JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
Perlindungan Konsumen Asuransi & Permasalahannya. Ketut Sendra
Abstract
Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Adapun tujuan Perlindungan Konsumen untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, mengangkat harkat dan martabat konsumen, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan,dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen,serta meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan yang menjamin kelangsungan usaha, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.Untuk itu prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau menjadi prinsip perlindungan konsumen pada jasa keuangan. Permasalahannya apakah penerapan perlindungan konsumen pada jasa keuangan Asuransi telah memenuhi prinsip dan tujuan dari perlindungan konsumen tersebut. Jika penerapannya masih jauh dari harapan, langkahlangkah apa saja yang dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau Konsumen Asuransi agar kegiatan pada jasa keuangan Asuransi terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Kata kunci: Perlindungan Konsumen asuransi, permasalahannya.
1. Pendahuluan Usaha asuransiyaitu usaha jasa keuangan asuransi yang dengan menghimpun
dana
masyarakat
melalui
pengumpulan
premi
Asuransi
memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak 1|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang (Pasal 2 ayat a. Undangundang No. 2 Tahun 1992 tengang Usaha Perasuransian). Sebagai Pelaku Usaha Jasa Keuangan Asuransi yang menghimpun dana masyarakat, mewajibkan Pelaku Usaha memberikan perlindungan terhadap Konsumennya sebagai pengguna produk dan/atau layanannya. Adapun prinsip-prinsip yang wajib diterapkan oleh Pelaku Usaha dalam Perlindungan konsumen sektor jasa Keuangan antara lain: a. memenuhi asas transparansi yaitu pemberian informasi mengenai produk dan/atau layanan kepada konsumen, secara jelas, lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti; b. memenuhi asas perlakuan yang adil yaitu perlakuan konsumen secara adil dan tidak diskriminatif (diskriminatif maksudnya memberlakukan pihak lain secara berbeda berdasarkan suku, agama, dan ras); c. memenuhi asas keandalan yaitu segala sesuatu yang dapat memberikan layanan yang akurat melalui sistem, prosedur, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang andal; d. memenuhi asas kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen yaitu tidakan yang memberikan perlindungan, menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi konsumen, serta hanya menggunakannya sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui oleh konsumen, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan e. memenuhi asas penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau,(Pasal 2, Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan). Penerapan prinsip-prinsip yang wajib dilaksanakan oleh Pelaku Usaha dalam Perlindungan konsumen agar dapat mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Oleh karena Otoritas Jasa keuangan (OJK) hadir sebagai lembaga yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara 2|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, (Pasal 4Undang-undang No. 21 Tahun 2011).
Bagaimana OJK dapat dengan kewenangannya melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikansehingga mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, maka OJK menerbitkan peraturan OJK tentang
Perlindungan
1/POJK.07/2013).Agar
Konsumen Perlindungan
Jasa
Keuangan
Konsumen
(POJK
dapat
No.
memenuhi
asaspenanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK menerbitkan POJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.
Dengan
terbitnya
beberapa
peraturan
yang
mengatur
tentang
Perlindungan Konsumen pada jasa keuangan, permasalahannya yaitu bagaimana Pelaku Usaha dapat segera menyesuaikan dan bagaimana juga Konsumen dan masyarakat luas memiliki pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan serta kemampuan untuk mengelola keuangan dengan lebih baik. Adapun usaha yang dapat dilakukan oleh OJK dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan yaitu usaha sosialisasi dan literasi pada jasa keuangan dengan tujuan mempercepat penerapan POJK tersebut. OJK harus segera melakukan sosialisasi dan kegiatan lain agar Pelaku Usaha dapat segera melakukan penyesuaian terhadap POJK tersebut sesuai dengan yang diatur pada Pasal 54 (Ketentuan Peralihan POJK No. 1/POJK.07/2013) yaitu bahwa perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan OJK ini wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan ini, terhitung satu tahun sejak diundangkan (Peraturan ini diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 artinya tinggal sebulan lagi), sedangkan pemberlakuan ketentuan POJK No. 1/POJK.07/2014 terhitung sejak diundangkan yaitu tanggal 23 Januari 2014.
Untuk mempercepat sosialisasi POJK tersebut dapat dilakukan dengan memberikan seminar, workshop, dan bentuk sosialisasi lainnya agar Pelaku 3|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
Usaha dapat segera menyesuaikan dan melaksanakannya dengan baik, dan juga melakukan literasi keuangan seperti peluncuran Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan untuk seluruh industri keuangan pada Selasa, 19 Nopember 2013, dengan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola keuangan. Adapun yang dimaksud dengan Literasi Keuangan yaitu rangkaian proses atau aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), keyakinan (confidence), dan keterampilan (skill) konsumen dan masyarakat luas sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan lebih baik.
Selain OJK melakukan sosialisasi ke Pelaku Usaha Jasa keuangan, OJK juga melaksanakan literasi keuangan dan inklusi keuangan atau keluasan mengakses sektor keuangan bagi seluruh masyarakat. Program ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri perasuransian nasional, dan respons industri asuransi terkait program inklusi keuangan secara timbal balik yang dapat menentukan keberhasilan program itu. Inklusi keuangan harus dapat terefleksikan dalam industri asuransi, di mana edukasi yang terus-menerus menuju pemahaman yang lebih baik akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan memahami pentingnya asuransi. Inklusi keuangan adalah kemampuan individu untuk mengakses produk dan jasa keuangan dan program ini mulai diluncurkan pada 29 Desember 2010 dengan tujuan memperluas akses masyarakat terhadap jasa keuangan.
2. Permasalahan dalam Perlindungan Konsumen
a. Perlindungan Konsumen dan permasalahannya yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999.
Lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. 4|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pada Bab-III bagian pertama mengatur Hak dan Kewajiban Konsumen. Pasal 4, mengatur tentang hak Konsumen yaitu: a hak…...; c. hakatas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. ….; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5, mengatur tentang kewajiban Konsumen yaitu: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. mengikuti……..perlindungan konsumen secara patut.
Berdasarkan
ketentuan
Pasal
5
ayat
a.
bahwa
Konsumen
berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Dalam jasa Asuransi, Konsumen memiliki kewajiban untuk membaca dan memberikan keterangan yang jujur dan akurat pada aplikasi asuransi sebelum aplikasi tersebut ditandatangani. Demikian pula wajib membaca isi polis dengan tujuan untuk membuktikan apakah polis yang diterimanya sesuai dengan yang ditawarkan oleh Pelaku Usaha dan 5|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
atau yang diminta melalui lembar aplikasi asuransi (SPAJ/SPPA) yang ditandatangani.
Bab-III bagian kedua mengatur Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha. Pasal 6 mengatur tentang hak Pelaku usaha yaitu: a. hak…..; b. hak untuk mendapatkan perlindungan hokum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hokum sengketa konsumen; d. hak…..; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.Pasal 7 mengatur tentang kewajiban Pelaku Usaha yaitu: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memberlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin…..; e. memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji…………………yang diperdagangkan (dalam usaha asuransi dikenal dengan istilah masa free look atau examination provision); f. memberi……; g. memberi konpensasi, ganti rugi……..sesuai dengan perjanjian.
Pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam usaha asuransi khususnya dalam penjualan produk asuransi pada umumnya penjualan menggunakan brosur, leaflet, ilustrasi, dan keterangan lain sebagai alat peraga penjualan (sales kits dan sales talk) yang diharapkan dapat mendukung kelancaran proses penjualan. Oleh karena itu semua peraga dan alat penjualan diharapkan tidak terjadi penyimpangan atau diharapkan sesuai dengan kondisi produk yang dibelinya.
Pasal
9
ayat
(1)
k.
Pelaku
usaha
dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak 6|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
benar, dan/atau seolah-olah: k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 18 Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, pada Ayat (1) mengatur bahwa Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau penjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab Pelaku Usaha; b sampai dengan h. …..secara angsuran; Ayat (2) Pelaku Usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letaknya…….yang pengungkapannya sulit
dimengerti;
Ayat
(3)
Setiap
klausula
baku
yang
telah
ditetapkan…memenuhi ketentuan….pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hokum; Ayat (4) Pelaku Usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Dari landasan atau tujuan diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 ini memiliki tujuan yang sangat baik agar pengguna produk dan/atau jasa dapat terlindungi, akan tetapi yang menjadi permasalahannya yaitu UU ini lebih menekankan pada pemberian perlindungan kepada konsumen pengguna produk nyata. Indikasi ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan larangan untuk Pelaku Usaha yang memproduksi dan menjual barang nyata dan/atau layanannya. Selain larangan tersebut, UU ini juga mengatur dan menegaskan yaitu melarang dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau penjanjian. Oleh karena itu, UU ini memiliki permasalahan jika diterapkan pada jasa keuangan khususnya jasa keuangan Asuransi, karena perjanjian pada umumnya bersifat adhesif (baku atau standar).
Perkembangan bentuk-bentuk kontrak bisnis dewasa ini, yaitu banyaknya pemberlakuan kontrak baku (klausula eksonerasi) dan salah satunya telah diterapakannya pada kontrak asuransi. Praktek penggunaan klausula ini, sebagai suatu kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat dunia
7|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
usaha yang membutuhkan efisiensi di dalam aktivitasnya, bahkan menunjukkan gejala-gejala peningkatan sebagai dampak globalisasi dunia.
b. Perlindungan Konsumen dan permasalahannya yang diatur dalam Jasa Keuangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31, UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Konsumen dan masyarakat diatur dengan Peraturan OJK. Artinya OJK perlu menetapkan Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tersendiri.
Pasal 1 ayat 2, mengatur tentang Konsumen adalah pihak-pihak yang mendapatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di LJK antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sector jasa keuangan. 3. Perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku pelaku usaha Jasa keuangan. Sedangkan Konsumen Asuransi adalah pihakpihak yang membayar premi dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia dari perusahaan perasuransian.
Adapun yang dimaksud dengan Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian, (Pasal 1 ayat 7).
8|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
Pada Pasal 3 mengatur bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Ketentuan ini sangat berkaitan dan memenuhi prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) bagi Konsumen Asuransi yang diatur pada Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), yang mengatur bahwa “Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan”. Artinya Konsumen Asuransi wajib memberikan informasi dan/atau dokumen yang diperlukan Pelaku Usaha jasa keuangan Asuransi dengan jujur dan akurat, benar dan tidak menyesatkan, dan Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mengatur bahwa “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jika masing-masing pihak dapat melaksanakan perjanjian dengan penuh itikad baik maka perjanjian berjalan sesuai dengan tujuan. Artinya Pelaku Usaha berhak untuk memastikan adanya itikad baik konsumen apakah konsumen telah memberikan data dan informasi yang memenuhi risiko yang dapat dijamin, jadi Pelaku Usaha wajib
memastikan
keakuratannya,
kejujurannya,
kejelasannya
dan
kepastiannya atau yang tidak menyesatkan. Pelaku Usaha Asuransi tidak dapat hanya dapat memastikan bahwa informasi dan/atau dokumen yang diberikan pada aplikasi asuransi (SPAJ/SPPA) yang ditandatangani oleh Konsumen sebagai sumber informasi yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan, apalagi aplikasi tersebut dikondisikan dan/atau dicetak oleh pihak Pelaku Usaha, sehingga kewajiban untuk memberikan informasi yang benar bukan menjadi kewajibannya, karena bagaimana mengisi dan memberikan informasi yang benar sangat tergantung pada apa yang diharapkan oleh Pelaku Usaha yang dituangkan pada aplikasi yang dicetaknya. Oleh karena itu Pelaku Usaha berkewajiban memastikan yaitu dengan memeriksa kelengkapan dan kebenaran pengisian aplikasi, 9|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
melakukan rekonfirmasi kepada calon konsumen, meminta kepastian dan kejujuran pengisian aplikasi tersebut. Artinya seorang Underwriter wajib memastikan kejujuran dan keakuratan informasi yang diterimanya sehingga dapat
memastikan
tingkat
risiko
konsumen
untuk
dijamin/diproteksi.Jangalah melakukan underwriting pada saat klaim asuransi terjadi. Kewajiban Pelaku usaha dalam hal ini sangat berbeda dengan prinsip pada perdagangan lainnya, yaitu Pelaku Usaha yang wajib berhati-hati untuk menerima risiko konsumen, sedangkan pada perdagangan lainnya pembelilah yang wajib berhati-hati dalam membeli barang.
Itikad baik bukan saja harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian. Agar prinsip itikad baik ini benar-benar terpenuhi sangat diharapkan kepada pihak Tertanggung untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan oleh pihak Penanggung. Pihak penganggung juga harus beritikad baik dengan menjelaskan luas jaminan yang diberikan dan hak-hak dari Tertanggung. Permasalahannya dalam penerapan asas itikad baik pada kontrak asuransi adalah bahwa Penanggung yang harus berhati-hati dalam menerima risiko calon Tertanggung yang dijaminnya, dan sangat berbeda dengan kontrak penerapan asas itikad baik dalam jual-beli produk nyata (tangible product) yaitu akan berlaku doktrin “caveat emptor” atau “let the buyer be ware” yaitu bahwa “pembelilah yang harus berhati-hati” sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan jasa.
Doktrin caveat emptor atau let the buyer beware yaitu bahwa pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. Doktrin ini memiliki makna bahwa konsumen sendiri yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas perlindungan terhadap kepentingannya. Doktrin ceveat emptor, yaitu suatu paham perlunya konsumen untuk senantiasa
10 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
berhati-hati, karena pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menunjukkan cacat, kecuali jika diminta dan harus menyatakannya.
Perihal itikad baik diatur lebih lanjut pada Pasal 4, ayat (1) POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang mengatur bahwa: “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan”. Ketentuan ini mengatur itikad baik yang wajib dilaksanakan oleh Pelaku Usaha, dan ketentuan itikad baik ini juga diatur pada Pasal 27 ayat (4) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, yang mengatur bahwa: “Agen Asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertanggung tentang program Asuransi yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban calon Tertanggung”. Artinya itikad baik Pelaku Usaha wajib ditegakkan sebelum (penawaran), saat (aplikasi diakseptasi menjadi polis) dan sesudah perjanjian (after sales service). Jika itikad baik ini dilakukan dengan baik oleh Pelaku Usaha, maka pertanggungan dan perlindungan terhadap konsumen dapat berjalan efektif.
Itikad baik Konsumen tidak diatur dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan
Konsumen,
demikian
juga
dalam
Undang-undang
Perasuransian No. 2 Tahun 1992 yang lebih banyak mengatur tentang Kelembagaan dari Pelaku Usahanya. Adapun yang mengatur “Kewajiban Konsumen” di atur pada Pasal 5 ayat a. (UU No. 8 Tahun 1999, Perlindungan Konsumen), yaitu bahwa Konsumen berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Artinya terdapat ketentuan yang mengatur agar Konsumen wajib untuk membaca dan mengikuti petunjuk yaitu membaca polis Asuransi, jika diketahui isi kontrak Asuransi terdapat perbedaan atau penyimpangan dari yang pernah diperjanjikan baik secara lisan maupun tertulis pada ilustrasinya, maka
11 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
Konsumen dapat mengembalikan atau menolak pertanggungan, dengan tujuan keamanan atau kelangsungan pertanggungan.
Pasal 6 POJK No. 1/POJK.07/2013, mengatur bahwa: (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan; (2) ……….,wajib menyampaikan alasan penundaan atau penolakan kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan. Artinya Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi kepada konsumen perihal aplikasi dan/atau premi asuransi sudah diterima, informasi tentang adanya addendum polis berikut alasannya, penerimaan dokumen klaim berikut alasannya penundaan keputusannya, informasi persetujuan pembayaran klaim berikut alasannya dan/atau penolakan berikut alasannya. Sebagai wujud pelayanan, Pelaku Usaha dapat memberikan akses dan/atau memberikan informasi kepada Konsumen jika membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan/atau pengaduan untuk dapat menyelesaikan sengketanya, (sesuai ketentuan yang di atur pada Pasal 5 dan prinsip dasar diberlakukannya perlindungan konsumen sesuai yang diatur Pasal 2 Peraturan ini).
Pasal 7 POJK No. 1/POJK.07/2013, mengatur bahwa: (1) Pelaku Usaha
wajib
menggunakan
istilah,
frasa,
dan/atau
kalimat
yang
sederhanadalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang: a. memuat hak dan kewajiban Konsumen; b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara hokum. Pasal ini memiliki korelasi dengan ketentuan yang diatur atau dipersyaratkan pada SPAJ atau SPPA (aplikasi asuransi). Artinya aplikasi asuransi tersebut menjadi dasar dari pertanggungan, jika Konsumen salah dan/atau tanpa sengaja melakukan kesalahan dalam mengisi dan atau memberikan keterangan pada aplikasi tersebut yang dapat dilakukan karena kekurangpahaman dalam mengisi dan/atau karena atas petunjuk yang salah dilakukan oleh perantara/agen dari Pelaku Usaha karena dengan tujuan untuk mencapai target penjualan dapat 12 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
menyebabkan memposisikan Konsumen asuransi pada posisi yang sangat lemah. Pada umumnya aplikasi asuransi yang disusun dan dipersiapkan oleh Pelaku Usaha secara standar dengan kalimat dan bahasa sesuai pengetahuan dan kebutuhan Pelaku Usaha yang mana Konsumen belum tentu mudah untuk memahaminya, seperti: Apakah Anda saat ini pernah/sedang mendapatkan perawatan dan pengobatan atas penyakit-penyakit berikut ini: cacat, hypertensi, diabetes militus, ………s/d 14 jenis penyakit. Contoh tersebut dari kalimat sangat jelas tetapi dapat menjebak Konsumen yaitu: 1. Apakah Konsumen itu dapat mengingat penyakit yang pernah dideritanya sejak lahir?, Calon Konsumen saat ini sudah berumur 45 Tahun, artinya jika Konsumen tidak jujur memberikan informasi atas penyakit yang pernah dideritanya pada usia 5 Tahun atau 40 tahun yang lalu, berarti Konsumen telah melanggar Pasal 251 KUHD, Pasal 5 ayat b. UU No. 8 Tahun 1999. 2. Jika Calon Konsumen menyadari pernah mendapatkan perawatan karena penyakit Diabet, harus menjawab apa dalam aplikasi tersebut, karena tidak ada pilihan salah satu atau beberapa penyakit berikut ini. 3. Jika diperhatikan “cacat” juga dimasukkan dalam ketentuan penyakit, padahal cacat itu bukan penyakit, dan banyak contoh lainnya.
Calon Konsumen wajib memperhatikan ketentuan yang diatur pada aplikasi asuransi dan pada bagian terakhir pada aplikasi asuransi sebelum Calon Konsumen menandatangani aplikasi atau sebelum lembar atau halaman laporan agen asuransi terdapat “Kuasa dan Pernyataan Pemegang Polis/Tertanggung” yang dapat menghilangkan hak-hak Konsumen, yaitu yang mengatur bahwa: “Saya sebagai Calon Pemegang Polis/Tertanggung telah mendapatkan penjelasan dari agen Pelaku Usaha dengan jelas, jujur dan akurat, serta dengan ini saya menyatakan bahwa saya telah membaca dan mengisi sendiri aplikasi asuransi dengan benar, jujur dan akurat, jika dikemudian hari…………”. Pada umumnya calon Konsumen tidak pernah menyadari dan tidak pernah mengetahui bahwa terdapat ketentuan yang dapat menghilangkan dan/atau membatasi hak-hak Konsumen. Pasal 11 Peraturan ini mengatur bahwa: sebelum Konsumen menandatangani 13 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen, yang memuat rincian biaya, manfaat, dan risiko, serta prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku Usaha.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 POJK ini, merupakan kewajiban Pelaku Usaha untuk menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan/atau dipahami Konsumen, memberikan penjelasan dan jika terdapat bahasa asing harus disandingkan dengan Bahasa Indonesia. Demikian juga yang diatur pada Pasal 8 Peraturan ini yaitu mewajibkan Pelaku Usaha menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan; yang dibuatkan secara tertulis. Pasal 9 Peraturan ini juga mewajibkan Pelaku Usaha untuk memberikan
pemahaman
kepada
Konsumen
mengenai
hak
dan
kewajibannya dan juga memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung konsumen (Pasal 10).
Pasal 19 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, mengatur bahwa: “Polis atau bentuk perjanjian Asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban Penanggung dan kewajiban Tertanggung, atau mempersulit Tertanggung mengurus haknya”. Berdasarkan ketentuan pasal ini bahwa aplikasi Asuransi merupakan dokumen yang menjadi dasar pertanggungan sehingga merupakan satu kesatuan dengan polis Asuransi (intire contract). Jika dalam aplikasi tersebut terdapat kesalahan yang dilakukan oleh calon Tertanggung/Pemegang Polis baik sengaja maupun tidak sengaja dapat mempengaruhi kondisi pertanggungan dikemudian hari.Bagaimana kesalahan yang dilakukan Calon konsumen Asuransi tidak disengaja dan/atau kekurang pengetahuannya, kekurang pahamannya untuk menjawab dan memberikan informasi yang benar karena kalimat dan /atau kata-kata yang sulit dimengerti dan/atau calon Konsumen hanya diminta untuk menandatangani aplikasi Asuransi sebagai bukti persetujuannya 14 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
membeli produk Asuransi. Artinya Agen sebagai wakil Pelaku Usaha tidak memberikan penjelasan materi aplikasi Asuransi dan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak serta tidak memberikan pemahaman atas risiko yang dapat ditimbulkan apabila tidak memberikan jawaban yang jelas, jujur, akurat dan tidak menyasatkan (Pasal 7 b. UU No. 8 tahun 1999 jo. Pasal 3 POJK No. 1/POJK.07/2013)
Konsumen berhak memutuskan atau tidak menyetujui adanya perubahan terhadap persyaratan produk dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapaun. Informasi tersebut wajib diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha, (Pasal 12 ayat (2), POJK No. 1/POJK.07/2013).
Sedangkan Pasal 21 POJK ini juga mengatur bahwa Pelaku Usaha wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. Artinya Pelaku Usaha dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan (Pasal 17) seperti: pembelian polis asuransi untuk menjamin kepentingan Pelaku Usaha Perbankan dalam kredit perumahan; pembelian polis asuransi kendaraan dan/atau personal accidental untuk
menjamin
kepentingan
Pelaku
UsahaPembiayaan,
dan
lain
sebagainya. Dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi (email, short message system (sms), dan voice mail) tanpa persetujuan Konsumen.
Pasal 54 (Ketentuan Peralihan) POJK ini, mengatur bahwa perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan OJK ini (satu tahun sejak diundangkan, diundangkan tanggal 6 Agustus 2013) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan ini yaitu: (1) …….wajib disusun sesuai dengan peraturan perundangundangan; (2) …..dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan 15 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
Pelaku
Usaha
melalui
media
elektronik;
(3)
Perjanjian
baku
sebagaimana…..dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak……; d. mengatur
tentang
……hilangnya
kewajiban
kegunaan
pembuktian
produk
dan/atau
oleh
Konsumen,
layanan
yang
jika dibeli
Konsumen,……; e. memberikan hak kepada Pelaku Usaha untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan…..yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha untuk pembebanan …….yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Perlindungan konsumen Asuransi cukup banyak diatur pada Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu yang mengatur tentang kontrak Asuransi atau polis Asuransi di atur pada Bab-III tentang polis dari Pasal 7 s/d Pasal 18, dan ketentuan perihal Penyelesaian Klaim Asuransi. Adapun yang perlu mendapatkan perhatian antara lain:
Pasal 15 yang mengatur bahwa “Dalam polis Asuransi dilarang dicantumkan suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan bahwa Tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga Tertanggung harus menerima penolakan pembayaran klaim”, Pasal 16 yang mengatur bahwa “Dalam polis asuransi dilarang dicantumkan ketentuan yang dapat ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan polis”, Pasal 17 mengatur bahwa “Ketentuan dalam polis Asuransi yang mengatur
16 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 1, Februari 2014
mengenai pemilihan Pengadilan dalam hal terjadi perselisihan yang menyangkut perjanjian Asuransi, tidak boleh membatasi pemilihan Pengadilan hanya pada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan Penanggung”.
Pasal 27, mengatur bahwa Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak adanya kesepakatan antara Tertanggung dan Penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar.
Daftar Pustaka: 1. Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada
Media, 2004. 2. CII, Legal Aspect of Insurance (P03 Study Course). 3. Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Op.cit., hlm. 49; Shidarta,
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia 4. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawa Mutlak, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI, 2004, hlm. 49, mengutip David G. Owen, M.Stuart Madden, Mary J. Davis, Madden & Owen on Product Liability, Third edition, volume 1, St. Paul Minnesoto: West Group, 2000 5. Aman Sinaga, Pemberdayaan Hak-hak Konsumen di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Deperindag RI – Yayasan Gemainti, 2001
17 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014