Paradigma Studi Hadis di Dunia Pesantren Mochamad Samsukadi Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak: Al-Qur‟an dan Hadis menempati posisi sentral dalam ajaran Islam. Semua keilmuan Islam bermuara pada keduanya. Sudah seharusnya studi al-Qur‟an dan Hadis mendapatkan perhatian lebih dari pada disiplin keilmuan yang lain. Namun ironisnya, sulit ditemukan pesantren, sebagai pusat kajian Islam, yang fokus pada studi alQur‟an dan Hadis. Melalui kajian literatur, artikel ini berusaha melacak tradisi pesantren dalam studi al-Qur‟an dan Hadis, terutama studi Hadis. Dari kajian ini diketahui, kajian utama di pesantren adalah fikih dan ilmu bahasa Arab sedangkan kajian al-Qur‟an dan Hadis hanya sebagai pendukung dari kajian utama. Hal ini dikarenakan adanya asumsi di kalangan masyarakat pesantren bahwa Hadis adalah bagian inheren dari Nabi yang sakral, sehingga tidak sembarang orang bisa mengkajinya. Di sisi lain pola pendidikan pesantren lebih menekankan pendekatan amaliah dari pada ilmiah. Sehingga wajar jika studi Hadis di pesantren hanya bersifat pengantar saja dan hampir mustahil ditemukan kajian Hadis yang mendalam, seperti fikih dan bahasa, di pesantren. Key Word: Hadis, Studi Hadis, Pesantren. Abstract: Koran and Hadith has a central placed in Islamic learning. All of Islamic learning are from both. Therefore, Koran and Hadith studies must have more attention than the other. Unfortunately, it is difficult to find out Islamic study center which focus on Koran and hadith studies. Based on this phenomenon, this article tried to trace pesantren tradition in especially hadith studies. The result was, the main studies in pesantren are fiqh and Arabic. Meanwhile Koran and hadith studies support the main one. This is the fact based on the assumption among the pesantren society that hadith is sacred part of the prophet Muhammad, not everyone can learn it. In addition, pesantren education pattern emphasize on charity approach than scientific. Therefore, hadith study in Religi: Jurnal Studi Islam Volume 6, Nomor 1, April 2015; ISSN: 1978-306X; 46-75
Paradigma Studi
pesantren is merely introductory, not in depth study such fiqh and language. Keyword: hadith, hadith study, pesantren.
Pendahuluan Hadis merupakan sumber primer ajaran Islam sebagai pelengkap keberadaan al-Qur‟an. Keberadaan Hadis menjadi penting bagi al-Qur‟an untuk mengungkap ajaran-ajaran yang masih global. Tanpa Hadis umat Islam tidak akan memahami detail teknis ibadah yang diperintahkan al-Qur‟an, seperti salat, zakat, haji dan lain-lain. Walupun demikian, Hadis tidak mendapatkan tempat yang prioritas dalam lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Pesantren lebih memprioritaskan fikih dan bahasa Arab, dibanding al-Qur‟an dan Hadis. Sejak Abad 17 M, banyak kaum santri yang belajar Hadis ke Timur Tengah, tarutama Mekah dan Madinah, untuk belajar Hadis Nabi dari ulama-ulama H{aramayn. Semisal, Mah}fu>z} alTirma>si> tercatat sebagai pelajar dari kalangan pesantren Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap studi Hadis ketika belajar di Mekkah dan mengantarnya menjadi ulama yang dikenal di bidang Hadis. Di Mekkah, al-Tirma>si> mengajar Sahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang cemerlang, Hasyim Asy‟ari, pulang dan menjadi tokoh utama pesantren, khususnya di Jawa. Hasyim Asy‟ari yang kemudian biasa disebut dengan gelar H{adrat al-Shaykh ini merupakan pengajar Hadis yang dipandang paling otoritatif di dunia pesantren terutama pesantren tradisional yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama. Sekalipun jejak-jejaknya sudah dapat dilacak sejak abad ke17, kajian Hadis tidaklah begitu populer pada masa-masa sebelum abad ke-20. Barulah pada abad ke-20, muncul slogan “kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah” yang kuat didengungkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai bagian dari ide dasar upaya pembaharuan Islam atas respon Volume 6, Nomor 1, April 2015
47
Mochamad Samsukadi
terhadap modernisme. Semangat yang sedang bersemai untuk memahami al-Quran dan Hadis secara lebih baik, menjalar ke mana-mana dan banyak menggugah umat Islam. Meski demikian kajian Hadis tetap belum dapat populer dan hanya marak dilakukan oleh pribadi-pribadi. Kajian Hadis yang serius seperti yang diharapkan oleh semangat pembaharuan Islam, belum menjadi fokus di lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama pesantren tradisional. Karena memang pada mulanya Hadis merupakan mata pelajaran yang jarang diajarkan sebagai kurikulum prioritas di pesantren. Hadis-Hadis yang diajarkan sangat terbatas baik dari sisi lingkup dan urgensitasnya sebagai sumber hukum. Pesantren tradisional memberi porsi pada Hadis sebagai mata pelajaran lini kedua yang sekedar berfungsi melengkapi mata pelajaran utama yaitu fikih. Fikih di dunia pesantren tradisional adalah bagian utama dari tradisi keilmuan dari suatu istilah yang dikenal dengan kitab kuning. Selain sebagai pedoman tata cara dalam beribadah, kitab kuning berfungsi juga sebagai referensi nilai universal dalam menyikapi setiap problem kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Penggunaan kitab kuning yang bersifat permanen dan turun-temurun di pesantren tradisional, menjadikan kitab kuning akan tetap terus-menerus dipelihara sebagai bagian dari keunikan tradisi. Yang menarik untuk diamati, menurut Affandi Muchtar adalah: mengapa harus kitab kuning yang dijadikan referensi turun-temurun itu? Jawaban atas pertanyaan ini penting untuk menjawab pertanyaan fundamental: bukankah alQuran dan Hadis Nabi semestinya menjadi lokus utama kurikulum pendidikan pesantren?1 Kitab kuning yang beredar di dunia pesantren, rata-rata merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M.
1Affandi Muchtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Obsevasi Umum”, dalam Said Aqiel Siradj et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 231.
48
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
Artikel ringkas ini tidak akan mengambil posisi untuk menjelaskan pertanyaan di atas dan mencari jawabannya. Artikel ini hanya akan menguraikan garis tegas asumsi bahwa status dua sumber ajaran utama Islam, terutama Hadis, tidak memperoleh tempat kajian yang memadai dan serius dalam kurikulum sebagian besar pesantren tradisional di Indonesia. Artikel ini melengkapi tulisan-tulisan yang telah banyak diangkat mengenai rendahnya minat kajian pesantren secara langsung dan kritis terhadap al-Quran dan Hadis. Pelopor Kajian Hadis di Indonesia Pada abad ke-17 Nu>r al-Di>n al-Ra>niri>2 dan „Abd al-Ra‟u>f alSinkili>3 di Aceh menulis karya di bidang Hadis. Al-Ra>niri> membicarakan Hadis dalam karyanya Hida>yat al-H{abi>b fi alTarghi>b wa al-Tarhi>b. Karya ini merupakan buku ringkas berbentuk terjemahan atas sejumlah hadis dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Dalam karyanya ini, ia tidak saja membahas hadis-hadis tetapi juga menyertakan ayat-ayat al-Qur‟an. Karya ini merupakan rintisan penting dalam studi Hadis di Indonesia.
2Nu>r al-Di>n Muh}ammad b. „Ali> b. H{asan al-H{ami>d al-Sha>fi‟i> al-Aydarusi> al-Ra>niri> dilahirkan di Ranir (sekarang Randir); sebuah pelabuhan tua di pantai Gujarat. Mekipun singkat, selama tujuh tahun kiprahnya di tanah Aceh membuatnya dikenal sebagai ulama Nusantara. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Konon ibunya asli Melayu sedangkan ayahnya imigran Hadhrami (Hadramaut) yang memiliki tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ada kemungkinan ia keturunan Abu> Bakr Abdullah b. Zubayr al-Asadi> al-H{umaydi> (w. 219/834), ulama hadis dan mufti terkemuka di Mekkah serta murid kenamaan Imam Syafii. Al-Ra>niri> wafat di Gujarat pada tahun 1068/1658. Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 202. 3„Abd al-Ra‟u>f b. „Ali> al-Ja>wi> al-Fansu>ri> al-Sinkili> adalah seorang Melayu dari Fansur (Barus) Singkel, pantai barat laut Aceh. Berdasarkan estimasi D.A. Rinkes, ia lahir sekitar tahun 1024/1615. Azyumardi Azra meragukan keterkaitan erat kekeluargaan „Abd al-Ra‟u>f dengan Hamzah Fansuri. Juga tidak ditemukan indikasi kontak pribadi antara „Abd al-Rauf dan al-Ra>niri>. Perjalanan studi „Abd al-Ra‟u>f al-Sinkili> tidak saja ke Mekkah-Madinah, tetapi juga ke Doha (di Teluk Persia), Yaman, dan Jeddah. Azyumardi Azra, Jaringan Ulam, 230.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
49
Mochamad Samsukadi
Menurut al-Ra>niri>, penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan mendalam mengenai Hadis Nabi SAW. Al-Ra>niri> menjabat sebagai Shaykh al-Isla>m di Kesultanan Aceh pada masa Sultanah S{afiyyat al-Di>n (1051-86/1641-75), janda Sultan Iskandar II. Al-Ra>niri> menggantikan Shaykh alIsla>m Kesultanan Aceh sebelumnya yang telah wafat, Shams alDi>n al-Samatrani>. Dengan jabatannya ini, al-Raniri yang berhaluan Asy'ariyyah fanatik menunjukkan reaksi ekstrem terhadap pengikut Shams al-Di>n al-Samatrani> dan Hamzah Fansuri yang memegang teguh ajaran tasawwuf wujudiyyah (eksistensialisme). Mereka ditangkap bahkan dihukum mati bila enggan menunjukkan rasa hormat pada syariat dan menyatakan tobat.4 Sedangkan al-Sinkili> menulis dua karya tentang Hadis, yaitu penafsiran terhadap Hadi>th Arba‘i>n karya al-Nawa>wi>5 yang ditulis al-Sinkili> atas permintaan Sultanah (Ratu) Zakiyyat al-Di>n (1088-89/1678-1688) dan koleksi Hadis-Hadis Qudsi yang diberi judul al-Mawa>‘iz al-Badi>‘ah. Kitab Hadi>th Arba‘i>n karya alNawa>wi> merupakan sebuah koleksi kecil hadis menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praktis yang ditujukan bagi umat Islam kebanyakan. Al-Sinkili> mewarisi kecenderungan jaringan ulama yang menekankan arti penting penguasaan Hadis. Al-Sinkili> juga menjadikan Sharh} Kita>b Muslim karya alNawawi sebagai salah satu rujukan penting dalam menyusun kitab fikih yang berjudul Mir’at al-Tulla>b fi> Tasyi>l Ma'rifah alAh}ka>m al-Shar'iyyah li al-Ma>lik al-Wahha>b. Sepulang dari Timur 4Ibid.,
219. sebagian karyanya di bidang hadis, tokoh ini, di pesantren lebih dikenal sebagai faqih > al-fuqaha>' (ahli fikih). Nama panjangnya yang populer adalah Abu> Zakariyah Muh}y al-Di>n al-Nawa>wi> al-Dimshaqi>. Lahir di Nawa Hauran Syria pada tahun 631/1233 dan meninggal juga di sana pada tahun 676/1277. Karya Imam Nawawi di bidang hadis, yaitu Riya>d} al-S{a>lih}i>n, alMinha>j fi> Sharh} Muslim, al-Adhka>r al-Muntakhabah min Kala>m Sayyid alAbra>r, al-Khulas}a>h fi> al-H{adi>th: Mukhtas}ar al-Ah}a>di>th fi> Sharh} al-Muhadhdhab dan al-Arba'i>n al-Nawa>wiyyah. Lihat: Abdullah Musthofa al-Mara>ghi>, Pakarpakar Fiqh Sepanjang Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 2001), 209. 5Meski
50
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
Tengah, Al-Sinkili> dipercaya menduduki jabatan sebagai Qa>d}i> Ma>lik al-'A
n (1088-89/16781688). Sepanjang karir intelektualnya, al-Sinkili> mendapatkan perlindungan dari Sultanah. Dia menulis sekitar 22 karya yang sebagian besar bertemakan masalah-masalah fikih, tafsir, kalam, dan tasawwuf. Melalui Mir’at al-Tulla>b ia menjadi ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqh mu'a>malah. Ia menerangkan bahwa doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup sseluruh aspek kehidupan.6 Dari dua tokoh inilah, awal aktivitas kajian Hadis di nusantara dirintis. Kajian Hadis dari dua tokoh ini masih bersifat konsumtif-reseptif. Karya dua ulama di atas hanya diarahkan untuk mendukung pembelajaran fiqih dan akhlak dalam rangka pembinaan aktifitas-aktifitas keagamaan. Kajian Hadis yang dimaksud belum sampai pada tahapan penelitian terhadap autentitas dan validitas Hadis-Hadis yang digunakan. Kajian ‘ilm mus}t}ala>h} al-h}adi>th belum memperoleh ruang perhatian yang semestinya. Sejalan dengan munculnya gerakan muslim modernis pada abad ke-20, Hadis semakin menempati posisi kajian yang penting. Seperti diungkapkan oleh Howard M. Federspiel dalam hasil penelitiannya terhadap literatur Hadis sampai tahun 1980-an, banyak karya-karya Hadis yang ditulis oleh para penulis Indonesia sendiri. Sampai akhir tahun 1980.-an, paling tidak terdapat empat jenis (genre) literatur Hadis di Indonesia. Jenis pertama adalah literatur ilmu Hadis yang berisi analisis terhadap autentitas dan valitidas Hadis yang berkembang pada masa awal Islam untuk menentukan autentitas dan validitasnya. Jenis kedua adalah literatur terjemahan terhadap kitab-kitab Hadis yang disusun pada masa klasik (620-1250 H) dan masa pertengahan Islam (1250-1850 H). Jenis ketiga berisi antologi 6Ibid.,
225-226 dan 245-251. Volume 6, Nomor 1, April 2015
51
Mochamad Samsukadi
Hadis pilihan yang diambil dari kitab-kitab kompilasi Hadis, yang dipilih dan ditulis ulang oleh penulis Indonesia. Kemudian jenis keempat berisi kompilasi Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum dan materi pelajaran di sekolah-sekolah Islam.7 Seperti dituturkan oleh Federspiel, sejak tahun 1930-an banyak sarjana muslim yang menerjemahkan kitab-kitab Hadis ke dalam bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh utama penerbitan Hadis adalah KH. Munawar Khalil dari Semarang pada tahun 1930-an, M. K. Bakry pada 1955 dan Zainuddin Hamidi dan kawankawannya pada akhir 1950-an. Pada masa ini, Hadis menjadi bagian dari kurikulum pesantren dan madrasah. Teks-teks Hadis dalam bahasa Indonesia ditulis untuk kepentingan ini. Namun demikian, seperti pengamatan Federspiel, teks-teks tersebut dilihat dari sisi content tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah dipelajari pada masa-masa sebelumnya di pesantren-pesantren dan bersandar secara tekstual pada teks-teks Arab. Hingga tahun 1980-an, kajian akademis ilmu Hadis tidaklah banyak mendapat perhatian dari orang-orang Islam sendiri. Literatur ‘ilm mus}t}ala>h} al-h}adi>th yang ditulis, selain dari sisi isi tidak memuat hal-hal baru, juga belum membahas kritik hadis secara tuntas. Teori kritik hadis yang dikemukakan hanya mencakup kritik sanad dan matn yang diarahkan untuk mengetahui secara teoritis belaka tingkat autentisitas dan validitas Hadis. Sedangkan pengembangan kritik matn yang diarahkan untuk fiqh al-h}adi>th (interpretasi Hadis) belum mendapat perhatian. Terjemahan terhadap koleksi-koleksi standar juga tidak dilakukan secara tuntas. Yang ada hanyalah terjemahanterjemahan yang merupakan nukilan sebagian saja dari kitab koleksi Hadis standar. Penerjemah-penerjemah Hadis yang lain di 7Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII – Sekarang)”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran-Hadis, Vol. 05, No. 01, (Januari 2004), 114.
52
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
antaranya adalah H. S. Fachruddin, Zainuddin Hamidi, A. Razak -ketiga-tiganya adalah guru agama-, H. Bahreisy, M Rathomy yang juga ada kemungkinan berfungsi sebagai guru. Tafsir terhadap Hadis juga belum intens dilakukan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa bidang kajian Hadis ini baru dalam taraf kelahirannya.8 Studi Hadis di Dunia Pesantren 1. Gambaran Umum Pesantren Pada titik yang paling awal, menurut Gus Dur, pesantren9 merupakan lembaga pendidikan umum satusatunya. Lembaga pendidikan kraton hanya khusus terkait dengan keluarga besar kraton dan relasi-relasi elitnya. Sedangkan lembaga pendidikan pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak mungkin belajar di lembaga kraton. Asumsi Gus Dur, pesantren kala itu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Berbeda dengan sekarang di mana pesantren berkembang elitis hanya untuk mencetak ulama. Pesantren saat ini hanya menampung masyarakat yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen terhadap Islam sebagai ideologi.10
8Muh.
Tasrif, “Studi Hadis di Indonesi”, 116. berasal dari kata pe-santri-an yang berarti tempat para santri. Kata santri menurut Anthony A. Johns, berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C. Berg berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Sansakerta shastri yang artinya orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Lihat: Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 18. Namun menurut Nurcholis Madjid, kata santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu cantrik; seseorang yang selalu mengikuti gurunya ke mana ia menetap. Ini sejalan dengan kata kyai atau nyai yang populer untuk menyebut guru pesantren. Kyai dan nyai berasal dari kata yahi dan nyahi sebagai kata panggilan untuk orang tua pada usia kakek-kakek dan nenek-nenek. Lihat: Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren:Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 20. 10Abdurrahman Wahid, “Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?”, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta:LkiS, 2000), 112. 9Pesantren
Volume 6, Nomor 1, April 2015
53
Mochamad Samsukadi
Menurut Azyumardi Azra, dalam dua dekade terakhir ini santri memainkan peran penting proses islamisasi atau reislamisasi di kalangan umat Islam Indonesia. Proses „islamisasi‟ ini diindikasikan oleh bertambahnya jumlah masjid dan simbol pendidikan Islam lainnya di Indonesia, pertumbuhan jumlah orang yang pergi haji, dan berdirinya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Islam baru, seperti bank syariah dan asuransi syariah. Istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan gerakan islamisasi ini adalah „santrinisasi‟. Proses santrinisasi berawal dengan santri yang mengalami re-islamisasi selama pendidikannya di pesantren karena proses penanaman ajaran dan praktik-praktik Islam yang berlangsung lebih intens di lingkungan sistem pendidikan pesantren dari pada sistem pendidikan lain. Selanjutnya, santri-santri membawa pulang ilmu dan pelajaran yang mereka dapat di pesantren dan menyampaikan kepada keluarga dan orang tuanya. Menurut tesis Azyumardi Azra, santri tersebut bahkan mengajarkan kepada orangtua mereka yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka mengenai ajaran dan praktik Islam tertentu. Akibatnya, agar tidak mengecewakan sang anak, mereka mulai mempelajari Islam secara lebih mendalam.11 Pemahaman santri terhadap Islam sendiri bersifat variatif; tergantung proses dan lama belajarnya. Santri yang menempuh pendidikan dalam waktu yang relatif singkat, hanya berkesempatan menguasai sedikit keilmuan dan itu bersifat mendasar-praksis. Semakin lama santri menghabiskan waktu studi, semakin besar peluangnya untuk mempelajari dan mendapatkan bimbingan keilmuan yang mendalam dari
11Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Kalimah, 2001), 80.
54
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
kyai. Pada akhirnya, santri yang berkualitas adalah santri yang telah menyerap banyak bimbingan dari guru. Saat ini pesantren dituntut untuk melakukan reorientasi lagi terhadap perannya di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosialnya. Kalau dulu, ketika struktur komunal masyarakat kental bersifat agraris, hubungan pesantren dengan masyarakat tampak begitu interaktif. Bahkan kala itu, pesantren dapat memerankan diri sebagai cultural broker (perantara kebudayaan masyarakat). Namun saat ini, sebagian besar pesantren hanya mendapatkan bagian peran melakukan konservasi kebudayaannya saja.12 2. Studi Hadis di Pesantren Syeikh Mah}fu>z} al-Tirma>si> (w. 1919/1920 M) tercatat sebagai ulama dari Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap bidang hadis. Mah}fu>z berasal dari Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Usianya mungkin lebih muda dari Syeikh Nawawi al-Banta>ni>. Ayahnya Kyai Abdullah bin Abdul Mannan Dipomenggolo adalah pemimpin Pesantren Tremas Pacitan yang didirikan ayahnya, Abdul Mannan Dipomenggolo pada tahun 1830. Mah}fu>z dan adiknya Dimya>t}i>, dikirim ke Mekkah kemungkinan pada perempat terakhir abad ke-19 M. Keduanya, satu angkatan dengan Kyai Khalil Bangkalan ketika belajar di Mekkah pada sekitar tahun 1860-an. Mah}fu>z menetap di Mekkah dan menjadi guru besar di sana menggantikan wibawa gurunya, Syeikh Nawawi al-Banta>ni>. Sedangkan adiknya, Dimya>t}i> bin Abdullah pulang kembali ke Indonesia memenuhi panggilah ayahnya dan meneruskan kepemimpinan Pesantren Tremas. Di kalangan kyai pesantren, Syeikh Mah}fu>z} dikenal sebagai seorang pakar Hadis Bukhari. Ia diakui sebagai seorang pemegang isnad (mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran Sahih Bukhari. Ia 12Nurcholish,
Bilik-bilik Pesantren, 115. Volume 6, Nomor 1, April 2015
55
Mochamad Samsukadi
mendapatkan hak untuk memberikan ijazah kepada muridmuridnya yang berhasil menguasai Sahih Bukhari. Ijazah tersebut berasal langsung dari Imam Bukhari yang ditulis sekitar 10 abad yang lalu dan diserahkan secara berantai kepada 23 generasi ulama utama yang menguasai Sahih Bukhari. Syeikh Mah}fu>z} kala itu merupakan bagian dari mata rantai yang terakhir.13 Murid kesayangan Syeikh Mah}fu>z alTirma>si> adalah H{adrat al-Shaykh Hasyim Asyari. Hasyim mendapatkan ijazah mengajar Sahih Bukhari dari guru Hadisnya ini.14 Syeikh Mah}fu>z}, guru besar Masjid al-H{aram yang mengikuti tradisi pemikiran Syeikh Khat}i>b al-Sambasi> dan Syeikh Nawawi al-Banta>ni>, banyak mempengaruhi sosok Hasyim Asyari yang kelak dikenal sebagai ''jenderal besar'' ulama pesantren (khususnya yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama). Sebagaimana Syeikh Mah}fu>z, Hasyim Asyari akhirnya menjadi seorang ahli Hadis.15 Seperti gurunya, al-Tirma>si>, Hasyim sangat tegas mempertahankan ajaran-ajaran mazhab. Sebenarnya ia juga menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk menyegarkan kembali Islam, tetapi ia menolak gagasan Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari ikatan-ikatan mazhab. Hasyim berkeyakinan bahwa tidak mungkin memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Quran dan Hadis tanpa mempelajari pendapat-pendapat ulama besar dalam sistem mazhab. Menafsirkan al-Quran dan Hadis tanpa mempelajari dan meneliti pendapat para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan ajaran-ajaran Islam yang 13Dhofier,
Tradisi Pesantren, 90. masyarakat pesantren, ijazah menandakan pengakuan absah dari seorang guru dan ijin darinya kepada santri untuk mentransfer suatu ilmu pengetahuan agama kepada siapapun yang dikehendakinya. Ijazah ini seperti matarantai sanad yang dapat menjadi bukti autentitas dan kehandalan keilmuan seseorang. Lihat: M. Habib Chirzin, “Agama dan Ilmu dalam Pesantren” dalam Pesantren dan Pembaharuan, ed. M. Dawam Rahardjo, (Jakarta: LP3ES, 1988), 89. 15Dhofier, Tradisi Pesantren, 93. 14Bagi
56
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
sesungguhnya.16 Hasyim menginginkan kesinambungan pemikiran antar masa. Mengabaikan pemikiran-pemikiran terdahulu begitu saja, akan berdampak ahistoris dan distortif. Kesaksian mengenai wibawa Hasyim di bidang hadis dituturkan oleh Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama RI 1962-1967)17 yang ketika masa muda sempat beberapa kali melakukan kunjungan singkat ke Tebuireng. Kiai dari pesantren manapun, menurut Saifuddin, bisa saja membaca kitab Sahih Bukhari, tetapi tetap saja daya tarik kharismatik Hasyim Asy‟ari dalam memberikan pengajian Sahih Bukhari mendapatkan tempat paling istimewa di kalangan pesantren. Pengampu kitab Sahih Bukhari di dunia pesantren, jelas bukan sarjana sembarangan. Sebab, Sahih Bukhari dianggap induk dari semua kitab hadis yang ada. Ketika bulan Ramadan, Hasyim biasa menggelar khataman kitab Sahih Bukhari. Tak pelak, berduyun-duyunlah para kyai dari berbagai daerah di Jawa dan Madura datang ke Tebuireng dalam rangka menghadiri pengajian Sahih Bukhari tersebut. Tentu saja para kiai tersebut bukannya tidak bisa mengaji sendiri kitab tersebut. Mereka datang ke Tebuireng untuk tabarruk (mencari berkah) pada seorang ulama yang diakui kemampuannya di bidang Hadis. Konon Hasyim bukan saja menguasai kitab Sahih Bukhari tetapi juga hafal 7275 buah Hadis di dalam kitab tersebut.18 Apalagi isyarat atas kemampuan Hasyim tersebut justru datang dari gurunya, Kyai Khalil Kademangan Bangkalan Madura. Ini ditunjukkan oleh Kyai Khalil di usianya yang 16Ibid.,
95.
17Penuturan
Saifuddin Zuhri dalam otobiografi anekdotiknya, menarik perhatian peneliti pesantren dari Belanda Martin van Bruinessen. Meskipun Saifuddin selintas dalam menyebutkan nama kitab-kitab yang dibacanya di pesantren, Martin merasa cukup terinspirasi. Lihat: Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 146. 18Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007), 152. Volume 6, Nomor 1, April 2015
57
Mochamad Samsukadi
senja dan menjelang meninggal pada tahun 1923, ketika ia kerap kali berkunjung ke Tebuireng untuk mengikuti kuliahkuliah Sahih Bukhari dari H{adrat al-Shaykh. Komunitas pesantren menangkap fenomena tersebut sebagai petunjuk dari Kyai Khalil atas pengakuan keulamaan Hasyim Asyari.19 3. Penelitian Studi Hadis di Pesantren Beberapa penelitian terkait dengan kitab-kitab keilmuan yang diajarkan di pesantren telah dilakukan oleh banyak pakar baik oleh peneliti dari dalam ataupun luar negeri (Belanda atau Jerman). Beberapa di antara mereka yang memberikan sedikit-banyak gambaran mengenai studi hadis di Pesantren adalah G.J.W Drewes, Karel Steinbrink, Martin van Bruinessen (Belanda), E. Sachau (Jerman), Mahmud Yunus, Agung Danarta, dan Muh. Tasrif (Indonesia). Peneliti Belanda L.C.W. van den Berg yang penelitiannya tentang literatur pesantren sebelum abad 20 menjadi panduan penelitian lanjut Martin van Bruinessen, tidak menyebut hadis sama sekali.20 Perhatian yang besar terhadap hadis pada abad ke-20 ditandai dengan adanya kitab-kitab hadis yang dijadikan bahan ajar kurikulum di surau, madrasah, dan pesantren. Mahmud Yunus mencatat bahwa pada tahun 1900-1908 kitab hadis sudah diajarkan di berbagai surau yang menjadi cikal bakal lahirnya madrasah di Sumatera. Kitab-kitab yang diajarkan adalah H{adi>th Arba‘i>n karya al-Nawa>wi>, Sahih Bukhari, dan Sahih Muslim di bidang materi Hadis. Sedangkan di bidang ilmu Hadis, digunakanlah kitab Bayquniyah dan syarh-nya. Kemudian pada masa-masa selanjutnya, kitab-kitab Hadis dijadikan buku ajar di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren.
19Dhofier, 20Martin
58
Tradisi Pesantren, 92. Van Bruinessen, Kitab Kuning, 161.
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
Daftar kitab Hadis dan ilmu Hadis di madrasah dan pesantren antara tahun 1900-1960 menurut penelitian Mahmud Yunus No 1 2 3
Judul Kitab Sahih Bukhari Fath} al-Ba>ri> Jawa>hir al-Bukha>ri
4
Tajri>d al-Sari>h}
5
Sahih Muslim
6
Al-Arba’i>n al-Nawa>wiyah
7
Riya>d} al-S{a>lih}i>n
8
Bulu>gh al-Mara>m
9
Subul al-Sala>m
10
Al-Adab al-Nabawi>
11
Nayl al-Awt}a>r
12 13 14 15 16.
‘Ilm Mus}t}ala>h} al-H{adi>th Matn Bayquniyah Sharh} Bayquniyyah ‘Ilm Mus}t}ala>h} al-H{adi>th Minh}at al-Mughi>th Nubhat al-Fikr li Ibn Ha { jar al-‘Asqala>ni>
Pengarang Al-Bukha>ri> Ibn H{ajar al-„Asqala>ni> Mus}t}afa> M. „Ima>rah Ah}mad al-Sharji> alZabidi> Muslim Abu> Zakariyyah Muh}y al-Di>n al-Nawa>wi> Abu> Zakariyyah Muh}y al-Di>n al-Nawa>wi> Ibn H{ajar al-„Asqala>ni> Muh}ammad b. Isma„i>l alKah}la>ni> Muh}ammad „Abd al-„Azi>z al-Khu>li> Muh}ammad b. „Ali alSawka>ni> T{a>ha> b. Muh}ammad alFatta>h} al-Bayquni> „At}iyyah al-Ajhuri> Mahmud Yunus H}asan Mas„u>di> Ibn H{ajar al-„Asqala>ni>
Seperti terlihat dalam tabel di atas, di bidang materi Hadis, literatur yang digunakan meliputi kitab primer, antologi Hadis, dan kitab sharh (komentar). Yang termasuk dalam kitab primer adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, serta Volume 6, Nomor 1, April 2015
59
Mochamad Samsukadi
kitab hadis seleksi atas Shahih Bukhari, seperti Jawa>hir alBukha>ri>, dan Tajri>d al-Sari>h}. Sedangkan yang termasuk antologi meliputi Arba‘i>n al-Nawa>wiyyah, Riya>d} al-S{a>lih}i>n, dan Bulu>gh al-Mara>m. Sedangkan yang merupakan kitab komentar adalah Fath} al-Ba>ri> Sharh} al-Bukha>ri>, Subul alSala>m Sharh} Bulu>gh al-Mara>m, Hady al-Rasu>l, al-Adab alNabawi> dan Nayl al-Awt}a>r: Sharh} Muntaqa> al-Akhba>r. Dari sejumlah kitab-kitab tersebut, yang paling banyak digunakan justru kitab-kitab antologi, sedangkan kitab-kitab primer dan komentar justru hanya digunakan di sejumlah kecil madrasah dan pesantren. Kumpulan hadis paling populer yang dapat ditemukan hampir di semua pesantren adalah Bulu>gh al-Mara>m karya Ibn H{ajar al-„Asqala>ni> dan Riya>d} al-S}a>lih}i>n karya al-Nawa>wi>.21 Penelitian Martin Van Bruinessen di pesantrenpesantren dan madrasah-madrasah di beberapa propinsi di Indonesia sampai tahun 1990-an menyebutkan daftar literatur Hadis dan ilmu Hadis yang lebih lengkap dari sisi penyebaran dan penggunaannya.22 Namun, hasil penelitian Martin Van Bruinessen hanya menambahkan sedikit tambahan literatur dibandingkan penelitian Mahmud Yunus. Yaitu, Maja>lis alSaniyyah: Sharh} ‘Arba‘i>n karya Ah}mad b. H}ija>zi> al-Fasha>ni>, Tanqi>h} al-Qawl karya Nawawi Banten, Sharh} Luba>b al-H{adi>th karya al-Suyu>t}i>, dan Mukhta>r al-Ah}a>di>th karya Ah}mad Ha>shim Bek, penulis Mesir modern. Sedangkan beberapa kitab 21Ibid. 22 Penelitian literatur pesantren yang dilakukan Martin, banyak dituntun oleh penelitian tentang kitab yang digunakan di pesantren Jawa-Madura sebelumnya yang dilakukan oleh L.C.W van den Berg pada akhir seperempat terakhir abad 19 M. Penelitian van den Berg diterbitkan pada tahun 1886 dengan judul Het Mohammedaansche Godsdienstonder wijs op Java Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabisce Boeken. Menurut Martin, meskipun studi yang dilakukan van den Berg sudah lama, tetapi tetap masih merupakan survei paling terperinci mengenai kitab-kitab yang umum di pelajari setidaknya di pesantren Jawa. Lihat: Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 114, 146, dan 161.
60
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
yang lain seperti Durrat al-Na>s}ih}i>n karya Uthma>n b. H{asan alKhubuwi. (w. 1224/1804) dan ‘Usfuriyyah karya Muha>mmad b. Abu> Bakr al-„Ushfu>ri> harus dipertimbangkan dan diteliti kembali karena tidak disertai dengan sanad yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Hadis.23 Di bidang ilmu Hadis, penelitian Martin maupun Mahmud Yunus menyebutkan beberapa kitab, yaitu Naz}m Bayquniyah karya T{a>ha> b. Muh}ammad al-Fatta>h} al-Bayquni>24 dan Minh}at al-Mughi>th karya H{asan Mas'u>di> sebagai kitab yang paling umum digunakan. ‘Ilm Mus}t}ala>h} al-H{adi>th karya Mahmud Yunus dan Nubhat al-Fikr karya Ibn H{ajar al„Asqala>ni> sebagai kitab yang hanya digunakan di sebagian kecil pesantren dan madrasah. Selanjutnya, bila dilihat dari literatur yang digunakan, materi Hadis yang diajarkan, lebih dititikberatkan pada aspek ajaran Islam yang terkait dengan fikih dan akhlak. Kitab Riya>d} al-S{a>lih}i>n, al-Adab al-Nabawi>, dan Bulu>gh al-Mara>m merupakan kitab yang berisi ajaran tentang akhlak dan fikih. Selain itu, kitab Hadis primer yang umum digunakan pun terbatas hanya pada Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Hal ini barangkali terkait dengan tujuan dari pengajaran Hadis di pesantren dan madrasah itu sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pengamalan keagamaan di pesantren dan madrasah, bukan untuk membekali para muridnya untuk dapat melakukan penelitian Hadis secara mandiri. Karena itu literatur ilmu Hadis yang digunakan juga masih merupakan karya yang bersifat pengantar. Matan Bayquniyyah dan Minh}at alMughi>th adalah dua karya yang masih dasar dan umum. Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia, 112. Komentar (sharh}) atas al-Bayquniyyah yang paling populer adalah karya 'Atijah al-Ajhuri (w. 1190/1776). Kitab Sharh} al-Bayquniyyah yang lain berjudul Taqrirat al-Saniyah ditulis oleh Hasan Muhammad al-Mashh}at}, pengajar di Masjidil Haram pada tahun 1930-40-an dan memiliki banyak murid yang berasal dari Indonesia. Lihat: Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning…, 162. 23 24
Volume 6, Nomor 1, April 2015
61
Mochamad Samsukadi
Begitu pula, ‘Ilm Mus}t}ala>h} al-H{adi>th yang disusun oleh Mahmud Yunus juga tidak jauh berbeda dari dua karya lainnya. Tidak banyaknya literatur yang disusun oleh penulis Indonesia sendiri yang dijadikan bahan ajar di madrasah dan pesantren merupakan bukti bahwa kajian Hadis bersifat pengenalan. Studi tingkat lanjut terhadap Hadis belum dilakukan pada lembaga-lembaga ini.25 Sekitar abad ke-19 menurut laporan L.W.C Van Den Berg seperti dikutip Karel Steenbrink, setidaknya terdapat 54 kitab standar pegangan di pesantren. Klasifikasi dan prosentasi jenis kitab-kitab tersebut terdiri dari: fikih (35%), kalam (19%), bahasa (28%), tasawwuf (16%), dan tafsir (2%). Nasib tafsir yang sekitar 2% masih lebih baik daripada kitab di bidang Hadis yang sama sekali tidak tercatat dalam laporan tersebut. Baru satu abad kemudian, sebagaimana laporan penelitian Martin van Bruinessen terhadap 46 pesantren sampel, komposisi kitab yang digunakan di pesantren memberi tempat pada kajian Hadis sebanyak 15 kitab atau setara 13% dari total 116 jenis kitab yang digunakan. Menariknya, dari keseluruhan kitab tersebut hampir separuhnya adalah karya tulis atau terjemahan ulama Asia Tenggara.26 Cuma tidak dijelaskan, dengan komposisi tersebut, berapa banyak kitab Hadis ''produk lokal'' yang digunakan di pesanten-pesantren. Menurut Martin van Bruinessen, para santri di pesantren memang akrab dengan Hadis-Hadis Nabi, tetapi Hadis-Hadis tersebut adalah materi ''jadi'' yang sudah diseleksi, diproses, dan dikutip untuk kepentingan suatu tema pembahasan.27 Hadis-Hadis tersebut dihadirkan dalam suatu ''menu siap hidang dan siap santap'' yang menebarkan aroma melenakan. Akibatnya, para santri jarang yang tertarik untuk mempelajari Muh. Tasrif, Studi Hadis di Indonesia, 113. Abdul Munir Mulkhan, “Re-tradisi Intelektualitas Pesantren” dalam Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) 154. 27 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 161. 25 26
62
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
secara langsung tekstualitas, nilai, kualitas, dan kontekstualitas Hadis-Hadis tersebut dari literatur-literatur utama. Minim sekali studi kritis tentang Hadis yang dapat ditemukan di Indonesia terutama di lingkungan pesantren. Menurut Martin, keadaan tersebut dapat dimengerti sebab dibandingkan dengan kalangan modernis Islam, masyarakat pesantren memiliki minat dan perhatian yang rendah pada ilmu dira>yah (kritik) hadis.28 Martin tidak menyebutkan apa penyebab rendahnya minat kritik hadis di pesantren. 4. Studi Hadis di Dunia Pesantren Abad XXI Di Pesantren Putri Kempek Cirebon yang didirikan oleh Harun Abdul Jalil pada tahun 1329/1908 M dan saat ini diasuh oleh Afwah Mumtazah, kitab Hadis yang diajarkan di pesantren ini adalah Mukhtār al-Hadīth, Bulu>gh al-Mara>m dan Riya>d} al-Sa>lih}i>n. Sedangkan ilmu Hadisnya adalah Minh}at al-Mughi>th, Taysi>r al-Mus}t}ala>h}. Pesantren Putri Kempek ini memiliki perpustakaan yang baru dirintis pada awal tahun 2004. Perpustakaan tersebut merupakan hasil kerjasama antara Pondok Pesantren Putri Kempek dengan sebuah lembaga pendidikan dari Massachusset Amerika Serikat dan Insist Yogyakarta.29 Studi Hadis di Pesantren al-Mukhtariyah Tapanuli Selatan Sumatera Utara mengalami pasang-surut yang menarik. Pada mulanya kitab Hadis yang diajarkan terdiri dari Minh}at al-Mughi>th, Subul al-Sala>m, Misykat al-Mas}a>bih} dan Jawa>hir al-Bukha>ri>. Kitab-kitab Hadis ini standar pegangan di Pesantren al-Mukhtariyah meskipun akhirnya karena alasan rendahnya kemampuan generasi santri saat ini, kitab-kitab tersebut ''diparkir'' dan digantikan kitab Hadis berbahasa 28Ibid.,
162. Mumtazah, Mencermati Kiprah Pesantren, Artikel pada Acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan (Belajar dari Pengalaman Pesantren), Yayasan RAHIMA Jakarta, Rabu, 5 Januari 2005. 29Afwah
Volume 6, Nomor 1, April 2015
63
Mochamad Samsukadi
Melayu, Pelajaran Hadis (Aksara Arab-Melayu). Pesantren alMukhtariyah ini didirikan dan diresmikan pada tahun 1935 oleh Muhammad Shaleh Mukhtar, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Mukhtar.30 Di Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hasyim Asyari, kitab-kitab yang diajarkan sangat lengkap meliputi sebelas bidang kajian: al-Qur‟an, tafsir, Hadis, ilmu Hadis, Fikih, bahasa Arab, tauhid/aqidah, akhlak, tasawuf dan mantiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan: dasar, menengah, dan atas. Studi Hadis baru diberikan pada santri di level tingkat atas, yaitu kitab Mukhtār al-H{adīth, al-Arba’īn al-Nawāwi>, Bulūgh al-Marām, Jawāhir al-Bukhāri> dan Minh}at al-Mughīth. Di Madrasah Mu‟allimin Muhammadiyah Yogyakarta ada sembilan bidang kajian: Al-Qur‟an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, akidah, akhlak, fikih dan usul fikih. Kitab-kitab kuning yang digunakan, antara lain: Tafsīr alQurt}u>bī, Tafsīr Ibn Kathīr, Tafsīr Jalālayn, Musnad Ahmad, Mus}annaf ‘Abd al-Raza>q, Majma’ al-Zawā’id karya alHaythami> dan al-Mu’jam al-Kabīr karya Ibn Kathi>r. Dalam kurikulum bahasa Arab, kitab-kitab kuning yang digunakan adalah al-Jurūmiyyah dan al-Mutammimah. Sedangkan kajian Al-Qur‟an dan Hadis hanya digunakan sebagai mut}āla’ah yang bersifat kajian pengenalan dan pengantar.31 Kendala Studi dan Penerapan Hadis di Pesantren
30Parluhutan Siregar, “Pergeseran Literatur Pesantren Al-Mukhtariyah Tapanuli Selatan Sumatera Utara”, http://www.litagama.org/Jurnal/edisi7/mukhtariyah.htm, (diakses 1 Januari 2015). 31Sembodo Ari Widodo dkk., “Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan Mu‟allimin Muhammadiyah Yogyakarta”, Laporan Hasil Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2002, http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-01.asp, (diakses 1 Januari 2015).
64
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
Corak pesantren Indonesia yang rata-rata berorientasi fikihsufistik menandai pengaruh pendidikan Hijaz sebelum era Wahabi. Pesantren Indonesia tidak banyak terpengaruh dengan ide-ide pembaharuan Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni> dan Muh}ammad „Abduh yang menekankan pendidikan keislaman berorientasi pada al-Quran dan hadis secara langsung.32 Kajian Hadis yang berkembang di pesantren hanya sebatas pengajaran dan pengajian biasa. Kalaupun terdapat kajian untuk meneliti kualitas Hadis, hanya terbatas pada karya-karya yang sudah ada dan terbatas pada santri senior semata. Pengalaman penulis dahulu di pesantren, hadis dipelajari hanya untuk diyakini, dihayati, dan diamalkan. Tidak ada pelajaran, pengajian, atau diskusi yang diarahkan studi kritis sanad dan matan Hadis. Akibatnya, penulis sering terheran-heran dan kebingungan ketika menghadapi suatu fakta bahwa misal hadis A dinyatakan bermasalah karena ada kelemahan dalam kualitas sanad dan sulit dipahami oleh orang awam. Misalnya Hadis perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan, yang menurut beberapa kritikus hadis adalah lemah33, padahal Hadis tersebut dikenal secara luas.34 Akhirnya, penulis menjadi sering bersikap
32Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 30. 33Penulis tidak mengetahui Sahih Bukhari dan Sahih Muslim meriwayatkan hadis sataftariq. Penulis mendapatkannya dalam Musnad Ah}mad b. H{anbal, Abu> Da>wu>d, Ibn Ma>jah, al-Tirmidhi>, dan al-Da>rimi>. Kita dapat juga menemukan hadis tersebut dalam Mustadrak al-H{a>kim, Ibn H{ibba>n dalam kitab Mawa>rid al-Z{an'a>m (31 Kitab al-Fitan, 4 bab Iftira>q al-Umam, halaman 454 nomor 1834), Abu> Ya'la> Al-Mus}ili> dalam kitabnya, al-Musnad: Musnad Abu> Hurairah, Ibnu Abi 'A<s}im dalam kitab al-Sunnah (bab 19: Fi> Ma> Akhbara Bihin Nabiy Anna Ummatah Sataftariq juz I hal. 33 nomor 66), dan kitab Hadis lainnya. Kalau kita kumpulkan Hadis-Hadis tentang terpecahnya umat menjadi 73 golongan dan satu golongan yang masuk surga, lebih kurang ada lima belas Hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari 10 ahli Hadis dari 14 (empat belas) shahabat Rasulullah SAW, yaitu: Abu Hurairah, Mu'awiyah, Abdullah b. 'Amr b. al-'A<s}, Awf b. Ma>lik, Abu> Uma>mah, Ibn Mas'u>d, Ja>bir b. Abdillah, Sa'ad b. Abi> Waqqa>s}, Abu> Darda>', Wa>thilah b. Al-Asqa>', Amr bin 'Awf Al-Muzni>, „Ali> b. Abi> T{a>lib, Abu> Mu>sa al-Asy'ari>, dan Anas b. Ma>lik. 34Berikut salah satu teks hadis dari riwayat ahmad:
Volume 6, Nomor 1, April 2015
65
Mochamad Samsukadi
apatis bahkan antagonis terhadap sikap-sikap kritis semacam itu tanpa mampu mengupayakan penelitian klarifikatif. Di pesantren, istilah istinba>t} al-h}ukm dengan pengertian istikhra>j al-h}ukm min al-nus}u>s} (pengambilan hukum dari teks alQur‟an dan Hadis) tidak populer. Sebab istinba>t} al-h}ukm semacam itu hanya bisa dilakukan oleh mujtahid mutlak seperti Imam Syafi'i. Istilah istinba>t} al-h}ukm di dunia pesantren dipahami sebagai ittifa>q al-h}ukm, yaitu menerapkan secara dinamis teks-teks yang telah dielaborasi oleh pakar-pakar fikih terdahulu pada problem-problem kekinian yang dicari ketetapan hukumnya.35 Oleh karena itu, jangan berharap ada kajian Hadis, apalagi al-Quran, yang bersifat eksploratif dan kreatif di dunia pesantren. Istinba>t} hukum langsung dari sumber primer al-Quran dan Hadis, menurut ulama pesantren hampir mustahil dilaksanakan karena keterbatasan mencapai syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat melakukannya. Yang paling mungkin dilakukan adalah ijtihad dalam batas mazhab yang lebih praktis dan dapat dilakukan oleh semua ulama pesantren yang telah menguasai teks-teks kitab kuning.36 Menurut Karel Steenbrink, di samping Nabi, dijumpai beberapa kelompok orang di kalangan umat Islam yang mendapatkan kedudukan khusus berdasarkan kewibawaan dan anggapan kewenangan penafsiran dalam masalah-masalah agama. Mereka adalah para sahabat Nabi, tabiin, dan pemikirpemikir madzhab. Kewibawaan sahabat yang sejaman dengan Nabi dan tabiin yang banyak merengkuh pengetahuan agama ِِ ٍ ِس ب ِن مال ٍ ِ َّ ك أ ول َ َن َر ُس َ َحدَّثَنَا َح َس ٌن َحدَّثَنَا ابْ ُن ََلِ َيعةَ َحدَّثَنَا َخالِ ُد بْ ُن يَِز َ ْ ِ َيد َع ْن َسعيد بْ ِن أَِب ى ََلل َع ْن أَن ِ ِ ِال إِ َّن ب ِن إِسرائِيل تَ َفَّرقَت علَى إِحدى وسبع َّ ِ َّ َّ َ اللَّ ِو ٌت فِْرقَة ْص ْ ي ف ْرقَةً فَ َهلَ َك َ َْ َ َ ْ َ ْ َ َت َسْب ُعو َن ف ْرقَةً َو َخل َ َ ْ َ َ َصلى اللوُ َعلَيْو َو َسل َم ق ِ ِ ِي وسبع ِ ِ ك َ ص فِْرقَةٌ قَالُوا يَا َر ُس َ ْول اللَّ ِو َم ْن تِل ُ ي ف ْرقَةً فَتَ ْهل َ ك إِ ْح َدى َو َسْبع َ ْ َ َ ِ ْ ََواح َدةٌ َوإِ َّن أ َُّم ِت َستَ ْف ََِت ُق َعلَى اثْنَت ُ ُي َوََتْل َ َال ِْف ْرقَةُ ق ُاعة َ اعةُ ا ْْلَ َم َ ال ا ْْلَ َم 35Imam
Yahya, “Akar Sejarah Bahtsul Masa'il” dalam Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa'il, ed. Imadadun Rahmat (Jakarta: Lakpesdam, 2002), 15. 36Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 27. 66
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
dari para sahabat, menjadikan dua kelompok ini mempunyai kedudukan utama dalam Islam.37 Setelah itu, kewibawaan untuk menafsirkan al-Quran dan Hadis diberikan kepada pendiri empat madzhab dan para pengikutnya. Mereka memperoleh otoritas penafsiran berdasarkan pengetahuan dan kesalehan mereka yang dinilai secara luas. Bagi kelompok Islam tradisional, masyarakat pesantren, otoritas ulama mazhab menjadi mutlak dan dianggap telah memenuhi kebutuhan umat Islam sehingga dirasa tidak perlu bahkan dilarang mengembangkan penafsiran langsung pada al-Quran dan Hadis kecuali melewati pemahaman empat mazhab tersebut.38 Kesan yang muncul bahwa proses penalaran agama dalam konsep Islam tradisional berlangsung ala birokrasi, tak dapat dihindari. Seperti orang desa yang harus manut kepada camat, camat taat kepada bupati, bupati patuh kepada ketetapan gubernur dan seterusnya. Wacana keislaman yang diserahkan pada fikih oleh masyarakat pesantren lebih dominan daripada ushul fikih, tafsir, hadis, apalagi filsafat. Bila keadaan ini dibiarkan terus tanpa ada kendali intelektual, maka dikuatirkan wacana al-Quran dan Hadis menjadi entitas yang sangat asing bagi dunia pesantren. Al-Quran dan Hadis hanya menjadi ''lipstik'' saja karena kandungannya tidak pernah diusahakan untuk dipahami secara langsung. Padahal tidak selayaknya wacana fikih menduduki level al-Quran dan Hadis dalam situasi seperti apapun.39 Akibat dari kondisi di atas, adalah langkanya out put pesantren yang menguasai tafsir dan Hadis secara baik. Hal ini diakui oleh cendikiawan Nurcholish Madjid. Menurutnya tidak 37Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3ES, 1986), 130. 38Ibid,, 131. 39Suwendi, “Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren: Beberapa Catatan” dalam Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Said Aqiel Siradj (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 209.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
67
Mochamad Samsukadi
banyak produk pesantren yang mumpuni di bidang kajian tafsir, terlebih lagi di bidang Hadis. Kenyataan ini menjadi janggal, mengingat kedua bidang tersebut merupakan sumber ajaran dan hukum Islam yang utama.40 Keterikatan kalangan pesantren terhadap mazhab menjadikan mereka tidak leluasa mengelaborasi secara langsung dua sumber ajaran Islam: alQuran dan Hadis. Sikap taklid ini menjajah kreatifitas dan potensi ilmiah para santri. Berbeda dengan Muhammadiyyah, Persatuan Islam (Persis), dan al-Irsyad yang sedari awal mengobarkan semangat ijtihad. Mereka relatif tanpa beban mengkonsumsi al-Quran dan Hadis secara langsung untuk menyikapi problem-problem kontemporer umat.41 Ironis ketika dunia pesantren yang cakrawala wawasannya dianggap Syafii sentris42 namun justru tidak banyak memahami poin-poin penting pemikiran al-Sha>fi‟i> (150-204 H atau 767-820 M) sendiri yang dikenal sebagai pembela Sunnah Nabi (Na>sir alSunnah). Pemikiran-pemikiran fikih al-Sha>fi‟i> saja jarang dilacak langsung melalui karya-karyanya oleh komunitas pesantren. Apalagi pemikiran dan karya Syafii di bidang Hadis. Tidak umum komunitas pesantren mempelajari al-Umm dan mengkajinya. Di dalam kitab tersebut, selain dapat kita temukan pemikiranpemikiran keagamaan al-Sha>fi‟i>, Hadis-Hadis yang digunakannya dapat dianalisis dengan kritis. Atau kalau tidak ingin repot membuka lembar-lembar kitab tersebut guna mempelajari Hadis-Hadis yang digunakan al-Sha>fi‟i,43 kita dapat 40Nurcholish,
Bilik-bilik Pesantren, 10. 32. 42Menurut perkiraan Martin van Bruinessen, Muslimin Indonesia telah menjadi pengikut mazhab al-Sha>fi‟iyyah paling tidak sejak akhir abad ke-16 Masehi sebagaimana kebanyakan orang Mesir, Hadhramaut, dan Kurdi. Penjelasan lebih lanjut lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999), 105. 43Karya al-Sha>fi‟i> sendiri di bidang Hadis sebenarnya merupakan karya yang dikompilasi oleh murid-muridnya. Selain Musnad al-Ima>m al-Sha>fi'i> yang dikumpulkan oleh Abu> al-„Abba>s al-As}a>m, ada juga Sunan al-Sha>fi'i> oleh Abu> Ja'far al-T{ah{a>wi>. Al-Sha>fi‟i> memang tidak mengarang sendiri kitab Hadis sebab barangkali ia memang tidak bermaksud membidangi Hadis. Ia adalah seorang pemikir utama yang membicarakan Hadis sebagai dasar dari pondasi hukum agama. Mus}t}afa> al-Siba>'i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>' al-Isla>mi> (Beirut-Damaskus: al-Maktabah al-Islamiyah, 1978), 441. 41Ibid.,
68
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
menggunakan kitab Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’i>.44Al-Sha>fi‟i> menghadirkan argumentasi untuk membela Hadis Nabi sebagai sumber hukum yang tak dapat dibantah di saat beberapa tokoh penting Islam cenderung menawar-nawar statusnya. Al-Sha>fi‟i menunjukkan kepada umat Islam betapa pentingnya nilai Hadis Nabi sebagai sumber ajaran dalam Islam setelah al-Quran.45 Bagi orang-orang pesantren, nilai ajaran al-Quran dan Hadis telah terumuskan dengan baik dan sedemikian rupa dalam kanon-kanon kitab kuning. Menjadikan kitab kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu, melainkan justru mengamalkan ajaran keduanya. Apalagi kandungan alQuran dan Hadis tidak dapat sembarangan dipahami. Pemahaman terhadap al-Quran dan Hadis harus dilakukan melalui kitab-kitab terdahulu yang dikarang para ulama salaf yang masa hidupnya jauh lebih dekat kepada Rasulullah dan sahabat dari pada umat Islam saat ini. Upaya memahami alQuran dan Hadis secara langsung akan berdampak resiko yang besar bila terjerumus dalam suatu kesalahan.46 Menurut masyarakat pesantren, kitab kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran al-Quran dan Hadis. Kitab kuning yang digunakan di pesantren dinilai dikarang oleh para ulama dengan kualifikasi ganda: keilmuan yang mumpuni dan moralitas yang adiluhung.47 Para ulama itu dinilai sangat menguasai al-Quran dan Hadis sehingga karya-karya mereka mengejewantahkan formulasi ajaran dalam al-Quran dan Hadis. Akibat yang tak terelakkan adalah kitab kuning menjadi kitab suci tidak resmi di kalangan pesantren. 44Muh}ammad b. Idris b. al-„Abba>s al-Sh>afi'i>, Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’i> (Singapura-Jeddah: {Haramayn, t.th.). Kitab ini memang terkesan kurang memadai dari segi content dibandingkan misal Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’i> berisi hadis-hadis yang jalurnya banyak dari Ma>lik b. Anas dan Sufya>n b. „Uyainah (dua guru al-Sha>fi‟i> di bidang Hadis). Namun meskipun kalah populer dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, pemikiran dan karya al-Sha>fi‟i> tetap layak dikaji oleh masyarakat pesantren. Namun rupanya, al-Sha>fi‟i> sudah terlanjur dikenal sebagai pakar fikih oleh masyarakat pesantren. 45Mus}t}afa> al-Siba>'i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> …, 152. 46Affandi Muchtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Obsevasi Umum” dalam Pesantren Masa Depan…, 236. 47Husein Muhammad, “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran” dalam Pesantren Masa Depan…, 270.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
69
Mochamad Samsukadi
Keadaan ini sudah disadari oleh kalangan pesantren. Sahal Mahfudh, Rais 'Aam NU, termasuk yang menolak sakralisasi kitab kuning. Menurutnya, keseluruhan yang ada dalam kitab kuning, termasuk fikih, meskipun didasarkan pada al-Quran dan Hadis merupakan ilmu yang dilahirkan melalui proses penalaran dan kerja intelektual manusia.48 Artinya, produk pemikiran dalam kitab kuning merupakan produk pemahaman manusia yang sama sekali tidak dapat dicitrakan selevel dengan al-Quran dan Hadis. Namun dengan alasan preventif, shadd al-dhari>‘ah, keberadaan kitab kuning yang telah mapan tetap dipertahankan demi menjaga agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahankesalahan yang muncul akibat dibukanya kran pembaharuan di bidang kajian ilmu keislaman.49 Minimnya kajian serius terhadap hadis di pesantren, disadari oleh ahli Hadis jebolan Pondok Pesantren Tebuireng dan Universitas King Saud Riyadh Arab Saudi, Ali Mustafa Ya'qub. Menurutnya, masih banyak umat Islam yang tidak tahu persis tentang Hadis, apakah Hadis itu sahih, daif, atau bahkan mawd}u>' (palsu). Bukan hanya itu, imam besar Masjid Istiqlal Jakarta ini, juga menengarai masih banyak sekali ulama yang gamang pengetahuan dan pemahaman Hadisnya. Ia memberi contoh misalnya, tentang Hadis yang disebut-sebut menyatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk kaum Adam. Padahal yang benar adalah wanita itu diciptakan seperti sifatnya tulang rusuk; bengkok dan mudah patah.50 Pemaknaan yang diharapkan oleh Ali Mustafa Ya'qub terhadap Hadis-Hadis Nabi adalah 48Sahal Mahfudh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU:Sebuah Catatan Pendek” dalam Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, ed. M. Imadadun Rahmat, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), xix. 49Ibid., xxi. 50Salah satu redaksi Hadisnya adalah riwayat dari Abu> Hurairah yang dirilis oleh Bukhari:
ٍ ِ ِ صلَّى ُ َحدَّثَنَا إِ ْس َح ٌْ ص ٍر َحدَّثَنَا ُح َس ي ا ْْلُ ْعفي َع ْن َزائ َدةَ َع ْن َميْ َسَرةَ َع ْن أَِب َحا ِزم َع ْن أَِب ُىَريْ َرةَ َع ْن النِ ي ْ َاق بْ ُن ن َ َّب ِ ال من َكا َن ي ؤِمن بِاللَّ ِو والْي وِم ْاْل ِخ ِر فَ ََل ي ؤِذي جاره واست وصوا بِالن ِ َّه َّن ُخلِ ْق َن ِم ْن ِضلَ ٍع َوإِ َّن ُ يساء َخيْ ًرا فَِإن ُ ْ َ ْ َ َُ َ ْ ُ ْ َ َ َاللَّوُ َعلَيْو َو َسلَّ َم ق َْ َ ُ ُْ َ ٍ ِ ضلَ ِع أَع ََله فَِإ ْن ذَىب ِ ُ استَو ِ )يس ِاء َخْي ًرا (رواه البخاري َ َْ ُ ْ أ َْع َو َج َش ْيء ِف ال ي ْ ْ َيموُ َك َس ْرتَوُ َوإ ْن تََرْكتَوُ َلْ يََزْل أ َْع َو َج ف ُ ت تُق َ صوا بالن
Selain diriwayatkan Bukhari, Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Ah}mad b. H{anbal, dan al-Da>rimi>. Redaksi Hadis yang lebih panjang dirilis oleh Ah}mad b. H{anbal. 70
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
pemaknaan yang lebih kontekstual, bukan pemaknaan tekstual murni. Memerlukan modal pengetahuan ilmu Hadis yang baik untuk mendapatkan pemaknaan yang kontekstual dari suatu Hadis. Contoh lainnya adalah tentang ibadah umrah selama bulan Ramadan. Nabi SAW sendiri tidak pernah melakukan ibadah umrah pada bulan Ramadan. Nabi sendiri berhaji hanya sekali meskipun punya kesempatan tiga kali. Nabi hanya umrah tiga kali padahal punya kesempatan ratusan kali.51 Pemahaman yang keliru mengakibatkan orang berlomba-lomba umrah di bulan Ramadan. Padahal seandainya umrah pada bulan Ramadan lebih
51Pernyataan yang disampaikan Ali Mustafa Ya'qub ini mungkin berdasarkan riwayat dari Imam Malik:
ِ ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ْاعتَمر ثَََلثًا عام ا ْْل َديبِي ِة وعام الْ َق َّ َح َّدثَِن ََْي َي َع ْن َمالِك أَنَّوُ بَلَغَوُ أ ضيَّ ِة َو َع َام َ َن َر ُس َ ََ َْ ُ َ َ َ ََ َ َ َ ْ َ ُ
ا ْْلِعَِّرانَِة
Namun ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi umrah sebanyak empat kali, yaitu umrah H{udaybiyyah (umrah gagal karena halangan dari kafir Quraisy), umrah di bulan Dzulqa'dah setahun setelah umrah H{udaybiyah, umrah Ji'ranah setelah perang H{unayn, dan umrah sekaligus haji Wada>'.
ٍِ ِ ُ ال ْاعتَمر رس ِ َّ َّام َع ْن قَتَ َادةَ أ صلَّى اللَّوُ َعلَيْ ِو ْ َن أَنَ ًسا َرض َي اللَّوُ َعنْوُ أ ٌ َحدَّثَنَا ُى ْدبَةُ بْ ُن َخالد َحدَّثَنَا ََه َ ول اللَّو ُ َ َ َ َ ََخبَ َرهُ ق ِ ِ ت َم َع َح َّجتِ ِو ُع ْمَرةً ِم ْن ا ْْلُ َديْبِيَِة ِف ِذي الْ َق ْع َدةِ َو ُع ْمَرةً ِم ْن ال َْع ِام ال ُْم ْقبِ ِل ِف ْ ََو َسلَّ َم أ َْربَ َع ُع َم ٍر ُكلَّ ُه َّن ِف ذي الْ َق ْع َدة إَِّّل الَِّت َكان ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ْ َث قَسم َغنَائِم ُحن ي ِف ِذي الْ َق ْع َدةِ َو ُع ْمَرًة َم َع َح َّجتِ ِو َ َ َ ُ ْذي الْ َق ْع َدة َو ُع ْمَرًة م ْن ا ْْل ْعَرانَة َحي
Sedangkan keterangan eksplisit bahwa Nabi tidak pernah umrah di bulan Ramadan, di dapat dari Hadis yang diriwayatkan Aisyah:
ت َعلَى َ َاق َع ْن ََْي َي بْ ِن َعبَّ ٍاد َع ْن أَبِ ِيو َعبَّ ِاد بْ ِن َعبْ ِد اللَّ ِو بْ ِن الزبَ ِْي ق َ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َسلَ َمةَ َع ْن أَِب إِ ْس َح ُ ْال َد َخل ِ ُ عائِ َشةَ فَ َقالَت ما ْاعتَمر رس )ث ُع َم ٍر (رواه امحد َ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إَِّّل ِف ِذي ال ِْق ْع َدةِ َولََق ْد ْاعتَ َمَر ثَََل َ َ ول اللَّو ُ َ ََ َ ْ
Konon Ibn Umar tidak mengetahui umrah Ji'ranah yaitu umrah yang digelar setelah peristiwa perang H{unayn. Ji'ranah sendiri adalah daerah pusat komando pertempuran H{unayn. Perang ini terjadi setelah dua pekan penaklukan Mekkah pada bulan Ramadan tahun 8 Hijriyah Barangkali ada beberapa sahabat yang lain yang juga tidak tahu peristiwa umrah Ji'ranah ini. Hanya saja tidak dapat dipastikan apakah pelaksanaan umrah ini dilaksanakan masih dalam bulan Ramadan atau setelahnya. Lihat: catatan Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), 472 dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma'a>d, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 188. Volume 6, Nomor 1, April 2015
71
Mochamad Samsukadi
unggul dari ibadah lain, tentu Nabi sudah mengerjakannya ribuan kali.52 Hadis al-‘ulama>’ warathah al-anbiya>’'53 seharusnya tidak secara berlebihan menjustifikasi personalitas dan keulamaan seseorang sebagai jaminan mutu kebenaran dalam tradisi ilmu keislaman. Apalagi memahami hadis tersebut secara bias; fanatik pada satu aliran pemikiran ulama semata. Ulama harus dihargai secara sama seperti halnya pekerja-pekerja intelektual di bidang yang lain yang telah menyumbangkan kreatifitas pemikirannya untuk agama. Para ulama juga memiliki resiko kesalahan yang dampaknya akan dirasakan umat pengikutnya. Penghargaan kepada ulama bukan penghargaan personal tetapi penghargaan intelektual. Sehingga tidak selayaknya masyarakat pesantren, melihat hubungan mereka dengan para ulama terdahulu sebagai hubungan kultural-emosional melainkan seharusnya hubungan rasional-intelektual. Kesimpulan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim menjadi dua kitab primer dalam studi Hadis di dunia pesantren. Kedua kitab ini menjadi kitab sakral yang hanya bisa dikaji oleh santri senior saja, sedangkan santri junior hanya bisa mengakses kitab-kitab sekunder, seperti Bulu>gh al-Mara>m, Riya>d} al-S{a>lih}i>n, Tajri>d alS}ari>h}, al-Arba’i>n al-Nawa>wiyyah dan Jawa>hir al-Bukha>ri>. Pemilihan kitab skunder dalam studi Hadis ini bukan tanpa alasan, karena kitab-kitab primer, seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, relatif kurang sistematis sehingga dianggap kurang efektif dan efesien untuk pemula. “Tawadu‟ ilmiah” dalam tradisi santri pesantren juga menjadi faktor dominan yang
52http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=269645 &kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=260, dimuat harian Republika pada tanggal 27 Oktober 2006 (diakses 1 Januari 2015). 53Matan Hadis ini tidak terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, namun Ah}mad b. H{anbal, al-Turmudhi>, Abu> Da>wu>d, Ibn Ma>jah dan alDa>rimi> meriwayatkannya.
72
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
menyiutkan keberanian santri junior untuk menjamah kitabkitab primer. Dalam banyak kasus, di pesantren-pesantren Indonesia, harus diakui bahwa fikih dan ilmu alat menjadi teks primer yang paling dominan dikaji dalam pengertian yang sebenarnya. Sementara al-Quran dan Hadis adalah second sources (sumber sekunder) yang dikaji ''malu-malu'' dengan bertumpu pada kebutuhan teks primer tersebut. Minimnya kajian kritis dan serius terhadap Hadis di dunia pesantren disebabkan pesantren fokus pada konsep amaliah dari pada ilmiah. Hadis-Hadis Nabi menjadi inspirasi hukum dan tindakan-tindakan amal kebaikan. Belum populernya kajian Hadis Nabi secara serius lebih disebabkan ''salah rasa hormat'' pada Rasulullah yang berkembang luas dalam persepsi masyarakat pesantren. Hadis atau Sunnah Nabi dinilai bagian inheren dan integral dari Rasulullah yang harus dihormati dan disakralkan. Studi kritis terhadap suatu Hadis akan dinilai merongrong wibawa Rasulullah. Padahal ada batas-batas yang seharusnya jelas bagi masyarakat pesantren, mana yang benarbenar Hadis dari Rasulullah dan mana yang diduga berasal dari Rasulullah; mana yang harus dipahami secara tekstual dan mana yang hanya dapat dipahami secara kontekstual; mana yang bersifat local-temporal dan mana yang bersifat universal. Pemilihan-pemilahan semacam ini jauh dari akrab bagi dunia pesantren. Tanpa menepis fakta bahwa memahami al-Quran dan Hadis bukan sesuatu yang mudah, namun setidaknya pesantren harus memikirkan kembali kurikulumnya agar memberi ruang yang lebih memadai untuk pengkajian al-Quran dan Hadis bagi para santri. Tentu saja tradisi kajian kitab kuning akan menguntungkan sebagai second sources bagi pengkayaan wawasan dalam memahami al-Quran dan Hadis. Al-Quran dan Hadis dipelajari sebagai ''bahan bakar'' yang semestinya untuk
Volume 6, Nomor 1, April 2015
73
Mochamad Samsukadi
pengkajian keilmuan Islam di mana kitab kuning berada di dalamnya. Daftar Pustaka Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Kalimah, 2001. _____________. Jaringan Ulama TimurTengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 2004. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1999. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Sebuah
tentang Potret
Mahfudh, Muhammad Ahmad Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS, 1994. Mara>ghi> (al), Abdullah Mus}t}afa>. Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Yogyakarta: LKPSM, 2001. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994. Mulkhan, Abdul Munir. “Re-tradisi Intelektualitas Pesantren”, dalam Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Mumtazah, Afwah. Mencermati Kiprah Pesantren. Artikel pada Acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan (Belajar dari Pengalaman Pesantren). Jakarta: Yayasan RAHIMA, Rabu, 5 Januari 2005. Rahardjo, M. Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988. Rahmat, M. Imadadun. Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail. Jakarta: Lakpesdam, 2002. Sha>fi‟i> (al), Muh}ammad b. Idri>s. Musnad al-Ima>m al-Sha>fi’i>. Jeddah: H{aramayn, t.th. 74
Religi: Jurnal Studi Islam
Paradigma Studi
Siba>'i> (al), Mus}t}afa>. Al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>' alIsla>mi>. Beirut:al-Maktabah al-Isla>miyyah., 1978. Siradj, Said Aqiel et. al. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986. Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia (Telaah Historis terhadap Studi Hadis dari Abad XVII – Sekarang”, Jurnal Studi Ilmuilmu al-Quran-Hadis. Vol. 5, No.1. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2004. Wahid, Abdurrahman. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 2001. Zuhri, Saifuddin. Guruku Yogyakarta: LkiS, 2007.
Orang-orang
dari
Pesantren.
Volume 6, Nomor 1, April 2015
75