KATA PENGANTAR
Kegiatan Tim Penyusunan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen adalah salah satu kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : G-22.PR.09.03 Tahun 2005 tanggal 21 Pebruari 2005. Dalam melaksanakan tugasnya, tim bermaksud untuk mengumpulkan atau mengkompilasi beberapa hukum kebiasaan yang berkembang dalam praktek penyelenggaraan perlindungan konsumen. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan bahan masukan bagi perkembangan hukum nasional, khususnya di bidang perlindungan konsumen. Kami menyadari bahwa hasil kompilasi ini hanya merupakan bagian kecil dari sistem hukum perlindungan konsumen secara keseluruhan. Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, kami tetap berharap hasil kompilasi ini dapat menjadi referensi bagi para praktisi di bidang perlindungan konsumen pada khususnya, dan perencanaan pembangunan di bidang hukum pada umumnya. Selanjutnya, dengan berhasilnya penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Badan Pembinaan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
1
Hukum Nasional, dan kepada semua anggota tim serta pihak-pihak lain yang telah bekerjasama serta memberikan bantuannya kepada kami.
Jakarta, Desember 2005 Ketua Tim Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen
(Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H)
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
2
DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar ..................................................................... Daftar Isi .............................................................................. Bab I
Bab II
Pendahuluan A. Latar Belakang ................................................ B. Maksud dan Tujuan ........................................ C. Pokok Bahasan ............................................... D. Metodologi ........................................................ E. Waktu Pelaksanaan .......................................... F. Keanggotaan .................................................... Kebiasaan Yang Terdapat Dalam Masyarakat Dan Pembentukan Hukum Perlindungan Konsumen A. Signifikasi Kebiasaan Dalam Masyarakat Bagi Pembentukan Hukum (Legislasi) .................. B. Pembentukan Hukum (Legislasi) yang Bersumber pada Kebiasaan .............................. 1. Kebiasaan Sebagai Sumber Materi Undang-Undang ........................................... 2. Kebiasaan Sebagai Sumber Materi Peraturan Daerah : Heterogenitas Hukum ....................... C. Kebiasaan dan Kerangka Hukum Perlindungan Konsumen ........................................................ 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagai “Umbrella Act” (Undang-undang Payung) ........ 2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Memperkenalkan Terobosan-terobosan Baru di Bidang Hukum Nasional ............................. a) Klosula Baku ............................................ b) Sistem Pembuktian Terbalik .................. c) Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa ................................................... d) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional .................................. e) Kriminalisasi Pelanggaran Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen ................
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
i iii 1 3 3 4 4 4
6 10 11 15 18 18 19 19 20 20 21 22
3
Bab III
Kompilasi Kebiasaan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen A. Fungsi Pembinaan Dan Pengawasan Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen .......................................................... 1. Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen ................................................. 2. Implementasi Perlindungan Konsumen Melalui Pembinaan ……………………………………....... 3. Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen .................................................... 4. Implementasi Perlindungan Konsumen Melalui Pengawasan ……………………………………...... B. Standardisasi Produk ……………………………..…. 1. Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Standardisasi ……………………………. C. Sertifikasi Halal ……………………………………….. D. Pengawasan Obat Dan Makanan …………………………. 1. Landasan Hukum Pengawasan Obat Dan Makanan ...................................................... 2. Sistem Pengawasan Obat Dan Makanan ……….. E. Peranan Lembaga Non Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen ………… 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional …… … 2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ........... 3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat .................................................. a. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dan Hak Mewakili Kepentingan Konsumen ............................ b. Perwakilan Konsumen (Consumers Representative) dan Resistensinya …………. c. Legal Standing (Hak Gugat Organisasi Non Pemerintah) Sebagai Bagian Dari Penyelesaian Sengketa Konsumen ...........…. d. Praktek Gugatan Legal Standing ................... F. Cara Penjualan Produk ........................................ 1. Ketentuan Perundangan Berkaitan Dengan Masalah Cara Penjualan Produk …….... 2. Macam-macam Cara Penjualan Produk ............. 3. Sistem Layanan Purna Jual ............................. G. Klausula Baku ....................................................
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
23 26 32 34 37 38 40 53 66 69 71 82 82 89 101 104 108 111 123 132 132 135 139 144
4
1. Ketentuan tentang Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ......... 2. Praktek Pelanggaran terhadap Ketentuan Klausula Baku dan Usaha Pemerintah Merumuskan Pedoman Pembuatan Klausula ...... H. Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen .................................... 1. Kriteria Penggunaan Hukum Pidana ................. 2. Wacana Penggunaan Sanksi Pidana ................... 3. Dimensi Baru Hukum Pidana dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen .................... Bab IV
Penutup A. Kesimpulan ...................................................... B. Saran ................................................................
146 149 156 158 162 176 180 181
Daftar Pustaka
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
5
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Era baru perlindungan konsumen di Indonesia sebagai salah satu konsekuensi perubahan-perubahan yang begitu cepat di masyarakat ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
yang
menempatlan
perlindungan konsumen ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Diakui memang bahwa UUPK bukan merupakan awal dan akhir dari hukum perlindungan konsumen, karena sebelum UUPK telah ada beberapa Undang-undang lain, yang isinya juga memuat norma hukum mengenai perlindungan konsumen. Bahkan dalam Penjelasan Umum UUPK menyebutkan terdapat 23 Undang-undang yang substansinya berkaitan dengan perlindungan konsumen. Sementara pada pihak lain, setelah UUPK diundangkan, telah lahir pula undang-undang baru yang substansinya memuat perlindungan konsumen. Di samping itu, pada tataran prakteknya, terbentuklah hukum biasaan yang dialami oleh konsumen, baik yang sejalan dengan UUPK, maupun tidak sejalan dengan UUPK,
yang
boleh
dikatakan
sebagai
bentuk
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
pelanggaran
atau
6
penyimpangan terhadap UUPK. Namun, hal-hal tersebut sering menjadi acuan dalam hubungan atau interaksi antara produsen dan konsumen. Dalam arah kebijakan di bidang hukum untuk menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, hukum kebiasaan merupakan bagian penting untuk pembentukan sistem hukum nasional itu. Hal tersebut merupkan langkah pembangunan di bidang hukum, selain dapat mengisi bagian dalam sistem hukum nasional juga dapat menjadi dasar dari hukum tertulis. Pengaturan di bidang perlindungan konsumen secara tertulis telah ada, namun mengingat perkembangan sosial masyarakat dan ilmu pengetahuan serta teknologi menyebabkan pula berkembangnya hukum kebiasaan di bidang ini. Dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional, hukum kebiasaan yang berkaitan dengan perlindungan pada gilirannya nanti hanya yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 serta dapat mengatisipasi perkembangan dalam segala bidang yang dapat diangkat menjadi bahan masukan bagi pembentukan hukum nasional. Untuk mengetahui hukum kebiasaan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang ideal
dan dapat dijadikan bagian dari
sistem hukum nasional, maka perlu diadakan kegiatan inventarisasi hasil penelitian, pengkajian analisa dan evaluasi, tulisan karya ilmiah serta permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Bahan-bahan tersebut merupakan bagian dari acuan atau
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
7
refensi hukum bagi masyarakat luas pengguna hukum, juga sebagai pendukung guna terbentuknya sistem hukum nasional. Mengingat pentingnya dokumen-dokumen tersebut,
Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia memandang perlu mengadakan kompilasi hukum kebiasaan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dengan membentuk suatu tim. B. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan kompilasi ini adalah mengumpulkan atau mengkompilasi hukum kebiasaan yang berkembang dalam praktek penyelenggaraan perlindungan konsumen. Tujuannya adalah sebagai bahan masukan bagi pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang perlindungan konsumen. C. Pokok Bahasan Adapun ruang lingkup yang menjadi pokok bahasan dari kompilasi tentang Hukum Perlindungan Konsumen ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kelembagaan dan perannya dalam perlindungan konsumen, standarisasi dan sertifikasi produk, cara penjualan dan traksasi antara produsen dan konsumen serta sanksi pidana terhadap korporasi dalam hukum perlindungan konsumen. D. Metodologi Metodologi yang digunakan adalah metode yuridis normatif – empiris, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan masalah yang dibahas, baik terhadap bahan hukum primer, maupun
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
8
bahan
hukum
sekunder
undangan/kebijakan
yang
meliputi
perlindungan
peraturan
konsumen
serta
perundanghasil-hasil
penelitian/pengkajian buku-buku bacaan, artikel, yang berhubungan dengan masalahan tersebut. E. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ini dilaksanakan selama satu Tahun Anggaran 2005 (12 bulan) mulai Januari sampai dengan bulan Desember 2005. F. Keanggotaan Ketua
: Dr. Inosentius Samsul, SH, MH.
Sekretaris
: Achfadz, SH.
Anggota
: 1. Yusuf Shofie, SH., MH. 2. Aman Sinaga, SH. 3. Dr. Anwar Ibrahim. 4. Dra. Mawarawati Djamaluddin. 5. Sumarno, SH. 6. Artiningsih, SH. 7. Ismail. SH. 8. Bungasan Hutapea, SH.
Asisten
: 1. Muhar Junef, SH, MH. 2. Dadang Iskandarm S. Sos.
Pengetik
: 1. Tatang Sudraja. 2. M Sidik.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
9
BAB II KEBIASAAN YANG TERDAPAT DALAM MASYARAKAT DAN PEMBENTUKAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Signifikasi Kebiasaan Dalam Masyarakat Bagi Pembentukan Hukum (Legislasi). Kegiatan kompilasi hukum kebiasaan dalam bidang perlindungan konsumen, tidak terlepas dari signifikasi kebiasaan itu sendiri terhadap pembentukan hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang perlindungan konsumen. Mengutip pendapat Dias (1985) : “Customs are undeniably a ‘source” of law in the sense that they have provided material for other law constitutive agencies such as legislation and precendent agencies.” Jelas bahwa kebiasaan merupakan sumber hukum, yang dapat digunakan oleh pembuat hukum (undang-undang), baik lembaga legislatif maupun pengadilan. Hal penting yang perlu dilihat dari rumusan ini adalah Dias menggunakan frase ‘other law-constitutive”, yang menggambarkan, bahwa kebiasaan sesungguhnya merupakan sesuatu yang sudah utuh dan “sempurna” dalam arti diterima dalam satu lingkup masyarakat tertentu sebagai dasar bagi hubungan atau transaksi antara anggota masyarakat, termasuk
antara
produsen
pembentuk kebiasaan itu
dan
konsumen.
Oleh
karena
itu,
adalah masyarakat itu sendiri, sedangkan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
10
penetapan kebiasaan sebagai hukum memberikan legitimasi (stempel) formal terhadap apa yang secara substansial memang telah hidup dalam masyarakat. Stempel formal terhadap kebiasaan, menjadikan kebiasaan tersebut sebagai hukum yang berlaku dan ditaati oleh masyarakatnya. Katagori yang menonjol dari kebiasaan adalah kebiasaan yang berlaku umum (general custom) dan kebiasaan yang bersifat lokal (lokal custom). Dalam konteks negara, maka general custom adalah kebiasaan yang dipraktekan secara umum oleh masyarakat suatu negara, bahkan dunia. Sedangkan kebiasaan lokal adalah kebiasaan yang terbatas pada suatu wilayah tertentu, bisa propinsi, kabupaten/kota, bahkan desa. Local custom hanya berlaku pada masyarakat yang terbatas, baik secara geografis, maupun etnis. Ada beberapa karakteristik kebiasaan yang dapat diberi legitimasi sebagai suatu hukum yaitu : Pertama, kebiasaan harus dipraktekan atau digunakan secara terus menerus (continuously). Kedua, kebiasaan telah diakui sebagai hukum (as of right) yang melahirkan hak dan kewajiban untuk dilaksanakan. Ketiga, kebiasaan haruslah pasti dan jelas (be certain and precise). Keempat, dalam kaitannya dengan karakteristik continuously adalah dapat beradaptasi atau disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat (be adabtable to changing ideas). Karakteristik keempat, yaitu be adabtable to changing ideas, secara fungsional sangatlah penting, dalam arti, kebiasaan yang diangkat ke
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
11
dalam hukum positif adalah kebiasaan yang mendorong perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial dan budaya, termasuk dalam bidang perlindungan konsumen. Sebagai sumber materi peraturan perundang-undang, “kebiasaan” merupakan jawaban atau solusi terhadap pertentangan antara paham legisme termasuk aliran positivisme dan aliran madzab sejarah. Paham legisme (positivisme) yang menyamakan hukum dengan undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif berpandangan bahwa hukum (undang-undang) memiliki legitimasi yang kuat, baik secara prosedural maupun substansial. Secara prosedural artinya, dibuat oleh lembaga negara yang berwenang dan melalui mekanisme yang standar atau yang sudah ditetapkan. Sedangkan legitimasi secara substansial artinya, keyakinan bahwa para pembuat undang-undang menghasilkan suatu norma hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara pada pihak lain madzhab sejarah menentang perundang-undangan (legislation) sebagai cara untuk membentuk (termasuk memperbaruhi) hukum karena hukum tidak
mungkin dibuat, melainkan (harus)
tumbuh sendiri dari kesadaran hukum masyarakat. Kebiasaan sebagai jawaban, dapat kita temukan dalam pemikiran sociological jurisprudence yang dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dalam teorinya tentang living law. Inti dari pemikiran ini adalah hukum positif yang baik adalah hukum yang sesuai dengan living law. Living
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
12
law sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Dari perspektif ini, maka hukum positif yang dihasilkan oleh lembaga legislatif akan mendapat pengakuan atau legitimasi yang kuat, baik secara formal maupun substantsial apabila mengambil materinya dari kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki legitimasi formal dan substansial yang kuat, akan berdampak positif terhadap efektivitas dalam pelaksanaannya, karena masyarakat telah menyadari betul makna dari subtansi
undang-undang yang harus
ditaati bersama. Dengan demikian, hukum yang bersumber pada kebiasaan dapat mempertahankan dua pemikiran besar, yaitu aliran positivisme dan madzab
histories
yang
sama-sama
memiliki
(Legislasi)
yang
kelemahan
dan
keunggulannya.
B.
Pembentukan Hukum
Bersumber pada
Kebiasaan Mengacu kepada undang-undang No.
10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat peraturan perundang-undangan yang diakui yaitu : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
13
3. Peraturan pemerintah. 4. Peraturan presiden. 5. Peraturan dearah. Peraturan daerah meliputi peraturan daerah provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi bersama dengan gubernur, peraturan daerah kabupaten kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama bupati/wali kota, dan peraturan desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepada desa atau nama lainnya. Namun Undang-Undang No. 10 tahun 2004 mengakui pula adanya peraturan perundang-undang selain kelima peraturan perundang-undang di atas dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh paraturan perundang-undang yang lebih tinggi. Pengakuan kebiasaan sebagai sumber materi hukum, berarti pengakuan pemberian legitimasi (stempel) kebiasaan ke dalam jenisjenis peraturan perundang-undang di atas. Dari sudut jenis kebiasaan, maka ada dua peraturan perundang-perundang yang bersumber pada general custom, dan peraturan daerah yang bersumber pada local custom. 1.
Kebiasaan Sebagai Sumber Materi Undang-Undang Dalam sistem hukum kita, undang-undang bersifat nasional Pasal 8 Undang-Undang No. 20 tahun 2004 mengatur mengenai
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
14
materi muatan Undang-Undang, yaitu berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah
negara
dan
pembagian
daerah,
kewarganegaraan,
keuangan negara, serta materi yang diperintahkan oleh suatu undang-undang. Materi muatan undang-undang tidak dapat dilihat secara limitatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 UndangUndang No. 10 Tahun 2004. Dalam prakteknya, program legislasi nasional
tahun
2005-2009,
serta
prioritas
tahun
2005
mencantumkan rancangan undang-undang yang sangat bervariatif, yang meliputi berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, pembangunan daerah. Dari perspektif kebiasaan sebagai sumber pembentukan Undang-Undang, maka tugas lembaga pembuat Undang-undang, baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah adalah melakukan ‘pencarian’ atau ‘penerimaan” terhadap kebiasaankebiasaan yang terkait dengan rancangan undang-undang yang telah dijadikan prioritas, baik tahun 2005 maupun tahun 20062009. Sebagai suatu negara yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi dalam satu kesatuan sistem hukum, maka kebiasaan yang dapat menjadi sumber bagi pembentukan undang-undang
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
15
adalah kebiasaan yang umum sifatnya (general custom). Kebiasaan yang memang dapat diakui dan dilaksanakan oleh semua kelompok masyarakat biasanya bersifat netral, sehingga bidang-bidang inilah yang dapat diangkat ke dalam bentuk hukum pada tingkat undangundang. Kebiasaan-kebiasaann yang umum sifatnya misalnya untuk undang-undang di bidang ekonomi seperti undang-undang yang uang terkait dengan perlindungan konsumen. Persoalannya adalah bagaimana kapasitas Dewan Perwakilan Rakyat dalam menemukan kebiasaan-kebiasaan yang terkait dengan suatu rancangan undang-undang. Hal ini menjadi permasalahan serius yang dihadapi Dewan Perwakilan Rakyat pada saat ini. Karena kegiatan penemuan suatu kebiasaan yang terkait dengan rancangan undang-undang merupakan suatu proses konsultasi publik yang harus didukung oleh kegiatan “intelectual exercise” yang memadai. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 memberikan dasar hukum yang kuat (Pasal 53) tentang hak masyarakat untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, dalam rangka penyusunan rancangan undang-undang maupun pembahasannya. Ketentuan pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 kemudian dijabarkan dalam peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, mekanisme yang terdapat dalam peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat masih terasa asing, bahkan “kaku” bagi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
16
masyarakat, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengetahui dan menggunakan mekanisme tersebut. Terbatasnya akses masyarakat dalam perumusan suatu rancangan undang-undang akan berdampak semakin kecilnya informasi yang dapat diperoleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengenai kebiasaan yang terkait dengan suatu rancangan undangundang yang sedang dibahas. Pada pihak lain, kegiatan penemuan kebiasaan melalui pengkajian merupakan sesuatu yang penting dilakukan. Pada institusi pemerintah, kegiatan ini dilakukan oleh departemen atau instansi terkait dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Setiap tahun Badan Pembinaan Hukum Nasional membentuk tim kompilasi hukum. Kapasitas supporting sistem Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan perancangan UU, termasuk penemuan kebiasaan masih terbatas. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki Pusat Pelayanan Informasi (P31), namun lembaga tersebut, belum terlalu kuat untuk mendukung semua kebutuhan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Ke depan, legislasi Dewan Perwakilan Rakyat termasuk untuk kepentingan penemuan kebiasaan, memerlukan dukungan data dan informasi yang kuat, baik yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sendiri, maupun kerja sama dengan pihak lembaga penelitian dan penguruan tinggi, serta dukungan dari lembaga
masyarakat/stake
holders
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
untuk
membahas
suatu
17
rancangan undang-undang. Tanpa kerangka kerja yang demikian, sulit bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghasilkan suatu undang-undang yang
mencerminkan kebiasaan yang sudah
berlangsung dalam praktek di masyarakat.
2.
Kebiasaan Sebagai Sumber Materi Peraturan Daerah : Heterogenitas Hukum. Peran peraturan daerah dalam era otonomi daerah sangatlah strategis untuk masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, pembentukan hukum yang bersumber pada kebiasaan melalui peraturan daerah perlu mendapat perhatian. Kebiasaan yang dominan untuk menjadi sumber bagi peraturan daerah adalah kebiasaan yang termasuk dalam katagori lokal costum. Lokal custom semakin relevan, tidak saja pada level provinsi dan kabupaten/kota, tetapi peraturan yang bersumber pada kebiasaan yang ada pada daerahnya masing-masing. Dibandingkan dengan peraturan kebiasaan dalam udangundang, tingkat kesulitan dan kompleksitas local custom untuk diangkat ke dalam bentuk peraturan daerah reletif lebih mudah. Hal tersebut disebabkan oleh komposisi masyarakat yang lebih homogen, dibandingkan dengan pada level nasional. Kondisi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
18
masyarakat
Indonesia
berkembangnya
kebiasaan
yang yang
heterogen,
memungkinkan
dituangkan
dalam
bentuk
peraturan daerah. Hal itu dimungkinkan sepanjang masih berada dalam satu kerangka sistem hukum nasional, yang antara lain diwujudkan dengan asas-asas yang tertuang dalam setiap peraturan perundang-undang termasuk peraturan daerah. Walaupun pembentukan peraturan daerah yang bersumber pada kebiasaan reletif lebih mudah, namun tidak berarti tanpa ada kesulitan, hambatan atau kesulitan yang dihadapi sama dengan lembaga legislatif pada tingkat pusat, yaitu pentingnya instrumen konsultasi publik dan supporting sistem dalam perancangan peraturan daerah. Perlu diingat, bahwa lembaga legislatif tetap menjadi lembaga politik yang diisi oleh anggota dewan dengan latar belakang ideologi dan tingkat kemampuan yang berbeda. Sehingga perumusasn peraturan daerah yang bersumber ppada kebiasaan tetepa
memerlukan
kapasitas
yang
cukup
dari
elemen
pendukungnya. Disamping itu, kebiasaan sebagai sumber materi hukum bagi pembentukan peraturan daerah tidak saja terbatas pada aspek norma atau kaidahnya saja, tetapi secara utuh termasuk institusiinstitusinya. Hal ini penting, karena efektivitas dari peraturan daerah yang bersumber pada kebiasaan lokal, ditentukan pula oleh institusi yang mendukungnya. Norma dan institusi-institusi hukum
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
19
daerah memiliki pula aspek budaya hukum lokal (tersendiri). Oleh karena itu, pengakuan kebiasaan lokal sebagai sumber materi hukum termasuk institusi dan budaya hukumnya akan melahirkan satu sistem hukum tersendiri. Sistem hukum ini menjadi subsitem hukum nasional. Kuatnya peran kebiasaan lokall sebagai sumber materi peraturan
daerah
berdampak
pula
pada
berkembangnya
heterogenitas hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai ilustrasi, pusat pengkajian dan pelayanan informasi Dewan Perwakilan Rakyat, pernah melakukan penelitian penggunaan kekuatan magis sebagai suatu bentuk sub legal culture pemikiran ini didasarkan pada temuan, bahwa di beberapa di daerah penyelesaian masalah melalui santet sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai hal yang wajar. Oleh Karena itu dapat disebut sebagai the living law. Namun, pada tingkat masyarakat Indonesia secara keseluruhan, hal tersebut masih diperdebatkan, sehingga ada pemikiran agar masalah santet ini diberi bentuk hukum melalui peraturan daerah saja, sesuai dengan local custom setempat.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
20
C.
Kebiasaan Dan Kerangka Hukum Perlindungan Konsumen 1.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagai “Umbrella Act” (Undang-undang Payung). Pada saat Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku secara efektif tanggal 20 April Tahun 2000, sesungguhnya sudah ada beberapa undang-undang yang substansinya memuat norma-norma
di
bidang
perlindungan
konsumen.
Dalam
penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 (dua puluh tiga) undang-undang. Oleh karena itu, UUPK berfungsi sebagai perekat dan pengatur lalu lintas undang-undang terkait untuk menciptakan satu kesatuan sisterm hukum perlindungan konsumen. Sebagai undang-undang payung, maka prinsip-prinsip yang ada dalam UUPK menjiwai beberapa undang-undang sektoral lain. Kesatuan sistem hukum perlindungan konsumen, sehingga terjadi sinkroniasi antara Undang-undang yang satu dengan undangundang yang lainnya. Sistem hukum perlindungan konsumen yang menempatkan UUPK sebagai payung dan norma-norma lainnya diatur dalam berbagai Undang-undang sektoral, berimplikasi pada luasnya kebiasaan yang menjadi praktek dan sumber pembentukan hukum perlindungan konsumen.
Kebiasaan dan praktek perlindungan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
21
konsumen terdapat dalam bidang barang dan jasa, seperti jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi, kelistrikan, dll. 2.Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
Memperkenalkan Terobosan-terobosan Baru di Bidang Hukum Nasional. Dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, UUPK
yang merupakan usul Inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat ini memuat terobosan-terobosan hukum baru ini pada dasarnya bersumber pada kebiasaan dan praktek yang dirasakan lebih adil bagi konsumen, yaitu: a) Klausula Baku. Pengaturan tentang klausula baku dalam Pasal 18 UUPK dimaksudkan untuk membatasi asas kebebasan kontrak yang selama ini dijadikan acuan bagi pelaku usaha dalam membuat perjanjian standar. Perjanjian standar ini biasanya menjadi beban bagi konsumen, karena isi perjanjian tersebut sudah dirumuskan oleh produsen, dan konsumen hanya dihadapkan dengan pilihan mengikuti atau tidak mengikuti sama sekali. Tidak ada negosiasi isi kontrak. Untuk mengantisipasi praktek yang demikian, UUPK tetap membolehkan adanya perjanjian standar, namun pelaku usaha dilarang untuk mencantukan beberapa klausul yang dinilai merugikan konsumen. b) Sistem Pembuktian Terbalik.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
22
Salah
satu
memperjuankan
dan
kesulitan
bagi
konsumen
memperoleh ganti
dalam
kerugian akibat
mengkonsumsi produk adalah membuktikan kesalah produsen. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, UUPK menetapkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban tanggungjawab pelaku usaha (Pasal 22 dan 28 UUPK). c) Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Untuk menjamin akses konsumen terhadap keadilan, UUPK menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan memperkenalkan 3 (tiga) instrumen, yaitu gugatan kelompok konsumen yang menjadi korban (class action), gugatan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat (legal standing), dan gugatan yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan melalui jalan damai atau menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen yang didirikan di setiap kabupaten dan kota. Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen menyelasaikan Konsumen menggunakan mekanisme Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. d)Lembaga Masyarakat
Perlindungan dan
Badan
Konsumen
Swadaya
Perlindungan
Konsumen
Nasional.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
23
Salah
satu
elemen
penting
dalam
pemberdayaan
konsumen adalah masyarakat itu sendiri, yang dapat dilakukan secara individu, maupun kelompok atau organisasi dalam bentuk lembaga perlindungan konsumen. Untuk itu, UUPK mengakui
dan
memperkuat
peran
Lembaga
Swadaya
Masyarakat Perlindungan Konsumen. Pengakuan ini sekaligus mendorong terbentuknya LPKSM yang profesional. Di samping LPKSM, UUPK membentuk Nasional.
Dari
Badan Perlindungan Konsumen
komposisi
keanggotaan
lembaga
ini
kedudukannya independen, melalui proses fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ini berperan sebagai think thank pemerintah, yang menyusun strategi nasional perlindungan
konsumen
dan
memberikan
pertimbangan
kepada pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
e)Kriminalisasi
Pelanggaran
Terhadap
Hukum
Perlindungan Konsumen. Salah satu kekhasan dari UUPK adalah kriminalisasi beberapa bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. UUPK membuka peluang bagi sengketa perdata untuk diteruskan
menjadi
tindakan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
pidana.
UUPK
juga
24
memberpkenalkan subyek hukum pidana, tidak saja individu, tetapi
juga
badan
hukum.
Adanya
sanksi
pidana
ini
dimaksudkan untuk menimbulkan sikap jera atau tobat dari pelaku usaha untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum perlindungan konsumen.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
25
BAB III KOMPILASI KEBIASAAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.
Fungsi Pembinaan Dan Pengawasan Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Lahirnya
Undang-undang
perlindungan
konsumen
tersebut
dilatar-belakangi oleh kondisi atau posisi konsumen yang berada dipihak yang lemah dalam menghadapi pelaku usaha. Hal ini disebabkan tingkat kesadaran dan pengetahuan/pendidikan konsumen masih sangat rendah, atau dengan kata lain perkembangan kemajuan pengetahuan konsumen, belum seimbang dengan kemajuan tekhnologi maupun informasi. Secara yuridis, kelahiran UUPK disebabkan peraturan perundang-undangan yang ada sebelum UUPK belum memadai dan kurang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan secara langsung kepada konsumen yang dirugikan. Konsumen Indonesia pada umumnya bukan konsumen hasil dari penyuluhan atau pendidikan. Selanjutnya dari perspektif budaya hukum, konsumen yang mengalami
kerugian atau menderita
gangguan kesehatan masih enggan untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya melalui jalur hukum di pengadilan atau
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
26
kata lain, pada umumnya konsumen Indonesia dikenal dengan memiliki ciri khas budaya pasrah. Untuk itu diupayakan mengangkat harkat dan martabat konsumen
melalui
pembentukan
undang-undang
perlindungan
konsumen, sehingga posisi konsumen yang selama ini masih sangat rendah, menjadi seimbang dengan pelaku usaha. Azas keseimbangan inilah yang menjadi salah satu azas dari undang-undang perlindungan konsumen. Namun, pembentukan undang-undang perlindungan konsumen bukanlah dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan terhadap konsumen dapat mendorong tumbunya iklim usaha yang sehat dan juga mendorong lahirnya pelaku usaha yang tangguh, jujur dan bertanggung jawab dalam menghadapi era perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan melalui penyediaan produk atau jasa yang berkualitas. Selanjutnya, dari aspek yuridis, sebagaimana telah dikemukakan, sebelum
berlakunya
undang-undang
perlindungan
konsumen,
Indonesia belum memiliki ketentuan hukum yang komprehensif dan integratif tentang perlindungan konsumen, berbagai peraturan yang sudah ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Peraturan yang dimaksud antara lain : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Kitab Undang-
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
27
Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dan berbagai peraturan sektoral seperti Undang-undang No. 23 tahun 1991 tentang kesehatan, Undang-undang tentang Pangan, dan lain-lain. Dibidang Hukum Perdata, hanya mengatur kerugian si pembeli (Pasal 1513-1518) dan kewajiban si penjual (pasal 1473-1512) dan tidak mengatur mengenai hak-hak sipembeli dan sipenjual. Pembeli dalam KUH Perdata, tidaklah identik pengertiannya dengan konsumen, karena
pengertian konsumen bukan hanya pembeli, tetapi juga
mencukupi penggunaan atau pemakai akhir. Oleh karena itu, KUH Perdata,
belum mampu memberikan perlindungan konsumen
terhadap konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha. Dibidang Hukum Pidana, pelaku usaha yang menjual barang yang berbahaya bagi kesehatan maupun bagi jiwa, atau penjual yang mengelabuhi pembeli, baik mengenai keadaan, sifat atau banyaknya barang, atau penjual yang memalsukan barang makanan, minuman atau obat-obatan, hanya dikenakan sanksi hukuman penjara atau denda. Ketentuan KUH Pidana hanya menghukum pelaku usaha, tetapi tidak mengatur hak konsumen untuk menuntut ganti rugi sebagai konpensasi atas kesalahan si penjual, sehingga kepentingan konsumen belum terlindungi melalui KUH Pidana tersebut. Ketentuan di berbagai sektoral, seperti Undang-undang Pangan, Undang-undang
Kesehatan,
dan
lain-lain
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
juga
belum
dapat
28
dimanfaatkan secara langsung untuk melindungi konsumen, bahkan pengertian konsumen itu sendiri hampir tidak dikenal didalam berbagai peraturan sektoral tersebut. Dengan melihat kondisi peraturan perundang-undangan yang ada sekarang yang belum mampu memberikan perlindungan hukum secara langsung kepada konsumen, maka sangat diperlukan adanya undang-undang tentang perlindungan konsumen (Undang-undang No. 8 Tahun 1999) yang bersifat responsif, intregratif dan komprehensif yang dapat menjamin adanya suatu kepastian hukum perlindungan terhadap konsumen yang beritikad baik maupun perlindungan terhadap produsen/pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab beritikad baik. 1.
Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Peranan Pemerintah dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, sesuai dengan hasil pembahasan rancangan undangundang perlindungan konsumen di Dewan Perwakilan Rakyat maupun yang tercantum didalam undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai Pembina dan Pengawas. Pembina atas penyelenggaraan perlindungan konsumen adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini oleh Menteri di bidang perdagangan dan/atau menteri teknis terkait.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
29
Pembinaan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 adalah “Menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Hak-hak konsumen atas barang dan atau jasa yang dikonsumsi menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 yang harus mendapat perlindungan dan jaminan kepastian hukum dari aparat pemerintah baik sebagai Pembina terlebih sebagai Pengawas adalah seperti hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur, hak atas didengar pendapat atau diskriminatif, serta hak untuk mendapat kompensasi atau ganti rugi serta hak-hak lain yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan lain. Perlindungan hukum yang diberikan atas hak-hak konsumen, juga harus diperlakukan sama terhadap hak-hak pelaku usaha, seperti hak untuk menerima pembayaran, hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik dan hak untuk melakukan pembelaan diri, serta rehabilitasi nama
baik.
Pemberian
perlindungan
hukum
oleh
aparat
pemerintah, baik sebagai Pembina maupun sebagai Pengawas, harus memberikan perlindungan hukum yang seimbang, baik kepada konsumen yang beritikad baik maupun kepada pelaku
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
30
usaha yang jujur dan bertanggungjawab. Pemberian perlindungan hukum yang seimbang adalah merupakan salah satu azas dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999. Seiring dengan Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, maka lembaga-lembaga non Pemerintah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan konsumen seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN),
Lembaga
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
Lembaga-lembaga
tersebut
merupakan
bagian dari kelembagaan hukum perlindungan konsumen yang tersus menerus melihat apakah hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha, dalam hal mengkonsumsi barang dan
atau
jasa
serta
dalam
hal
memproduksi
dan
atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa telah sesuai atau menyimpang dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Menteri dibidang perdagangan, maupun yang dilakukan oleh menteri teknis terkait menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 meliputi upaya untuk :
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
31
1)
Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
2)
Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
3)
Meningkatkan
kualitas
sumber
meningkatnya
kegiatan
penelitian
daya dan
manusia
serta
pengembangan
dibidang perlindungan konsumen. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, tugas pembinaan pengawasan meliputi: a.
Untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen”. Menteri di bidang perdagangan melakukan koordinasi dengan menteri teknis terkait dalam hal : (1)
Penyusunan
kebijakan
di
bidang
perlindungan
konsumen. (2) Pemasyarakatan Peraturan Perundang-undangan dan informasi
yang
berkaitan
dengan
perlindungan
konsumen. (3) Peningkatan pemahaman BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
32
(4) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masingmasing. (5) Peningkatan
pemberdayaan
konsumen
melalui
pendidikan, pelatihan, keterampilan. (6) Penelitian terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar yang menyangkut perlindungan konsumen. (7) Peningkatan kualitas barang dan/ atau jasa. (8) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan bertanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/ atau jasa; dan (9) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam
memenuhi
standar
mutu
produksi
barang
dan/atau jasa serta mencantumkan label dan klausula baku. b.
Untuk mengembangkan LPKSM. Menteri dibidang perdagangan melakukan koordinasi dengan menteri teknis terkait, dalam hal : (1)
Memasyarakatkan Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan
yang
berkaitan
dengan
perlindungan
konsumen.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
33
(2) Pembinaan dan peningkatan mutu sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan. c.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta
meningkatkan
kegiatan
penelitian
dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen. Menteri dibidang perdagangan melakukan koordinasi dengan menteri teknis terkait dalam hal : (1)
Peningkatan kualitas Aparat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang perlindungan konsumen;
(2) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/ atau jasa; (3) Pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan (4) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/ atau jasa serta penerapannya. 2.Implementasi
Perlindungan
Konsumen
Melalui
Pembinaan Pembinaan yang telah dilakukan oleh Menteri di bidang perdagangan cq Direktorat Perlindungan Konsumen penyelenggaraan diperolehnya
perlindungan
hak
konsumen
konsumen, dan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
untuk
pelaku
dalam
menjamin
usaha
serta
34
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, telah dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga terkait seperti : Badan POM, Ditjen Tenaga Listrik, PDAM, PLN, Badan Standardisasi Nasional (BSN), Dep. Perindustrian, YLKI dan lain-lain, untuk : 1) Melakukan sosialisasi dan publikasi perlindungan konsumen kepada konsumen, pelaku usaha, siswa SMU dan aparat pemerintah baik melalui seminar, workshop, radio dan TV maupun melalui penyebaran Buku-buku Undang-Undang. Perlindungan Konsumen, brosur, leaflet dan tulisan tentang perlindungan konsumen dalam beberapa harian dan buletin perlindungan konsumen. 2) Melakukan penelitian barang yang beredar yang diduga dapat mengganggu kesehatan atau jiwa konsumen, seperti barang melamine yang mengandung formalin, atau minuman-makanan yang memuat pernyataan halal tetapi tidak sesuai dengan kenyataan seperti kasus penyedap makanan merk Ajinomoto. 3) Meningkatkan SDM pengelola LPKSM, SDM Penyidik Pegawai Negeri Sipil dibidang perlindungan konsumen (PPNS PK) maupun
SDM
Anggota
dan
Sekretariat
BPSK
melalui
pendidikan, pelatihan dan keterampilan. 4) Menyusun peraturan, kebijakan atau pedoman di bidang perlindungan konsumen seperti menyusun peraturan Menteri
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
35
tentang cara menjual, tentang Klausula Baku dan tentang Label diluar makanan atau minuman dan lain-lain. 5) Bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk menyusun peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang akan mengatur pengajuan keberatan atas putusan BPSK ke Pengadilan Negeri. 6) Dan lain-lain. 3. Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen maupun pengawasan terhadap penepatan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
(LKSM).
Pengawasan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri yang lingkup tugasnya dibidang perdagangan dan Menteri Teknis Terkait. Berbeda dengan pembinaan dimana menteri di bidang perdagangan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan koordinasi dengan menteri teknis terkait untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen, sedangkan di dalam hal pengawasan tidak dikenal adanya koordinasi pengawasan. Hal berarti bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh masing-masing menteri baik di bidang perdagangan maupun oleh menteri teknis terkait sesuai dengan bidang tugas
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
36
masing-masing
menurut
ketentuan
dalam
Undang-Undang
sektoral yang berlaku bagi instansi teknis yang bersangkutan. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen bahwa kegiatan pengawasan dilakukan oleh : 1) Pemerintah a.
Pengawasan meliputi : Pemenuhan standar mutu produksi barang dan/atau jasa • Pencantuman label • Klausula Baku • Pelayanan purna jual
b.
Pengawasan dilakukan dalam hal • Proses produksi • Penawaran • Promosi • Pengiklanan, dan • Penjualan barang
c.
Hasil pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dapat disebar luaskan kepada masyarakat.
d.
Ketentuan tentang tata cara pengawasan diatur lebih lanjut oleh Menteri di Bidang Perdagangan dan atau Menteri
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
37
Teknis Terkait baik secara bersama-sama maupun sendirisendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing. e.
Khusus
di
bidang
Perdagangan
telah
diterbitkan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 2) Masyarakat dan LPKSM a.
Pengawasan dilakukan terhadap barang dan/atau yang beredar di pasar.
b.
Pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei.
c.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko
penggunaan
barang,
pemasangan
label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. d.
Penelitian, pengujian dan/atau survei dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen.
e.
Hasil
pengawasan
dapat
disebar
luaskan
kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan Menteri Teknis.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
38
4.Implementasi
Perlindungan
Konsumen
melalui
Pengawasan. Pengawasan dibidang perdagangan yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan yang secara tidak langsung telah memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan dihentikannya atau ditariknya dari periklanan, barang yang tidak memenuhi standart mutu yang tidak diwajibkan (SNI yang Standart Nasional Indonesia) antara lain : a. Dihentikannya produksi Seng Gelombang Baja, yang tidak memenuhi standart mutu yang telah diwajibkan, (SNI) kasus ini terjadi di Sumatera Utara. b. Ditariknya Tepung Terigu sebagai bahan baku membuat roti dari pasar yang tidak memenuhi standart mutunya telah diwajibkan (SNI), kasus ini terjadi di Jambi, Palembang, Jakarta dan daerah lainnya. c. Ditariknya dari pasar barang penyedap makanan merk “Aji
No
Moto” yang label halalnya tidak sesuai dengan kenyataan, penarikan dilakukan dari seluruh Indonesia. d. Pengawasan dan penarikan dilakukan atas kerjasama dengan Badan POM, Kepolisian, dan Instansi terkait baik di Pusat maupun di Daerah. e. dan lain-lain.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
39
B.
Standardisasi Produk . Menurut Kamus Bahasa Indonesia Edisi Kedua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerbit Balai Pustaka, bahwa yang dimaksud dengan :
Standar adalah ukuran tertentu yang dipakai
sebagai patokan. Sedangkan yang dimaksud dengan Standardisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas dsb) dengan pedoman (standar yang ditetapkan). Namun yang dimaksud dengan Standardisasi yang terdapat dalam Kepmen Perindustrian dan Perdagangan R.I. No. 108/MPP/Kep/5/1996, tentang Standardisasi, Sertifikasi, Akreditasi dan Pengawasan Mutu Produk di Lingkungan Dep. Perindustrian dan Perdagangan yang antara lain dinyatakan bahwa : Pasal 1, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
standar
adalah spesifikasi atau suatu yang dibakukan, disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syaratsyarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan dating untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan
standardisasi
adalah
proses
merumuskan,
merefisi,
menetapkan dan menerapkan standar, dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan Standardisasi meliputi antara lain : (a) Merumuskan; (b) Merefisi; (c) Menetapkan; (d) Menerapkan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
40
Sedangkan yang dimaksud dengan perumusan standar adalah proses penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menjamin konsensus
nasional
antara
pihak-pihak
pemerintah.
Organisasi
Pengusaha, Organisasi Pekerja dan Organisasi Perusahaan, kalangan ahli ilmu pengetahuan dan Teknologi, Produsen serta wakil-wakil konsumen dan pemakai produk atau jasa. Selanjutnya revisi standar adalah kegiatan menyempurnakan standardisasi dengan kebutuhan. Penerapan Standar adalah kegiatan perusahaan di dalam menggunakan SNI atau standar lain yang diacu dan diakui terhadap produknya. Pasal 19, Pemerintah menetapkan Standar untuk bahan baku dan barang/hasil industri dengan tujuan menjamin mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi. Penyusunan standar industri
mengikutsertakan pihak swasta,
kamar dagang dan industri, asosiasi, balai-balai penelitian, lembagalembaga konsumen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan proses dalam standardisasi industri. Selain untuk kepentingan industri, standardisasi industri juga perlu untuk melindungi konsumen. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa standarisasi: menjamin serta meningkatkan mutu hasil industri; normalisasi penggunaan bahan baku dan barang; nasionalisasi optimalisasi produk dan cara kerja demi tercapainya daya guna yang sebesar-besarnya.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
41
1.
Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Standardisasi a.
Undang-Undang
No.
5
Tahun
1984
tentang
Perindustrian. Undang-undang ini dibuat pada tahun 1984, dalam pasal 19 undang-undang tersebut, menyatakan bahwa penerapan standar
industri
meningkatkan
bertujuan
mutu
hasil
untuk
industri,
menjamin untuk
serta
normalisasi
penggunaan bahan baku dan barang serta untuk rasionalisasi, optimalisasi produk dan cara kerja demi tercapainya daya guna yang sebesar-besarnya. Penyusunan standar industri mengikutsertakan pihak swasta, Kamar Dagang dan Industri, Asosiasi, Balai-balai penelitian, Lembaga-lembaga Ilmiah, Lembaga konsumen dan pihak-pihak
lain
yang
berkepentingan
dalam
proses
standardisasi industri. Selain untuk kepentingan industri, Standardisasi
industri
juga
perlu
untuk
melindungi
konsumen. b.
PP No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam rangka meningkatkan produktifitas dan daya guna produksi serta menjamin mutu produk dan/jasa yang dapat bersaing dengan produk dan atau jasa negara lain, melindungi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
42
konsumen, tenaga kerja dan masyarakat baik dari segi keselamatan maupun kesehatan maka dikeluarkan PP No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia. Selain dari itu,
maksud
PP
ini
adalah
untuk
memberikan
penandaan/sertifikasi pada produk yang telah memenuhi standar. Ruang lingkup standar dalam peraturan ini meliputi semua kegiatan standardisasi yang dilakukan oleh instansi teknis termasuk di dalamnya standar untuk satuan ukuran. Tujuan ditetapkannya SNI terdapat dalam BAB II pasal 4 dari PP No. 15 Tahun 1991 ini antara lain adalah : (1)
memberikan perlindungan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat baik dalam keselamatan dan kesehatan;
(2) mewujudkan jaminan mutu dengan memperhatikan sector-sektor terkait; (3) meningkatkan daya guna, hasil guna dan produktivitas dalam mencapai mutu produk dan atau jasa yang memenuhi standar; (4) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan; dan (5) menunjang kelestarian lingkungan hidup.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
43
Agar SNI yang dihasilkan nantinya dapat memiliki standar yang dapat diberlakukan di seluruh Indonesia, maka terhadap barang/produk yang hendak ditentukan standarnya itu harus ditentukan rancangannya dahulu oleh instansi teknis melalui proses yang menjamin consensus nasional antara pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian juga dalam revisi standar harus diusulkan oleh instansi teknis. Setelah rancangan/revisi standar tersebut disetujuani oleh dewan, maka melalui rapat pleno DSN/Rapat pleno pelaksana harian DSN, rancangan/revisi tadi diangkat menjadi SNI, dengan Kepmen Negara Riset dan Teknologi / Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi selaku Ketua Dewan Standardisasi Nasional No : 790/ 1V.72/A/89, telah
dibentuk
komisi-komisi
pada
DSN
dan
dengan
Keputusan Sekretaris Dewan/ Ketua Pelaksana Harian Dewan telah
diangkat
angggota-anggota
komisi
DSN
dengan
Keputusan No. 1226/ IV.2.06/HK/01.04./II/94. Berkaitan dengan penerapan SNI ada 2 (dua) kategori yang harus diperhatikan, yaitu SNI yang diterapkan secara suka rela. SNI yang wajib adalah SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan dan kesehatan konsumen, pemakai produk atau masyarakat.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
44
SNI sukarela sewaktu-waktu dapat berubah menjadi SNI
wajib
Penerapan
dengan SNI
mempertimbangkan wajib/sukarela
beberapa
dilakukan
hal.
dengan
membubuhkan tanda SNI pada produk atau kemasan produknya atau label. Penggunaan SNI pada produk dapat dilakukan bila produk yang bersangkutan telah diuji dan lolos dari lembaga penguji yang telah di akreditasi. Terhadap produk dan/atau jasa yang telah mendapat tanda sertifikat atau SNI, dilakukan pengawasan oleh pengawas yang ditunjuk oleh instansi teknis. Pengawasan dilakukan melalui pengajuan terhadap produk dan atau jasa yang dilakukan oleh lembaga penguji yang telah diakreditasi atau pemeriksaan terhadap fasilitas produksi/pengujian yang digunakan untuk menghasilkan/menguji produk dan/atau jasa yang yang bersangkutan yang dilakukan oleh unit organisasi yang berada di dalam lingkungan dan yang ditunjuk oleh instansi teknis yang bersangkutan. Jika dari hasil pemeriksaan terhadap SNI wajib ditemukan produk/ jasa yang ternyata tidak memenuhi ketentuan teknis SNI wajib,
maka
perusahaan
yang
bersangkutan
dilarang
membubuhkan tanda sertifikasi pada hasil produksi/jasanya, kegiatan produksi dihentikan dan produk yang masih ada dilarang untuk diedarkan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
45
Jika produk/jasa SNI sukarela yang dikemudian hari diterapkan menjadi wajib berdasarkan hasil pengawasan ternyata tidak memenuhi ketentuan SNI wajib, maka perusahaan
yang
bersangkutan
diharuskan
memenuhi
ketentuan teknis SNI dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam ) bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut SNI, maka perusahaan yang be rsangkutan dilarang membubuhkan tanda sertifikasi pada produksi/jasa. Pelarangan pembubuhan sertifikasi diumumkan kepada masyarakat melalui Keputusan Menteri
atau
pimpinan
Lembaga
Pemerintah
Non
Pemerintah. Ketentuan
lain
yang
terdapat
pada
Peraturan
Pemerintah ini adalah apabila perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan teknis SNI tetapi membubuhkan tanda sertifikasi pada produknya maka ijin usaha dari perusahaan itu akan dicabut, demikian pula pada perusahaan yang telah memenuhi ketentuan teknis SNI dan membubuhkan tanda SNI produknya tetapi tidak melaporkan pada instansi teknis. Ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan SNI baik itu perumusan
rancangan,
penetapan,
revisi,
penerbitan
sertifikasi dan lain : dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan
pedoman
yang
telah
ditetapkan
oleh
dewan.
Perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
46
membubuhkan tanda baik itu SNI wajib maupun SNI sukarela padahal produk yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan teknis SNI dikenakan pidana sesuai dengan pasal 26 Undang-Undang No. 9 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Peraturan-peraturan
yang
berkaitan
dengan
standardisasi yang telah ditetapkan oleh instansi teknis tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan yang baru berdasarkan peraturan pemerintah ini. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri dinyatakan tidak berlaku dengan adanya PP ini. c.
Keputusan Presiden R.I. No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia Keputusan
presiden
ini
merupakan
tindak
lanjut/pelaksanaan dari PP No. 12 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan PP tersebut, maka standar yang berlaku di Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Untuk menjadi standar yang akan berlaku, maka standar yang dimaksud harus melalui berbagai tahapan antara lain rancangan, perumusan, penyusunan, penetapan dan pengesahan menjadi SNI. Penyusunan, penerapan dan pengawasan SNI adalah menjadi kewenangan Menteri atau Pimpinan Lembaga
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
47
Pemerintah
Non
Departemen
sesuai
dengan
sistem
kewenangannya sistem Standardisasi Nasional yang telah ditetapkan oleh Dewan. Untuk penyusunan dan penerapan SNI di bidang Perindustrian menjadi kewenangan Menteri sebagaimana tercantum dalam PP No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri, yaitu Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan. Proses perumusan dan penyusunan SNI oleh masing-masing Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen dilakukan melalui proses yang menjamin konsensus. Rancangan SNI yang telah dirumuskan oleh masingmasing Departemen/LPMD disampaikan kepada Dewan untuk disetujui menjadi SNI, kemudian pengesahan dan pemberlakuan SNI yang sudah oleh Dwan dilakukan oleh Menteri atau Pimpinan LPND. Cara penulisan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan buku pedoman tentang penulisan SNI yang disusun dan ditetapkan oleh dewan. Untuk mewujudkan jaminan mutu pada produk/jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, maka pada produk/jasa tersebut yang telah memenuhi ketentuan teknis. SNI baik itu SNI wajib dan atau SNI sukarela diberikan sertifikasi dan atau
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
48
dibubuhi tanda SNI pada produk, kemasan atau labelnya. Untuk memperoleh tanda sertifikasi tersebut, maka terhadap produk/jasa tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap sarana produksi, proses produksi dan pengendalian mutu produk serta dilakukan pengujian atas produk/jasa yang dihasilkan. Pemeriksaan dimaksud dilakukan oleh produsen dari produk yang dinyatakan dalam suatu pernyataan dan merupakan jaminan mutu dari produsen atas produk yang diproduksinya. Pengujian dilakukan oleh lembaga penguji baik milik pemerintah
maupun
swasta
yang
telah
diakreditasi
berdasarkan penetapan akreditasi yang dikeluarkan oleh instansi teknis dengan Keputusan Menteri atau Pimpinan LPND. Untuk unjuk kerja ketelitian lembaga penguji di lingkungan instansi teknis dipantau
atau
dibina oleh
lembaga/Balai/Laboratorium Uji Standar, yaitu laboratorium yang ditunjuk oleh instansi teknis yang bersangkutan untuk memantau dan membina lembaga penguji. Lembaga
penguji
melakukan
pengujian
atas
permintaan setiap orang yang mengajukan secara sukarela maupun
berdasarkan
ketentuan
atau
peraturan
yang
dikeluarkan oleh Menteri atau LPND. Apabila dari hasil pengujian atas produk, ternyata produk tersebut sesuai dengan persyaratan SNI atau Spesifikasi teknis yang telah
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
49
ditetapkan, maka diterbitkan sertifikat oleh lembaga penguji dan
penerbitan
tersebut
oleh
lembaga
penguji
wajib
dilaporkan kepada Menteri atau Pimpinan LPND. Apabila dari hasil pengujian ternyata produk yang dihasilkan tidak
sesuai dengan persyaratan SNI
atau
Spesifikasi teknis yang telah ditetapkan, maka lembaga penguji menerbitkan laporan hasil analisa. Laporan hasil analisis wajib dilaporkan kepada Menteri atau Pimpinan LPND. Sertifikat untuk keperluan ekspor hanya dapat diterbitkan oleh lembaga penguji yang telah diakreditasi oleh Menteri Perdagangan dengan Keputusan Menteri. Biaya-biaya
jasa
pelayanan
pengambilan
contoh,
pengujian produk dan biaya-biaya lainnya dibebankan kepada pengusaha industri, produsen, perusahaan yang bersangkutan atau pihak lainnya yang memerlukan jasa pelayanan tersebut. Pelaksanaan pemberian jasa pelayanan dilakukan melalui perjanjian kerja antara lembaga penguji dengan pihak yang memerlukan
jasa tersebut. Sedangkan mengenai besarnya
biaya diatur oleh Menteri atau Pimpinan LPND. d. Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional Badan
Standardisasi
Nasional
mempunyai
tugas
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
50
dan pembinaan dibidang peraturan
standardisasi, sesuai dengan
perundang-undangan
yang
berlaku,
untuk
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pasal 2 tersebut. Badan
Standardisasi
Nasional
(BSN)
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : (1)
perumusan kebijaksanaan di bidang Standardisasi ;
(2) penyusunan rencana dan program nasional di bidang standardisasi; (3) pembinaan
dan
standardisasi
pelaksanaan
dengan
instansi
koordinasi
kegiatan
teknis dan instansi
lainnya; (4) pelaksanaan
tugas
internasional,
dokumentasi
dan
informasi serta pemasyarakatan di bidang standardisasi; (5) penetapan akreditasi dan syarat sertifikasi di bidang standardisasi; (6) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang standardisasi; (7) penetapan Standar Nasional Indonesia; (8) pelaksanaan administrasi Badan Standardisasi Nasional; (9) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang standardisasi dan jaminan mutu; dan (10) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Presiden.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
51
Dari rumusan tersebut di atas Badan Standardisasi Nasional mempunyai tugas-tugas dan fungsi yang sangat luas yang antara lain adalah sebagai berikut : (1)
membantu Presiden dalam hal pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi;
(2)
mempunyai fumgsi merumuskan, menyusun, membina dan melaksanakan koordinasi, kerjasama internasional, dokumentasi dan informasi serta memasyarakatkan, menetapkan dan akreditasi dan syarat sertifikasi, melaksanakan penelitian dan pengembangan, penerapan standar, pelaksanaan administrasi, menyelenggarakan pendidikan dan latihan dan lain-lainnya. Ada beberapa hal mengapa pemerintah dalam hal ini
Presiden memberikan tugas dan fungsi kepada Badan Standardisasi
Nasional
yang
cukup
luas
di
bidang
standardisasi, dalam konsideran dinyatakan bahwa : (1)
sejalan
dengan
tahap
perkembangan
kemampuan
nasional di bidang standardisasi, berbagai institusi telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan; (2) dalam
rangka
perdagangan
persiapan
dunia,
memasuki
kegiatan
liberalisasi
standardisasi
perlu
dikembangkan untuk memantapkan dan meningkatkan ekspor produk Indonesia dalam menghadapi persaingan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
52
internasional,
serta
meningkatkan
efisiensi
dan
efektifitas industri di Indonesia; (3) berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal
diperlukan
suatu
lembagas
yang
berfungsi membina standar nasional untuk satuan ukuran; (4) sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan dalam rangka mengembangkan dan membangun kegiatan standardisasi secara terpadu dipandang perlu untuk membentuk Badan Standardisasi Nasional. Dalam pasal 25 Keppres tersebut dinyatakan antara lain bahwa, semua unsur BSN dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, baik dalam lingkungan BSN sendiri maupun dalam hubungan antar instansi pemerintah. Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi bawahannya masing-masing dan bila terjadi penyimpangan agar diambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. C.
Sertifikasi Halal. Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahan yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi dan hewan yang
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
53
disembelih dengan nama selain Allah (QS. Al-Baqarah : 173). Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar (minuman beralkohol) (QS.Al-Baqarah:219). Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala (QS.Al-Maidah:3). Jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukkan bagi berhala. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam kategori halal seperti diuraikan di atas dan dipersiapkan serta diolah menurut ketentuan halal menurut syari’at Islam produknya dapat diajukan untuk mendapat Sertifikat Halal MUI. Tujuan pelaksanaan Sertifikat Halal pada Produk pangan, obatobat dan kosmetika adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu
produk,
sehingga
dapat
menentramkan
batin
yang
mengkonsumsinya. Sedangkan ruang lingkup dari sertfikasi halal adalah: a.
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal.
b.
Produk halal adalah diharamkan seperti : bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
c.
Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
54
d.
Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotorankotoran
e.
Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam
f.
Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam.
g.
Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
h.
Pemegang Sertifikat Halal MUI bertanggung jawab untuk memerlihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat ini tidak dapat dipindahtangankan.
i.
Sertifikat yang sudah berakhir masa berlakunya, termasuk fotocopynya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu
1. Jaminan Halal dari Produsen Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
55
a.
Produsen menyiapkan suatu sistem jaminan Halal (Halal Assurance System).
b.
Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan.
c.
Dalam pelaksanaannya, sistem jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
d.
Produsen menyiapkan prosedur buku pelaksanaan (standard operating produsere) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin.
e.
Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran, dari mulai diteksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.
f.
Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah. Sistem jaminan Halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
56
g.
Untuk melaksanakan butir 6, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.
2. Proses Sertifikasi Halal. a. Setiap produsen yang mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan : 1. Spesifikasi
dan
Sertifikat
Halal
bahan
baku,
bahan
tambahan dan bahan penolong serta bagian alir proset. 2. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI daerah (produk lokal) atau sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. 3. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya. 4. Tim Auditor LP POM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi
produser
setelah
formulir
beserta
lampiran-
lampirannya di kembalikan ke LP POM MUI dan diperiksa kelengkapan. b. Halal pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LP POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
57
kepada Sidang Komisi Farma MUI untuk diputuskan status kehalalnya. c. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. d. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. e. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari sistem jaminan Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya Auditor Halal Internal diwajibkan segera
melaporkan
untuk
mendapat
ketidak
beratan
penggunannya. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan LP POM MUI oleh Auditor Halal Internal. 3.
Tata Cara Pemeriksaan (Audit) Di Lokasi Produsen (Perusahaan). a. Surat akan dikirim oleh LP POM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
58
b. LIPPIM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi nama ketua tim dan anggota tim, serta pnetapan hari dan tanggal pemeriksaan. c. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat Halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantuannya untuk memberikan informasi yan gjujur dan jelas. d. Pemeriksaan (Audit) produk halal mencakup : (1) Manajemen produsen dalam menjamin kehalal produk. (2) Observasi lapangan. (3) Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau turunanya, yang mengandung alcohol dan yang dianggap perlu. 4. Masa Berlaku Sertifikasi Halal. a.
Sertifikat Halal hanya berlaku selama dua tahun, untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.
b.
Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat LP POM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
59
c.
Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali untuk sertitifikat Halal yang baru.
d.
Produsen yang tidak memperbaharui sertifikat halalnya, tidak diizinkan lagi menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam majalah resmi LP POM MUI, Jurnal Halal.
e.
Jika
sertifikat
halal
hilang,
pemegang
harus
segera
melaporkannya ke LP POM MUI. f.
Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya.
g.
Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
5. Sistem Pengawasan. a.
Perusahaan
wajib
menandatangani
perjanjian
untuk
menerima Tim Sidak LP POM MUI. b.
Perusahaan
berkewajiban
menyerahkan
laporan
audit
internal setiap 6 (enam) bulan setelah terbitnya sertifikat halal.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
60
6. Prosedur Perpanjangan Sertifikasi. a.
Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi formulir pendaftaran yang telah tersedia.
b.
Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk.
c.
Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus diinformasikan kepada LP POM MUI.
d.
Produsen
berkewajiban
melengkapi
dokumen
terbaru
tentang spesifikasi, sertifikat halal dan bahan alir proses. 7. Sertifikat Halal MUI Bagi Pengembangan Produk. a.
Pengembangan produk yang dilakukan oleh produsen pemegang sertifikat halal MUI harus dilaporkan kepada LP POM MUI.
b.
Jika produk yang dikembangkan berbeda jenisnya dengan kelompok produk yang sudah bersertifikat halal MUI, produk tersebut didaftarkan sebagai produk baru dan diproses mengikuti prosedur sertifikat halal yang berlaku.
c.
Produk yang sejenis dengan kelompok produk yang sudah mendapat sertifikat Halal MUI, di Informasikan kepada LP POM MUI. Informasi tersebut berisi data tambahan dan nama produk dan dilengkapi dengan spesifikasi dan bukti
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
61
pembelian bahan. Data tersebut akan dipelajari oleh LP POM MUI untuk ditentukan tahapan proses selanjutnya. d.
Pendaftaran penambahan produk dengan jenis produk yang sama dengan produk yang telah mendapat sertifikat halal dan pernah di audit sebelumnya tidak perlu melalui pengisian formulir baru direktur LP POM disertai lampiran daftar ingredient dan alur prosesnya. Bila dianggap perlu audit di lakukan untuk memeriksa kesesuaian informasi dalam surat dengan kondisi di lapangan.
e.
Halal auditing di laporkan dalam rapat auditor. Jika tidak ditemukan masalah maka dibawa ke rapat komisi fatwa dan apabila tidak maslah maka direktur akan mengeluarkan surat rekomendasi yang menyatakan bahwa produk tersebut dapat diproduksi karena menggunakan bahan-bahan yang pernah digunakan dari produk yang telah ditawarkan sebelumnya.
8. Produk Kemas Ulang (Repacking Product) Dan Produk Flavour Produk kemas ulang (repacking product) atau produk diistibutor di audit ke tempat produksi (negara asal). Khusus untuk produk flavour jika proses lokal hanya berupa proses sederhana, dimana basenya di buat dipabrik lain di luar negeri, maka audit harus di lakukan di tempat produksi base tersebut
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
62
perlu tidaknya audit dilakukan untuk penambahan produk baru di tentukan kasus perkasus. 9.
Prosedur Pemusnahan Bahan. Jika di temukan produk atau bahan yang harus di musnahkan karena ketidak halalannya maka pemusnahan harus disaksikan
oleh
auditor
disertai
bukti
berita
acara
pemusnahannya. Penentuan tentang pemusnahan di lakukan oleh rapat Auditor atau Rapat Tenaga Ahli. Jika produk yang diaudit banyak
dan
beragam,
maka
tidak
setiap
produk
harus
diproduknya. Akan tetapi auditor harus memeriksa formula tidak hanya pada database tapi juga diruang produksi. Bila pada saat audit dilakukan perusahaan belum dapat melaksanakan proses produksi sesungguhnya, maka dapat diaudit dalam proses skala laboratorium. Namun pada waktu produksi auditor akan melihat kembali kesesuaian proses produksi sesungguhnya dengan proses produksi skala laboratorium yang pernah dilihatnya. 10. Pembuatan Matriks Bahan. Setiap perusahaan yang diaudit akan diminta untuk membuat matriks bahan terakhir yang telah disetujui diajukan ke rapat komisi bahan terakhir yang telah disetujui untuk diajukan ke rapat komisi fatwa. Jika tidak ada permasalahan dalam rapat komisi fatwa, maka mariks ini akan disetujui oleh direktur setelah
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
63
diperiksa oleh auditor, matriks tersebut akan dimasukan kedalam database dan menjadi pegangan dalam pelaksanaan sidak.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
64
BAGAN PROSES SERTIFIKASI HALAL Rencana Pengajuan Sertifikat Halal
Rencana Sistem Jaminan Halal
Penyusunan Manual Halal Dan Prosedur Baku Pelaksanaannya
Revisi Audit Internal Dan Evaluasi
Produsen LP POM MUI
Pengajuan Sertifikat Halal
Tidak Lengkap Cek Sistem Jaminan Halal
Audit Dilokasi Produksi
Revisi
Revisi EVALUASI
FATWA MUI SERTIFIKAT HALAL
D.
Pengawasan Obat Dan Makanan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
65
Makanan dan obat adalah kebutuhan pokok paling utama bagi umat manusia. Tanpa makanan tidak akan ada kehidupan. Demikian pula tanpa obat, yang dalam era modern terwujud sebagai sediaan farmasi, bukan saja kehidupan sulit untuk dipertahankan, tetapi juga kehidupan
yang
tersisa
tidak
dapat
deinikmati.
Peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat menuntut peningkatan ketersediaan produk-produk yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
makanan
kesehatan,
pengobatan
maupun serta
untuk
promosi,
pencegahan
pemeliharaan,
penyakit.
Saat
ini
perkembangan masyarakat telah sampai pada tahap dimana kemajuan teknologi di berbagai bidang telah membawa yang kini mampu berpoduksi dalam skala besar, mencakup beraneka variasi produk, dengan jangkauan pemasaran yang sangat luas. Kemajuan
teknologi
informasi
dan
transportasi
serta
perkembangan hukum perdaganagan internasional sampai pada tahapan dimana transaksi perdagangan hampir tidak lagi mengenal batas negara, dengan biaya transaksi yang lebih murah. Dengan demikian produk obat dan makanan dapat, menyebar dengan cepat ke wilayah berbagai negara dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat. Sementara itu kondisi perekonomian masyarakat antara lain juga tercermin pada konsumsi masyarakat terhadap obat adan makanan yang semakin meningkat, seiring dengan perubahan gaya
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
66
hidup masyarakat. Pada konsumsi sediaan farmasi dan makanan masyarakat meningkat makin pesat bukan hanya kerena peningkatan taraf kesejahteraan, tetapi juga akibat gencarnya promosi dan iklan obat serta makanan. Promosi dan iklan obat serta makanan mendorong konsumsi atas produk-produk tersebut tidak hanya meningkat tetapi seringkali bahkan berlebihan. Peningkatan pola konsumsi obat dan makanan di masyarakat seringkali terbatas pada peningkatan kuantitas kebutuhan, tetapi kadang-kadang tidak disertai dengan peningkatan mutu, keamanan, dan khasiat/kemanfaatan, produk-produk yang ditawarkan di pasar, demikian juga keterbatasan tingkat pendidikan masyarakat tidak mampu memakai pratek-pratek penyebaran informasi yang tidak sehat. Akibatnya warga masyarakat seringkali terkecoh oleh promosi dan iklan obat serta makanan terdorong untuk mengkonsumsi produk obat dan makanan yang berlebihan, tidak rasional, bahkan berbahaya. Perubahan teknologi produksi, sistem perdangan internasional dan gaya hidup konsumen berdampak pada peningkatan risiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan kesalamatan konsumen. Apabila terjadi produk substandard rusak, atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung amat cepat (high risk). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, melindungi masyarakat konsumen dan perderan dan penggunaan obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
67
mutu, keamanan, dan khasiat/kemanfaatan, serta makanan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi, perlu dilakukan pengawasan agar dapat
menjamin
terselenggaranya
upaya
pemeliharaan
mutu,
keamanan, dan khasiat/kemanfaatan sejak kegiatan produksi sampai dengan peredarannya. Oleh karena itu pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks, serta menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak dengan kepekaan publik yang sangat tinggi. Untuk itu pengawasan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat. Tetapi harus dilakukan secar akomprehensif dan sistemik (full spectrum), mulai dari kualitas bahan yang akan digunakan, cara produksi, distribusi, penyimpanan sampai produk tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat (end-user). Seluruh mata rantai sistem pengawasan tersebut memiliki tujuan esensial yaitu untuk melindungi konsumen/masyarakat atas mutu, kemanan, dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia serta produk Indonesia yang dipasarkan / diekspor ke luar negari. 1. Landasan Hukum Pengawasan Obat Dan Makanan. Tanggung jawab pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan tersebut diatas harus dilandasi dengan dasar hukum yang memberikan kewenangan bagi pelaksanaannya dan penegakan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
68
hukumnya. Regulasi di bidang pengawasan obat dan makanan pada dasarnya mengacu pada undang-undang sebagai berikut : 1) Ordonasi obat keras Stbl. No. 419 tentang obat keras 2) Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana. 3) Undang-undang No. 5 tahun 1984 tentang perindustian 4) Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan 5) Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang pangan 6) Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang psikotropika 7) Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika 8) Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 9) Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, ketentuan lebih teknis mengenai pengawasan obat dan makanan memiliki landasan hukum antara lain : 1) Peraturan
Pemerintah
No.
17
tahun
1986
tentang
pengembangan industri. 2) Peraturan pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. 3) Peraturan pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
69
4) Peraturan pemerintah No.28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. 5) Keputusan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.3.1950 Tahun 2003 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. 6) Keputusan Kepala Badan Pengawas obat dan makanan No. HK. 00.05.1.745 tentang Kosmetik. 7) Keputusan Kepala Badan Pengawas obat dan makanan No Hk. 00.05.12569 tahun 2004 tentang criteria dan tata laksana penilaian produk pangan. 8) Peraturan Kepala Badan Pengawasan obat dan makanan No. 00.05.41.1384 tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. 9) Peraturan kepala badan POM No. HK. 00.05.41.1381 tahun 2005 tentang Tata laksana pendaftaran suplemen makanan 2. Sistem Pengawasan Obat Dan Makanan. Mengingat kompleksitas dan luasnya cakupan pengawasan obat dan makanan maka harus dikembangkan sistem pengawasan obat dan makanan (SISPOM) yang melibatkan peran dan tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam satu jaringan bersinergi SISPOM ini memiliki mekanisme yang dapat mendeteksi kualitas sehingga secara dini dapat dilakukan pengamanan jika terjadi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
70
kemunduran mutu produk dan hal-hal lain yang dapat merugikan konsumen,
SISPOM
yang
dikembangkan
mencakup
3
lapis/subsistem , yaitu : a. Sub Sistem pengawasan oleh produsen. Pengawasan oleh produsen/pelaku usaha mempunyai peran yang sangat penting karena setiap produsen secara hukum bertanggung
jawab
terhadap
mutu
keamanan
dan
khasiat/manfaat dari seluruh produk-produk yang dihasilkan dan diedarkan. Untuk itu setiap produsen harus memiliki sistem internal kontrol yang dapat mendeteksi mutu pada setiap proses
produksi
sampai
produk
tersebut
diedarkan
di
masyarakat (Post marketing survilance. Sistem pengawasan internal oleh produsen misalnya melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good manufacturing practices yang dilakukan secara konsisten. b. Sub Sistem Pengawasan oleh Pemerintah Sistem pengawasan oleh Pemerintah dilakukan melalui pengaturan dan standardisasi: penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi pengambilan sample dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
71
Pemerintah
juga
melakukan
upaya-upaya
untuk
memberdayakan masyarakat (community empowerment) agar memiliki kesadaran (awareness) mengenai hak dan tanggung jawabnya berkaitan dengan mutu dan keamanan produk. Untuk memberdayakan dan meningkatkan kesadaran pengetahuan masyarakat konsumen tersebut pemerintah melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi. c. Sub Sistem Pengawasan Oleh Masyarakat Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang nasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan
karena
pada
akhirnya
masyarakatlah
yang
mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk.Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentang dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan. Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi akan mendorong produsen untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas dan keamanan hasil produksinya. 3. Kaidah Pengawasan Obat dan Makanan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
72
Sebagai
lembaga
yang
memiliki
kewenangan
mengeluarkan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan (regulatory authority) pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan. Pemerintah tidak hanya dituntut sebagai “player” yang efisien tetapi juga harus memiliki prakarsa inovatif untuk membangun jaringan pengawasan lintas sector yang efektif.. pemerintah juga harus mampu mengembangkan kompetensi serta kredibilitasinya. Sebagai competent authority dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia yang diakui secara internasional. Untuk
dapat
mewujudkan
perannya
secara
efektif,
pemerintah paling sedikit harus memiliki kewenangan dan kemampuan menyelenggarakan fungsi-fungsi yang full spectrum sesuai kaidah-kaidah yang berlaku di dunia internasional, sebagai berikut : 1) Pengetahuan dan standardisasi Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan dan standardisasi,
pemerintah
sebagai
regulatory
authority
melakukan kerja sama dengan pakar-pakar terkait dari perguruan tinggi, pusat penelitian, instansi lintas sector dan pakar internasional. Proses penyusunan standar biasanya cukup panjang dan kompleks. Didahului dengan berbagai penelitianpenelitian, seminar dan rapat-rapat lintar sector. Selanjutnya rancangan standar/aturan tersebut terlebih dahulu di sounding
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
73
dan didiskusikan lebih intensif dengan stakeholder terkait. Di era perdagangan bebas dewasa ini, di mana tidak boleh ada lagi barrier
tariff
dan
diskriminasi,
maka
peraturan/standar
tersebut perlu juga dinotifikasikan ke secretariat WTO untuk ditanggapi.oleh otoritas dan pelaku usaha negara lain. Untuk mengurangi gap/perbedaan yang berlaku di berbagai negara maka di tiap region diadakan pertemuan dalam rangka hormunisasi standar teknis tiap jenis produk. 2) Lisensi dan sertifikasi sarana industri dan distribusi berdasarkan
cara-cara
pembuatan/distribusi
yang
baik. Khusus bagi industri farmasi termasuk bahan baku dan industri obat tradisional di mana tingkat risikonya tinggi bagi keselamatan masyarakat dan lingkup peredaran distribusinya sangat luas. Pemerintah mengeluarkan ijin industri dan distribusi dengan terlebih dahulu melaksanakan sertifikasi dengan melakukan audit cara produksi obat-obat tradisional yang baik (CPOB)/cara distribusi obat-obat tradisional yang baik. 3) Evaluasi mutu, keamanan, dan efektivitas/manfaat produk (pre-market evaluation) sebelum diijinkan beredar dalam rangka pendaftaran :
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
74
Terhadap setiap sediaan farmasi/obat, makanan dan perbekalan kesehatan rumah tangga sebelum diproduksi dan diijinkan untuk diedarkan di wilayah hukum Indonesia harus terlebih dahulu dilakukan evaluasi untuk menilai keamanan, mutu,
khasiat/kemanfaatan
serta
label/informasi
produk
tersebut. Hanya produk-produk yang memenuhi criteria keamanan, mutu dan khasiat/kemanfaatan yang dapat disetujui untuk diproduksi dan di pasarkan di Indonesia. 4)
Post marketing vigilance:
yakni kegiatan inspeksi
sarana produksi/distribusi, kegiatan sampling dan pengujian produk beredar, dan penyidikan serta tindakan penegakan hukum. Pemerintah melaksanakan kegiatan inspeksi terhadap sarana industri/produksi dan distirbusi sediaan farmasi dan makanan secara rutin, dengan tujuan melakukan pengawasan langsung (on the sport) atas kegiatan produksi dan distribusi dan untuk memastikan apakah pelaku usaha konsisten dalam menerapkan cara-cara produkis/distribusi yang baik penerapan cara-cara produksi/distribusi ini sangat penting sebagai internal control sistem yang menjamin mutu pada seluruh proses produksi dan distribusi yang dilakukan . Pelaksanaan sampling dan pengujian laboratorium terhadap produk yang beredar di masyarakat dilakukan untuk
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
75
mendeteksi mutu dan keamanannya, sebagai dasar untuk melakukan law enforcement sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat / konsumen. 5) Pre-review dan pasca audit iklan dan promosi produk Iklan dan promosi harus memperhatikan aspek informasi yang obyektif kepada konsumen dan memberikan edukasi kepada masyarakat. Iklan yang dilakukan secara berlebihan dan tidak obyektif akan berisiko bagi masyarakat karena mendorong penggunaan yang berlebihan dan irasional. Atas dasar itu maka terhadap iklan obat dan makanan harus dilakukan preview sebelum diperbolehkan untuk ditayangkan. 6) Komunikasi, informasi dan edukasi di bidang obat dan makanan. Kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat/konsumen mengenai produk obat dan makanan, agar memiliki tingkat kesadaran (awareness) mengenai hak dan tanggung jawabnya berkaitan dengan mutu dan keamanan produk. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) melalui KIE akan mengoptimalkan implementasi efektivitas sistem pengawasan obat dan makanan. 7) Peran Badan POM Sebagai Regulatory Authority Pengawasan Obat Dan Makanan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
76
Regulasi di bidang pengawasan obat dan makanan baik yang berbentuk undang-undang maupun ketentuan yang secara hierarkis berada di bawah nya untuk dapat efektif berlaku jelas membutuhkan
subyek
yang
menjalankan
perintah
dan
melaksanakan pengekan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Oleh
karena
itu
dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, di bentuk badan pengawasan obat dan makanan (badan POM) keberadaan badan Pom didasarkan pada keputusan presiden No. 103 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah non departement sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan peraturan presiden no 11 tahun 2005. Pasal 69 Keppres No. 103 tahun 2001 menyebutkan bahwa kewenangan badan POM meliputi : 1)
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
2)
Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro.
3)
Penetapan sistem informasi di bidangnya.
4)
Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan (zat aditif) dan penetapan pedoman pengawasan peredran obat dari makanan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
77
5)
Pemberian ijin dan pengawasan perederan obat serta pengawasan industri farmasi.
6)
Penetapan
pedoman
penggunaan
konservasi,
pengembangan dan pengawasan tanaman obat. Kewenangan badan POM sebagai Lembaga pemerintahan Non Departement (LPND) lebih dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dala keputusan presiden No. 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 lembaga pemerintahan non departement yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan peraturan presiden no 12 tahun 2005. pasal 44 Keppres No 110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari 3 (tiga) kedeputian yang membidangi : 1).
Pengawasan produk terapetik, narkotika , psikotropika dan zat adiktif.
2).
Pengawasan
obat
tradisional,
kosmetik
produk
komplemen/suplemen makanan serta 3)
Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Khusus yang berkaitan dengan pengawasan keamanan
pangan, tugas, fungsi dan kewenangan Badan POM lebih diperjelas dalam peraturan pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan sebagai pelaksana ketentuan undang-undang no 7 tahun 1996 tentang pangan.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
78
Sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, seluruh program dan kegiatan badan POM memiliki
tujuan
esensial
masyarakat/konsumen
atas
yaitu mutu,
untuk
melindungi
keamanan
dan
khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan yang beredar, secara lebih spesifik dalam rangka perlindungan konsumen maka program dan kegiatan Badan POM antara lain : 1) Meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya termasuk pemantapan deteksi diri dan kerjasama operasi dan investigasi dengan sektor terkait. 2) Meningkatkan pengamanan dan pengawasan makanan dan bahan tambahan pangan termasuk peningkatan survilan keamanan pangan nasional/kewaspadaan dini keamanan pangan, peningkatan sistem HACCP Hazard Analysis and Critical Control) pada industri pangan dan peningkatan kerja
sama
dengan
Pemda
Kabupaten/Kota
dalam
pemberdayaan industri pangan rumah tangga. 3) Meningkatkan pengawasan obat,obat tradisional, kosmetika dan perbekalan rumah tangga termasuk pengamanan produk
yang
tidak
memenuhi
syarat,
intensifikasi
pemberantasan produk palsu, produk illegal dan tidak
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
79
terdaftar, yang beredar melalui sampling dan pengujian laboratorium, penegakan
intensifikasi
hukum/law
pengawasan
enforcement
iklan
yang
serta
tansparan,
konsisten dan adil. 4) Meningkatkan keandalan laboratorium pengujian obat dan makanan sebagai bagian penting dari suatu jaringan nasional yang didukung oleh SDM yang professional dan peralatan yang modern. 5) Mengembangkan
standar
mutu
produk
termasuk
harmonisasi standar mutu produk regional ASEAN. 6) Mengembangkan sistem dan layanan informasi pengawasan obat dan makanan termasuk peningkatan efektivitas unit layanan pengaduan konsumen, penerapan sistem informasi manajemen
pengawasan
obat
dan
makanan
serta
pemberdayaan masyarakat. Sebagai lembaga pemerintah non departement yang memiliki tugas pokok, fungsi dan kewenangan di bidang pengawasan obat dan makanan yang memiliki lingkup luas dan kompleks serta menyetuh hajat hidup rakyat banyak, badan POM dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya tersebut menggalang kerjasama dan membangun networking denga lintas sektor terkait
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
80
E.
Peranan Lembaga Non Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Dalam proses Rancangan Undang-undang perlindungan konsumen di Dewan Perwakilan Rakyat, ketua Pansus menyatakan pelaksanaan perlindungan konsumen hendaknya dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, sehingga didalam Rancangan Undang-undang perlindungan konsumen yang sedang dibahas diusulkan
lembaga-lembaga
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen tersebut, seperti : Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Lembaga ini semula
bernama Badan Koordinasi
Perlindungan Konsumen Nasional yang akan mengkoordinasikan kegiatan perlindungan konsumen dengan lembaga-lembaga lain di bidang perlindungan konsumen, yaitu Konsumen
Swadaya
Masyarakat
Lembaga Perlindungan
(LPKSM),
dan
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. a. Organisasi BKPN BKPN dibentuk dan berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia, dan didalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini dibentuk berdasarkan amanat Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
81
tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Selanjutnya berdasarkan keputusan Presiden No. 150 Tahun 2004 tanggal 4 Oktober 2004 telah diangkat anggota BPKN sebanyak 17 (tujuh belas) orang yang terdiri dari unsur. (1)
Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang.
(2) Pelaku Usaha sebanyak 3 (tiga) orang. (3) Konsumen sebanyak 3 (tiga) orang. (4) Akademisi sebanyak 4 (empat) orang. (5) Tenaga ahli sebanyak 4 (empat) orang Anggota BPKN yang berjumlah 17 (tujuh belas) orang tersebut, kemudian dilantik oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada tanggal 29 Oktober, dengan masa jabatan selama 3 (tiga) tahun (2004-2007) dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas anggota BPKN, BPKN perlu dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh ketua BPKN. BPKN dipimpin oleh seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih oleh anggota, dan badan ini terdiri dari 3 (tiga) Komisi, yaitu : (1)
Komisi I (Penelitian dan Pengembangan).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
82
Komisi ini mempunyai tugas meneliti dan mengkaji peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen, melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang berkaitan dengan keselamatan konsumen, melakukan survei menyangkut kebutuhan konsumen akan barang
dan
atau
jasa;
memberikan
saran
dan
pertimbangan kebijakan kepada Pemerintah. (2) Komisi II (Informasi, Edukasi dan Pengaduan) Komisi ini mepunyai tugas menyebarluaskan informasi melalui
media
perlindungan
masa
maupun
konsumen,
elektronik,
mengenai
memasyarakatkan
sikap
keberpihakan kepada konsumen, melakukan pendidikan konsumen kepada masyarakat, LPKSM dan pelaku usaha dalam rangka memberikan saran dan pertimbangan kebijakan kepada Pemerintah. (3) Komisi III (Kerja Sama) Komisi ini mempunyai tugas menjalin kerja sama dengan lembaga konsumen nasional maupun internasional dan organisasi masyarakat sipil, melakukan kegiatan guna mendorong
berkembangnya
LPKSM
dalam
rangka
memberikan saran dan pertimbangan kebijakan kepada Pemerintah.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
83
2) Visi dan Program Kerja BPKN. Fungsi BPKN menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia”. Untuk menjalankan
fungsi
tersebut
BPKN
mempunyai
tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-undang No. 8 Tahun 1999. berdasarkan fungsi dan tugas tersebut, maka BPKN sebagai Badan pemberi nasehat (advisory body), mempunyai visi “Terwujudnya Perlindungan Konsumen Menuju Terciptanya Konsumen yang Bermartabat dan Pelaku Usaha yang Bertangung Jawab”. Untuk mencapai visi tersebut maka misi BPKN adalah : (1)
Mengkaji berbagai kebijakan perlindungan konsumen.
(2)
Menyusun
dan
memberikan
rekomendasi
kebijakan
perlindungan konsumen kepada Pemerintah. (3)
Memperkuat
posisi
kelembagaan
dan
mengembangkan
organisasi-organisasi
kapasitas
perlindungan
konsumen. (4)
Mensosialisasikan
kebijakan
perlindungan
konsumen
dikalangan pemangku kepentingan (stake holders).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
84
Strategi yang akan digunakan BPKN dalam mewujudkan misi yang telah ditetapkan, yaitu : (1)
Melakukan kerja sama dengan media masa, pelaku usaha dan organisasi masyarakat sipil, serta lembaga konsumen internasional.
(2)
Memperbanyak pengetahuan dan kesadaran tentang hakhak konsumen.
(3)
Meningkatkan kerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(4)
Menyempurkan undang-undang perlindungan konsumen dan berbagai kebijakan Pemerintah dibidang perlindungan konsumen.
Pada saat ini BPKN telah menyusun program kerja tahun 20042007 yang terdiri dari 7 (tujuh) butir, yaitu : (1)
Penyusunan konsep kebijakan nasional perlindungan konsumen untuk disampaikan kepada pemerintah.
(2)
Evaluasi,
reorientasi,
dan
restrukturisasi
peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. (3)
Penyusunan
konsep
kriteria/parameter
tentang
keselamtan konsumen.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
85
(4)
Penyusunan konsep persidangan, kelembagaan dan posisi LPKSM dalam rangka kebijakan nasional perlindungan konsumen.
(5)
Penyebarluasan informasi perlindungan konsumen dan sosialisasi sikap keberpihakan kepada konsumen.
(6)
Penyusunan konsep prosedur pengaduan dan penanganan keluhan tentang kebijakan perlindungan konsumen dari masyarakat, LPKSM dan pelaku usaha.
(7)
Penyelenggaraan survey tentang kebutuhan konsumen.
3) Implementasi Perlindungan Konsumen melalui BPKN. Mengingat umur BPKN masih relatif baru, sehingga penyelenggaraan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh badan ini masih terbatas. Kegiatan konkrit yang nyata telah dilakukan
bagi
konsumen
adalah
menerima
pengaduan
konsumen dibidang properti yaitu konsumen perumahan yang dirugikan oleh pengembang Bukit Sentul. Dalam kasus ini konsumen telah melunasi harga rumah, namun sampai 2 tahun rumah belum diserahkan oleh pengembang. Selain itu juga menerima
pengaduan
dari
konsumen
perbankan,
yaitu
konsumen dari Bank Global yang telah ditutup. Penyelesaian yang dilakukan oleh pihak BPKN yaitu dengan memanggil lembaga atau instansi terkait, selanjutnya kasus tersebut
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
86
dilimpahkan kepada lembaga atau instansi terkait yang berkompeten untuk menyelesaikannya. Selain itu BPKN telah melakukan sosialisasi perlindungan konsumen baik melalui Radio, Televisi, dan Seminar dan kunjungan kedaerah dan study banding ke luar negeri, dalam rangka
untuk
memperoleh
bahan
masukan
untuk
meningkatkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Pada saat ini Komisi I BPKN, sedang merancang untuk mengamandemen/ merevisi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam
rangka
memberikan
perlindungan
kepada
konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi aspek kesehatan, keamanan dan keselamatan konsumen, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1999
mengamanatkan
pembentukan
Badan
Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) pada setiap Pemerintah Kabupaten atau Kota di seluruh Indonesia. BPSK berfungsi untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar Pengadilan dan juga melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Pada awalnya, rancangan untuk membentuk BPSK bermula dari kenyataan bahwa sengketa konsumen yang diselesaikan melalui
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
87
Pradilan Umum membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya dan tenaga serta pikiran dan mekanisme panjang yang sangat rumit. Hal ini tentunya melelahkan bagi konsumen yang pada umumnya
tingkat
pengetahuan,
kemampuan
dan
pendidikannya masih rendah. Untuk membantu dan memberi perlindungan kepada konsumen, dalam hal dirugikan karena mengkonsumsi barang dan/ atau jasa, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan suatu lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar Badan Peradilan Umum, yaitu lembaga BPSK yang merupakan ujung tombak di lapangan yang akan memberi perlindungan kepada konsumen. 1. Pembentukan BPSK. BPSK merupakan lembaga independen, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, dan meskipun yang melahirkan lembaga ini adalah Departemen Perdagangan (Depdag) namun lembaga ini bukan merupakan organisasi struktural dari Depdag dan atau dibawah naungan Depdag. Namun untuk sementara waktu sambil menunggu punya kantor sendiri, BPSK masih menumpang di salah satu ruangan Kantor Dinas Perdagangan di daerah tingkat II,
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
88
kecuali BPSK Kota Bandung telah mempunyai kantor sendiri. Mengingat yang melahirkan BPSK adalah Depdag, maka Depdag mempunyai kewajiban untuk membuat peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999, sepanjang hal itu menyangkut BPSK. Selain
menyiapkan
kebutuhan
BPSK
dari
segi
peraturan dan pedoman operasional BPSK, Depdag cq Direktorat Perlindungan Konsumen juga berusaha untuk meningkatkan SDM anggota BPSK melalui pendidikan dan latihan serta pertemuan teknis yang diadakan setiap tahun secara bertahap dengan mengundang pembicara yang merupakan pakar dibidangnya. Hal ini dilakukan mengingat anggota BPSK berasal dari unsur yang berbeda-beda yaitu unsur konsumen, unsur pelaku usaha dan unsur pemerintah yang masing-masing unsur berjumlah minimal 3 (tiga) orang, maksimal 5 (lima) orang. Anggota BPSK yang berjumlah minimal 9 (sembilan) orang atau 15 (lima belas) orang, mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda
dilihat
dari
ilmu,
pendidikan,
pengetahuan dan atau pengalaman yang dimilikinya, sehingga tingkat pengetahuan atau pemahaman diantara
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
89
sesama
anggota
BPSK
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan konsumen, khususnya dalam menyelesaikan sengketa konsumen tidaklah sama, sehingga melalui Diklat dan Pertemuan Teknis diharapkan secara bertahap dapat memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan anggota BPSK, yang pada akhirnya tercapai persamaan pandangan
dan
tindakan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan konsumen pada umumnya, dan secara khusus dalam menyelesaikan sengketa konsumen di BPSK. 2. Tugas dan Wewenang BPSK Jika dilihat dari bunyi pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1999, maka tugas dan wewenang BPSK, adlah sebagai berikut : (1)
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen
dengan
cara
melalui
Mediasi,
atau
Konsiliasi; (2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; (3) Melakukan
pengawasan
terhadap
pencantuman
klausula baku; (4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
90
(5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (6) Melakukan
penelitian
dan
pemeriksaan
sengketa
perlindungan konsumen; (7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; (8) Memanggil
dan
menghadirkan
saksi,
saksi
ahli
dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini. (9) Meminta
bantuan
penyidik
untuk
menghadirkan
pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huru h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK. (10) Mendapatkan, meneliti dan / atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan. (11) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen. (12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melanggar terhadap perlindungan konsumen; (13) Menjatuhkan sanksi Administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
91
Selanjutnya Tugas dan Wewenang BPSK tersebut diatas dijabarkan
kembali
dalam
keputusan
Menteri
No.
350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK yang juga mengatur tentang Hukum Acara untuk menyelesaikan sengketa konsumen di BPSK. Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka undang-undang No. 8 Tahun 1999, telah memberikan kewenangan yudikatif kepada BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen, dan juga kewenangan eksekutif untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku dan kewenangan melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undangundang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. 3. Penyelesaian Sengketa. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari pihak yang bersengketa, khususnya bagi anggota BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu : (1)
Sebaiknya konsumen terlebih dahulu mendatangi pelaku usaha secara langsung, tanpa bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahannya secara damai.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
92
(2) Bilamana tidak tercapai perdamaian, maka konsumen boleh memilih BPSK atau Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan sengketanya. (3) Jika konsumen telah memilih BPSK, maka perlu pihak yang bersengketa sepakat untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen, yaitu : cara konsiliasi, atau mediasi atau arbitrase. Salah
satu
bentuk
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen, adalah dalam bentuk penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK, dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase, dengan prinsip penyelesaian sengketa secara cepat, murah dan sederhana. Setiap penyelesaian sengketa dilakukan oleh Majlis BPSK, yang terdiri dari Ketua Majlis dari unsur Pemerintah anggota Majlis dari unsur konsumen dan pelaku usaha. a. Permohonan Penyelesaian Sengketa Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK. Permohonan penyelesaian sengketa harus memuat secara benar dan lengkap mengenai :
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
93
(1)
Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri.
(2) Nama dan alamat lengkap pelaku usaha. (3) Barang atau jasa yang diadukan. (4) Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen bukti lain). (5) Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut. (6) Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh. (7) Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada. (8) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. (9) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan. (10) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. (11) Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. b.
Tata
Cara
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
dengan cara Konsiliasi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
94
(1)
Majelis
menyerahkan
penyelesaian
sengketa
sepenuhnya kepada
proses
konsumen
dan
pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi. (2)
Majelis bertindak pasif sebagai konsiliator.
(3)
Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan untuk memperkuat hasil musyarah tersebut.
(4)
Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perlindungan konsumen. c. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Mediasi. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa
konsumen
dan
pelaku
usaha
yang
bersangkutan, baik mengenai bentuk dan jumlah anti rugi. d. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Arbitrase Majelis BPSK dipilih atau ditentukan oleh para pihak yang bersengketa. Memilih arbitor dari anggota BPSK
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
95
yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis. Arbitor yang dipilih oleh para pihak, kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintah sebagai ketua Majelis. Pada hari persidangan I (Pertama) Ketua Majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha, maka Majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Tetapi, bilamana tidak tercapai perdamaian, maka Majelis BPSK memberi kesempatan kepada konsumen untuk membacakan gugatan, disertai alat bukti yang ada, selanjutnya kepada tergugat (pelaku usaha) untuk memberikan jawaban atau pembelaannya. 4. Implementasi Perlindungan Konsumen melalui BPSK Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 90 Tahun 2001, telah berdiri dan operasional 8 (delapan) BPSK terhitung sejak Oktober 2002 dan berdasarkan hasil evaluasi dan analisis kinerja BPSK yang dilakukan oleh pihak ke 3 (Perguruan Tinggi) terhadap 8 (delapan) BPSK yaitu BPSK
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
96
Kota Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Melang dan Makassar telah diperoleh hasil kinerjanya dari sejak pelantikan Oktober, Nopember dan Desember 2002, sebagai berikut : 5. Kasus 1)
Jumlah kasus yang diterima, berjumlah 400 kasus.
2)
Sebanyak 54 putusan dari jumlah kasus (100) yang telah diputus, telah menerima dan dilaksanakan para pihak.
3)
Sebanyak 17 putusan dari jumlah kasus (100) yang telah diputus para pihak tidak dapat menerima dan telah diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
4)
Sisanya
sebanyak
29,
putusan
ada
yang
telah
dilaksanakan oleh pelaku usaha dan ada juga pelaku usaha
atau
konsumen
yang
tidak
mengajukan
keberatan ke Pengadilan Negeri. Terhadap putusan yang demikian, menurut ketentuan yang berlaku, BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut kepada Penyidik. 6. Konsultasi
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
97
Jumlah konsultasi tentang perlindungan konsumen yang diterima oleh BPSK, baik dari konsumen maupun pelaku usaha berjumlah 358 buah. 7. Pengawasan Klausula Baku Jumlah pengawasan terhadap pencantuman klausula baku yang telah dilakukan oleh BPSK dengan mengirim Surat Tegoran kepada pelaku usaha berjumlah 300 buah Surat Tegoran. 3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non pemerintah (NGO) yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani penyelenggaraan perlindungan konsumen. Jumlah LKPSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen sampai saat ini lebih kurang 130 dan dari jumlah tersebut yang telah memiliki tanda daftar LPKSM ada 75. Diantara sejumlah
LPKSM
tersebut
sudah
ada
yang
menangani
perlindungan konsumen secara spesifik atau khusus kegiatan perlindungan konsumen, misalnya : LPKSM yang bergerak dibidang listrik, air minum, kesehatan, asuransi, barang elektronik dan lain-lain.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
98
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kita sudah mengenal berbagai organisasi
kemasyarakatan
yang
bergerak
dibidang
sosial,
keagamaan, pendidikan dan lain-lain. Salah satu dari organisasi kemasyarakatan tersebut adalah lembaga non pemerintah (NGO) yang kita kenal dengan nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, dibidang lingkungan hidup, dibidang Hak Azasi Manusia termasuk Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM)
harus
terdaftar
di
Departemen Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Khusus
terhadap
LSM
yang
bergerak
dibidang
perlindungan konsumen, jauh sebelum lahirnya Undang-undang No. 8 tahun 1999 (UUPK), telah menyelenggarakan perlindungan konsumen. Hal ini telah dilakukan oleh LSM yang namanya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang berdiri sejak tahun 1973. setelah berlakunya UUPK tersebut, maka LSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen mendapat tempat dan mendapat pengakuan secara yuridis formil sebagai suatu lembaga untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen, sebagaimana
disebutkan
dalam
undang-undang
maupun
pelaksanaannya.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
99
Dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 301 Tahun 2001, setiap LSM yang memenuhi syarat menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 yaitu terdaftar dengan memiliki Tanda Daftar yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, maka LSM yang bersangkutan menurut undang-undang tersebut diberi nama Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Setiap
LSM
yang
ingin
menjadi
anggota
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang berkedudukan di Pusat (Jakarta) maupun untuk menjadi anggota BPSK yang berada disetiap Daerah Tingkat II diseluruh Indonesia harus memiliki Tanda Daftar LPKSM sebagai bukti bahwa LPKSM bersangkutan
diakui
dan
bergerak
dibidang
yang
perlindungan
konsumen. Tugas yang diberikan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 kepada LPKSM untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen meliputi kegiatan : 1)
Menyebarluaskan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
100
2)
Memberikan
nasihat
kepada
konsumen
yang
memerlukannya. 3)
Bekerjasama
dengan
instansi
terkait
dalam
upaya
mewujudkan perlindungan konsumen. 4)
Membantu
konsumen
dalam
memperjuangkan
haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. 5)
Melakukan pengawasan bersama Pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
a. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dan Hak Mewakili Kepentingan Konsumen. Semula
legitimasi
organisasi
seperti
YLKI
hanya
didasarkan pada konstitusi negara dan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Akta Pendirian Yayasan). Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
telah
memberikan legitimasi organisasi seperti ini (Pasal 44 Bab IX Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat).
Selengkapnya ketentuan UUPK itu berbunyi sebagai berikut: (1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. (2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki
kesempatan
untuk
berperan
aktif
dalam
mewujudkan perlindungan konsumen.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
101
(3) Tugas
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat meliputi kegiatan: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan
nasihat
kepada
konsumen
yang
memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan masyarakat
pengawasan terhadap
bersama
pemerintah
pelaksanaan
dan
perlindungan
konsumen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di Indonesia peran sebagaimana dimaksud UUPK tersebut, Konsumen
antara
lain
Indonesia
telah
dilakukan
(YLKI),
sebuah
Yayasan
Lembaga
lembaga
swadaya
masyarakat (LSM) atau organisasi perlindungan konsumen yang sudah mengalami pasang-surutnya perlindungan konsumen di Indonesia.
LSM ini sudah terbiasa melakukan tugas-tugas
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
102
pelayanan dan pendampingan para korban, meskipun masih dirasakan
sangat
terbatas
serta
melakukan
pemantauan
(monitoring) isu-isu konsumerisme1. Di bidang perlindungan konsumen (the field of consumer protection), peran yang serupa sudah sangat lama dilakukan National Association of Victim Support Schemes (NAVSS), juga dilakukan oleh badan-badan suka rela (voluntary bodies), seperti:
The
Citizens’
Consumers’Association3,
Advice dan
The
Bureaux
(CABx)2,
National
Federation
The of
Consumer Groups (NFCG)4, dan The British Standard Institution (BSI)5, yang memberikan advis, informasi atau dengan berbagai cara pemberian pelayanan bantuan kepada konsumen (provide services of assistance to consumers). NAVSS yang menerima dukungan finansial dari pemerintah, sampai tahun 1991 dengan Konsumerisme, yaitu: gerakan masyarakat konsumen di dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Konsumtif bermakna negatif, yaitu: mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan berdasarkan desakan psikologis semata (status sosial, iklan, dan lain-lain), dan tidak rasional. Lihat: Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet.ke-1, 2000), hal.244. 2 Pada tingkat pusat, pekerjaan/kegiatan CABx dibiayai pemerintah pusat, sedangkan pada tingkat lokal dibiayai pemerintah lokal. Lihat: David Oughton dan John Lowry, Textbook on Consumer Law. London: Blackstone Press Ltd, 1997., hal.42-43. 3 The Consumers’ Asociation menerbitkan majalah Which? yang dipublikasikan secara luas. Majalah ini memberikan informasi tentang persaingan produk dan jasa yang diperlukan berbagai segmen masyarakat konsumen. Sampel-sampel produk dan jasa yang dipublikasikan itu, sering diprotes para pelaku usaha dengan alasan terlampau kecil dan tidak representatif. Lihat: Ibid. Pengalaman Which? juga dialami majalah bulanan Warta Konsumen yang diterbitkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak awal pendiriannya sampai saat ini. 4 NFCG melakukan koordinasi berbagai aktivitas yang mendorong dipenuhinya kepentingan-kepentingan lokal konsumen setempat. Kegiatan lembaga ini didanai The Consumers’ Association. Lihat: Ibid. 5 Sejak tahun 1929, BSI telah melakukan tugasnya dalam penetapan standard, dimensi dan spesifikasi barang-barang yang diproduksi. Lihat: Ibid. 1
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
103
370 skim/pola/rencana yang tergabung, dimana 7.000 volunter lembaga ini, telah menghubungi 600.000 ribu korban tindak pidana. Dukungan yang diberikan Victim Support 6 kepada para korban semula merupakan suatu kedermawanan (charity) yang diwujudkan dalam bentuk pemberian dukungan individual kepada para korban dengan tujuan perbaikan ketentuanketentuan pelayanan bagi korban dan melakukan kampanye tentang hal-hal yang berkaitan korban, seperti: pemberian kompensasi dan ketentuan-ketentuan bagi korban di pengadilan.7 b. Perwakilan Konsumen (Consumers Representative) dan Resistensinya UUPK merupakan salah satu kemajuan yang diperoleh melalui advokasi-advokasi
8
seperti itu selama lebih dari 25
tahun. Advokasi-advokasi yang telah dilakukan itu dapat disebut
6 Victim Support, yaitu: organisasi suka rela (voluntary organization) yang memberikan perhatian pada pemberian advis dan dukungan kepada para korban kejahatan. Lihat: Ibid., hal. 414. 7 Ibid., hal.376. 8 Menurut Mansour Fakih, advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Semula di masa Orde Baru, advokasi selalu diberi makna sebagai usaha-usaha makar kalangan anti kemapanan untuk merongrong pemerintah yang sah, padahal makna sebenarnya tak seperti itu. Advokasi bukan suatu revolusi, tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Pengertian advokasi di sini tidaklah sekedar kegiatan beracara di peradilan (litigasi) yang dilakukan para advokat/pengacara, melainkan sangat luas, dalam hal ini advokasi untuk keadilan sosial(social justice), yaitu advokasi yang justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama. Kepentingan para korban menjadi agenda pokok dan penentu arah advokasi. Lihat: Mansour Fakih, “Memahami Makna Advokasi”, dalam Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo (ed), Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi untuk Organisasi Non Pemerintah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, REaD, dan INSIST, 2000), hal.iii-vi.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
104
sebagai “filantropi” (philanthropy), yang oleh Erna Witoelar diartikan sebagai keikhlasan untuk menolong dan memberi sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara suka rela untuk kepentingan orang lain. Pada pelaksanaannya, filantropi tidaklah sekedar memuaskan keinginan untuk memberi, melainkan juga ada suatu keperdulian kepada siapa, untuk apa, dan dampak apa dari pemberian
tersebut benar-benar membawa manfaat
bagi yang menerima.9 Menurut
Witoelar,
pengaturan
kegiatan-kegiatan
filantropi sudah diatur dengan undang-undang di banyak negara. Pengaturan dilakukan guna mempermudah, mendorong, serta memberi
insentif
bagi
upaya
filantropi,
serta
mencegah
penyalahgunaan filantropi untuk kepentingan pribadi, politik, komersial, dan sebagainya.10 Keinginan mengatur Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)11 sebutan UUPK terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam UUPK mengingatkan kita pada keinginan Pemerintah Orde Baru untuk mengatur LSM dengan sebuah Keputusan Presiden 9 Kata Pengantar Erna Witoelar, mantan Presiden Consumers International (CI), dalam kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Asia Pasific Philantrophy Consortium (APPC), dalam Thomas Silk (ed.), Filantropi dan Hukum di Asia: Tantangan untuk Indonesia (Jakarta: Asia Pasific Philantrophy Consortium, 1999), hal.5-6. Edisi bahasa Inggris buku ini diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Philantrophy Law in Asia. Lihat: Thomas Silk (et.al), Philantrophy and Law in Asia (San Fransisco: Jossey-Bass Inc, 1999). 10 Ibid. 11 Menurut Pasal 1 butir 9 UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
105
(Keppres) yang mengacu pada sejumlah peraturan perundangundangan terkait,12 yang pokok-pokok persoalannya telah disosialisasikan dalam Forum Komunikasi antara Pemerintah dan LSM pada awal Februari 1994.13 Dalam
perkembangannya
lebih
lanjut,
resistensi
terhadap kegiatan-kegiatan filantropi yang dilindungi UUPK ini semakin mengemuka setelah berlakunya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No.49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4282). Terutama Pasal 31 UU Advokat berikut ini: “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.” Dalam salah satu publikasi di media massa dikemukakan: “Apakah Pengurus LSM masih dapat melakukan tindakan
12 Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993 (GBHN 1993), Undang-undang No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No.8 tahun 1985, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1990 tentang Pembinaan LSM, dan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sosial No. 78 tahun 1993 tentang Pembinaan Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketentuan-ketentuan terkait itu dirujuk dalam Konsep Bahasan Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Kemasyarakatan tanggal 10 Februari 1994, yang disusun dan dipersiapkan oleh Direktorat Pembinaan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri. 13 Zaim Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1995), hal. 134-137.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
106
hukum mewakili kepentingan masyarakat?”.14
Resistensi
tersebut tampil ke permukaan sebagai akibat pemahaman Undang-Undang (UU) tidak dalam kerangka sistem hukum di Indonesia.
Padahal berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UUPK,
Pengurus LPKSM memiliki tugas kemasyarakatan di bidang perlindungan konsumen.
Menyangkut pemahaman tersebut,
dalam amar Putusan Perkara No.006/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004
(dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia No. 103 Tahun 2004, terbit Selasa, 24 Desember 2004), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 31 Undang-Undang
No.18
Tahun
2003
tentang
Advokat
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Indonesia serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. c. Legal Standing (Hak Gugat Organisasi Non Pemerintah) Sebagai Bagian Dari Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Headline publikasi tersebut berbunyi: “Penjara 5 Tahun bagi Pemberi Jasa Hukum”. Sejumlah issue dipertanyakan, yaitu: “Apakah personil biro hukum yang bukan/belum menjadi Advokat pada instansi pemerintah atau swast, dapat mewakili instansinya baik di dalam maupun di luar pengadilan?; Apakah Konsultan Hukum yang selama ini ada tapi bukan Advokat masih dapat memberikan Jasa Konsultasi Hukum pada kliennya?; Apakah semua tindakan mewakili yang menggunakan Surat Kuasa harus dilakukan oleh Advokat?; Apakah anggota TNI dan POLRI masih dapat mendampingi anggotanya di pengadilan?; Apakah debt collector dari Bank dan Perusahaan Leasing masih dapat melakukan penagihan pada Kredit Macet?; Apakah Pengurus LSM masih dapat melakukan tindakan hukum mewakili kepentingan masyarakat?” (Kursif oleh penulis/peneliti). Publikasi tersebut diumumkan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dalam penyelenggaran Seminar yang direncanakan Kamis, 29 Januari 2004, Pukul 09.00-17.00 di Kirana Ball Room, Hotel Kartika Chandra, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Lihat: Kompas, Selasa, 20 Januari 2004, hal.18. 14
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
107
Istilah “legal standing” terkait dengan konsep locus standi/prinsip persona standi in judicio (the concept of locus standi), yaitu: seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat. Kata seseorang di
sini
diperluas
pada
badan
hukum.
Badan
hukum
(rechtpersoon; legal entities; corporation) sebagai subjek penggugat ataupun tergugat bukanlah hal yang sama sekali baru. Seseorang dianggap mempunyai kepentingan yang memadai (sufficient interest) atau locus standi berkaitan dengan suatu pokok masalah/perkara (subject matter), jika hak-hak perseorangannya (personal rights) dilanggar. Konsep tersebut telah diperluas untuk kebutuhan penegakan hukum. Pengadilan telah menunjukkan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar terhadap konsep tersebut.15
Hal baru yang sebenarnya
menyangkut penegakan hukum, yaitu: ada tidaknya kepentingan langsung penggugat dengan objek sengketa.
Dalam doktrin
hukum perdata sudah lazim dikenal asas tiada gugatan tanpa kepentingan (point d’interet, point d’action). Doktrin ini sudah sering dan dirujuk dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Tak berlebihan bila dikatakan doktrin
15 “…he has sufficient interest or locus standi (right to interfere) in respect to the subject matter, that is, when his personal right has somehow been infringed. However, the concept of having a legal standing has been liberalized and the courts have shown a great deal of flexibility.” Lihat: Reaching Justice (Consumer Law for Activists) (Calcutta, India: Consumer Unity & Trust Society/CUTS, 1997), hal.69.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
108
ini
sudah
menjadi
yurisprudensi
tetap.
Namun
tanpa
kepentingan (langsung) pada objek gugatan, badan hukum (seperti: Yayasan) diperkenankan bertindak sebagai penggugat jika telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Menurut Pasal 46 ayat (1) butir c dan ayat (2) UUPK, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat diajukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di peradilan umum.
LPKSM itu harus memenuhi persyaratan,
yaitu: (1)
berbentuk badan hukum atau yayasan;
(2) di dalam Anggaran Dasarnya disebutkan secara tegas tujuan didirikannya
organisasi
tersebut
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen; (3) telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar. Subjek penggugat, yaitu: Organisasi non Pemerintah (Ornop) (non gonvernmental organizations, disingkat NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Konsumen bukanlah subjek penggugat dalam prosedur gugatan legal standing ini.
Sedangkan Subjek
tergugat, yaitu: Pelaku Usaha. Istilah
“Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM)”
diusulkan oleh Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan Ornop yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan di
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
109
Ungaran pada tahun 1978.
Pada awalnya diusulkannya nama
Lembaga Pembinaan Swadaya Masyarakat, namun kemudian diubah menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat, dan akhirnya
diubah
menjadi
Lembaga
Swadaya
Masyarakat.
Akhirnya disepakati untuk mengganti sebutan Ornop (NGO) dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), meskipun di lingkungan pergaulan internasional sebutan Ornop (NGO) masih dipakai dan lebih dipahami.16 Ornop dapat berbadan hukum berbentuk yayasan17 sebagaimana dimaksud Undang-undang No.16 tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.16 Tahun 2001 selanjutnya disebut Undangundang Yayasan. Sejumlah Ornop dengan bentuk “yayasan” sudah lama menjalankan aktivitasnya jauh sebelum Undang-
Sebastian Saragih dalam Susanto Agus dan Sumantri Bambang Sigap. Lihat: Sebastian Saragih, Membedah Perut LSM (Jakarta: Puspa Swara, 1995), hal.7-8. Mansour Fakih secara konsisten sampai saat ini tetap menggunakan sebutan Ornop (NGO) untuk LSM. Lihat: Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo (ed), Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi untuk Organisasi Non Pemerintah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ReaD dan INSIST, 2000). Dalam bukunya yang lain, Fakih mengemukakan bahwa istilah NGOs (baca: NGO) dan LSM merupakan konsep dan memiliki akar sejarah yang berbeda. Dengan merujuk pada George Junus Aditjondro ia mengemukakan bahwa istilah LSM mengandung masalah di dalamnya. Lihat: Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Pergolakan Ideologi LSM Indonesia) (Cet.Kesatu) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.3 dan 34. 17 Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.16 Tahun 2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Yayasan (LNRI Tahun 2001 Nomor 112, TLNRI No.4132) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.16 Tahun 2001 (LNRI Tahun 2004 No.115, TLNRI No.4430), Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 16
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
110
undang Yayasan diundangkan. Lembaga Konsumen
Diantaranya, yaitu:Yayasan
Indonesia (YLKI),
Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Menanggulangi Masalah Merokok, dan Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau.
Ada pula
Ornop yang tidak berbadan hukum, misalnya: kelompokkelompok pencinta alam atau kelompok-kelompok konsumen. Undang-undang
No.8
tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen, disingkat UUPK, tidak menggunakan istilah Ornop, melainkan
menggunakan
istilah
“Lembaga
Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat” (LPKSM). Dalam Pasal 1 butir 10 UUPK ditentukan bahwa Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
(LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Istilah yang digunakan UUPK tersebut analog
dengan istilah LSM; tinggal menambahkan “PK”
(Perlindungan Konsumen) antara huruf “L” (Lembaga) dan “SM” (Swadaya Masyarakat).
Yang menarik pada batasan LPKSM
tersebut, Pembentuk Undang-undang mengintroduksi “lembaga non-pemerintah” dalam batasan LPKSM. Jadi, semestinya tak akan ada lagi perdebatan yuridis formal tentang pengggunaan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
111
sebutan Ornop dengan LSM. Bila semula ada pemahaman bahwa istilah/sebutan Ornop selalu diasosiasikan anti pemerintah, sedangkan LSM dipahami sebagai istilah/sebutan yang netral, kini kedua istilah/sebutan melebur jadi satu khusus untuk perlindungan konsumen. Diperkirakan perdebatan akan beralih pada istilah “terdaftar” dan “diakui”.18 Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, di bidang perlindungan konsumen, secara legalistik formal menurut UUPK Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat (Pasal 44 ayat (1) UUPK). Yang dimaksudkan “memenuhi syarat”, yaitu: antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan
18 Yusuf Shofie, “Menyoal Status Lembaga Perlindungan Konsumen”, artikel Koran Tempo, 11 Februari 2002. Dalam perkara gugatan legal standing perbuatan melawan yang melibatkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) (Penggugat I), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3) (Penggugat II), Yayasan Jantung Indonesia (YJI) (Penggugat III), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT) (Penggugat IV), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) (Penggugat V) melawan (PT Djarum Kudus Tbk (Tergugat I), PT HM Sampurna Tbk (Tergugat II), PT Prada Suara Production (Tergugat III), PT Citra Lintas Indonesia (Tergugat IV), PT Metro Perdana Indonesia Advertising (Tergugat V), PT Radjawali Citra Indonesia (RCTI) (Tergugat VI), PT Surya Citra Televsisi (Tergugat VII), PT Jurnalindo Aksara Grafika (Tergugat VIII) dan PT Era Media Informasi (Tergugat IX), dengan register No. 278/Pdt.G/2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Materi gugatan menyangkut, yaitu: gugatan legal standing pelanggaran jam tayang dan isi iklan rokok berdasarkan Undang-undang Kesehatan (UUK) dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, dalam hal ini melindungi hak konsumen atas keamanan dan keselamatan yang dijamin Pasal 4 butir a UUPK. Dalam perkara ini, para tergugat mempersoalkan eksistensi para penggugat sebagai LPKSM. Sementara proses peradilan berjalan, gugatan kelima Onrop/NGO tersebut didesak untuk dicabut oleh Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) di Jember pada tanggal 7 September 2002. Gugatan itu dinilai untuk kepentingan sepihak, tanpa memikirkan nasib petani. Menurut Abdus Setiawan, Sekretaris Jenderal APTI, dampak gugatan itu akan menimpa 6 juta orang yang menggantungkan nasib di agrobisnis tembakau dan cengkih, padahal industri rokok mempunyai kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja. Lihat: “Petani Desak LSM Cabut Gugatan Iklan Rokok”, Koran Tempo, 10 September 2002.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
112
konsumen.19 Kata “antara lain” di situ berarti masih diperlukan persyaratan-persyaratan lain bagi Ornop yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Ada tidaknya pengakuan Pemerintah terhadap Ornop perlindungan konsumen didasarkan pada kriteria dipenuhi tidaknya syarat-syarat yang ditentukan. Pasal 44 UUPK tidak mengatur syarat-syarat tersebut; pada ayat (4) nya ditegaskan tugas LPKSM akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Menurut Pasal 2 ayat (1) PP No. 59 tahun 2001 tanggal 21 Juli 1999 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (disingkat PP LPKSM), terdapat dua syarat untuk diakui sebagai LPKSM, yaitu: (1) terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; (2) bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM. Maksud pendaftaran, yaitu: sebagai pencatatan dan bukan perizinan (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) PP LPKSM). LPKSM yang sudah terdaftar itu diperkenankan membuka kantor perwakilan atau cabang di daerah lain dan tidak perlu lagi melakukan pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten/ Kota dimana kantor perwakilan atau cabang berada, melainkan melaporkan keberadaan kantor perwakilan atau cabang LPKSM
19
Periksa Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UUPK.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
113
itu.20 LPKSM
Bila kedua persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka tersebut
dapat
melakukan
kegiatan
konsumen di seluruh wilayah Indonesia.
perlindungan
Adapun tata cara
pendaftaran LPKSM (Pasal 2 ayat 3 PP LPKSM) pembatalan pendaftaran LPKSM (Pasal 10 ayat (2) PP LPKSM) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Keputusan Menteri
dimaksud yang telah diterbitkan ternyata direvisi kembali dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 480/MPP/Kep/6/2002 tanggal 30 Juni 2002 tentang Perubahan atas Keputusan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Penggunaan kata “anggaran dasar” pada Pasal 2 ayat (1) butir b PP LPKSM ini mengingatkan penulis pada kata “anggaran dasar yayasan” sebagaimana dimaksud Pasal 14 Undang-undang Yayasan (UUY).
Melalui ketentuan Pasal 14
UUY ini, anggaran dasar LPKSM harus sesuai dengan UUY. Menurut Pasal 14 ayat (2) UUY, anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat: (1) nama dan tempat kedudukan; (2) maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; (3) jangka waktu pendirian; (4) jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri 20
Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (1) PP LPKSM.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
114
dalam bentuk uang atau benda; (5) cara memperoleh dan penggunaan
kekayaan;
(6)
tata
cara
pengangkatan,
pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; (7) hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas; (8) tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; (9) ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; (10)
penggabungan
dan
pembubaran
yayasan;
dan
(11)
penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. Menurut Pasal 10 ayat (1) PP LPKSM, Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM, jika LPKSM tersebut: (1) tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau; (2) terbukti melakukan kegiatan pelanggaran ketentuan UUPK dan peraturan pelaksanaan UUPK. Alasan pembatalan butir (2) itu terlalu berlebihan, karena subjek norma-norma UUPK bukanlah LPKSM, melainkan pelaku usaha. Ada tiga hal penting yang ingin dicapai melalui gugatan legal standing.
21
Pertama, kredibilitas dan konsistensi
kegiatan-kegiatan/upaya-upaya Ornop/NGO diuji secara hukum, meskipun tanpa lewat gugatan legal standing bisa jadi kredibilitas dan konsistensinya mendapatkan apresiasi yang luar
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK): Teori dan Praktek Penegakan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, Cet.ke-1), hal.98-101. 21
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
115
biasa di mata publik.
Oleh karena itu, saya menyebut gugatan
legal standing sebagai Forum hukum Ornop/NGO.
Pada
kenyataannya, tidak jarang keterlibatan/keaktifan Ornop/NGO dengan bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah menunjukkan secara faktual kredibilitas Ornop/NGO di mata Pemerintah dan publik (masyarakat luas). Tidak berlebihan bila keterlibatan/keaktifan tersebut sebagai pengakuan Pemerintah terhadap Ornop/NGO tersebut. Kedua, perbaikan kebijakan yang ditempuh pelaku usaha di dalam berbagai kegiatannya di bidang ekonomi, seperti: kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa; kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa; kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa; serta kegiatan pasca transaksi penjualan barang dan/atau jasa. Kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan di bidang ekonomi merupakan kriteria untuk menilai ada tidaknya perbaikan dan/atau peningkatan kebijakan yang ditempuh pelaku usaha menyangkut kegiatan-kegiatannya tersebut, baik pada saat pra transaksi, transaksi dan pasca transasksi barang dan/atau jasa. Dalam hubungan ini, menarik untuk dikemukakan di sini pendapat Mas Achmad Santosa, seorang ahli hukum terkemuka di Indonesia, ketika mengkritisi perkara gugatan legal standing
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
116
(hak gugat organisasi) di bidang lingkungan dalam perkara antara Yayasan WALHI vs PT Inti Indorayon Utama (PT IIU).
Ia
sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut bahwa gugatan legal standing tersebut merupakan upaya penegakan peraturan perundang-undangan (baca: lingkungan hidup) agar Tergugat menghormati hak-hak subjektif pihak lainnya.22
Di bidang perlindungan konsumen,
ada tidaknya sikap pro aktif pemerintah terhadap pelanggaranpelanggaran norma-norma periklanan dalam UUPK, gugatan legal
standing23
dapat
ditempuh
Ornop/NGO
di
bidang
perlindungan konsumen. Gugatan legal standing memberikan status hukum yang sah bagi Ornop/NGO mewakili kepentingan konsumen melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran satu atau lebih norma UUPK. Pelanggaran dapat saja terjadi, diketahui dan/atau dirasakan
22 Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing) (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law/ICEL, 1997), hal. hal.28-29. 23 Bandingkan dengan pendapat Pandjaitan yang mengatakan: “… Pasal 17 ayat (1) huruf f UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan jalan tol yang luar biasa bagi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat untuk melakukan gugatan bagi semua pelaku usaha periklanan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Dengan ketentuan yang demikian, maka semua iklan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU No.23 tahun 1992 jis PP No.81 tahun 1999 dan PP No.38 tahun 2000, UU No.24 tahun 1997, UU No.40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No.8 tahun 1999 sendiri dapat dituntut oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat melalui mekanisme gugatan legal standing. Lihat: Hinca Pandjaitan, “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah: Suatu Catatan Kritis Legalistik”, makalah pada Diskusi Panel dengan tema “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah”, di Jakarta, 22 Februari 2001, diselenggarakan Lembaga Pengkajian ESCOM dan R & R Strategic Communications, hal.16.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
117
akibat-akibatnya pada tahap pra transaksi, tahap transaksi dan/atau pasca transaksi. Ketiga,
dalam
doktrin
legal
standing
yang
diketengahkan Mas Achmad Santosa, tuntutan ganti kerugian moneter tidak diperkenankan diajukan dalam gugatan legal standing, kecuali ganti kerugian sepanjang atau terbatas pada kerugian atau ongkos-ongkos yang diderita atau dikeluarkan oleh
Para
Penggugat,
bukan
ganti
kerugian
yang
mengatasnamakan orang banyak.24 Saya sependapat dengan pandangan ini bahwa kalaupun tuntutan ganti kerugian moneter diajukan, maka tuntutan tersebut bukan untuk Ornop/NGO an sich. Meskipun doktrin legal standing tidak sama sekali baru bagi kalangan akademisi dan Ornop/NGO, pendirian hakim di Indonesia belumlah konstan mengenai pengecualian pengajuan petitum ganti kerugian dalam gugatan legal standing. Hingga kini sebagai praktisi hukum, saya masih melihat hampir semua perkara yang diajukan dalam proses perkara perdata dikenakan biaya perkara, tanpa pandang bulu.
Hampir tak ada
akuntabilitas terhadap publik, diperuntukkan untuk apa saja biaya perkara. d. Praktek Gugatan Legal Standing.
24
Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, op.cit., hal.23.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
118
Terhadap pelaksanaan Acara Promosi “Pall Mall Top 40 the Party” dengan tajuk “Cruissing the Night Shaking Party”, termasuk juga acara “Dress You Up”25, untuk Konsumen Anak, disebut
Yayasan Kepedulian
Yayasan KAKAK/ Penggugat
menggugat PT British American Tobacco (BAT) Indonesia Tbk/ Tergugat I, PT Ardan Komunika/ Tergugat II, Herman Ardianto, Direktur Biz Plus Syndicate/ Tergugat III, PT Graha Mulya Wirastama, pengelola Quality Hotel/ Tergugat IV, dan Kepolisian RI cq Kepolisian Daerah Jawa Tengah cq Kepolisian Wilayah Surakarta cq Kepolisian Resort Kota Surakarta/ Tergugat V) . Dalam kasus seperti ini, tidak mudah mengidentifikasi korban, __terdapat suatu abstract victim __ sehingga peranan yang dilakukan Yayasan KAKAK untuk melindungi masyarakat luas perlu mendapatkan suatu apresiasi dari
komunitas hukum
sebagai bentuk kepedulian publik atas pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat konsumen.
Perusahaan rokok makin tak peduli rambu-rambu periklanan dan promosi. Unsur seks dan funky makin ditonjolkan agar kaum muda usia kian terangsang untuk jadi perokok. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Solo dan Yogyakarta mengajukan somasi kepada Pall Mall karena mengadakan “kontes nyaris telanjang”. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial mengecam keras produsen Pall Mall dan mendukung somasi tadi. Di setiap kota seperti: Bandung, Solo, Semarang dan Yogya, penonton disuguhi tarian sejumlah gadis muda berpakaian minim. Masih ada pula kontes adu berani tampil dengan pakaian minim dan goyang merangsang. Di Solo, acara yang terakhir ini dijuluki Dress You Up, namun yang terjadi malah sebaliknya, yaitu: siapa paling berani mencopot penutup tubuh dia yang menang. Pemenangnya diiming-imingi hadiah Rp 300.000. Lihat: “Acara Promosi Rokok Pall Mall Disomasi”, Kompas, 28 September 2000; “PT BAT Indonesia Bantah Promosi Pall Mall Langgar Norma”, Kompas, 4 Oktober 2000; “Dirjen POM Dukung Somasi terhadap Pall Mall”, Kompas, 2 Oktober 2000; dan “Copotlah Baju dan Isaplah Pall Mall”, Kompas, 3 Oktober 2000. 25
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
119
Atas gugatan Yayasan KAKAK tersebut, melalui putusan tanggal 12 Nopember 2001 No. 127/Pdt.G/2000/PN Ska Pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:26 Dalam Konpensi: A. Dalam Eksepsi -
Menyatakan menerima eksepsi Tergugat I butir ke1.4, butir ke-1.6, butir ke-1.10, butir ke-1.11.5 dan butir ke-1.12, eksepsi Tergugat II butir ke-2 dan butir ke-4, ekspsi Tergugat IV butir ke-1, dan eksepsi Tergugat V butir ke-1 dan butir ke-3;
B. Dalam Pokok Perkara -
Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
-
Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga putusan ini terhitung sebesar Rp 605.000 (enam ratus lima ribu rupiah);
Dalam Rekonpensi: A. Dalam Provisi -
Menolak
tuntutan
provisional
Penggugat
Rekonpensi 26 Dari rekan Emmy L. Smith, salah seorang Pengurus Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Yayasan KAKAK) diperoleh penjelasan Yayasan KAKAK telah mengajukan banding atas putusan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 127/Pdt.G/2000/PN Ska tanggal 12 Nopember 2001. Penulis menyampaikan terima kasih kepadanya atas diskusi singkat yang pernah dilakukan di Yogyakarta, meskipun dalam waktu yang sangat terbatas sekali.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
120
B. Dalam Eksepsi -
Menyatakan menerima eksepsi Tergugat Rekonpensi
C. Dalam Pokok Perkara -
Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima
-
Biaya perkara nihil Terdapat beberapa catatan hukum atas putusan
tersebut yang menarik untuk diulas di sini.27 Pertama, Yayasan KAKAK telah didirikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu: dengan suatu akta notaris dan kemudian telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan sebagaimana ditunjuk di dalam anggaran dasar yang merupakan bagian dari akta
pendirian
Yayasan
KAKAK,
sehingga
karenanya
keberadaannya sebagai yayasan adalah sah dan diakui sebagai badan hukum. Kedua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) wajib didaftarkan pada instansi yang berwenang untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaannya, namun perubahan peraturan atau lahirnya peraturan baru tidaklah menghapuskan pengakuan terhadap suatu LSM yang sebelumnya telah ada, dalam hal ini Yayasan 27
KAKAK
telah
terdaftar
sebagai
organisasi
Yusuf Shofie, op.cit., hal. 104-106.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
121
kemasyarakatan
pada
Kantor
Sosial
Politik
Kabupaten
Karanganyar; artinya yayasan tsb dapat melakukan kegiatannya seluruh wilayah RI. Oleh karenanya Yayasan KAKAK memiliki legitima persona standi in judicio untuk melakukan gugatan melalui legal standing. Ketiga, untuk bertindak di muka Pengadilan, suatu yayasan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri harus diwakili oleh pengurusnya sesuai Anggaran Dasar, dalam hal ini Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK. Ketiadaan alat bukti, baik Berita Acara Rapat Dewan Pendiri atau Surat Keputusan Dewan Pendiri tentang Pengangkatan Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK, mengakibatkan kuasa untuk mengajukan gugatan yang diberikan ketiga orang Dewan Pelaksana Yayasan KAKAK menjadi cacad hukum dan karenanya tidak sah. Keempat, prinsip hukum gugatan legal standing, yaitu: pihak penggugat adalah suatu organisasi yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan pokok perkara dan karenanya bukan merupakan pihak yang dirugikan; sesuai Pasal 46
ayat
(1)
Undang-undang
No.8
tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), maka gugatan legal standing semata-mata hanya ditujukan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
122
Kelima, ketidakhadiran salah satu pihak tergugat di persidangan (Tergugat III) dan kekeliruan penyebutan alamat tergugat tsb tidaklah berakibat gugatan menjadi kurang pihak, melainkan hanya mengakibatkan gugatan Penggugat khusus terhadap tergugat tsb dinyatakan tidak dapat diterima. Keenam, tuntutan permintaan maaf mestinya diikuti dengan tuntuan pembayaran uang paksa (dwangsom), agar bila tuntutan tsb dikabulkan dan kemudian tidak dilaksanakan secara suka
rela,
maka
putusan
dilaksanakan (executable).
atas
tuntutan
tersebut
dapat
Permintaan maaf pada dasarnya
adalah merupakan ungkapan perasaan dari salah satu pihak kepada pihak lain yang disampaikan secara verbal atau visual yang di dalamnya terkandung itikad baik dan penyesalan sehubungan dengan peristiwa yang telah terjadi atau suatu perbuatan yang telah dilakukan, sehingga bentuk dan ukuran permintaan maaf bukanlah merupakan suatu hal yang utama. Berkaitan dengan acara “Pall Mall Top 40 The Party”, permintaan maaf yang telah dilakukan Tergugat I dan Tergugat IV telah cukup pantas dan mewakili semua pihak yang terlibat dan kegiatan
tsb,
serta
tergugat-tergugat
telah
menghentikan
kegiatan selanjutanya dan tidak menyelenggarakan acara serupa.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
123
Dalam Putusan Perkara No. No. 278/Pdt.G/2002 tanggal
28
Maret
2003,
yaitu:
gugatan
legal
standing
pelanggaran jam tayang dan isi iklan rokok berdasarkan Undangundang Kesehatan No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (disingkat
UUK)
pelaksanaannya,
dan
peraturan
Pengadilan
Negeri
perundang-undangan Jakarta
Selatan
telah
menjatuhkan putusan. Dalam amar putusan tersebut, sejumlah eksepsi yang tidak biasa dalam perkara-perkara lainnya diajukan Para Tergugat, namun ditolak Majelis Hakim perkara a quo. Sebaliknya majelis menolak gugatan Para Penggugat dan mengabulkan sebagian gugatan rekonpensi Tergugat. Meskipun putusan a quo belum berkekuatan hukum tetap, karena masih dilakukan upaya hukum oleh kuasa hukum Para Penggugat, beberapa catatan layak untuk dikemukakan sebagai bahan diskusi para ahli hukum untuk pengembangan ilmu dan praktik 28
Perkara gugatan legal standing perbuatan melawan hukum di bawah daftar No. 278/Pdt.G/2002 tanggal 30 Mei 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. LSM yang menggugat adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), dan Yayasan Kanker Indonesia. Pihak tergugat adalah PT Djarum Kudus Tbk, PT HM Sampoerna Tbk, PT Perada Swara Production, PT Citra Lintas Indonesia, PT Metro Perdana Indonesia Advertising, PT Radjawali Citra Televisi Indonesia, PT Surya Citra Televisi, PT Jurnalindo Aksara Grafika sebagai penerbit harian Bisnis Indonesia, dan PT Era Media Informasi sebagai penerbit majalah Gatra. Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat Tulus Abadi, Sudaryatmo, Paulus R. Mahulette, Carrel Ticualu, Freddy K Simanungkalit dan Sularsi serta rekan-rekan lainnya di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (YLM3), Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (YWITT), dan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) atas kesempatan bertukar pikiran dalam berbagai kesempatan selama persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lihat juga: Yusuf Shofie, op.cit., hal.104-106. 28
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
124
Pertama, gugatan tersebut diajukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, dalam hal ini melindungi hak konsumen atas keamanan dan keselamatan yang dijamin Pasal 4 butir a UUPK. Uniknya soal kualitas produknya sendiri, dalam hal ini, produk rokok, tidaklah termasuk dalam komoditas barang dan/atau jasa yang dimaksudkan UUPK. Kualitas rokok bukanlah masalah perlindungan konsumen. Ornop/NGO yang bertindak sebagai para penggugat tidak pernah menangani Perlindungan
pengaduan konsumen
masalah
kualitas/mutu
menyangkut
rokok.
masalah-masalah:
bioteknologi (biotechnology), perilaku pelaku usaha, bahanbahan berbahaya (chemicals), pendidikan konsumen, lingkungan hidup,
teknologi
informasi,
pemasaran
dan
periklanan
(marketing and advertising), obat-obatan (pharmaceuticals), keamanan produk (product safety), rokok (tobacco), dan sebagainya.29 Jadi, produk rokok tidaklah termasuk komoditas
Lihat Replik Para Penggugat tanggal 5 September 2002 dalam perkara tersebut, antara lain dikutipkan sebagai berikut: “Gugatan Penggugat memang bukan soal kualitas barang dan/atau jasa __ betapa pun “sangat tingginya kualitas rokok” yang diproduksi, diiklankan dan dijual Para Tergugat, rokok tetap membahayakan kesehatan! Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 butir a UUPK). Jadi, menurut sistem UUPK, soal “kualitas/mutu rokok”, bukanlah masalah perlindungan konsumen. Dari sejak berdirinya Para Penggugat menolak “kualitas/mutu rokok” sebagai komoditas barang dan/atau jasa dalam perlindungan konsumen sehingga tidak pernah menangani pengaduan kualitas/mutu rokok” (hal.7). Uraian tentang isu bahaya merokok merupakan bagian dari perlindungan konsumen, lihat: Rajeswari Kanniah, International Law and the Consumer Interest: A Select Annotated Bibliography of International Instruments relating to Consumer Protection, Penang, Malaysia: International Organization of Consumers Unions Regional Office for Asia and Pasific, April 1990; dan “Consumers International and 29
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
125
yang berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan UUPK. Kedua, gugatan legal standing tersebut dilakukan dengan
pendekatan
Kesehatan
(UUK)
pelaksanaannya.
sistemik dan
berdasarkan
peraturan
Undang-undang
perundang-undangan
Terlepas dari terbukti tidaknya dugaan
pelanggaran-pelanggaran hukum oleh para tergugat, gugatan tersebut tetap dalam koridor sistem hukum, dalam hal ini UUPK sebagai sub sistem dari sistem hukum nasional (Pasal 46 ayat (1) butir c UUPK jo. Pasal 64 UUPK jo. UUK dan PP Peraturan Pemerintah No.81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan). F.
Cara Penjualan Produk. 1.
Ketentuan Perundangan Berkaitan Dengan Masalah Cara Penjualan Produk. Perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan
konsumen
pada
pihak
konsumen bertujuan antara lain meningkatkan pemberdayaan
the FCTC”, The AP Consumer Vol.28 2/2002, Kualalumpur, Malaysia: Consumers International Regional Office for Asia dan the Pasific.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
126
konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen. Di samping itu, di pihak pengusaha perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. Berkaitan dengan tujuan perlindungan konsumen tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah mengatur beberapa ketentuan tentang hal tersebut, antara lain : 1)
Konsumen
berhak
atas
kenyamanan,
keamanan
dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf a). 2) Konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan (Pasal 4 huruf b). 3)
Konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf c).
4) Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak
sesuai
dengan
perjanjian
atau
tidak
sebagaimana mestinya (Pasal 4 huruf h).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
127
Di samping hak-hak yang dimiliki oleh konsumen tersebut di atas, pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, memiliki beberapa kewajiban yaitu : 1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi barang atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7)
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang
dan/atau
jasa
yang
diterima
atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
128
Pada
dasarnya,
tujuan
setiap
pengusaha
dalam
menjalankan kegiatannya adalah untuk mencari keuntungan (profit), namun demikian bila dikaitkan dengan hal-hal tersebut di atas, di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur berbagai hal yang berkaitan dengan tata cara penjualan produk suatu barang yang akan dilakukan oleh seorang produsen dalam berbagai pasalnya ; yaitu : -
Pelaku
usaha
dilarang
menawarkan,
mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. (Pasal 9 ) -
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan (Pasal 10).
2.
Macam-macam Cara Penjualan Produk. 1) Penjualan Langsung. Penjualan barang/jasa secara langsung terjadi dimana penjual dan pembeli melakukan transaksi langsung. Dalam penjualan secara langsung ini, proses tawar menawar; penilaian bentuk dan mutu barang dapat dilakukan secara langsung. Harga yang disepakati pun tergantung proses tawar menawar yang dilakukan antara pihak penjual dan pembeli.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
129
2) Lelang atau obral. Penjualan suatu produk barang atau jasa melalui lelang atau obral sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh pelaku usaha. Penjualan secara lelang atau obral dimaksudkan untuk memperoleh jumlah penjualan secara besar. Masyarakat pada umumnya tertarik dengan sistem penjualan ini karena harga yang ditawarkan terkesan lebih murah bila dibandingkan dengan harga umumnya. Promosi penjualan secara lelang atau obral ini biasanya kita jumpai saat-saat menjelang perayaan hari-hari besar (idul fitri; natal) dan akhir tahun dengan alasan cuci gudang. Namun demikian, dalam melakukan penjualan secara obral atau lelang tersebut pelaku usaha dilarang melakukan tindakan yang sifatnya mengelabui/menyesatkan konsumen dengan : -
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
-
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seola-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
-
tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
130
-
tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
-
tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain.
-
menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral/lelang.
Selain itu, dalam melakukan penjualan secara lelang atau obral ini pun, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. 3) Kredit. Penjualan barang/jasa secara kredit saat ini begitu marak dilakukan oleh hampir sebagian besar pelaku usaha. Hal ini pun mendapat tanggapan positif dari konsumen apalagi semenjak terjadinya krisis ekonomi melanda negara kita yang berdampak daya beli masyarakat menurun. Penjualan barang/jasa secara kredit saat ini sangat diminati
oleh
masyarakat.
Peluang
ini
dengan
jeli
dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam upaya meningkatkan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
131
omset penjualan produknya. Penjualan produk barang/jasa secara kredit ini
sangat diminati oleh masyarakat karena
adanya berbagai kemudahan misalnya penjualan kredit tanpa uang muka (persekot) dan pemberian bunga yang ringan. Bahkan tidak jarang penjualan secara kredit ini dijanjikan dengan tawaran hadiah (bonus) yang cukup menarik. Namun demikian, berkaitan dengan pemberian hadiah ini, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Selain itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang
ditujukan
untuk
diperdagangkan
dengan
memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk : -
tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
-
mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
-
memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
-
mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Berdasarkan data yang ada di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); tahun 1998 terdapat 243 kasus pengaduan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
132
khususnya berkaitan dengan masalah property (pengembang). Setahun kemudian yakni tahun 1999, jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI berkurang menjadi 196 kasus, dan terakhir tahun 2003 lalu jumlah kasus developer bermasalah turun drastis menjadi 29 kasus.30 3.
Sistem Layanan Purna Jual. Sehubungan dengan persaingan globalisasi dalam rangka menyangkut nama “Produk Indonesia” (made in Indonesia) terutama untuk produk konsumen, agar produsen secara langsung atau memulai representative/distributor/agennya agar memenuhi kewajiban atas garansi dan fasilitas purna jual batas waktu dan criteria apa saja barang-barang dapat diganti dan sesudahnya atau pelatihan/training operator/mekanik/ electricien. Terjaminnya produk suku cadang selama jangka waktu tertentu
terhitung
sejak
barang/produk/metode/type
tidak
diproduksi lagi oleh produsen, misalnya jaminan produksi jepang. Selain pertanggung jawaban informasi dan produksi atas barang-barang yang diproduksinya. Produsen juga bertanggung jawab atas purna jual terhadap barang-barang yang dipasarkan. Tanggung jawab atas adanya pelayanan purna jual, khususnya terhadap barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu
30
Harian Sinar Harapan, 11 Maret 2003
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
133
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun adanya juga merupakan suatu cara dari produksi untuk menawarkan produknya. Selain itu dengan adanya jaminan purna jual. Konsumen merasa terjamin terhadap slip barang yang dibelinya karena slip kerusakan atas barang telah disiapkan fasilitas perbaikan maupun penyediaan suku cadang oleh produsen bersangkutan. Dalam
hal
purna
jual
produsen
harus
menyatakan
kesiapannya menanggapi secara cepat, rasional, objektif semua keluhan konsumen. Untuk hal tersebut maka produsen harus bersedia menjadikan beberapa hal antara lain: 1)
Jaminan jasa purna jual untuk kepentingan pemeliharaan, dan reparasi termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu produsen dan konsumen.
2)
Asuransi produk harus diberikan penuh oleh produsen kepada konsumen.
3)
Perlu segera penarikan kembali produk yang sudah di pasarkan apabila produk tersebut tidak aman.
a. Status Uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual Dalam masa mengangsur selama pembeli masih belum melunasi, atau mengangsur pembayarannya, uang-uang yang dibayarkan kepada penjual terjadi wanprestasi umumnya barang tidak dikembalikan/ditarik kembali. Maka status uang selama
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
134
pembayaran angsuran dianggap hangus atau hilang karena status barang sebagai barang yang disewa. Dengan adanya verval clausule sangat merugikan pembeli, dilain pihak status uang tersebut dapat pula dianggap sebagai uang ganti rugi pemakaian atas barang yang telah inikmati kegunaannya. Apabila perjanjian beli sewa dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli maka tentunya status uang tersebut sebagai uang pembayaran atas pembelian barang obyek perjanjian tersebut. Hal ini demikian dianggap
kurang
memenuhi
rasa
keadilan,
karena
terlalu
menguntungkan penjual. Maka sebaiknya klausul yang demikian ditiadakan, khususnya mengenai status uang dalam hal adanya wanprestasi sebaiknya semua uang-uang yang sudah masuk harus diperhitungkan agar tidak merugikan pembeli. Oleh karena itu perlindungan dirasa efektif bagi penjual, sebab bila status barang dalam perjanjian tidak sebagai sewa maka penjual tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap barang tersebut. Dengan perkataan lain, penjual tidak mempunyai hak istimewa (privilge) atau di Indonesia diatur dalam pasal 1144BW. Dalam hal wanprestasi (pihak pembeli), hak yang dipunyai penjual sering terlalu banyak memberikan keuntungan misalnya karena ia (penjual)
maka
dengan
pemutusan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
perjanjian
berdasarkan
135
wanprestasi, uang angsuran yang sudah masuk tetap ditangan penjual dan barang ditarik kembali. b.
Prinsip-prinsip
Hukum
dan
Pengaturan
di
Bidang
Perlindungan Konsumen Apabila konsumen dirugikan dalam hal penjualan barang : makanan dan minuman harus memperhatikan masa kadaluarsa. Untuk pembelian barang-barang elektronik perhatian voltage listrik yang digunakan, sesuaikan dengan kondisi listrik rumah masingmasing konsumen. Masalah ganti rugi, menurut UUPK konsumen berhak untuk mendapatkan ganti rugi atau menukar barang yang dibelinya apabila pada barang tersebut diketahui mengandung cacat tersebunyi. Contoh seorang konsumen membeli satu kaleng cat tembok, kemudian diketahui bahwa cat tersebut mengeras dan tidak dapat dipakai untuk itu konsumen/penjual berhak menukar dengan cat yang masih layak mengenai harga cat baru tersebut, konsumen berhak membayar selisih harga cat baru tersebut. Apabila harganya lebih murah maka pelaku usaha harus mengembalikan selisih uang konsumen. Bagaimana jalan keluar apabila pelaku usaha/penjual apa bila terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak (penjual dengan konsumen). Konsumen atau pelaku usaha/penjual dapat melaporkan
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
136
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di kota/kabupaten dimana konsumen berdomisili. BPSK, adalah suatu lembaga yang bertugas menangani penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dengan penjual. Menurut UUPK BPSK dibentuk di setiap kota Madya/Kabupaten kota atau di daerah TK.II dan unsure yang terkait adalah : Pemerintah, pelaku usaha dan LPKSM yang mewakili masyarakat menjadi wadah bagi konsumen untuk memperjuangkan haknya konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada lembaga tersebut. Konsumen dapat pula menyampaikan pengaduannya kepada Pengadilan
Negeri
untuk
memaksakan
hak-haknya
sebagai
konsumen sesuai dengan UUPK. G.
Klausula Baku. Berbicara mengenai kontrak atau perjanjian dari perspektif hukum perlindungan konsumen sangatlah menarik karena kontrak atau perjanjian yang secara formal dinyatakan sah, tidak menjamin keadilan bagi konsumen. Faktor utama dari persoalan tersebut adalah, kontrak didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dengan asumsi bahwa kedudukan kedua belah pihak berada posisi tawar yang seimbang. Pada hal,
hubungan antara produsen dan konsumen ditandai oleh posisi
tawar yang tidak seimbang. Konsumen memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai produk yang dibeli, konsumen barangkali memiliki
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
137
jumlah dana yang terbatas, sementara pada sisi lain keingingan untuk memperoleh suatu barang sangatlah tinggi. Asas kebebasan kontrak (Freedom of Contract)
yang muncul
pada abad 19 telah memperlakukan konsumen secara tidak adil.. Aduru Rajendra Prasad di India misalnya mengatakan bahwa asas kebebasan berkontrak tidaklah fair karena dalam kenyataannya adalah terjadi halhal sebagai berikut: 1) Inequality of bargaining power:economic inequality and social pressure do not allow the parties to bargain freely anf fairly. 2) Mass production and distribution: standard form contracts. 3) Public policy: unreasonable, unconscionble and injurious to
the
public interest.31 Demikian pula yang dikemukakan oleh Nik Ramlah Mahmood (Malaysia) bahwa dalam praktek sering ditemukan beberapa bentuk klausula yang tidak adil dari perspektif kepentingan konsumen, yaitu: 1) Exemption Clauses in Standard Contract.(pengecualain yang umum sifatnya). 2) Contracting Out Clauses ( salah satu pihak dibebaskan dari kewajiban yang ada dalam peraturan perundang-undangan). 3) Incorporation Clauses. (Konsumen tunduk pada ketentuan dalam dokumen lain yang pada saat ditanda tangani belum ada). 31 Aduru Rajendra Prasad, “The Regulation of Unfai Contracts – An Indian Perspective”, dalam Developing Consumer Law in Asia, Faculty of Law University of Malaya & International Organization of Consumers Unions, Regional Office for Asia and the Pacific (1994) h. 118.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
138
4) Compulsary Arbitration Clauses (penentuan institusi penyelesaian sengketa). 5) “Basis of Contract” Clauses in Insurance Proposal Forms. 32 Dalam perjanjian untuk asuransi misalnya, basis of contract yang dimaksudkan adalah statement” “the proposer warrants the truth of all answers and information given therein and that any untruth therein would make the contract of insurance voidable”. 1. Ketentuan tentang Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Secara keseluruhan, ketentuan yang terkait dengan masalah klausula baku dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut: Pasal 18 UUPK: (1)
Larangan bagi pelaku usaha membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang isinya: a. Pengalihan tanggung jawab. b. Menolak menyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
32 NIk Ramlah Mahmodd, “Unfair Terms In Malaysian Consumer Contracts – The Need For Increased Judicial Creativity” dalam Developing Consumer Law in Asia, Faculty of Law University of Malaya & International Organization of Consumers Unions, Regional Office for Asia and the Pacific (1994) h. 127-130.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
139
c. Menolak menyerahkan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli. d. Pemberian kuasa kepada pelaku usaha (langsung/tidak langsung) untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. g. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru , tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Larangan untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
140
(3) Klausula baku di atas batal demi hukum. (4) Kewajiban menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UU ini. Artinya, seperti yang telah dikemukakan bahwa
secara
normatif sudah sangat komprehensif melindungi konsumen, bahkan terkesan berlebihan, karena ada larangan terhadap hal-hal yang sebenarnya wajar dalam praktek bisnis, misalnya ketentuan yang menyatakan
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Persoalan
yang
terjadi
adalah
sistem
perlindungan
konsumen yang ditawarkan melalaui UU No. 8 Tahun 1999 ini belum semuanya berjalan, misalnya pengawasan terhadap klausula baku yang menjadi tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (pasal 52 huruf c. Lembaga tersebut belum melaksanakan tugasnya. Barang kali hal tersebutlah yang menjadi salah satu sebab masih banyak kita temukan dalam praktek klausulah baku yang memberatkan konsumen. Contoh di Jerman perlu ditiru, yaitu ketika gugatan Class Action diperkenalkan, maka gugatan yang sering dilakukan adalah class action dalam rangka pembatalan atau meminta perbaikan-perbaikan klausula-klausula dalam perjanjian standar.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
141
2. Praktek Pelanggaran terhadap Ketentuan Klausula Baku dan Usaha Pemerintah Merumuskan Pedoman Pembuatan Klausula Walaupun Pasal UUPK telah mengatur mengenai ketentuan tentang Klausula Baku, dalam masih sampai 5 (lima) tahun setelah UUPK berlaku masih ditemukan berbagai bentuk klausula dalam perjanjian yang merugikan konsumen. Pelanggaran tersebut terdapat pada
beberapa
kontrak,
yaitu
bidang
asuransi,
perbankan,
telkomunikasi, kelistrikan, pariwisata. Dalam prakteknya hamper 90 % semua perjanjian atau dokumen memuat klausula baku yang merugikan konsumen. Sedangkan di bidang barang biasanya terdapat dalam ketentuan bon atau tanda terima barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. 1) Bidang Jasa Asuransi a. Klausula eksonerasi Agar asuransi tetap berlaku, pada dasarnya pemegang polis berkewajiban menyampaikan pembayaran premsi kepada perusahaan. Perusahaan dapat melakukan penagihan premi, namun jika karena sebab apapun penagihan premi tidak dilakukan oleh perusahaan, maka hal tersebut tidak berarti membebaskan pemegang polis dari kewajiban untuk membayar premi”. atau:
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
142
“kecuali
yang
telah
ditentukan
dan
mendpatkan
persetujuan tertulis terlelbih dahulu dari PT. Asuransi Jiwa ……., asuransi kecelakaan ini tidak menanggung risiko yang diakibatkan
karena:….
Dan
setiap
kegiatan
yang
mengandung bahaya”. b. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen (pasal 18 ayat (1) e. “ jika terjadi kecelakaan sebagai yang diuraikan dalam ayat ini,
maka
tertanggung
harus
membuktikan
bahwa
kecelakaan tersebut tidak disebabkan oleh hal-al yang dikecualikan di atas, baik langsung maupun tidak langsung”. 2) Jasa perbankan a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. - “debitur wajib untuk membayar kembali hutangnya kepada bank… tanpa debitur berhak untuk memperhitungkan dengan tagihan debitur (jika ada) terhadap bank dan untuk menuntut suatu pembayaran lain. Debitur dengan ini melepaskan segala haknya seperti yang disebut dalam pasal 1425 sampai dengan pasal 1429 kitab undangundang hukum perdata. - “bank berhak untuk setiap saat mengakhiri perjanjian …. Dan berhak untuk menagih hutang debitur kepada bank
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
143
setiap saat tanpa perlu adanya somasi/surat peringatan …..” b. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Misalnya: bank dengan ini diberi kuasa untuk sewaktu-waktu mengubah suku bunga, mendebet rekening debitur pada bank guna pembayaran hutang pokok, bunga, denda, dan biaya-biaya. c. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa
aturan
baru,
tambahan,
lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku
usaha
dalam
masa
konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya. Debitur tunduk kepada semua peraturan dan kebiasaan mengenai perjanjian kredit/pemberian kredit dan perjanjian pemberian jaminan yang ada dan yang khususnya berlaku pada bank serta yang ditetapkan oleh bank indonesia, baik yang telah maupun yang akan ditetapkan di kemudian hari. 3) Bidang Jasa Telekomunikasi a. Besarnya ganti rugi ditetapkan sepihak.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
144
b. Pengalihan
tanggungjawab:
telkom
dibebaskan
dari
tanggungjawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang mungkin atau telah diderita oleh pelanggan, baik kerugian langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari berfungsi atau tidak berfungsinya saluran telekomunikasi. c. Telkom tidak memberikan informasi yang jelas tentang ketentuan pasal 1266 KUH
perdata sehubunhan dengan
pembatalan atau pemutusan kontrak dapat dilakukan oleh salah satu pihak jika ada wanprestasi dan dinyatakan sah tanpa menunggu keputusan hakim. 4) Bidang ketenagalistrikan a. Apabila kemudian ternyata pembeli tidak bersedia/tidak jadi menandatangani surat perjanjian kontrak listrik atau tidak melunasi pembayaran sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, maka jual beli atau kontrak ini menjadi batal atau karena satu dan lain hal yang mengakibatkan pembelian ini menjadi batal maka akan dikenakan biaya administrasi dari nilai transaksi ditambah PPN dan PPH yang sudah dibayarkan tidak dapat dikembalikan atau jika pembayaran
belum
mencapai
20
%,
maka
seluruh
pembayaran yang telah dilakukan tidak dapat dikembalikan (menolak penyerahkan kembali uang- pasal 18 ayat (4) huruf c).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
145
b. Apabila konsumen dalam membayar dengan mempergunakan fasilitas ATM maka keterlambatan pembayaran oleh bank kepada pln akan menjadi tanggungan konsumen (pengalihan tanggung jawab pelaku usaha-pasal 18 ayat (4) huruf a). c. Bilamana terdapat tunggakan rekening listrik, tagihan susulan pemakaian listrik tidak sah dan biaya-biaya lain yang belum dilunasi oleh pemilik lama persil tersebut menjadi beban tanggungjawab
kami
dan
segera
akan
kami
lunasi
(penyerahan tanggungjawab pelaku usaha, pasal 18 ayat (1) huruf a.
5) Biro Perjalan Bidang pariwisata a. Pembatalan
perjalanan,
apabila
dilakukan
pembatalan
sepihak oleh konsumen, maka konsumen akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 25 % bila pembatalan dilakukan 1 (satu) bulan menjelang keberangkatan. b. 0% bila pembatalan dilakukan 2 (dua) minggu menjelang keberangkatan. c. 75 % bila pembatalan dilakukan kurang dari 1 (satu) minggu menjelang keberangkatan. 6) Transportasi - Udara:
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
146
Pengangkut tidak bertanggungjawab atas kerugian apapun juga
yang
ditimbulkan
oleh
pembatalan
dan/atau
kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi. - Tiket bus: a.
Pembatalan keberangkan dikenakan biaya administrasi 25 %;
b.
Pembatalan atau perubahan tiket kurang dari 1 x 24 jam sebelum keberangkatan tiket dianggap hapus;
c.
Barang bawaan maksimum 20 kg selebihnya dikenakan biaya sesuai ketentuan.
- Kereta api: a.
Setiap
pembatalan
biaya
pengantaran
tidak
dikembalikan. b.
Sampai satu hari sebelum hari keberangkatan kereta api beaya dikembalikan 75%.
c.
pada hari keberangkatan sampai 3 jam sebelum kereta api berangkat bea dikembalikan 50 %.
d.
Kurang dari 3 jam sampai kereta api berangkat atau karcis pembelian langsung (tanpa melalui pemesanan atau penumpang terlambat (ketinggalan ka) tidak ada pengembalian biaya (hangus).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
147
Direktorat Perlindungan Konsumen pada saat ini telah menyusun pedoman Klausula baku di bidang perbankan, asuransi, kelistrikan, pariwisata, dan telekomunikasi. Direktorat Perlindungan Konsumen menerima pengaduan konsumen di bidang klausula baku, pada umumnya klausula baku di bidang perparkiran. Pengelola perparkiran melalui penyelesaian sengketa kunsumen secara mediasi yang
dilaksanakan
oleh
direktorat
perlindungan
konsumen
diwajibkan membayar ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan. H. Sanksi Pidana Terhadap
Korporasi
Dalam Hukum
Perlindungan Konsumen. Dari sudut politik hukum pidana/kebijakan kriminal (criminal policy)33, belum atau tidak ditegakkannya norma-norma tindak pidana
33 Tidak ada perbedaan prinsipil tentang pengertian “politik hukum pidana” dan “kebijakan kriminal”, yang ada hanyalah perbedaan istilah semata. Ketika mengurai reformasi hukum (law reform), khususnya menyangkut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disebutnya sebagai lappedeken, yaitu semacam selimut yang dibuat dari serpihan kain yang beraneka warna yang dijahit menjadi satu, Sudarto menjelaskan politik hukum pidana sebagai berikut ini: “… Hal ini menyangkut politik hukum pidana. Yang dimaksud dengan politik hukum ialah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarkat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masamasa yang akan datang. Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat.” (Kursif dari penulis). Lihat: Sudarto (a), Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal.9394. Pada bagian lain tulisannya, Sudarto memberikan penjelasan politik hukum pidana dengan istilah “politik kriminil” sebagai berikut: “Politik kriminil ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminil itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; sedang dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
148
korporasi
dalam
Undang-undang
No.8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK), setelah setahun lebih sosialisasi UUPK (1999-2000), dapat menimbulkan kesan proses kriminalisasi yang dilakukan UUPK tidak didasarkan pada penilaianpenilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem hukum nasional.34 Terdapat dua masalah sentral dalam politik hukum pidana/kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu masalah penentuan:35 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; 2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana korporasi dalam UUPK telah melalui proses sosial dan proses politik yang sangat panjang dan melelahkan.36 Proses sosial dan proses politik itu mempunyai arti yang sangat penting dan pengaruh luas bagi norma sentral dari masyarakat.” (Kursif dari penulis). Lihat: Sudarto (b), Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal.113-114. Lihat pula: Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.1. Terdapat pula rumusan serupa tentang politik kriminil dari Marc Ancel dalam Muladi dan Arief sebagai berikut: “Politik kriminil ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat”. Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hal.157. 34 Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.ke-1, 2002), hal.57. Menurut Muladi dan Arief, kesan seperti itu menimbulkan akibat: 1) krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization) dalam bentuk meningkatnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi; 2) krisis pelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law) ditunjukkan efektifnya usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.163. 35 Ibid., hal.160. 36 “Perjalanan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Perlindungan Konsumen”, Warta Konsumen, 1990: 194, Tahun XVII, Mei 1990 (Macetnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen), hal.9
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
149
masyarakat, termasuk di sini upaya konsientisasi hak-hak konsumen, sosialisasi nilai-nilai yang dikandung dalam gerakan konsumerisme, dan sebagainya.
Biaya proses sosial dan politik yang telah dijalani selama
ini, termasuk di dalamnya pengorbanan kepentingan-kepentingan 200 juta konsumen Indonesia yang ditelantarkan dan tidak diakui hukum pada saat itu, menjadi sia-sia, bila belum ada kemauan politik (political will) dari Pemerintah untuk menegakkan UUPK. 1. Kriteria Penggunaan Hukum Pidana Menurut Sudarto, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi, yaitu:37 1. Sebagai sarana yang tidak sempurna (berfungsi subsider), tujuan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dicapai demi perlindungan/kesejahteraan masyarakat; 2. Perbuatan-perbuatan
yang
dicegah
oleh
hukum
pidana
merupakan perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yang mengakibatkan kerugian masyarakat atau korban; 3. Prinsip biaya dan hasil (cost-benefit principle) harus diperhatikan dalam menggunakan hukum pidana; artinya apakah hasil yang ingin dicapai memadai dengan biaya yang dikeluarkan; 4. Kemampuan daya kerja badan-badan (polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya) yang ditugaskan untuk menegakkan hukum pidana Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44-48. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.161. 37
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
150
cukup memadai sehingga tidak terjadi kelampauan bebas tugas (overbelasting). Marshal B. Clinard dan Peter C. Yeager memberikan beberapa kriteria, yang pada umumnya diterapkan dalam keputusankeputusan untuk menggunakan hukum pidana (to bring a criminal action) terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korporasi, yaitu:38 1.
Derajat kerugian terhadap publik (The degree of loss to the public);
2.
Tingkat keterlibatan oleh jajaran manager korporasi (The level of complicity by high corporate managers);
3.
Lamanya pelanggaran (The duration of the violation);
4.
Frekuensi pelanggaran oleh korporasi (The frequency of the violation by the corporation);
5.
Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran (Evidence of intent to violate);
6.
Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus-kasus suap (Evidence of extortion, as in bribery cases);
7.
Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media (The degree of notoriety engendered by the media);
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime. New York: The Free Press, 1983.., hal.93. 38
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
151
8.
Kebiasaan hukum/ putusan-putusan yang sama dalam perkaraperkara yang datang belakangan
dengan putusan-putusan
terdahulu (Precedent in law); 9.
Riwayat pelangaran-pelanggaran serius oleh korporasi (The history of serious violations by the corporation);
10. Kemungkinan pencegahan (Deterence potential); 11.
Derajat kerja sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi (The degree of cooperation evinced by the corporation). Sejalan dengan pemikiran Muladi tentang fungsionalisasi
hukum
pidana
penggunaan
dalam
instrumen
mengatasi hukum
tindak
pidana
pidana tidaklah
korporasi, berlebihan.
Membunuh seekor lalat tidaklah perlu menggunakan pistol atau meriam. Artinya penggunaan instrumen hukum itu terhadap tindak pidana
korporasi,
tidaklah
berlebihan.
Akibat-akibat
yang
ditimbulkan tindak pidana korporasi tidaklah dapat dikatakan ringan atau
sepele,
sehingga
menurut
Muladi
pada
bagian,
perlu
pengorganisasian kebijakan kriminal (criminal policy) secara sistematis sebagaimana dikutipkan berikut ini:39
39 Muladi, “Korban Kejahatan Korporasi" dalam J.E.. Sahetapy (ed), Bunga Rampai Viktimisasi (Karya Ilmiah Para Pakar Hukum) (Bandung: Eresco, 1995), hal. 9099. Masih menurut Muladi, landasan rasional penggunaan hukum pidana bukan sematamata didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan tersebut morally wrong, tetapi demi perlindungan masyarakat (in order to protect the public). Dalam hukum pidana, tindak pidana korporasi itu disebut sebagai mala prohibita (delik undang-undang), dan bukan mala in se (delik kejahatan). Lihat: Ibid.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
152
“Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi …, maka sangat beralasan untuk mengorganisasikan secara sistematis kebijakan kriminal (criminal policy) guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara berpasangan langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk tindakantindakan pencegahan dalam mengatasi kendala-kendala…” Mardjono Reksodiputro menyebutkan bahwa bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) lainnya, seperti: kurang tanggapnya instansi pemerintah, misalnya: pencemaran lingkungan, keamanan dalam pekerjaan, penyebaran barang-barang produksi yang berbahaya bagi konsumen, dapat menimbulkan kerugian yang luas, tidak terbatas hanya pada korban individual saja, bahkan kelompok korban masyarakat luas.40 Tak jarang sulit ditentukan korbannya secara pasti. bentuk-bentuk
penyalahgunaan
ini,
tindak
pidana
Ke dalam korporasi
(corporate crime) dimana masyarakat konsumen luas menjadi korbannya, termasuk di dalamnya.
Bahwa orientasi hukum pidana
yang semula didesain hanya untuk menghadapi perilaku kriminal individu, kini harus diubah dengan membuka kemungkinan korporasi untuk dituntut, diadili dan dijatuhi pidana. 2. Wacana Penggunaan Sanksi Pidana.
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kedua) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal.94-95. 40
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
153
Dalam pada itu, perkembangan tindak pidana – tindak pidana di luar KUHP__ meskipun belum tentu merupakan tindak pidana khusus di luar KUHP, seperti halnya Tindak Pidana Ekonomi (TPE) dan Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang memuat sejumlah penyimpangan terhadap asas-asas yang umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum acara pidana __ juga mengintroduksi jenis sanksi pidana yang tidak dikenal KUHP, mendahului Rancangan KUHP Nasional. sebagai
Penggunaan instrumen hukum pidana dalam UUPK primum
remedium
membawa
konsekuensi
logis
dimungkinkannya penerapan berbagai sanksi atau hukuman untuk pelanggaran
norma-norma
perlindungan
konsumen.
UUPK
mengedepankan sanksi administratif dan sanksi pidana (Pasal 60-63 Bab XIII UUPK).
Jenis-jenis pidana yang dimungkinkan menurut
UUPK, yaitu (Pasal 62 jo. Pasal 63 UUPK):41 1. Pidana pokok, yaitu: 1.1.
41
Pidana Penjara:
Bandingkan jenis-jenis pidana tersebut dengan jenis-jenis pidana menurut Pasal
10 KUHP yaitu: 1. Pidana pokok meliputi: 1.1. Pidana mati; 1.2. Pidana penjara; 1.3. Pidana kurungan; 1.4. Pidana denda; 1.5. Pidana tutupan (UU No.20 tahun 1946 tanggal 30 Oktober 1946); 2. Pidana tambahan meliputi: 2.1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2.2. Perampasan barang-barang tertentu; 2.3. Pengumuman putusan hakim
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
154
1.1.1. Maksimal 5 (lima) tahun) untuk pelanggaran Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 UUPK; 1.1.2.Maksimal 2 (dua) tahun untuk pelanggaran Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f UUPK; 1.2.
Pidana Denda:42 1.2.1.Denda maksimal Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) untuk pelanggaran Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 UUPK 1.2.2. Denda maksimal Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pelanggaran Pasal 11, Pasal 12, Pasal
42 Menurut Hamzah sanksi pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, bahkan mungkin setua pidana mati. Ia terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, dalam bentuk ganti kerugian atau denda adat. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Dalam perkara pidana: 1) denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat; 2) denda dapat digantikan dengan pidana kurungan jika denda tak dibayar; 3) denda tidak diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaiman dalam perkara perdata; 4) pidana denda tetap dijatuhkan, walaupun terdakwa sudah membayar ganti kerugian kepada korban. Lihat: Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.42-43. Dari uraian Roeslan Saleh diperoleh penjelasan bahwa dalam pidana denda: 1) tidak diadakan maksimum denda; yang ditentukan adalah minimum denda; 2) meskipun yang dikenai denda adalah terhukum sendiri, tak ada ketentuan yang melarang jika pihak ketiga membayarkan pidana denda tersebut; 3) terhukum berhak memilih untuk membayar denda atau tidak; dalam hal denda tak dibayar ia dikenakan pidana kurungan pengganti denda yang lamanya minimal 1 (satu) hari dan maksimal 6 (enam) bulan. Lihat: Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.74-75.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
155
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f UUPK; 2. Pidana tambahan, yaitu: 2.1. Perampasan barang tertentu; 2.2. Pengumuman keputusan hakim; 2.3. Pembayaran ganti rugi; 2.4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 2.5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; 2.6. Pencabutan izin usaha. Sanksi pidana yang dikemukakan UUPK tersebut, dalam batas-batas tertentu dipandang sepadan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan lebih 200 juta konsumen Indonesia,43
yang secara khusus telah
dirumuskan sebagai hak-hak konsumen dalam UUPK (Pasal 4 UUPK). Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa hukum pidana sebagai sarana perlindungan masyarakat (social defence) digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat.44
Namun
Yusuf Shofie (b), Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet.ke-1, 2000)., hal.24-25. 44 Kepentingan-kepentingan masyarakat itu, yaitu: 1) Pemeliharaan tertib masyarakat; 2) Perlindungan Masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan orang lain; 3) Pemasyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; 4) Pemeliharaan/pemantapan integritas pandanganpandangan dasar tentang keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan sosial. Lihat: Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal.166. 43
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
156
demikian
tidak
semua
tindak
pidana
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi.45 Sedangkan jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP Nasional (Pasal 60-62), terdiri dari:46 1. Pidana pokok, yaitu: 1.1.
Pidana Penjara;
1.2.
Pidana Tutupan;
1.3.
Pidana Pengawasan;
1.4.
Pidana Denda;
1.5.
Pidana Kerja Sosial;
2. Pidana khusus, yaitu: pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif; 3. Pidana tambahan 3.1. Pencabutan hak tertentu; 3.2. Perampasan barang tertentu dan atau tagihan; 3.3. Pengumuman putusan hakim; Kriteria untuk menentukan apakah dapat tidaknya suatu perbuatan dipertanggungjawabkan kepada korporasi, yaitu: bila perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Pasal 46 Rancangan KUHP Nasional menggunakan rumusan secara negatif sebagai berikut: “Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.18 Rancangan UU. 46 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.24-25 Rancangan UU. 45
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
157
3.4. Pembayaran ganti kerugian; 3.5. Pemenuhan kewajiban adat; Dari jenis-jenis pidana itu, hanya pidana denda (Pasal 75 Rancangan KUHP Nasional) dan semua jenis pidana tambahan (Pasal 84-93 Rancangan KUHP Nasional), yang dapat dijatuhkan kepada korporasi.47 Masih menurut Reksodiputro, penjatuhan pidana kepada korporasi (dan pengurusnya) harus dapat dirasakan oleh: 1.
mereka yang secara nyata memimpin atau memberi perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau menimbulkan akibatakibat yang dilarang hukum pidana; mereka ini tak harus secara organisatoris mempunyai hubungan dengan korporasi yang bersangkutan;
2.
para pemegang saham yang mempunyai kekuasaan tertinggi pada korporasi dalam rapat umum pemegang saham;
3.
melalui antara lain, penjatuhan pidana pidana denda yang tinggi.48
Dalam hubungan ini individu, dapat dimintai pertanggungjawaban terbatas sepanjang ia memiliki kedudukan fungsional dalam
Ibid., hal.32 dan hal. 38-42 Rancangan UU. Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kelima) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal.138 dan 143. 47
48
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
158
korporasi yang bersangkutan.49
Sistem pidana denda yang
dikemukakan Rancangan KUHP Nasional, yaitu sistem kategorisasi (Pasal 75 Rancangan KUHP Nasional), sebagaimana dikutipkan pada tabel 4 berikut ini.
Tabel Kategori Pidana Denda. Kategori Denda
Jumlah Maksimum
Keterangan
Kategori I
Rp
150.000
10 kali dari Rp 15.000
Kategori II
Rp
750.000
50 kali dari Rp 15.000
Kategori III
Rp
3.000.000
200 kali dari Rp 15.000
Kategori IV
Rp
7.500.000
500 kali dari Rp 15.000
Kategori V
Rp
30.000.000
2.000 kali dari Rp 15.000
Kategori VI
Rp 300.000.000
20.000 kali dari Rp 15.000
Sumber: Rancangan KUHP Nasional (1999-2000), diolah peneliti/ penulis dengan perbaikan.
Angka Rp 15.000 sebagai dasar perhitungan kategori tersebut merupakan pidana denda paling sedikit, jika tidak
49 Bandingkan dengan Pasal 47 Rancangan KUHP Nasional yang berbunyi: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang mempunyai kedudukan yang fungsional dalam struktur organisasi korporasi.” Lihat: Direktorat Perundangundangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.18 Rancangan UU.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
159
ditentukan besarnya “minimum khusus” pidana denda tersebut (Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional). Pidana denda Rp 15.000 di situ merupakan “minimum umum”. Prinsipnya besarnya “minimum khusus” dan “maksimum khusus” pidana denda ditentukan berdasarkan ketegorisasi tersebut. Cara penentuan pidana denda untuk korporasi, yaitu: minimal ditetapkan Denda Kategori IV dan maksimal kategori lebih tinggi berikutnya (Pasal 75 ayat (6) dan (4) Rancangan KUHP Nasional). Jika di dalam rumusan tindak pidana tidak dicantumkan pidana denda terhadap korporasi, maka pidana denda yang diancamkan minimal Denda Kategori IV, sedangkan maksimal, yaitu: 1. Denda
Kategori
V
dalam
hal
tindak
pidana
yang
disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun; 2. Denda
Kategori
VI
dalam
hal
tindak
pidana
yang
disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.50 Menurut Pembentuk Rancangan KUHP Nasional, dengan sistem kategorisasi ini ini dimaksudkan:51
50 51
Ibid., hal.32 Rancangan UU, dan hal.44 Rancangan Penjelasan UU. Ibid., hal.44 Rancangan Penjelasan UU.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
160
1. diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana; 2. lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter. Barda Nawawi Arief mengemukakan suatu catatan futuristik terhadap sistem kategorisasi pada pidana denda tersebut. Menurut Arief, dalam penerapan kategorisasi pidana denda itu, Rancangan KUHP Nasional mengenal “minimum umum”, “minimum khusus”, dan “maksimum khusus”, tetapi tidak “maksimum umum”. Tak ada “maksimum umum” di situ menyebabkan bervariasinya maksimum pidana denda di luar KUHP. Lebih lanjut ia mempertanyakan perlu tidaknya memberi patokan atau rambu-rambu guna membatasi bervariasinya maksimum pidana denda dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP.52
Sanksi pidana denda maksimal Rp 500 juta
sampai Rp 2 milyar pada UUPK tersebut di atas merupakan salah satu variasi yang melampaui kategorisasi pidana denda yang terdapat pada Rancangan KUHP Nasional itu.53 Meskipun demikian, jumlah denda pada sistem kategorisasi dalam Rancangan KUHP Nasional itu tidak mengalami perubahan, masih serupa dengan naskah pada tahun 1993, juga serupa kategorisasi yang dikutip dalam buku Arief
52 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.178-179. Kritik Arief tersebut tetap relevan dikemukakan di sini, karena tak terdapat perubahan prinsipil pada Rancangan KUHP Nasional (1999-2000) itu. 53 Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.ke-1, 2002), hal. 75.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
161
yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1996. Padahal sejak krisis moneter pada tahun 1997 hingga saat ini, nilai mata uang rupiah terus menerus merosot, hampir-hampir tak ada peningkatan yang signifikan. Mau tidak mau jumlah denda tersebut harus disesuaikan, terutama ketika Rancangan KUHP Nasional itu akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal pidana denda tidak dibayar korporasi terpidana, Pasal 76 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional menentukan sebagai berikut: “Jika denda …tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana”.54 Pengambilan kekayaan atau pendapatan terpidana di sini sebagai upaya eksekusi pelaksanaan pidana denda, namun bukan sebagai pidana pengganti denda yang tidak dibayar55. Lain halnya jika pribadi kodrati sebagai (orang, bukan korporasi) terpidana denda, maka alternatif-alternatif berikut ini dapat diterapkan sebagai pidana pengganti denda yang tidak dibayar itu, yaitu (Pasal 76 ayat (3) Rancangan KUHP):56
Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.33 Rancangan UU. 55 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) – ayat (6) KUHP yang menentukan pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Pidana kurungan pengganti ini minimal 1 (satu) hari dan maksimal 6 (enam) bulan. Pidana ini dapat dijatuhkan maksimal 8 (delapan) bulan, dalam hal pidana denda dinaikkan berkenaan dengan perbarengan (samenloop), pengulangan kejahatan (residivis) atau berkenaan dengan kejahatan dalam jabatan. 56 Ibid. 54
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
162
1.
Pidana kerja sosial pengganti57 minimal 7 (tujuh) jam dan maksimal 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau maksimal 140 (seratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang belum berusia 18 tahun (Pasal 79 ayat (3) dan (4) Rancangan KUHP)58 ;
2.
Pidana pengawasan59 minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun (Pasal 76 ayat (4) butir b Rancangan KUHP);
57 Pasal 79 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional menentukan: “Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial”. Sebelum pidana pengganti ini dijatuhkan, hakim wajib mempertimbangkan: a) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; b) usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; d) riwayat sosial terdakwa; e) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; f) tidak boleh dikomersialkan; g) tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik terdakwa; h) kemampuan terdakwa membayar pidana denda (Pasal 79 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional). Pidana ini dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lain yang bermanfaat (Pasal 79 ayat (5) Rancangan KUHP Nasional). Jika kewajiban pidana kerja sosial ini tak dipenuhi sebagian atau seluruhnya tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan untuk melakukan salah satu dari 3 alternatif berikut ini: a) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial itu; b) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial itu; c) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar (Pasal 79 ayat (6) Rancangan KUHP Nasional). Menurut penjelasan Rancangan KUHP Nasional, pidana kerja sosial diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Tak ada upah/gaji (tidak dibayar) pada pidana kerja sosial tersebut, karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty) sehingga pelaksanaan pidana ini tak boleh dikomersialkan. Adapun riwayat sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapannya secara fisik dan mental dalam menjalani pidana kerja sosial itu di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana. Lihat: Ibid., hal. 35-36 Rancangan UU dan hal.45-46 Rancangan Penjelasan UU. 58 Ibid., hal.35 Rancangan UU. 59 Pidana Pengawasan di sini akan menggantikan apa yang dalam KUHP dikenal sebagai Pidana Penjara Bersyarat (Pasal 14a-14f KUHP) (Pasal-pasal ini diberlakukan pada tahun 1927 berdasarkan Staatsblad 1926 No.251 dan 486 serta Staatsblad 1934 No.172, Lihat: R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1980), hal.33-37). Saleh menjelaskan pidana bersyarat sebagai berikut: “Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tetapi tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
163
3.
Pidana penjara pengganti60 minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 1 (satu) tahun (Pasal 76 ayat (4) butir c Rancangan KUHP).
Jadi, Rancangan KUHP Nasional tidak menghendaki adanya pidana pengganti bagi korporasi yang dijatuhi untuk membayar pidana dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terhukum melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terhukum selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu”. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal. 64. Di dalam Penjelasan Rancangan KUHP Nasional itu, dikemukakan bahwa pidana pengawasan merupakan alternatif pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.42-42 Rancangan Penjelasan UU. Bandingkan penjelasan ini dengan uraian Saleh yang mengemukakan bahwa yang menentukan penjatuhan pidana bersyarat bukanlah pada pidana yang diancamkan atas delik yang dilakukan, melainkan bilamana pidana yang dijatuhkan hakim, yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal.64-65. Menurut Pasal 72 Rancangan KUHP Nasional, pidana pengawasan paling lama 3 tahun (Pasal 73 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional) baru dapat dijatuhkan hakim, bila terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa merupakan dasar pertimbangan penjatuhan pidana ini (Pasal 73 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional). Menurut Penjelasan Rancangan tersebut, pada umumnya pidana pengawasan dijatuhkan terhadap orang yang pertama kali melakukan kejahatan (first offender). Dikemukakan pula di situ: “Penjatuhan pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana…”. Jadi, menurut penulis/peneliti pidana pengawasan tidak dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.30-31 Rancangan UU dan hal.43 Penjelasan UU. Menurut penulis/peneliti (Yusuf Shofie), tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam rancangan tersebut apa yang dimaksud dengan keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa. Sampai di sini barangkali uraian Saleh berikut ini membantu menjelaskannya: “Dalam praktek, hakim menjatuhkan pidana bersyarat bilamana ia berpikir bahwa terhukum cukup perasa dengan peringatan sehingga tidak akan melakukan pidana lagi dan juga akan memenuhi syaratsyarat jika diadakan”. Lihat: Roeslan Saleh, op.cit., hal.65. 60 Bandingkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) – ayat (6) KUHP yang menentukan pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Menurut penulis/peneliti, Rancangan KUHP Nasional tersebut telah menghapuskan pidana kurungan sebagai pidana pokok yang pernah diterapkan KUHP warisan kolonial Belanda (yang diberlakukan atas dasar Undang-undang tanggal 26 Februari 1946 No.1 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-undang No.73 tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Jadi, pidana penjara pengganti (Rancangan KUHP Nasional) ini nanti akan menggantikan apa yang dalam KUHP saat ini disebut sebagai pidana kurungan pengganti.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
164
denda.
Artinya, kejaksaan selaku eksekutor harus terus-menerus
melakukan upaya pembayaran pidana denda itu oleh korporasi terpidana. Dalam hal tak dijumpai lagi kekayaan atau pendapatan korporasi guna pelaksanaan pidana denda itu, tak ada lagi upaya hukum lain; apalagi jika korporasi tersebut telah terlanjur dilikuidasi.
Kesulitan-kesulitan teoritis dan praktik ini membuka
peluang bagi segenap pemegang saham, komisaris, atau pengurus/ direksi korporasi untuk melakukan tindakan-tindakan pengalihan asset-asset korporasi dalam koridor hukum, ketika mereka mulai melihat tanda-tanda
aparat penegak hukum mencium perilaku-
perilaku melanggar hukum korporasi.61 Diantara berbagai pidana tambahan yang mungkin dijatuhkan terhadap korporasi (Pasal 62 Rancangan KUHP Nasional) di atas, - kecuali pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat
62-
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.76. Menurut peneliti/penulis (Yusuf Shofie), Pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat, tak dijatuhkan kepada korporasi, karena menurut Rancangan KUHP Nasional ini: 1) Pidana pemenuhan kewajiban adat dianggap sebanding dengan Pidana Denda Kategori I, dan dapat dikenakan Pidana Pengganti untuk Denda jika kewajiban adat itu tak dipenuhi atau tidak dijalani terpidana (Pasal 93 ayat (3) Rancangan KUHP Nasional); 2) Pidana denda terhadap korporasi minimal ditetapkan Denda Kategori IV dan maksimal kategori lebih tinggi berikutnya (Pasal 75 ayat (6) dan (4) Rancangan KUHP Nasional). Jika di dalam rumusan tindak pidana tidak dicantumkan pidana denda terhadap korporasi, maka pidana denda yang diancamkan minimal Denda Kategori IV, sedangkan maksimal, yaitu: a. Denda Kategori V dalam hal tindak pidana yang disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun; b. Denda Kategori VI dalam hal tindak pidana yang disangkakan/didakwakan kepada korporasi diancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.32-33, 42 Rancangan UU dan hal.50 Penjelasan Rancangan UU. 61
62
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
165
yang kiranya dirasakan sangat kongkrit bagi konsumen korban tindak pidana korporasi, yaitu: pidana pembayaran ganti kerugian. Namun dalam hal pidana ganti kerugian itu tak dibayar korporasi terpidana
akan
menimbulkan
pelaksanaannya nanti.
persoalan
tersendiri
dalam
Pasal 92 ayat (2) hanya memberikan
penyelesaian bagi orang/ pribadi kodrati terpidana yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran ganti kerugian. Terpidana di sini dikenakan pidana penjara pengganti untuk pidana denda yang tak dibayarnya. Disamping tak ditetapkan berapa lama pidana penjara pengganti tersebut, pidana penjara pengganti itu tak mungkin dikenakan kepada korporasi.
Maksimal yang bisa dilakukan
pelaksana eksekusi menurut Rancangan KUHP Nasional__ analog 63 dengan Pasal 76 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional__ , yaitu: pelaksanaan pidana ganti kerugian diambilkan dari kekayaan atau pendapatan korporasi terpidana. Sama halnya dengan penerapan pidana denda (jenis pidana pokok) yang diterapkan pada korporasi, pada penerapan pidana pembayaran ganti kerugian (jenis pidana
63 Menurut Pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional dan Penjelasannya, penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Lihat: Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.2 Rancangan UU, dan hal.7 Rancangan Penjelasan. Menurut penulis/peneliti, yang dilarang di situ adalah penggunaan penafsiran analogi dalam penetapan ada tidaknya tindak pidana, sedangkan analogi dalam hal pelaksanaan pidana ganti kerugian yang tidak dibayar, dalam hal ini diambilkan dari kekayaan atau pendapatan korporasi terpidana, tidak dilarang.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
166
tambahan) pada korporasi, juga tak dikenal adanya pidana pengganti, dalam hal korporasi tak membayar pidana denda dan pidana pembayaran ganti kerugian. 3. Dimensi Baru Hukum Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Terdapat 3 (tiga) dimensi baru dengan diundangkannya UUPK dengan berbagai variasi sanksi pidananya.
Pertama,
dikedepankannya fungsionalisasi hukum pidana, dimana hukum pidana digunakan sebagai primum remedium.64 melalui instrumen hukum pidana administratif penal
law;
verwaltungsstrafrecht),65
Pemidanaan (administrative
dilakukan
atas
dasar
kepentingan masyarakat, dalam hal ini konsumen yang menjadi korban tindak pidana korporasi (corporate crime) dan tidak berdasarkan tingkat kesalahan subjektif si pelaku tindak pidana. Jenis sanksi pidana tambahan menurut UUPK, seperti: perintah penghentian kegiatan tertentu
yang
mengakibatkan kerugian
konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, dan pencabutan izin usaha merupakan penerapan hukum pidana administratif.
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.77. Lihat: Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 Nopember 1989, hal.4-5; Utrecht, Hukum Pidana I (Bandung: Universitas, 1967), hal.75; dan Sudarto (b), op.cict., hal.63. 64 65
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
167
Kedua, terdapat pergeseran pandangan modern tentang pidana denda.66
Bila semula pidana denda dijatuhkan terhadap
delik-delik ringan, berupa pelanggaran ringan atau kejahatan ringan,67 UUPK tak melihat kemungkinan penjatuhan sanksi pidana denda ini sebagai pelanggaran atau kejahatan ringan. Sanksi pidana denda tersebut sebagai alternatif lain selain penjatuhan pidana penjara.
Korporasi yang melanggar UUPK tak mungkin dijatuhi
pidana penjara; pidana penjara hanya mungkin dijatuhkan terhadap para pengurus/direksi korporasi yang bersangkutan. Menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan tertentu penjatuhan pidana denda lebih berfaedah daripada pidana perampasan kemerdekaan.68 Tak ada penjelasan lebih lanjut keadaan tertentu yang dimaksud Saleh tersebut. Keadaan tertentu tersebut bisa jadi sifatnya kasuistis, tidak dapat disamakan antara satu kasus yang satu dengan kasus lainnya. dapat
Relevan dengan jenis sanksi pidana yang
dijatuhkan terhadap korporasi (sanksi pidana denda,
misalnya), keadaan tertentu di sini dapat ditafsirkan dalam hal subjek tersangka/terdakwanya adalah korporasi.69 Ketiga, pidana pembayaran ganti rugi mulai mendapatkan tempat di dalam sistem pidana di Indonesia.70 Bila semula sistem
Yusuf Shofie (a), op.cit., hal.77. Andi Hamzah, op.cit., hal.43. 68 Roeslan Saleh, op.cit., hal.74. 69 Yusuf Shofie (a), op.cit., hal. 77. 70 Ibid. 66
67
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
168
peradilan
pidana
sangat
kaku
terpaku
pada
mekanisme
“Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian” (Bab XIII Pasal 98-101 KUHAP) __ seperti ditunjukkan penulis/peneliti pada satu pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas __ kini Jaksa/Penuntut Umum tak perlu ragu lagi memasukkan tuntutan pidana ganti rugi dalam surat dakwaannya pada perkara-perkara tindak
pidana
korporasi,
dimana
konsumen
individu
atau
masyarakat konsumen luas menjadi korbannya. Ketiga dimensi baru dalam UUPK ini menampung aspirasiaspirasi
keadilan
konsumen
pembangunan ekonomi.
yang
sering
dilupakan
dalam
Dari perspektif korban, secara umum
UUPK menjanjikan perbaikan kondisi hukum guna melindungi mereka yang lemah, dalam hal ini konsumen.
Lebih jauh UUPK
merupakan salah satu perwujudan reformasi hukum, dimana aspirasi-aspirasi masyarakat internasional dan nasional tentang perbaikan-perbaikan nasib mereka yang termarginalisasi oleh hukum juga telah tertampung di dalamnya.71
71
Ibid., 77-78. Hal ini tercermin pada butir-butir konsiderans UUPK berikut ini:
c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;”
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
169
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Kompilasi
terhadap
kebiasaan
dalam
hukum
perlindungan
konsumen ini sampai pada kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan, hukum perlindungan konsumen yang sekarang dijadikan hukum positif pada dasarnya merupakan kebiasaankebiasaan yang sebelumnya sudah dipraktekkan dalam praktek hubungan antara produsen dan konsumen. 2. Dalam
prateknya,
masih
terdapat
kebiasaan
yang
merugikan
konsumen. Oleh karena itu, sesungguhnya praktek kebiasaan ada pada saat ini masih didominasi oleh kepentingan pihak pelaku usaha. 3. Kebiasaan yang berkembang dalam hukum perlindungan konsumen terdapat dalam berbagai aspek perlindungan konsumen seperti sistem pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, standardisasi produk, sertifikasi halal, pengawasan obat dan makanan, peran lembaga non pemerintah, penyelesaian sengketa, cara penjualan produk, klausula baku dan penerapan sanksi terhadap korporasi. B.
Saran
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
170
Kompilasi
hukum
perlindungan
konsumen
ini
melahirkan
beberapa saran: 1. Dalam kaitannya dengan pembinaan dan pengawasan pemerintah, perannya masih sangat diperlukan atau bahkan perlu ditingkatkan untuk mengendalikan agar
praktek-praktek kebiasaan mengarah
kepada sistem industri dan perdagangan yang adil atau melindungi kepentingan konsumen. 2. Peran lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat perlu ditingkatkan, dengan terus meningkatkan profesionalisme dari LPKSM tersebut. 3. Hukum perlindungan konsumen, termasuk yang bersumber pada kebiasaan masih perlu disosialisasikan secara nasional agar dapat dipahami oleh semua kelompok kepentingan yang terkait dalam hubungan produsen dan konsumen. 4. Perlu dilakukan kompilasi lanjutan terhadap beberapa aspek yang belum tercakup dalam kompilasi ini, misalnya tentang sistem ganti rugi, penyelesaian sengketa.
Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
171
Dias, R.W. M. Jurisprudence, (1985).
Butterorths, London, Fith Edition,
Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Pergolakan Ideologi LSM Indonesia) (Cet.Kesatu) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986). Kanniah, Rajeswari. International Law and the Consumer Interest: A Select Annotated Bibliography of International Instruments relating to Consumer Protection, Penang, Malaysia: International Organization of Consumers Unions Regional Office for Asia and Pasific, April 1990; dan “Consumers International and the FCTC”, The AP Consumer Vol.28 2/2002, Kualalumpur, Malaysia: Consumers International Regional Office for Asia dan the Pasific. Mahmodd, 1 NIk Ramlah. “Unfair Terms In Malaysian Consumer Contracts – The Need For Increased Judicial Creativity” dalam Developing Consumer Law in Asia, Faculty of Law University of Malaya & International Organization of Consumers Unions, Regional Office for Asia and the Pacific (1994) h. 127-130. Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 Nopember 1989, hal.4-5; Utrecht, Hukum Pidana I (Bandung: Universitas, 1967), hal.75; Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992). Muladi, Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime. New York: The Free Press, 1983.., hal.93. Oughton, David dan Lowry, John. Textbook on Consumer Law. London: Blackstone Press Ltd, 1997., hal.42-43. Pandjaitan, Hinca. “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah: Suatu Catatan Kritis Legalistik”, makalah pada Diskusi Panel dengan tema “Industri Rokok Tak Kenal Kompromi dengan Peraturan Pemerintah”, di Jakarta, 22 Februari 2001, diselenggarakan Lembaga Pengkajian ESCOM dan R & R Strategic Communications, hal.16.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
172
Prasad, Aduru Rajendra. “The Regulation of Unfai Contracts – An Indian Perspective”, dalam Developing Consumer Law in Asia, Faculty of Law University of Malaya & International Organization of Consumers Unions, Regional Office for Asia and the Pacific (1994) h. 118. Reksodiputro, Mardjono. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kelima) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995). ------------------- Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Kedua) (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995). Republik Indonesia, Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan KUHP Nasional (Jakarta: 1999-2000), hal.24-25 Rancangan UU. Saidi, Zaim. Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1995) Sahetapy, J.E.. (ed), Bunga Rampai Viktimisasi (Karya Ilmiah Para Pakar Hukum) (Bandung: Eresco, 1995). Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.74-75. Salman S H.R. Otje dan Damian, Eddy (Ed.). Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Mochtar Kusumaatmadja Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja sama dengan Penerbit Alumni Bandung, 2002. Saragih, Sebastian. Membedah Perut LSM (Jakarta: Puspa Swara, 1995), Santosa, Mas Achmad dan Sulaiman N. Sembiring, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing) (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law/ICEL, 1997). Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet.ke-1, 2000), hal.244. ------------------Pelaku Usaha, Konsumen dan Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet.ke-1, 2002).
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
Tindak
Pidana
173
------------. “Menyoal Status Lembaga Perlindungan Konsumen”, artikel Koran Tempo, 11 Februari 2002. -------------. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undangundang Perlindungan Konsumen (UUPK): Teori dan Praktek Penegakan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, Cet.ke-1). Silk, Thomas (ed.). Filantropi dan Hukum di Asia: Tantangan untuk Indonesia (Jakarta: Asia Pasific Philantrophy Consortium, 1999). Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (Bogor: Politeia, 1980). Sudarto Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983). --------------- Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44-48. ................. Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), Topatimasang, Roem, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo (ed). Merubah Kebijakan Publik: Panduan Pelatihan Advokasi untuk Organisasi Non Pemerintah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, REaD, dan INSIST, 2000), hal.iii-vi. Jurnal dan Surat Kabar: “Perjalanan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Perlindungan Konsumen”, Warta Konsumen, 1990: 194, Tahun XVII, Mei 1990 (Macetnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen), hal.9 Harian Sinar Harapan, 11 Maret 2003 Kompas, 28 . 2000; “PT BAT Indonesia Bantah Promosi Pall Mall Langgar Norma”, Kompas, 4 Oktober 2000; “Dirjen POM Dukung Somasi terhadap Pall Mall”, Kompas, 2 Oktober 2000; dan “Copotlah Baju dan Isaplah Pall Mall”, Kompas, 3 Oktober 2000.
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
174
Laporan Kompilasi Bidang Hukum Perlindungan Konsumen •
175