tuty, sementara asuransi yang cair sebesar Rp 10.900.000.
Saat itu dana asuransi Ibu Tuty masih ada
A.3. Mencermati Klausula Baku Asuransi.
Penyelenggaraan
program
JPKM dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Badan Penyelenggara
dengan
(konsumen)
dan
peserta Badan
Penyelenggara dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (provider; sarana
pelayanan
Substansi sebenarnya kesehatan,
yang
kesehatan).111 diperjanjikan
adalah
asuransi
yaitu:
Paket
Pemeliharaan Kesehatan,112 yang sebesar Rp 5.555.280 tetapi dana tersebut belum bisa diserahkan karena Ibu Tuty masih mempunyai tanggungan hutang selama 16 kali angsuran atau sebesar Rp 8.032.000. Demikianlah, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih.” Sumber: Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, 2004. 111 Lihat: Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 571/MENKES/PER/VII/1993 tanggal 14 Juli 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 568/MENKES/PER/VI/1996 tanggal 5 Juni 1996. 112 Paket Pemeliharaan Kesehatan adalah kumpulan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara untuk kepentingan peserta dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan (Pasal 1 c Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 571/MENKES/PER/VII/1993 tanggal 14 Juli 1993
meliputi:
paket
kesehatan
pemeliharaan
dasar
dan
pemeliharaan
paket
kesehatan
tambahan. Penyusunan substansi yang
diperjanjikan,
memperhatikan ketentuan Baku Pasal
ketentuan-
Larangan
sebagaimana 18
hendaknya Klausula dimaksud
Undang-undang
No.8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK). Tabel Paket Pemeliharaan Kesehatan PAKET PEMELIHARAAN KESEHATAN Pemeliharaan Kesehatan Dasar 113 Pemeliharaan Kesehatan Tambahan
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 568/MENKES/PER/VI/1996 tanggal 5 Juni 1996). 113 Paket pemeliharaan kesehatan dasar tersebut harus disusun berdasarkan pertimbangan: a) pola penyakit dan kebutuhan pemeliharaan kesehatan baik secara nasional maupun wilayah; b) pola pemanfaatan pelayanan; c) pola biaya rata-rata pemeliharaan kesehatan; d) pola jenis dan jumlah sarana dan tenaga kesehatan, kemampuan serta penyebarannya (Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 527/MENKES/PER/VIII/1993 tanggal 11 April 1995 tentang Paket Pemeliharaan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JPKM).
Rawat jalan yang diberikan, yaitu: a) pelayanan kesehatan pencegahan; b) penyuluhan kesehatan; c) pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan tindakan medis; d) pelayanan pemulihan kesehatan, yang kesemuanya meliputi: pemberian imunisasi dasar, pelayanan Keluarga Berencana (KB), dan pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk persalinan sesuai ketentuan Rawat inap diberikan sesuai kebutuhan medis selama 5 hari rawat Pelayanan Kesehatan Penunjang diberikan untuk keperluan pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan tindakan medis, misal: radio diagnostik dan atau ultrasonografi, pemeriksaan laboratorium klinik. Pelayanan Gawat Darurat dapat dilakukan oleh setiap pemberian pelayanan kesehatan.
Rawat jalan untuk persalinan anak ketiga dan seterusnya .
Tidak ada penjelasan pengaturan lebih lanjut Tidak ada penjelasan pengaturan lebih lanjut
dan
Tidak ada penjelasan pengaturan lebih lanjut
dan
dan
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 527/MENKES/PER/VIII/1993 tanggal 11 April 1995 tentang Paket Pemeliharaan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JPKM; diolah penulis.
Tabel Norma Klausula Baku Pasal 18 UUPK & Contoh Dalam Asuransi Kesehatan Norma Klausula Baku Keterangan Pasal Isi Klausula a. larangan yang 18 ayat Baku yang menyatakan pengalihan (1) dilarang tanggung jawab pelaku usaha (contoh: Tidak tersedianya paket pelayanan kesehatan yang dijanjikan bukan tanggung jawab penyelenggara); (Pasal 18 ayat 1 butir a) b. larangan yang menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas jasa yang dibeli konsumen (contoh: Tidak dapat dituntut pengembalian premi atas tidak
Sanksi - Batal demi hukum (Ps. 18 ayat (3); - Pidana penjara maks. 5 th atau pidana denda maks. Rp 2 milyar (Ps. 62 ayat (1)).
tersedianya paket pelayanan kesehatan yang diperjanjikan) (Pasal 18 ayat 1 butir c) (Catatan: Ketentuan ini dapat mendorong dipatuhinya patokan atau standard paket pelayanan, meskipun ini juga tidak mudah); c. larangan yang mengatur pembuktian atas pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen (contoh: Pelayanan kesehatan hanya dapat diberikan dengan menunjukkan kartu kepesertaaan) (Pasal 18 ayat 1 butir e); d. larangan yang memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa (contoh: Pelayanan kesehatan penunjang hanya diberikan jika tersedia) (Pasal 18 ayat 1 butir f) e. larangan yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya (contoh: ketentuanketentuan tambahan pada perjanjian asuransi kesehatan/JPKM) (Pasal 18 ayat 1 butir h); Letak Klausula Sulit terbaca dan tidak 18 Baku dapat dibaca secara jelas (2) (contoh: ditempatkan di balik perjanjian utama sebagai syarat-syarat umum)
Bentuk
Sulit terbaca dan tidak 18
ayat - Batal demi hukum (Ps. 18 ayat (3); - Pidana penjara maks. 5 th atau pidana denda maks. Rp 2 milyar (Ps. 62 ayat (1)). ayat - Batal demi
Klausula Baku
dapat dibaca secara jelas (2) (contoh: dicetak dengan ukuran huruf yang sangat kecil)
Pengungkapan Klausula Baku
Sulit dimengerti (contoh: 18 dengan menggunakan (2) bahasa atau istilah-istilah asing atau teknis yang tidak lazim bagi masyarakat pada umumnya)
Kewajiban Penyesuaian Klausula Baku
Penyesuaian klausula baku 18 yang diterapkan sebelum (4) UUPK (contoh: “Pelayanan kesehatan tidak dapat diberikan, kecuali pada sarana pelayanan kesehatan sesuai domisili peserta” diubah klausulanya berbunyi misalnya: “Pelayanan kesehatan diberikan pada sarana pelayanan kesehatan yang sudah menjadi mitra kerja”)
hukum (Ps. 18 ayat (3); - Pidana penjara maks. 5 th atau pidana denda maks. Rp 2 milyar (Ps. 62 ayat (1)). ayat - Batal demi hukum (Ps. 18 ayat (3); - Pidana penjara maks. 5 th atau pidana denda maks. Rp 2 milyar (Ps. 62 ayat (1)). ayat - Batal demi hukum (Ps. 18 ayat (3); - Pidana penjara maks. 5 th atau pidana denda maks. Rp 2 milyar (Ps. 62 ayat (1)).
Sumber: Yusuf Shofie (2002)
Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 571/MENKES/PER/VII/1993
tanggal
Penyelenggaraan
Jaminan
Masyarakat
Program
sebagaimana
diubah
14
Juli
1993
Pemeliharaan
dengan
tentang Kesehatan
Peraturan
Menteri
Kesehatan RI No. 568/MENKES/PER/VI/1996 tanggal 5 Juni 1996), peserta (konsumen) berhak untuk mengajukan keluhan serta memperoleh penyelesaian atas keluhan yang diajukannya, baik menyangkut pelayanan Badan Penyelenggara maupun Pemberi
Pelayanan Kesehatan.114
Diharapkan melalui penyelesaian keluhan
dari peserta (konsumen), disamping akan dijumpai kinerja badan penyelenggara/perusahaan
asuransi
dan
pemberi
pelayanan
kesehatan menjadi lebih baik, juga derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih baik. Masalah-masalah
hukum
asuransi
jiwa
bersumber
pada
substansi polis asuransi jiwa. Jadi, substansi dalam polis asuransi jiwa dan ketentuan/ syarat-syarat umum polis berikut ini seyogyanya dicermati:115 1) Pihak-pihak
yang
terikat
dalam
perjanjian,
meliputi:
penanggung
(perusahaan asuransi jiwa), pemegang polis (tertanggung/ konsumen), pihak yang ditunjuk untuk menerima uang pertanggungan (suami/ isteri, anak dan/atau orang tua); 2) Jenis asuransi/ pertanggungan jiwa yang diikuti konsumen.
Untuk ini
diperlukan pemahaman konsumen terhadap produk-produk asuransi jiwa yang ditawarkan.
Jangan heran, terdapat pula produk asuransi jiwa yang
dikemas dengan program beasiswa berencana.
Jenis asuransi ini
memberikan beasiswa untuk anak konsumen pada waktu yang telah ditentukan selama masa pertanggungan.
Bila konsumen meninggal dunia
dalam masa pertanggungan, disamping menerima uang pertanggungan, anak konsumen akan tetap menerima beasiswa pada waktu yang telah ditentukan dalam polis. 3) Jumlah uang pertanggungan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Besarnya jumlah uang pertanggungan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya premi yang dibayarkan ; 4) Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara teliti oleh konsumen sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menuruti besarnya premi yang ditawarkan petugas asuransi (tanpa 114 Bandingkan ketentuan tersebut dengan Pasal 4 butir e Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK), yaitu: hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 115 Yusuf Shofie, “Mengenal Seluk Beluk Asuransi Jiwa”, Suplemen Warta Konsumen, No.10, Oktober 1996. Lihat pula: Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, Cet.ke-1), hal. 159-162 dan Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, Cet.ke-2), hal. 160-172.
memperhitungkan kemampuan finansial) akan membuat kesulitan bagi konsumen di kemudian hari, misalnya: penunggakan pembayaran premi asuransi; 5) Masa berlakunya polis (Masa pertanggungan) berkisar 10, 15 atau 20 tahun. Penetapan lamanya masa pertanggungan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, dengan sendirinya sama dengan masa pembayaran premi asuransi jiwa yang diikuti konsumen; 6) Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan/ atau kompensasi yang menjadi hak konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, baik karena tejadinya risiko kematian pada tertanggung atau berakhirnya masa pertanggungan (insurance period).
Besarnya manfaat
yang diperoleh tertanggung atau pihak yang ditunjuk tergantung pada jenis asuransi jiwa yang diikuti.
Pemahaman konsumen terhadap produk
asuransi jiwa mutlak sangat diperlukan; 7) Tata cara pembayaran manfaat asuransi. Dalam hal tertanggung meninggal dunia, maka pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi segera mengajukan klaim pembayaran/ pencairan manfaat asuransi.
Pengajuan
klaim dilengkapi persyaratan: a. polis asuransi jiwa; b. bukti pembayaran premi terakhir; c. bukti identitas yang bersangkutan; d. surat keterangan dokter/ pejabat yang berwenang menerangkan sebabsebab meninggalnya tertanggung. Berakhirnya
masa
pertanggungan
perusahaan
asuransi
membayarkan
tertanggung (konsumen) masih hidup.
dengan
sendirinya
manfaat
asuransi,
mewajibkan meskipun
Sebelum menerima pembayaran
itu, tertanggung menyerahkan polis asuransi jiwa, bukti pembayaran premi terakhir, dan bukti identitas yang bersangkutan kepada perusahaan asuransi.
Untuk kepentingan hukum konsumen, hendaknya konsumen
membiasakan tertib administrasi dengan meminta bahkan mendesak perusahaan asuransi untuk memberikan bukti pengajuan pembayaran/ pencairan klaim manfaat asuransi ;
8)
Tata cara penagihan/ pembayaran premi asuransi. Sebaiknya konsumen tetap mewaspadai (caveat emptor), atas berbagai bentuk pelayanan pembayaran premi yang ditawarkan perusahaan asuransi.
Kemudahan
pelayanan pembayaran premi, seperti penagihan premi ke alamat rumah/ kantor konsumen, penagihan premi lewat kartu kredit, dan sebagainya, pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk pemasaran produk asuransi. Persoalan muncul bila petugas penagih premi membawa lari uang premi tertanggung.
Polis konsumen dapat saja terancam batal dengan alasan
pembayaran premi tertunggak. Bila argumentasi konsumen merujuk pada kelalaian petugas, konsumen sering disudutkan seolah-olah menunggak pembayaran premi. Dalam syarat-syarat umum polis yang tertuang dalam rumusan kalimat yang kecil-kecil (sering kali sulit dibaca saking kecilnya), perusahaan asuransi mematahkan argumentasi konsumen dengan rumusan pasal: “Penagihan premi asuransi di alamat penagihan atau melalui cara penagihan lainnya yang diselenggarakan perusahaan asuransi, tidak membebaskan pemegang polis dari kewajibannya untuk selalu melunasi premi asuransi”. 9)
Pembatalan polis sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi dalam hal terpenuhinya satu atau lebih syarat, sebagai berikut: a. Pemegang polis memberikan keterangan atau pernyataan tidak jujur atau sengaja dipalsukan pada waktu mengisi formulir-formulir yang disiapkan terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi.
Pemberian
keterangan/ pernyataan tersebut diberikan sebelum diterbitkannya polis (perjanjian) asuransi; b. Selambat-lambatnya dalam masa leluasa (grace period) (biasanya kurang lebih 3 bulan) sejak tertunggaknya pembayaran premi, tertanggung belum juga melunasi pembayarannya Konsekuensi pembatalan polis berdasarkan alasan butir a, tidak memberikan hak apa pun kepada konsumen (tertanggung) untuk menuntut
pembayaran,
kecuali
konsumen
dapat
membuktikan
keterangan atau pernyataannya diberikan secara jujur dan benar. Sebaliknya pembatalan polis pada butir b, memberi hak kepada
konsumen atas pembayaran nilai tunai, bila polisnya telah mempunyai nilai tunai. Perincian besarnya nilai tunai itu sesuai dengan daftar yang dilampirkan pada polis.
Sangat dianjurkan kepada konsumen untuk
meminta penjelasan secara terperinci mengenai perhitungan nilai tunai itu sebelum konsumen menyetujui mengikuti asuransi jiwa.
Pastikan
pula informasi nilai tunai yang diinformasikan itu tidak berbeda dengan yang dilampirkan pada polis asuransi. 10)
Penolakan pembayaran klaim manfaat asuransi terjadi dalam hal: a. tertanggung meninggal dunia karena bunuh diri; b. tertanggung meninggal dunia karena kejahatan yang dilakukannya; c. tertanggung meninggal dunia karena perkelahian, kecuali sebagai pihak yang membela diri. Walaupun perusahaan asuransi menolak pembayarannya berdasarkan salah
satu
alasan
itu,
perusahaan
asuransi
tetap
berkewajiban
membayarkan nilai tunainya atas polis yang telah memiliki nilai tunai. Sebaliknya bila tertanggung terbukti meninggal dunia akibat kejahatan yang dilakukan pihak ketiga, yaitu pihak yang ditunjuk untuk menerima uang pertanggungan, maka pihak perusahaan asuransi dibebaskan untuk tidak membayar apapun kepada pihak ketiga itu. B.
Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi dan Periklanan di Bidang Kesehatan. Indonesia terdiri dari beribu pulau dengan jumlah penduduk + 220 juta
jiwa, dengan beraneka ragam budaya, dimana tingkat pengetahuannya tentang kesehatan masih bervariasi sesuai dengan tingkat sosial ekonominya. Dahulu kala pelayanan kesehatan lebih perhatian kepada masalah sakit atau penyakit yang dialami oleh penderita untuk dilakukan penyembuhan sampai penderita menjadi sehat kembali, tanpa memperhatikan lagi bahwa penyakit tersebut dapat kambuh. Konsep pencegahan dan pemeliharaan yang ada kurang diperhatikan oleh petugas kesehatan, hal ini diserahkan kepada teman sejawat yang peduli akan pencegahan yang mana profesionalisme, keadaan sosial masih rendah untuk meningkatkan pengadaan air bersih dan sanitasi, pemberian vaksin dalam
mencegah penyakit dan penyuluhan ke masyarakat apa yang mereka harus lakukan agar menjadi lebih sehat116. Sebetulnya kesehatan dapat dipromosikan secara baik kepada masyarakat dimanapun. Tempat pelayanan kesehatan, petugas kesehatan dan peralatan yang canggih dan mahal dengan majunya perkembangan teknologi saat ini adalah menjalankan
prosedur
pemeriksaan
kesehatan
mengakibatkan
takutnya
masyarakat ataupun yang membutuhkan untuk berobat terutama untuk sosial ekonomi yang rendah atau pas-pasan sementara pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan dengan teknologi yang sederhana masih dibutuhkan, untuk mengurangi kematian. Dengan adanya perbedaan biaya kesehatan yang mahal, maka masyarakat cenderung tidak mematuhi dan tidak memperhatikan rambu-rambu periklanan kesehatan padahal salah satu penyebab kematian adalah ketidaktelitian masyarakat dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Penyebab kematian yang paling dominan adalah kaitannya dengan kemiskinan, ketidaktahuan, kurang gizi, lingkungan yang kotor, atau berpotensi pemakaian NAPZA, termasuk rokok dan gaya hidup (life style) yang tidak sehat sering mempengaruhi kesehatan masyarakat sampai menimbulkan penyakit yang berbahaya dan cenderung berakibat kematian. Masih banyak juga masyarakat kurang mampu menjangkau pelayanan kesehatan karena hambatan geografis dan transportasi, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan dalam pertolongan. Dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini seharusnya semua masyarakat Indonesia merasakan kemajuan tersebut, tetapi karena keterbatasan biaya dan pemerataan pelayanan maka teknologi tersebut baru dapat dirasakan sebagian kecil masyarakat. Keadaan tersebut di atas merupakan gambaran pembangunan kesehatan di Indonesia. Untuk itu, sebaiknya kesehatan harus menjadi kebutuhan dasar dan juga merupakan hak azasi manusia dalam mencapai Indonesia sehat 2010. 116 Dalam upaya meningkatkan perbekalan kesehatan, sebagai konsekuensinya adalah pembangunan dari semua sektor harus mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, memberi kontribusi dan tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat, disebut pembangunan kesehatan adalah indonesia sehat 2010, dengan misi menggerakkan nasional yang berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakt untuk hidup sehat dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dean meningkatkan kesehatan individu masyarakat termasuk lingkungannya.Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Departemen Kesehatan, 1999
Prinsip ini merupakan visi dari pembangunan kesehatan Indonesia, dimana semua masyarakat hendaknya derajat kesehatannya memungkinkan untuk produktif dalam bekerja dan berpartisipasi secara aktif dalam pencegahan dan pemeliharaan kesehatan. Hal tersebut di atas tidak mungkin dapat dicapai melalui kesehatan saja tetapi juga harus melibatkan semua sektor yang terkait.117 Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sehat, tentunya negara akan membuat suatu program untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat melalui peningkatan kualitas manusia. Dan salah satu tujuan dari pada pembangunan adalah mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang termaktum dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan tersebut adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah dan berkesinambungan. Adapun tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di dalam wadah negara Kesatuan RI yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut dibutuhkan antara lain tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas. Data UNDP Tahun 1997 mencatat bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih menempati urutan ke-106 dari 176 Negara. Tingkat pendidikan, pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia memang belum memuaskan. Menyadari bahwa tercapainya tujuan pembangunan nasional merupakan kehendak dari seluruh rakyat Indonesia, dan dalam rangka menghadapi makin 117 Dikutip dari Internet http://www.promosikesehatan.com/profile/index.php tentang Promosi Kesehatan dengan Tatanan dari Pelayanan Kesehatan Kuratif ke Promotif dan Preventif tanggal 29 Agustus 2006.
ketatnya persaingan bebas pada era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan. Dalam hal ini peran keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan. Penduduk yang sehat bukan saja akan menunjang keberhasilan program pendidikan,
tetapi juga mendorong
peningkatan produktifitas dan pendapatan penduduk. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait, pemerintah, swasta dan masyarakat. Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kinerja sektor kesehatan semata, melainkan sangat dipengaruhi oleh interaksi yang dinamis dari berbagai sektor. Upaya untuk menjadikan pembangunan nasional berwawasan kesehatan sebagai salah satu visi serta strategi yang baku harus dapat dijadikan komitmen semua pihak, di samping menggeser peradilan pembangunan kesehatan yang lama menjadi paradigma sehat. B.1. Perspektif Masyarakat Dalam Periklanan Kesehatan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang cukup membuat masyarakat terpengaruh di dalam menyikapinya. Terlihat dalam perkembangan gaya hidup (life stayle) masyarakat yang begitu cepat mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia cenderung konsumtif, sehingga periklanan dapat dikatakan telah berhasil membujuk para pelanggan untuk lebih tertarik lagi ke hal-hal yang membuat masyarakat semakin penasaran. Dunia periklanan saat ini khususnya iklan kesehatan cenderung disalahtafsirkan sehingga pemahaman masyarakat yang berbeda-beda terhadap periklanan di Indonesia akan membuat pemerintah untuk segera membuat aturan yang jelas tentang periklanan kesehatan. Walaupun kebijakan yang telah dibuat oleh Departemen Kesehatan tentang promosi kesehatan di dalam profilenya, dimana Pusat Promosi Kesehatan merupakan salah satu Unit di Departemen Kesehatan yang dibutuhkan dalam rangka membantu menyebarkan informasi program kesehatan kepada masyarakat di seluruh Indonesia guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Pemerintah menyelenggarakan promosi dan periklanan kesehatan baik berupa pengembangan pesan kesehatan, penyebaran informasi kesehatan baik berupa penyuluhan, kampanye melalui media elektronik dan visual (televisi, radio, internet) maupun media cetak dan pameran berskala nasional dan internasional. Di dalam periklanan kesehatan yang ditentukan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386 Tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Alat Kesehatan Jo. Keputusan Kepala Badan POM tentang Promosi Obat dan Jis UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan tersebut Promosi dan Periklanan Kesehatan dapat diselenggarakan sesuai peruntukan dan aturan yang ditentukan yang menyatakan periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan Minuman dalam petunjuk teknisnya disebutkan bahwa secara umum iklan obat harus mengacu pada Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, tetapi khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis medis, maka penerapannya harus berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan tersebut. B.2. Pembinaan dan Pengawasan Promosi Periklanan Kesehatan. Di dalam peraturan tentang periklanan dan Promosi Kesehatan masih mengacu kepada peraturan yang mengatur secara teknis karena pada dasarnya pengaturan tentang promosi dan periklanan tentang kesehatan belum diatur. Namun demikian penyelenggaraan promosi dan periklanan kesehatan tetap mengacu kepada peraturan yang ada, dengan memperhatikan masalah kesehatan. Masalah kesehatan ditentukan oleh dua faktor utama, yakni faktor perilaku dan faktor non perilaku (lingkungan dan pelayanan) oleh sebab itu upaya untuk mencegah masalah kesehatan juga ditujukan atau diarahkan kepada kedua faktor tersebut. Perbaikan lingkungan fisik dan peningkatan pelayanan sosio-budaya serta peningkatan pelayanan kesehatan adalah merupakan intervensi atau pendekatan terhadap sektor non-perilaku. Sedangkan pendekatan (intervensi) terhadap faktor perilaku adalah promosi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan dewasa ini lebih dikenal dengan promosi kesehatan adalah
suatu pendekatan untuk meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Mengingat tujuan akhir promosi kesehatan bukan sekedar masyarakat mau hidup sehat, tetapi juga mampu untuk hidup sehat118. Promosi layanan kesehatan masyarakat dalam bentuk iklan belakangan mulai muncul, bahkan di negara tetangga iklan-iklan tersebut mulai bersaing secara nyata dan Indonesia perlu mengantisipasi fenomena itu. Salah satu contoh yang diutarakan oleh Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jakarta oleh Dr. Robert Imam Soetedja, bahwa rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan membutuhkan media iklan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat119. Dalam kasus tersebut pemerintah sudah seharusnya membuat suatu aturan yang jelas dalam periklanan kesehatan secara spesifik yaitu periklanan rumah sakit, karena pelayanan rumah sakit merupakan jenis pelayanan yang butuh dan berbeda dari bidang jasa dan pelayanan lain. Kode etik atau tata krama dan tata cara yang jelas sangat perlu dalam membuat sebuah iklan bagi rumah sakit. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi acuan dalam beriklan. Kalau diperhatikan bahwa pada akhir-akhir ini di negara tetangga sudah mulai berkembang upaya persaingan dan munculnya berbagai promosi layanan kesehatan berbentuk iklan. Sampai dengan saat ini acuan untuk periklanan kesehatan di Indonesia belum jelas, sehingga pembuat promosi dan iklan kesehatan apabila melanggar hukum, maka aturan yang mana yang diterapkan? Adapun Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 Tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan Minuman tidak mengatur secara spesifik tentang promosi dan iklan kesehatan, mau tidak mau tetap mengacu kepada Keputusan Menteri tersebut. Karena di dalam penyelenggaraan periklanan obat dan makanan secara prakteknya sangat berkaitan dengan peraturan periklanan dan promosi kesehatan. 118 Sudarti Kresno, dikutip dari bukunya Soeteidjo Noto Admodjo dalam bukunya Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Pertama, Jakarta, 2005. 119 Di kutip dari Internet http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp? Kategori Konsumen&newsno 29 Agustus 2006.
Kita tentunya sering mengamati di televisi, adanya iklan produk suplemen hingga sabun yang diperagakan oleh seorang tenaga kesehatan atau orang yang berpenampilan seolah-olah sebagai tenaga kesehatan (misalnya dokter atau ahli gizi) atau mencantumkan nama organisasi profesi suatu tenaga kesehatan. Dalam periklanan terdapat suatu acuan yang disebut Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Dalam acuan tersebut tersirat sejumlah peraturan yang merupakan langkah dalam pengawasan iklan di Indonesia. Dalam penerapan khusus Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia ditegaskan bahwa dokter, ahli farmasi, tenaga medis dan paramedis lain atau atribut-atribut profesinya tidak boleh dipergunakan untuk mengiklankan produk obat-obatan, alat kesehatan maupun kosmetika. Terhadap iklan produk/alat kesehatan, peraturan yang ada adalah yang berhubungan dengan atribut kesehatan, diatur dalam periklanan obat-obatan. Dalam peraturan tersebut iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian advis, rekomendasi atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh dokter, perawat, tenaga kesehatan lain, ahli farmasi, rumah sakit maupun berbagai atribut profesi medis lainnya. Dengan demikian, bila kita tinjau kembali iklan yang menggunakan tenaga kesehatan maka hal tersebut cenderung merupakan pelanggaran. Hal ini mengingat sosok tenaga kesehatan merupakan fasilitator yang efektif dalam memberikan pedoman atau petunjuk gaya hidup sehat atau solusi masalah kesehatan. Demikian pula pemanfaatan gelar profesi dalam iklan layanan masyarakat
namun
disertai
”komersialisasi
terselubung”
cenderung
mengesankan adanya rekomendasi dari tenaga kesehatan terhadap konsumsi atau penggunaan produk tertentu. Dengan adanya adegan penokohan tersebut, gejala yang mungkin terjadi adalah peningkatan konsumsi produk tersebut. Penyampaian informasi sebagai upaya pendidikan konsumen dalam rangka mencapai dan meningkatkan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal ini, masyarakat sebagai konsumen sebaiknya lebih selektif
dalam menerima pesan dari suatu iklan, jangan langsung terpengaruh hanya karena adanya tenaga kesehatan yang ditampilkan.120 Baik periklanan obat, obat tradisional, makanan, kosmetik, suplemen dan kesehatan mempengaruhi yang khusus dalam masyarakat, karena produk tersebut diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Namun demikian akibat penggunaan yang salah, tidak tepat dan tidak rasional dari produk tersebut dapat membahayakan kesehatan kita semua. Untuk melindungi konsumen dari promosi dan periklanan kesehatan, obat dan makanan dari pemakaian yang salah, tidak tepat dan tidak rasional, pemerintah wajib melaksanakan pengendalian dari pengawasan terhadap penyebaran informasi iklan/promosi. Dalam periklanan, masalah yang dihadapi relatif kompleks karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya menyangkut kepentingan produsen, dan kriteria etis periklanan, tetapi juga menyangkut manfaat dan resikonya terhadap konsumen/masyarakat luas. Oleh karena itu struktur maupun format pesan iklan yang disampaikan kepada konsumen perlu dirancang dengan mematuhi aturan promosi dan periklanan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak menimbulkan persepsi dan interpretasi yang salah di masyarakat. B.3. Penyelenggaraan Promosi Dan Iklan Kesehatan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 Tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan Minuman, bahwa tata cara periklanan dan promosi kesehatan di Indonesia merupakan sarana penting untuk meningkatkan penjualan bagi produsen, tetapi iklan juga merupakan sarana yang dapat dipergunakan untuk memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat atas produk tersebut, maupun informasi umum di bidang kesehatan. Di dalam prakteknya pengaturan tentang promosi dan iklan kesehatan oleh Keputusan Menteri tersebut tidak secara spesifik diatur, namun demikian secara peraturan tersebut adalah merupakan dasar hukum dari pada promosi 120
2006.
http//cybermed.cybermed.cbn..net.id./des./asp’/kategori Konsumen & news tanggal 29 Agustus
dan iklan kesehatan, dimana pengaturan tentang iklan obat dan makanan juga merupakan hal penting dalam promosi dan iklan kesehatan, yang pada akhirnya promosi kesehatan dengan promosi iklan obat adalah saling berkaitan di dalam penyelenggaraannya. Dalam rangka melindungi masyarakat dari penyalahgunaan informasi dan promosi kesehatan yang sesuai dengan norma-norma periklanan di Indonesia, maka pemerintah menyelenggarakan penyuluhan tentang periklanan kesehatan terhadap masyarakat untuk mengerti tata cara periklanan dan promosi di bidang kesehatan. B.4. Pusat Promosi Kesehatan. Secara struktural pusat promosi kesehatan berada di bawah Departemen Kesehatan yang mempunyai tugas. Pelaksanaan tugas di bidang promosi kesehatan yang berada di bawah Menteri dan melaksanakan perumusan kebijakan teknis, bimbingan dan promosi kesehatan yang berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan secara eksplisit keberadaan pusat promosi kesehatan merupakan salah satu Unit di Departemen Kesehatan yang dibutuhkan dalam rangka membantu menyebarkan informasi program kesehatan kepada masyarakat di seluruh lapisan guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Tugas unit pusat promosi kesehatan adalah melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam bidang promosi kesehatan baik berupa kampanye melalui media elektronik dan visual (televisi, radio, internet) maupun media cetak dan pameran berskala nasional dan internasional dan tidak lupa melakukan pendamping kepada provinsi dan kabupaten/kota. B.5. Perlunya Pengaturan Promosi dan Periklanan Kesehatan. Istilah Health Promotion (promosi kesehatan) tercetus sejak tahun 1986, seiring dengan diselenggarakannya konferensi internasional salah satu tentang Health Ottaw, Canada yang merupakan prinsip-prinsip dasar health promotion. Bertolak dari prinsip-prinsip yang dapat dipelajari dari promosi kesehatan, pada tahun 1995 dikembangkanlah strategi atau upaya peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat, sebagai bentuk operasional atau setidaknya sebagai embrio promosi kesehatan di Indonesia tersebut dilambangkan melalui serangkaian pertemuan baik internal pusat penyuluhan kesehatan eksternal secara lintas program dan lintas sektor, termasuk dengan organisasi profesi. Dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan maka pemerintah perlu membuat suatu aturan tentang promosi dan iklan kesehatan di dalam memberdayakan masyarakat tentang bagaimana perlunya mengetahui cara penggunaan obat dan produk farmasi lainnya secara tepat dan benar. Untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan obat diterbitkan UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam rangka perlindungan konsumen telah pula diundangkan UU No. 8 Tahun 1999 menyangkut perlindungan terhadap sediaan farmasi dan pangan. Salah satu tujuan undang-undang tersebut adalah meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin berlangsungnya usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Demikian
juga
tentang
perkembangan
ketatanegaraan
saat
ini
menunjukkan asas disentralisasi yang sangat kuat. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerirntah daerah dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah akan sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan termasuk pelayanan kesehatan. Dalam rangka itulah pemerintah membuat kebijakan di bidang kesehatan dalam mewujudkan pengaturan tentang promosi dan periklanan kesehatan yang diarahkan dan diprioritaskan pada upaya pelayanan kesehatan dasar yang lebih menitikberatkan pada upaya pencegahan dan penyuluhan kesehatan, akan tetapi persepsi
masyarakat
cenderung
masih
tetap
berorientasi
pada
upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menciptakan pola hidup sehat (paradigma sehat) sulit dicapai, karena tidak ditunjuk oleh faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan budaya masyarakat. Secara teknis pengaturan tentang promosi dan periklanan kesehatan masih tetap mengacu kepada keputusan Menteri Kesehatan No. 386 Tahun 1994
tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan Minuman. Dalam petunjuk teknis umum No. 9 disebutkan ”iklan obat tidak boleh diperankan oleh tenaga kesehatan dan atau unsur yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan ”setting” yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. Sedangkan berdasarkan tata krama dalam tata cara periklanan Indonesia
yang
disempurnakan
khususnya
tentang
penampilan
tenaga
profesional ditegaskan bahwa ”dokter, ahli, farmasi, tenaga medis dan paramedis atau atribut profesi lainnya tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk obat, alat kesehatan maupun kosmetika. Periklanan yang objektif berlebihan dan menyesatkan dapat mengakibatkan penggunaan yang salah, tidak tepat, tidak rasional dan merugikan masyarakat. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan serta informasi yang benar, jelas dan jujur antara lain merupakan hak konsumen, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan informasi yang tidak jelas, sudah selayaknya Badan POM memberikan teladan yang baik sebagaimana diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Periklanan serta tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang disempurnakan. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam keputusan itu hendaknya dapat dikenakan sanksi administratif atau sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Promosi kesehatan di era reformasi dan desentralisasi menuju Indonesia sehat. Perilaku hidup sehat sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk tingkat pendidikan yang masih rendah merupakan salah satu sebab rendahnya pemahaman masyarakat terhadap informasi kesehatan serta pembentukan perilaku sehat. Penyalahgunaan narkotika, obat, psikotropika dan zat adiktif cenderung meningkat, bahkan telah menyentuh masyarakat yang tak mampu dan anak sekolah dasar dan eskalasi permasalahan yang semakin luas dan kompleks. Demikian juga produksi dan penggunaan minuman beralkohol dan zat adiktif
lainnya termasuk rokok cenderung sering meningkat dengan dampak negatif yang luas terhadap masyarakat. Di samping itu, berbagai praktek perilaku seksual yang menyimpang, kurangnya disiplin berlalu lintas, kebiasaan merokok serta konsumsi makanan berlebihan dan tak seimbang dapat menjadi ancaman bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Penggunaan bahan-bahan kriteria terlarang untuk bahan tambahan makanan dan masalah sanitasi serta hygiene pengolahan terutama pada industri rumah tangga juga merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat konsumen. Program pembangunan kesehatan telah dilaksanakan, selama kurang lebih reformasi berjalan telah dilaksanakan program kesehatan dan telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan secara cukup bermakna, namun masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan yang akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kesehatan. Masalah kesehatan utama bidang pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan dalam kurun waktu lima tahun terlihat masih didominasi oleh antara lain munculnya penyakit newly-emerging seperti HIV/AIDS, Avian Flu Burung, Leptospirosis, Japanese Encephalitis dan juga masih tingginya kejadian re-emerging diseases seperti malaria, DBD, diare dan Tubercolosis serta penyakit-penyakit yang bersifat lokal spesifik. Untuk
mengantisipasi
penyakit-penyakit
tersebut,
maka
sebaiknya
pemerintah dapat membangun sarana prasarana seperti pemberian informasi melalui penyuluhan kesehatan dan juga melalui promosi dan periklanan di Indonesia. Pada saat situasi sekarang ini begitu mudahnya masyarakat tergoda oleh ajakan promosi dan periklanan tentang
kesehatan sehingga membuat
masyarakat tertarik dengan pengobatan-pengobatan yang ditawarkan oleh produsen melalui tayangan-tayangan media elektronik (televisi, radio) dan media masa. Sedangkan penayangan tentang iklan kesehatan secara spesifik belum jelas pengaturannya, masih mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan yang notabene Keputusan Menteri Kesehatan tersebut tidak spesifik mengatur tentang periklanan kesehatan.
Promosi kesehatan salah satu upaya mempengaruhi masyarakat terhadap mutu dari salah satu produk yang ditawarkan melalui media-media tertentu seperti televisi, radio dan media cetak (surat kabar, majalah, brosur, dll). Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Dengan demikian maka peningkatan kualitas fisik serta faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya proses pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan sebagaimana diuraikan di atas. Sedangkan harapan masyarakat pengguna diselenggarakan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan dan masyarakat. B.6.
Pengaruh
Globalisasi
Terhadap
Promosi
dan
Periklanan
Kesehatan. Globalisasi merupakan suatu fenomena yang terjadi pada akhir abad ke-20 yang ditandai dengan terjadinya interpretasi dan interdependensi dari semua sektor baik ekonomi, politik dan sosial kultural. Keadaan ini menyebabkan terjadinya transformasi masyarakat negara menjadi masyarakat global (dunia) sehingga batas negara menjadi tidak jelas lagi. Liberalisasi perdagangan yang menjadi ciri utama globalisasi selain kemudahan dalam transportasi, komunikasi dan informasi, mengandung ancaman besar bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan GATS (General Agreement On Trade Services) dan TRIPs (Agreement On Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) akan sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat di negara berkembang. Masuknya modal dan tenaga asing dalam peta pelayanan kesehatan dapat berakibat pada makin berkembangnya mutu pelayanan dan manajemen kesehatan. Namun dampak negatif yang perlu diantisipasi adalah tutupnya berbagai fasilitas pelayanan yang sudah ada, khususnya yang selama ini memberikan pelayanan bagi lapisan masyarakat yang kurang mampu. Keadaan ini hanya dapat dicegah dengan upaya yang intensif
untuk
meningkatkan
profesionalisme
dan
mutu
manajemen
difasilitasi
kesehatan yang ada. Dalam hal ini pemerintah yang harus memberikan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan promosi dan periklanan kesehatan adalah Menteri Kesehatan agar setiap perdagangan promosi dan iklan kesehatan di media elektronik dan media masa disesuaikan dengan peraturan secara teknis. Dan bila aturan tentang promosi
dan periklanan tersebut dilanggar, maka akan
dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penayangan promosi dan iklan kesehatan di media elektronik dan media masa merupakan suatu sarana dan prasarana oleh produsen dalam berbagai bidang
melalui
pemberian
informasi,
penyuluhan
dan
pengembangan
kemampuan masyarakat tentang promosi dan iklan kesehatan. Periklanan dan promosi kesehatan perlu diatur karena dapat medorong masyarakat dalam penggunaan
produk
kesehatan
dengan
tidak
tepat,
benar
dan
dapat
menyesatkan. B.7. Promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Upaya peningkatan prinsip-prinsip perilaku hidup sehat dapat dipelajari tentang promosi kesehatan dan mengembangkan strategi peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), sebagai bentuk operasional atau setidaknya sebagai embrio promosi kesehatan di Indonesia tersebut dikembangkan melalui serangkaian pertemuan baik internal pusat penyuluhan kesehatan maupun eksternal secara lintas program dan lintas sektor, termasuk dengan organisasi profesi. Beberapa hal yang dapat disarikan tentang pokok-pokok promosi kesehatan (Health Promotion), PHBS yang merupakan embrio promosi kesehatan di Indonesia adalah, sebagai berikut: 1. Promosi Kesehatan (Health Promotion), yang diberi definisi proses pemberdayaan masyarakat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (the process of enabling people over and improve their health), lebih luas pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Promosi kesehatan
meliputi pendidikan atau penyuluhan kesehatan dan di pihak lain pendidikan atau penyuluhan kesehatan merupakan bagian penting dari promosi kesehatan; 2. Pendidikan atau penyuluhan kesehatan, menekankan pada upaya perubahan perbaikan perilaku kesehatan. Promosi kesehatan adalah upaya perubahan atau perbaikan promosi di bidang kesehatan disertai dengan upaya memengaruhi lingkungan atau hal-hal lain yang berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan; 3. Promosi kesehatan juga berarti upaya yang bersifat promotif (peningkatan) sebagai permohonan upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabiltatif (pemulihan) dalam upaya kesehatan yang komprehensif. Promosi kesehatan juga merupakan upaya untuk memasarkan atau menjual yang bersifat persuasif (membujuk) karena sesungguhnya ”kesehatan” merupakan sesuatu yang sangat layak jual, karena sangat perlu dan dibutuhkan setiap orang; 4. Pendidikan atau penyuluhan kesehatan menekankan pada pendekatan edukatif, sedangkan promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya pendekatan edukatif yang banyak dilakukan tingkat masyarakat di strata primer (di promosi kesehatan selanjutnya digunakan istilah pemberdayaan masyarakat). Perlu dibarengi atau didahulukan dengan upaya advokasi, termasuk strata tertier (yaitu para pembuat keputusan atau kebijakan) dan bina suasana, khususnya untuk strata sekunder (yaitu mereka yang dikategorikan sebagai para pembina); 5. Pada pendidikan atau penyuluhan kesehatan, masalah diangkat dari apa yang di teknis dalam masyarakat (yaitu masalah kesehatan atau masalah apa saja yang dirasa penting perlu ditandai dengan sekitar 10 (sepuluh) perilaku sehat (health anated). Masyarakat diajak untuk mengerti apa dan bagaimana hidup bersih dan sehat, kemudian mengenali keadaan diri dan lingkungan serta mengukur seberapa sehatkah diri dan lingkungan itu. Pendekatan ini kemudian searah dengan paradigma sehat, yang salah satu dari tiga pilar adalah perilaku hidup sehat;
6. Pada pendidikan atau penyuluhan kesehatan yang menonjol adalah pendekatan di masyarakat (pendekatan edukatif), sedangkan pada promosi kesehatan dikembangkan di lingkungan rumah atau tempat tinggal (where we live), di sekolah (where we learn), di tempat kerja, di tempat-tempat umum (where we play and do everything) dan di sarana kerja (where we get health services). Dari sini dikembangkann kriteria rumah sehat, sekolah sehat, tempat umum sehat, dan lain-lain yang mengarah pada kawasan sehat seperti desa sehat, kabupaten sehat sampai dengan Indonesia sehat; 7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi oleh kesamaan (equity), keterbukaan (tranparancy) dan saling memberi manfaat (mutual benefit). Keterbukaan dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat termasuk swasta dan lembaga swadaya masyarakat, juga secara lintas program dan lintas sektor; 8. Sebagaimana pada pendidikan atau penyuluhan kesehatan, promosi kesehatan sebenarnya juga lebih menekankan pada proses atau upaya dengan tanpa mengecilkan arti hasil pengukuran kinerja dalam rangka advokasi kerah sehat masyarakat dahulu. Karena dituntut kegiatan mengukur hasil kegiatannya, maka promosi kesehatan harus dikaitkan dengan tatanan sehat. Dalam hal ini pemerintah sudah harus menetapkan strategi pembangunan kesehatan beserta program-program pokok dan Program Pembangunan Nasional (Propernas) disebutkan bahwa salah satu program pokok kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat yang menempatkan promosi kesehatan sebagai salah satu program unggulan. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009 bahwa promosi kesehatan merupakan program tersendiri dan diposisikan pada urutan menegaskan bahwa paradigma sehat dengan visi Indonesia Sehat 2010-nya tersebut semakin memperoleh pijakan yang kuat.121 Selanjutnya
masing-masing
program
termasuk
promosi
kesehatan
menyusun visi, misi kegiatannya serta sasaran atau target yang harus dapat terukur. Dalam kaitan itu ditetapkan promosi kesehatan yaitu:
121
Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia Sehat 2010, Jakarta, 1999.
1. Berkembangnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Misinya advokasi kebijakan publik yang berdampak positif pada kesehatan; 2. Mensosialisasikan pesan kesehatan; 3. Mendorong kegiatan-kegiatan sehat di masyarakat, strategi pokok promosi kesehatan yaitu: a.
Advokasi, yaitu upaya mempengaruhi kebijakan agar memberikan kontribusi pada perilaku dan lingkungan yang sehat;
b. Bina suasana, yaitu upaya pembentukan opsi mengembangkan norma hidup sehat; c. Gerakan
pemberdayaan
masyarakat,
yaitu
menggerakkan
dan
memberdayakan semua komponen masyarakat untuk hidup sehat. Merupakan sekumpulan data media promosi dan seluruh program kesehatan dan kampanye-kampanye kesehatan yang sudah atau sedang dilaksanakan oleh pusat promosi kesehatan , Depkes RI, seperti Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010, atau pun kampanye PIN, NAPZA, HIV/AIDS, dll.
B.8. Media Promosi Sesuai dengan Peraturan Yang Berlaku. Dalam periklanan dan promosi kesehatan masalah yang dihadapi relatif kompleks karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya menyangkut manfaat dan resikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Oleh karena itu isi struktur maupun format pesan iklan dan promosi kesehatan perlu dirancang dengan tepat agar tidak menimbulkan persepsi dan interpretasi yang salah oleh masyarakat. Adapun metode dan teknik promosi kesehatan adalah suatu kombinasi antara cara-cara atau metode dan alat-alat bantu dan media yang digunakan dalam setiap pelaksanaan promosi kesehatan. Metode tersebut merupakan : a. Metode yang dipergunakan secara individu; b. Metode yang dipergunakan secara kelompok dan;
c. Metode yang dipergunakan secara massal.122 Peraturan iklan dan promosi kesehatan melalui media visual seperti poster, leaflet, brosur, booklet, stiker, kalender, lembar balik, buku, slide, internet, standing slogan, spanduk, pin, dan melalui audio, seperti:
Filter/spot radio
Cerita radio
Melalui Audio Visual: Talk show Filler/spot TV Sinetron Instructional PSA Interaktif Iklan Layanan Masyarakat Variety Show Telesinema Pemerintah menyadari perkembangan teknologi di bidang kesehatan sangat berpengaruh terhadap gaya hidup (life style). Perkembangan tersebut membuat masyarakat semakin tertarik terhadap periklanan dan promosi kesehatan yang dapat menyesatkan masyarakat. Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui promosi dan iklan kesehatan. Namun perlindungan secara lahiriah perlu diberikan kepada masyarakat, pengaturan promosi dan iklan kesehatan tentunya diatur secara spesifik agar masyarakat tidak tersesat dalam menggunakan produk kesehatan. Dan yang paling utama dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan adalah bagaimana membuat masyarakat mengerti tentang tata cara periklanan dan promosi kesehatan. Kemajuan teknologi di bidang industri, informasi dan transportasi telah menyebabkan industri farmasi dan kesehatan semakin mudah untuk memproduksi dan menyebarkan produk-produk dalam skala area yang sangat luas dan dalam skala besar termasuk penyebaran antar 122
Soetedjo Notoadmodjo, Promosi Kesehatan, Teori dan aplikasi, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Pertama, 2005, Jakarta.
negara. Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk farmasi dan kesehatan cenderung terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat. Sementara itu pengetahuan dan kemampuan masyarakat masih belum memadai dalam memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk menkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional. Bila dikaitkan dengan pelayanan mutu kesehatan dengan periklanan dan promosi kesehatan karena
selama
ini
upaya
kesehatan
masih
kurang
mengutamakan/memprioritaskan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit, serta kurang didukung oleh sumber daya pembiayaan yang memadai. Oleh sebab itu di dalam penayangan dan promosi kesehatan agar memperhatikan etika periklanan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Disadari bahwa semakin meningktnya promosi dan periklanan di bidang kesehatan membuat masyarakat terjebak di dalam penawaran yang kadangkadang ada hal-hal penipuan yang dilancarkan oleh produsen yang tidak rasional dan menyesatkan. Dengan demikian agar penggunaan dan pemanfaatan promosi dan periklanan kesehatan dapat mencegah resiko timbulnya suatu penyakit secara efektif, tepat dan rasional, maka sangat diperlukan infomasi yang objektif dan tidak bias dari sumber yang tepat dan terpercaya. Karena penyebaran informasi melalui promosi dan periklanan adalah merupakan upaya mengajak masyarakat untuk mengerti tentang promosi dan periklanan kesehatan. Dasar Hukum Pengawasan Periklanan dan Promosi Kesehatan: 1. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan; 2. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan; 4. Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.05.3.02706 tahun 2002 tentang Promosi Obat.
C.
Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi dan Periklanan Klausula Baku Dalam Jasa Perparkiran. Klausula baku adalah setiap aturan, atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula baku (8 daftar) yang diatur dalam pasal 18 UU No.8 tahun 1999, adalah merupakan klausula baku yang dilarang, yang tidak boleh dicantumkan di dalam setiap perjanjian atau dokumen, atau dalam setiap transaksi barang atau jasa. Hampir 90% dari seluruh perjanjian atau dokumen dan transaksi di bidang jasa memuat klausula baku yang dilarang oleh Undang-Undang No.8 tahun 1999, tentang perlindungan konsumen. Pencantuman klausula baku yang dilarang banyak ditemukan dalam dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh perbankan, asuransi, perumahan, leasing, dan lain-lain, antara lain: 1. Contoh klausula baku di bidang perbankan. Bank
sewaktu-waktu
dapat
menaikkan
suku
bunga,
minimum
perkembangan harga pasar, tanpa terlebih dahulu diberitahukan dan mendapat persetujuan dari nasabah. 2. Klausula baku di bidang jasa angkutan. Bagasi tidak dipungut biaya, hilang, tertunda, menjadi tanggung jawab penumpang. 3. Klausula baku di bidang listrik. Tidak membayar rekening lewat 1 (satu) bulan dari tanggal batas akhir pembayaran, aliran listrik akan diputus tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. C.1. Klausula Baku di Bidang Perparkiran. Berdasarkan survey yang telah dilakukan di wilayah Jabotabek, hampir semua karcis parker memuat klausula baku yang dilarang. Hasil identifikasi dari tanda bukti karcis parkir, terdapat pencantuman klausula baku yang dilarang, antara lain berbunyi sebagai berikut:
1. Tidak mengganti kerugian kendaraan dan barang-barang yang hilang atau rusak. 2. Segala kehilangan, kerusakan atas kendaraan yang diparkir, begitu pula barang-barang yang ada di dalamnya adalah resiko sendiri dan tidak ada penggantian. 3. dan lain-lain. Sesudah berlakunya UU No.8 tahun 1999, ada pengelola parkir yang mencantumkan kalimat dalam karcis parkir yang berbunyi sebagai berikut: “Kendaraan rusak atau hilang, pengelola parkir bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sebesar 50% dari harga kendaraan yang rusak atau hilang D.
Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi dan Periklanan Jasa Angkutan Penumpang Udara. Perusahaan angkutan udara adalah perusahaan yang mengoperasikan
pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran123. Liberalisasi usaha jasa angkutan penumpang penerbangan di Indonesia, telah mendorong meningkatnya jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Maskapai penerbangan yang beroperasi, tidak saja perusahan-perusahaan penerbangan domestic, tetapi juga perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan penerbangan asing dapat menembus beberapa bandara kota-kota provinsi di Indonesia. Dalam keadaan demikian, konsumen pengguna jasa angkutan udara diuntungkan, karena pilihan maskapai penerbangan yang digunakan semakin banyak. Namun pada sisi lain, peristiwa kecelakaan pesawat yang terjadi akhir-akhir ini124 dapat mempengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan moda transportasi udara ini untuk berpergiaan, baik untuk keperluan wisata dan keluarga, maupun untuk keperluan bisnis. Moda transportasi udara menjadi pilihan, didasarkan pertimbangan kemampuan moda transportasi udara ini untuk mengangkut penumpang dalam 123 Pasal 1 angka (13) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, jo. Pasal 1 butir 4 PP No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. 124 Beberapa kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya penumpang terjadi pada 2 tahun terakhir ini misalnya, maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Yogyakarta, 7 Maret 2007, Adam Air hilang dalam penerbangan Jakarta-Manado, dan Mandala Air Lines, Medan 2005.
jumlah yang banyak untuk jarak jauh dan waktu yang singkat. Misalnya, ketika ada pilihan menggunakan kapal laut dan pesawat ke Medan, maka dari segi waktu, jangka waktu tempuh dari Jakarta Medan melalui Pesawat Udara dan Melalui Kapal laut sangatlah jauh berbeda. Namun, pada sisi lain, dampak langsung dari bertambahnya jumlah maskapai penerbangan adalah semakin ketatnya persaingan antara maskapai jasa angkutan udara ini. Salah satu bentuk dari persaingan tersebut dapat dilihat dalam strategi promosi jasa angkutan udara yang dilakukan oleh masing-masing maskapai. Tidak ada hari tanpa promosi produk, baik melalui media elektronik, maupun cetak di Indonesia. Kegiatan promosi merupakan bagian untuk strategi dagang untuk memperkenalkan produk kepada calon konsumen. D.1. Beberapa bentuk Promosi Jasa Angkutan Udara Melalui Iklan 1) Promosi Tiket Murah. Salah satu bentuk promosi yang dilakukan oleh maskapai penerbangan adalah promosi dengan tiket murah, yang dikenal dengan harga tiket promosi. Hampir semua maskapai penerbangan menggunakan strategi ini. Namun, promosi dengan tiket murah, secara substantif menimbulkan persoalan, yaitu maskapai penerbangan akan mengurangi biaya pada komponen-komponen kegiatan maskapai penerbanbangan yang berdampak pada tingkat keselamatan penerbangan. Tiket murah ini, disinyalir menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keselamatan penerbangan, karena berpengaruh terhadap budget maintance pesawat dan gaji ilot dan kru pesawat. Gaji yang rendah akan berdampak pada komitmen dan tingkat prestasi dalam menjalankan tugas. Kedua, promosi tiket murah potensial melanggar ketentuan-ketentuan dalam UUPK. Dalam prakteknya, penjualan tiket murah belum tentu tersedia untuk waktu keberangkatan yang diinginkan, dan tidak semua rute penerbangan tersedia harga tiket murah. Artinya, strategi tiket harga promo lebih dilihat dari pertimbangan kepentingan pihak maskapai penerbangan. Terbatasnya jumlah harga promo, mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi konsumen untuk mendapatkan tiket harga tersebut, penjualan tiket murah menggunakan prinsip, siapa cepat mereka dapat. Harga promo yang ditawarkan setiap harinya berubah
dan tidak selalu ada promo untuk setiap hari penerbangan. Biasanya untuk ruterute padat jarang dan bahkan tidak tersedia harga promo. Harga promo dijual untuk penerbangan di hari-hari tertentu dan untuk waktu tertentu. 2) Promosi Hadiah/Undian. Beberapa maskapai penerbangan menggabungkan mode promosi tiket murah dengan hadiah atau undian. Undian ini disampailkan dalam bentuk unngkapan
terima
kasih..
Ungkapan
Terima
Kasih
Sebagai ucapan terima kasih kepada pengguna jasa, misalnya manajemen Batavia Air juga menyelenggarakan undian berhadiah. Setiap penumpang yang menggunakan pesawat Batavia mendapat kesempatan meraih hadiah yang dinilai cukup menggiurkan. Mulai dari mobil Jaguar, Kijang, sepeda motor hingga handphone. Untuk tahun 2003-2004 misalnya, Batavia Air akan membagi-bagikan hadiah berupaya 120 unit kijang terbaru, 240 sepeda motor dan 480 unit handphone. Pemberian hadiah mobil Kijang, disesuaikan dengan target pasar Batavia
yang
umumnya
kelas
menengah
dan
bawah.
Pada awalnya, memang diberikan hadiah mobil Jaguar. Tapi peluang penumpang untuk mendapatkan itu sangat kecil, karena hadiahnya sangat sedikit. Oleh karena itu, akhirnya diganti dengan mobil Kijang sehingga kesempatan bagi para pengguna jasa semakin besar. Apalagi ditambah dengan 240
sepeda
motor
dan
480
handphone.
Mekanisme undiannya sendiri, kata Yudiawan Tansari, dilakukan setiap bulan. Itu berarti setiap bulannya bagi-bagi hadiah yakni lima unit mobil Kijang, 10 unit sepeda motor dan 20 unit handphone. ”Pemberian hadiah ini benar-benar sebagai rasa terima kasih Batavia Air kepada masyarakat pengguna jasa. Namun, kegiatan promosi melalui undian atau hadiah ini potensial untuk terjadi pelanggaran terutama yang terkait dengan ketentuan dalam Pasal 13 dan 14 UUPK, yaitu
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.125 Di samping itu, cara 125
Pasal 13 UUPK.
undian akan dihadapkan dengan tindakan-tindakan yang dilarang oleh UUPK, yaitu larangan untuk : a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 3) Promosi Kenyamanan Penerbangan Ada beberapa maskapai penerbangan yang
sengaja tidak melakukan
promosi besar-besaran. Karena menyadari bahwa yang terpenting dari bisnis jasa penerbangan ini adalah memberikan pelayanan yang baik bagi para pengguna jasa. Prinsipnya, bila pengguna jasa merasa puas naik pesawat, maka mereka pasti akan kembali suatu ketika mereka akan bepergian dengan maskapai penerbangan tersebut. Ada beberapa maskapai yang melaksanakan sistem tersebut,
misalnya
Kenyamanan
yang
ditawarkan
Garuda terkait
langsung
Indonesia dengan
jaminan
atas
kesamalaman penerbangan, serta berbagai jenis pelayanannya lainnya. Namun, promosi kenyamanan dapat dihadapkan dengan kenyataan keterlambatan penerbangan, kasus meninggalnya penumpang di pesawat (Kasus Munir), dan juga kecelakaan pesawat Garuda Indonesia di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta pada tanggal 7 Maret yang lalu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dari perspektif hukum perlindungan konsumen. Praktek promosi jasa angkutan udara di Indonesia menggambarkan halhal sebagai berikut: Pertama, informasi yang disampaikan dalam promosi masih terbatas, dan lebih mempertimbangkan kepentingan pihak pelaku usaha, sebagai
bagian
dari
strategi
menghadapi
persaingan
antar
maskapai
penerbangan. Kedua, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur secara komprehenesif berbagai bentuk penyimpangan yang dapat dikenakan dengan sanksi pidana dalam promosi angkutan udara. Ketiga, Beberapa, model atau bentuk promosi angkutan udara yang potensial juga memberikan informasi yang keliru atau menyesatkan kepada konsumen adalah promosi tiket murah (tiket promo), undian/hadiah, dan jaminan kenyamanan penerbangan.
E.
Perlindungan Konsumen Terhadap Promosi dan Periklanan Obat dan Makanan Dari Prespektif UUPK
E.1. Sistem Promosi Dan Periklanan Obat dan Makanan. Pada Era Reformasi sekarang ini Pengawasan iklan obat dan makanan yang lebih berperan untuk melaksanakan pengawasan adalah Lembaga teknis, karena pengawasan periklanan tersebut lebih berorientasi dalam periklanan aspek kepuasan konsumen, kepentingan bisnis dan kreativitas dapat menyebabkan terjadinya gap sehingga informasi yang seharusnya objektif, lengkap dan akurat menjadi terkesan advokasi, acquisitiviness dan berlebihan yang
dapat
menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan pengetahuan konsumen tentang produk tertentu yang mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Hal ini mendasari munculnya regulasi yang mengatur mengenai benefit-risk dan costbenefit serta etika periklanan.126 Produk-produk yang berkedudukan khusus di maksud adalah obat-obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan minuman yang mengandung informasi yang belum memenuhi kriteria objektif, lengkap dan atau tidak menyesatkan dapat menyebabkan penggunaan yang salah, tidak tepat, tidak rasional dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan iklan dari pemerintah terhadap produk yang berkedudukan dimaksud tersebut. Tujuan dari pengaturan ini adalah untuk melindungi masyarakat terhadap informasi periklanan obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan minuman yang objektif, lengkap dan akurat. Produk obat dan makanan tersebut dapat diiklankan apabila telah mempunyai nomor izin edar atau nomor pendaftaran. Dalam era reformasi sekarang ini promosi dan periklanan semakin marak dan semakin tidak terkendali seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin konsumtif. Terciptanya perdagangan obat dan makanan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan penting pengaturan, pembinaan dan pengawasan di bidang periklanan. Banyaknya obat dan makanan yang beredar di masyarakat tanpa mengindahkan ketentuan tentang promosi dan label obat dan makanan. Pengiklanan dan promosi obat dan makanan yang tidak 126
Dikutip dari INFO POM Badan Pengawas Obat dan Makanan, Vol,6 November 2005, Sekilas tentang Pengawasan Periklanan Obat dan Makanan di Indonesia.
mengindahkan peraturan yang berlaku akibatnya dapat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia terutama bagi anak-anak. Kadang-kadang dilakukan melalui kebohongan dan penipuan pada iklan obat dan makanan. Promosi dan iklan obat dan makanan yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap pengguna obat dan makanan. Penayangan iklan obat dan makanan melalui media elektronik (televisi, radio) dan juga media masa (koran, majalah dsb) harus berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
karena obat
mempunyai
kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun demikian, penggunaan yang salah, tidak tepat dan tidak rasional akibat pengaruh promosi melalui iklan, pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi obat dan makanan, termasuk periklanan dan promosi obat dan makanan. Dalam periklanan obat, masalah yang dihadapi relatif komplek karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya menyangkut kriteria etis periklanan, tetapi juga menyangkut manfaat dan risikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Oleh karena itu isi, struktur maupun format pesan iklan obat perlu dirancang dengan tepat agar tidak menimbulkan persepsi dan interpretasi yang salah oleh masyarakat luas. Peraturan iklan obat dan makanan tidak terlepas dari label itu sendiri karena label dan iklan adalah satu kesatuan dalam pengaturannya, sehingga dalam hubunganya masalah label dan iklan obat dan makanan , maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai obat dan makanan yang beredar di pasaran. Informasi pada label obat dan makanan atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi obat dan makanan. Dalam persaingan perdagangan obat dan makanan diatur supaya pihak produsen dan pengusaha iklan diwajibkan untuk membuat iklan secara benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui pencantuman label dan iklan
obat dan makanan yang harus memuat keterangan mengenai obat dan makanan dengan jujur. Pemerintah menyadari perkembangan teknologi di bidang obat dan makanan
sangat
berpengaruh
terhadap
pelabelan
obat
dan
makanan.
Perkembangan tersebut membuat masyarakat semakin tertarik terhadap periklanan dan promosi obat dan makanan yang dapat menyesatkan masyarakat. Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui promosi dan iklan obat dan makanan, namun perlindungan secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat. Pengaruh obat dan makanan yang dikonsumsi terhadap kesehatan manusia perlu diwaspadai. Oleh karena itu, iklan tentang obat dan makanan perlu secara khusus diatur dengan peraturan yang lebih tinggi seperti UndangUndang. Pengaturan promosi dan iklan obat dan makanan tentunya diatur secara spesifik agar masyarakat tidak tersesat dalam menggunakan produk farmasi. Demikian halnya dengan pelarangan anak-anak berusia dibawah lima tahun, secara tegas dilarang untuk mengiklankan obat dan makanan yang tidak secara khusus ditujukan untuk dikonsumsi oleh mereka. Larangan ini sangat diperlukan untuk menghindarkan anak-anak terhadap pengaruh iklan yang bersifat negatif atau menyesatkan yang secara mudah diterima oleh anak-anak yang secara alamiah belum mampu membedakan hal-hal yang baik atau buruk. Kemajuan teknologi di bidang industri, informasi dan transportasi telah menyebabkan industri pangan semakin mudah untuk memproduksi dan menyebarkan produk-produknya dalam skala area yang sangat luas dan dalam skala besar termasuk penyebaran antar negara. Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk obat dan makanan cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat. Sementara itu pengetahuan dan kemampuan masyarakat masih belum memadai untuk memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Dilain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, iklan obat dan makanan harus melalui penilaian (pre-review) iklan sebelum ditayangkan di media periklanan.
Rancangan iklan yang diajukan tersebut direview oleh suatu tim independent yaitu Panitia Penilai Iklan Obat dan Makanan yang terdiri dari para pakar di bidang farmakologi, gizi, farmasi, psikologi dan komunikasi massa. Panitia ini melakukan review iklan setiap 2 minggu sekali. Penilaian dilakukan berdasarkan atas klaim yang disetujui pada registrasi. Penilaian iklan dilakukan dengan mengacu pada dasar hukum yang ada dan etika periklanan (tata krama). Khusus obat tradisional dilarang mengiklankan obat tradisional yang dinyatakan berkhasiat untuk mengatasi atau mencegah
penyakit kanker,
tuberkulosis, poliomyelitis, penyakit kelamin, impotensi, thipus, kolera, tekanan darah tinggi dan lever. Hasil review dari Panitia Penilai Iklan tersebut berupa rekomendasi bagi Badan POM untuk persetujuan atau penolakan rancangan iklan tersebut. Sebelum disetujui, produsen harus menyerahkan hasil proved print iklan tersebut kepada Badan POM.127 E. 2. Pengawasan Iklan Sesudah Ditayangkan. Pengawasan iklan obat dan makanan yang telah ditayangkan di media elektronik (televisi, radio, dll) atau dimuat di media cetak (majalah, surat kabar, leaflet, brosur, artikel serta media luar ruang (spanduk, bill board, dll) dilakukan oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) di seluruh Indonesia dan pengaduan masyarakat. Laporan hasil pengawasan tersebut dilaporkan kepada Badan POM untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Dasar Hukum Pengawasan Periklanan Obat dan Makanan. 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 3. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; 4. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; 5. SKB
Menkes
No.
252/Men.Kes/SKB/VII/1980
dan
No.
122/Kep/252/Men.Pan/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat dan Makanan, Minuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan; 127
Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, 1999.
6. SK Menkes No. 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman; 7. SK Kepala Badan POM No. HK.05.3.02706 Tahun 2002 tentang Promosi Obat; 8. SK. Kepala Badan POM No. HK.00.05.4.0155 tentang Penandaan Khusus dan Periklanan Obat Diare serta Ketentuan Lainnya Yang Berlaku; Pencantuman label pada kemasan obat dan makanan adalah suatu bagian dari informasi antara produsen kepada masyarakat sebagai konsumen sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 jo Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan rumah tangga dan Makanan Minuman, juga diatur dalam SK. Kepala Badan POM No. HK.00.05.4.0155 tentang Penandaan Khusus dan Periklanan Obat Diare serta ketentuan lainnya yang berlaku. Sebagian dari komunikasi antara produsen dan konsumen berkenaan dengan suatu produk obat dan makanan. Disamping efektivitas komunikasi yang tercermin dari tampilan label yang artistik dan atraktif juga dituntut adanya unsur kejujuran atau kebenaran informasi tentang produk obat dan makanan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, dan Makanan-Minuman mengatur secara umum iklan obat harus mengacu pada ”Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia” tetapi khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis medis peresepannya harus didasarkan pada pedoman ini. Dalam pedoman ini, diatur secara umum sebagai berikut : 1. Obat yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah obat yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tergolong dalam obat bebas atau obat bebas terbatas kecuali dinyatakan lain; 2. Obat yang dapat diiklankan apabila telah mendapatkan nomor persetujuan pendaftaran dari Badan POM;
3. Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut disetujui oleh Badan POM; 4. Nama obat yang dapat diiklankan adalah nama yang disetujui dalam pendaftaran; 5. Iklan obat hendaknya dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk pemilihan penggunaan obat bebas secara rasional; 6. Iklan obat tidak boleh mendorong penggunaan berlebihan dan penggunaan terus-menerus. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, informasi mengenai produk obat dalam iklan harus sesuai dengan kriteria sebagai berikut : a. Obyektif : Harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan obat yang telah disetujui; b. Lengkap : Harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat obat tetapi juga memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontra indikasi dan efek samping; c. Tidak menyesatkan : Informasi obat harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan kekhawatiran masyarakat akan masalah kesehatan. Disamping itu, cara penyajian informasi harus berselera baik dan pantas serta tidak boleh menimbulkan persepsi khusus di masyarakat yang mengakibatkan penggunaan obat berlebihan atau tidak berdasarkan peruntukannya; d. Iklan obat tidak ditujukan untuk kalayak anak-anak atau menampilkan anakanak tanpa adanya supervisi orang dewasa atau memakai narasi suara anakanak yang menganjurkan
penggunaan obat. Iklan obat tidak boleh
menggambarkan bahwa keputusan penggunaan obat diambil oleh anak-anak; e. Iklan obat tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan dan atau menggunakan ”setting” yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium; f. Iklan obat tidak boleh memberikan superlatif komparatif tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat; g. Iklan obat tidak boleh memberikan anjuran dengan mengacu pada pernyataan profesi kesehatan mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat;
h. Iklan obat tidak boleh memberikan anjuran mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat yang dilakukan dengan berlebihan; i. Iklan obat harus memuat anjuran untuk mencari informasi yang tepat kepada profesi kesehatan mengenai kondisi kesehatan tertentu; j. Iklan obat tidak boleh menunjukkan efek / kerja obat segera sesudah penggunaan obat; k. Ikla obat tidak boleh menawarkan hadiah ataupun memberikan pernyataan garansi tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat; l. Iklan obat harus mencantumkan spot pernyataan perhatian :
Baca aturan pakai;
Jika sakit berlanjut hubungi dokter.
E.3. Ketentuan Penayangan di Media Elektronik. a. Untuk media televisi : spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen / gambar terakhir dengan ukuran minimal 30 % dari screen dan ditayangkan minimal 30 detik. b. Untuk media radio, spot iklan harus dibacakan pada akhir iklan dengan jelas dan dengan nada suara tegas. c. Untuk media cetak : spot iklan dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Baca aturan pakai.
Jika sakit berlanjut hubungi dokter.
d. Iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai :
Komposisi zat aktif obat dengan nama International Nonproprietary Names (INN) (khusus untuk media cetak) : untuk media lain apabila ingin menyebutkan komposisi zat aktif, harus dengan nama INN.
Indikasi utama obat dan informasi mengenai keamanan obat
Nama dagang obat.
Nama industri farmasi.
Nomor pendaftaran (khusus untuk media cetak).
E.4. Ketentuan Pengaturan tentang Promosi Obat dan Iklan Obat Tradisional. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Periklanan Obat Tradisional ; Obat Tradisional mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena merupakan warisan budaya bangsa di bidang kesehatan. Obat tradisional diperlukan masyarakat terutama untuk memelihara keelokan tubuh serta kebugaran. Disamping itu ada beberapa yang dapat digunakan untuk mengatasi penyakit. Dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan obat tradisional maka obat tradisional tidak lagi menjadi ramuan yang dibuat untuk keperluan keluarga, tetapi sudah menjadi barang dagangan. Obat tradisional seperti obat, merupakan barang yang mempunyai sifat khusus, karena itu penanganannya termasuk periklanannya perlu penanganan khusus. Untuk melindungi masyarakat terhadap obat tradisional yang tidak tepat atau merugikan kesehatan maka penandaan dan informasi termasuk iklan obat tradisional harus memberi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. Oleh karena itu pemerintah (Badan Pengawas Obat dan Makanan) perlu melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi obat tradisional termasuk periklanan obat tradisional. Iklan obat tradisional secara umum harus mengacu kepada tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia sebagai berikut : 1. Obat tradisional dapat diiklankan apabila telah mendapat nomor persetujuan pendaftaran dari Badan POM RI; 2. Iklan obat tradisional dapat dimuat pada media periklanan
setelah
rancangan iklan tersebut mendapat persetujuan dari Badan POM RI; 3. Iklan obat tradisional tidak boleh mendorong penggunaan obat tradisional tersebut secara berlebihan; 4. Iklan obat tradisional tidak boleh diperankan oleh tenaga kesehatan atau seseorang yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan setting yang beratribut profesi kesehatan atau laboratorium; 5. Iklan obat tradisional tidak boleh menggunakan kata-kata super, ultra, istimewa, topcer, cespleng, manjur dan kata-kata lain yang semakna yang
menyatakan khasiat dan kegunan berlebihan atau memberi janji bahwa obat tradisional tersebut pasti menyembuhkan; 6. Iklan obat tradisional tidak boleh menawarkan hadiah atau memberikan pernyataan garansi tentang khasiat dan kegunaan obat tradisional; 7. Iklan obat tradisional tidak boleh memuat pernyataan kesembuhan dari seseorang, anjuran atau rekomendasi dari profesi kesehatan, peneliti, sesepuh, pakar, panutan dan lain sebagainya; 8. Iklan obat tradisional tidak boleh menampilkan adegan, gambar, tanda, tulisan, dan atau suara dan lainnya yang dianggap kurang sopan; 9. Iklan obat tradisional tidak boleh mencantumkan gambar simplisia yang tidak terdapat dalam komposisi obat tradisional yang disetujui; 10. Iklan yang berwujud artikel yang menguraikan tentang hasil penelitian harus benar-benar berkaitan secara langsung dengan bahan baku (simplisia) atau produknya dan informasi tersebut harus mengacu pada hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan; 11. Pada setiap awal iklan obat tradisional dicantumkan identitas kata- ”jamu” dalam lingkaran; 12. Pada setiap akhir iklan obat tradisional harus mencantumkan spot peringatan ” BACA CARA PEMAKAIAN”. 13. Ketentuan penayangan baik di media televisi maupun media cetak minimal harus dipenuhi peringatan sebagai berikut : Untuk media televisi, spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu gambar terakhir dengan ukuran minimal 30% dari layar kaca dan ditayangkan minimal 3 detik. Untuk media radio , spot iklan harus dibacakan dengan jelas dengan nada suara pada akhir iklan. Untuk media cetak, spot iklan dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Tulisan harus jelas terbaca dan terlihat menyolok; b. Huruf yang digunakan harus merupakan huruf kapital, hitam, dan tebal (bold letter); c. Ukuran huruf minimal harus sama dengan huruf body copy;
d. Diberi kotak hitam. 14. Iklan obat tradisional khusus untuk media cetak harus mencantumkan nomor pendaftaran; 15. Dilarang mengiklankan obat tradisional yang dinyatakan berkhasiat untuk mengobati atau mencegah penyakit kanker, tuberkulosis, tiphus, kolera, tekanan darah tinggi, diabetes, lever dan penyakit lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM. E.5. Pengaturan Promosi Obat, Alat Kesehatan, Alat Kosmetika E.5.1. Pengaturan tentang Promosi Obat Jadi berdasarkan SK Kepala Badan No. 00.05.3.02706 Tahun 2002. Promosi
Obat
jadi
adalah
salah
satu
upaya
pemerintah
dalam
mensosialisasikan obat terhadap masyarakat dan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran dan penggunaan obat yang tidak tepat akibat promosi obat yang berlebihan, tidak tepat dan atau menyesatkan dan dalam rangka promosi obat tersebut maka semua kegiatan pemberian informasi dan himbauan mengenai obat jadi yang memiliki izin edar yang dilakukan oleh ndustri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi, dengan tujuan meningkatkan peresepan, distribusi, penjualan dan atau penggunaan obat. Promosi Obat Jadi diatur dalam Pasal 3 (1) Semua obat jadi yang berupa obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat yang penyerahannya harus dengan resep dokter dapat dipromosikan; (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), obat yang penyerahannya harus dengan resep dokter tidak dapat dipromosikan masyarakat umum; (3) Promosi obat jadi yang penyerahannya harus dengan resep dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur kemudian; (4) Promosi yang ditujukan kepada profesi kesehatan dan masyarakat umum harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 4 Narasi dan klaim khasiat dalam promosi obat harus sesuai dengan klaim yang disetujui dalam persetujuan izin edar yang dikeluarkan oleh Kepala Badan.
Pasal 5 Promosi obat melalui media audio visual dan elektronik hanya diperbolehkan untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. E.5.2.
Ketentuan
Pengawasan
Promosi
dan
Periklanan
Alat
kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman periklanan Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Alat kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga adalah salah satu kebutuhan manusia yang mempunyai risiko terhadap pemakai apabila tidak menghiraukan seluruh ketentuan yang mengaturnya, termasuk ketentuan di dalam penayangan iklan baik dimedia televisi maupun media cetak. Alat kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang umumnya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Penggunaan Alat kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang salah, berlebihan, tidak tepat atau tidak rasional dapat merugikan kesehatan pemakainya. Untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan peredaran Alat kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang tidak memenuhi syarat akibat label dan periklanan yang tidak benar atau menyesatkan, pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga antara lain melalui pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi atau promosi melalui periklanan sesuai ketentuan yang berlaku bahwa yang dimaksud dengan : 1. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, asparatus, mesin, implant yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah mengdiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 2. Kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin
luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. 3. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga adalah alat, bahan atau campuran untuk pemeliharaan dan perawatan kesehatan untuk manusia, hewan, peliharaan rumah tangga dan tempat-tempat umum. E.5.3. Peraturan Periklanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998. Pengamanan Sediaan Farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atau yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Selain hal tersebut, sediaan farmasi dan alat kesehatan perlu dijamin ketersediaannya yang tersebar secara merata dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk melindungi masyarakat dari informasi dan periklanan yang tidak objektif, tidak lengkap atau menyesatkan karena dapat mengakibatkan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat. Pemerintah mengatur mengenai penandaan dan periklanan serta informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan. Dalam Pasal 31 menyatakan: Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus memuat keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara objektif lengkap dan tidak menyesatkan. Pasal 32 Sediaan
farmasi
yang
berupa
obat
untuk
pelayanan
kesehatan
yang
penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Pasal 33
Iklan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan pada media apapun yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilaksanakan dengan memperhatikan etika periklanan. E.5.4 Ketentuan
Pengawasan Promosi dan periklanan pangan
berdasarkan Peraturan pemerintah RI No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Adapun kriteria pangan yang dapat diiklankan adalah pangan yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Makanan/pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia , oleh karena itu makanan yang beredar di masyarakat harus aman dan memenuhi standar mutu dan persyaratan kesehatan. Makanan yang diberi label harus memuat informasi yang benar dan tidak menyesatkan dan untuk melindungi masyarakat konsumen terhadap kemungkinan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat akibat label dan periklanan yang tidak benar atau menyesatkan,
pemerintah
makanan antara lain
melaksanakan
pengendalian
dan
pengawasan
melalui pengendalian dan pengawasan
terhadap
penyebaran informasi atau promosi melalui periklanan makanan. Dalam Pasal 44 menyatakan sebagai berikut : (1) setiap iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan dan atau bentuk apapun lainnya; (2) Setiap iklan tentang pangan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 45 menyatakan : (1) Setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan ke dalam Wilayah Indonesia pangan untuk diperdagangkan, dilarang memuat pernyataan dan atau keterangan yang tidak benar dan atau yang dapat menyesatkan dalam iklan; (2) Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung
jawab terhadap isi iklan yang tidak benar kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menelitii kebenaran isi iklan yang bersangkutan; (3) Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau teknisi, agen atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilarang merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang iklan.
Pasal 46 menyatakan : Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan akan sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut. Pasal 47 menyatakan : (1) Iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendistribusikan produk pangan lainnya; (2) Iklan dilarang semata-mata menampilkan anak-anak
berusia dibawah 5
(lima) tahun dalam bentuk apapun, kecuali apabila pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia di bawah 5 (lima) tahun; (3) Iklan pangan olahan tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi yang dapat membahayakan dan atau mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak di larang dimuat dalam media apapun yang secara khusus ditujukan untuk anak-anak; (4) Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi yang berusia sampai dengan 1 (satu ) tahun, dilarang dimuat dalam media massa , kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan setelah mendapat persetujuan Kepala Badan POM dan dalam iklan yang bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan pengganti ASI.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan 1.
Penyampaian informasi yang lengkap, benar, jelas, dan jujur adalah merupakan salah satu kewajiban pelaku usaha, sebaliknya kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan hak konsumen.
2.
Pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap promosi produk melalui iklan harus mendapatkan perhatian dan mendasarkan pada niat baik dari semua pihak. Tidak hanya dari Produsen, Biro Iklan, Media Iklan semata, tetapi juga harus melibatkan pemerintah dan keberanian konsumen untuk memperkaran produsen apabila hakhaknya selaku konsumen dilanggar.
3.
Masih
terdapat
memberikan
peraturan
perundang-undangan
yang
belum
perlindungan kepada konsumen dalam kaitannya
pelaksanaan promosi produk melalui iklan 4.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan
Legal
Standing (Hak Gugat Organisasi non Pemerintah) adalah merupakan pilar yang penting bagi upaya perlindungan konsumen.
B.
Saran 1.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas penegakan hukum bagi pelaku usaha yang memberikan informasi secara tidak benar, jelas dan jujur kepada konsumen.
2.
Selalu memberikan advokasi kepada konsumen mengenai hak yang dimilikinya terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan promosi produk melalui iklan.
3.
Pemerintah harus mempunyai agenda hukum yang jelas dalam melakukan pegaturan dan penataan dalam bidang promosi produk
melalui iklan dengan cara melakukan analisa dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait, kemudian melakukan revisi dan atau menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan jaman. 4.
Memberikan kemudahan bagi terbentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan mendorong penggunaan legal standing sebagai upaya perlindungan terhadap konsumen.