STUDI HADIS-HADIS PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT (Kajian Hadis Tematik)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Muhammad Syaman NIM: 109034000072
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2014 M.
ABSTRAK
Muhammad Syaman, “Studi Hadis-hadis Pembacaan Basmalah Dalam Salat” Skripsi ini membahas tentang studi hadis-hadis pembacaan basmalah dalam salat. Mengenai basmalah, para ulama sepakat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Naml. Namun mereka berbeda pendapat tentang membaca basmalah di awal bacaan al-Qur’an dalam salat. Perbedaan membaca basmalah ketika salat ini menjadikan umat Islam terpecah-pecah, dan yang lebih memprihatinkan lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca basmalah dalam salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya tidak sah. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Bagaimana perspektif hadis terhadap masalah ini? Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber primer yang diketahui dari kitab-kitab hadis yaitu al-Kutub al-Sittah sedangkan data sekunder merupakan pendukung yang masih ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis yang melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Penelitian ini membuahkan kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan di kalangan ulama terkait dengan pelafalan basmalah ketika salat adalah bermacam-macamnya hadis yang saling bertentangan satu sama lain, perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam al-Qur’an, dan perbedaan dalam menafsirkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah ini. Kata kunci: basmalah, hadis, jahr, sirr
i
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang patut untuk dilafadzkan dan lebih indah kecuali rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan karuniaNya. Teriring untaian salam semoga terlimpah ke pangkuan Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Sebuah karunia yang begitu besar ketika penulis telah menyelesaikan skripsi ini walaupun dengan melalui proses yang begitu panjang dan berliku, meski semua ini masih jauh dari kesempurnaan. Terselesainya penulisan skripsi ini, tentu tidak merupakan hasil pribadi penulis, namun keterlibatan berbagai pihak yang memberikan kontribusi dalam terselesaikannya penulisan ini, baik itu berupa motivasi, bantuan pikiran, material dan moral serta spiritual. Untuk itu ucapan terimakasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Bustamin, M. Si., selaku pembimbing yang telah banyak membantu , membimbing, dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, saransaran, serta pengalaman
yang sarat
ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak sekeluarga. 2. Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Jauhar Azizy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
ii
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Dr. Rifqi Muhammad Fathi, MA. Selaku Dosen Penasehat Akademik. 6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, seluruh staf dan karyawan Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan dengan kesabaran dan keramahan. 7. Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Syafi’ih dan Ibunda Namah yang senantiasa memberi motivasi, bimbingan, kasih sayang, dan selalu mendo’akan demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini, semoga Allah menghadiahi mereka surga dan mengganjar kebaikan mereka dengan pahala yang berlipat ganda. 8. Kepada kakak saya Abdul Shiddiq dan adik-adik penulis (Ahmad Mahfuddin, Dewi Safitri dan Ahmad Rafiq) yang senantiasa memberi keceriaan, mendoakan dan memberikan support-nya. Teriring doa semoga kelak menjadi generasi yang saleh, penyejuk mata bagi orang tua, dan bermanfaat bagi ummat. 9. Terimakasih kepada Nenek angkat tercinta, Siti Romlah (Almh) semoga beliau diterima segala amal ibadahnya dan diampuni segala dosanya oleh Allah SWT. serta di tempatkan di surganya Allah SWT., dan tak lupa pula kepada cucu-cucunya (Kiki, Jojo, dan Ezi), teriring doa semoga kelak
iii
menjadi generasi yang saleh, penyejuk mata bagi orang tua, dan bermanfaat bagi ummat. 10. Bapak H. Kukuh Rahardjo dan ibu Hj. Ningrum sekeluarga, yang telah banyak membantu memberikan dukungan moril maupun materil serta doa demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak dan Ibu sekeluarga. 11. Terimakasih juga kepada Ust. H. M. Suhendra al-Fata sekeluarga, yang telah banyak membantu baik tenaga, motivasi, dan juga yang telah meminjamkan motor & laptopnya hingga terselesaikannya skripsi ini. 12. Kepada teman-teman Ta’mir Masjid al-Mughirah (Kang Yadi, Aziz, ubay, Suprima & Ridwan) serta segenap Pengurus Masjid al-Mughirah (Pakjo, Pak Tamim, dll..) 13. Teman-teman penulis di mana pun berada, khususnya sahabatku (Azizatul Iffah/Ipeh) yang telah rela & ikhlas meminjamkan laptopnya kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. seluruh Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2009, khususnya kelas TH-C yang ganteng-ganteng & cantik-cantik (Zainal, Taufiq, Dimas, Madun, Heri, Agus, Misbah, Mu’min,Mahdi, Rahmah, Ayu, Lia, Nasroh, Ipeh) terimakasih untuk kebersamaannya selama ini. 14. Teman-teman KKN Hero (Dirly, Mahfudin, Ubay, Abror, Mufthi, Faiz, Fitmau, Mila, May, Lulu, Neng Ratih, Dita dan Eka) teman di kala suka maupun duka yang selalu setia memberikan bantuannya, memberi motivasi dan semangat kepada penulis.
iv
Dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak, semoga kebaikan dan bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah SWT. Penulis meminta maaf karena terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya. Jakarta , 9 November 2014
Muhammad Syaman
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………...………………………
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………….
ii
DAFTAR ISI……………………………………...………………………. vi PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………....
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...……………………
7
C. Tinjauan Pustaka……………………………………………… 7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..… 9 E. Metodologi Penelitian……………………...…………………. 9 F. Sistematika Penulisan…………………………………...…….
13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BASMALAH A. Makna Basmalah………………..……..……………………….. 15 B. Keutamaan Basmalah………………………...……………….
19
C. Penafsiran Ulama Tafsir Terhadap Basmalah 1. Tafsiran Huruf al-Jâr (……)ب..…………………..………. 25 2. Tafsiran Lafal “…………”اسم..………...…………………. 27 3. Tafsiran Lafal “”اهلل..………………..……...………………. 30 4. Tafsiran Lafal “ ”الرمحنdan “………… ”الرحيم...………….... 32
vi
BAB III HADIS-HADIS TENTANG PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT A. Hadis Tentang Menyaringkan Basmalah 1. Teks Hadis…………………………………………………
37
2. Asbâbul Wurûd Hadis…………….…………………….….
41
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis………………...…..…. 41 4. Analisa Hadis………………………………………..…..…
48
B. Hadis Tentang Tidak Menyaringkan Basmalah 1. Teks Hadis……………………………………..…………..
50
2. Asbâbul Wurûd Hadis ………………………………..……
55
3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis ………….…………… 55 4. Analisa Hadis………………………………………………
59
C. Pandangan Fuqaha Terhadap Basmalah………………...……. 61 D. Pendapat Mufasir Tentang Masalah Pembacaan Basmalah Dalam salat…………………………………..……………….. 70 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………… .
76
B. Saran…………………………………………...……………... .
77
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
79
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedomanakademik UIN SyarifHidayatullah Jakarta 2013/2014. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
Te dan es
ج
J
Je
ح
H
H dengan garis bawah
خ
Kh
Ka dan ha
د
D
Da
ذ
Dz
De dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
Es dan ye
viii
ص
S
Es dengan garis bawah
ض
D
De dengan garis bawah
ط
T
Te dengan garis bawah
ظ
Z
Zet dengan garis bawah
ع
‘
Koma terbalik keatas, menghadap kekanan
غ
Gh
Ge dan ha
ف
F
Ef
ق
Q
Ki
ك
K
Ka
ل
L
El
م
M
Em
ن
N
En
و
W
We
ه
H
Ha
ء
‘
Apostrop
ﻱ
Y
Ye
ix
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alihaksaranya adalah sebagaiberikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ﹷ
a
Fathah
ﹻ
i
Kasrah
ﹹ
u
Dammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
_______ﻱ
ai
a dan i
_______و
au
a dan u
Vokal Panjang(Madd) Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut : TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
ـــــﺄ
â
a dengan topi diatas
ـــــﻲ
î
i dengan topi diatas
ــــــﻮ
û
u dengan topi diatas
x
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan ad-diwan. Syaddah (Tashdid). Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“aldarûrah”, demikian seterusnya. Ta Marbutah Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh : No
Kata Arab
Alih Aksara
1
طريقة
Tarîqah
xi
2
الجامعة االسالمية
al-jâmiah al-islâmiyah
3
وحدة الﻮجﻮد
Wahdat al-wujud
Huruf kapital Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadis Rasulullah merupakan sumber kedua setelah al-Qur‟an. Bagi umat Islam hadis menjadi pedoman dalam menjalankan agamanya setelah al-Qur‟an, karena itu sudah merupakan keharusan baginya untuk mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan yang terkandung di dalamnya. Hadis sering dikonotasikan dengan sunnah, secara definisi adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik berupa perbuatan, perkataan maupun persetujuan beliau atas segala permasalahan yang terjadi dikalangan kaum muslimin.1 Pada pengertian ini dapat dipahami bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah yang merupakan respon terhadap segala persoalan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu. Dalam agama Islam hadis memiliki peranan sangat penting, karena bagaimanapun juga untuk memperoleh pemahaman keagamaan yang sempurna diperlukan adanya petunjuk yang tidak hanya dari al-Qur‟an saja, sebagaimana diketahui al-Qur‟an itu merupakan petunjuk yang universal oleh karenanya dibutuhkan hadis sebagai petunjuk berikutnya. Bila ditinjau dari segi urutan dan fungsinya, maka hadis menempati urutan kedua setelah al-Qur‟an, yang merupakan sumber dalam mengambil segala keputusan yang menyangkut persoalan-persoalan hidup umat manusia.2 Secara teknis dapat dijelaskan bahwa
1
Subhî al-Sâliḥ, „Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu, (Bayrût: Dâr al-„Ilmi Lilmayîn, 1988), h. 3. 2 M. Syuhudi Ismail, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 72.
1
2
hadis merupakan penjabaran lebih lanjut tentang makna-makna yang ada dalam al-Qur‟an, karena kenyataannya yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat banyak sekali hal-hal yang secara langsung tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur‟an, akan tetapi hal tersebut ada dalam penjelasan Rasulullah yaitu hadis. Rasulullah SAW. selalu mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai lebih dalam beribadah, dalam menjalankan ibadah yang memang diwajibkan dan juga menjalankan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan (ibadah sunnah). Bahkan tidak hanya dalam hal ibadah, melainkan di dalam beraktivitas sehari-hari Rasulullah SAW. mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai lebih sekaligus mencari keberkahan dalam melakukan setiap pekerjaan, yaitu dengan cara mengawalinya dengan membaca basmalah. Seorang muslim dianjurkan membaca basmalah sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang baik. Yang demikian itu adalah untuk mengingatkan bahwa pekerjaan itu dikerjakannya karena perintah Allâh, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allâh-lah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan supaya pekerjaan itu terlaksana dengan baik dan berhasil.3 Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َوُمَ َّدَّم ُد بْ ُن َْْح َ ى َوُمَ َّدَّم ُد بْ ُن َلفَ ا ْعْ َس ْق َل َناُِّيق اَاعُوْ َحدَّثَنَا بُبَ ْي ُد ْعفَّ ِو بْ ُن ِ ُ ال رس ِ موسى بن ْْْلَوز َ َي َب ْن أَِِب َسفَ َدَّمةَ َب ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ ا ِّ ْب ِّي َب ْن اَُّرَة َب ْن ْعقزْى ِر َْ ْ َ َ ُ ُصفَّى ْعفَّو َ ول ْعفَّو ُ َ َ َال ا 4 ِ ِ ْعرِحي ِم أَاْطَ ُع َّ ْعر ْْحَ ِن َّ َبفَْي ِو َو َسفَّ َم ُك قل أ َْم ار ذي بَ اال ََل يُْب َدأُ فيو بِبِ ْق ِم ْعفَّ ِو 3
Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an, 1983), h. 16. 4 Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 6, hadis no. 4881, h. 5
3
“…Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Setiap pekerjaan yang baik, yang tidak dimulai dengan (membaca) „Bismillâhirrahmânirrahîm‟, niscaya terputus [berkahnya] (HR. Ibnu Mâjah)
Ketika seseorang membaca basmalah, maka makna-makna di atas yang diharapkan menghiasi jiwanya. Ini membawa kepada kesadaran akan kelemahan diri serta kebutuhan kepada Allâh. Orang yang membaca basmalah seharusnya juga menghayati kekuatan dan kekuasaan Allâh, serta rahmat dan kasih sayangNya yang tercurah bagi seluruh makhluk. Kalau yang demikian itu tertanam di dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan, karena perbuatan merupakan cerminan dari suasana kejiwaan. Seorang yang sedang dirundung kesedihan atau sakit, keindahan baginya menjadi hampa, sedang yang dimabuk asmara, segala sesuatu akan tampak indah di pelupuk matanya. Ini karena “setiap wadah menumpahkan isinya”. Yang membaca basmalah akan mencurahkan rahmat dan kasih sesuai pola Tuhan mencurahkan rahmat-Nya yang tidak hanya menyentuh sang muslim, tetapi juga yang kafir, bahkan seluruh makhluk tanpa kecuali.5 Dapat ditegaskan di sini bahwa apabila seseorang memulai pekerjaannya dengan nama Allâh atau atas nama Allâh, maka pekerjaan tersebut akan menjadi baik, indah dan benar, atau paling tidak akan terhindar pelakunya dari godaan nafsu, atau dorongan ambisi dan kepentingan pribadi. Apabila seseorang menjadikan pekerjaannya bertitik tolak dari pangkalan Ilahi dan demi karena Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu, maka pastilah pekerjaannya tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Ia bahkan akan membawa manfaat bagi
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2002)Vol. 1, h. 23
4
diri, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, bahkan kemanusiaan secara keseluruhan.6 Pengucap basmalah ketika mengaitkan ucapannya dengan kekuasaan dan pertolongan Allâh – bagi yang mengaitkannya dengan kata itu – maka seakanakan ia berkata: “Dengan kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya pekerjaan yang saya lakukan dapat terlaksana”. Maka dari itu, apa pun aktivitas yang kita lakukan, termasuk menarik dan menghembuskan nafas, makan atau minum, gerak refleks atau sadar, diam atau bergerak, semuanya tidak dapat terlaksana tanpa kekuasaan dan pertolongan Allâh.7 Karena sebelum datang Islam orang Arab mengerjakan sesuatu pekerjaan adalah dengan menyebut al-Lâta dan al-„Uzza, yaitu nama-nama berhala mereka. Sebab itu Allâh SWT. mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah meng-Esa-kan Nya, supaya mereka mengerjakan dengan menyebut nama Allâh.8 Di dalam al-Qur‟an ada 114 surat, semuanya dimulai dengan basmalah, kecuali surat al-Taubah. Surat al-Taubah ini tidak dimulai dengan basmalah karena memang tidak serasi kalau dimulai dengan basmalah. Di samping pada permulaannya, basmalah ada disebutkan satu kali dipertengahan surat al-Naml (ayat 30).9 Surat yang menempati urutan kedua puluh tujuh dalam susunan alQur‟an. Dalam ayat ini, diceritakan bagaimana Nabi Sulaiman AS. memulai suratnya yang dikirim dengan perantara seekor burung Hudhud kepada ratu Saba‟,
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 24l 8 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 16 9 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 13-14 7
5
konon bernama Balqis yang berisi ajakan untuk mengesakan Tuhan, dengan basmalah. Dari penjelasan singkat tentang basmalah di atas, para ulama sepakat bahwa basmalah adalah firman Allâh SWT. yang tercantum dalam al-Qur‟an, paling tidak pada surat al-Naml (QS 27:30). Tidak pula seorang ulama pun mengingkari pentingnya mengucapkan basmalah pada awal setiap kegiatan.10 Tetapi mereka berbeda pendapat apakah basmalah merupakan ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, ataukah merupakan bagian dari awal masingmasing surat dan ditulis pada pembukaannya? Apakah basmalah itu merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat al-Fâtihah saja dan bukan surat-surat lainnya? Apakah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan merupakan ayat?.11 Selain terjadi perbedaan pendapat tentang penetapannya sebagai ayat tersendiri (di dalam surat al-Fâtihah), terjadi juga perbedaan pendapat tentang pembacaan secara jahr (nyaring) di dalam salat.12 Umat Muslim sepakat bahwa ketika salat wajib membaca surat al-Fâtiẖah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW. :
ا ِ ِ صاعِ اح َب ْن ْبْ ِن ْ ْْلَ َق ُن بْ ُن َبفِي ْ َحدَّثَنَا َ يم بْ ِن َس ْسد َحدَّثَنَا أَِِب َب ْن ُ ْْلُْف َوُِّْيق َحدَّثَنَا يَ ْس ُل َ وب بْ ُن إبْ َرْى ِ ِِ ِ ِ ُ ْعربِي ِع ْعَّ ِذي م َّج رس ِشه ا َّ اب أ َلبَ َرُه َّ ود بْ َن ْ صفَّى ْعفَّوُ َبفَْيو َو َسفَّ َم ِف َو ْج ِهو م ْن بِْئ ِرى ْم أ َ َن َْم ُدَّم َ ول ْعفَّو َ َُ َ
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 25 Muhammad al-Caff, Tafsir Populer al-Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan Batin alFâtihah Secara Mudah dan Sederhana (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011) cet. Ke-1, h. 87 12 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr alHadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 64 11
6
ِ َ َن رس ِ ِ َّ َن بباد َة بن ص َنا َة عِ َدَّم ْن َلْ يَ ْلَرأْ بِأ ُِّم َ َصفَّى ْعفَّوُ َبفَْي ِو َو َسفَّ َم ا ْ ْعصامت أ َ ال ََل َ ول ْعفَّو ُ َ َّ َلبَ َرهُ أ َ ْ َ َُ َّ أ 13 ِ ْعْ ُل ْرآن
“... Dari „Ubâdah bin Shâmit r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda bahwa tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca ʹUmmul Qur‟an.” (HR. Muslim)
Namun umat muslim berbeda dalam prakteknya ketika salat. Ketika kita melaksanakan salat berjamaah misalnya, terkadang kita mendengar ada imam yang membaca dan mengeraskan bacaan basmalah di awal surat al-Fâtihah dan surat al-Qur‟an sesudahnya, namun terkadang kita tidak mendengarnya pada imam yang lain. Perbedaan basmalah pada surat al-Fâtihah dalam salat menjadikan umat Islam terpecah-pecah. Di Indonesia perbedaan tersebut memaksa umat Islam untuk membangun dua masjid di satu kampung yang penduduknya tidak lebih dari 100 kepala keluarga. Yang lebih memprihatinkan lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca basmalah dalam salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya tidak sah. Realita ini sangat mencengangkan bagi siapa saja memahami Islam sacara tepat, terlebih kondisi tersebut dipertahankan oleh kebanyakan tokoh agama dan dilestarikan turun-temurun. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Apa yang mendasari atau yang menjadi hujjah bagi masing- masing pendapat? Bagaimana perspektif hadis terhadap masalah ini? Agar lebih mendalam dalam penelitian skripsi ini, penulis bermaksud menelusuri dan mengkaji hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat dan mengangkat sebagai judul skripsi yaitu: “STUDI HADIS-HADIS PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT (Kajian Hadis Tematik).” 13
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth( hadis no. 597, juz 2, h. 351
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memudahkan pada skripsi ini, kiranya perlu dibuat pembatasan dan perumusan masalah, penulis akan membatasi masalah pada skripsi ini dengan hanya membahas tentang pembacaan basmalah dalam salat, dan menguraikan hadis-hadis yang berkaitan dengannya yang ada di dalam kitab-kitab hadis ( alkutub al-sittah) saja. Serta untuk melengkapi kajian ini penulis juga mengungkapkan beberapa pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Dari pernyataan tersebut maka dapat dirumuskan perincian masalah yang menjadi penunjang dalam pembahasan yaitu, sebagai berikut: 1. Apa yang menyebabkan perbedaan dalam masalah ini? 2. bagaimana perspektif hadis terhadap masalah pembacaan basmalah dalam salat? C. Tinjauan Pustaka Sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, ada satu buku yang membahas tentang masalah basmalah, yaitu: Buku karya Saiful Anwar al-Batawy dengan “Rahasia Kedahsyatan Basmalah.” Selain itu, ada juga beberapa skripsi yang membahas tentang masalah basmalah, diantaranya yaitu: Skripsi yang ditulis mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat, penulis menemukan tiga judul yang membahas tentang basmalah, yaitu: 1. Skripsi yang ditulis oleh Novi Kamelia, program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Ta‟wil Mullâ Shadrâ terhadap Basmalah dalam Surat al-Fâtihah”. Skripsi ini menjelaskan bahwa
8
basmalah dalam Ta‟wil Mullâ Shadrâ memiliki makna yang sentral karena di dalamnya dijelaskan tentang ketauhidan, hingga benar adanya bahwa basmalah merupakan induk dari al-Qur‟an karena tauhid adalah puncak dari keimanan. 2. Skripsi yang ditulis oleh Harry Firmansyah, program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Pemikiran Quraish Shihab tentang Ketiadaan Lafaz Basmalah pada Awal Surat al-Taubah”. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa surat ini masih bagian dari surat sebelumnya yaitu surat al-Anfâl, oleh karenanya tidak perlu tertulis basmalah pada awal surat ini yang akan menjadi pemisah antara surat ini dan surat sebelumnya. 3. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Gunawan, program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan judul “Pemaknaan Basmalah pada Surat-surat Juz „Amma dalam Tafsir al-Jîlani”. Skripsi ini menjelaskan bahwa al-Jîlani memaknai basmalah pada setiap surat sebagai bentuk dakwahnya bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan basmalah. Dari tinjauan pustaka di atas, maka posisi skripsi ini adalah membahas basmalah dalam perspektif hadis yang disusun dalam skripsi yang berjudul “Studi Hadis-hadis Pembacan Basmalah dalam Salat (Kajian Hadis Tematik)”. Skripsi ini akan mencoba meneliti basmalah dalam perspektif hadis yang termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
9
Dari sebagian kajian pustaka yang telah dipaparkan di atas, belum ada yang membahas penelitian ini khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka peneliti ingin mengkaji pembahasan ini lebih lanjut. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diketahui tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui kandungan hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat.
2.
Untuk menambah kajian keilmuan hadis.
3.
Sebagai Tugas Akhir, guna memperoleh gelar Sarjana (SI) dalam bidang Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Untuk menjawab persoalan yang telah diuraikan pada pokok masalah, maka dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif, yakni berupa kata-kata tertulis bukan berupa angka ataupun lapangan. Dengan demikian, penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif14 deskriptif, atau bisa disebut dengan metode dokumentasi. Sementara, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini termasuk kategori penulisan konsep, yaitu jenis penelitian studi kepustakaan (library research), yaitu melalui data yang lebih memerlukan olahan filosofik dan teoritik
14
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat Lexy J. Moleong. Metodologi Penulisan Kualitatif. (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 3.
10
daripada uji empirik. Dalam hal ini, penulis menggunakan serta memanfaatkan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis menempatkan diri sebagai instrumen, bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analis, penafsir data tentang kajian pembacaan basmalah dalam salat dalam perspektif hadis, yang pada akhirnya menjadi pelopor dari hasil penelitian ini. 2. Pendekatan Penelitian Untuk menjawab persoalan yang termuat dalam pokok masalah, maka dibutuhkan sebuah pendekatan yang relevan sebagai perangkat analisisnya. Dalam hal ini, penulis menggunakan tiga pendekatan, yaitu: a. Pendekatan kesehatan (fisik, mental [psikologi] dan sosial), digunakan untuk melacak kebenaran tentang implikasi hadis pembacaan basmalah dalam salat. b. Pendekatan tekstual, dipergunakan sebagai pisau analisis terhadap pemaknaan hadis secara tekstual baik melalui pemaknaan terhadap makna gramatikal ataupun makna leksikalnya. c. Pendekatan kontekstual, digunakan untuk melihat latar belakang baik eksternal maupun internal, yaitu menyelidiki keadaan khusus yang dialami saat kemunculannya.15 Kaitannya dengan penelitian ini, secara khusus digunakan untuk mengkaji Asbâb al-Wurûd hadis.
15
Bakker dan Jubair, Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1994) h. 52
11
3. Sumber Data Menurut Sugiyono dalam bukunya “Memahami Penulisan Kualitatif”, membagi jenis data menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.16 Adapun yang termasuk sumber primer dalam penelitian, yaitu kitab-kitab hadis yang termuat dalam al-Kutub al-Sittah17 beserta kitab-kitab syarah-nya.18 Dengan alasan bahwa hadis yang diteliti oleh penulis semuanya terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, karena hadis yang tercantum dalam kitab-kitab tersebut telah diakui otentitasnya oleh para ulama. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan kamus hadis “al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts”,19 karya A.J. Wensinck sebagai alat untuk mengetahui letak dimana redaksi-redaksi hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat termuat dalam kitab-kitab tersebut. Kemudian untuk mengolah data primer dan mempertajam analisis, penulis juga menggunakan data-data sekunder, yaitu berupa buku, kitab, artikel, tulisan ilmiah, dan lain sebagainya yang dapat mendukung penelitian dalam skripsi ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Seperti diketahui bahwa penelitian ini tergolong ke dalam penelitian studi kepustakaan (library research), sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari hasil tela‟ah terhadap berbagai literatur, maka instrumen 16
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, atau data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber kedua dan ketiga. Sugiyono. Memahami penulisan Kualitatif. (Bandung: CV Alfabeta, 2005) h. 62. 17 Yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmîdzî, Sunan al-Nasâ‟î, dan Sunan Ibnu Mâjah. Kitab-kitab tersebut disebut dengan al-Kutub al-Sittah. 18 Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan satu kitab syarah dari kitab-kitab tersebut. Yaitu kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abû Dâwud, karya Muhammad Syamsul Haq al-„azîm. 19 A. j. Wensinck. al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts. (Leiden: Maktabah Bril, 1936).
12
pengumpulan terhadap data-data tersebut adalah dengan menggunakan metode dokumentasi. Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan, terlebih dahulu mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek tela‟ah dalam penelitian, kemudian dilanjutkan dengan upaya pengumpulan data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan baik sumber primer maupun sumber sekunder dengan cara menghimpun hadis-hadis yang sesuai dengan tema sentral yang sedang diteliti melalui kamus hadis al-Mu‟jam al-Mufahras. Selain penelusuran terhadap kamus tersebut, digunakan juga program al-Maktabah alSyâmilah. 5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan atas data-data tersebut. Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif20 analitik.21 Metode deskriptif penulis gunakan untuk memaparkan data dan memberikan penjelasan secara mendalam mengenai sebuah data dan juga untuk menyelidiki dengan menuturkan, menganalisa datadata kemudian menjelaskannya.22 Dalam hal ini penulis mengambil penjelasan dari para ulama melalui kitab-kitab syarah, serta mengungkapkan beberapa pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Sedangkan metode analitik yang
20
Metode deskriptif adalah menguraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji. Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. Metode Penulisan Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.65. 21 Metode analitik adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual atas data-data yang ada, kemudian diklasifikasikan sesuai permasalahan, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) h. 18. 22 Bakker dan Zubair, Metode Penelitian Filsafat, h. 70.
13
dimaksud adalah menjelaskan hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat. Selain itu, penulis juga menggunakan metode deduktif (deduksi)23 dan induksi. Metode deduktif digunakan untuk menguraikan data dari suatu pendapat yang bersifat umum kemudian diuraikan menjadi hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan metode induksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa konkrit, kemudian ditarik secara general sehingga bersifat umum. Setelah mengelola data-data tersebut, maka diharapkan penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis dan terarah. Sementara, terkait dengan teknik penulisan, skripsi ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012-2013.24 F. Sistematika Penulisan Mengacu pada penelitian di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini akan disistematisasikan sebagai berikut: Pembahasan diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikasi studi ini, bagian ini merupakan bab pertama yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
23
Deduktif atau deduksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus. Sutrisno Hadi. Metode Research 1. (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), h. 42. 24 Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013. (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012).
14
Selanjutnya, bab kedua diisi dengan pembahasan mengenai tinjauan umum tentang basmalah yaitu meliputi makna basmalah, keutamaan basmalah, penafsiran ulama tafsir terhadap basmalah. Pada bab ketiga penulis akan menguraikan hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat, pada bab ini diisi dengan teks dan terjemahan, asbâb alwurûd hadis, syarah dan komentar ulama hadis, pandangan fuqaha terhadap basmalah dan pendapat mufasir tentang maslah pembacaan basmalah dalam salat. Akhirnya studi skripsi ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran-saran yang mengisi bab keempat.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BASMALAH A. Makna Basmalah Kata basmalah ( ( البسملةadalah maṣdar dari kata basmala ( )بسملyang artinya mengucapkan bismillâh atau membaca basmalah.1 Dalam penggunaan kebahasaan terdengar pemakaian kata basmalah tersebut seperti basmala ar-
بِس ِْم ه rajulu ( ) بسمل الزجلartinya orang itu mengucapkan atau menulis َّللاِ الزهحْ َم ِن هح ِيم ِ الز. Selain disebut basmalah juga disebut tasmiyah ()تسمية. Kalimat itu disebut tasmiyah karena orang yang mengucapkannya menyebut nama Allâh dengan sifatsifat-Nya yang mulia.2 Imam al-Qurthubi berkata: basmalah adalah sumpah Tuhan kita yang Dia turunkan di awal setiap surat. Dia bersumpah kepada hamba-hamba-Nya: „Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya lafazh yang Aku letakan untuk kalian di surat ini adalah suatu kebenaran, dan Aku akan memenuhi semua yang Aku jamin dalam surat ini, yaitu janji, kelembutan-Ku dan kebaikan-Ku. Selanjutnya beliau menambahkan, bahwa basmalah adalah sesuatu yang Allâh turunkan di dalam
1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) cet. Ke-2, h. 85; lihat juga di Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996) h. 327; dan lihat juga di Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010) h. 65 2 H. Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah Al-Qur‟an & Ilmu Tajwid (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) cet. Ke-1, h. 36
15
16
kitab kita, dan diberikan kepada umat ini, khususnya setelah diberikan kepada Sulaiman.3 Di dalam kalimat basmalah terdapat beberapa kata kunci, yaitu: 1. Allâh merupakan lambang untuk Rabb, yakni nama untuk Rabb Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.4 2. Ar-Rahmân yaitu nama atau sifat dari Allâh yang diambil dari kata arRahmah, yang berarti Maha Pengasih. Yang mempunyai kasih sayang yang mencakup dan meliputi untuk semua makhluk yang ada di dunia ini.5 3. Ar-Rahîm yaitu nama Allâh yang diambil dari kata ar-Rahmah yang berarti Maha Penyayang, hanyalah diperuntukkan kepada orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Artinya bahwa Allâh mempunyai sifat kasih sayang bagi orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat. Basmalah merupakan pembuka kitab Ilâhi. Basmalah bukan hanya terdapat dalam permulaan al-Qur‟an, namun dalam seluruh kitab samawi.6 Basmalah adalah kunci pembuka perbuatan dan pekerjaan seluruh nabi. Ketika perahu Nabi Nuh as. berhadapan dengan gelombang angin topan, beliau berkata kepada para pengikutnya, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur‟an:
3
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji alAndalusi al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâmil Qur‟ân (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyah, tth) jilid 1, h. 237 4 Isma‟il bin „Amr al-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi „Imâduddîn Abul Fidâ‟ alHâfiz al-Muhaddis asy-Syafi‟i (Ibn Katsîr), Tafsîrul Qur‟ânil „Azîm (Kairo: Matba‟ah alIstiqâmah, 1958) jilid 1, h. 57 5 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat seputar Islam, Iman dan Ihsan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012) cet. Ke-1, h. 38 6 Muhammad Al-Caff, Tafsir Populer al-Fātiḥah, h. 90
17
“Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allâh di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Huud[11] : 41).
Ali bin Abi Thalib berkata, “Basmalah adalah penyebab datangnya keberkahan dan meninggalkannya menyebabkan kekacauan dalam segala urusan.” Ali juga berkata, “Sesungguhnya seorang hamba jika ingin membaca atau mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia membaca lafadz Bismillâhirrahmânirrahîm, maka ia akan diberkati dalam perbuatan tersebut.” Basmalah merupakan ikrar dari seorang hamba dalam penyerahan dirinya bulat-bulat kepada Allâh SWT. dalam segala aktivitasnya. Seorang ulama berpendapat bahwa basmalah itu adalah wujud dari keingin-dekatannya seorang hamba dengan Penciptanya dengan pengharapan apa yang dikerjakannya ini akan selalu dilindungi oleh Allâh, sehingga dia tidak hanya menterjemahkan basmalah secara harfiah: “Dengan menyebut nama Allâh...” tetapi diartikannya sebagai: “Aku bersamaMu ya Allâh... dalam melakukan segala aktivitas kehidupanku ini...”. Adapun makna basmalah pada setiap pembukaan surat al-Qur‟an menjadi syiar kaum muslimin dalam mengekspresikan daya kekuatan untuk melakukan semua kegiatan. Contoh, “Saya memulai suatu pekerjaan dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, (Bismillâhirrahmânirrahîm).” Suatu pekerjaan yang dimulai dengan nama Allâh, memiliki arti bahwa sematamata karena perintah Allâh dan hanya untuk Allâh.7
7
Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî, 1974) jilid 1, h. 13
18
Dengan mengucapkan basmalah pada setiap pekerjaan menunjukkan sikap untuk mengingatkan akan kebesaran Allâh, dan menyadari keagungan akan Allâh di permulaan suatu pekerjaan yang akan mempunyai pengaruh. Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shidiqi yaitu, “Sesungguhnya pengucapan basmalah adalah manifestasi pembaca dalam usaha melepaskan diri dari perbuatan buruk yang dilakukan oleh dirinya pula sebagai pernyataan bahwasanya perbuatan itu dialamatkan kepada Allâh dan atas perintah-Nya dengan takdir-Nya”.8 Quraish Shihab menambahkan makna basmalah yaitu, bahwa Allâh memulai al-Qur‟an dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini pada wahyu pertama agar melakukan pembacaan dan semua aktivitas dengan nama Allâh, iqra‟ bismi Rabbika, maka tidak keliru jika basmalah merupakan pesan pertama Allâh kepada manusia agar memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allâh.9 Begitu juga dengan pendapat Sayyid Qutub dalam tafsirnya
bahwa
memulai dengan nama Allâh adalah adab dan bimbingan pertama yang diwahyukan Allâh kepada Nabi-Nya, Iqra‟ bismi Rabbika. Permulaan itu sesuai dengan kaidah utama ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allâh adalah alAwwâl wa al-Âkhîr wa az-Zâhir wa al-Bâtin. Dia Yang Maha Suci itu yang merupakan wujud yang haq, yang dari-Nya semua wujud memperoleh wujudnya, dan dari-Nya bermula semua yang memiliki permulaan. Karena itu dengan nama8
Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) h. 25 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 11
19
Nya segala sesuatu harus dimulai dengan nama-Nya terlaksana setiap gerak dan arah.10 Allamah Kamal Faqih Imani dalam tafsirnya menambahkan bahwa membaca basmalah setiap memulai suatu pekerjaan semestinya tidak hanya dilakukan dengan lisan belaka, tapi mesti dilakukan dengan benar dan bermakna agar berhasil dan diberkati.11 Karena itu, ketika hendak memulai setiap pekerjaan, kita dianjurkan untuk membaca basmalah: saat makan, minum, tidur, mengendarai kendaraan, dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Bahkan, binatang yang disembelih tidak dengan nama Allâh , dagingnya menjadi haram untuk dimakan. Dalam hadis disebutkan , “Hendaklah anda tidak tidak melupakan basmalah meskipun hanya sekadar menulis satu bait puisi.”12 B. Keutamaan Basmalah Setelah membicarakan segala sesuatu tentang basmalah, maka mengertilah kita bagaimana pentingnya menyebut Bismillâhirrahmânirrahîm pada permulaan tiap-tiap pekerjaan yang kita kerjakan. Karena di dalam kalimat basmalah itu terdapat tiga nama yang terbesar dari nama-nama Allâh yang banyak dan termasuk dalam Asmaul Husna yaitu Allâh, ar-Rahmân , ar-Rahîm. Sebab itu
10
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân (Kairo: Dâr al-Ihya al-Tijari al-„Arabiyah, 1386) jilid 1, h. 30 11 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an; sebuah tafsir Sederhana menuju Cahaya al-Qur‟an (Jakarta: al-Huda, 2003) vol 1, h. 25 12 Muhammad Al-Caff, Tafsir Populer al-Fâtihah, h. 92
20
maka kalimat basmalah ini dinamakan oleh Rasulullah SAW. sendiri dengan nama Asmaul-A‟zam, yaitu nama teragung dari Allâh SWT.13 Selain itu, basmalah juga mempunyai keutamaan-keutamaan yang berlandaskan beberapa hadis. Keutamaan-keutamaan tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Pembukaan al-Qur‟an.14 Basmalah adalah kalimat yang sangat indah yang berada di awal-awal alQur‟anul Karim dibuka. 2. Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia.15
اْلَ َك ِم ْ َّار َع ْن ْ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُُحَْي ٍد َحدَّثَنَا َّ اْلَ َك ُم بْ ُن بَ ِش ِري بْ ِن َس ْل َما َن َحدَّثَنَا َخ ََّّل ٌد ُ الصف ِ ُ ال رس صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َ َي َع ْن أَِِب إِ ْس َح َق َع ْن أَِِب ُج َحْي َف َة َع ْن َعلِ ٍّي ق ِّ َّص ِر َ ول اللَّو َ الن ُ َ َ َال ق 16 ِ ِ ِ ِْ ِسْت ر ما ب ْي ول بِ ْس ِم اللَّو َ يف أَ ْن يَ ُق َ آد َم إِذَا َد َخ َل الْ َكن َ اْل ِّن َو َع ْوَرات بَِِن َ َْ َ ُ “… Dari Ali ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Penghalang antara jin dan aurat anak Adam adalah mengucapkan bismillâh ketika ingin masuk ke kamar mandi.” (HR. Ibnu Mâjah)
3. Rasulullah SAW. mengawali surat yang beliau kirim ke raja-raja, untuk mengajak mereka masuk Islam, dengan lafadz basmalah.Seperti surat yang beliau kirim ke raja Heraklius. 4. Basmalah merupakan isi surat yang dikirim oleh Nabi Sulaiman AS. kepada Ratu Saba‟ yang ketika itu masih menyembah matahari. Allah SWT. berfirman, menceritakan kisah mereka :
13
Saiful Anwar Al-Batawy, Rahasia Kedahsyatan Basmalah (Jakarta: Kunci Iman, 2012) cet. Ke-1, h. 17 14 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 25 15 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 30 16 Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, juz 1, hadis no. 293, h. 351
21
“Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, Sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi) nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". (QS. An-Naml [27]: 29-31)
5. Bacaan basmalah menjadi pemula untuk berbagai bentuk ibadah, seperti wudhu, mandi dan tayamum menurut pendapat sebagian ulama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda:
ٍِ وب بْ ِن َسلَ َمةَ َع ْن أَبِ ِيو َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َ وسى َع ْن يَ ْع ُق َ َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُم ِ ِ ِ ُ ال رس ضوءَ لِ َم ْن َلْ يَ ْذ ُك ْر َ َق ُ ضوءَ لَوُ َوَل ُو ُ ص ََّل َة ل َم ْن َل ُو َ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َل َ ول اللَّو ُ َ َ َال ق 17ِ اس َم اللَّ ِو تَ َع َال َعلَْيو ْ “… Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Nabi SAW. bersabda: Tidak sah salat orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah (membaca basmalah).” (HR. Abû Dâwud)
Hadis ini berbicara tentang wudhu, namun ulama mengqiyaskannya untuk mandi dan tayamum, karena semuanya adalah kegiatan bersuci.
6. Basmalah sebagai perlindungan dari setan ketika makan.
Orang yang makan atau minum dengan didahului membaca basmalah sebelumnya maka setan tidak mampu untuk turut memakannya. Rasulullah SAW. bersabda: 17
Abû Dâwud Sulaymân bin al-Asy„ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud , (Bayrūt: Dâr alFikr, tt), jilid 1,hadis no. 29, h. 114
22
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ َّستُ َوائِ َّي َع ْن بُ َديْ ٍل ْ يل َع ْن ى َشام يَ ْع ِِن ابْ َن أَِِب َعْبد اللَّو الد ُ َحدَّثَنَا ُم َؤَّم ُل بْ ُن ى َشام َحدَّثَنَا إ ْْسَع َّ ال ََلَا أُم ُك ْلثُ ٍوم َع ْن َعائِ َشةَ َر ِضي اللَّوُ َعْن َها أ ول َ َن َر ُس ُ َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن عُبَ ْي ٍد َع ْن ْامَرأَةٍ ِمْن ُه ْم يُ َق َ ِ ِ ِ ِ َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو وسلَّم ق اس َم ْ اس َم اللَّو تَ َع َال فَِإ ْن نَس َي أَ ْن يَ ْذ ُكَر ْ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْذ ُك ْر َ اللَّو َ ال إذَا أَ َك َل أ َ ََ 18 ِ ِ ِِ ِ ُاللَّو تَ َع َال ِف أ ََّولو فَ ْليَ ُق ْل بِ ْس ِم اللَّو أ ََّولَوُ َوآخَره “… Dari „Aisyah ra. ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah SWT., jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillâhi awwalahu waa âkhirahu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.(HR. Abû Dâwud)
Dari Huzaifah Nabi SAW. bersabda:
ِ ِ اس ُم اللَّ ِو َعلَْيو ْ إِ َّن الشَّْيطَا َن لَيَ ْستَحل الطَّ َع َام الَّذي َلْ يُ ْذ َك ْر
19 ِ
“Sesungguhnya setan dibolehkan makan makanan yang tidak dibacakan nama Allah ketika hendak dimakan.” (HR. Abuû Dâwud)
7. Penjagaan dari gangguan setan ketika berhubungan badan.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi SAW. bersabda:
ٍِ ِ ٍ َّب عن اب ِن عب ٍِ صوٍر َع ْن َس َ ْ ْ َ ٍ ْال َع ْن ُكَري ُاس َرض َي اللَّو ُ َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا َج ِر ٌير َع ْن َمْن ِ ُ ال رس َّ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم لَ ْو أ ال َ َح َد ُك ْم إِذَا أ ََر َاد أَ ْن يَأِْتَ أ َْىلَوُ فَ َق َ ََعْن ُه َما ق َ ول اللَّو َ َن أ ُ َ َ َال ق ِ ِ ك َ ِّب الشَّْيطَا َن َما َرَزقْ تَ نَا فَِإنَّوُ إِ ْن يُ َقد َّْر بَْي نَ ُه َما َولَ ٌد ِف َذل ْ ِب ْ اس ِم اللَّو اللَّ ُه َّم َجنِّْب نَا الشَّْيطَا َن َو َجن 20 ضرهُ َشْيطَا ٌن أَبَ ًدا ُ ََلْ ي “… Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Sekiranya salah seorang di antara kalian ingin mendatangi isterinya, maka panjatkanlah doa: “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan yang engkau anugerahkan kepada kami”, jika ditakdirkan memperoleh anak dari keduanya, maka setan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” (HR. AlBukhârî)
18
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3275, h. 219 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3274, h. 218 20 Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994) jilid 22, hadis no. 6847, h. 398 19
23
8. Penghalang setan untuk membuka tempat barang berharga.
Beberapa harta berharga yang kita simpan di malam hari, juga akan menjadi incaran setan. Dia berusaha mengganggu kita dengan mengotori makanan atau mengambil barang berharga itu. Untuk mengatasi hal ini, Rasulullah SAW. mengajarkan umatnya agar ketika menutup semua makanan dengan membaca basmalah.
ٍ ِحدَّثَنا قُت يبةُ بن سع ث َع ْن أَِِب الزبَ ِْري َع ْن ٌ يد َحدَّثَنَا لَْي ُ َخبَ َرنَا اللَّْي ْ ث ح و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح أ َ ُ ْ َْ َ َ َ ِ ِ ِ ِ ِْ ال َغطوا اب َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أَنَّوُ ق ِّ اْلنَاءَ َوأ َْوُكوا َ َجاب ٍر َع ْن َر ُسول اللَّو َ َالس َقاءَ َوأَ ْغل ُقوا الْب ِ ِ السراج فَِإ َّن الشَّيطَا َن َل ََيل ِس َقاء وَل ي ْفتَح بابا وَل يك ِ ِ ِ ُ ْش َح ُد ُك ْم ْ ُ َ ف إنَاءً فَإ ْن َلْ ََي ْد أ َ َ ًَ ُ َ َ ً َ َ ِّ َوأَطْفئُوا 21 ِِ اس َم اللَّ ِو فَ ْليَ ْف َع ْل ً ُض َعلَى إِنَائو ع َ إَِّل أَ ْن يَ ْع ُر ْ ودا َويَ ْذ ُكَر “… Dari Jabir ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda: Tutuplah bejana, ikatlah geribah (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit), tutuplah pintu, matikanlah lentera (lampu api), karena sesungguhnya setan tidak mampu membuka geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat menyingkap bejana yang tertutup. Bila engkau tidak mendapatkan tutup kecuali hanya dengan melintangkan di atas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama Allah, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim)
9. Menghalangi setan menginap di dalam rumah
Bacaan basmalah diucapkan ketika masuk rumah, bisa menjadi penghalang bagi setan untuk ikut memasukinya atau menginap di dalamnya.
ِ َخبَ َرِن أَبُو ُ َّح َّ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ َّّن الْ َعنَ ِزي َحدَّثَنَا الض ْ اك يَ ْع ِِن أَبَا َعاص ٍم َع ْن ابْ ِن ُجَريْ ٍج أ ِ ِ ِ ُ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق َّ ول إِ َذا َد َخ َل َّ ِالزبَ ِْري َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َعْبد اللَّو أَنَّوُ َْس َع الن ُالر ُج ُل بَْيتَو َ َّب يت لَ ُك ْم َوَل َع َشاءَ َوإِ َذا َد َخ َل فَلَ ْم يَ ْذ ُك ْر َ َفَ َذ َكَر اللَّوَ ِعْن َد ُد ُخولِِو َو ِعْن َد طَ َع ِام ِو ق َ ِال الشَّْيطَا ُن َل َمب
21
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth ( hadis no. 3755, jilid 10, h. 285
24
يت َ َيت َوإِذَا َلْ يَ ْذ ُك ْر اللَّوَ ِعْن َد طَ َع ِام ِو ق َ َاللَّوَ ِعْن َد ُد ُخولِِو ق َ ِال أ َْد َرْكتُ ْم الْ َمب َ ِال الشَّْيطَا ُن أ َْد َرْكتُ ْم الْ َمب 22 ََوالْ َع َشاء “… Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya aku telah mendengar Nabi SAW. bersabda: Jika seseorang masuk rumahnya dan dia mengingat nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka setan akan berteriak: „Tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makan malam.‟ Namun jika dia tidak mengingat Allah ketika masuk maka setan mengatakan, „Kalian mendapatkan tempat menginap‟ dan jika dia tidak mengingat nama Allah ketika makan maka setan mengundang temannya, „Kalian mendapat jatah menginap dan makan malam‟.” (HR. Muslim)
10. Menjadi syarat halalnya hewan sembelihan23
Di antara keberkahan basmalah, orang yang menyembelih binatang dengan membaca basmalah, hewan sembelihannya bisa menjadi halal. Sebaliknya, orang yang menyembelih binatang tanpa mengucapkan basmalah, baik disengaja maupun lupa, sembelihannya batal, dan hewan itu tidak boleh dimakan.
Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik..” (QS. Al-An‟âm[6]: 121)
22 23
Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 10, hadis no. 3762, h. 293 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 26
25
C. Penafsiran Ulama Tafsir terhadap Basmalah Bismillâhirrahmânirrahîm adalah kalimat yang pertama-tama tertulis nama Allâh yang teragung lalu kemudian diikuti oleh Rahmân dan diakhiri Rahîm adalah bahwa yang pemula dari segalanya adalah sang pencipta (khâliq), lalu muncul kekuatan dan sifat-sifatnya yang memanifestasikan makna karunia dan ampunan.24 Kalimat basmalah terdiri atas 19 huruf dalam lima komponen. Satu bearasal dari kata bantu (huruf) yaitu huruf al-jâr ( )بyang terletak di permulaan basmalah, dan empat lainnya berasal dari kata benda yaitu: اسم, َّللا, الزحمن, dan
الزحيم.25 1. Penafsiran Huruf al-Jâr ()ب Ba‟ atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam konteks surat ini adalah membaca ayat-ayat al-Qur‟an – dengan nama Allâh”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do‟a atau pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allâh. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allâh (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allâh”. Kedua
24
Mansur bin Mashadi, khasiat dan Mu‟jizat surat al-Fâtihah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), cet. Ke-3, h. 58 25 H. Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. Ke-1, h. 16
26
pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada basmalah ini memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allâh sebagai pangkalan tempat bertolak.26 Ada juga yang mengaitkan kata bi/dengan, dengan memunculkan dalam benaknya “kekuasaan”. Pengucap basmalah, seakan-akan berkata, “Dengan kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana”. Pengucapnya ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Dengan demikian ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang sama pula (setelah menghayati arti basmalah ini) ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allâh dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa itu.27 Imam asy-Syaukani berkata, bahwa huruf ( بBa‟) yang bergantung kepada ba‟ dalam lafazh bismillâh adalah sesuatu yang mahdzuf (dibuang atau tidak ditampakkan), yaitu: Aqra‟ atau atlu (aku membaca), karena inilah yang sesuai dengan konteks basmalah sebagai permulaannya. Maka, orang yang memperkirakan bahwa yang mahdzuf itu didahulukan –sebelum lafazh bismillâh, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan didahulukannya yang mahdzuf itu daripada
perhatian
terhadap
perihal
perbuatan,
sedangkan
orang
yang
memperkirakan bahwa mahdzuf itu dikemudiankan, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan dikemudiankannya yang mahdzuf itu secara khusus, dengan 26 27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12
27
tetap mencapai apa yang dikandungnya, yaitu mengutamakan nama, dan mengisyaratkan bahwa mengawali aktifitas dengannya adalah lebih penting, karena tabarruk (mencari berkah) bisa dicapai dengannya. Dengan demikian tampaklah keunggulan pendapat yang memperkirakan dikemudiankan fi‟lmahdzuf pada posisi ini, dan yang demikian ini tidak kontradiktif dengan firman Allâh Ta‟ala: ( اقزأ باسم ربك الذي خلقBacalah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang menciptakan). (QS. Al-„Alaq [96]: 1), karena posisi itu adalah posisi membaca, maka perintah pelaksanaannya lebih penting.28 2. Penafsiran Lafal “”اسم Basmalah diawali dengan ( بسمbismi) ungkapan ini terdiri dari dua kosa kata, yaitu kata benda „ االسمnama‟ yang didahului partikel ( بhuruf ba‟) kata benda االسمadalah lafal yang menunjukkan zat atau makna. Ulama bahasa berbeda pendapat tentang asal kata اسمdalam dua pendapat golongan Basrah, memandang bahwa kata itu berasal dari kata ( السمىas-sumuw) yang bermakna kemuliaan dan ketinggian العلى والزقعةoleh karena itu ada yang berpendapat bahwa nama seseorang mengangkat derajatnya sehingga ia dapat mengatasi orang lain. Sedangkan golongan Kufah berpendapat bahwa kata االسمberasal dari kata
السمهyang bermakna „ العالمةtanda‟. dikatakan demikian karena nama sesuatu menjadi tanda yang dimuat atau diberikan untuknya.29
28
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr alHadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 67 29 Abd. Muin Salim, jalan Lurus menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), cet. Ke-1, h. 19
28
Lafal "( "بسمdengan menyebut nama), Imam ath-Thabari berkata: “Sesungguhnya Allâh telah mengajarkan kepada Nabi-Nya SAW. agar mendahulukan nama-Nya yang mulia atas sekalian perbuatan-Nya, dan menjadikan apa yang telah diajarkan kepada Nabi-Nya tersebut sebagai sunnah yang patut diikuti oleh semua makhluk-Nya dalam memulai setiap pembicaraan, penulisan surat, buku dan aktifitas mereka; sehingga makna yang zhahir dari indikasi بسم َّللاmencukupi makna yang tersembunyi dari maksud pengucapnya. Hal itu karena huruf ba‟ pada kata بسم َّللاmenghendaki adanya suatu pekerjaan, dan tidak ada pekerjaan yang tampak padanya, sehingga sekedar mendengar kata
بسم َّللاdiucapkan, maka orang yang mendengarnya telah memahami maksud pengucapnya. Hal ini seperti orang yang ditanya, “Apakah yang kau makan hari ini?” Ia menjawab, “Makanan.” Tanpa harus menjawab, “Aku makan makanan.”30 Dengan demikian jika ada seseorang yang mengucapkan lafazh بسم َّللا
الزحمن الزحيمkemudian ia memulai sebuah surat, maka artinya secara logis: “Aku membaca dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Demikian juga jika ada orang yang mengucapkan lafazh بسم َّللا ketika hendak berdiri atau duduk atau apa saja, maka maksudnya, “Aku hendak berdiri dengan menyebut nama Allâh, aku hendak duduk dengan menyebut nama Allâh.31
30
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja‟far Ath-Thabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, (Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H/2005 M) jilid 1, h. 201 31 Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 201
29
Penulisan kata Bismi dalam basmalah tidak menggunakan huruf alif berbeda dengan kata yang sama pada awal surat al-„Alaq atau Iqra‟, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf alif persoalan ini menjadi bahasan para pakar dan ulama. Al-Qurtubi (w. 671 H) berpendapat sebagaimana dikutip oleh M. quraish Shihab, bahwa penulisan tanpa huruf alif pada basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif.32 Az-Zarkasyi menambahkan dalam kitab al-Burhân, bahwa tata cara penulisan
al-Qur‟an
mengandung
rahasia-rahasia
tertentu.
Dalam
hal
menanggalkan huruf alif pada tulisan satu kata dalam al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Rasyad Khalifah (w. 1990 M) menambahkan bahwa ditanggalkannya huruf alif pada basmalah, adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Karena angka 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur‟an. Demikian yang dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. 33 Menurut penafsiran M. Quraish Shihab bahwa Ba‟ atau bi pada basmalah tanpa huruf alif, yang diterjemahkan dengan kata dengan mengandung satu kata atau kalimat yang tidak terucap tetapi terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata „memulai‟, sehingga bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini, yaitu membaca al-Qur‟an”. 32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 16
33
30
Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap, bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allâh. Berbeda dengan pendapat Ibn „Arabi, bahwa ketika ia menanyakannya kepada Nabi Muhammad melalui mimpi, tentang keberadaan alif setelah ba‟, Nabi Muhammad menjawab, bahwa huruf alif-nya dicuri setan.34 3. Penafsiran Lafal “”هللا Kata Allâh merupakan nama Tuhan yang paling popular. Apabila anda berkata, “Allâh” maka apa yang anda ucapkan itu, telah mencakup semua namanama-Nya yang lain. Tetapi jika hanya mengucapkan nama atau sifat-Nya saja, maka hanya menggambarkan sifat atau nama-Nya saja. Di sisi lain, tidak satupun dapat dinamai Allâh, baik secara hakikat maupun majaz, sedang sifat dan namaNya secara umum dapat disandangkan oleh makhluk-makhluk-Nya. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allâh tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat yang wajib wujudnya. Kata Allâh asalnya adalah ( )إلهilah, yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian Allâh merupakan nama khusus karena tidak dikenal bentuk jamaknya, sedang ilah adalah nama yang bersifat umum dan dapat berbentuk jamak atau plural ( )ألهةalihah. Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ilah yang darinya terbentuk kata Allâh berakar dari kata ( )اإللهةal-ilahah,
( )األلىهةal-uluhah, dan ( )األلىهيةal-uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka 34
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, (Dâr al-„Arabiyah, 1968) jilid 1, h. 9
31
bermakna ibadah dan penyembahan, sehingga Allâh secara harfiah bermakna Yang disembah.35 Rasyid Ridha menambahkan bahwa َّللاadalah lafal yang disebut alJalalah, karena menunjukkan nama Zat yang mulia dan dimuliakan dan yang berhak disembah manusia. Ibnu Malik berpendapat bahwa lafal Allâh adalah nama yang mulia yang khusus ditujukan kepada Allâh.36 Sedangkan menurut Ibn „Arabi, Allâh adalah sebuah nama yang memiliki sifat-sifat, yang termanifestasikan dari Zat Uluhiyyah yang mutlak, yang tidak memiliki sifat dan tidak dapat diketahui dengan akal dan indera.37 Lafal “ ”َّللا, Imam ath-Thabari berkata: “kata َّللاmenurut makna yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas adalah: “Yang di Tuhan-kan oleh segala sesuatu dan disembah oleh seluruh makhluk.” Jika ada yang mengatakan , “Apakah secara bahasa kata َّللاmempunyai akar kata?” jawabannya: Secara pendengaran tidak ada, namun secara indikasi ada. Jika ia berkata lagi, “apakah dalil yang menunjukkan bahwa Tuhan berarti Yang berhak disembah, dan memiliki akar kata secara bahasa?” Jawabannya: Tidak ada larangan dan perselisihan pendapat di antara orang Arab dalam hal ini. Sebagaimana ucapan Ru‟bah bin al-Ajjaj38 dalam syairnya:
سبحن واسرتجعن من تأَلى# هلل در الغانيات املده “Alangkah baiknya wanita cantik yang tidak berdandan, mereka bertasbih dan beristirja‟ kepada Tuhan.” 35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 18 M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h. 19 37 Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 38 Yaitu Ru‟bah bin Abdullah al-Ajjaj bin ru‟bah at-Tamimi Abu Jahaf, penyair tersohor beraliran rajaz, hidup dalam dua masa pemerintahan; Umawiyah dan abbasiyah. 36
32
Dan tidak diragukan bahwa kata التأله
memiliki akar kata أله يأله, dan
makna ألهjika diucapkan berarti menyembah Allâh. Ia memiliki kata sifat yang menunjukkan bahwa orang Arab menggunakannya dengan bentuk kata فعل يفعل tanpa tambahan.39 Jadi, lafazh Allâh َّللاberasal dari perkataan orang Arab: اإلله, dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu dan jadilah lafazh َّللا.40 Imam Musthafa al-Maraghi juga mengatakan, bahwa ) (َّللاadalah isim „alam, khusus ditujukan kepada yang wajib disembah secara benar, dan nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allâh. Pada masa Jahiliyyah, jika bangsa Arab ditanya mengenai siapakah yang menciptakan bumi dan langit, mereka memberikan jawaban “Allâh”. Dan jika mereka ditanya apakah “tuhan‟ Lata dan „Uzza dapat menciptakan suatu seperti Allâh, mereka menjawab “tidak”. Sedangkan kata Ilah, adalah isim (nama) yang ditujukan setiap yang disembah haq maupun batil. Kemudian, kata ini banyak digunakan untuk sesembahan yang haq.41 4. Penafsiran Lafal “ ”الرحمنdan “”الرحيم Kata Allâh demikian juga ar-Rahmân pada basmalah tidak terjangkau hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Ibn „Arabi menambahkan bahwa ar-Rahmân adalah 39
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 207-208 Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 209 41 Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî, 1974) jilid 1, h. 33 40
33
kesempurnaan wujud Allâh dan hanya dimiliki oleh Allâh. Sedangkan ar-Rahîm, merupakan manifestasi dari rahmat Allâh yang dimiliki oleh makhluk Allâh.42 Kata ar-Rahmân digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmatNya, dan kata ar-Rahîm dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya. Curahan rahmat Tuhan secara aktual dilukiskan dengan kata arRahmân sedang sifat yang dimiliki-Nya dilukiskan dengan ar-Rahîm. Gabungan kedua kata itu menyiratkan bahwa Allâh mencurahkan rahmat kepada makhlukNya karena memang Dia merupakan Zat Yang memiliki sifat itu.43 Jika Ibn Katsir berpendapat bahwa sifat ar-Rahmân dan ar-Rahîm, dua kalimat pecahan dari Rahmatun untuk menyebut kelebihan, dan kata rahmân lebih luas dari rahîm. Sebab rahîm menguatkan rahmân.44 Dan menurut Rasyid Ridha kata ar-Rahmân dan ar-Rahîm yang berakar dari kata Rahmat yakni Yang memiliki rahmat karunia yang tidak ada bandingan bagi-Nya dalam bentuk rahmat. Sifat ar-Rahmân adalah sifat Allâh Yang Maha Pengasih di dunia, dan arRahîm adalah sifat Allâh Yang Maha Penyayang di akhirat.45 Imam ath-Thabari mengatakan, kalau ada orang yang berkata, jika kata
“ ”الزحمنdan “ ” الزحيمadalah dua nama yang diambil dari kata ( الزحمةkasih sayang), lalu kenapa ia diulang sementara maknanya sama? Jawabannya: ia tidak seperti yang anda duga, akan tetapi masing-masing dari keduanya memiliki makna yang tersendiri. Adapun secara etimologi, tidak seorang pun ahli bahasa yang memungkiri bahwa kata الزحمنmemiliki makna yang lebih spesifik daripada kata 42
Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 Ibn „Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim, h. 7 44 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 19 45 M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, h. 31 43
34
الزحيم, meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama. Kemudian, dari akar kata aslinya maknanya lebih spesifik daripada bentuk kata benda aslinya, dimana yang disifati dengannya lebih utama daripada yang disifati dengan kata benda aslinya jika menyangkut pujian atau celaan. Dengan sifat الزحمنAllâh disebut Penyayang terhadap seluruh makhlukNya, dan dengan sifat الزحيمAllâh disebut Penyayang terhadap sekelompok makhluk-Nya, baik dalam segala kondisi maupun kondisi tertentu. Jika demikian adanya, maka kasih sayang yang khusus tersebut tidak mustahil adanya, baik di dunia maupun di akhirat, atau pada kedua-duanya. Dan jika Allâh telah mengkhususkan kasih sayang-Nya di dunia untuk para hamba-Nya yang beriman dengan memberikan kemudahan kepada mereka dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, sebuah anugerah yang tidak diberikan kepada orangorang yang ingkar, dan menyediakan bagi mereka balasan surga yang penuh dengan kenikmatan di hari akhir kelak, maka nyatalah bahwa Allâh telah memberikan anugerah secara khusus bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya di dunia dan di akhirat, di samping anugerah-anugerah lain yang diturunkan secara umum mencakup yang mukmin dan yang kafir, seperti anugerah rezeki, kesehatan fisik dan akal, hujan, tanaman, binatang dan anugerah-anugerah lain yang yang tidak terhitung jumlahnya. Jadi, Allâh adalah Tuhan Yang Maha Pengasih atas sekalian makhluk-Nya di dunia dan di akhirat, dan Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang beriman secara khusus di dunia dan di akhirat.46
46
Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 212
35
Sementara ulama menjelaskan makna penggabungan kata Allâh, arRahmân dan ar-Rahîm dalam basmalah, menurutnya seorang yang kalau bermaksud memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah serta Dia Yang Mencurahkan aneka nikmat, maka yang bersangkutan menyebut nama teragung dari Dzat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya untuk dimintai. Muhammad Abduh menilai bahwa penggabungan tiga kata yang menunjuk Tuhan Yang Maha Esa itu adalah basmalah, merupakan bantahan tidak langsung kepada orang-orang Nasrani, yang menganut paham Trinitas. Mereka memulai doa-doa dengan menyebut Tuhan bapak, Tuhan anak dan Ruh al-Quds. Islam datang membantah mereka bahwa Allâh Maha Esa, walaupun nama-namaNya banyak, tetapi hanya nama dan sifat yang banyak bukan Dzat yang dinamai dan disifati itu.47
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 23
BAB III HADIS-HADIS TENTANG PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT Setelah penulis telusuri mengenai perbedaan yang sangat berfariasi di kalangan para ulama tentang pembacaan basmalah dalam salat, ada sebagian ulama yang melarang membaca basmalah ketika salat dan ada pula yang membolehkan membacanya. Perbedaan ini terjadi karena memang perbedaan hadis yang ada, ada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. ketika salat membaca basmalah berdasarkan hadis yang berbunyi:
َُب َخالِ ٍد ُ ِاد َع مُن أ ٍُ َّيل بم ُُن َْح ُُ ِن إِ مْسَع ُ َِال َح َّدث َُ ََّّبُ َحدَّثَنَا الم ُم معتَ ِم ُُر بم ُُن ُسلَمي َما َُن ق َحدَّثَنَا أ م َْحَ ُُد بم ُُن َُعمب َدةَُ الض ِي ِ ِ الرِحي ُِم ُال َكا َُن النِ ي َُ َاس ق ٍُ ََّع مُن ابم ُِن َعب َُّ الر مْحَ ُِن َّ ص ََلتَُوُ ُبِبِ مس ُِم اللَُِّو َ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُو َو َسلَّ َُم يَ مفتَت ُُح َ َّّب
“... Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Nabi SAW. membuka salatnya dengan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah).”1
Dan ada juga yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW. tidak membaca basmalah ketika salat berdasarkan hadis yang berbunyi:
ُصلَّى اللَّوُُ َعلَمي ِو َُّ ك أ ٍُ ِس ُبم ِنُ َمال ُِ َال َحدَّثَنَا ُش معبَُة َع مُن قَتَ َادَُة َع مُن أَن َُ َص بم ُُن ُع َمَُر ق ُُ َحدَّثَنَا َح مف َّ َِن الن َ َُّّب }ي َُ ب الم َعالَ ِم ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َر ُِ الص ََلَُة ب{ م َّ َو َسلَّ َُم َوأَبَا بَ مك ٍُر َوعُ َمَُر َر ِض َُي اللَُّوُ َعمن ُه َما َكانُوا يَ مفتَتِ ُحو َُن
“... Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW., Abu Bakar dan „Umar ra., mereka memulai salat dengan membaca Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.”2
Ternyata, dari sinilah salah satu penyebab perbedaan pendapat tentang pembacaan basmalah dalam salat itu muncul. Penulis melakukan pengumpulan hadis-hadis tentang membaca basmalah dalam salat dengan metode Takhrij Hadis melalui matan, yaitu metode penulusuran kata atau lafal pada salah satu kamus hadis yang penulis gunakan, 1
Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 1, hadis no. 228, h. 414 2 Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994) jilid-3, hadis 701, h. 186
36
37
yaitu “Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts”. Kata kunci yang digunakan ialah
فتح
.3 Selain itu, penulis juga melakukan takhrîj tersebut dengan menggunakan
jasa komputer dengan program CD al-Maktabah al-Syâmilah dengan kata kunci
ُالرِحي ِم َّ الر مْحَ ُِن َّ بِ مس ُِم اللَُِّو. Setelah dilakukan penulusuran, penulis menemukan hadis-hadis yang membahas pembacaan basmalah dalam salat sebanyak 54 hadis. Penulis membatasi penelusuran hanya pada al-Kutub al-Sittah saja, yang berjumlah 24 hadis. Dari 24 hadis tersebut, penulis membaginya dalam 2 tema: 1. Hadis tentang menyaringkan basmalah 2. Hadis tentang tidak menyaringkan basmalah A. Hadis Tentang Menyaringkan Basmalah Terdapat 8 hadis yang membahas tentang menyaringkan basmalah dalam salat, didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Sahîh al-Bukhârî sebanyak 1 hadis, Sahîh Muslim sebanyak 1 hadis, Sunan Abû Dâwud sebanyak 3 hadis, Sunan alTirmîdzî sebanyak 1 hadis, Sunan al-Nasâ‟î sebanyak 2 hadis. 1. Teks Hadis a. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
ُِ ِت قَِراءَُة الن ُف َكانَ م َُ َكمي ُصلَّى اللَُّو َ َّّب الر مْحَ ِنُ َوََيُيُد َُّ ِ} ََيُيُد بِبِ مس ُِم اللَُِّو َوََيُيُد ب
3
ِ َُ َاص ٍُم حدَّثَنَا ََهَّ ُام ع ُن قَتَادَُة ق ِ حدَّثَنَا عمرو ُبنُ ع ُس َ ٌ َم َ ُ َمُ م َ َ ٌ َال ُسئ َُل أَن الرِحي ُِم ُال َكانَ م َُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم فَ َق َّ الر مْحَ ُِن َّ ت َمدًّا ُُثَّ قَ َرُأَ { بِ مس ُِم اللَُِّو 4 ِ ِ الرحي ُِم َّ ب
A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li al-fâz al-Hadîts, Jilid V (Leiden: E. J. Brill, 1943), h. 48 4 Muḥammad bin „Ismā„īl Abū „Abdillāh al-Bukhārī al-Ju„fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994) Jilid-15, hadis 4658, h. 466
38
“... Dari Qatadah ia berkata, Anas pernah ditanya, “Bagaimanakah bacaan Nabi SAW.?” Ia pun menjawab, “Bacaan beliau adalah panjang.” Lalu ia pun membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan, „Bismillâh‟ dan juga memanjangkan bacaan, „ar-Rahmân‟ serta bacaan, „ar-Rahîm‟. (HR. Al- Bukhârî)
b. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh Muslim
ِ ٍ ِس ب ُِن مال ُك ُُ ََخبَ َرنَا الم ُم مخت ُالس مع ِد ي َّ َحدَّثَنَا َعلِ يُي بم ُُن ُح مج ٍُر ي َحدَّثَنَا َعل يُي بم ُُن ُم مس ِه ٍُر أ م َ ار بم ُُن فُ مل ُف ٍُل َع مُن أَنَ ُِ م ِ ول ُاللَّ ِو ُصلَّىُاللَّو ِ ُُالرِحي ِم ُإِنَّا ُُ يَ ُق ُ ال َُر ُس َ َول ق َّ ُالر مْحَ ِن َّ ورةٌ ُفَ َقَرأَُبِ مس ِم ُاللَّ ِو ُعلَميو َُو َسلَّ َم ُأُنمُِزلَ م َ ُ َ ت َ ُ ُعلَ َّي ُآن ًف َ اُس ُال ُفَُِإنَّوُُنَ مهٌر َُو َع َدنِ ِيو َ َُى مل ُتَ مد ُرو َن َُماُالم َك موثَ ُر ُقَالُواُاللَّوُ َُوَر ُسولُوُُأ مَعلَ ُم ُق َ َُختَ َم َهاُق َ ال َ ُح ََّّت َ أ مَعطَمي نَا َكالم َك موثََر 5ِ اْلَن َُّة ُ ِ َرِب ُف م
“... Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Tadi telah diturunkan suatu surat kepadaku.” Lalu beliau membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm, Innāa‟thainākalkautsar...” hingga akhir ayat. Beliau bersabda: “Apakah kalian tahu alKautsar?” para sahabat menjawab; “Allâh dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Ia adalah sungai di dalam surga yang telah dijanjikan oleh Rabbku kepadaku kelak.” (HR. Muslim)
Mukhtar bin Fulful adalah maula Amru bin al-Huraits al-Kufi. Dia meriwayatkan hadis dari Anas dan Ibrahim at-Taimi. Yang meriwayatkan darinya adalah Za‟idah dan ats-Tsauri. Ibnu Idris berkata, “Dia biasa menceritakan hadis dengan kedua mata mencucurkan airmata.” Dia dianggap tsiqah oleh Ahmad.6 c. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Abû Dâwud
ُ َِب َح َُّدثَنَا ابم ُُن ُجَريمجٍُ َع مُن َعمب ُِد اللَُِّو بم ُِن أ ُ ِن أ ُ َِي َح َّدث ُي ماْل َُم ِو ي َُ يد بم ُُن َمَي ُُ َِحدَّثَنَا َسع ََب ُملَمي َك ُةَ َع مُن أُُِم َسلَ َم ُة ِ ُِ ت أ َُو َكلِم ُةً َغي رىا قِراءَُة رس اْلَ مم ُُد الرِحي ُِم { م َّ الر مْحَ ُِن َّ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم بِ مس ُِم اللَُِّو َ ول اللَُّو ُ َ َ َ َ َ أَن ََّها ذَ َكَر مُ م َ م 7 ِ ُِ ِالرِحي ُِم مل َُ ب الم َعاُلَ ِم ُِ لِلَُِّو َر َّ ي ًك يَ موُم الدِي ُِن } يُ َقطِ ُُع قَِراءَتَُوُ آيَُةً آيَُة َ َّ الر مْحَ ُِن
“... Dari Ummu Salamah bahwa ia menyebutkan kalimat yang lainnya bacaan Rasulullah SAW.: Bismillâhirrahmânirrahîm, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, Arrahmânirrahîm, Malikiyaumiddîn, beliau membacanya dengan memutus bacaan satu ayat satu ayat. (HR. Abû Dâwud)
5
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth ( hadis no. 607, jilid 2, h. 362; lihat juga di Abû Dâwud , Sunan Abû Dâwud , jilid 2, hadis no. 666, h. 437; dan lihat juga Aḥmad bin Syu„âb Abū „Abdirraḥmân al-Nasâ‟î, Sunan alNasâ‟î, (Bayrūt: Dâr al-Fikr, t.th.),jilid 3, hadis no. 894, h. 458 6 Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 457 7 Abû Dâwud Sulaymân bin al-Asy„ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud , (Bayrūt: Dâr alFikr, tt), jilid 11,hadis no. 3487, h. 13
39
“Abû Dâwud berkata, “Aku mendengar Ahmad berkata, bacaan yang lama adalah Mâlikiyaumiddîn.”8
ِ ُِالسرِحُقَالُواُحدَّثَناُس مفيا ُنُعنُعم ٍروُعنُسع ٍ ِحدَّثَناُقُت يبةُُبنُسع ُيد ُُمَ َّم ٍدُالم َم مرَوِز ي يد َُوأ م ُ َْحَ ُدُبم ُن َ َ َ ُ َ َ م َم َ م َ ُ َ َ َ مَ م ي َُوابم ُن َّ م ِِ ٍ َُّعب ُِورة َُ َاس ُق َ َُجبَ مٍْي ُق ُ ُعلَمي ِو َُو َسلَّ َم ََُل ُيَ مع ِر ال َكا َن ُالنِ ي َ ُُصلَّىُاللَّو َ ُع من ُابم ِن َ ال ُقُتَ ميبَةُُفيو ف ُفَ م َ َّّب ُ بم ِن َ ص َل ُال يس 9 ُُِالس مرح ُ ُالرِحي ُِم َوَى َذاُُلَ مف َّ ُالر مْحَ ِن َّ ُعلَمي ِوُبِ مس ِمُاللَّ ِو َّ ظُابم ِن َ َح ََّّتُتَنَ َّزَل “... Dari Ibnu Abbas dia berkata: “Nabi SAW. tidak mengetahui pemisah antar surat hingga diturunkan kepada beliau Bismillâhirrahmânirrahîm. (dengan menyebut nama Allâh yang maha pengasih lagi maha penyayang).” Lafadz ini dari Ibnu As-Sarh. (HR. Abû Dâwud )
Kualitas hadis: Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim dan dia menyatakan ini Sahîh berdasarkan syarat al-Bukhârî dan Muslim. Abû Dâwud juga meriwayatkannya dalam al-Marasil (himpunan hadis-hadis mursal) dari Sa‟id bin Jubair, dan menurutnya yang mursal ini lebih Sahîh. Setelah menyebutkan hadis ini dari Ibnu Abbas, adz-Dzahabi mengatakan dalam ringkasan al-Mustadrak, „Adapun yang ini statusnya tsabit (kuat).‟ al-Haitsami berkata, “Dia diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan dua sanad dan para periwayat dari salah satunya adalah periwayat kitab Sahîh.”10 d. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmîdzî
َُب َخالِ ٍد ُ ِاد َع مُن أ ٍُ َّيل بم ُُن َْح ُُ ِن إِ مْسَع ُ َِال َح َّدث َُ ََّّبُ َحدَّثَنَا الم ُم معتَ ِم ُُر بم ُُن ُسلَمي َما َُن ق َحدَّثَنَا أ م َْحَ ُُد بم ُُن َعمب َدَُة الض ِي 11 ِ ِ ِ الرحي ُِم ُص ََلتَُوُ م ُال َكا َُن النِ ي َُ َاس ق ٍُ ََّع مُن ابم ُِن َعب َّ الر مْحَ ُِن َّ ب بِ مس ُِم اللَُِّو َ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُو َو َسلَّ َُم يَ مفتَت ُُح َ َّّب
“... Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Nabi SAW. Membuka salatnya dengan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah).” (HR. Al-Tirmīdzī)
Kualitas hadis: Abu Isa berkata, “Hadis ini sanadnya tidak kuat. Beberapa sahabat Nabi SAW. berpendapat dengan hadis ini. Di antara mereka adalah; Abu 8
Imam Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud , jilid 2, h. 13 Imam Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud , jilid 2, hadis no.669, hal 441 10 Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 471 11 Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 1, hadis no. 228, h. 414 9
40
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Juga orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi‟in, mereka berpendapat dengan mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm. Ini adalah pendapat Syafi‟i. Isma‟il bin Hammad namanya adalah Ibnu Abu Sulaiman, sedangkan Abu Khalid disebut dengan Abu Khalid al-Walibi, dan namanya adalah Hurmuz, dan dia adalah orang Kufah.”12 e. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Nasâ‟î
ُيد بم ُِن أَِب ُِ ِث َحدَّثَنَا َخالِ ٌُد َع مُن َسع ُُ ب َحدَّثَنَا اللَّمي ٍُ اْلَ َك ُِم َع مُن ُش َعمي َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُُد بم ُُن َعمب ُِد اللَُِّو بم ُِن َعمب ُِد م أم َُ َِى ََل ٍُل َع مُن نُ َعمي ٍُم الم ُم مج ِم ُِر ق ُِ الرِحي ُِم ُُثَّ قَ َرُأَ بِأُُِم الم ُق مر آن ُ ِت َوَر ُاءَ أ ُُ صلَّمي َّ الر مْحَ ُِن َّ َب ُىَريم َرَُة فَ َقَرُأَ بِ مس ُِم اللَُِّو َ ال ول ُكلَّ َما ُُ ي َُويَ ُق َُ َّاس ِآم ُُ ال الن َُ ي فَ َق َُ ال ِآم َُ ي } فَ َق َُ ِوب َعلَمي ِه مُم َوََُل الضَّال ُِ ض َُّ َح ُ َّت إِذَا بَلَ َُغ { َغ مِْيُ الم َم مغ ِال والَّ ِذي نَ مف ِسي بِي ِدُه ِ َُ َي ق ُِ ف ِاَلثمنَتَ م ُ ِ وس ُِ ُاْلُل َس َج َُد اللَُّوُ أَ مكبَ ُُر َوإِذَا قَ َُام ِم مُن م َ َ َُ َال اللَُّوُ أَ مكبَ ُُر َوإذَا َسلَّ َُم ق 13 ِ ُِ ّن َْلَ مشب ه ُك ُم ص ََلةًُ بِرس ِ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َ ول اللَُّو ُ َ َ إ ُِ َ ُ م
“... Dari Nu‟aim Al-Mujmir dia berkata; Aku pernah salat di belakang Abu Hurairah kemudian ia membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, lalu membaca surat alFâtiẖah...” (HR. Al-Nasâ‟î)
Kualitas hadis: hadis di atas adalah hadis mauquf14,hadis ini hasan15. Dan berkata al-Baihaqi: “Saẖîẖ isnad-nya”.16 Namun ada juga yang men-ḍa‟if-kannya (menganggapnya sebagai hadis lemah).17 Al-Bukhârî menyebutkannya secara mu‟allaq, sementara Ibnu Hajar dalam al-Fath menyebutkan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan al- Nasâ‟î, yaitu hadis yang paling sahîh dalam masalah ini. Az12
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 1, h. 414 Aḥmad bin Syu„âb Abû „Abdirrahmân al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid 3, hadis no. 895, h. 459 14 Sesuatu yang diriwayatkan dari seorang sahabat, baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir-nya, dan baik muttashil maupun munqathi‟. 15 Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir serta disampaikan oleh orang-orang yang adil, tidak ada kejanggalan dan tidak cacat. Hanya saja dalam sanadnya terdapat perawi yang kurang sempurna kekuatan hafalannya. 16 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas) cet. Ke-1, jilid 1, h. 122 17 Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah dkk, jilid 2, h. 179 13
41
Zaila‟i menganggapnya ma‟lul (mengandung cacat). Ibnu Hajar membantah orang yang mengatakan bahwa selain Nu‟aim meriwayatkannya tanpa menyebutkan basmalah, dengan jawaban, bahwa Nu‟aim tsiqah (dapat dipercaya) sehingga tambahannya dapat diterima. An-Nawawi pun mengutip klaim shahihnya dalam al-Majmu‟ dan kepastiannya dari ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan al-Baihaqi.18 2. Asbâb al-Wurûd Hadis Asbâb al-Wurûd hadis merupakan konteks historis yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis, ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada suatu hadis itu disampaikan kepada Nabi SAW. dengan lain ungkapan. Asbâb al-Wurûd adalah faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Dan tidak semua hadis ada Asbâb al-Wurûd-nya. Mengenai Asbâb al-Wurûd hadis-hadis tentang menyaringkan basmalah yang akan dibahas ini tidak dicantumkan penulis, sebab memang tidak terdapat Asbâb al-Wurûd -nya. Setelah penulis menelusuri dua kitab, yaitu: al-Luma‟ Fi Asbâb al-Wurûd al-Hadîts karya Jalaluddin al-Suyuti dan latar belakang historis timbulnya hadis-hadis Rasul karya Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi alDamsyiqi, penulis tidak menemukan adanya keterangan tentang Asbâb Al-Wurûd dalam hadis tersebut. 3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî, nyata sekali Anas mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillâhirrahmânirrahîm, dengan panjang : 18
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah dkk, jilid 2, h. 179
42
Bismillâh-nya panjang. Ar-Rahmân-nya panjang dan ar-Rahîm-nya panjang pula. Timbul pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah SAW. membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (madd), kalau tidak didengarnya sendiri?19 Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fiqih dan Ilmu hadis tentu kita dapat menyimpulkan : “Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang meniadakan.” Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah SAW. baca Bismillâh panjang, ar-Rahmân panjang dan ar-Rahîm panjang itulah yang didahulukan. Oleh sebab itu Bismillâhirrahmânirrahîm kita jahr-kan dan maddkan membacanya. Ini namanya menetapkan hukum ada jahr.20 Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh asy-Syaukani di dalam Nailul Autâr telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya, “Hal ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadis yang menetapkan hukum (jahr) daripada yang menafsirkan (sirr). Karena amat jauh dari penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan Utsman dua puluh lima tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka men-jahr agak sekali salatpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri mengakui bahwa dia tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi SAW. dan ketiga sahabat itu) memulai
19 20
dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn
secara
jahr
atau
dengan
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125
43
Bismillâhirrahmânirrahîm. Demikian yang dikutip oleh Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dalam kitab tafsirnya.21 Keterangan Ibnu Hajar diperkuat lagi dengan asy-Syaukani dalam Nailul Autâr, katanya : “Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah hadis yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadis yang dirawikan oleh ad-Daruquthni dari Abu Salamah, demikian bunyinya” :22 “Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah SAW. membuka salat dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, atau dengan Bismillâhirrahmânirrahîm? beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasulullah SAW. salat dengan memakai sepasang terompah? Beliau menjawab : Memang ada!” Mengenai hadis yang berbunyi :
ِ ِ َّ ُالر مْحَ ِن ُختَ َم َها َّ فَ َقَرأَُبِ مس ِم ُاللَّ ِو َ ُح ََّّت َ ُالرحي ِم ُإنَّا ُأ مَعطَمي نَا َكالم َك موثََر
(beliau lalu membaca,
surat al-Kautsar sampai selesai) dalam Fath al-Wadud disebutkan, “Seakan dengan hadis ini dia (Abû Dâwud) memberi isyarat bahwa basmalah itu bagian dari surat al-Fâtihah sehingga harus dibaca jahr. Ketika dijawab bahwa mungkin saja beliau SAW. membaca basmalah sekedar meminta berkah (ber-tabarruk) bukan karena dia adalah bagian dari surat al-Fâtihah sehingga tidak harus dibaca jahr. Tapi ini bisa dijawab, bahwa basmalah itu hanya untuk memisahkan antar surat, sehingga dia dibaca hanya di awal surat saja.”23 Dalam Nail al-Autâr disebutkan ketika menerangkan hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dalil bagi yang menetapkan pembacaan basmalah, dan mereka sudah disebutkan. Salah satu yang juga menjadi dalil mereka adalah 21
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 125 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 126 23 Abu ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abu Daud terj. Anshari Taslim, h. 457 22
44
penulisannya dalam mushaf tanpa membedakannya dari surat yang ada sebagaimana mereka membedakan nama surat dengan suratnya dengan tanda merah. Tapi ini dijawab oleh yang mengatakan bahwa basmalah itu bukan bagian dari al-Qur‟an bahwa ditulis demikian hanya untuk memisahkan antar surat. Tapi ini bisa dijawab oleh yang menetapkan basmalah, bahwa kalau hanya untuk memisahkan antar surat maka penulisannya tanpa tanda khusus adalah pengelabuan. Juga dia tetap akan ditulis antara al-Anfāl dan al-Taubah (albara‟ah), juga tidak perlu ditulis di awal al-Fâtihah
24
. Selain itu, pemisahan bisa
saja dilakukan dengan menulis judul surat seperti yang dilakukan antara al-Anfâl dengan al-Bara‟ah.”25 Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud, yang berbunyi :
ِ ُِعنُعم ٍروُعنُسع ٍ ِحدَّثَناُقُت يبةُُبنُسع ُيد ُُمَ َّم ٍدُالم َم مرَوِز ي يد َُوأ م َّ ي َُوابم ُن ُ َْحَ ُدُبم ُن َ ُالس مرِحُقَالُو َ اُس مفيَا ُن َُ م َ م َ م ُ َاُحدَّثَن َ ُ َ َ َ مَ م ِِ ٍ َُّعُب ُِورة َُ َاس ُق َ َُجبَ مٍْي ُق ُ ُعلَمي ِو َُو َسلَّ َم ََُل ُيَ مع ِر ال َكا َن ُالنِ ي َ ُع من ُابم ِن َ ال ُقُتَ ميبَةُُفيو َ ُُصلَّىُاللَّو ف ُفَ م َ َّّب ُ بم ِن َ ص َل ُال يس 26 ُُِالس مرح ُ ُالرِحي ُِم َوَى َذاُلَ مف َّ ُالر مْحَ ِن َّ ُعلَمي ِوُبِ مس ِمُاللَّ ِو َّ ظُابم ِن َ َح ََّّتُتَنَ َّزَل “... Dari Ibnu Abbas dia berkata: “Nabi SAW. tidak mengetahui pemisah antar surat hingga diturunkan kepada beliau Bismillâhirrahmânirrahîm. (dengan menyebut nama Allâh yang maha pengasih lagi maha penyayang).” Lafadz ini dari Ibnu as-Sarh. (HR. Abû Dâwud)
ُورِة ُ ََل ُيَ مع ِر ف ُفَ م َ ص َل ُال يس
(tidak mengetahui pemisah antar surat). Hadis ini
menjadi dalil bagi yang mengatakan bahwa basmalah adalah bagian dari alQur‟an. Ini berarti hanya dengan dia turun bersama al-Qur‟an maka dia adalah bagian dari al-Qur‟an itu sendiri. Demikian diungkapkan asy-Syaukani.
24
Karena tidak ada surat sebelum al-Fâtihah sehingga tidak perlu ditulis pemisah dengan surat lain di atasnya. 25 Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 457 26 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 2, hadis no.669, hal 441
45
Berdalil dengan hadis ini dan juga hadis lain yang senada untuk mengatakan bahwa membaca basmalah hendaknya dengan keras (jahr) dalam salat tidaklah tepat. al-Hafizh Ibnu Sayyid an-Nas al-Ya‟muri mengatakan, “Karena sekelompok orang yang mengharuskan pembacaan basmalah secara keras tetap tidak meyakini bahwa basmalah itu bagian dari al-Qur‟an. Mereka malah mengatakan bahwa itu hanya sunah, sama halnya dengan ta‟awwudz dan pembacaan âmîn. Sebaliknya, kelompok yang mengatakan basmalah dibaca pelan (sirr) malah meyakini bahwa basmalah bagian dari al-Qur‟an.27 Karenanya an-Nawawi berkata, “Masalah mengeraskan atau memelankan bacaan basmalah tidak ada hubungannya dengan masalah apakah dia bagian dari al-Qur‟an atau bukan. Merupakan kesalahan pula berdalil dengan hadis-hadis meniadakan pembacaan basmalah (secara keras) bahwa itu berarti basmalah bukan ayat dari al-Qur‟an.28 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Takhrij Hadits al-Hidayah, “Salah satu dalil yang menetapkan pembacaan basmalah dengan suara keras adalah bahwa hadisnya diriwayatkan dari banyak jalur. Sedangkan yang meniadakannya hanya datang dari riwayat Anas dan Mughaffal. Sedangkan yang lebih kuat tentulah yang lebih banyak.29 Selain itu, hadis yang menyatakan pembacaan secara keras merupakan peng itsbat-an (penetapan) dan penetapan biasanya lebih diunggulkan daripada
27
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 471 28 Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 471 29 Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 471
46
peniadaan. Lagi pula yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. tidak mengeraskan bacaan basmalah juga meriwayatkan bahwa beliau mengeraskan bacaan basmalah. Bahkan ada riwayat dari Anas yang mengingkari hal itu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Daraquthni dari jalur Sa‟id bin Yazid Abu Maslamah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Anas, Apakah Rasulullah
SAW.
Membaca
Bismillâhirrahmânirrahîm,
ataukah
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn?” Dia menjawab, “Kamu bertanya padaku tentang hal yang aku tidak ingat betul dan juga tak ada yang bertanya itu kepadaku selain kamu.”30 Tapi dalil pertama bisa dijawab, bahwa pengunggulan jalur yang lebih banyak itu bisa dilakukan kalau sanadnya sama-sama sahîh. Dalam hal ini, tidak ada satupun khabar (hadis) marfu‟ yang sahîh bahwa Rasulullah SAW. pernah membaca basmalah dengan suara keras, sebagaimana diungkapkan oleh adDaraquthni. Yang sahîh hanya perbuatan sebagian sahabat.31 Sedangkan untuk yang kedua, meskipun dalil tidak membaca basmalah dengan suara keras itu bentuknya nafi (peniadaan), tapi maknanya adalah itsbat (penetapan). Dalil lain yang biasa dikatakan bahwa ada kemungkinan sahabat yang meniadakan pembacaan basmalah dengan suara keras ini tidak mendengarnya
dari
Rasulullah
SAW.
karena
jarak
mereka
jauh.
Ini
kemungkinannya jauh sekali, sebab demikian lamanya mereka mendampingi beliau SAW.
30
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 472 31 Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 472
47
Jawaban untuk yang ketiga (dalil Anas yang menyatakan lupa) maka yang mendengar darinya pada saat dia masih hafal tentu harus lebih didahulukan daripada yang mendengarnya di saat lupa. Anas sendiri pernah ditanya tentang sesuatu lalu dia berkata kepada penanya, “Tanyakan kepada al-Hasan, karena dia masih ingat sedang aku sudah lupa.” Al-Hazimi mengatakan, “Hadis-hadis tentang membaca basmalah dengan suara pelan tidak bisa ditakwil lain, juga tidak bisa dilawan oleh dalil lain karena hadis tersebut sahîh. Sedangkan hadis yang menyatakan beliau membaca dengan suara keras tidak sama dalam ke- sahîh -annya. Kalaupun ada yang sahîh tentang penyaringan suara saat membaca basmalah adalah hadis Anas, itupun redaksinya berbeda-beda. Dan, riwayat yang paling sahîh dari Anas adalah bahwa mereka (Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman) memulai bacaan dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Seperti inilah riwayat kebanyakan murid-murid Syu‟bah darinya, dari Qatadah dari Anas. Seperti ini pula redaksi kebanyakan murid-murid Qatadah dari Qatadah. Redaksi ini pula yang disepakati oleh Syaikhani (al-Bukhârî dan Muslim).32 Ada pula versi redaksi lain dengan lafazh, “Aku belum pernah mendengar seorang pun dari mereka yang mengeraskan bacaan basmalah. Perawi redaksi ini lebih sedikit dibanding riwayat pertama, serta hanya diriwayatkan oleh Muslim seorang diri. Ada lagi riwayat dari Hammam dan Jarir bin Hazim dari Qatadah, “Anas ditanya bagaimana bacaan Nabi SAW.? Dia menjawab, beliau membaca 32
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473
48
basmalah dengan panjang dan ar-Rahmânir Rahîm juga dengan panjang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhârî. Ada pula riwayat darinya dari hadis Abu Maslamah sama seperti hadis yang sudah disebutkan. Konon dia ditanya tentang bagaimana Nabi SAW. membuka bacaan. Kemudian Abu al-Hazimi berkata, “Ini adalah perbedaan pendapat yang dibolehkan, tidak ada nasikh dan mansukh di sini.33 Ibnu al-Qayyim menyatakan dalam kitab al-Hady (Zad al-Ma‟ad) bahwa Nabi
SAW.
terkadang
mengeraskan
bacaan
basmalah
terkadang
pula
memelankannya, dan itulah yang lebih sering. Tidak mungkin beliau SAW. selalu mengucapkannya dengan suara keras setiap kali salat baik siang maupun malam, baik ketika dalam perjalanan maupun di rumah dan tidak ada satu pun para khalifahnya yang mendengar itu. Hadis yang sahîh dalam masalah ini tidak tegas mengatakan demikian, sementara yang tegas tidak sahîh.”34 4. Analisa Hadis Hadis-hadis di atas adalah hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm dibaca jahr (nyaring). secara tegas mereka mengharuskan pelafalan basmalah dalam salat, karena menurut mereka basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fâtihah. Salah satu dalil yang dijadikan hujjah mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasâ‟î dari Nu‟aim al-Mujmir yang sudah disebutkan di atas.
33
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473 34 Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 473
49
Al-Nasâ‟î
menetapkan
bab
dalam
kitabnya
dengan
lafal
“Bab
mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm” dan hadis tersebut termasuk yang paling saẖîẖ tentang masalah itu.35 Sehingga menguatkan hukum asal yaitu hukum kalimat bismillâh itu sama dengan hukum bacaan al-Fâtihah dalam hal membaca keras atau pelan. Apalagi hadis ini adalah ucapan dari Abu Hurairah yang mengatakan: “Sungguh sayalah di antara kamu yang paling sama salatnya dengan salat Rasulullah”.
Tetapi setelah diselidiki lebih mendalam oleh para ulama, tiap-tiap hadis yang jadi pegangan buat men-jahr itu ada saja yang di-naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Imam al-Tirmîdzî mengatakan, “Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya.” Begitupun dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau pernah ditanya mengenai hadis yang diriwayatkan al-Nasâ‟î di atas, beliau mengatakan, “Ahli hadis telah sepakat bahwa tidak ada hadis saẖîẖ yang memastikan dikeraskannya (bacaan basmalah) dengan al-Fâtihah, sedangkan yang jelas-jelas menyatakan demikian terdapat dalam hadis-hadis palsu (hadis yang dibuat-buat).” Sedangkan hadis riwayat al-Bukhârî yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. menghitung Bismillâhirrahmânirrahîm sebagai salah satu ayat dari al-Fatihah, menurut sebagian ahli hadis, riwayat ini tidak dijelaskan sanadnya sehingga diragukan keabsahannya sebagai hadis yang disandarkan dari Imam al-Bukhârî. Mengenai perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, penulis kurang sependapat dengan perkataan beliau, karena ada beberapa hadis yang Sahîh 35
Ash-Shan‟anī, Terjemahan Subulus Salam terj. Abu Bakar Muhammad ( Surabaya: AlIkhlas) jilid 1, h.531
50
tentang mengeraskan basmalah. Sebagaimana yang telah penulis telusuri di alKutub al-Sittah mengenai hadis-hadis tentang mengeraskan basmalah, penulis menemukan 8 hadis salah satu di antaranya ada di kitab Sahîh al-Bukhârî. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa para ulama dan kaum muslimin telah sepakat atas ke- Sahîh-an kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim. Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri beliau mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam kitab al-Lu‟lu‟ wa al-Marjân “Di kolong langit ini tidak ada kitab yang lebih Sahîh setelah kitab suci al-Qur‟an selain kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim, serta kitab-kitab yang dihimpun dari keduanya.36 B. Hadis Tentang Tidak Menyaringkan Basmalah Terdapat 16 hadis yang membahas tentang tidak menyaringkan basmalah dalam salat, didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Sahîh al-Bukhârî sebanyak 1 hadis, Sahîh Muslim sebanyak 2 hadis, Sunan Abû Dâwud sebanyak 1 hadis, Sunan al-Tirmîdzî sebanyak 3 hadis, Sunan al-Nasâ‟î sebanyak 5 hadis dan Sunan Ibnu Mâjah sebanyak 4 hadis. 1. Teks Hadis a. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî
ُصلَّى اللَّوُُ َعلَمي ِو ٍُ ِس بم ُِن َمال ُِ َال َحدَّثَنَا ُش معبَُة َع مُن قَتَ َادَُة َع مُن أَن َُ َص بم ُُن ُع َمَُر ق ُُ َحدَّثَنَا َح مف َّ ِك ُأَ َّنُ الن َ َُّّب 37 }ي َُ ب الم َعالَ ِم ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َر ُِ الص ََلَُة ب{ م َّ َو َسلَّ َُم َوأَبَا بَ مك ٍُر َوعُ َمَُر َر ِض َُي اللَُّوُ َعمن ُه َما َكانُوا يَ مفتَتِ ُحو َُن 36
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu‟lu‟ wa al-Marjân terj. Muhammad Suhadi dkk (Jakarta: Ummul Qura) cet. 1, h. xxxvii 37 Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhârî, jilid-3, hadis 701, h. 186; lihat juga di Imam alTirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 1, hadis no. 229, h. 416; lihat juga di Imam al-Nasâ‟î, Sunan alNasâ‟ī, jilid 3, hadis no. 892 dan 893, h. 455-456; dan lihat juga di Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 3, hadis no. 805, h. 41
51
“... Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW., Abu Bakar dan „Umar ra., mereka memulai salat dengan membaca Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Al-Bukhârî)
b. Hadis yang terdapat dalam kitab Sahîh Muslim
َُّ ََحدَّثَُنَا ُُمَ َّم ُُد بم ُُن الم ُمث ّن َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُُد بم ُُن َج مع َف ٍُر َحدَّثَنَا َُّ َال ابم ُُن الم ُمث َُ َّن َوابم ُُن بَشَّا ٍُر كِ ََل َُهَا َع مُن غُمن َد ٍُر ق ِ ُِ ت م ُع رس َب بَ مك ٍُر ُ ِصلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َوأ َُ َس ق ٍُ َِث َع مُن أَن ُُ ت قَتَ َادَُة َُيَد ُُ ال َِْس مع َُ َُش معبَُة ق َ ول اللَُّو َ ال ُ َ َ َ ُُ صلَّمي 38 ِ ُالرحي ِم َّ الر مْحَ ُِن َّ َح ًدا ِممن ُه مُم يَ مقَرُأُ بِ مس ُِم اللَُِّو َ َوعُ َمَُر َوعُثم َما َُن فَلَ مُم أ مَْسَ مُع أ
“... Dari Anas dia berkata, “Saya salat bersama Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, lalu aku belum pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca, Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abû Dâwud telah menceritakan kepada kami Syu‟bah dalam isnad ini dan menambahkan “Syu‟bah berkata, maka saya berkata kepada Qatadah, „Apakah kamu mendengarnya dari Anas? „Dia berkata, „Ya, dan kami menanyakannya tentangnya.”39 Dalam lafazh lainnya disebutkan:
اْلَ ممد ُِ َب بَ مك ٍُر َوعُ َمَُر َوعُثم َما َُن فَ َكانُوا يَ مستَ مفتِ ُحو َُن ُ ِصلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َوأ َُ ت َخ مل ُُ صلَّمي ب{ م ِ ِف الن َ َُّّب َ 40 ِ ف آخ ِرَىا ُ ِ ف أ ََّوُِل قَِراءَُةٍ َوََُل ُ ِ الرِحي ُِم َُ ب الم َعالَ ِم ُِ لِلَُِّو َر َّ الر مْحَ ُِن َّ ي } ََُل يَ مذ ُك ُرو َُن بِ مس ُِم اللَُِّو
“Saya salat di belakang Nabi SAW., Abu Bakar, Umar, dan Utsman, maka mereka memulai membaca dengan, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (segala puji bagi Allâh , Tuhan semesta alam).‟ Mereka tidak menyebutkan Bismillâhirrahmânirrahîm (dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) pada awal bacaan, dan tidak pada akhirnya.” (HR. Muslim)
c. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Abû Dâwud
ِ ِ ِ ِ حدَّثَن َّ س أ ُُعلَمي ِو َُو َسلَّ َم َُوأَبَاُبَ مك ٍر ٍُ َُع من ُأَن َّ َِن ُالن َ ُُصلَّىُاللَّو َ َُع من ُقَتَ َادة َ ُحدَّثَنَاُى َش ٌام َ َّّب َ يم ُ َ َ َ اُم مسل ُم ُبم ُن ُإبم َراى 41 ِ ِ ِ {ُاْلم ُدُلِلَّ ِوُر ِ ِ }ُي َ بُالم َُعالَم َوعُ َمَر َُوعُثم َما َنُ َكانُواُيَ مفتَت ُحو َنُالمقَراءَةَُب مَ م َ “... Dari Anas bahwa Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semua memulai bacaannya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Abû Dâwud)
d. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmîdzî
38
Imam Muslim, Sahîh Muslim, hadis no. 605, jilid 2, h. 361 Imam Muslim, Sahîh Muslim, hadis no. 605, jilid 2, h. 361 40 Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 2, hadis no. 606, h. 362 41 Imam Abû Dâwud, Sunan Abī Dâwud, jilid 2, hadis no. 664, h. 435 39
52
ُِ ي َع مُن قَ مي ُُ َِْحَ ُُد بم ُُن َمنِي ٍُع َحدَّثَنَا إِ مْسَع ُاْلَُريم ِر ي ٍُ َيد بم ُُن إِي ُُ ِيم َحدَّثَنَا َسع َُ يل بم ُُن إِبم َر ِاى اس م َحدَّثَنَا أ م َس بم ُِن َعبَايَُة ُل أ م َي ُ ِ ال َُ الرِحي ُِم فَ َق ُُ ُالص ََلُةِ أَق ُ ِ َب َوأَنَا ُ ِن أ ُ ِ ال َِْس َع َُ ََّل ق ٍُ َع مُن ابم ُِن َعمب ُِد اللَُِّو بم ُِن ُمغَف َّ ف َّ الر مْحَ ُِن َّ ول بِ مس ُِم اللَُِّو ِ ُِ اب رس ِ ال وَُل أ َُر أَح ًدا ِم ُن أ م صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َكا َُن َُ اْلَ َد َُ َّث إِي ٌُ نُ ُمُم َد اك َو م ََّ ُب َ ول اللَُّو ث قَ َُ َ م َ َ م ُ َ ُ َص َح ِف م ُ ِصلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َوَم َُع أ َب ُِ ِت َم َُع الن ُُ صلَّمي َُ َن ِممن ُوُ ُق ُ ِ اْل مس ََلُِم يَ مع ُِ ث ُُ اْلَ َد َُ َأَبمغ ض إِلَمي ُِو م َ َّّب َ ال َوقَ مُد اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َُ صلَّمي َُ َل تَ ُق مل َها إِذَا أَنم َُ ََح ًدا ِممن ُه مُم يَ ُقوُُلَا ف ت فَ ُق مُل م بَ مك ٍُر َوَم َُع عُ َمَُر َوَم َُع عُثم َما َُن فَلَ مُم أ م َ ت َ َْسَ مُع أ 42 ِ َُ ب الم َعالَم ي ُِ َر “... Dari Ibnu Abdullah bin Mughaffal ia berkata; Ayahku mendengarku ketika aku dalam salat, ketika itu aku membaca, Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah), lalu Ayahku berkata; “wahai anakku, engkau telah melakukan hal yang baru, jauhilah perkara baru!” Ia (ayahku) berkata; “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari sahabat Rasulullah SAW. membenci sesuatu selain perkara yang baru (diada-adakan) di dalam Islam.” Ia berkata lagi, “Aku pernah salat bersama Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah melihat mereka mengucapkannya, maka janganlah engkau ucapkan itu. Jika engkau melaksanakan salat maka bacalah, Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (segala puji bagi Allâh , Rabb semesta alam).” (HR. Al-Tirmîdzî)
Abu Isa berkata; “Hadis Abdullah bin Mughaffal ini derajatnya hasan Sahîh. Hadis ini diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW., dan orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi‟in. Pendapat ini juga dipegang oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat bahwa ucapan Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah) itu tidak dikeraskan. Mereka berkata; “Hendaklah mereka mengucapkannya dalam hati.” 43 Menurut Ibnu Abdi al-Barr, hadis di atas ḏa‟if karena ada salah satu perawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Ibnu Mughaffal.44Dan para ahli hadis yang lain juga men-ḏa‟if-kan hadis tersebut dan mereka menolak pendapat at-
42
Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, Jilid 1,hadis no. 227, h. 412; lihat juga di Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 898, h. 463; dan lihat juga di Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 807, h. 43 43 Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, Jilid 1,hadis no. 227, h. 412 44 Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013) jilid 1, h. 205
53
Tirmîdzî yang menggolongkannya sebagai hadis hasan, seperti Ibnu Khuzaimah dan al-Khathib. Mereka berkata, “Masalahnya terletak pada Ibnu Abdillah bin Mughaffal, dan ia adalah perawi yang tidak dikenal”.45
ِ َُ َخبَ َرنَا َمَي ُ ِي َع مُن ابم ُِن ُجَريمجٍُ َع مُن ابم ُِن أ ُيد ماْل َُم ِو ي ٍُ ِي بم ُُن َسع ََب ُملَمي َك ُةَ َع مُن أُُِم َسلَ َم ُة َحدَّثَنَا َعل يُي بم ُُن ُح مج ٍُر أ م ِ ُُ ت َكا َُن رس َُ ب الم َعالَ ِم ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َر ُُ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم يُ َقطِ ُُع قَِراءَتَُوُ يَ ُق ُقَالَ م َّي } ُُث ول { م َ ول اللَُّو َُ 46 ُُ يَِق } ك يَ موُِم الدِي ُِن ُِ ِف َوَكا َُن يَ مقَرُؤَىا { َمل ُُ الرِحي ُِم } ُُثَّ يَِق َّ الر مْحَ ُِن َّ { ف “... Dari Ummu Salamah ia berkata; Rasulullah SAW. biasa memotong bacaan beliau, beliau membaca; Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, kemudian beliau berhenti, Arrahmânirrahîm, kemudian beliau berhenti, lalu beliau membaca Maliki yaumiddîn.” (HR. Al-Tirmîdzî)
Abu Isa berkata, “Hadis ini gharib47. Bacaan ini kemudian yang dibaca oleh Abu „Ubaidah dan dipilihnya. Demikianlah Yahya bin Sa‟id al-Umawi dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abu Mulaikah dari Ummu Salamah, namun sanadnya tidak bersambung, karena al-Laits bin Sa‟d meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Abu Mulaikah dari Ya‟la bin Mamlak dari Ummu Salamah bahwa Ummu Salamah menyebut bacaan Nabi SAW. kalimat perkalimat, hadis al-Laits lebih sahîh, namun dalam hadis al-Laits tidak disebutkan: “Beliau membaca Malikiyaumiddîn.”48 e. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Nasâ‟î
ُصوُِر بم ُِن َزا َذا َن ُُ َب يَ ُق ُ ِت أ ُُ ال َِْس مع َُ َيق ق ٍُ اْلَ َس ُِن بم ُِن َش ِق َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُُد بم ُُن َعلِ ُِي بم ُِن م أم ُ ول أَنمبَأَنَا أَبُو ْحَمَزَُة َع مُن َممن ِ ُُ ال صلَّى بِنَا رس صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم فَلَ مُم يُ مس ِم معنَا قَِراءََُة بِ مس ُِم اللَُِّو ٍُ ِس بم ُِن َمال ُِ ََع مُن أَن َ ول اللَُّو َ َُ َك ق َُ 49 ِ َّ الر مْح ُِن صلَّى بِنَا أَبُو بَ مك ٍُر َوعُ َم ُُر فَلَ مُم نَ مس َم مع َها ِممن ُه َما َ َّ َ الرحي ُِم َو 45
Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-mubarakfuri Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 10, hadis no. 2851, h. 172 47 Hadis yang diriwayatkan seseorang secara sendirian. Kadang-kadang perawinya tsiqat, sehingga riwayatnya shahih. Tetapi kadang-kadang ia di bawah kualitas tsiqat, sehingga riwayatnya hasan. Dan kadang-kadang ia dha‟if, sehingga riayatnya dha‟if . 48 Imam al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, jilid 10, hadis no. 2851, h. 172 49 Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 896, h. 461 46
54
“... Dari Anas bin Malik dia berkata; “Rasulullah saw.shalat bersama kami dan kami tidak mendengar (bacaan) Bismillâhirrahmânirrahîm darinya. Kami juga shalat bersama Abu Bakar serta Umar, dan keduanya juga tidak membaca Bismillāhirraḥmānirraḥīm.” (HR. Al-Nasâ‟î) Dalam lafazh yang lainnya disebutkan: 50
ُِ َح ًدا ِممن ُه مُم َمَي َه ُُر ُالرِحي ِم فَلَ مُم أ م َّ الر مْحَ ُِن َّ ب بِ مس ُِم اللَُِّو َ َْسَ مُع أ
“Aku tidak mendengar salah seorang dari mereka mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Al-Nasâ‟î)
f. Hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Mâjah
ُي الم ُم َعلِ ُِم َع مُن بُ َديم ُِل بم ُِن َممي َسَرَُة َع مُن أَِب ٍُ يد بم ُُن َى ُارو َُن َع مُن ُح َس م ُُ َحدَّثَنَا أَبُو بَ مك ُِر بم ُُن ُأَِبُ َشميبَُةَ َحدَّثَنَا يَِز ِ ُُ ت َكا َُن رس ُاْلَ موَز ُِاء َع مُن َعائِ َش ُةَ قَالَ م ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َُر ب ُِ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم يَ مفتَتِ ُُح الم ِقَراءََُة م ب{ م َ ول اللَُّو َُ 51 }ي َُ الم َعالَ ِم “... Dari Aisyah ia berkata; “Rasulullah SAW. memulai bacaannya dengan;
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Ibnu Mâjah)
ٍ ِ يسى ٍُ َمر بم ُُن َخل ُُ ض ِم يُي َوُبَك ص ُُر بم ُُن َعلِيُ م َ اْلَ مه َحدَّثَنَا نَ م َ ف َوعُ مقبَُة بم ُُن ُمكَمرُم قَالُوا َحدَّثَنَا َ ص مف َوا ُن بم ُُن ع صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم َُّ َِن الن َُّ َب ُىَريم َرَُة أ ُ َِب ُىَريم َرَُة َع مُن أ ُ َِب َعمب ُِد اللَُِّو ابم ُِن َع ُِم أ ُ َِحدَّثَنَا بِ مش ُُر بم ُُن َرافِ ٍُع َع مُن أ َ َّّب 52 }ي َُ ب الم َعالَ ِم ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َر ُِ َكا َُن يَ مفتَُتِ ُُح الم ِقَراءََُة ب{ م
“... Dari Abu Hurairah berkata; “Nabi SAW. membuka bacaannya dengan; Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Ibnu Mâjah) Kualitas hadis: Hadis di atas sahîh. Sebagian mereka menganggapnya
ma‟lul (mengandung cacat) karena kekacauan periwayatannya, namun al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath (2/266) mengatakan, “Para perawi yang bersumber dari Syu‟bah telah berbeda dalam meriwayatkan lafazh hadis ini, sekelompok sahabatnya yang menerima darinya meriwayatkan dengan lafazh, “Mereka membuka salatnya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” Sementara sekelompok lainnya yang juga menerima darinya meriwayatkan dengan lafazh, “Aku tidak
50
Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 897, h. 462 Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 804, h. 40 52 Imam Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 3, hadis no. 806, h. 42 51
55
pernah
mendengar
seorang
pun
di
antara
mereka
yang
membaca
Bismillâhirrahmânirrahîm.”53 2. Asbâb al-Wurûd Hadis Begitu juga dengan
Asbâb al-Wurûd
hadis-hadis
tentang tidak
menyaringkan basmalah dalam salat yang akan dibahas ini tidak dicantumkan penulis, sebab memang tidak terdapat Asbâb al-Wurûd-nya. Setelah penulis menelusuri dua kitab, yaitu: al-Luma‟ Fi Asbâb al-Wurûd al-hadîts karya Jalaluddin al-Suyuti dan latar belakang historis timbulnya hadis-hadis Rasul karya Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, penulis tidak menemukan adanya keterangan tentang Asbâb al-Wurûd dalam hadis tersebut. 3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, ketika menerangkan hadis yang diriwayatkan Abû Dâwud. Dalam hal ini beliau tidak mengutip pendapatnya sendiri, melainkan mengutip dari berbagai pendapat ulama hadis.
ِ ِ ِ ِ حدَّثَن َّ س أ ُُعلَمي ِو َُو َسلَّ َم َُوأَبَاُبَ مك ٍر َُّ َِن ُالن ٍُ َُع من ُأَن َ ُُصلَّىُاللَّو َ َُع من ُقَتَ َادة َ ُحدَّثَنَاُى َش ٌام َ َّّب َ يم ُ َ َ َ اُم مسل ُم ُبم ُن ُإبم َراى 54 ِ ِ ِ {ُاْلم ُدُلِلَّ ِوُر ِ ِ }ُي َ بُالم َعالَم َوعُ َمَر َُوعُثم َما َنُ َكانُواُيَ مفتَت ُحو َنُالمقَراءَةَُب مَ م َ “... Dari Anas bahwa Nabi SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semua memulai bacaannya dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” (HR. Abû Dâwud)
ِ ِ َ( ُُ َكانُواُي مفتَتِحو َن ُالم ِقراءةmereka membuka bacaan }ُ ي ُب م ِ {ُاْلَ مم ُد ُلِلَّ ِو َُر َ ب ُالم َعالَم ُ َ ََ dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn)
53
ada
perbedaan
pendapat
mengenai
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) cet. Ke-3, jilid 2, h.173 54 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 2, hadis no. 664, 665,1245,1246, h. 435
56
penafsiran ini. Ada yang mengatakan maksudnya adalah surat al-Fâtihah, dan ini adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa ayat pertama dari al-Fâtihah adalah Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Pendapat lain bahwa artinya mereka memulai bacaan al-Fâtihah dengan mengucapkan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn, ini adalah pendapat yang menyatakan tidak ada basmalah. Tapi ini tidak berarti bahwa mereka tidak membaca
ُالرِحي ِم َّ ُالر مْحَ ِن َّ بِ مس ِمُ اللَُِّو
(Dengan nama Allâh yang
maha pemurah lagi maha penyayang) secara sirr (pelan).55 Perlu diketahui ada perbedaan pendapat yang banyak tentang redaksi Anas ini.
Dalam salah satu redaksinya sebagai berikut:
ُالرِحي ِم فَلَ مُم أ م َّ الر مْحَ ُِن َّ َح ًدا ِممن ُه مُم يَ مقَرُأُ بِ مس ُِم اللَُِّو َ َْسَ مُع أ “Aku belum pernah mendengar salah seorang dari mereka Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Ahmad dan Muslim)
membaca,
Dalam versi riwayat lainnya:
ُالرِحي ِم َّ الر مْحَ ُِن َّ ُفَ َكانُواََُُل َمَي َه ُرو َُن بِبِ مس ُِم اللَُِّو “Mereka tidak mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Ahmad dan al-Nasâ‟î)
Dalam versi riwayat lain:
ِ ف آخ ِرَىا ُ ِ ف أ ََّوُِل قَِراءَُةٍ َوََُل ُ ِ الرِحي ُِم َّ الر مْحَ ُِن َّ ََُل يَ مذ ُك ُرو َُن بِ مس ُِم اللَُِّو “Mereka tidak menyebutkan Bismillâhirrahmânirrahîm (dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) pada awal bacaan, dan tidak pada akhirnya.” (HR. Muslim)
55
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) cet. Ke-1, jilid 3, h. 448
57
Dalam versi riwayat lain:
ُالرِحي ِم ُفَلَ مُم يَ ُكونُُوا ُيَ م َّ الر مْحَ ُِن َّ ستَ مفتِ ُحو َنُالم ِقَراءَةَُ بِبِ مس ُِم اللَُِّو
“Mereka tidak membuka bacaan dengan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam musnad ayahnya).
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah redaksinya adalah,
كانوا ُيسرون
(mereka
menyembunyikan suara bacaan). Al-Hafizh berkomentar, “Yang mungkin bisa dikompromikan dari riwayat-riwayat yang berbeda ini bahwa Nabi SAW. membaca basmalah tidak secara keras. Bila disebutkan dalam hadis Anas bahwa beliau tidak membacanya berarti maksudnya beliau tidak mengeraskan bacaannnya, dan ketika disebutkan beliau membaca berarti membaca dengan suara pelan (sirr). Bahkan ada riwayat yang menafikan mengeraskan (bacaan basmalah) secara tegas, dan inilah yang dapat dipegang.56 Perkataan Anas dalam riwayat Muslim, “Mereka tidak menyebut Bismillâhirrahmânirrahîm, baik di awal maupun di akhir bacaan.” Harus dipahami bahwa beliau tidak mengeraskan bacaannya, karena itulah yang mungkin ditiadakan. Sedangkan redaksi yang jelas-jelas meniadakan basmalah seperti
pada
redaksi
“Mereka
memulai
bacaan
dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” Tidak menunjukkan bahwa beliau sama sekali tidak membaca basmalah. Sebab, bacaan awal beliau sendiri adalah doa iftitah, dan beliau juga mengucapkan ta‟awwudz, serta riwayat-riwayat lain yang menyatakan ada bacaan lain yang diucapkan sebelum al-Fâtihah setelah takbir.
56
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 449
58
Dengan demikian, perkataan, “Mereka memulai” maksudnya memulai bacaan yang bisa didengar supaya bisa mengkompromikan semua versi redaksi yang ada.”57 Ini dalil bagi yang berpendapat bahwa bacaan basmalah tidak dinyaringkan. Menurut al-Tirmîdzî ini adalah pendapat sebagian besar ulama dikalangan sahabat Nabi SAW. antara lain Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan setelah mereka dari kalangan tabi‟in. Ini pula yang menjadi pendapat Sufyan atsTsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka semua mengatakan tidak mengeraskan bacaan basmalah, tapi hanya dibaca sendiri. Al-Khaththabi berkata, “Terkadang orang yang berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fâtihah juga berdalil dengan hadis ini. Tapi tidak demikian adanya. Hadis ini hanya menunjukkan bahwa bacaan basmalah tidak dinyaringkan berdasarkan riwayat yang tsabit dari Anas, dia berkata, “Aku pernah salat di belakang Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tidak
pernah
satupun
dari
mereka
yang
mengeraskan
bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm.”58 Al-Munziri berkata, “Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhârî, Muslim, al-Nasâ‟î dari hadis Syu‟bah dari Qatadah. Al-Tirmîdzî dan Ibnu Mâjah juga meriwayatkannya dari Abu Awanah, dari Qatadah dengan redaksi yang mirip.
57
Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Daâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Cet. Ke-1, Jilid 3, h. 449 58 Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Daâwud terj. Anshari Taslim, h. 450
59
4. Analisa Hadis Hadis di atas menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk surat alFâtiẖah, sehingga membacanya tidak diharuskan bersama bacaannya, namun membacanya itu sunnah sebagai pemisah antar surat. Walaupun dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat. Hadis di atas juga Khulafa‟
Rasyidun,
menginformasikan sifat bacaan Nabi SAW. dan
bahwa
mereka
membuka
bacaan
salat
dengan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Tambahan Imam Muslim menegaskan bahwa mereka tidak menyebutkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhirnya. Setelah penulis amati, mengenai hadis-hadis di atas yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri, Imam Muslim dan juga yang lainnya sepintas kelihatan saling bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang berbunyi :
“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur‟an yang agung.” (QS. Al-Hijr: 87)
Bahwa yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang adalah bacaan al-Fâtiẖah dalam setiap rakaat salat yang kita tahu ayat pertamanya berbunyi Bismillâhirrahmânirrahîm. Dan hadis di atas juga termasuk hadis yang sahîẖ, setidaknya menurut mayoritas umat Islam yang menempatkan kedudukan kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia setelah al-Qur‟an. Dari Anas bin Malik " Aku biasa salat di belakang Nabi SAW., di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka hanya memulai bacaan dengan Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn dan tidak pernah kudengar mereka membaca Bismillâhirrahmânirrahîm pada awal bacaan (al-Fâtihah) dan tidak pula penghabisannya. (HR. Al-Bukhârî dan Muslim)
60
Dari segi kekuatan periwayatan, hadis ini sudah tidak ada masalah. Tinggal masalah cara memahami matan hadis ini dengan teliti. Anas bin Malik melaporkan bahwa dirinya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar dan Utsman mengucapkan basmalah di dalam salat. Dari sini penulis bisa mengambil beberapa hal. Pertama, kalau Anas bin Malik tidak merasa pernah mendengar basmalah, bukan berarti hal itu menjadi suatu kepastian bahwa kapan dan di mana pun Rasulullah SAW. dan ketiga sahabatnya itu tidak pernah mengucapkannya. Boleh jadi apa yang dilaporkan oleh Anas bin Malik itu benar menurut pengalaman pribadinya, namun laporan itu tidak harus menggugurkan orang lain yang misalnya melaporkan hal yang sebaliknya. Kedua, kalau Anas bin Malik menyatakan tidak pernah mendengar lafadz basmalah diucapkan Nabi SAW. dalam salat, bukan berarti beliau sama sekali tidak mengucapkannya. Ada kemungkinan beliau membaca dengan sirr (suara direndahkan) sehingga pastilah Anas ra. tidak mendengarnya. Tetapi hadis ini tidak bisa dijadikan dasar bahwa basmalah bukan termasuk ayat dalam surat alFâtihah. Sebab ada hadis lainnya yang menegaskan bahwa basmalah termasuk bagian dari surat al-Fâtihah. “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Bila kamu membaca Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn (surat al-Fâtihah) maka bacalah Bismillâhirrahmânirrahîm, karena al-Fâtihah itu ummul Qur‟an`, ummul kitab, Sab`ul matsani. Dan Bismillâhirrahmânirrahîm adalah salah satu ayatnya." (HR. Ad-Daruquthni).
Selain itu, para ahli hadis juga mempertanyakan hadis Anas di atas. Sebagian menyatakan periwayatannya sangat rancu, sehingga tidak dapat dipakai
61
sebagai hujjah. Hal ini karena terkadang riwayat di atas diriwayatkan dari Nabi SAW. secara marfu‟, tetapi pada riwayat yang lain diriwayatkan secara tidak marfu‟. Di samping itu di antara perawi ada yang menyebutkan nama Utsman, tetapi perawi yang lain ada yang tidak menyebutkan. Bahkan ada perawi yang meriwayatkan: “Mereka tidak membaca Bismillâhirrahmânirrahîm.” Dan ada yang
meriwayatkan
“Mereka
tidak
mengeraskan
(bacaan)
Bismillâhirrahmânirrahîm.” Mengenai hadis Ibnu Mâjah dari „Aisyah yang berbunyi: “Rasulullah SAW.
memulai
menunjukkan
bacaannya bahwa
dengan; „Aisyah
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn.” menyebut
satu
ayat
Itu saja
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn untuk memendekkan pembicaraan. Andaikata „Aisyah menyebut permulaan surat dengan Bismillâhirrahmânirrahîm tentu tidak jelas surat mana yang dimaksudkan, karena semua surat kecuali surat al-Taubah dimulai dengan basmalah. Menurut ahli hadis, hadis-hadis di atas adalah sahîh dan tidak dapat diketahui mana di antara hadis-hadis tersebut yang datang terlebih dahulu, sehingga tidak dapat ditetapkan mana yang nasikh (dihapus) dan mana yang mansukh (menghapus).Sehingga kemudian inilah yang menjadi dasar perbedaan pendapat di kalangan ulama. C. Pandangan Fuqaha Terhadap Basmalah Setelah diperhatikan hadis-hadis tersebut yang menceritakan tentang boleh atau tidaknya membaca basmalah, ternyata masing-masing dikalangan umat islam berbeda pendapat. Adapun pendapat ulama fiqih tentang basmalah adalah:
62
Imam Malik berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat alFâtihah, dan karena itu ia tidak membaca basmalah ketika membaca surat alFâtihah dalam salat. Alasannya, selain banyaknya perbedaan antara ulama hadis, juga karena al-Qur‟an bersifat mutawatir, yaitu periwayatannya disampaikan oleh orang banyak yang jumlahnya meyakinkan, sedangkan riwayat tentang basmalah dalam surat al-Fâtihah tidak demikian. Di samping itu, menurut madzhab Malik, tidak ada satu riwayat pun yang bernilai sahîh yang dapat dijadikan dalil bahwa basmalah
pada al-Fâtihah adalah bagian dari al-Qur‟an. Bahkan justru
sebaliknya, sekian banyak riwayat yang membuktikan bahwa basmalah bukan bagian dari al-Fâtihah. Salah satu di antaranya adalah hadis yang membagi alFâtihah menjadi dua bagian, satu bagian bagi Allâh dan satu bagiannya untuk manusia, yaitu yang berbunyi:
ِ يم م َُب ُىَريم َرةَ َع من ُ َِخبَ َرنَا ُس مفيَا ُن بم ُُن عُيَ مي نَُةَ َع مُن الم َع ََل ُِء َع مُن أَبِ ُِيو َع مُن أ َُ و َحدَّثَنَاه إِ مس َح ُُق بم ُُن إِبم َر ِاى اْلَمنظَل يُي أ م ٍُ ََاج ثَََلثًا َغمي ُُر َت ام ٌُ آن فَ ِه َُي ِخ َد ُِ ص ََلةًُ َُلم يَ مقَرُأم فِ َيها بِأُُِم الم ُق مر َُ َصلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم ق ِ ِالن َ صلَّى َ ال َم مُن َ َُّّب ِ َُ ت رس ِ ُِ ك فَِإ ِ ُ فَِق َِب ُىريمرَُة إِنَّا نَ ُكو ُن َوَر ُاءَ م َُ ف نَ مف ِس ُ ِ ال اقم َرُأم ِِبَا َُ اْل َم ُِام فَ َق ُصلَّى اللَُّو َ ول اللَُّو ُ َ ُُ ّن َْس مع َ َ ُ ِيل ْل َ ِ ِ ِ ِ َُ ََل فَِإذَا ق ال َُ ي َول َعمبدي َما َسأ ُِ ص َف م َُ ن َوبَ م ُ ِ الص ََلَُة بَمي ُُ ال قَ َس مم َُ ال اللَُّوُ تَ َُع َُ َول ق ُُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َُم يَ ُق َّ ت ي َعمبدي ن م َِ ال َُ َالرِحي ُِم }ق َُ َّن َعمب ِدي َوإِذَا ق ُ ِْح َد َُ ال اللَُّوُ تَ َع َُ َي }ق َُ ب الم َعالَ ِم ُِ اْلَ مم ُُد لِلَُِّو َر الم َعمب ُُد{ م َّ الر مْحَ ُِن َّ {ال ُال اللَُّو ل َعمب ِدي ََُّ ِض إ َُ ال َمَّرًُة فَ َّو َُ ََّدِّنُ َعمب ِدي َوق َُ َك يَ موُِم الدِي ُِن }ق ُِ ِال{ َمال َُ َّن َعلَ َُّي َعمب ِدي َوإِذَا ق َُ ال أَثم َُ تَ َع َ ال ََم ال{ ماى ِدنَا َُ ََل فَِإ َذا ق َُ ي َعمب ِدي َولِ َعمب ِدي َما َسأ َُ ن َوبَ م ُ ِ ال َى َذا بَمي َُ َي }ق ُُ ِاك نَ مستَع َُ َّاك نَ معبُ ُُد َوإِي َُ َّال{ إِي َُ َفَِإ َذا ق ال َى َذا لِ َعمب ِدي َُ َي }ق َُ ِوب َعلَمي ِه مُم َوََُل الضَّال ُِ ض َُ ين أَنم َع مم َُ ط الَّ ِذ َُ يم ِصَرا َُ ط الم ُم مستَ ِق َُ صَرا ِ ال ُ ت َعلَمي ِه مُم َغ مِْيُ الم َم مغ 59 َُ َولِ َعمب ِدي َما َسأ َل “... Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur‟an di dalamnya, maka shalatnya masih 59
Imam Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 2, hadis no. 895, hal. 382; lihat juga di Imam Abū Dāwud, Sunan Abû Daâwud, jilid 2, hadis no. 699, hal. 482; lihat juga di Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mâjah, jilid 11, hadis no. 3774, hal. 226; dan lihat juga di Imam al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î, jilid 3, hadis no. 900, h. 466
63
mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kami berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur‟an dalam dirimu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, „Allâh berfirman, „Aku membagi shalat antara Aku dan hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, „Segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam.‟ Maka Allâh berkata, „HambaKu memujiKu.‟ Apabila hamba tersebut mengucapkan, „Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.‟ Allâh berkata, „HambaKu memujiKu‟.....” (HR. Muslim)
قسمت الصّالةJumhur ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan asSalah di sini adalah al-Fâtihah.60 Menurut mereka, yang dapat ditafsirkan dari hadis tersebut adalah Allâh menjadikan tiga ayat pertama untuk Dzat-Nya, dan ayat keempat mengandung unsur kerendahan diri dari seorang hamba dan permohonan pertolongan kepada Allâh , dan tiga ayat selanjutnya menggenapkan surat al-Fâtihah menjadi tujuh ayat. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa ayat yang menggenapkan tujuh ayat itu berjumlah tiga ayat adalah bahwa di situ Allâh tidak berfirman: ” Kedua ayat ini”. Firman Allâh ini menunjukkan bahwa lafadz انعمت عليهمadalah satu ayat.61 Mereka pun sepakat bahwa tidak sempurna salat kecuali dengan al-Fâtihah. Maka ketika Allâh tidak menyebutkan lafadz Bismillâhirrahmânirrahîm, maka ini sudah berarti bahwa memang basmalah bukan termasuk ayat dalam surat alFâtiẖah. Apabila basmalah itu merupakan ayat dari surat al-Fâtihah, maka otomatis dimulai dengan ayat itu. Pendapat yang masyhur menurut kelompok ulama Malikiyah, yaitu bahwa basmalah bukanlah ayat dari al-Qur‟an kecuali hanya dalam surat al-Naml yang merupakan bagian dari satu ayat.62
60
Majlis Tafsir al-Qur‟an, Tafsir al-Qur‟an Surat al-Fatihah dan al-Baqarah ayat 1-39 ( Solo: Percetakan al-Abror) h.3 61 Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi terj. Fathurrahman dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) cet. Ke-2, jilid 1, h. 247 62 Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 518
64
Dalam pengamatan Imam Malik terhadap pengamalan penduduk Madinah, beliau menemukan bahwa imam atau masyarakat umum tidak membaca basmalah ketika membaca surat al-Fâtihah.63 Imam Syafi‟i menilai basmalah sebagai ayat pertama dari surat al-Fâtihah dan karena salat tidak sah tanpa membaca al-Fâtihah, maka basmalah harus dibaca ketika membaca al-Fâtihah, alasannya cukup banyak.64 Fakhruddin ar-Razi menguraikan tidak kurang dari lima belas dalil tentang basmalah dalam surat al-Fâtihah. Antara lain riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Al- Fâtiẖah terdiri dari tujuh ayat, awalnya adalah Bismillâhirrahmânirrahîm” (HR. Ath-Thabarani dan Ibn Mardawaih). Demikian juga informasi istri nabi, Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah membaca al-Fâtihah termasuk basmalah. (HR. Abû Dâwud dan Ahmad Ibn Hambali)65 Sebagian ulama tampak menolak pendapat Imam Syafi‟i dengan menyatakan bahwa jika basmalah merupakan satu ayat pada selain surat al-Naml, niscaya akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW., sebab al-Qur‟an diriwayatkan secara mutawatir. Itulah pertanyaan al-Qadhi yang membantah pendapat Imam Syafi‟i, dan menduga bahwa penolakan ini adalah sebuah kebenaran yang qat‟i (pasti).66
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 27 65 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 27 66 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) cet. Ke-1, jilid 1, h. 260 64
65
Lalu Abu Hamid al-Ghazali membenarkan pendapat Imam Syafi‟i, ia mengatakan bahwa jika basmalah bukan salah satu ayat al-Qur‟an, niscaya Rasulullah SAW. memberikan penjelasan yang demikian.67 Imam al-Bukhârî juga meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Anas Ibn Malik ditanya bagaimana Rasulullah membaca al-Qur‟an, kemudian Anas menjawab:
ِ ُ ََكان ُال َكانَ م َُ صلَّى اللَُّوُ َعلَمي ُِو َو َسلَّ َمُ فَ َق ُالرِحي ِمُ } ََيُيد َّ ُالر مْحَ ِن َّ ت َمدًّا ُُثَّ قَ َرُأَ { بِ مس ِمُ اللَُِّو م ِ ِت قَراءَُة الن َ َُّّب 68 ِ ِ الرحي ُِم َّ الر مْحَ ُِن َوََيُيُد ب َّ ِبِبِ مس ُِم اللَُِّو َوََيُيُد ب
“Bacaan beliau adalah panjang.” Lalu ia pun membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan, Bismillâh dan juga memanjangkan bacaan, ar-Rahmân serta bacaan, ar-Rahîm. (HR. AlBukhârî)
Selain itu telah menjadi kesepakatan bahwa seluruh umat Islam, mengakui segala yang tercantum dalam al-Qur‟an sehingga bacaan âmîn pada akhir surat alFâtihah ketika salat pun tidak dianggap oleh ulama sebagai bagian dari al-Qur‟an. Imam Nawawi telah menjelaskan hal itu dalam Majmu (3/289). Beliau mengatakan, pendapat madzhab kami adalah bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm merupakan ayat yang sempurna dari awal surat al-Fâtihah dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat para imam madzhab Syafi‟iyah.69 Para ahli qira‟at Makkah dan Kufah telah memastikan, bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surat al-Fâtihah tapi bukan merupakan salah satu ayat dari surat-surat lainnya. Mereka berkata, “Dituliskannya basmalah pada permulaan setiap surat itu, hanya sebagai pemisah antar surat dan untuk mendapatkan keberkahannya.”70
67
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni dkk, h. 260 Imam al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz-15, hadis 4658, h. 466 69 Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 517 70 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr (Mesir: Dâr alHadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 63 68
66
Imam Hanafi berpendapat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari al-Qur‟an yang berdiri sendiri di awalnya dan bukan bagian dari surat apapun, tapi ditulis pada setiap surat untuk memisahkan satu surat dengan surat berikutnya.71 Muslim meriwayatkan dari al-Mukhtar bin Fulful dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda :
ِ ُاك الم َك موثََر َُ َالرِحي ُِم إِنَّا أ مَعطَمي ن ُنََزلَ م َّ الر مْحَ ُِن َّ ورُةٌ بِ مس ُِم اللَُِّو َ ت َعلَ َُّي آن ًفا ُس “Tadi baru saja turun surat (al-Kautsar) Bismillâhirrahmânirrahîm, sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” (QS. AlKautsar). (HR. Muslim).
Juga ada riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah SAW tidak mengetahui pemisahan surat kecuali diturunkan Bismillâhirrahmânirrahîm.” (HR. Abû Dâwud dan Al-Hakim). Ini juga merupakan pendapat Ibnu al-Mubarak dan Dâud (az-Zahiri), dan inilah yang mansus (jadi pendapat resmi) dari Ahmad. Abu Bakr ar-Razi berkata, “Inilah yang cocok dengan pendapat madzhab.” Menurut Fuad bin Siraj „Abdul Ghafar beliau mengatakan, bahwa yang rajih menurutnya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Quddamah dalam kitabnya Ikhtiyarat; ijmak dengan penulisan basmalah sebagai ayat pada awal surat alFâtihah dan merupakan bagian darinya, walaupun mereka berbeda pendapat tentang basmalah sebagai bagian dari setiap surat. Yang rajih adalah bahwa basmalah itu merupakan ayat dari al-Qur‟an. Diletakkannya basmalah itu untuk
71
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim, h. 446
67
membedakan antara setiap surat, dengan menganggapnya sebagai ayat pada awal surat al-Fâtihah dan bagian dari surat an-Naml.72 Al-Mundziri berkata, perlu diketahui bahwa umat sudah sepakat bahwa yang menetapkan basmalah bagian dari al-Qur‟an ataupun yang menafikannya tidaklah kafir, karena para ulama sendiri masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Berbeda dengan orang yang menafikan (atau mengingkari) satu huruf dari alQur‟an yang telah disepakati keberadaannya sebagai ayat al-Qur‟an, atau menetapkan ada ayat tambahan yang belum pernah ditetapkan orang di masa lalu, maka yang seperti ini kafir menurut ijma‟.73 Selain berbeda seputar apakah basmalah bagian dari surat al-Fâtihah dan bagian dari setiap surat. Para fuqaha juga berbeda pendapat tentang membaca keras atau menyamarkan basmalah dalam salat. Ulama pengikut madzhab Hanafi dan Hanabilah berpendapat bahwa disunahkan untuk membaca secara samar pada salat yang sirriyah dan jahriyah, baik pada awal surat al-Fâtihah atau pada surat setelahnya. Imam al-Tirmîdzî mengatakan, “Wajib atasnya beramal menurut kebanyakan ilmuwan dari para sahabat Nabi SAW. di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan selain mereka. Dan setelah mereka juga para tabi‟in, demikian dikatakan Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka berpendapat bahwa Bismillâhirrahmânirrahîm
tidak dibaca keras.
Mereka berkata, “Dia membacanya dengan pelan.” Kebanyakan ulama Malikiyah berpendapat
memakruhkan
bacaan
pembuka
pada
salat
dengan
Bismillâhirrahmânirrahîm pada surat al-Fâtihah dan pada surat setelahnya, baik 72
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 518 Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-„Azhim Abadi, Aunul Ma‟bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Cet. Ke-1, Jilid 3, h. 469 73
68
secara sirr maupun jahr. Al-Qarafi dari kalangan ulama Malikiyah berpendapat; hendaklah memulai surat al-Fâtihah dengan basmalah secara sirr, dan makruh hukumnya untuk mengeraskannya. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa bahwa sunnah hukumnya dengan men-jahr-kan tasmiyah pada salat yang di-jahr-kan, yaitu pada surat al-Fâtihah dan surat setelahnya.74 Fuad bin Siraj „Abdul Ghafar, beliau mengatakan “Yang rajih adalah membacanya dengan menyamarkan karena banyaknya dalil yang menunjukkan untuk membaca secara samar. Namun terkadang mengeraskannya adalah karena ta‟lim atau pengajaran. Apabila kebanyakan dalil itu lemah, dan tidak sahîẖ. Ibnu Qayyim rahimahullâh mengatakan bahwa ketika itu Nabi SAW. mengeraskan bacaan basmalah dan terkadang ia menyembunyikannya dan itu lebih banyak dilakukannya dari pada mengeraskannya. Tidak ada keraguan bahwa ia tidak selalu mengeraskan pada salat lima waktu sehari semalam selamanya, baik ketika berada ditempatnya atau sedang musafir. Akan tetapi para Khulafa‟urrasyidin menyembunyikannya begitu juga mayoritas para sahabatnya, juga warga suatu negeri ketika ada angin besar. Yang demikian ini merupakan kondisi yang kering sehingga membutuhkan ketetapan dalam hal ini dengan lafazh-lafazh yang umum dan hadis-hadis yang lemah, maka yang sahîh dari hadis-hadis itu adalah tidak sahîh, dan kejelasan dari hadis-hadis itu juga tidak tidak sahîh.75
74
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin terj. Muhyiddin Mas Rida dkk, jilid 1, h. 519 Lihat Al-Mausu‟ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 16/181-182, Ikhtiyarat Ibnu Qudamah al-Fiqhiyah 1/319-321, Zadul Ma‟ad karya Ibnu Qayyim 1/206-207, dan Sitt Rasa‟il karya Imam Adz-Dzahabi 165-192 dengan tahqiq Syaikh Jasim ad-Dusiri. (menurut Raudhatuth Thalibin karya Imam An-Nawawi). 75
69
Ibnu Hazm berkata, “Mereka (Imam Malik dan Imam Asy-Syafi‟i) mengungkapkan banyak sekali dalil yang tidak sahîẖ berupa atsar yang tidak pantas menjadi hujjah bagi pendapat dua golongan madzhab ini.”76 Misalnya riwayat yang bersumber dari Anas bahwa Rasulullah SAW., Abu
Bakar,
Umar
dan
Utsman
mengawali
salatnya
dengan
bacaan
Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn tanpa membaca basmalah, baik sebelum maupun sesudah al-Fâtihah. Demikian pula dengan riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah.77 Ibnu Hazm berkata, “Semua hadis-hadis ini tidak sah dijadikan dalil. Karena di dalam hadis-hadis ini tidak tercantum larangan dari Rasulullah SAW. untuk
membaca
Bismillâhirrahmânirrahîm,
hadis-hadis
tersebut
hanya
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. tidak membacanya.”78 Hadis-hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain, di antaranya, hadis yang kami riwayatkan dari jalur periwayatan Ahmad bin Hanbal, dia berkata, Waki menceritakan kepada kami, Syu‟bah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Anas, dia berkata, “Aku salat di belakang Rasulullah SAW., Abu Bakar,
Umar
dan
„Utsman.
Mereka
tidak
mengeraskan
bacaan
Bismillâhirrahmânirrahîm.”79 Kami juga meriwayatkan dengan teks berbunyi, “Maka mereka tidak mengeraskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm.” Ini menunjukkan bahwa mereka
membaca 76
Bismillâhirrahmânirrahîm,
namun
menyembunyikan
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. Ke-1, jilid 3, h.383 77 Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 383 78 Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384 79 Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384
70
bacaannya. Ini juga sekaligus menetapkan wajibnya membaca basmalah. Demikian pula dengan hadis-hadis yang lainnya.80 Menurut Ibnu Hazm, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa nash hadis telah nyata mewajibkan membaca Ummul Qur‟an. Tidak ada seorang umat Islam pun yang berselisih pendapat, bahkan mereka sepakat bahwa semua bacaan dipastikan kebenarannya dan kesemuanya disampaikan kepada Rasulullah SAW. melalui malaikat Jibril yang menerima langsung dari Allâh SWT. Bacaan-bacaan tersebut disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi oleh sejumlah manusia yang tidak terhitung banyaknya. Karena semua bacaan ini adalah sebuah kebenaran, maka diwajibkan bagi manusia untuk memilih bacaan mana yang akan dia baca. Bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm‟ yang terdapat pada qira‟at yang sahîh tergolong satu ayat dari Ummul Qur‟an, dan qira‟at sahîh yang lain tidak termasuk satu ayat dari Ummul Qur‟an.81 D. Pendapat Mufasir Tentang Masalah Pembacaan Basmalah Dalam Salat Imam asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya : “Adapun hadis-hadis yang menyebutkan tidak dibacanya basmalah di dalam, walaupun lebih sahîh, namun yang memastikan dibacanya basmalah lebih unggul, walaupun keluar dari lingkup sahîh, maka mengamalkannya lebih utama, apalagi dengan adanya kemungkinan penakwilan tidak dibacanya basmalah. Dan ini berkonsekwensi penetapan essensial, maksudnya adalah karena sebagai al-Qur‟an, dan berkonsekwensi penetapan karakter, maksudnya adalah menyaringkan bacaannya saat membuka
80 81
Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384 Ibnu Hazm, al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman, h. 384
71
bacaan surat di dalam salat (yakni di dalam salat jahr, yaitu salat yang bacaannya dinyaringkan).82 Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang paling sahîh tentang basmalah adalah bahwa ia merupakan pemisah antarsurat, sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, “Bahwa Rasulullah SAW. tidak mengetahui pemisah surat sehingga diturunkanlah Bismillâhirrahmânirrahîm.” Jadi barang siapa yang berpandangan bahwa basmalah termasuk ayat surat al-Fâthah, berarti ia berpendapat bahwa membacanya harus jahr dalam salat, dan orang yang tidak berpendapat demikian, berarti membacanya secara sirr (tidak nyaring). Masingmasing pendapat itu dianut oleh para sahabat sesuai dengan pandanganya sendiri. Keterangan yang menegaskan ihwal khalifah yang empat menyebutkan bahwa mereka men-sirr-kan basmalah, demikian pula beberapa kelompok tabi‟in salaf dan khalaf. Men-sirr-kan basmalah juga merupakan mazhab Abu Hanifah, atsTsauri, dan Ibnu Hambal. Menurut Imam Malik basmalah itu tidak perlu dibaca, baik sirr maupun jahr. Kesimpulannya, salat orang yang membaca basmalah secara sirr dan jahr adalah sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. dan kesepakatan para imam.83 Imam al-Qurthubi dalam Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an tentang basmalah, menurut beliau pendapat membaca basmalah dengan samar bersama surat alFâtihah merupakan pendapat yang baik dan sesuai dengan atsar yang diriwayatkan dari Anas, serta tidak bertentangan dengannya. Pendapat ini juga
82 83
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr , juz 1, h. 66 Imam Ibn Katsîr, Tafsîrul Qur‟ânil „Azîm, jilid 1, h. 55
72
dapat memberi jawaban orang-orang dari silang pendapat seputar hukum membaca basmalah.84 Nashruddin Baidan juga berpendapat dalam tafsirnya, Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah, beliau berkata: “Apabila dikaji dengan saksama dalil-dalil yang mereka jadikan dasar untuk menetapkan hukum, maka akan ditemukan kelebihan dan kekurangan dalil masing-masing; dalam arti dalil-dalil yang mereka pakai mempunyai kekuatan dan kelemahan yang hampir sama, karena kedua belah pihak sama-sama menggunakan hadis ahad, yakni hadis yang tak sampai kederajat mutawatir. Dalam kasus serupa ini, pendapat mana yang diyakini itulah yang dipakai (diamalkan). Namun telah popular di dalam kaedah ushul fiqih bahwa dalil yang menetapkan (positif) lebih didahulukan dari pada dalil yang menafikan (negatif).85 Jangan sampai terjadi keretakan apalagi perpecahan umat, hanya disebabkan hal-hal yang sepele seperti perbedaan persepsi tentang basmalah di awal surat al-Fâtihah maupun di surat-surat lainnya. Jadi tidak perlu salahmenyalahkan karena perbedaan tersebut telah ada sejak permulaan Islam. Perlu ditanamkan di dalam diri kita masing-masing, bahwa beramal (beribadah) sematamata ditujukan untuk memperoleh ridha Allâh ; tidak perlu dikaitkan dengan organisasi atau lembaga tertentu karena pertanggungjawabannya hanya kepada Allâh , bukan kepada organisasi atau lembaga itu.86 Abdul Malik Abdul karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan HAMKA, beliau mengatakan dalam tafsirnya, Tafsir al-Azhar. “Setelah kita 84
Syaikh Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâmil Qur‟ân, jilid 1, h. 237 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fātiḥah, h. 34 86 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fātiḥah, h. 34 85
73
selidiki dengan seksama, semua hadis yang membicarakan di antara jahr dan sirr Bismillâhirrahmânirrahîm itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda Nabi SAW. sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan men-jahr atau menyuruh men-sirr-kan, dan sebaliknya. Yang jadi pedoman ialah riwayatriwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang yang menguatkan men-jahr atau yang memiih sirr saja. Dan setelah diselidiki pula semua sanad hadis-hadis itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadis yang mengatakan jahr atau mengatakan sirr. Malahan terdapat dua riwayat berlawanan di antara jahr dan sirr dari satu orang. Sebab itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah yang dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang terserah kepada pertimbangan ijtihad masing-masing ahlinya. Dalam hal ini terpakailah Qa‟idah Ilmu Ushul yang terkenal.87
اَلجتهادَُلينقدُباَلجتهاد “Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula.”
Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zâdil Mâd mengambil satu jalan tengah. Dia
berkata
:
“Sesungguhnya
Nabi
SAW.
adalah
men-jahr-kan
Bismillâhirrahmânirrahîm sekali-kali dan membacanya dengan sirr pada kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu men-jahr-kan tiap hari dan tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu bagi khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi jumhur sahabatsahabatnya dan ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat
87
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 127
74
mustahil, sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran dengan kata-kata yang mujmal dan hadis-hadis yang lemah. Meskipun hadis-hadis yang diambil itu ada yang sahîh, namun dia tidaklah sarih, dan meskipun ada yang sarih, tidak pula dia sahîh.”88 M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa masing-masing pendapat
mempunyai
alasan-alasan keagamaan, masing-masing berusaha
mengikuti tata cara yang dicontohkan oleh Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat beliau. Di sini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin justru Nabi SAW. telah memberikan beberapa contoh atau mempraktikan sekian ragam cara ibadah? Bukankah beliau hidup di tengah-tengah sahabatnya selama dua puluh tahun lebih? Agaknya cukup logis untuk mengiyakan pertanyaan di atas. Dalam hal ini, di kalangan sementara ulama dikenal istilah Ta‟adud al-Ibâdât (keragaman cara beribadah). Kalau ini diterima, maka kita bisa menyimpulkan bahwa semua cara yang disebut di atas itu dapat dibenarkan dan tidak perlu saling dipertentangkan. Pintu surga sedemikian lebar sehingga dapat dimasuki oleh semua orang yang secara ikhlas mengikuti cara dan ajaran yang ia yakini telah diajarkan oleh Nabi SAW.89 Betapapun, seperti kata Abduh yang dinukil oleh Rasyid Ridha dalam Tafsîr al-Manâr, basmalah adalah ayat al-Qur‟an. Karena itu, dalam buku tafsir ini, tidak salahnya kita kaji kandungannya, terlepas dari persoalan apakah ia bagian dari al-Fâtihah atau bukan. Penomoran ayat-ayat di dalam buku ini dibuat
88 89
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Azhar , jilid 1, h. 127 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1, h. 9
75
berdasarkan pendapat bahwa basmalah adalah ayat pertama surat al-Fâtihah. Demikian yang dikutip oleh M. Quraish Shihab.90
90
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1, h. 9
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian yang telah dikemukakan dari bab I sampai IV, dapat diambil sebuah kesimpulan, I’tibar dan pesan bahwa yang menyebabkan perbedaan di kalangan ulama terkait dengan pembacaan basmalah dalam salat di antaranya adalah: 1. Bermacam-macamnya hadis yang saling bertentangan satu sama lain. 2. Perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam al-Fâtihah maupun al-Qur’an. 3. Perbedaan dalam menafsirkan hadis-hadis yang tekait dengan masalah ini. Jadi, orang yang berpedoman kepada bacaan para imam qira’at yang memandang basmalah sebagai salah satu ayat dari surat al-Qur’an maka tidak sah salatnya kecuali harus membaca basmalah. Sedangkan bagi orang yang berpedoman kepada bacaan para imam qira’at yang tidak memandang basmalah sebagai salah satu ayat dari Ummul Qur’an, maka dia dipersilahkan memilih antara membaca basmalah dengan tidak membaca basmalah. Selanjutnya dalam membacanya, apakah dikeraskan atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat yang semuanya mempunyai dalil hadis masing-masing tempat mereka berpegang: pertama, sunah dikeraskan, pendapat tersebut dikemukakan Imam asy-Syafi’i dan mereka yang menyepakatinya. Kedua, tidak sunah dikeraskan (sunah disamarkan), pendapat itu dikemukakan Imam Abu Hanifah, mayoritas ahli hadis, ahli ra’yi dan sejumlah fuqaha. Ketiga, boleh
76
77
memilih di antara keduanya (dibaca keras atau samar), pendapat tersebut adalah pendapat Ishak bin Rahawaih dan Ibnu Hazm. Jadi kesimpulannya, salat orang yang membaca basmalah secara sirr (tidak dikeraskan) dan jahr (dikeraskan) adalah sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. dan kesepakatan para imam. B. SARAN Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa masingmasing kelompok mempunyai dalil yang dijadikan hujjah bagi mereka. Terlepas dari kebenaran hujjah kelompok-kelompok di atas, hendaknya ini tidak menjadikan alasan terpecah-belahnya umat Islam. Karena perlu dipahami bahwa ini adalah permasalahan furu’iyah yang sangat wajar, jika terdapat perbedaan di dalamnya. Asalkan tidak merusak yang asal atau yang inti, maka tidaklah jadi persoalan. Masing-masing bisa mengamalkan sesuai dengan keyakinan dan hujjah masing-masing dan tidak menjadikan perbedaan ini sebagai alat untuk merusak ukhuwah islamiyah di antara sesama muslim. Hasil penelitian ini merupakan sekelumit dari disiplin ilmu pengetahuan. Terkait hadis-hadis yang penulis telusuri hanya terbatas pada al-Kutub al-Sittah, sehingga bahan kajian sangat terbatas sekali. Adapun harapan penulis kepada pembaca adalah dapat mengkaji hadis yang lainnya untuk lebih memperkaya perbendaharaan kitab hadis, sehingga akan banyak bahan analisa yang dapat diperbincangkan. Demikian juga dengan kitab-kitab syarh dan buku referensi yang asngat minim, penulis juga berharap kepada pembaca agar dapat melengkapi referensi
78
lebih banyak lagi. Dan bagi umat Islam hendaklah dalam menjalani hidup di dunia ini mengacu pada dalil-dalil yang absolut kebenarannya, yakni al-Qur’an dan hadis sahîh. Saran terakhir, umat Islam jangan pernah berhenti untuk terus mengkaji aspek kehidupan Nabi, karena penulis yakin, dengan demikian akan menambah rasa cinta dan kerinduan kita kepada beliau. Sehingga yang diharapkan kelak adalah dapat bersanding dengannya.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Abdul Malik. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Abu Ubaidah, Darwis. Tafsir al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat seputar Islam, Iman dan Ihsan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012. Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj. Sahîh Muslim. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth. Agama R.I, Departemen. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983. Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996. Annuri, Ahmad. Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an & Ilmu Tajwid. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010. ‘Arabi, Ibnu. Tafsir Qur’anul Karim. Dâr al-‘Arabiyah, 1968. Baidan, Nashruddin. Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Bakker dan Jubair. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram terj. Aan Anwariyah dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Al-Batawy, Saiful Anwar. Rahasia Kedahsyatan Basmalah. Jakarta: Kunci Iman, 2012. Al-Bukhârī al-Ju‘fī, Muḥammad bin ‘Ismâ‘īl Abū ‘Abdillâh. Sahîh al-Bukhârî. Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994.
79
Al-Caff, Muhammad. Tafsir Populer al-Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan Batin al-Fâtihah Secara Mudah dan Sederhana. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011. Faqih Imani, Allamah Kamal. Tafsir Nurul Qur’an; sebuah tafsir Sederhana menuju Cahaya al-Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2003. Hadi , Sutrisno. Metode Research 1. Yogyakarta: Andi Offset, 1987. Hazm, Ibnu. Al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Husnan, Djaelan. Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam. Jakarta: Yayasan Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013. Ibn Katsîr, Isma’il bin ‘Amr al-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi ‘Imâduddîn Abul Fidâ’ al-Hâfiz al-Muhaddis asy-Syafi’i. Tafsîrul Qur’ânil ‘Azîm. Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1958. Ibnu Mâjah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini. Sunan Ibnu Mâjah. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth. Ismail, M. Syuhudi. Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Katsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. J. Moleong , Lexy. Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2005.
Al-Marâghî, Ahmad Musṯafa. Tafsîr al-Marâghî. Mesir: Musṯafa al-Bâbî alHalabî, 1974. Mashadi, Mansur. khasiat dan Mu’jizat surat al-Fâtihah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
80
Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, Abu Ath-Thayyib. Aunul Ma’bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Al-Nasâ’î, Aḥmad bin Syu‘âb Abū ‘Abdirrahmân. Sunan al-Nasâ’î. Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th. Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh alAnsari al-Khazraji al-Andalusi. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Mesir: Dâr alKutub al-Misriyah, tth. Quthb, Sayyid. Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Ihya al-Tijari al‘Arabiyah, 1386) Ridha, M. Rasyid. Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Al-Ṣâliḥ, Ṣubhî. ‘Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalaḥuhu. Bayrūt: Dâr al-‘Ilmi Lilmayîn, 1988. Salim, Abd. Muin. Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999. Ash-Shan’anī.
Terjemahan Subulus Salam terj. Abu Bakar Muhammad.
Surabaya: al-Ikhlas.
81
Ash-Shidiqi, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Softwere “al-Maktabah al-Syâmilah”, bagian 2. Sugiyono. Memahami penulisan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta, 2005. Sulaymân bin al-Asy‘ats al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abû Dâwud. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth. Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr. Mesir: Dâr al-Hadîts, 1413 H/1993 M. At-Tabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far. Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril Qur’ân. Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H/2005 M. Tafsir al-Qur’an, Majlis. Tafsir al-Qur’an Surat al-Fâtihah dan al-Baqarah ayat 1-39. Solo: Percetakan al-Abror. Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013. Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012. Al-Tirmîdzî, Muhammad bin Isa Abu Isa. Sunan al- Tirmîdzî. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth. Wensinck, A. J. Al-Mu'jam al-Mufahras li al-fâz al-Hadîs. Leiden: E. J. Brill, 1943. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010.
82