PARADIGMA PERDAGANGAN DUNIA: KEPENTINGAN DOMESTIK YANG TERABAIKAN
UNIVERSIT AS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada padatanggallOJuni2015 Yogyakarta
oleh: Prof. Dr. Tri Widodo, S.E., Grad.Dip.Ec.Dev., M.Ec.Dev.
Bismillahirrahmanirrahim Saya panjatkan puji syukur alhamdulillah ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita bisa berkumpul dalam kesempatan ini. Yang terhormat Pimpinan dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada, yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, yang terhormat Pimpinan dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, ymig terhormat Rektor dan WakilRektor Universitas Gadjah Mada, yang terhormat para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Gadjah Mada, yang terhormat seluruh sivitas akademika khususnya sejawat Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada rekan-rekan wartawan, mahasiswa, segenap tamu undangan dan hadirin yang saya muliakan. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua yang hadir dalam majelis terhormat mI.
Sejak awal sistem perdagangan multilateral, banyak perjanjian perdagangan regional dan integrasi ekonomi regional telah dicapai, sebagai contoh Uni Eropa (European Union, EU), North American Free Trade Agreement (NAFTA), Mercado Comun del Sur (MERCOSUR), Association of South East Asian Nations (ASEAN) Free Trade Area (AFTA), dan lain-lain. Capaian kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement, FTA) dan integrasi ekonomi regional dewasa ini, sampai batas tertentu, telah membawa implikasi positif dan negatif yang mungkin muncul dalam bentuk penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion) untuk negara-negara non-anggota (Viner, 1950; McCarthy, 2006). Pidato pengukuhan ini akan memaparkan isu-isu tersebut dan saya beri judul:
2 PARADIGMA PERDAGANGAN DUNIA: KEPENTINGAN DOMESTIK YANG TERABAIKAN1
Pendahuluan Sidang majelis yang terhormat, saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan butir-butir pemikiran di bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan dan Internasional yang selama ini saya tekuni. Pidato pengukuhan ini saya awali dengan pertanyaan sederhana: pemahkah kita memperhatikan sejenak produk-produk yang kita beli dari pasar modem maupun pasar tradisional? Buatan (made in) manakah barang-barang tersebut? Banyak barang yang kita beli adalah buatan perusahaan di negara lain. Sebagai contoh, mouse Dynabook Toshiba adalah made in China. Bukankah Toshiba adalah Perusahaan Jepang, tetapi mengapa mouse tersebut dibuat di Cina? Toshiba adalah perusahaan konglomerasi multinasional Jepang yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang. Bisnis utamanya adalah dalam infrastruktur, produk konsumen, alat elektronik dan komponen. Toshiba merupakan produsen komputer yang menduduki peringkat lima besar dunia setelah Hewlett-Packard (USA), Acer (Taiwan), Dell (USA), dan Lenovo (Cina). Saat ini, perusahaan-perusahaan tidak hanya mencari keunggulan produksi output, tetapi juga produksi komponen: komponen dan komoditas antara (intermediate input) yang kemudian dirakit untuk menghasilkan barang akhir (final goods). Inilah contoh aplikasi teori angsa terbang atau "jlying geese" (Akamatsu, 1961; 1962), yang diterapkan Jepang untuk mendominasi industrialiasi Asia Timur (Widodo, 2008; 2009a; 2010b). Pidato ini bermaksud untuk menyampaikan pandanganpandangan saya berdasarkan kajian-kajian yang telah saya diseminasi 1 Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Mudrajad Kuncoro dan Prof. Sri Adiningsih yang telah berkenan membaca draf naskah ini. Tanggung jawab terhadap akurasi naskah ini tetap pada saya.
3 dan publikasikan secara akademik di berbagai forum dan jurnal nasional maupun internasional. Saya membagi pidato ini menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) Perkembangan teori dan paradigma perdagangan dunia ke depan, (2) Implikasi liberalisasi dan regionalisasi, khususnya integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai diimplementasikan akhir 2015, (3) Kepentingan domestik yang harus diperhatikan terkait perubahan paradigma perdagangan dan integrasi regional. Perkembangan Teori Perdagangan Spe.sialisasi ke Despesialisasi
Internasional:
Dari
Sidang majelis yang saya muliakan, pada bagian kedua ini izinkan saya menyampaikan pandangan saya ten tang fenomena ketidaksesuaian teori dan empiris (praktik) perdagangan internasional yang membuka peluang bagi pemikir-pemikir untuk berkontribusi secara akademik dalam membangun teori-teori baru. Dua pertanyaan mendasar yang selalu ingin dijawab dalam teori perdagangan internasional tradisional maupun modern adalah:' pertama, apakah yang mendasari perdagangan internasional (basis for trade) dan apa keuntungan dari perdagangan (gains from trade)? Kedua, bagaimanakah pola perdagangan (pattern o.ftrade)? Pada abad 17 dan 18, merkantilisme (mercantilism) berkembang sebagai aliran yang percaya bahwa perak dan emas merupakan kekayaan bangsa yang sangat berguna untuk meningkatkan perdagangan (Krugman dan Obstfeld, 2003). Kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan ditujukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung surplus perdagangan sehingga akan terdapat aliran masuk emas dan perak ke negara dan menjaga kesempatan kerja. Sampai dengan awal abad 18, filusuf seperti Richard Cantillon (1680-1734), Francois Quesnay (1694-1774), Jacques Turgot (1727-1781), dan lain-lain mengembangkan teori demokrasi liberal berdasarkan prinsip kapitalisme dengan fokus pada beIjalannya pasar bebas (free market) (Soelistyo, 2008).
4 Adam Smith (1776) menulis tentang sistem kebebasan alamiah dengan kepentingan pribadi sebagai kekuatan pendorong ekonomi, dan itu berfungsi ketika pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah. Pasar digerakkan oleh kekuatan gaib (invisible hand), yang lebih dikenal dengan ideologi persaingan bebas (laissez-faire). Adam Smith memperkenalkan teon keunggulan absolut, sedangkan teon keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo (1817) dalam publikasinya Principles of Political Economy and Taxation, di mana hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) disampaikan. Meskipun demikian, sebenamya keunggulan komparatif disebut-sebut pertama kali oleh Robert Torrens pada tahun 1815 dalam karya esainya tentang The Corn Laws, yang menyatakan bahwa tanf impor ditujukan untuk melindungi harga jagung di Inggris dan Irlandia dan persaingan dengan negara-negara penghasil jagung yang lebih murah (Leamer dan Stem, 1970; Soelistyo, 2008; Verdoom, 1960). Efek dan kepemilikan faktor produksi dalam perdagangan intemasional dianalisis oleh ekonom Swedia, Eli Heckser dan Bertil Ohlin pada awal abad ke-20. Dalam perdagangan intemasional, teon HO menyimpulkan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang menggunakan input yang relatif lebih banyak dibandingkan penggunaan input di negara lain. Sebaliknya, negara akan mengimpor komoditas yang menggunakan input relatif lebih sedikit dibandingkan penggunaan input di negara lain. Teon perdagangan HO dan teon perdagangan sebelumnya disusun dengan asumsi-asumsi -sangat ketat. Teon altematif barn mencoba melepas asumsi-asumsi tersebut yang tentunya akan berdampak pada kesimpulan yang dihasilkan. Teon-teon barn hasil pelepasan asumsi-asumsi HO terangkum dalam teon setelah HO (Post-HO theory) seperti: limitation lag hypothesis, the flying geese model,the product cycle theory, the Linder theory, the gravity model, the Krugman model, the reciprocal dumping model, dan lain-lain (Krugman dan Obstfeld, 2003). Semua teon perdagangan yang ada dewasa ini selalu mengarahkan pada kesimpulan bahwa suatu negara akan berspesialisasi pada suatulbeberapa produk unggulan. Bagaimana
5 dengan hasil empiris? Sejarah membuktikan bahwa keunggulan . komparatif suatu negara adalah dinamis. Cina yang dahulu berspesialisasi pada kain sutra kini berspesialisasi pada elektronik. Jepang yang dahulu berspesialisasi pada tekstil kini berspesialisasi pada produk teknologi. Saya menemukan bahwa negara-negara di Asia Timur secara empiris mengalami despesialiasi, dan bukan spesialisasi seperti dalam teori. Temuan-temuan tersebut telah saya diseminasi di banyak forum dan jumal intemasional, di antaranya HUE Journal of Economics and Business (2008a), Asia Pacific Journal of Economics and Business (20Q.9c),Journal of Economic Integration (2009b, 2010a), Chinesee Economy and Foreign Trade Studies (2008), ASEAN Economic Studies (2008), Review of Economic and Business Studies (201Ob, 2013). Bahkan, eksperimen terakhir yang saya lakukan bersama mahasiswa (dalam kuliah WorkshopEkonomi Intemasional pada 2013 dan 2014) dengan menggunakan indikator Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) dan model ekonometrik, menyimpulkan bahwa dari 60 negara hanya 5 negara menunjukkan fenomena spesialisasi sesuai dengan teori dan 55 negara menunjukkan despesialisasi bertentangan dengan teori. Teori mengatakan bahwa negara-negara melakukan spesialisasi, tetapi empiris menunjukkan negara-negara melakukan despesialisasi. Jadi, siapa pun yang nanti menciptakan teori baru mengenai perdagangan intemasional dengan dasar despesialisasi, landasan empiris telah saya letakkan. Perubahan Paradigma: ke Fair Trade?
Dari Fear Trade ke Free Trade dan Gagal
Sidang majelis yang saya hormati, pada bagian ketiga ini izinkan saya menyampaikan pandangan saya tentang perubahan paradigma pranata sistem perdagangan internasional yang telah gagal menciptakan kesetaraan keadilan antara negara maju dan negara sedang berkembang. Sistem yang ada telah bias kepada kepentingan negara maju.
6 Perkembangan liberalisasi dan globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir telah menyebabkan bermacam-macam perubahan dalam tatanan perdagangan dan keuangan internasional. Liberalisasi perdagangan menuntut penyesuaian kebijakan domestik dan aliansi strategis yang tujuannya adalah efisiensi dan daya saing. Karena liberalisasi dipercaya m(tmpu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia secara keseluruhan, upaya-upaya liberalisasi dilakukan oleh sejumlah negara dalam berbagai forum internasional. Upaya tersebut kelihatan nyata dalam bentuk yang lebih formal konseptual setelah berakhirnya Perang Dunia II (World War II), yaitu dengan dibentuknya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, putaran perundingan yang disebut Uruguay Round (1986-1994) berhasil membentuk organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization, WTO) pada tahun 1995 (Aryaji, 2007). Secara singkat, saya memiliki padangan bahwa telah terjadi perubahan paradigma tatanan perdagangan internasional dari perdagangan yang menakutkan (fear trade) ke perdagangan bebas (free trade) dan semestinya perdagangan yang adil (fair trade). Namun, pranatafair trade gagal karena kep€?ntingandomestik negaranegara besar. Merkantilisme yang merebakkan kolonialisme Eropa telah menciptakan paradigma perdagangan internasional karena rasa takut (fear trade). Dalam konteks sejarah, Indonesia berdagang rempahrempak dengan Belanda karena rasa takut, konstelasi hubungan <1ntara "negara penjajah" dan "negara jajahan". Setelah Perang Dunia Kedua (PD II), banyak negara merdeka dan mereka menerapkan proteksi perdagangan internasional dengan berbagai alasan yang intinya melindungi kepentingan domestik (sisi permintaan maupun penawaran). Setelah PD II berakhir, terdapat tiga organisasi internasional yang muncul, yaitu Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development, IBRD), Dana Moneter Internasional (Intenational Monetary Fund, IMF), dan Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade Organization, ITa). Namun, ITa tidak mendapat persetujuan Amerika sehingga muncullah putaran
7 negosiasi multilateral liberalisasi perdagangan General Agreement of Tar~fJand Trade (GATT, 1947), yang merupakan cikal bakal World Trade Organization (Aryaji, 2007; Soelistyo, 2008; Verdoom, 1960). Di sini napas liberalisasi perdagangan adalah perdagangan bebas (free trade), artinya bebas dari restriksi perdagangan tarif maupun nontarif. Studi mendalam yang saya lakukan membuktikan paradigma free trade ini bias pada kepentingan negara-negara maju karena selama ini lingkup free trade meliputi barang-barang manufaktur yang negara majulah yang memiliki banyak keunggulan komparatif, sedangkan negara sedang berkembang tidak memiliki keunggulan (Widodo, 2007a, 2007b, 2008a-e, 2009c, 20l0b). Pranata perdagangan intemasional GATT-WTO telah dijadikan alat untuk membuka pasar-pasar domestik negara-negara sedang berkembang untuk produk-produk manufaktur negara-negara maju. Hal ini didukung oleh hasil studi mendalam saya dan banyak peneliti lain yang membuktikan tingkat proteksi-yang diukur dengan Effective Rate of Protection (ERP}--pasar negara-negara sedang berkembang menurun. Dengan kata lain, pasar domestik negara-negara sedang berkembang semakin terbuka untuk produk-produk manufaktur negara maJu. Putaran perundingan terakhir dalam kerangka WTO adalah Doha Development Round (DDR) yang sangat diwamai oleh Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals, MDG) yang meliputi penurunan kemiskinan, kelaparan, penyakit, buta huruf, degradasi lingkungan, dan diskriminasi perempuan. Dalam DDR ini, perdagangan intemasional diharapkan mampu memberikan porsi lebih besar bagi pembangunan negara-negara miskin dan berkembang (Aryaji, 2007). Artinya, dalam pembahasan perundingan perdagangan, negara-negara tersebut diberikan keleluasaan yang lebih besar untuk membuat aturan perdagangan yang lebih adil (fair) dan diberikan akses lebih besar pada produk-produknya untuk masuk ke pasar negara maju (Stiglitz dan Charlton, 2006). "Doha Round" terkenal dengan "Development Round", yang intinya bagaimana paradigm a perdagangan intemasional mampu meningkatkan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Hal ini bisa tercipta dengan
8 membuka akses pasar negara maju untuk produk-produk unggulan negara sedang berkembang terutama produk-produk intensif tenaga kerja dan pertanian. Di sinilah semestinya paradigma fair trade tercipta, negara berkembang telah membuka pasar produk negara maju, dan dengan "Development Round" negara maju membuka pasar produk negara berkembang. . Namun, kelihatannya kesepakatan tersebut sangat sulit dipenuhi oleh negara-negara maju (paling tidak dilihat dari kegagalan kesepakatan perundingan di Hongkong pada 2005 dan di Geneva pada 2006). Dalam perundingan-perundingan tersebut dikenal istilah triangle problems, yaitu: mendorong Uni Eropa (EU) untuk menurunkan tarif pertanian, meminta Amerika Serikat (AS) menurunkan subsidi, mendesak Brasil dan India membuka pasar bagi industri-industri negara maju (Soelistyo, 2008; Aryaji, 2007). Hal ini memberikan sinyal pesimis akan keefektifan WTO dalam menciptakan tatanan perdagangan intemasional yang adil dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia secara keseluruhan. Karena kesulitan mencapai kesepakatan perundingan dalam tatanan multilateral tersebut, banyak negara yang menempuh perundingan liberalisasi dalam kerangka regional, melalui perjanjian multilateral maupun bilateral. Masyarakat Praktik?
Ekonomi
ASEAN: Ada Di Mana secara Teori dan
Sidang majelis yang budiman, pada bagian keempat ini ijinkan saya menyampaikan pandangan saya yang "galau" akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 ini. Gagalnya WTO dalam merealisasikan "Development Round" yang berlandaskan fair trade tersebut mendorong merebaknya integrasi ekonomi, kemitraan, dan kerja sama-kerja sarna regional di mana fair trade lebih realistis untuk dicapai (Aryaji, 2007; Stiglitz dan Charlton, 2006; Soelistyo, 2008). Tidak ketinggalan, negara-negara ASEAN akan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Secara teoretis, ada beberapa tahapan integrasi ekonomi beberapa
9 negara di suatu kawasan. Tahapan integrasi ini dilakukan untuk kebutuhan analisis dan untuk memahami kondisi tertentu guna mengambil kebijakan yang tepat. Semakin tinggi tahapan integrasi ekonomi maka semakin kompleks persyaratan kebijakan yang diperlukan. Ada empat tahapan atau bentuk formal integrasi ekonomi, yaitu (Balassa, 1961; McCarthy, 2006): 1. Area Perdagangan Bebas (Free-Trade Area, FTA): Suatu kawasan di mana semua negara anggota menghilangkan semua tarif dan nontarif jika berdagang dengan negara anggota lain. Dalam waktu bersamaan, masing-masing negara anggota memiliki sistem tarif dan nontarif ekstemal sendiri-sendiri yang diterapkan jika berdagang dengan negara non-anggota. Contoh FTA adalah North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang dibentuk pada tahun 1994 oleh Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat; dan ASEAN-Free Trade Agreement (AFTA). Isu dominan dalam FTA adalah aturan asal barang (Rule of Origin, ROO). Untuk ASEAN, ROO AFTA dewasa ini adalah 40% persen, artinya barang hams mengandung komponen lokal negara ASEAN sebesar 40 untuk dipertimbangkan menjadi "barang ASEAN" dan diperdagangkan bebas di kawasan ASEAN. Untuk mengelabui ROO tersebut banyak negara menjalankan strategi bisnis perakitan atau product slicing(fragmentation/sharing.
2. Pabean Bersama (Custom Union, CD): Tingkatan kedua dalam integrasi ekonomi, yaitu custom union dengan karakteristik semua tarif dihapuskan bagi perdagangan antarsemua negara anggota, sementara itu semua negara anggota mengenakan sistem tarif yang seragam jika berdagang dengan negara-negara non-anggota. Jadi, Custom Union adalah FTA ditambah dengan sistem tarif ekstemal yang seragam ketika berdagang dengan negara non-anggota. Contoh Custom Union di Belgia, Belanda, dan Luxemburg yang didirikan pada tahun 1947 yang kemudian bergabung menjadi Masyarakat Eropa pada tahun 1958. Isu dominan dalam CU adalah adanya penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion) untuk negara-negara non-anggota (Viner, 1950; McCarthy, 2006).
10 3. Pasar Bersama (Common Market, CM): Tingkatan integrasi ekonomi dengan karakteristik semua tarif bagi negara anggota dihapuskan dan mengenakan tarif ekstemal yang seragam bagi negara non-anggota, ditambah dengan kebebasan pergerakan perpindahan faktor produksi seperti kapital dan tenaga antamegara anggota. Contoh, The Treaties of Rome 1957 menetapkan pasar bersama (common market). dalam Masyarakat Eropa (European Community, EC) yang resmi dimulai 1 Januari 1958, yang kemudian menjadi European Union (ED) pada 1 November 1993. 4. Ekonomi Bersama (Economic Union, ED): Suatu tingkatan yang komprehensif dalam integrasi ekonomi yang memiliki karakteristik harmonisasi kebijakan ekonomi dan penyatuan moneter dan diikuti dengan pembentukan lembaga yang mewakili negara-negara anggota dan keputusan lembaga tersebut mengikat bagi seluruh anggota. Economic Union biasanya membuat beberapa insitutsi s\}pranasional yang memiliki keputusan mengikat bagi negaranegara anggota. Contoh dalam kasus European Union, harmonisasi kebijakan hubungan intemasional tertuang dalam Common Foreign Security Policy (CFSP) (Widodo, 2007b). Krisis Yunani, Spanyol, dan Perancis jadi ujian berat contoh kegagalan bahaya menciptakan keunggulan koparatif dan kompetitif dalam era regionalisme dan liberalisasi. 5. Integrasi Ekonomi Lengkap (Complete Economic Integration, CEI) adalah tahapan ekonomi integrasi tertinggi yang tidak ada lagi batas-batas antamegara anggota. Contohnya adalah Amerika Serikat, di mana yang ada hanya negara-negara bagian. Di manakah posisi MEA dalam kerangka teoretis ekonomi integrasi oleh Balassa sebagai "Bapak Ekonomi Integrasi"? ASEAN saat ini telah memiliki AFTA, ini berarti ASEAN dalam tahap 1, yaitu Free Trade Area (FTA). Akhir tahun 2015 ASEAN akan merealisasikan MEA. Hal berarti pada tahap 3 Pasar Bersama (Common Market, CM). ASEAN akan meloncat dari FTA ke CM. Jadi, ada satu tahap yang dilupakan atau terlupakan, yaitu tahap 2 Pabean Bersama (Custom Union, CD) dengan sistem tarif ekstemal yang seragam ketika berdagang dengan negara non-anggota.
11
Mungkinkah MEA tanpa menyeragamkan tarif ekstemal bersama? Jika jawabannya mungkin, terdapat peluang untuk membuat teori integrasi baru, dan menjadi "Bapak Ekonomi Integrasi" menggantikan Balassa. Tetapi, jika jawabannya tidak mungkin, berarti pengambil kebijakan ASEAN melakukan kesalahan. Negara-negara ASEAN menjadi kelinci percobaan oleh pengambil kebijakan ASEAN. ASEAN memiliki jalan sendiri dalam mengintegrasikan ekonominya, atau yang mereka sebut dengan "ASEAN Way". Saya memiliki pandangan bahwa apa pun yang terjadi dengan atau tanpa penyamaan tarif ekstemal MEA akan tetap dilaksanakan. Hanya saja, MEA .akan berjalan lambat, tertatih-tatih, bahkan semrawut karena masalah-masalah yang akan muncul dari tidak adanya keseragaman tarif ekstemal untuk non-anggota, seperti:
.
Kandungan lokal, Rule of Origin (ROO) tidak akan efektif mendiferensiasi produk ASEAN dan non-ASEAN ketika aliran input bebas bergerak dalam satu kawasan.
.
Akan terdapat kerumitan dalam penerapan ROO ketika terdapat kebebasan aliran faktor produksi (tenaga kerja terdidik dan modal).
.
Sarna sekali
tidak efektifnya
perlindungan
pasar
impor) dari persaingan dengan non-anggota memengaruhi konsumsi, produksi, dan distribusi.
domestik
(tarif
yang
akan
.
Maraknya penyelundupan terselubung akan produk-produk dari negara non-anggota sehingga kemungkinan memicu gejolak sosial antamegara anggota.
.
Tidak terjadinya peningkatan perdagangan melalui trade creation dan trade diversion.
.
Volatility dari kurs mata uang yang tidak dapat merefleksikan paritas daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) (Widodo, 2015).
Pengalaman Indonesia: "Bad-Time Time Means Bad Policy"
antamegara
anggota
Means Good Policy, Good-
Sidang majelis yang berbahagia, pada bagian kelima ini izinkan saya menyampaikan pandangan terkait kebijakan liberalisasi di Indonesia.
12 Seperti negara-negara Asia Timur lainnya, Indonesia telah melakukan, baik substitusi impor maupun kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang telah terkait erat dengan kinerja perdagangan intemasional. Ada setidaknya lima fase pengembangan kebijakan industri dan perdagangan intemasional di Indonesia (Hill, 1997; Kuncoro, 2007). 1. Pertama, fase pertumbuhan yang sangat cepat pada periode 19671973 didorong oleh liberalisasi dan kembalinya kondisi ekonomi nonnal. 2. Kedua, fase strategi 'inward-looking' (1973-1982) didominasi oleh fakta bahwa kenaikan harga minyak dan komoditas nonmigas telah mengangkat pendapatan pemerintah. Kebijakan ekonomi menjadi 'inward-looking' dalam periode booming komoditas nonmigas (1975-1979) dan gejolak harga minyak (1973-1974 dan 19791981). 3. Ketiga, refonnasi perdagangan utama Indonesia yang diadopsi di pertengahan 1980-an akibat penurunan harga minyak pada 19821985 menyebabkan perlambatan pertumbuhan PDB menjadi sekitar 4 persen dan defisit besar dalam neraca pembayaran (Dumairy, 1996). 4. Keempat, faktor ekstemal penurunan tajam harga minyak pada 1986-1988 dan guncangan ekstemal lainnya seperti penurunan harga komoditas primer, masalah utang karena apresiasi yen, dan peningkatan persaingan dari negara-negara berkembang lainnya membuat pemerintah menyadari bahwa harus ada pergeseran ekspor dari minyak ekspor ke maimfaktur. Oleh karena itu, Indonesia telah memulai strategi industrialisasi berorientasi ekspor atau perdagangan yang berorientasi pertumbuhan sejak tahun 1986. 5. Kelima, pasca-Soeharto terpukul oleh sejumlah (keuangan, ekonomi, sosial, dan politik) krisis pada tahun 1997 membuat pemerintah Indonesia mengadopsi kebijakan makroekonomi dan intemasionallebih terbuka.
13
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa pemerintah Indonesia dalam meliberaliasi ekonominya sesuai dengan pemyataan pendukung liberalisasi (Fane dan Condon, 1996): "bad-time means good policy, good time means bad policy". Kenaikan harga minyak pada bonanza (boom) minyak akhir 1970-an (waktu yang baik) maka kebijakan penting adalah protektif (kebijakan yang buruk); sedangkan krisis ekonomi (waktu yang buruk) maka kebijakan penting adalah liberalisasi (kebijakan yang baik). Saya berpandangan seharusnya pemerintah memiliki perencanaan jangka panjang gradual, tetapi pasti dalam meliberalisasi ekonominya, dan tidak responsif terhadap suatu kejadian tertentu, seperti ungkapan "bad-time means good policy, good-time means bad policy". Kepentingan domestik hams menjadi prioritas utama liberalisasi untuk mendapatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kesimpulan dan Implikasi Sidang majelis yang terhormat, berdasarkan uraian saya di atas, beberapa hal penting dapat saya simpulkan dan menarik implikasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan
.
Pertama,
telah terjadi indikasi
oleh pemerintah,
ketidaksesuaian
yaitu:
.
teori dan empiris
dalam perdagangan intemasional. Teori menggiring pada suatu kesimpulan bahwa negara akan melakukan spesialisasi pada keunggulannya. Namun, temuan empiris membuktikan bahwa keunggulan suatu negara adalah dinamis sehingga negara akan melakukan despesialisasi yang disebabkan oleh perubahan teknologi (technology invention, innovation, and transfer), industrialisasi, danforeign direct investment (FDI). Di sini, terbuka perdagangan kesempatan pengembangan ilmu . ekonomi intemasional. Negara seharusnya mempersiapkan diri dengan dinamika ini. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, pendidikan, dan pendidikan! Bagaimanapun juga sumber daya manusia Indonesia harus menjadi ujung tombak pelaku dinamika tersebut.
14
.
Kedua, telah terjadi perubahan paradigma perdagangan dunia dari ''fear trade" menjadi ''free trade" yang telah bias pada kepentingan negara-negara maju. Kegagalan "Development Agenda" menunjukkan kegagalan mewujudkan cita-cita ''fair trade". Kegagalan itu disebabkan hegemoni negara maju (EU, Amerika Serikat, dan Jepang) mempertahankan kepentingan domestiknya. Pemerintah Indonesia tidak perlu "malu" untuk mempertimbangkan harmonisasi tarif yang sudah terlalu liberal ini. Otoritas perdagangan intemasional semestinya berkoordinasi secara komprehensif dengan otoritas sektoral dalam setiap langkah liberarisasi yang diambil. Apa artinya menuruti aturan liberalisasi perdagangan intemasional yang tidak ''fair trade", sementara kepentingan perekonomian domestik terabaikan.
.
Ketiga, kegagalan DDR mewujudkan ''fair trade" ini mendorong
merebaknya integrasi ekonomi, kemitraan, dan kerja sama-kerja 'sama regional di mana ''fair trade" lebih realistis untuk dicapai, termasuk negara-negara ASEAN akan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Rencana realisasi MEA secara teoretis memunculkan potensi permasalahan di masa datang terkait kealpaan Pabean Bersama (Custom Union) di dalam proses integrasi tersebut. Negara yang sudah mempersiapkan diri akan menjadi pemenang dalam MEA. Apakah Indonesia sudah mempersiapkan diri?
.
Keempat, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dalam meliberalisasi ekonominya sesuai dengan pemyataan pendukung liberalisasi: "bad-time means good policy, good time means bad policy". Kepentingan domestik komprehensif harusnya menjadi prioritas utama setiap jengkal liberalisasi sehingga masyarakat bisa mengambil manfaatnya. Jangan biarkan masyarakat dan pelaku ekonomi disuruh mempersiapkan diri tanpa arah dalam menghadapi liberalisasi dan integrasi.
15 Ucapan Terima kasih Para hadirin tibalah saatnya saya menyampaikan ucapan apresiasi dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung karier saya sampai dengan capaian ini: 1. Kolega Dosen-Dosen Jurusan Akuntansi, Ilmu Ekonomi, dan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB-UGM). Secara khusus: Dr. Budiono Sri Handoko, dosen pembimbing saya. Lima sekawan (Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, Prof. Dr. Lincollin Arsyad, Ahmad Jamli, M.A., Prof. Samsubar Saleh, dan AIm. Dr. Ma~ykur Wiratmo), Dr. Faried Wijaya, Prof. Soedijono, pemberi rekomendasi dosen kepada saya. Drs. Soetrisno P, H., Dr. Soetatwo, Prof. Nopirin, Dr. Wahyu Widayat, Drs. Ari Sudarman, M.Ec., Drs. Budi Purnomo, M.A., Dra. Suparmi, S.u., Dr. Anggito, Drs. Ibnu Subiyanto, M.Si., Prof. Catur Sugiyanto, Drs. Dumairy, M.A., Dra. Endang Sih Prapti, M.A., Dr. Soeratno yang selalu memberi nasihat kepada saya. Prof. Iswardono, Prof. Insukindro, Prof. Gunawan, Prof. Mudrajad, Prof. Sri Adiningsih, Dr. A. Makhfatif, M.A., Dr. Tony P. Dr. Bagus Santoso yang selalu memberikan petuah profesionalisme. Ternan dosen seperjuangan: Dr. Elan, Dr. Poppy, Dr. Eddie Purnawan, Dr. Rimawan, Dr. Arti, Dr. Denni, Dr. Ardyanto Fitrady, Dr. Eny, Dr. Heni, Dr. Akbar, Dr. Dhini, Dr. Kusdhianto, Dr. (Cand) Amirullah, Dr. (Cand) Hengki, Dr. (Cand) Sekar, Dr. (Cand) Gumilang, Ryan, M.LD.E., Ari S, M.Ec.Dev., Wisnu, M.A., dan Rafiazka, M.A. 2. Ternan-ternan dan guru-guru saya di TK Indriyasana, Pugeran (Bu Sus, Pak Win), SMP Negeri 2 Espero Heri, Nining, Retno, Teti, Lena, Doti, Selvi, Yuli, dkk.), SMA Negeri 4 (Pak Harsidi, Pak Panggung, dkk.), FEB UGM (Rini, Ari, Mahendra, Duddi, dkk.).
SD Kanisius (Yahya, Aris, Vemi, Yuda, Pak Muslih,
3. Keluarga besar Tirto Piyogo, terutama bapak-ibu kandung saya, AIm. Muhadi-Wasini dan Mbak Tari, Mbokde Wasil, AIm. Pakde Tris, AIm. Pakde Juremi, dan AIm. Paklik Basuki.
16 4. Keluarga besar Joyobono, terutama bapak-ibu saya, SumantriSukemi, Kel. Rustiyani, Kel. Agus Hananto, dan Tedjo Patmono yang telah berjuang "menyekolahkan" saya. 5. Keluarga besar H. Ridwan, terutama, bapak-ibu mertua, Drs. H. Imam Soetadi-Hj. Sulastri yang telah memercayakan putrinya, Imajati Skripina.,untuk mendampingi saya berjuang, adik-adik, Ike dan keluarga, dan Ikrar, serta Kel. besar Madiun (Kel. Bulik Sugiarti, Kel. Om Didik, Kel. Bulik Enik, Kel. Bulik Rina) dan Surabaya (Bulik Diah, Om Bambang, Mbak Risma, Mas Eko, Mas Yun, dU.)yang saya cintai. 6. Istri tercinta, Hj. Imajati Skripina Soetadi, S.E.Ak. yang selalu "belajar bersama" tentang hidup-kehidupan. Anak-anak tersayang, Monita Sarah Maestri, Dita Sabila Maestri, dan satu yang belum sempat lahir. Demikianlah pidato saya. Terima kasih atas perhatiannya. Assalamu' alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
17 DAFTAR PUSTAKA Akamatsu, K. 1961. "A Theory of Unbalanced Growth in the World Economy". Weltwirtschaftliches Archiv 86:196-217. . 1962. "A Historical Pattern of Economic Growth in Developing Countries". The Developing Economies 1:3-25. Appleyard, D.R. and Field, AJJR. 2001. International Economics. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. Aryaji, S. 2007. "Pendahuluan". Dalam Arifin, S., D.E., Rae, dan C.P.R Joseph (Ed.), 2007. Kerja sama Perdagangan Internasional: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Balassa, B. 1961. The Theory of Economic Integration. London: Allen & Unwin. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Fane, G. and T. Condon. 1996. "Trade Reforms in Indonesia: 19871995." Bulletin of Indonesian Economic Studies 27(1):105-25. Hill, H. 1997. Indonesia's Industrial Transformation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics Theory and Policy. USA: Addison-Wesley Publishing Company. Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri 2030? Yogyakarta: Andi.2007. Leamer, E.E. and R.M. Stern, 1970. Quantitative International Economics. Chicago: Aldine Publishing Co. McCarthy, D.M.P. 2006. International Economic Integration in Historical Perspective. New York: Routledge. Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage of Nations. London: McMillan. Smith, A. 1937. The Wealth of Nations, Edwin Cannan (Ed.). New York: Modern Library. Stiglitz, J.E. dan A. Charlton. 2006. Fair Trade for. All: How Trade Can Promote Development. Oxford: Oxford University Press. Soelityo. 2008. Ekonomi Internasional 1. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
18 Verdoorn, PJ. 1960. "The Intra-Bloc Trade of Benelux". Dalam Robinson, E.A.G (Ed.). Economic Consequences of the Size of Nations. London: Macmillan. Viner, J. 1950. The Custom Union Issue. New York: Carnegie Endowment for International Peace. Widodo, T. and D. Putriani. 2013. "RMB Devaluation and ASEAN 5 Countries Exports to the US: Complementary of Substitutes". Review of Economic and Business Studies. Widodo, T. and Samsubar. 2011. "Unbalanced Economic Growth and Dynamic Trade Specialization". Journal of Center for World Trade Studies. Widodo, T. 2015 (Forthcoming). "Purchasing Power Parity and Productivity-Bias". Review of Economic and Business Studies. . 2010a. "Market Dynamics in the EU, NAFTA, North East Asia and ASEAN: The Method of Constant Market Shares (CMS) Analysis". Journal of Economic Integration (25:3). . 2010b. Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures, and Case Studies. Review of Economic and Business Studies. . 2009a. "Dynamic Changes in Comparative Advantage: Japan "Flying Geese" and Its Implications for China". Best Paper Award from the Emerald Publisher, UK. . 2009b. "Dynamic Comparative Advantages in the ASEAN+3". Journal of Economic Integration 24(3), September. 2009c. "Dynamics and Convergence of Trade Specialization in East Asia". The Asia Pacific Journal of Economics and Business 13(1), June. . 2008a. "Products Mapping and Dynamic Shift in the Patterns of Comparative Advantage: Could India Catch Up China?". HUE Journal Economics and Business Vol. 31(2), pp. 52-79. 2008b. "Structure of Protection in Indonesian Manufacturing Sector". ASEAN Economic Bulletin Vol. 25, No. 2, pp. 161-78. . 2008c. "Dynamic Changes in Comparative Advantage: Japan "Flying Geese" and Its Implications for China". The
19 Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies Vol. 1, No.3, pp. 200-13. . 2008d. "The Method of Constant Market Shares (CMS) - Competitiveness Effect Reconsidered: Case Studies of ASEAN Countries", Journal of Indonesian Economy and Business Vol. 23. No.3. 2008e. "Factor Endowments and Comparative Advantage of East Asia". Economics and Finance Indonesia, Vol. 56, No.2. . 2007a. "Economic and Environment Impact of Trade Liberalization in Manufacturing Sector". Economics and Finance in Indonesia Vol. 55, No. 1 (2007), pp. 1-31. . 2007b. "European Presence in Indonesia'. Asia Europe Journal 5(3): pp. 381-99.
20 BIODA T A
Nama
: Prof. Dr. Tri Widodo, S.E., Grad.Dip., M.Ec.Dev. Tempat/tanggallahir : Yogyakarta, 28 Juni 1971 NIP : 197106281997021001 Pangkat, jabatan : IV/a, Guru Besar Pekerjaan : Dosen Alamat kantor : FEB UGM, J1.Sosio Humaniora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta Alamat : J1.Tongkol Raya G-7. Perum. Minomartani, Sleman E-mail :
[email protected];
[email protected] Riwayat Pendidikan · 1984-1977: SDK Pugeran, Yogyakarta · 1984-1987: SMP Negeri 2, Yogyakarta · 1987-1990: SMA Negeri 4, Yogyakarta
· 1990-1995: Bachelor Degree, Economics, Gadjah Mada University, Indonesia (S.E) · 1998-1999: Graduate Diploma, Economics Development, Australian National University, Australia (Grad.Dip.Ec.Dev) 1999-2000: Master Degree, Economics Development, Australian National University, Australia (M.Ec.Dev) · 2006-2009: Doctor of Philosophy (Ph.D.), Hiroshima University of Economics, Hiroshima, Japan
·
Riwayat Pekerjaan 1996-sekarang: Dosen FEB UGM Publikasi Peer Reviewed Journal (Selected)
·
Tri Widodo. 2015 (Forthcoming). "Purchasing Power Parity and Productivity-Bias". Review of Economic and Business Studies.
21
· Tri Widodo. 2014. "The Welfare Impacts of Price Equalization in Energy Market Integration". In Han, P. and F. Kimura (Eds.). Energy Market Integration in East Asia: Energy Trade, Cross Border Electricity, and Price Mechanism. ERIA Research Project Report FY 2013, No. 29. Jakarta: ERIA, pp. 111-133. (Co-author: R. Millanida H). Tri Widodo. 2013. "Impact of Education on Economic Growth in Indonesia: A Panel Approach". Journal of Indonesian Economy and Business (Co-author: Fizal Reza). Tri Widodo. 2012. "RMB Devaluation and ASEAN 5 Countries .Exports to the us: Complentary of Substitutes". Review of Economic and Business Studies (Co-author: Diyah Putriani). Tri Widodo. 2012. "Economic Base: Modified LQ and Dynamic Specialization". Fokus Ekonomi (Co-author: Endang Taufiqurahman). Tri Widodo. 2011. "Unbalanced Economic Growth and Dynamic Trade Specialization". Journal of Centerfor World Trade Studies. (Co-author: Samsubar Saleh). · Tri Widodo. 2011. "Balance Sheet Channel of Monetary Policy in Indonesian Manufacturing Firms". Economic Journal of Ememerging Markets (Co-author: M. Farid Alfarisy, Nopirin, Iswardono, S.P.). · Tri Widodo. 2010. "Market Dynamics in the EU, NAFTA, North East Asia and ASEAN: The Method of Constant Market Shares (CMS) Analysis". Journal of Economic Integration (25:3). · Tri Widodo. 2010. "Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures and Case Studies". Review of Economic and Business Studies. Tri Widodo. 2009. "Characteristics of Japanese Household Demand". Journal of Indonesian Economy and Business. (Coauthor: Duddy R).
· · · ·
· ·
Tri Widodo. 2009. "Dynamic Changes in Comparative Advantage: 'Japan "Flying Geese" and Its Implications for China". Journal of Economic and Foreign Trade Studies. Best Paper Award from the Emerald Publisher, UK.
22 · Tri Widodo. 2009. "Dynamic Comparative Advantages in the ASEAN+3". Journal of Economic Integration 24(3), September. · Tri Widodo. 2009. "Survey of Recent Developments". Bulletin of Indonesian Economic Studies 45(2) (Co-author: Mudrajad Kuncoro, Ross McLeod).
· Tri Widodo. 2009. "Dynamicsand Convergenceof Trade · · ·
·
·
·
·
Specialization in East Asia". The Asia Pacific Journal of Economics and Business 13(1), June. Tri Widodo. 2009, "Marx's Capital: The Revolt Against Classical Economics". AKI Ronsou, Japan. Tri Widodo. 2008. "Products Mapping" and dynamic shift in the patterns of comparative advantage: Could India Catch Up China?'. HUE Journal Economics and Business Vol. 31(2), pp. 52-79. Tri Widodo. 2008. "Structure of Protection in Indonesian Manufacturing Sector', ASEAN Economic Bulletin, Vol. 25, No.2, pp. 161-78. Tri Widodo. 2008. "Dynamic Changes in Comparative Advantage: Japan "Flying Geese" and Its Implications for China", The Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies, Vol. 1, No.3, pp. 200-13. Tri Widodo. 2008. "Shift in Pattern of Specialization: Case Studies of China and India". Gadjah Mada International Journal of Business Vol. 10, No.1. Tri Widodo. 2008. "The Method of Constant Market Shares (CMS) - Competitiveness Effect Reconsidered: Case Studies of ASEAN Countries", Journal of Indonesian Economy and Business Vol. 23. No.3. Tri
Widodo.
2008.
"Factor
Endowments
and
Comparative
Advantage of East Asia", Economics and Finance Indonesia, Vol. 56, No.2.
· Tri Widodo. 2007. "Productivity Differentials and Purchasing Power Parity: Cases of Indonesia and Korea". HUE Journal of Economics and Business 30(1-2): 147-69.
·
Tri Widodo. 2007. "Economic and Environment Impact of Trade Liberalization in Manufacturing Sector", Economics and Finance in Indonesia, Vol. 55, No.1 (2007), pp. 1-31.
23
· ·
Tri Widodo. 2007. "European Presence in Indonesia". Asia Europe Journal 5(3): pp. 381-99. Tri Widodo. 2007. "Non-traded Goods and Purchasing Power Parity Deviation: Evidence from ASEAN Countries". Journal of Indonesian Economy and Business 22 (1), pp. 43-56. · Tri Widodo. 2006. "Demand Estimation and Household's Welfare Measurement: Case Studies on Japan Indonesia". HUE Journal of Economics and Business 29 (2-3), pp. 103-36.
Books (Selected) · Tri Widodo. (2015, Forthcoming). Menuju Negara Maju: Apakah Indonesia Bergerak ke Arah yang Benar. Gadjah Mada University Press (Co-author: AA Susanto, M. Mustofa, M. Hidriyani, N. Kamil). · Tri Widodo. 2010. International Trade, Regionalism and Economic Integration. BPFE, Yogyakarta. · Tri Widodo. 2006. Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Book Chapters (Selected)
·
Tri Widodo. 2015. "MEA dan Jawa Timur". Dalam Wijoyo, S. dan
P. Rijadi. Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka. Jakarta: Prenadamedia Group. · Tri Widodo. 2013. "The Root Cause of Deforentration in Indonesia: an Islamic Economic Approach". Dalam Dhont, F., T.W., Webster (Ed.). Between the Montain and Sea: Positioning Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. · Tri Widodo. 2013. "AEMI Benefits". Dalam EAMI Group (Ed.). ASEAN Energy Market Integration (AEMI): From Coordination to Integration. ASEAN Studies Center, Chulalongkom University. (Co-authors: Chang, Y., N.T.M., Anh, dan P. Kyophilavong). Tri Widodo. 2013. Impact of Fuel Subsidy Removal on Indonesian Economy. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). (Co-author: Gumilang Aryo Sahadewo, Sekar Utami Setiastuti, Maftuchatul Chaeriyah).
·