Potret Kecil Transfer Pricing dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia Oleh: Agung Budilaksono – Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
Abstrak Transfer pricing merupakanan masalah umum perusahaan multinasional didunia. Transfer pricing muncul akibat adanya pergerakan menuju kesimbangan pajak wilayah dan adanya peluang abritase dalam perdagangan dunia. Untuk mengatasi ini PBB telah mengedepankan konsep Arm’s Length (Harga Wajar) artinya dengan kriteria tertentu transfer pricing masing dimungkinkan asalkan memiliki harga yang wajar. OECD bahkan juga telah membuat program untuk mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) di kalangan perusahaan multinasional yang di dalamnya termasuk program penanganan aktivitas transfer pricing. Indonesia juga sebenarnya telah memiliki perangkat hukum untuk menangani masalah transfer pricing yang terdapat dalam pasal 18 UU PPh. WCO dan OECD pun telah beberapa kali membahas penanganan masalah transfer pricing dalam dua konferensinya yaitu bulan Mei 2006 dan Mei 2007. Kesimpulan dari semua aktivitas tersebut menekankan perlunya kerjasama global untuk mengintegrasikan aturan-aturan yang terkait dengan kegiatan transfer pricing agar jangan sampai terjadi pengenaan pajak berganda namun penerimaan negara tetap dapat dipertahankan , kemudian melakukan sosialisasi melalui pelatihan-pelatihan global dan pengawasan yang intensif. Kata Kunci: Transfer Pricing, Penghindaran Pajak, Base Erosion and Profit Shifting Pendahuluan Harian Jurnal.com edisi 12 April 2013 mengutip pernyataan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo bahwa praktik transfer pricing oleh perusahaan-perusahaan multinasional marak dilakukan di Indonesia. Diperkirakan lebih kurang 4000 perusahaan multinasional tidak membayar pajak dalam tujuh tahun terakhir. Transfer pricing atau pengalihan keuntungan memungkinkan wajib pajak mencari manfaat dari Negara- negara berpajak rendah (tax heaven country). Perusahaan multinasional menggeser barang-barang/bahan baku produksinya ke Negara- negara berpajak rendah tersebut untuk mendapatkan keuntungan (profit shifting). Dampak akibat pergeseran ini adalah penerimaan pajak di Indonesia menjadi menurun.Menurut mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo,transfer pricing di sektor pajak ini hanya bisa disikapi secara multilateral. Kementerian Keuangan dalam hal ini perlu memperbaiki perjanjian pajaknya (tax treaty) dengan Negara-negara terkait. Oleh karena itu, Indonesia akan berpartisipasi aktif dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), sebuah program dari 1
negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang diperuntukkan untuk menyikapi perusahaan-perusahaan yang mencoba menghindari pajak dengan memanfaatkan tawaran dari Negara-negara yang menawarkan pajak rendah. OECD telah menerbitkan laporan mengenai akar penyebab terjadinya Base Erosion and Profit Shifting pada Februari 2013 dan menemukan ada enam bidang yang menjadi penyebabnya, yaitu (i) adanya peluang terjadinya arbitrase, (ii) adanya pola keseimbangan pajak wilayah,
(iii) adanya pembiayaan di antara group perusahaan, dengan perusahaan-
perusahaan di Negara-negara berpajak tinggi yang sarat dengan utang; (iv) adanya masalah transfer pricing, (v) adanya efektivitas aturan anti-penghindaran pajak, (vi) adanya keberadaan program tarif preferensial. Laporan ini telah dibahas pada pertemuan Menteri Keuangan G20 di Moskow dan mendapat dukungan kuat untuk dilakukan pengembangan rencana aksi yang komprehensif. Rencana aksi akan memberikan strategi yang terkoordinasi di antara Negaranegara yang berkaitan dengan program BEPS. Transfer pricing Prinsip praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan tidak adanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi otoritas pajak untuk mengatasinya. Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah (Harimurti, 2007): 1.
Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing) Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya, menetapkan transfer pricing atas biaya variabel dan tetap, dapat memilih 3 bentuk, yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2.
Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing) Metode transfer pricing atas dasar harga pasar merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar terkadang menjadi kendala dalam menggunakan transfer pricing berdasarkan harga pasar.
2
3.
Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices) Beberapa
perusahaan
berkepentingan dengan
memperkenankan
divisi-divisi
dalam
perusahaan
yang
transfer pricing untuk menegosiasikan transfer pricing yang
diinginkan. Transfer pricing hasil negosiasi ini mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas transfer pricing yang dinegosiasikan tadi. Transfer pricing
secara prinsip sebenarnya merupakan alokasi keuntungan (sesuai
dengan perjanjian formula yang sudah disepakati di antara perusahaan tersebut) yang digunakan untuk keperluan pelaporan laba bersih/kerugian sebelum pajak
perusahaan
multinasional ke Negara-negara di mana ia melakukan bisnis. Umumnya Negara-negara di dunia memberlakukan tarif pajak korporasi yang berbeda-beda, dengan demikian perusahaanperusahaan multinasional akan mengalokasikan lebih banyak keuntungan di seluruh dunia pada Negara-negara dengan pajak yang lebih rendah, sehingga dapat meminimalkan jumlah keseluruhan pembayaran pajak perusahaan multinasional. Seiring dengan meningkatnya globalisasi perdagangan, transaksi perdagangan internasional di antara pihak-pihak terkait (antara perusahaan induk dan perusahaan afiliasi mereka atau di antara perusahaan afiliasi) memainkan peran yang semakin penting dalam perdagangan dunia. Transfer pricing telah menjadi isu nomor satu di arena pajak internasional . Adanya
globalisasi
menyediakan
peluang
bagi
pengembangan
ekonomi
dan
pertumbuhan melalui intensifikasi perdaganganlintas batas, investasi dan jasa. Namun pada saat yang sama, juga terdapat tren yang berkembangdi kalangan pemerintahanNegara-negara maju maupun berkembang, untuk meningkatkan kontrol mereka atas aktivitas pengalihan harga (transfer pricing) melalui peraturan transfer pricing dan audit, dengan maksud untuk melindungi konsep dasar pengenaan pajak mereka sekaligus menghindari pajak berganda yang dapat menghambat perdagangan internasional . Perhatian akan pentingnya transfer pricing menjadi semakin tinggi mengingat perhatian secara tradisional lebih difokuskan pada pajak langsung,sementara transfer pricing sebagian besar masih tetap menjadi subyek pajak khusus. Pajak-pajak atas aktivitas transfer berupa bea masuk, bea keluar, Cukai dan PPN merupakan hal-hal yang mendapat perhatian tinggi pada konferensi yang diselenggarakan oleh Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO) dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada Mei 2006 dan Mei 2007.
3
Aktivitas Transfer pricing akan mempengaruhi tingkat penerimaan negara dari sisi pajak langsung dan tidak langsungyang dikumpulkan oleh pemerintah. Harga transaksi lintas batas merupakantitik awal untuk menilai bea masuk/keluar dan menentukankeuntungan yang timbul bagi masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut karena haltersebutakan menjadidasar pengenaan pajak antar negara. Transaksi perdagangan di antara perusahaan tidak selalu tunduk pada kekuatan pasar yang ada sehingga konsekuensinyamuncul potensi terjadinya manipulasibea masuk dan penghasilan kena pajak . Transfer pricing akan menentukan jumlah penghasilan yang didapat masing-masing perusahaan yang terlibat dan penerimaan pajak penghasilan di negara pengekspor dan negara pengimpor. Semakin tinggiharga pengalihan tersebut akan semakin mengurangi penghasilan kena pajak di Negara pengimpor dan meningkatkan penghasilan kena pajak di Negara pengekspor. Untuk keperluan pabean, harga pengalihan memiliki dampak langsung terhadap penetapan nilai pabean. Semakin rendah transfer pricing maka akan semakin menurunkan nilai pabeannya. Hal ini jugaberlaku untuk pengumpulan pajak seperti pajak
PPN dan cukai,
ketikamereka dihitung berdasarkan nilai bea impor barang. Harmonisasi Standar Internasional Transfer Pricing Ke dalam Standar Nasional Dalam hal aktivitas Transfer Pricing, banyak otoritas pajak Negara-negara di dunia cenderung mengikuti prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh pedoman OECD yaitu Buku Pedoman Perusahaan Multinasional dan Administrasi Pajak (OECD Guidelines ) yang mengatur standar internasional untuk transfer pricing. Sementara Otoritas Bea Cukai mengacu kepada ketentuan WTO mengenai Perjanjian Valuasi Bea Cukai, dimana dalam penerapannya di tingkat domestik dapat bervariasi bentuknya, seperti misalnya
untuk tingkatan aturan
perjanjian antar negara. Prinsip dasarnya adalah adanya prinsip keadilan nilai yang ditetapkan untuk transaksi lintas perbatasan di antara perusahaan terkait. Artinya, harga pengalihan tidak harus dipengaruhi oleh hubungan antara pihak-pihak, atau diatur dalam cara yang sama seperti jika para pihak tidak memiliki kaitan. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan dalam penerapan prinsip ini dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang sifatnya utama seperti tujuan kebijakan, fungsi operasional, waktu penilaian, metode penilaian , persyaratan dokumentasi dan mekanisme penyelesaian sengketa. Pada transaksi impor tertentu, kebiasaan yang cenderung dilakukan petugas bea dan cukai adalah apakah akan memverifikasi atau tidak darinilai yang dideklarasikan oleh importir yang berada di bawah perkiraan mereka? Biasanya petugas akan memverifikasi atau tidak nilai impor tersebut apabila dinyatakan melebihi perkiraan mereka. Mereka akan berusaha 4
membatasi apa saja yang dianggap sebagai item pengurang dari pajak yang berlebihan atau apabila dianggap nilainya tidak jelas. Terkadang terdapat perusahaan multinasional yang mendeklarasikan nilai impor lebih rendah dari kisaran perkiraan petugas bea dan cukai, namun ada juga justru perusahaan multinasional sejenis lainnya malah justru lebih tertarik untuk mentransfer dengan harga yang lebih tinggi dengan harapan dapat menghasilkan pengurangan yang lebih besar. Aktivitas transfer pricing dalam aktivitas penilaian pabean Aparat Bea Cukai , sebagai lembaga penegak perbatasan, akan melakukan analisis terhadap setiap produk dan transaksi impor yang dalam rangka menentukan apakah suatu nilai pabean dari suatu produk tertentu termasuk dalam suatu transaksi yang sifatnya khusus. Hal ini memungkinkan dilakukan aparat Bea dan Cukai untuk menghitung jumlah pajak yang tepat untuk masing-masing produk yang ada di dalam transaksi tersebut yang mungkin memiliki tingkat tariff yang berbeda-beda berdasarkan perhitungan klasifikasi tariff dan nilainya. Nilai pabean barang impor merupakan nilai barang yang akan dihitung bea masuknya dengan menggunakan skema penghitungan tariff barang impor yang berlaku di suatu negara. Namun, untuk
transaksi jasa dan barang tidak berwujud, walaupun belum ada ketentuan khusus
mengenai penghitungan penilaian untuk transaksi jasa dan barang-barang tidak berwujud, penilaian pabean yang dikaitkan dengan importasi barang berwjud masih dianggap relevan untuk digunakan. Penjelasan persoalan transfer pricing sebenarnya terdapat pada pasal 9 ketentuan pedoman transfer pricing OECD dan Model Konvensi Pajak PBB yang menetapkan prinsip Arm’s Length (harga wajar). Prinsip Harga Wajar merupakan prinsip yang mengedepankan harga yang ditetapkan seandainya pihak-pihak yang bertransaksi tidak berafiliasi atau tidak memiliki hubungan istimewa, maka transfer pricing tidak bermasalah. Dengan demikian prinsip harga wajar merupakan proksi pasar untuk mengalokasikan laba kena pajak kepada pihakpihak yang terkait untuk mencapai alokasi pendapatan pajak yang adil antara kepentingan otoritas pajak dan penghindaran pajak berganda.
Semua transaksi komersial dan keuangan
lintas - perbatasan di antara perusahaan terkait baik berupa barang, jasa dan keuangan berada dalam lingkup aktivitas transfer pricing. Namun juga terdapat aktivitas transfer pricing berupa laba permanen perusahaan
(misalnya
antara unit-unit perusahaan yang terletak pada
yurisdiksi pajak yang berbeda).
5
Di Indonesia dalam Undang-undang PPh pasal 18 menyatakan bahwa hubungan istimewa antar perusahaan dianggap terjadi apabila: 1. Wajib pajak yang mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada wajib pajak; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir; 2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau 3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Bila hubungan istimewa terjadi dianggap akan menyebabkan terjadinya transfer pricing, dengan demikian diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kewajaran transaksinya (sesuai prinsip Arm’s Length yang menjadi pedoman PBB). Untuk menerapkan metode transfer pricing, metode tradisional lebih disukai daripada metode keuntungan transaksional (metode transaksional marjin bersih, pemisahan laba). Semua metode pedoman yang terkait dengan transfer pricing yang dikeluarkan OECD memiliki fokus transaksional dan juga terdapat aturan transaksi wajib pajaknya. Secara umum, penilaian transfer pricing oleh pembayar pajak dibutuhkan untuk memperkirakan alokasi yang akan ditempatkan pada waktu transaksi dibukukan (pendekatan ini disebut sebagai pendekatan penetapan panjang harga lengan, atau dilakukan pada saat pengajuan pengembalian pajak yang disebut sebagai pendekatan panjang hasil lengan. Aspek penting lainnya berkaitan dengan transfer pricing adalah dokumentasi transfer pricing biasanya meliputi dokumentasi dalam konteks ekonomi (industri dan wajib pajak), deskripsi dari transaksi yang terkontrol (syarat dan kondisi), penjelasan tentang pilihan dan penerapan metode transfer pricing, analisis komparatif (termasuk data transaksi yang tidak terkontrol yang digunakan sebagai pembanding). Otoritas pajak memiliki akses pada informasi melalui ketentuan domestik (misalnya
pemeriksaan ketentuan pajak umum, persyaratan
dokumentasi transfer pricing yang spesifik) dan perjanjian bilateral (pertukaran informasi). Sebaliknya, pada pedoman perjanjian WTO tidak merinci informasi yang akan digunakan untuk penentuan penerimaan transfer pricing untuk tujuan pabean. Persyaratan dokumentasi untuk tujuan pabean tergantung pada deklarasi dan persyaratan dokumentasi
6
negara pengimpor. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aturan tentang
transfer pricing
internasional dan aturan penilaian pabean, walaupun bisa saja terdapat modifikasi dalam pelaksanaannya di tingkat nasional. Dalam upaya untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai transfer pricing, WCO dan OECD telah bergabung untuk menyelenggarakan dua konferensi internasional bersama tentang Transfer Pricing dan Penilaian Pabean dari transaksi perusahaan-perusahaan yang saling terkait, pada bulan Mei 2006 dan Mei 2007. Tujuan umum dari penyelenggaran dua konferensi ini adalah untuk memberikan platform pada organisasi sektor publik dan swasta sehingga secara bersama mereka dapat mengeksplorasi masalah lebih lanjut dan mendorong upaya terkoordinasi secara global antara sektor pemerintah dan bisnis. Pada konferensi pertama , muncul dua aliran pemikiran yaitu, mereka yang melihat adanya kebutuhan peraturan di lapangan dan mereka yang masih melihat masalah ini dengan penuh kehati-hatian. Pada konferensi kedua pada ulan Mei 2007 pandangan ini masih ada, namun telah mendapat pengakuan yang lebih besar atas manfaat yang ada apabila dapat ditingkatkan pada pembentukan suatu sistem. Mereka yang mendukung pemikiran pertama berpendapat bahwa biaya kepatuhan sektor bisnis akan menjadi lebih besar karena perlunya biaya tambahan pendokumentasian, disamping itu biaya penegakkan hukum bagi pemerintah juga akan meningkat. Sementara mereka yang melihat secara hati-hati berpandangan bahwa status kuo masih akan lebih murah dibandingkan dengan pandangan pertama tadi. Mereka juga mengungkapkan keprihatinannya tentang perlunya peningkatan kapasitas pemerintah dalam mengembangkan pendapatan ekonomi di bidang transfer pricing dan penilaian pabean. Bahkan di Negara-negara berkembang seringkali jauh lebih tergantung pada kebiasaan mereka untuk lebih meningkatkan pendapatan dari pajak langsung. Sejumlah isu-isu penting yang muncul pada pelaksanaan konferensi pada bulan Mei 2007 adalah adanya pertanyaan tentang konsekuensi dari penyesuaian transfer pricing pada metode penilaian yang selama ini digunakan. Penerimaan pajak oleh pihak pabean akibat penyesuaian impor pada akhir periode dan penyesuaian transfer pricing yang mengandalkan transaksi agregat (khususnya ketika metode laba bersih atau metode profit digunakan untuk tujuan transfer pricing) sering memunculkan perdebatan. Kegunaan dokumentasi dalam aktivitas transfer pricing untuk bea cukai juga merupakan isu penting yang perlu dieksplorasi lebih lanjut, termasuk persyaratan kepatuhan dalam transfer pricing, termasuk kebutuhan bagi pembayar pajak untuk menyiapkan suatu dokumentasi 7
tertentu. Bea Cukai akan memperoleh informasi yang luas dari paket dokumentasi tersebut, jika persyaratan penilaian ditangani oleh aparat bea dan cukai. Selain itu, konferensi juga membahas kemungkinan pengembangan kebiasaan penilaian pabean secara bersama dan audit transfer pricing, tujuannya adalah mengurangi waktu dan upaya yang dihabiskan dalam kegiatan audit oleh pembayar pajak dan otoritas pajak. Perkembangan yang ada menunjukkan adanya tren menggembirakan menuju persamaan pendekatan administratif, termasuk aksi bersama dan saling berbagi informasi antara otoritas perpajakan dan otoritas bea cukai. Pada dua konferensi tersebut akhirnya WCO dan OECD mencatat perlunya mendorong dialog antara bea cukai, otoritas pajak dan dunia bisnis, dengan cara membentuk mekanisme penghubung di antara mereka. Tampaknya disepakati untuk melanjutkan berbagi informasi mengenai
praktik terbaik dalam mengupayakan optimalisasi penerimaan negara sekaligus
pembenahan sistem administrasi pabean. Pada tingkat global, WCO dan OECD perlu terus meningkatkan kerjasama yang ada, juga berbagi pengetahuan dan pengembangan materi pelatihan, termasuk penggunaan modul elearning. Terdapat saran juga untuk sering mengadakan fokus group discussion kecil yang melibatkan WTO dan perwakilan bisnis, untuk mempelajari lebih lanjut tentang permasalahan yang telah diidentifikasi, dengan fokus awal pada studi kasus praktis dan konkret berdasarkan realitas komersial. Kesimpulan 1. Transfer pricing secara prinsip sebenarnya merupakan alokasi keuntungan (sesuai dengan perjanjian formula yang sudah disepakati di antara perusahaan tersebut) yang digunakan untuk keperluan pelaporan laba bersih/kerugian sebelum pajak perusahaan multinasional ke Negara-negara di mana ia melakukan bisnis. 2. Untuk melihat terjadi transfer pricing atau tidak di Indonesia telah diatur dalam pasal 18 UU PPh, sementara PBB juga telah mengeluarkan prinsip Arm’s Length (Harga Wajar); 3. Transfer Pricing terjadi secara internasional disebabkan karena adanya peluang arbitrase dan ketidak seimbangan pajak di wilayah-wilayah operasional perusahaan di luar negeri; 4. OECD dan WCO telah mengeluarkan usulan alternatif mengatasi terjadinya transfer pricing yang dibahas dalam 2 konferensi yang diselenggarakan tahun 2006 dan 2007; 5. OECD bahkan telah mengusulkan program penanganan Base Erosion and Profit Shifting sebagai bagian dari penanganan transfer pricing.
8
6. Diperlukan suatu rencana tindak dunia untuk menangani masalah transfer pricing.
Daftar Pustaka Custom
Valuation
and
Transfer
Pricing
Report,
World
Custom
Organisation,
http://www.wcoomd.org/en/topics/valuation/activities-and-programmes/customs-valuationand-transfer-pricing.aspx Harimurti, Fajar,(2007), Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing,
Jurnal Ekonomi dan
kewirausahaan, vol.7 edisi 1 April, hal 53-61 Jurnal.com edisi 12 April 2013 Transfer Pricing wikipedia
9