!
Perdagangan
Anak dllndonesia
/ ^?
Í/ ¡I
Perdagangan
di
Indonesia
I rwanto Fentiny Nugroho Johanna Debora Imelda
Kantor Perburuhan Intemasional Program Internasional Penghapusan Perburuhan Anak
dicetak atas kerjasama dengan Jurusan llmu Kesejahteraan Sosial FISIP - Ul 2001
Hak Cipta © Organisasi Perburuhan Internasional 2001 Pertama terbit tahun 2001 Hak cipta publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (UniversalCopyright Conventiori). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbemya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. Perpustakaan, lembaga dan pengguna lainnya yang terdaftar dalam Kantor Lisensi Hak Cipta (CopyrightLicensing Agenci) di Inggris dengan alamat 90 Tottenham Court Road, London W1P OLP (Fax: + 44 (0)171 631 5500), Pusat Pengesahan Hak Cipta (Copyright Clearance Centei) di Amerika Serikat dengan alamat 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 (Fax: + 1 508 750 4470) atau Organisasi Hak Perbanyakan (Reproduction Rights Organizations) terkait di negara lain, dapat membuat fotokopi sesuai dengan ijin lisensi yang dikeluarkan bagi mereka untuk keperluan tersebut. ILO Jakarta, International Labour Office, 2001 ISBN 92-2-812601-9 Diterjemahkan dari Child victims of trafficking: Case studies from indonesia - ISBN 92-2112558-0, Bangkok, 2001 Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Intemasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batasbatas negara tersebut. Dalam publikasi-publikasi ILO sebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Intemasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi-publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor Perburuhan Internasional di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin no. 14, Jakarta 10240. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut. Printed in Jakarta, Indonesia
Daftar Isi
Prakata 5 I. Situasi Anak di Indonesia 17 II. Anak-anak yang diperdagangkan dan jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan 31 III. Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan perdagangan anak 45 IV. Pola-pola perdagangan anak 57 V. Kebijakan dan tanggapan 89 VI. Persepsi mengenai perdagangan anak dan kapasitas untuk menanggapinya 105 VII. Rekomendasi 131 Daftar pustaka 151
Daftar Tabel Lampiran 1
159
Lampiran II
160
Lampiran III
163
Lampiran IV
179
Lampiran V
211
IVnliiviin^iui ¡U l< ikn 111,1(111.'.lit 5
P
r
a
k
Perdttftanftan QTI&kdl 1 6
a
t
a
P
r
a
k
a
t
a
P r a k a t a
Akhir-akhir ini perdagangan anak dan perempuan (trafficking in children and women), terutama yang teijadi di Asia, muncul sebagai masalah pokok yang menjadi sorotan dunia. Perdagangan manusia, dengan alasan apapun juga, merupakan pelanggaran serins terhadap hak-hak azasi manusia. Sayangnya, pelanggaran ini temyata juga terjadi di Indonesia dalam skala yang cukup memprihatinkan. Pada bulan Maret tahun 2000 Pemerintah Indonesia memutuskan untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan mengeluarkan UU No. 1 Tahun 2000. Konvensi ini menyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak sesungguhnya adalah suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu sendiri. Karena itu, penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk perburuhan anak.
Perdagangan flilflKdi Indonetmi 7
P
r
a
k
a
t
a
Konvensi ILO No. 182 amat menekankan pentingnya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 berkewajiban menuangkannya ke dalam peraturan perundang-undangan
(UU) dan
melaksanakannya melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak; memberikan bantuan langsung yang dimaksudkan untuk merehabilitasi anak-anak yang telah menjadi korban dan mengupayakan supaya mereka dapat kembali ke masyarakat, diterima kembali oleh lingkungannya, dan menjalani kehidupan bermasyarakat yang wajar sebagaimana anak-anak lainnya, memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pendidikan secara cuma-cuma;
mengidentifikasi anak-anak yang
mempunyai risiko tertentu (misalnya anak-anak yang dipekerjakan sebagai pelacur dan berisiko terinfeksi virus HIV) serta memberikan perhatian lebih kepada anak-anak perempuan sehubungan dengan situasi khusus yang harus mereka hadapi sebagai perempuan. Definsi Trafficking1 Meskipun Konvensi ILO No. 182 tidak memberikan defmisi mengenai trafficking, ILO menganut definisi trafficking 1 Sebagaimana dijelaskan di atas, definisi trafficking ternyata sangat panjang. Supaya praktis, dalam kajian ini digunakan kata "perdagangan" sebagai padanan kata trafficking yang relatif telah sering dan cukup umum digunakan. Meskipun belum ada kesepakatan resmi untuk menggunakan kata "perdagangan," istilah ini diyakini cukup mampu memberikan inti pengertian yang terkandung dalam kata trafficking, apaiagi apabila yang diperdagangkan adalah wanita dan anak-anak. Padanan baku bahasa Belanda untuk kata trafficking adalah Kinderhandei, yang artinya tak lain adalah perdagangan anak (kinder = anak, handei = perdagangan). PerthtgangunâïlËLKdi Indonesia 8
P
r
a
k
a
t
a
yang tercantum dalam Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Wanita dan Anak-anak. Sebagai lampiran dari Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Melawan Kejahatan Terorganisir yang Bersifat Transnasional (Lintas Batas Negara), Protokol PBB tersebut memberikan defmisi sebagai berikut: "kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menculik, menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-imingi) korban, menyalahgunakan kekuasaan/ wewenang
atau
memanfaatkan
ketidaktahuan,
keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan dan tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan ijin/ persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban, dengan tujuan untuk mengisap dan memeras tenaga (mengeksploitasi) korban."
Definisi di atas menunjukkan bahwa •
pengertian trafficking mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau (sanak) keluarganya. Tetapi Penlii^ungunanclkrli Indoneshi 9
P
r
a
k
a
t
a
pengiriman tenaga keija yang dimaksud di sini tidak harus dan tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri. •
Meskipun trafficking dilakukan atas ijin tenaga keija yang bersangkutan, ijin tersebut sama sekali menjadi tidak relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau apabila korban berada dalam posisi tidak berdaya (misalnya karena terjerat utang), terdesak oleh kebutuhan ekonomi (misalnya, membiayai orang tua yang sakit) atau dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, atau ditipu atau diperdaya.
•
Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama eksploitasi tenaga kerja (dengan memeras habishabisan tenaga orang yang dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan atau menjual kemudaan, tubuh serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan dalam transaksi seks).
Dalam beberapa tahun terakhir ini. Organisas! Perburuhan Internasional (ILO) melalui Program Penghapusan Perburuhan Anak (IPEC) secara aktif memonitor dan berupaya menanggulangi masalah perdagangan anak di seluruh dunia. Dewasa ini program-program yang ditujukan untuk menghapuskan perdagangan anak telah dilaksanakan Pmlu^iinfitulIndonriMa 10
P
r
a
k
a
t
a
di negara-negara yang wilayahnya termasuk dalam daerah aliran delta sungai Mekong (Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Propinsi Yunan di Ciña), di Asia Selatan (Nepal, Bangladesh, Sri Langka), Amerika Selatan (Brasil dan Paraguay) serta Afrika Tengah dan Afrika Barat (Benin, Burkina Faso, Pantai Gading, Kamerun, Gabon, Ghana, Malai, Nigeria dan Togo). Program serupa akan segera dimulai di Filipina dan Indonesia. Laporan ini akan menjadi dasar bagi program tersebut. Informasi yang terkumpul dalam kajian ini memperkuat dugaan bahwa perdagangan anak temyata telah menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Informasi yang ada menunjukkan semakin banyaknya anak-anak yang direkrut dan dijual baik di dalam maupun di luar negeri oleh jaringan perdagangan anak yang terorganisir. Anak-anak yang dijual sebagai tenaga kerja di luar negeri menjadi sasaran empuk untuk dieksploitasi, terutama setelah mereka tiba di negara tujuan yang sama sekali asing bagi mereka. Di sana mereka tidak mempunyai pilihan lain selain menggantungkan nasib mereka sepenuhnya pada belas kasihan majikan yang mempekerjakan mereka dan pihak berwenang yang menangani ijin kerja mereka. Setelah bekerja di luar negeri, sering kali mereka tidak dapat lagi berhubungan dengan orang tua mereka di tanah air. Ruang Lingkup Penelitian Ada beberapa jenis perdagangan anak. Masing-masing memiliki pola tersendiri. Pola ini berbeda-beda dari satu Pfrditgtingun 3113lCdi Imlouehiu 11
P
r
a
k
a
t
a
daerah ke daerah lainnya dalam wilayah suatu negara. Namun laporan ini hanya akan menguraikan dan membahas jenis-jenis perdagangan anak sesuai dengan yang diminta oleh ILO-IPEC, seperti misalnya faktor-faktor pemicu perdagangan anak, yang mengandung unsur eksploitasi tenaga kerja, termasuk ekspolitasi seksual. Sedangkan jenisjenis perdagangan anak lainnya, seperti praktek jual beli anak untuk keperluan adopsi dan transplantasi organ tubuh manusia, tidak dibahas dalam laporan ini.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dipilih berdasarkan laporan-laporan yang telah ada mengenai pelacuran anak, pekerja kontrak intemasional dan migrasi ilegal (ECPACT, 2000; Sofian, 2000; Rohman dan Starrine, 2000; Adi, 1998; Farid, 1997; Irwanto dkk., 1997). Dalam kajian ini ditetapkan empat lokasi penelitian, yaitu Pulau Bali, Jakarta, Medan dan Pulau Batam. Wilayahwilayah lain yang juga dikenal sebagai pengirim tenaga kerja anak seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Pontianak dan Nusa Tenggara Barat tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini karena terbatasnya waktu. Informasi mengenai perdagangan anak yang terjadi pada propinsi-propinsi tersebut hanya diteliti melalui sumber-sumber yang tersedia. Tujuan Penelitian Sebagaimana disebutkan dalam judul, laporan ini berupaya PerdaganganHTlËLfcdi Indonesia 12
P
r
a
k
a
t
a
memberikan gambaran awal mengenai situasi perdagangan anak dan perempuan di Indonesia. Adapun tujuan penyusunan laporan ini adalah: 1.
Untuk menjelaskan kecenderungan-kecenderungan yang dijumpai dalam perdagangan anak dan perempuan di Indonesia, khususnya di Jakarta, Medan, Pulau Batam dan Pulau Bali berdasarkan basil pengamatan yang telah dilakukan.
2.
Untuk menggambarkan sifat dari perdagangan anak dan perempuan di suatu negara (yaitu pola-pola perdagangan, faktor-faktor pendorong dan penarik, proses perekrutan, kondisi kerja serta dampaknya).
3.
Untuk menggambarkan kebijakan-kebijakan nasional yang relevan dengan masalah tersebut.
4.
Untuk menggali kemampuan para mitra kerja potensial.
Sumber Informas! Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengumpulan informasi dilakukan melalui wawancara secara individual dengan para informan, yaitu orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam masalah perdagangan anak dan dapat diajak bekerja sama untuk menanggulangi masalah ini. Para informan yang dipilih dalam penelitian ini meliputi beberapa pejabat pemerintah, penegak hukum, aktivis LSM, pendidik dan akademisi serta wartawan. Selain wawancara, berbagai sumber inforrhasi dan data sekunder juga diperoleh dari kliping media cetak, IVrdagmigiincffl£ll£di Indom-siu 13
P
r
a
k
a
t
a
berbagai dokumentasi dan studi yang dimiliki oleh LSM, laporan-laporan penelitian, skripsi S1, dan jumal-jumal yang mengulas masalah perdagangan anak di Indonesia. Namun karena keterbatasan dana dan waktu penelitian, informasi yang diperoleh tidaklah mendalam. Di samping itu, perdagangan anak merupakan masalah yang sifatnya amat sensitif, dianggap tabu dan acap kali ditutuptutupi sehingga suatu gambaran yang benar-benar menyeluruh dan akurat hampir tidak mungkin diperoleh. Karena itu diperlukan penelitian dan dokumentasi yang lebih banyak guna memperoleh pengetahuan mengenai besar dan luasnya masalah tersebut. Untuk itu ILO mengajak pembaca yang memiliki informasi untuk memberikan masukan. Ucapan Terima Kasih Bapak Irwanto selaku konsultan senior ILO menyelesaikan studi ini dalam jangka waktu yang sangat singkat. Studi ini tidak mungkin dapat terlaksana tanpa dukungan anggota tim. Dalam menyusun kajian ini, Bapak Irwanto dibantu oleh dua orang asisten konsultan dari Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fâkultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI), yaitu Fentiny Nugroho dan Johanna Debora Imelda, dan juga oleh asisten administras! Ety Rahayu. Fatimana Agustinanto dan Dhita Indriaty, keduanya juga dari FISIP-UI, ikut membantu pengumpulan data lapangan. Di Bali, ada tiga rekan dari Yayasan Anak Kita, yaitu Rohman, Made Ari Wirasdipta dan Adria PerriugungtuiândJCdi Indonesiu 14
P
r
a
k
a
t
a
Rosy Starrine, yang ikut membantu mengumpulkan informas! dan melakukan wawancara. Di pulau Batam, kegiatan mengumpulkan informas! dan wawancara dilakukan oleh Lola Wagner, Rosmiyati, Mauladi Retno dan Haryono dari Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan. Di Medan, Ahmad Sofyan dan Muhammad Jailani dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak membantu melakukan penelitian untuk studi ini. Tanpa kerjasama dari berbagai pihak lain, para informan, perseorangan, wakilwakil LSM dan instansi-instansi pemerintah yang tidak dapat disebut satu per satu, studi ini tidak mungkin dapat dilakukan. Pandji Putranto dan khususnya Elisabeth Unger dari IPEC-ILO Jakarta, ikut memberikan masukan, nasehat dan dukungan teknis yang amat membantu pelaksanaan studi dan penyusunan laporan ini, yang penyuntingannya dikerjakan oleh Arif Suryobuwono. Direktur
Kantor Perburuhan Intemasional di Jakarta.
FerdHgungmiUnftkdi IndoneBiu 15
i.anak.ii 16
Situasi
Anak
di
Indonesia
I Situasi Anak di Indonesia
Demografi Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya berusia muda. Diperkirakan 50% penduduk Indonesia (sekitar 104 juta orang) berusia di bawah 25 tahun dan 40% berusia 19 tahun atau kurang (sekitar 83 juta orang, dengan komposisi 42 juta perempuan dan 41 juta lakilaki). Dari basil sensus penduduk tahun 1990 dapat diperkirakan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 19951999 akan bertambah sebesar 1,52 juta orang setiap tahunnya. Penduduk usia muda, yang merupakan mayoritas, merupakan kelompok penduduk yang sangat penting. Masa depan negara dan bangsa sangat tergantung pada kualitas generasi muda, terutama kualitas pendidikan dan kesehatan mereka. Partisipasi Anak di Sekolah Bersekolah merupakan faktor penting yang dapat mencegah anak terlibat dalam kegiatan-kegiatan luar rumah yang berbahaya. Anak yang tidak bersekolah lebih mudah terjerumus dalam pergaulan buruk dengan orang-orang dewasa. Kegiatan belajar di sekolah menempatkan anak dalam suatu lingkungan yang relatif lebih aman dan menjauhkan mereka dari pengaruh-pengaruh négatif di masyarakat. Perdiigtingan QIlEllidi IndoncHiu 17
Situasi
Anak
di
Indonesia
Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil menarik anak-anak usia sekolah untuk memasuki SD dan SLTP meskipun pendapatan per kapita Indonesia telah mengalami penurunan secara drastis, terutama sejak krisis moneter di Agustus 1997 yang terns berlanjut menjadi krisis berkepanjangan yang memporakporandakan perekonomian Indonesia. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia pada umumnya berpendidikan SD. Sayangnya, sekitar 25% dari mereka diperkirakan tidak akan mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat SLTP2. Juga dapat dilihat di sini bahwa secara umum anak-anak perempuan di daerah pedesaan memiliki akses pendidikan yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki dan anak-anak Tabel 1 Persentase anak yang mengecap pendidikan dasar (SD dan SMP) berdasarkan jenis kelamin. 1998
1997
Usia Kola
Desa
K+D
Kota
Desa
K+D
Laki-laki
97.8
93.8
95.1
97.4
94.1
95.2
Perempuan
97.7
94.6
95.6
97.8
94.1
95.4
97.8
94.2
95.4
97.8
94.1
95.1
Laki-laki
88.9
72.5
78.3
89.2
70.8
77.3
Perempuan
87.1
70.5
76.7
88.0
70.4
77.0
88.0
71.6
77.5
88.6
70.6
77.1
Jenis kelamin 7-12 th
Laki-laki+Perempuan 13-15 th
Laki-laki+Perempuan
Sumber: Biro Pusat Statistik(1999), Indikator Kesejahteraan1998. 2 Catatan: Data BPS tidak secara khusus menjelaskan pendaftaran sekolah pada jenjang pendidikan yang berbeda-beda karena data didapat dari penelitian antar sensus yang didasarkan pada usia informan. Perdugaiigun ni in k.di Indonesia 18
Situasi
Anak
di
Indonesia
perempuan yang tinggal di kota. Di tingkat SLTA terlihat bahwa 60% anak-anak tersebut telah mengalami putus sekolah (lihat Tabel 8 Lampiran 1 tentang angka partisipasi sekolah SD, SLTP, SLTA berdasarkan propinsi). Statistik seperti ini cukup mencengangkan mengingat rendahnya investasi publik di Indonesia dalam pelayanan dasar bagi masyarakat seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Bagan I ini menunjukkan bahwa investasi Indonesia di bidang kesehatan ternyata masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Laos dan bahkan hanya separuh dari Vietnam dan Malaysia. Nilai aktual dana yang diinvestasikan Indonesia di bidang kesehatan mungkin bahkan lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki GNP lebih tinggi, dan bahkan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara yang lebih miskin seperti Mongolia. Bagan I Pengeluaran Publik di Bidang Kesehatan dan Pendidikan di Beberapa Negara Asia Laos Mongolia Singapore Vietnam Thailand Philippines Malaysia Indonesia 0 1 2 3 4 5 6 7 - Pendidikan % GNP 1990 -1997 1 Kesehatan (% GDP 1990 -1997) Sumber : UNESCO (2000), Laporan Pendidikan Dunia ferdHKangHit ÍUTákdi 19
Situasi
Anak
di
Indonesia
Dalam bagan 1, pengeluaran publik di bidang pendidikan dinyatakan sebagai persentase GNP (Produk Nasional Bruto) période 1990-1997 sedangkan pengeluaran publik di bidang kesehatan dinyatakan sebagai persentase GDP (Produk Domestik Bruto) période 1990-1997. Dengan mempertimbangkan situasi politik Indonesia saat ini yang masih diliputi ketidakpastian, untuk jangka pendek dan menengah nampaknya situasi moneter Indonesia tidak akan banyak mengalami perubahan. Tingkat melek huruf yang rendah merupakan salah satu kendala utama untuk melakukan intervensi secara efektif guna menanggulangi masalah perdagangan anak. Tingkat melek huruf anak-anak di wilayah pedesaan yang lebih rendah daripada tingkat melek huruf anak-anak yang tinggal di kota membuat mereka miskin informas! dan kurang mengetahui perkembangan yang terjadi. Hal ini mungkin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak perempuan di wilayah pedesaan menjadi lebih mudah terjerat oleh tipuan dan rayuan para perantara atau calo yang bermaksud memperdagangkan mereka. Pendidikan dan pemasyarakatan informas! mengenai perdagangan anak serta akibatnya akan menjadi salah satu strategi utama untuk menanggulangi perdagangan anak. Yang juga tak kalah pentingnya adalah upaya pemberdayaan anak, khususnya anak perempuan, untuk melindungi dirinya. Tanpa adanya upaya serius untuk menghapus buta huruf, penyebarluasan informasi mengenai hak-hak tenaga keija, bahaya yang melekat pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan PvrdagangtmâïlËlkdi Indonesiu 20
S i t u a s i
Anak
di
Indonesia
upaya untuk mencegah gadis-gadis desa dijualbelikan sebagai pelacur tidak akan banyak gunanya. Tabel 2 Angka Melek Huruf berdasarkan Kelompok Usia (1997-1998) Kelompok Usia (tahun)
1997
1998
Kota
Desa
K+D
Kota
Desa
K+D
15-19
99.4
97.7
98.4
99.5
97.8
98.5
20-24
99.3
96.5
97.7
99.3
97.0
98.0
25-34
97.9
92.1
94.0
98.3
93.1
95.0
35-49
95.0
84.2
88.2
95.3
84.8
88.7
50+
77.4
57.7
63.9
78.6
58.3
65.2
Laki-laki (L)
96.8
89.3
92.2
97.1
89.7
92.5
Perempuan (P)
90.8
77.9
82.8
91.5
78.3
83.4
L+P
93.7
83.5
87.4
94.8
83.9
87.9
Sumber : Biro Pusat Statistik (1999), Indikator Kesejahteraan 1998
cUl&kdi Indonettia 21
Situasi
Anak
di
Indonesia
Tabel 3 memperlihatkan bahwa anak perempuan, baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan, cenderung lebih bertahan untuk tetap bersekolah dibandingkan anak lakilaki. Tabel 3 Angka putus sekolah anak usia 7-12 tahun berdasarkan wilayah dan jenis kelamin. Wilayah Kelompok Usia
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
L+P
1997
1999
1997
1999
1997
1999
7-12
0.93
1.15
0.75
0.61
0.84
0.89
13-15
5.39
5.27
4.15
4.42
4.77
4.84
16-18
10.49
12.65
9.45
8.14
9.97
10.40
7-12
1.78
1.85
1.52
1.38
1.66
1.63
13-15
12.12
12.54
11.70
9.90
11.93
11.27
16-18
45.57
41.95
39.63
35.13
42.79
39.73
7-12
1.50
1.60
1.26
1.12
1.38
1.36
13-15
9.46
9.56
8.50
7.58
9.00
8.60
16-18
26.03
25.59
22.15
19.35
24.17
22.55
Kota
Desa
Kota+Desa
Sumber : Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 1997 & 1999 Angka-angka di atas juga menunjukkan bahwa anak-anak di daerah pedesaan lebih cepat putus sekolah dibandingkan anak-anak di daerah perkotaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa lebih dari 40% anak-anak di daerah pedesaan telah putus sekolah ketika mereka mencapai usia 16 tahun. Peitiugaiiyun anak.i 22
Situasi
Anak
di
Indonesia
Partisipasi Anak di Dunia Kerja Faktor pendorong yang sering kali menyebabkan anak putus sekolah adalah masuknya mereka ke dunia kerja. Hal ini mudah dipahami karena anak-anak yang bekerja pada umumnya mencurahkan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk bekerja, bukan bersekolah. Akibatnya, sehabis bekerja mereka hanya mempunyai sedikit waktu dan tenaga yang tersisa untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mempelajari apa yang diajarkan di sekolah. Anak-anak biasanya dipekerjakan untuk melakukan pekerjaanpekerjaan sederhana yang menuntut mereka mengerjakan hal yang sama berulang-ulang, misalnya dipekerjakan sebagai tukang potong, tukang semir sepatu atau disuruh menjahit. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu cenderung memakan emosi dan membuat anak menjadi cepat lelah karena sangat membosankan padahal mereka harus mengerjakannya selama berjam-jam setiap hari. Survei yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik bersama dengan ILO/ IPEC pada tahun 1993, 1995 dan 1997 (di Jawa Barat, Sumatra Utara dan Sulawesi Utara) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja selama lebih dari 3 jam sehari terganggu kemampuan belajamya. Mereka menjadi terlalu lelah untuk menyerap bahan-bahan pelajaran yang diajarkan di sekolah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, data resmi menunjukkan bahwa jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun berkurang setiap tahunnya. Namun selama masa sulit di tahun 1998 dan 1999 jumlah pekerja anak tiba-tiba Ptrduguugan clllcllvdi Indonesia 23
Situasi
Anak
di
Indonesia
melonjak tajam. Akibat krisis moneter banyak pabrik yang tutup dan kegiatan pembangunan yang terhenti sehingga banyak keluarga yang selama ini memperoleh penghasilan dari industri manufaktur dan sektor konstruksi kehilangan sumber pendapatannya. Selain itu, banyak keluarga mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari karena naiknya barga bahan-bahan kebutuhan pokok. Untuk mengkompensasi hilangnya penghasilan sekaligus menambah penghasilan, banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya untuk bekeija. Terbatasnya kesempatan kerja yang ada di sektor formal dan semakin mendesaknya kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan banyak anak-anak terpaksa harus bekerja di sektor informal yang umumnya banyak mengandung risiko. Bagan 2 di bawah ini memperlihatkan kecenderungan jumlah pekerja anak dari tahun 1990 hingga 1999. Bagan Bagan 2 Kecenderungan Anak untuk Bekerja dalam kurun waktu 1990-1998 Dengan perbandingan di Daerah Pedesaan dan Perkotaan 2500 2000
12045.6
1500 1000 500 0 Okt 90
Okt 95 Perkotaan
Agst 96 |H Pedesaan
Agst 97
Agst 98
H Total
Sumber: Imawan (1999) - dihitung dari BPS 24
Des 98
Situasi
Anak
di
Indonesia
ini dengan jelas menunjukkan bahwa sejak bulan Agustus 1998 jumlah anak-anak yang aktif dalam kegiatan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan 4 tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 jumlah anak yang aktif dalam kegiatan ekonomi bahkan telah melampaui jumlah pekerja anak yang tercatat pada tahun 1995. Data Biro Pusat Statistik (bulan Agustus tahun 2000) menunjukkan bahwa jumlah.anak yang bekerja telah meningkat menjadi 2,3 juta lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja anak yang tercatat 10 tahun yang lalu (tahun 1990). Meskipun tidak mengejutkan bila ditinjau dari kondisi ekonomi dewasa ini, peningkatan tersebut sudah mengisyaratkan tanda bahaya. Namun, mungkin angka-angka ini tidak realistis karena tidak memperhitungkan anak-anak di bawah usia 10 tahun dan survei ini hanya dilakukan pada sektor informal. Data statistik pendidikan memperlihatkan bahwa antara tahun 1995 hingga tahun 1999, tercatat 11,7 juta anak meninggalkan bangku sekolah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa kegiatan anak-anak tersebut setelah mereka tidak lagi bersekolah? ILO/IPEC memperkirakan bahwa jumlah sesungguhnya pekeija anak yang berusia di bawah 15 tahun adalah delapan juta orang. Secara umum telah diketahui bahwa bekeija tidaklah selalu buruk bagi anak-anak. Di banyak masyarakat, terutama di kalangan keluarga kelas menengah, anak-anak didorong untuk bekeija dan bahkan kadang-kadang disuruh membiayai hidupnya sendiri. Anak-anak yang bekerja selama beberapa jam melakukan pekerjaan ringan tidak Perdugangan ¿UTfikdi Indont-hia 25
Situasi
Anak
di
Indonesia
perlu dilarang asalkan hak mereka untuk memperoleh pendidikan dan perawatan kesehatan yang baik dan memadai terpenuhi. Pekeijaan yang diharamkan masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia adalah pekerjaan yang mengeksploitasi tenaga kerja anak. Yang dimaksud dengan "pekerjaan yang mengeksploitasi tenaga kerja anak" adalah pekerjaan yang tugas-tugasnya, kondisi kerjanya (termasuk jam kerja dan hubungan dengan pemberi kerja) serta kondisikondisi lainnya, mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak. Dengan kata lain, pemanfaatan tenaga kerja anak semata-mata dimaksudkan untuk memaksimalkan keuntungan sang pemilik modal tanpa mengindahkan kesejahteraan anak yang dipekerjakan. Sayangnya, orang yang paling berperan dalam kegiatan eksploitasi anak kadang-kadang justru orang tua anak itu sendiri. Bagan 3 Lamanya Jam Kerja Anak-anak Usia 10-24 tahun pada Tahun 1999
□ 25 - 34 I 25 - 34 | 25 - 34 Sumber: Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), 1999 Bagan 3 di atas dengan jelas menunjukkan bahwa presentase anak-anak usia 10-24 tahun yang bekerja lebih dari 25 jam Perdagangan anakdi Indoneidu 26
Situasi
Anak
di
Indonesia
per minggu kurang dari 20%. Kebanyakan dari mereka bekerja lebih dari 35 jam per minggu dan bahkan kadangkadang lebih dari 5 jam sehari. Bahkan banyak diantara mereka yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Sayangnya, angka-angka tersebut tidak dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia yang lebih muda. Pengamatan Imawan (1999) dalam kurun waktu 1997-1999 menunjukkan bahwa anak-anak di kota, terutama anak perempuan, adalah pekerja yang paling lama jam kerjanya dan karena itu, paling besar kemungkinannya untuk putus sekolah (lihat bagan 4). Bagan 4 Anak-anak di Daerah Pedesaan dan Perkotaan yang bekerja lebih dari 25 jam seminggu 60 -■so
40 20 0
Agustus 98
Desember 98
L (Kota) -» P (Kota) -A- L (Desa) Sumber: Itnawan (1999).
P (Desa)
Situasi
Anak
di
Indonesia
Dari tabel 4 di bawah ini dapat diamati bahwa mayoritas anak yang bekerja, terutama yang berusia di bawah 15 tahun, berada di sektor pertanian. Tabel 4: Persentase Jumlah Anak Berusia 10-14 Tahun dan 15-19 Tahun Yang Bekerja (Dari Jumlah Penduduk Yang Bekerja), Dihitung Berdasarkan Wilayah dan Sektor (1998) Usia/ Propinsi
Sektor PersenPerJasa tase Manu- Perda- Kontanian faktur gangan struksi anak /transyang portas! bekerja
Usia 10-14 Sumatra
8,0 % 73,6 %
7,3 % 11,9 %
1,8% 4,5 %
Java/ Bali
7,2 % 65,5 % 15,4 % 14,9 %
0,8 % 4,8 %
Kalimantan
9,7 % 61,0 %
7,6 % 21,9 %
2,3 % 3,8 %
3,4 %
8,1 % 9,7 % 10,4 %
0,7 % 2,3 %
8,3 % 69,3 % 11,1 % 13,5 %
1,3 % 3,9 %
Sulawesi Lainnya Indonesia
10,9 % 85,2 % 14,1 %. 75,7 %
2,3 % 0,7 %
Usia 15-19 6,7%
Sumatra
37,4%
64,1% 10,1%
12,2%
5,6%
Java/ Bali
37,2%
37,9% 22,3%
17,8%
8,0% 13,3%
Kalimantan
44,4%
57,2% 12,1%
14,5%
5,1%
6,6%
Sulawesi
41,2%
67,7%
6,8%
13,6%
5,8%
4,9%
Other
47,5%
71,8% 10,6%
8,1%
5,0%
3,1%
Indonesia
38,5%
50,5% 16,5%
15,1%
6,8%
9,8%
Perdagangun anak;.di Indonesia 28
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan II Anak-anak yang diperdagangkan dan Jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan
Penelitian yang dilakukan sesuai dengan ruang lingkup yang telah digariskan oleh ILO menghasilkan temuan-temuan yang menunjukkan bahwa pada umumnya anak diperdagangkan dengan berbagai maksud, antara lain:
•
Untuk dipekerjakan dalam bisnis pelacuran dan pomografi
•
Untuk dijadikan pengemis
•
Untuk dijadikan pembantu rumah tangga
•
Untuk dimanfaatkan dalam perdagangan narkoba
•
Untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya sangat eksploitatif, misalnya untuk bekerja di jermal
Anak-anak yang dilacurkan Pemanfaatan anak dalam industri seks komersial memiliki sejarah panjang. Hull et al. 1997 mengungkapkan bahwa secara tradisional perempuan sudah masuk ke industri seks sejak mereka masih berusia sangat muda. Hal ini tidak pemah dipandang sebagai masalah sosial karena anak-anak perempuan di pedesaan, khususnya di Jawa, pada umumnya Pt'rdiigungiiii £|Tlcl](<1i Imlone.-iu 29
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan menikah pada usia dini3. Dewasa ini, industri seks telah menjelma dalam berbagai bentuk. Walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks yang diatur dengan peraturan pemerintah dan ditawarkan di lokalisasi atau komplekskompleks pelacuran4 masih dapat diperoleh, layanan seks komersial di luar lokalisasi tetap saja marak, biasanya secara sembunyi-sembunyi, di berbagai tempat seperti di perumahan, hotel, bar, restorán, diskotek, salon kecantikan, dan sebagainya yang menyediakan teman pendamping atau teman kencan. Ulasan-ulasan terbaru yang dihimpun dari berbagai media, pengamatan LSM dan studi-studi yang ada menunjukkan bahwa kasus-kasus anak yang terlibat pelacuran cenderung meningkat sejak akhir tahun 1990 (Farid, 1999). Banyak anak-anak desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji akan diberi pekerjaan di kota, tetapi sesampainya di kota diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks. Tidak semua anak yang dilacurkan berasal dari desa. Anak kota pun ada juga yang dijadikan pekerja seks. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari keluarga-keluarga yang cukup berada. Dari informas! yang ada, Farid (1999) memperkirakan bahwa 30% dari seluruh pekerja seks yang ada di Indonesia masih berusia di bawah 18 tahun. Hal ini amat memprihatinkan tetapi permintaan akan seks dengan anak sebenamya telah ada sejak dulu. Pemicu utamanya adalah mitos-mitos seputar keperawanan, antara lain 3 4
Bisa jadi usia termuda adalah 12 tahun. sebagai pusat rehabilitasi oleh Dinas Sosial Pemerintah Daerah Perdagangmi anakdi Indonexia 30
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan kepercayaan bahwa hubungan seks dengan perawan merupakan obat awet muda dan pembawa keberuntungan. Ironisnya, kesadaran akan bahaya HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya sering kali justru mendongkrak permintaan akan anak-anak perempuan belasan tahun, terutama yang masih perawan, karena mereka dianggap masih bersih, belum banyak dipakai, dan bebas penyakit kelamin. Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannya. Dalam kondisi seperti ini, pelacuran dianggap memberikan kesempatan yang lebih baik kepada perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan uang. Bagan 5 di bawah ini menunjukkan kenaikan jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang terdata. Sebagaimana telah dikemukakan Hull et al. (1997) dan Parid (1999), perlu dicatat di sini bahwa jumlah pekerja seks komersial yang tidak terdata (yang beroperasi di pinggir jalan, hotel, bar, perumahan atau tempat-tempat lain di luar lokalisasi resmi) mungkin bahkan jauh lebih besar daripada jumlah yang terdata secara resmi. Berdasarkan perkiraan Parid mengenai jumlah anak yang dilacurkan, diperkirakan ada sekitar 21.000 anak yang dilacurkan di kompleks-kompleks pelacuran, panti-panti pijat dan tempat-tempat sejenis lainnya. Angka sebenamya bisa mencapai lima hingga 10 kali lipat dari angka resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Perdtig«ingan3I13l(di IndtmeMia 31
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan Bagan 5 Jumlah Pekerja Seks Tahun 1992-1999 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Sumber: Buku Putih Binrehabsos, Depsos (2000) Sampai sejauh ini belum banyak kalangan akademisi yang tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pemanfaatan anak dalam industri seks komersial. Menurut Farid, beberapa anak yang dilacurkan ini pertama kali dibawa ke bos mereka justru oleh orang tua mereka sendiri atau anggota keluarga lainnya atau oleh pekerja seks dewasa yang berasal dari desa yang sama dengan anak-anak tersebut. Banyak dari anakanak itu yang ditipu oleh calo dan agen profesional atau dipaksa oleh keadaan untuk menyerahkan diri mereka sendiri kepada germo. Sebuah studi kecil yang dilakukan di sebuah desa di Jawa Barat (Irwanto et al., 1997) menunjukkan bahwa orang tua yang terlibat dalam memperdagangkan anak mereka sendiri biasanya mendapat dukungan dari mekanisme pasar, yang melibatkan peran para tokoh masyarakat, baik yang formal maupun yang informal. Di desa yang dijadikan wilayah studi tersebut, dibuat catatan mengenai anak-anak yang direkrut untuk Ferdagungan anakdi Indoneaiu 32
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan dipekerjakan sebagai pekerja seks di kota, misalnya di Jakarta. Aparat setempat (khususnya para petugas kantor kelurahan) bahkan tidak segan-segan mengakui bahwa mereka sering membantu anak-anak yang akan dipekerjakan sebagai pekerja seks untuk mendapatkan KTP dan memalsukan umur mereka. Perekrutan pekerja seks di Indonesia atan di negara lain biasanya terjadi dengan menggunakan alasan klise, yaitu untuk dijadikan pembantu rumah tangga (PRT). Jumlahnya tidak pemah diketahui secara pasti. Paragraf yang mengulas tentang pekerja migran dengan jelas menunjukkan ada banyak sekali pekerja Indonesia yang direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga di luar negeri. Anak-anak yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga Menjadi pembantu rumah tangga merupakan pekerjaan termudah yang dapat dilakukan anak perempuan desa yang tidak berpengalaman dan tidak atau kurang berpendidikan dan yang orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya untuk menyekolahkannya atau melanjutkan sekolahnya. Sering kali bekerja di kota besar menjadi obsesi banyak kaum muda di pedesaan. Mereka terpesona oleh gaya hidup kota yang mereka lihat di media cetak dan TV. Selain itu, bekerja di kota mungkin juga merupakan cara untuk menghindar dari pengaturan perkawinan (perjodohan) oleh orang tua setelah mereka menyelesaikan sekolah dasar.
Perdiigimgan âTlâkdi Indonesia 33
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan Studi terbatas tahun 19955 yang didanai oleh ILOIPEC dan dilakukan melalui wawancara telepon dan studi kasus menunjukkan bahwa 55% pembantu rumah tangga yang bekeija di kota-kota besar seperti Jakarta dan Jogjakarta masih berusia di bawah 18 tahun. Bila jumlah pembantu rumah tangga yang bekerja di wilayah Jabotabek diperkirakan sekitar 1,4 juta orang, maka 600.000 di antaranya (55% dari 1,4 juta) masih berusia di bawah 18 tahun. Setelah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, banyak dari anakanak ini yang terisolir dari pergaulan dengan teman-teman sebaya, apalagi memiliki kesempatan bermain, karena sebagian besar waktu mereka (selama 12 jam atau lebih) dihabiskan untuk melayani kebutuhan orang lain. Menurut data BPS tahun 1999, yang dikutip dalam studi ini, pembantu rumah tangga di Indonesia yang tercatat di BPS seluruhnya berjumlah 1.341.712 orang, 310.378 (atau 23%) di antaranya berumur 10-18 tahun. Dari jumlah tersebut (310.378), 93% adalah perempuan. Data BPS tahun 1999 tersebut mencatat bahwa di Jakarta terdapat 70.792 orang anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jumlah ini amat kecil bila dibandingkan dengan hasil studi terbatas ILO-IPEC tahun 1995 yang memperkirakan bahwa di daerah Jabotabek ada sekitar 600.000 anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk memperoleh angka yang lebih realistik dan mendekati kebenaran, kajian cepat
5
Lihat Jonathan Blagborough, Child Domestic Work in indonesia, A Preliminary Situation Analysis, Anti Slavery International, London 1995. Prrdajfan^tuiUflclkdi Indimesia 34
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan (rapid assessment)6 yang baru-baru ini dilakukan oleh ILOIPEC menyarankan agar jumlah pembantu rumah tangga yang bekerja di Jakarta dihitung berdasarkan jumlah seluruh rumah tangga yang ada di Jakarta dengan asumsi bahwa 50% dari seluruh rumah tangga yang ada di Jakarta ratarata mempekerjakan sekurang-kurangnya satu pembantu rumah tangga. Data BPS di atas, yang menyebutkan bahwa 23% pembantu rumah tangga yang ada di Indonesia berusia 1018 tahun, juga patut diragukan. Jumlah sebenamya anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dipastikan jauh lebih besar dari data resmi yang ada. Tidak semua pembantu rumah tangga (khususnya yang berumur antara 15-18 tahun) mengalami masalah atau menjadi korban perlakuan semena-mena. Tetapi, banyak dari mereka yang berada dalam kondisi kerja yang dapat dikategorikan sebagai bentuk terburuk perburuhan anak. Selain itu, ada laporan media yang memberitakan bahwa kekerasan fisik dan seksual juga dialami oleh anak-anak ini (Mboi dan Irwanto, 1998). Yang sering kali terjadi, pelaku kekerasan ini tidak tersentuh oleh hukum. Bahkan sampai hari ini pun masih belum ada kebijakan yang jelas mengenai upaya untuk mengatur dan melindungi pembantu rumah tangga. Pekerja pabrik dilindungi oleh serikat pekeija. Tetapi pembantu rumah tangga tidak mempunyai asosiasi yang dapat melindunginya. Wiladi, naskah mentah laporan yang berjudul Rapid Assessment on Child Domestic Workers in Jakarta, Surabaya and Denpasar, Agustus 2000. Perdagiingan
Indonesia 35
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan LSM Solidaritas Perempuan (SP) menerima banyak pengaduan dari pekerja migran yang datang minta pertolongan setelah mereka mengalami perlakuan semenamena. Mereka terdaftar pada agen pengirim tenaga kerja ke luar negeri dengan KTP palsu. Meskipun Solidaritas Perempuan tidak tahu secara pasti berapa jumlah anak yang direkrut sebagai pekerja migran secara ilegal, LSM ini sangat yakin bahwa jumlahnya cukup banyak. Banyak anak berusia di bawah 18 tahun yang direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga di luar negeri. SP memperkirakan bahwa dari 3,3 juta pekerja migran Indonesia7, 70% (2,97 juta) di antaranya adalah perempuan dan 90% (2,67 juta) dari mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Menurut SP, anak-anak yang diperdagangan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri cenderung diperlakukan semena-mena oleh sang majikan karena mereka praktis terkurung di rumah dan sulit berhubungan dengan dunia luar. Banyak dari mereka adalah anak remaja yang sedang beranjak dewasa. Sebenarnya mereka membutuhkan waktu untuk bergaul dan bersenang-senang dengan temannya, sebagai selingan dari pekerjaan yang serius dan melelahkan. Sebagian besar pembantu rumah tangga berusia muda yang mengalami perlakuan semenamena dituduh malas bekerja. Beberapa dari mereka, yang telah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, masih belum memahami arti hubungan seks dan konsekuensinya.
7
Data tahun 2000 dari Depnaker yang diterima oleh Solidaritas Perempuan. Perdagangun anakdi Indonesia 36
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan Anak yang dipekerjakan untuk mengemis Pola lain perdagangan anak yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia adalah mengambil anak untuk mengemis di jalan. Anak-anak yang disuruh mengemis di jalan-jalan di kota-kota besar sering kali berasal dari tempat yang jauh. Jumlah anak yang direkrut dari daerah pedesaan cukup besar. Mereka dijanjikan pekeijaan yang layak di kota dan tidak tahu kalau akan disuruh mengemis. Selain anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pengemis, ada juga bayi yang disewakan untuk membantu pengemis wanita supaya kelihatan lebih memelas. Informan kami di Jakarta yakin bahwa beberapa dari bayi dan anak-anak yang dimanfaatkan untuk mengemis merupakan korban penculikan. Anak yang dilibatkan dalam perdagangan narkoba Catatan medis Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir (19951999) ini jumlah pasien yang berobat di rumah sakit tersebut telah meningkat sebesar 400%. Yang sangat mengganggu adalah bahwa 40% dari pasien yang mencari bantuan pengobatan di rumah sakit tersebut temyata masih berumur di bawah 19 tahun. Sejauh ini belum ada informasi yang memadai mengenai pola perdagangan narkoba di Indonesia. Namun dari informasi yang beredar kelihatannya dapat disimpulkan bahwa anaki-anak muda yang baru menjadi pemakai narkoba dibujuk untuk membantu sindikat narkoba
PerddgnngmiQliOkdi Indononiu 37
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan memasarkan barang dagangan mereka. Studi penelitian berskala kecil yang dilakukan oleh Yayasan Kita (2000) dan melibatkan mantan pemakai narkoba sebagai pewawancara menegaskan bahwa sindikat narkoba melibatkan anak-anak dalam perdagangan narkoba dengan cara menipu dan menjadikan mereka bandar (BD) atau pengecer narkoba. Karena itu, dalam kajian ini perlu diperhitungkan kemungkinan dimanfaatkannya anak-anak untuk perdagangan obat terlarang. Anak yang dimanfaatkan untuk pekerjaanpekerjaan eksploitatif lainnya, seperti pekerjaan di jermal Pemanfaatan anak untuk bekerja di jermal (anjungan penangkap ikan lepas pantai) di beberapa kabupaten di Sumatera Utara, khususnya kabupaten Deli Serdang, Asaban, dan Labuhan Batu mendapat sorotan tajam dari masyarakat intemasional yang peduli terhadap hak anak. Anak-anak ini direkrut atau dibawa oleh orang tua mereka dari desa-desa yang jauh dari laut. Mereka biasanya tidak peduli dengan jenis pekerjaan yang akan mereka jalani. Kebanyakan anak-anak ini tidak bisa berenang. Ketika bekerja di jermal, mereka harus bekerja keras siang dan malam tanpa istirahat yang cukup untuk menaikkan dan menurunkan jala ikan, memilih dan mengeringkan ikan, membetulkan jala yang rusak, dan mengeijakan pekerjaanpekerjaan lain, yang menyita sebagian besar waktu mereka. Laporan-laporan yang ada mengenai jumlah anak berumur
PerdagunganâTlâlCdi Indonesia 38
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan 13-18 tahun yang dipekerjakan jermal berbeda-beda. Laporan resmi (Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Sumatera Utara) menyebutkan bahwa jumlah jermal yang ada di kabupaten-kabupaten tersebut telah berkurang, dari 344 pada tahun 1988 menjadi hanya 144 pada tahun 1997 sebagai akibat dari faktor-faktor alamiah (berkurangnya permintaan pasok ikan). Namun, penelitian terakhir proyek ILO-IPEC mengenai pekerja anak di jermal menemukan adanya 140 jermal dan 28 tangkul (jermal ukuran mini). Di masingmasing jermal rata-rata dijumpai tiga pekerja anak yang berumur di bawah 18 tahun. Pardoen et al. ( 1996) mencatat bahwa anak-anak yang bekerja di tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, umumnya berasal dari desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Mereka dibawa ke sana oleh anggota keluarga atau orang yang menjadi wali mereka. Anak-anak itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dapat didaur ulang dari teuipat pembuangan sampah dan menjualnya kepada perantara (calo) yang selanjutnya menjual bahan-bahan itu ke pabrik untuk didaur ulang. Anak-anak itu harus bangun tidur pagi-pagi sekali (sebelum jam 5 pagi) untuk menunggui truk-truk sampah yang terus berdatangan menumpahkan sampah hingga sekitar pukul 8 pagi. Setelah mengaduk-aduk sampah untuk mengumpulkan bahan-bahan daur ulang, mereka menyetor bahan-bahan daur ulang yang berhasil mereka kumpulkan kepada calo. Mereka beristirahat antara pukul 10 pagi hingga pukul tiga siang. Setelah itu mereka Pfrdagttngun cfflilkdi Indonesia 39
Anak- anak yang diperdagangkan dan Jenis pekerjaan yang mereka lakukan kembali bekerja, mengais-ngais sampah yang ditumpahkan dad truk-truk sampah yang berdatangan di sore hari dari seluruh penjuru kota. Mereka selesai bekerja pukul tujuh malam. Pola keqa seperti ini praktis tidak memungkinkan mereka untuk belajar di sekolah seperti anak-anak lain. Kalaupun ke sekolah, waktu yang mereka miliki sangat terbatas. Selain itu, mereka menjadi terlalu lelah untuk dapat menyerap pelajaran dengan baik. Banyak anak yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah akhirnya tidak bersekolah karena status mereka sebagai pendatang dan rasa rendah diri (mereka sering kali diolok-olok dan dikata-katai "bau" oleh teman-teman sekelas mereka).
PerdugaiiganQHâlidi Indonesia 40
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak III Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak
Pemalsuan KTP dan Kelahiran yang Tidak Didaftar Pemalsuan KTP merupakan hal yang sangat umum di Indonesia, dan hal ini terjadi di mana saja tanpa melihat daerah dan tempat tinggal8. Meluasnya praktek pemalsuan KTP telah mempersulit upaya-upaya untuk mencegah perdagangan anak dan perempuan. Pemalsuan KTP telah menjadi bisnis yang menguntungkan bagi beberapa oknum aparat pemerintah. Pendaftaran KTP tidak akan menjadi masalah jika semua orang mempunyai surat kelahiran. Sayangnya, penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh UNICEF dan Plan International (1998) menunjukkan bahwa sekitar 30% bayi yang baru lahir di Indonesia temyata tidak mempunyai surat lahir. Pengamatan yang dilakukan oleh sebuah LSM yang menangani pekerja-pekerja yang datang dari seluruh Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka (80%) memiliki KTP yang dikeluarkan oleh Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. Pemalsuan KTP dilakukan di tingkat RT dan RW dan biasanya petugas RT maupun RW tidak berdaya baik karena diberi uang atau merasa membantu keluarga yanq meminta KTP. IVrdaganyHii áltcÚfrli IndoneMia 41
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak Perkawinan Usia Muda Salah satu faktor pendorong yang membuat anak perempuan berhenti bersekolah adalah adanya kepercayaan bahwa anak perempuan sebaiknya menikah pada usia muda. UU Perkawinan memperbolehkan anak perempuan untuk menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda dari itu asalkan diijinkan oleh orang tua dan disahkan oleh kantor catatan sipil. Bagan 6 di bawah ini diambil dari statistik Kesejahteraan Rakyat 1999. Bagan tersebut menunjuk-kan bahwa di beberapa propinsi di Jawa, Sumatra dan Bagan 6 Persentase Wanita Berusia 10 - 24 tahun Perkawinan Pertama pada Usia 10 - 16th Irian Jaya_ Maluku Sulawesi Tenggara _ Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur_ Kalimantan Selatan _J Kalimantan Tengah _| Kalimantan Barat_j Nusatenggara Timur_ Nusatenggara Barat —\ Bali^ JawaTimur_ Yogyakarta — Jawa Tengah _ Jawa Barat Jakarta Lampung Bengkuiu — Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Aceh 0 5 10 15 20 25 30 Sumber: BPS, 2000, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 1999 lYrdutomgan anakdii 42
35
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak Kalimantan banyak perempuan muda menikah untuk pertama kalinya pada usia 10-16 tahun. Kenyataannya di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti juga di Sumatera Barat dan Kalimantan Barat, lebih dari 30% anak perempuan menikah pada saat mereka berusia 16 tahun atau bahkan lebih muda. Dengan banyak bal, perkawinan usia muda banyak mengundang rmasalah. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan berisiko tinggi, terutama ketika diikuti dengan kehamilan. Secara sosial, anak perempuan yang menikah pada usia yang masih sangat muda cenderung mengalami banyak kesulitan karena mereka pada umumnya belum siap untuk hidup mandiri, terutama bila mereka diceraikan oleh suami. SUP AS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 1995 menunjukkan bahwa angka perceraian perempuan yang menikah pada usia 10-14 tahun (9,5%) adalah dua kali lebih besar daripada angka perceraian perempuan yang menikah pada usia 15-19 tahun (4,9%). Ketika seorang anak perempuan bercerai, ia kehilangan status dan haknya sebagai anak. Hal ini menghalanginya untuk memasuki sistem pendidikan formal apabila ia menginginkannya. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa sejak menikah, seorang anak perempuan dianggap telah menjadi orang dewasa yang mandiri dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya. Karena itu, apabila ia bercerai dari suaminya, orang tuanya tidak lagi bertanggung jawab untuk memberinya nafkah atau menanggung hidupnya. Akibatnya, banyak anak perempuan yang setelah diceraikan oleh suaminya cenderung Penlu#
K¡a 43
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak memberanikan diri pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan kesempatan keija yang lebih baik dan untuk bertahan hidup. Sayangnya, mereka umumnya tidak mempunyai ketrampilan atau ijazah yang memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan yang layak. Banyak dari mereka yang akhimya terbujuk dan terperangkap dalam industri seks komersial, sebagaimana dikemukakan dalam basil studi tentang pelacuran (Irwanto, 1997; Suyanto, 1997; Mamahit, 1999).
Pekerja migran Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara pengirim terbesar pekeija migran yang dalam bahasa Inggris disebut International Contract Workers (ICW) ke berbagai negara seperti Timur Tengah, Singapura, Malaysia, dan baru-baru ini juga ke Taiwan, Korea dan Hongkong.
Bagan 7 TKI terdaftar yang bekerja di negara-negara Asia-Pasifik 1997/8
7341 —mim
1996/7
1218541
1995/6 1994/5 100000
150000
200000
□ Laki-laki | Perempuan Sumber: Departemen Tenaga Kerja, 1999
Perdagangun¿IHcuCdi Indonesia 44
250000
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak Seperti yang digambarkan dalam bagan 7 di atas, jumlah pekerja migran yang dikirim ke negara Asia Pasifik terus meningkat selama 5 tahun terakhir. Pada kenyataannya, dari tahun 1980-1993, jumlah pekerja migran Indonesia telah meningkat dari 10.000 hingga lebih dari 230.000. Meskipun pada tahun 1996-1997 jumlah pekerja lakilaki yang dikirim ke negara-negara Asia Pasifik (seperti Jepang, Korea, Malaysia, Singapura dan Hongkong) lebih besar daripada jumlah pekerja perempuan, di luar tahuntahun tersebut jumlah pekerja migran perempuan selalu melebihi jumlah pekerja migran laki-laki. Sejak tahun 19941995 sampai tahun 1998-1999, lebih dari 600.000 tenaga kerja Indonesia telah ditempatkan di berbagai negara. Di Timur Tengah, yang merupakan salah satu negara tujuan utama, jumlah pekerja perempuan dua kali lipat lebih besar daripada jumlah pekerja laki-laki. Dalam période yang sama, 1,1 juta tenaga kerja Indonesia telah dikirim ke luar negeri. Negara-negara tujuan yang lain, yakni negara-negara di Amerika dan Eropa seperti Amerika Serikat, Kanada dan Belanda, biasanya menerima pekerja laki-laki. Sebanyak 14.000 pekerja telah dikirim ke negara-negara tersebut selama empat tahun terakhir. Devisa yang diperoleh dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri selama lebih dari empat tahun terakhir adalah 2,5 milyar dollar AS. Kisah mengenai pekerja migran tidak berakhir hanya dengan masuknya devisa. Analisa terhadap surat-surat yang dikirimkan oleh pekerja migran mengungkapkan banyak kisah sedih. Misalnya, analisa yang dilakukan oleh Mani tVrdagiingaii cUTcllídi Indonvwia 45
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak (1996) mengungkapkan ada banyak air mata yang dicucurkan (kesedihan) dalam perjalanan pulang. Adi (1998) menyoroti kurangnya perlindungan yang diberikan negara kepada tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Studi yang dilakukan oleh Adi (1998) di Jawa Barat mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang mencolok dalam praktek pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pelanggaran yang paling sering dan umum terjadi adalah pemalsuan KTP. Ulasan rinci dari berbagai literatur yang ada dan studi lapangan yang dilakukan oleh Adi (1996) mengungkapkan bahwa jumlah pekerja yang diperdagangkan, terutama pekerja perempuan, kemungkinan lebih besar daripada jumlah yang tecantum dalam laporan resmi yang dipublikasikan. Meskipun sebagian besar studi yang ada umumnya menyoroti Jawa dan Madura sebagai daerah pengirim utama, ada studi yang mengungkapkan bahwa Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) juga dikenal sebagai pengirim perempuan muda dan anak-anak untuk dipekerjakan di luar negeri (Triantoro, 1999; Setiadi, 1999). Solidaritas Perempuan, sebuah LSM yang secara aktif memantau pekerja migran, memperkirakan bahwa tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri seluruhnya berjumlah sekitar 3,3 juta orang, 70% di antaranya adalah perempuan dan 90% dari tenaga kerja perempuan ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dokumentasi Solidaritas Perempuan menunjukkan bahwa dari tahun 1991 hingga Perdagunganâflâkdi Indonesia 46
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak tahun 1997 tercatat 54 perempuan pekerja migran dengan identitas atan tanda pengenal yang jelas ditemukan meninggal karena berbagai alasan, seperti dijatuhi hukuman mati dan disiksa sampai mati (10), kecelakaan.(22), dan bunuh diri (8). Jumlah pekerja migran yang meninggal tanpa identitas atan tanda pengenal yang jelas diperkirakan sebanyak 552 orang, 33 di antaranya karena dijatuhi hukuman mati, 2 karena bunuh diri, dan 517 sisanya karena berbagai kecelakaan. Semua faktor penyebab kematian tersebut, hendaknya tidak dipahami sebagai faktor tunggal. Mereka yang melakukan bunuh diri, misalnya, mungkin memutuskan untuk bunuh diri setelah tahu bahwa dirinya dijatuhi hukuman mati atau karena tidak tahan mengalami penyiksaan terus-menerus. Penderitaan yang dialami pekerja migran Indonesia masih terus berlanjut sampai mereka pulang ke tanah air. Banyak dari mereka yang menjadi korban pemerasan ketika mereka mengirim uang ke rumah dan ketika dalam perjalanan pulang dari bandara ke desa asal mereka. Seorang ahli masalah pekerja migran yang juga profesor geografi dari Australia, Graeme Hugo, memperkirakan ada 2,5 juta pekerja migran Indonesia dengan jumlah pekerja pria yang kurang lebih sama dengan jumlah pekerja wanita (50%-50%). Dari jumlah tersebut, 30% diperkirakan berusia kurang dari 18 tahun. Perkiraan ini berbeda dari perkiraan Solidaritas Perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sesungguhnya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sulit sekali diketahui dan untuk itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Pt-nhiganganQHaktli lndc»iienin 47
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak label 5 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang Bekerja di Luar Negeri Pada Tahun 1999 Menurut Graeme Hugo Negara Tujuan Jumlah TKI 425.000 Arab Saudi 35.000 Uni Emirat Arab 1.900.000 Malaysia 32.000 Hong Kong 70.000 Singapura 18.269 Taiwan 11.700 Korea Selatan 3.245 Jepang 26.000 Filipina 2.426 Brunei 20.000 Lainnya 2.543.640 Total
Sumber Data Kedubes Indonesia dl Riyadh Asian Migration News (30-4-99) Kassim, 1997 Depnaker Asian Migration News (5-5-99) Asian Migration Yearbook, 1999: Asian Migration Yearbook, 1999: Asian Migration Yearbook, 1999: SCMP, 10 Desember 1998 Asian Migration Yearbook, 1999: Depnaker
197 182 128 125
Sumber: Hugo 2000 Pekerja migran yang dikirim dan dipekerjakan secara ilegal tidak mendapatkan perlindungan. Perekrutan pekerja migran secara resmi biayanya jauh lebih mahal dan penuh birokrasi, yaitu Rp 1.800.000 termasuk biaya yang hams dibayarkan ke calo, sedangkan perekrutan secara ilegal hanya memakan biaya Rp 800.000. Seperti yang sering dilaporkan di media massa, pekerja migran ilegal termasuk yang berisiko paling tinggi mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tidak banyak yang diketahui mengenai hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dengan perdagangan perempuan dan anak. Perempuan dan anak yang sering dipukuli atau mendapat pelecehan dan perlakuan IVrdujcmigun anak.ni 48
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak seks semena-mena (sexually abused) kemungkinan besar akan kabur meninggalkan rumah dan bekerja di tempattempat yang penuh risiko. Kasus-kasus perempuan dan anak yang terjun ke dunia prostitusi menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan, persetubuhan dengan anggota keluarga sendiri (incest), perkosaan dan penganiayaan fisik merupakan alasan-alasan yang mendorong mereka terjun ke industri seks komersial (Irwanto dkk., 1997; Farid, 1998). Sayangnya, amat sedikit yang dapat diketahui tentang prevalensi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Kurangnya informas! yang ada mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, korban tindak kekerasan sama sekali tidak mendapatkan jaminan perlindungan apabila ia berani bersaksi melawan pelaku. Kedua, sanksi hukum hanya bisa dijatuhkan kepada pelaku apabila korban melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib (Farid, 1998). Ketiga, korban perkosaan pada umumnya enggan dan malu untuk menceritakan kepada orang lain apa yang dialaminya. Análisis terhadap laporan media massa menunjukkan bahwa mayoritas pelaku tindak kekerasan adalah orang yang relatif dekat dengan korban. Data yang ada menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali korban yang mau menceritakan tindak kekerasan yang dialaminya segera setelah kejadian tersebut berlangsung.
¡'lTl 1 íL.'llM111 i U Ulk<¡ IlllloiU'sitl 49
Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan Perdagangan Anak Konflik Sosial dan Perang Dewasa ini, Indonesia sedang berada dalam masa transisi politik yang penuh gejolak, dari pemerintahan otoriter yang terlalu lama berkuasa ke pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Hal ini masih ditambah lagi dengan konflik sosial politik di berbagai daerah sehingga lebih dari 800.000 orang terusir dari rumah mereka dan tidak kurang dari 300.000 anak menderita akibat dari konflik ini. Meskipun tak ada pengumpulan
data secara sistematis tentang
perdagangan anak-anak dari wilayah konflik, hal ini pemah dilaporkan media massa dan LSM. Diperlukan penelitian lebih lanjut sebelum disusun suatu kebijakan atau program untuk menangani anak-anak ini.
lYnlttgungan tififtlídi Itidonrxiu 50
Pola-pola
Perdagangan
Anak
IV Pola-pola Perdagangan Anak
Ada lima jenis perdagangan anak yang akan dipaparkan dalam bab ini. Ruang lingkup penelitian dan penjelasan mengenai perdagangan anak ini terbatas pada daerah-daerah yang diteliti : Pulan Bali, Jakarta, Medan and Pulau Batam. Dalam Lampiran 3, Tabel 10, dapat dilihat gambaran tentang pola-pola perdagangan anak per daerah. Selain itu, akan diuhgkapkan juga pola-pola perdagangan anak yang bersifat lokal maupun umum. Perdagangan anak untuk tujuan prostitusi Telah umum diketahui, banyak anak perempuan yang masih sangat muda direkrut dad daerah asalnya, seperti kampung dan desa miskin, untuk dipekerjakan di dunia hiburan di kota. Mereka umumnya diberi janji-janji palsu, kemudian diperkerjakan sebagai pekerja seks. Data yang ada menúnjukkan bahwa daerah-daerah pemasok anak-anak perempuan untuk kegiatan pelacuran meliputi daerah-daerah sebagaimana tercantum dalam Tabel 6. Daerah-daerah penerima sebagian besar adalah kota-kota besar di seluruh propinsi, terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau/Pulau Batam, Ambon, Manado, Makasar, Jayapura, Merauke. Beberapa anak dan perempuan juga diperdagangkan hingga ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Tokyo (lihat Parid, 1999). Perdagangan âflâlCdi Indonesia 51
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Tabel 5 Daerah-daerah pemasok anak-anak perempuan yang diterjunkan ke industri seks komersial Propinsi
Daerah
Jawa Timur
Jember, Banyuwangi, Situbondo, Sampang (Madura)
Jawa Tengah
Jepara, Pati, Purwodadi-Grobogan, Pekalongan, Banyumas, Cirebon, Wonogiri (Solo)
Jawa Barat
Indramayu, Garut, Sukabumi, Kerawang, Banjarnegara, Bandung
Lampung
Desa-desa di sekitar Lampung
Sumbar
Pariaman
Pontianak
Singkawang
Sumatera Utara
Kec. Tembung, Kec. Belawan, Binjai, Belawan
Sulawesi Utara
Manado
Sulawesi Tenggara
Kendari
Jakarta Menurut informan kami dari LSM Bandungwangi, banyak pekerja seks di Jakarta yang berasal dari Indramayu. Sekurang-kurangnya ada tiga desa di Indramayu yang telah dikenal sebagai desa pemasok anak-anak perempuan untuk dilacurkan di Jakarta. Di ketiga desa tersebut perdagangan seks sangat terbuka. Orang tua dan warga masyarakat lainnya secara aktif terlibat dalam merekrut dan mempersiapkan anak-anak perempuan desa untuk bekerja sebagai pelacur, dan menerima kembali anak-anak itu setelah mereka berhenti bekerja. Telah diketahui bahwa orang tua dari desa-desa di Indramayu yang anak-anaknya dipekerjakan sebagai pelacur secara rutin mengambil uang IVrdnguiigun anak di Indonesia 52
Pola-pola
Perdagangan
Anak
hasil jerih payah anak-anak mereka padahal sebagian besar anak-anak itu terikat utang dan harus reía diperbudak oleh sang mucikari karena tidak dapat melunasinya. Selain bekerja di rumah-rumah pelacuran di Kramat Tunggak di Jakarta Utara, banyak anak-anak perempuan Indramayu yang mula-mula direkrut untuk dipekerjakan di bar, karaoke, diskotek, dan panti-panti pijat. Sorang informan dari Yayasan Kusuma Buana melaporkan ada banyak anak-anak berusia antara 13-16 tahun yang dipekerjakan sebagai tukang pijat di berbagai panti pijat yang ada di kompleks-kompleks pertokoan di bilangan Lokasari di daerah Mangga Besar, Jakarta. Mereka umumnya dijejalkan di rumah-rumah kos yang padat penghuninya di jalan-jalan dan gang-gang kecil di sekitar lokasi mereka bekerja. Mereka yang mencoba melarikan diri dipukuli tanpa ampun oleh satpam dan mucikarinya, bahkan pernah dilaporkan ada yang dihantam dengan setrika panas dan palang baja hingga babak belur.
Masih adakah harapkan bagi mereka? {Kisah anak-anak perempuan yang dilacurkan) Mereka yang berani mencoba melarikan diriakan dipukuli dengan rotan atau setrika oieh mucikari atau tukang pukui. Mereka harus membayar dendajika haid atau hamii dan jika meiahirkan maka anaknya akan dijuai oieh mucikari. Terkadang mereka dikurung di rumah tanpa diberi makan. Beberapa dari mereka menunggu peianggan di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum iainnya. Daiam kasus-kasus tertentu, vagina anak perempuan yang sudah tidak perawan kadang-kadang ditaburi gerusan gambir supaya "rapat" kembaii seperti perawan. Mereka juga sering dipaksa meiayani peianggan waiaupun sedang haid. Untuk menahan
53
Pola-pola
Perdagangan
Anak
mereka supaya tenis bekerja, mucikari membayar upab mereka dengan kupon yang hanya bisa ditukar dengan uang kaiau mereka pulang kampung. Kenyataannya, kupon tersebut tidak pemah dapat diuangkan karena selalu habis untuk membayar denda. Ketika pulang kampung, kebanyakan dari mereka mengatami gangguan kejiwaan. Mereka juga harus memberikan hampir se/uruh penghasiian mereka kepada mucikari atàu dipaksa menandatangani kontrak untuk memberikan seiuruh penghasiiannya untuk biaya akomodasi, meiunasi utang atau untuk biaya transportas!. Mucikari akan memuiangkan mereka apabila mereka dipandang sudah teriaiu tua untuk bekerja, atau menjuai mereka kepada mucikari iainnya. Sumber. Yayasan Mitra Kesehatan
Banyak gadis-gadis muda dipekeijakan di warung-warung kecil yang menjuai makanan di beberapa daerah di Jakarta untuk melayani orang yang lewat atau pelanggan lain. Contohnya, di Prumpung, Jakarta Utara, gadis-gadis muda dipekerjakan (kadangkala dijual oleh orang tuanya) di warung-warung kecil yang menjuai minuman ringan di pinggir jalan. Mereka bekerja dari pukul enam sore hingga tengah malam dan hanya dibayar Rp 60.000,- per bulan. Dengan upah sekecil ini, mereka tidak mungkin dapat bertahan hidup di kota karena mereka masih harus membayar sewa rumah/ kos dan biaya makan. Untuk memperoleh penghasiian tambaban, mereka membiarkan pelanggan yang datang ke waning untuk meraba-raba tubuh mereka. Mereka juga mau diajak ngobrol di dalam mobil. Dengan cara begini mereka mendapatkan uang tambaban untuk dapat tenis bertahan hidup di kota. Menurut informan kami dari LSM Bandungwangi dan hasil penelitian terakhir Pt-rduxungunHfl&Rdl IndonraUi 54
Pola-pola
Perdagangan
Anak
(Lendriyono, 2000), gadis-gadis ini ada yang bersedia memberikan pelayanan seks. Informan kami juga menyebutkan bahwa gadis-gadis itu sering menjadi sasaran empuk pemerasan oleh aparat penegak hukum. Bila tertangkap saat terjadi razia, mereka diharuskan membayar uang yang jumlahnya berkisar antara Rp 100.000,- hingga Rp 250.000. Uang sejumlah ini biasanya dibayar oleh majikan mereka dan diperhitungkan sebagai utang yang harus mereka lunasi dengan bekerja. Selain itu, mereka juga harus melayani oknum polisi dan militer yang mereka sebut "cepak" karena potongan rambut mereka yang pendek khas militer. Sewaktu terjadi razia, pelanggan-pelanggan berambut cepak ini menjadi musuh mereka dan tidak segansegan memeras dan melakukan pelecehan baik fisik maupun seksual terhadap mereka. Informasi yang kami peroleh dari informan yang lain dan kajian yang kami lakukan terhadap berita-berita media massa di Jakarta menunjukkan bahwa selain anak-anak perempuan, ada juga anak-anak laki-laki yang diculik dan dijual untuk dilacurkan. Tetapi tidak banyak informasi yang didapat mengenai hal ini. Pada umumnya, anak perempuan yang dilacurkan berusia antara 12-24 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin dan putus sekolah. Mereka bekerja dan tinggal di jalanan. Banyak dari mereka yang diperdaya ketika sedang mencari pekerjaan dan akhirnya dipekerjakan sebagai pelacur.
IVrdiigiuiguii QnOiídi liidoiieHiti 55
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Faktor-faktor lain yang menyebabkan perempuan dan anak-anak menjadi sasaran eksploitasi perdagangan seks adalah kawin muda dan perceraian, kekerasan seksual yang pernah dialami, dan kepercayaan tradisional mengenai seksualitas dan status perempuan. Akhir-akhir ini, kecanduan narkoba diperkirakan juga merupakan salah satu faktor yang mendorong anak laki-laki dan perempuan menawarkan pelayanan seks di kota-kota besar. Di sisi lain, faktor-faktor yang umum diketahui sebagai daya tarik utama bagi perempuan dan anak-anak untuk terjun ke bisnis seks adalah peluang yang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi di kota, kekaguman pada gaya hidup kota besar yang serba konsumtif dan keinginan untuk meniru gaya hidup seperti itu, serta keinginan untuk mempunyai pacar laki-laki. Kecuali beberapa laporan LSM mengenai tenaga kerja Indonesia yang mula-mula direkrut sebagai pembantu rumah tangga tetapi akhimya justru dipekerjakan sebagai pelacur di negara asing, tidak banyak informasi yang diketahui mengenai perdagangan anak di luar negeri untuk tujuan prostitusi. Studi lebih lanjut mengenai hal ini masih diperlukan.
Batam Batam acap kali dipandang sebagai
daerah yang
menjanjikan bagi para pencad kerja sekaligus "surga dunia" bagi para pengusaha yang pelesir menead kesenangan. Meskipun Batam tidak memiliki tempat bersejarah atau Inilnm-.in 56
Pola-pola
Perdagangan
Anak
warisan budaya sebagai daya tarik wisata, banyak wisatawan datang ke Batam untuk membeli seks murah. Dewasa ini, anak-anak perempuan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak dicari untuk dijadikan pelacur di Batam. Mereka biasanya ditawari pekerjaan sebagai bartender atau pelayan di bar-bar karaoke. Tidak ada data resmi tentang jumlah perempuan yang bekerja di hotel, restauran, panti pijat, bar karaoke, dan diskotek. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tempat-tempat tersebut transaksi seks komersial merupakan hal yang lumrah. Yang belum banyak diketahui adalah bahwa di Batam ada bar-bar karaoke yang menyewakan kamar untuk seks. Menurut informan kami di Batam, ada wisatawan-wisatawan yang mencari perawan untuk ditiduri dan bersedia membayar mahal untuk itu. Lembaga Bantuan Hukum Cahaya Keadilan melukiskan Batam sebagai "miniatur" Jakarta yang letaknya sangat dekat dengan negara-negara makmur seperti Singapura dan Malaysia. Orang tua di Batam pada umumnya terlalu sibuk mencari uang sehingga mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan dan memantau perilaku anakanak mereka. Mereka kurang menyadari bahwa kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, pergaulan yang buruk dan kuatnya tekanan dari teman-teman sebaya merupakan faktor-faktor utama yang dapat mendorong anak-anak mereka untuk memakai narkoba, yang kini telah menjadi ancaman nyata yang menggelisahkan masyarakat. Beberapa kasus pelacuran yang dijumpai di Batam melibatkan anakanak perempuan belasan tahun, di antaranya bahkan ada I Ynlii^un^mi (IIl¿llvl¡ IIKIoim'SÍH 57
Pola-pola
Perdagangan
Anak
yang baru berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SLTP. Pelanggan mereka umumnya adalah pengusaha Singapura dan Korea. Anak-anak perempuan yang dipekerjakan sebagai pelacur di Pulan Batam pada umumnya berasal dari:
Beberapa daerah di Jaw a Barat seperti Bandung, Indramayu, Garut, dan Kuningan. Beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Jepara, Pekalongan. Beberapa daerah di Jawa Timur seperti Situbondo dan Banyuwangi. Beberapa daerah di Sumatera seperti Pariaman, Medan, Lampung, Pontianak, Singkawang, dsb.
Sebelum dipekerjakan di Batam, anak-anak perempuan tersebut biasanya transit di Tanjung Pinang. Di sana mereka diberi pengarahan dan surat-surat yang diperlukan. Dari Tanjung Pinang mereka dibawa ke Tanjung Balai dan Batam untuk dipekerjakan. Daerah lain di Batam yang terkenal sebagai daerah tujuan wisata seks adalah Pulau Babi. Sayangnya, tidak banyak informasi yang diperoleh mengenai wisata seks di Pulau Babi. Pemah ada laporanlaporan (dari sebuah Yayasan di Batam) mengenai beberapa anak yang dimasukkan ke dalam peti es, tetapi tidak ada informasi lebih lanjut mengenai hal ini.
IVnhigiiiigunttTItlkdl InduiifHin 58
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Batí Kajian kami menunjukkan bahwa di Bali dijumpai polapola perdagangan anak yang serupa dengan pola-pola yang sebelumnya telah ditemukan di daerah-daerah lain. Anakanak perempuan yang dipekerjakan sebagai pelacur di Bali pada umumnya berasal dari Jawa Timur (Banyuwangi, Situbondo dan Surabaya) dan Bali sendiri (Negara, Singaraja « dan Karangasem). Ada dugaan dari beberapa informan bahwa anak-anak perempuan Bali telah diperdagangkan hingga ke Malaysia, Korea, Australia, Jerman, Belanda, dan Austria. Tidak banyak informasi yang diperoleh mengenai hal ini. Menurut informan kami, banyak dari mereka dijanjikan akan diberi pekerjaan sebagai pelayan di restorán Indonesia di luar negeri atau akan dinikahi. Di Bali, seperti halnya di daerah lain, faktor pendorong utama yang menyebabkan perdagangan anakanak perempuan adalah kemiskinan dan putus sekolah. Sebagaimana di Batam, anak-anak yang dibujuk untuk pergi ke Bali diberi janji-janji palsu bahwa turis-turis di Bali akan memberi mereka penghasilan tambaban. Bali juga dikenal sebagai tempat yang menyediakan anak laki-laki atau lakilaki muda bagi pria homo dan tante girang (Wirawan dkk., 1997). Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai anak lakilaki yang direkrut untuk tujuan tersebut. Isyu yang paling menonjol di Bali saat ini adalah perdagangan anak untuk kepuasan seks para pedofil (pedophile), yaitu pengidap kelainan seks yang memilih anakanak sebagai obyek seks. Beberapa tahun yang lalu lYnhigimgiMiciricllíili IIHIOIU-KÍII 59
Pola-pola
Perdagangan
Anak
dilakukan penelitian intensif mengenai anak-anak yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual para pedofil tetapi, meskipun penelitian yang melibatkan aktivis LSM, Unit Interpol dan Kepolisian RI tersebut telah banyak memakan waktu, biaya dan tenaga, tidak satupun tersangka berhasil ditangkap. Menurut aktivis LSM kami, yang menjadi kendala untuk menangkap mereka adalah tidak adanya laporan atau pengaduan dari anak-anak yang telah menjadi korban sehingga tak ada visum (misalnya cairan sperma atau luka-luka yang ditemukan pada diri korban) yang dapat digunakan sebagai barang bukti. Polisi yang bekerja secara intensif dengan LSM ini telah menemukan buku harían seorang turis Jerman yang dicurigai, beberapa foto anakanak setengah telanjang, dan beberapa bukti lain yang mengindikasikan bahwa ia seorang pedofil, tetapi buktibukti tersebut masih dianggap belum cukup kuat untuk dijadikan alasan penangkapan karena tidak adanya laporan atau pengaduan dari anak-anak yang menjadi korbannya. Pedofil yang dicurigai itu akhimya meninggalkan Bali tanpa hukuman apapun padahal ia telah bertahun-tahun melakukan pelecehan dan perlakukan seksual semena-mena terhadap anak-anak Bali.
Luh Wati Keliling Dunia Ñama saya Luh Wati. Umur saya sekarang 16 tahun. Saya sudah tinggal di Kuta sejak umur 8 tahun. Saya putus sekolah sewaktu kelas 2 SD. Selama di Kuta saya tinggal bersama kakak laki-laki saya yang juga sudah lama tinggal di Kuta. Kakak laki-laki saya
Perdiigungun anakdi Imlom-sia 60
Pola-pola
Perdagangan
Anak
itu bekerja sebagai pedagang asongan, pemandu ski air dan gigolo. Saya mula-mula membantu kakak saya berdagang di pantai sampai akhimya saya berani jualan sendiri. Saya jualan gelang kulit bersama teman-teman dan kakak perempuan saya. Saya juga sempat bekerja sebagai pengepang rambut di pantai dan pencopet di Legian selama beberapa bulan. Ketika umur saya 10 tahun, saya ditawari teman kakak saya untuk bekerja di toko seni (art shop) sebagai pelayan toko. Meski paginya sudah bekerja di toko, malamnya saya tetap jualan gelang kulit di Legian karena di toko itu dapat uangnya cuma sedikit. Saya kerja keras siang malam tapi penghasilan saya masih saja kurang sampai akhirnya saya ketemu pak Sadem. Dia membujuk saya untuk bekerja sebagai pengantar tamu (guidé). Dia janji nanti hasilnya akan dibagi dua. Saya setuju, lalu diperkenalkan pada beberapa bule laki-laki kenalannya. Saya bekerja mengantar dan menemani bule-bule itu bepergian dari satu tempat ke tempat lain di Bali. Ketika bayaran, barulah saya tahu kalau saya ditipu Sadem. Saya yang bekerja tetapi dia yang mengambil semua uang hasil jerih payah saya. Saya dioper dari bule yang satu ke bule yang lain. Saya juga harus menuruti semua yang dimaui bule-bule itu, termasuk seks. Setelah saya tanya ke teman-teman, ternyata Sadem memang sering mencari anak-anak untuk dijual ke bule-bule yang suka main seks dengan anak-anak. Ketika umur saya 12 tahun, saya melarikan diri dan Sadem tidak bisa menemukan saya lagi. Lalu saya jatuh ke bule Jepang dan ikut ke Jepang. Di sana nasib saya sama saja. Saya juga dioper dari satu Jepang ke Jepang yang lain. Akhirnya saya tidak betah dan pulang ke desa kampung halaman saya. Di sana saya diam sampai lama. Saya sakit selama satu bulan lebih. Kata orang, saya kelihatan pucat, kurus dan menyedihkan. Saya pemah hamil sekali dan menggugurkan kandungan saya. Ketika umur saya 14 tahun, saya kerja seperti Sadem. Saya menjadi perantara para bule yang menginginkan anak-anak. Saya mencari anakanak perempuan dari desa saya untuk dipakai bule-bule. Sekarang saya sudah sering ke Australia, Swiss, dan tempattempat lain bersama bule-bule. Saya tidak perduli dengan diri saya. (Sejak akhir 1998 Luh Wati diketahui hidup bersama seorang laki-laki Australia berusia 35 tahun. Aktivis LSM kami yang pemah ngobrol dengannya sepulangnya dari Jepang barubaru ini menemuinya di Kuta dan mewawancarainya. Rencananya ia akan segera meninggalkan Bali.) Sumber: Yayasan Anak Kita - 2000
IVrdtitfungim cUTcLKdi Inrioni'-tíu 61
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Para pedofil di Bali pada umumnya adalah warga negara asing. Mereka tampaknya saling berhubungan satu sama lain meskipun kelihatannya ada persaingan juga di antara mereka. Tentu saja, bal ini tidak berarti bahwa pedofil lokal tidak ada. Sampai sejauh ini belum ada informasi mengenai pedofil lokal. Selain itu, upaya untuk mencari mereka juga belum dilakukan. Bukti-bukti sementara menunjukkan bahwa para pedofil pada umumnya adalah professional kelas menengah yang berpendidikan tinggi. Untuk bisa mendapatkan anak-anak - biasanya anak . perempuan yang berusia kurang dari 13 tahun (beberapa dipilih yang belum menstruasi) - para pedofil biasanya mendekati para pemuka adat, tokoh masyarakat dan orang tua anak yang mereka incar dan menawarkan bantuan keuangan dalam jumlah besar. Ada pedofil yang menikahi janda-janda muda dan memelihara anak-anak mereka. Ada juga pedofil yang menikahi gadis-gadis yang masih sangat muda dari keluarga miskin, yang memang diperbolehkan oleh adat setempat. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini merllinjukkan bahwa para pedofil tersebut melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak mereka, membuat foto-foto erotik dari anak-anak tersebut, dan menjual pakaian bekas anak-anak, biasanya pakaian dalam, untuk merangsang fantasi seksual. Sasaran utama para pedofil ini biasanya adalah anak-anak perempuan.
PrnlugungtmclH£LK<1i Indnnesiu 62
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Daerah asal
Karangasem, Kintamani, dan Bangli
Tujuan
Kuta, Ubud, Candi Dasa, dan Denpasar
Pelaku/ Pedofil
Warga Australia, Perancis, Amerika, and Jerman - Sebagian besar laki-laki, meskipun ada perempuan Jepang yang dicurigai sebagai pedofil. Para pedofil ini biasanya mendapat bantuan dan penduduk setempat (para agen).
Informas! yang didapat dari seorang tokoh masyarakat terkemuka menunjukkan bahwa para agen lokal/ calo anak seperti Pak Sadem dalam kasus Luh Wati memainkan peranan yang amat penting dalam bisnis ini. Para calo ini mendapat bayaran cukup baik. Mereka tampaknya memiliki koneksi lokal yang baik. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki, terutama di daerah Kuta, pemah dideteksi. Tetapi, tidak ada keterangan-keterangan yang bersifat sistematis untuk membuktikan hal ini. Pada umumnya, anak laki-laki yang menjadi korban adalah anak-anak yang bekerja sebagai pedagang asongan. Selain itu, ada laporan tentang anak lakilaki Bali yang ditawarkan oleh orang tuanya kepada orang asing. Saat ini penelitian mengenai mengenai hal tersebut sedang dilakukan. Median Di Medan, pola-pola umum perdagangan anak juga terlihat dari kasus-kasus perekrutan anak yang dipekerjakan sebagai pelacur. Di sana agen-agen pelacuran secara aktif mencari anak-anak perempuan dari kalangan masyarakat miskin untuk dilacurkan. Mereka juga mendekati anak-anak pmiugimgHti anak.ii IndonfMui 63
Pola-pola
Perdagangan
Anak
perempuan yang stres karena masalah pribadi atau keluarga, atau para orang tua yang menawarkan anak-anak mereka untuk bekerja. Pusat-pusat perbelanjaan, bar, dan diskotek merupakan tempat para agen menyebar para informan dan perekrut yang telah ditugaskan untuk mencari anak-anak perempuan. Berikut ini adalah informas! yang umum diketahui mengenai perdagangan anak di Medan:
Daerah asal
Tembung, Helvetia, Tanjung Gusta, Semarang, dan Tanggerang
Daerah transit
Padang Bulan
Daerah Tujuan
Bandar Baru, Deli Serdang, Sicanang, Belawan, Warung Bebek, Firdaus, Rampah, Dumal, Tanjung Balai Karimun, Pekanbaru, Riau.
Banyak anak-anak perempuan berusia 15-18 tahun yang masih duduk di bangku sekolah dicurigai terlibat dalam pelacuran. Beberapa dari mereka diperdagangkan dari daerah pinggiran kota Medan dan beberapa di antaranya direkrut dari propinsi lain. Perilaku dan gaya hidup konsumtif merupakan faktor utama yang mendorong mereka menjual diri. Razia akhir-akhir ini yang dilakukan oleh polisi dan sejumlah kasus pengadilan mengenai perempuanperempuan muda yang "disimpan" di tempat-tempat hiburan sekaligus tempat pelacuran di Bandar Baru, menunjukkan keterlibatan beberapa sindikat pedagang anak. Di tempattempat hiburan tersebut, anak-anak perempuan ditempatkan di mangan yang amat sempit yang berisi 5 hingga 15 anak
Pcrdiigungun anakü 64
Pola-pola
Perdagangan
Anak
perempuan. Tempat-tempat hiburan itu dijaga amat ketat, supaya anak-anak perempuan yang dikurung di situ tidak dapat berkomunikasi dengan orang luar. Mereka mendapatkan perawatan kesehatan setiap bulan, tetapi harus dengan biaya sendiri. Pada awal dan akhir jam kerja (sekitar jam 18.00-02.00) ada angkutan yang membawa mereka ke dan dari tempat kerja. Di luar ini, segala sesuatunya bisa diatur dengan ijin dan persetujuan sang mucikari. Tabel 6 Ikhtisar rute perdagangan anak untuk eksploitasi seksual Daerah asal
Daerah transit
Tujuan lokal
Tujuan luar negeri
Nganjuk, Jember, Semarang, Tegal, Pekalongan, PurwodadiGrobogan, depara, Kuningan, Medan, Jakarta, Cirebon, Bogor, Samarlnda, Bandung, Bekasi, Boyolali, Gresik, Palembang, Garut, Sukabumi, Johar Baru, Indramayu Pemalang, Solo, Ujung Pandang, Banten, Wonoglri, Banjarnegara, Bali,
Batam, Jakarta, Lampung, Rlau, Denpasar, Medan, Jambi
Rlau, Batam, Belawan, Jakarta, Tanjung, Dumai, Balaikarlmun, Palembang, Solu, Bandar Baru, Sibolangit, Dell Serdang, Tanjung Batu, Surabaya, Jogyakarta, Denpasar
Malaysia (Kuala Lumpur dan Serawak), perbatasan Brunei Darussalam, Hong Kong, Taiwan dan Australia
IVrdiigungim aiiak li Indnncsiii 65 —
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Anak-anak yang diperdagangkan sebagai pembantu rumah tangga Perdagangan Anak Desa-Kota dan Antar Pulau Perdagangan anak perempuan dan laki-laki dari desa ke kota dan dari satu pulau ke pulau lain dijumpai di semua daerah penelitian. Di Jakarta, informan kami menemukan adanya permintaan yang sangat besar terhadap anak perempuan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, baik untuk mengasuh bayi, anak-anak maupun lansia. Adalah bal yang biasa jika perantara atau anak yang lebih tua, yang telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota besar seperti Jakarta, dibayar untuk mencari pembantu baru. Media massa di Jakarta juga pemah melaporkan kasus-kasus penculikan anak untuk dijadikan pembantu rumah tangga. Di Bali, agen penyalur pembantu rumah tangga secara aktif merekrut pendatang-pendatang baru dari Jawa Timur. Di Sumatera Utara (Medan) anak-anak dari Pulau Nias (laki-laki dan perempuan) diperdagangkan ke Medan untuk dipekerjakan di restorán-restorán Ciña. Di Medan, agen penyalur pembantu rumah tangga secara aktif merekrut anak-anak perempuan di daerah pedesaan - terutama keturunan Jawa - untuk dipekerjakan di kota-kota sebagai pembantu rumah tangga. Mereka dijanjikan akan dilatih untuk dipekerjakan sebagai pengasuh bayi atau baby sitter, yang biasanya mendapat gaji lebih tinggi dan menerima lebih banyak tunjangan daripada pembantu biasa). IVnltigungmiâriokili Indnncsiii 66
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Bila disimak, pola-pola perdagangan anak di satu wilayah dan wilayah lainnya memiliki banyak persamaan. Pada semua kasus, baik agen penyalur pembantu rumah tangga, calo/ perantara bayaran, atan mereka yang telah bekerja di kota sebagai pembantu rumah tangga (baik yang masih muda maupun yang lebih tua) mendapat bayaran ekstra bila berhasil mendapatkan anak-anak perempuan terutama yang telah lulus SD atau SLTP di desanya - untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Anak-anak perempuan ini biasanya berasal dari keluarga miskin tetapi mereka punya teman atau kerabat yang telah bekeija di kota. Dalam beberapa kasus, khususnya yang dijumpai di Medan, ada tukang ojek yang ditugasi untuk menemui calón pembantu rumah tangga di terminal bis dan membawanya kepada agen penyalur pembantu rumah tangga. Hal ini sudah umum diketahui oleh gadis-gadis desa yang ingin mencari pekeijaan di kota. Di Jakarta dan kota-kota lain, tukang sayur dan pemilik warung juga dapat dimintai tolong untuk mencarikan pembantu rumah tangga karena mereka biasanya tahu atau punya kenalan yang tahu siapa saja anakanak perempuan di desa mereka yang ingin mencari pekerjaan di kota. Selain itu, juga umum diketahui adanya keponakan, baik laki-laki maupun perempuan, yang diminta datang ke kota untuk bekerja pada paman atau bibi mereka sendiri. Sebagai imbalannya, biaya sekolah atau biaya pendidikan mereka selama bekerja akan ditanggung oleh paman atau bibi yang bersangkutan. Sayangnya, keponakankeponakan tersebut banyak yang akhirnya dipekerjakan PerdHgnngnn dOâkdt Indonesia 67
Pola-pola
Perdagangan
Anak
sebagai pembantu rumah tangga tanpa diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan apapun. Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan ke Luar Negeri sebagai Pembantu Rumah Tangga Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam pengiriman tenaga kerja tidak trampil ke luar negeri, terutama ke Malaysia (Adi, 1997; Triantoro, 1999). Selama dua puluh tahun terakhir, jutaan orang Indonesia - kebanyakan perempuan tidak trampil - baik secara legal maupun ilegal telah dikirim untuk dipekerjakan di banyak negara, terutama di negaranegara Timur Tengah dan Asia Tenggara serta negara Asia timur lainnya. Adi (1997) menyebutkan bahwa pada tahun 1984 Departemen tenaga Kerja mencatat 78 pemasok tenaga kerja, 29 di antaranya mempunyai spesialisasi dalam penempatan tenaga kerja di Arab Saudi. Walaupun banyak tekanan untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah karena kurangnya perlindungan terhadap pekerja dari berbagai tindakan/perlakuan yang tidak baik, pemerintah - terutama Departemen Tenaga Kerja - tetap mendukung pengiriman pekerja migran. Solidaritas Perempuan (SP), informan utama kami untuk masalah ini, mengemukakan bahwa sejak Indonesia dilanda krisis moneter, banyak pihak dan pejabat pemerintah yang merasa yakin bahwa pengiriman tenaga kerja ke luar negeri adalah salah satu cara untuk mengurangi penderitaan Perdugaugan QTlíikdi Indouesii» 68
Pola-pola
Perdagangan
Anak
rakyat kecil dari tekanan ekonomi dan kemiskinan. Pada umumnya, tenaga kerja Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri mempunyai pendidikan yang sangat rendah. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan dapat bertahan hidup di tengah krisis ekonomi yang berlarut-larut di Indonesia karena gaji pembantu rumah tangga di Indonesia amat rendah. Berbagai catatan menunjukkan, ada banyak tenaga kerja anak yang, walaupun masih berumur kurang dari batas usia yang secara sah diijinkan oleh hukum untuk bekerja (18 tahun), dapat dengan mudah diberangkatkan ke luar negeri untuk dipekerjakan setelah umur mereka yang tercantum di KTP dipalsukan (lihat laporan Adi, 1999 dan wawancara Solidaritas Perempuan). Banyak tenaga kerja Indonesia, termasuk anak-anak muda, yang pergi bekerja di luar negeri secara sukarela. Mereka tidak menyadari dan tidak diberitahu risiko bekerja di luar negeri. Mereka juga tidak tahu bahwa perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih sangat kurang. Banyak perempuan dan anak-anak bersedia bersusah payah dan melakukan perjalanan jauh agar bisa mendapat kesempatan bekerja di Malaysia dan negara Asia lainnya. Di sana mereka mendapat upah lima hingga sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan upah yang mereka terima kalau bekerja di Indonesia. Seorang pembantu rumah tangga di Taiwan, misalnya, menerima sekitar Rp 1,3 juta sebulan. Di Malaysia, pembantu rumah tangga rata-rata mendapat upah sekitar Rp 600,000 hingga Rp 1 juta sebulan, sementara di Jakarta, upah pembantu rumah tangga paling banyak I Vrdiignngjm anakd¡ imiom'»;» 69
Pola-pola
Perdagangan
Anak
hanyalah Rp 250,000 sebulan, itupun kalau beruntung. {Kompas, September 16, 2000). Departemen Tenaga Keija berpendapat bahwa bekerja merupakan salah satu hak dasar manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Karena itu, upaya-upaya mencegah perempuan dan anak-anak untuk bekerja di luar negeri sebagai pekeija migran dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak dasar manusia. Pemasok tenaga keija dan perusahaan jasa penempatan tenaga keija pada umumnya mempunyai cabang dan calo/ perantara di desa-desa. Penelitian Solidaritas Perempuan menunjukkan bahwa dalam menjalankan aksinya, para calo tenaga keija tersebut banyak mendapat bantuan dari aparat desa setempat, terutama camat dan lurah (kepala desa). Anak-anak desa yang dipilih untuk dipekerjakan sebagai pekerja migran pada umumnya tidak mempunyai surat-surat identitas yang layak seperti akte kelahiran atau KTP. Aparat desa setempat merupakan satu-satunya pihak yang dapat dimintai bantuan untuk memberikan KTP dan akte lahir kepada anak-anak itu, sekaligus memalsukannya. Untuk memperoleh KTP dan akte lahir, banyak sekali uang yang harus dibayarkan kepada oknum aparat desa tersebut. Selain itu, calón buruh migran juga harus membayar biaya pendaftaran untuk bekerja di luar negeri dan harus reía membiarkan upah bulanan mereka dipotong (biasanya sebesar 5 %) selama jangka waktu tertentu. Potongan tersebut dibayarkan sebagai imbalan kepada pemasok yang mengirim mereka bekeija ke luar negeri. I'enlagnnytin flFtflkdi lmlonyniii 70
Pola-pola
Perdagangan
Anak
SOPIAH: Dari Kerawang ke Beirut Sopiah (23 tahun) berasa! dan Kerawang, Jawa Barat. la meningga! ketika mencoba melarikan din; ia metompat keluar dari lantai Urna bangunan tempatia dan pekerja iainnya ditawan. la direkrut dari rumahnya oleh seorang agen pengirim tenaga kerja, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri dengan gaji besar. Sopiah dijanjikan akan bekerja deiapan jam kerja sehari dan mendapat uang lembur untuk setiap tambaban jam kerja. Sopiah dikirim oieh agen di Bandung bersama dengan saudara perempuannya dan 11 orang perempuan iain dari Subang dan Kerawang pada tanggai 15 Agustus^ 1998. Mereka tiba di Beirut, Lebanon, pada tanggai 170ktobéidan ditempatkan di sebuah penampungan. Keesokan harinya seorang perempuan yang menjadi majikannya mengambiinya untuk bekerja, tetapi Sopiah hanya bekerja seiama 13 hari dan kemudian ia kembaii ke tempat penampungan. Pada tanggai 9 Nopember 1998, ia mendapat majikan baru. ia bekerja di tempat majikan barunya hingga bulan Januari 1999. Pada tanggai 27 Januari 1999, ia ditemukan teiah meningga!. Ketika bekerja di Beirut, Sopiah pemah meiaporkan bahwa ia dan pekerja-pekerja iainnya diharuskan bekerja iebih dari 17jam sehari tanpa uang iembur Seiain ¡tu, ia dan pekerja-pekerja iainnya hanya mendapat upah US$100 sebuian. Upah ¡ni dipotong oieh agen seiama 5-6 bulan pertama tanpa mengindahkan kontrak yang teiah disepakati. Sopiah dan pekerja-pekerja iainnya diperiakukan sangatburuk. Tetapi sama sekaii tidak ada pertoiongan yang diberikan oieh masyarakat indonesia maupun konsuiat indonesia di Beirut... Sumber: Solidaritas Perempuan
Di Batam, ada semakin banyak rumah di daerah-daerah pemukiman yang digunakan sebagai tempat transit bagi buruh-buruh migran yang akan dikirim ke negara-negara PenItiKHtiKaiinïlciktIi Inrionanui 71
Pola-pola
Perdagangan
Anak
tetangga, terutama ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam. Menurut informasi, buruh-buruh tersebut diambil dari daerah-daerah lain di luar Batam, terutama dari Tanjung Uban, Kuala Tangkal, Propinsi Jambi. Paspor mereka dibuat di Pulau Bintan. Masih belum diketahui dengan pasti nasib buruh-buruh tersebut sesampainya di negara tujuan. Yang jelas, orang tua para calón buruh migran, agen pengirim, dan aparat pemerintah setempat terlibat dalam pengiriman, pencarían agen, pemalsuan KTP, pembuatan KTP "baru" dan pembuatan serta pengesahan surat-surat resmi lain yang diperlukan untuk memuluskan pengiriman buruh-buruh itu ke luar negeri. Anak-anak yang Diperdagangkan Sebagai Pengemis Perdagangan anak dengan motif untuk mempekerjakan anak sebagai pengemis di jalan-jalan merupakan hal yang umum dijumpai di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Jakarta Di kota-kota besar seperti Jakarta, banyak anak yang dibawa orang tua mereka untuk dipekerjakan sebagai pengemis di perempatan lampu merah dan tempat-tempat umum lainnya. Pada hari libur, khususnya pada hari Raya Idul fitri, banyak anak-anak dari luar Jakarta dan dari daerah miskin di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang didatangkan oleh orang tua atau wali mereka ke Jakarta untuk mengemis. Walaupun kita tidak mengetahui jumlahnya secara pasti, jumlah anakanak yang dipekerjakan untuk mengemis di Jakarta Pcniugangtin ¿Ulclkdi Indonesia 72
Pola-pola
Perdagangan
Anak
diperkirakan mencapai ribuan orang. Banyak di antara mereka masih berusia kurang dari 10 tahun. Sayangnya tidak banyak informasi mengenai apakah anak-anak ini juga dieksploitasi tenaganya untuk melakukan pekerjaanpekerjaan lain yang berbahaya. Batam Pengamatan di Batam menunjukkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan. Kalau ditelusuri, anak-anak jalanan yang mayoritas anak laki-laki ini rata-rata berasal dari Pariaman di Sumatera Barat. Beberapa dari anak-anak ini mengatakan bahwa mereka dijanjikan akan disekolahkan oleh kerabat mereka di Batam. Tetapi sesampainya di Batam, janji itu tidak ditepati sehingga akhirnya mereka menjadi anak jalanan. BaN Tipe perdagangan serupa juga terjadi di Bali dan Medan. Di Bali, kebanyakan anak-anak diambil dari desa-desa miskin di Karangasem dan Bangli, biasanya untuk dipekerjakan di Denpasar dan pantai-pantai yang banyak turisnya seperti Kuta, Gianyar, dan Tuban. Masyarakat Bali percaya bahwa tradisi merantau itu baik. Mereka beranggapan bahwa merantau merupakan bagian dari ritual keagamaan
yang
dimaksudkan
untuk
menempa
kesederhanaan dan kerendahan hati dalam diri anak yang merantau. Namun beberapa kasus yang ada agaknya menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi telah mengalahkan tradisi ini (lihat "Gde Si Pengemis"). Tipuan P.-nliigangim cifUll^di liidoiu-sja ~ Ya
Pola-pola
Perdagangan
Anak
dan paksaan digunakan untuk mengambil anak-anak miskin dari desa kampung halaman mereka untuk dipekerjakan sebagai pengemis. Gde si Pengemis Saya, / Gde Sudibya (bukan ñama sebenamya) biasa dipanggi! Gede. Saya ¡ahir di dusun Bunut, Trunyan, BangH. Umur saya sekarang kira-kira 14 tahun. Setahun yang lalu, saya ditawari pekerjaan di Denpasar oieh seorang iaki-iaki yang tidak saya kenai. Bahkan saya dijanjikan akan disekoiahkan di saiah satu SL TP sore di Denpasar. Saya heran kenapa orang itu baik sekaii sama saya. Seteiah saya pikir-pikir saya terima tawaran itu. Saya senang sekaii, begitu juga orang tua saya. Saya berangkat ke Denpasar bersama orang yang mengajak saya. Setibanya di Denpasar temyata apa yang saya dapatkan tidak seperti apa yang saya harapkan. Saya bersama anak-anak dari dusun Madya dan Karangasem dikumpuikan di suatu tempat. Kata temanteman, orang yang membawa saya itu bernama Pak De. Besoknya saya dan teman-teman disuruh mengemis. Saya tidak bisa berbuat banyak kecuaii menuruti perintah Pak De. Dia orangnyá gaiakdan suka mengancam. Setiap pagi saya diangkut dengan mobii ke suatu tempat. Di sana saya disuruh mengemis dari satu rumah ke rumah yang iain. Sorenya saya dijemput di tempat yang teiah ditentukan. Begituiah dari hari ke hari saya mengemis untuk Pak De karena hasii jerih payah saya mengemis semuanya diambii Pak De. Saya cuma dikasih sedikit. Setiap hari saya ngangendong (mengemis dengan harapan dapat barang), dan berhasii mendapatkan 5 sampai 10 kg be ras. Kalau beras itu dijuai, pasti Pak De dapat uang banyak. Seperti itutah nasib saya dan teman-teman saya sampai sekarang. Sumber: Nusa Tenggara, JuH 1998
tiriÊilÇdi Indoix-wia 74
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Medan Di Medan, juga ditemukan anak atan bayi yang disewakan untuk mengemis. Menurut informan, anak-anak atan bayibayi yang dimanfaatkan untuk mengemis di jalanan ada yang berasal dari pesantren dan
panti asuhan. Pada
umumnya anak-anak ini berasal dari keluarga miskin di luar kota Medan. Tampaknya bal ini diatur oleh sindikat-sindikat terorganisir yang menjual anak-anak dan mempunyai mekanisme perekrutan sampai ke desa-desa. Anak-anak yang diperdagangkan sebagai pengedar narkoba Dewasa ini, jumlah anak di bawah 19 tahun yang terlibat penyalahgunaan narkoba semakin meningkat. Suatu penelitian yang dilakukan di delapan kota baru-baru ini melaporkan kasus anak-anak yang memperdagangkan narkoba, mengalami ketergantungan, lalu dimanfaatkan oleh jaringan-jaringan besar pengedar narkoba untuk menjual narkoba guna memenuhi kebutuhan mereka sendiri akan obat-obatan tersebut (PKPM Universitas Katolik Atma jaya, 2000). Menurut para informan kami dari Gerakan Anti Narkotik di Denpasar, Bali, sindikat-sindikat narkoba memang menggunakan anak-anak untuk menjual narkoba, bahkan ada seorang anak yang dimanfaatkan untuk memperdagangkan narkoba hingga ke luar negeri. Tampaknya perlu studi yang lebih mendalam untuk menelaah masalah ini.
PvnliigmigMiitírictkdi IIUIoih'KÍU 75
Pola-pola
Perdagangan
Anak
Weni, Pecandu Narkoba Ñama saya Luh Putu Weni (bukan ñama sebenarnya). Usia saya 16 tahun. Sekarang saya tinggal bersama orang tua asuh di Sanur dan masuk kelas II di SLTA Negeri 6 Denpasar. Saya tinggal bersama orang tua asuh saya sejak kelas IISMP. Sebelum saya tinggal bersama mereka, keluarga saya sangat susah pada waktu itu sampai saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan ingin mencari pekerjaan supaya adik-adik saya bisa bersekolah. Barangkali saya agak beruntung. Ketika saya sedang bingung mencari pekerjaan, ada seseorang yang datang ke rumah mencari pembantu rumah tangga. Saya tidak tahu bagaimana orang itu dapat mengetahui rumah saya. Orang itu sangat baik dan bersedia menolong kami dari kesulitan ekonomi. Orang ¡tu juga berjanji akan membiayai saya melanjutkan sekolah hingga ke SLTA. Saya masih ingat kata-katanya," kamu tetap akan saya sekolahkan tetapi... Weniharus rajin membantu pekerjaan rumah di sini Kami sekeluarga setuju dan sayapun ikut bersama orang itu. Akhirnya, saya tinggal bersamanya dan diajari segala macam di rumahnya. Setelah tamat SMP, saya disuruh melanjutkan sekolah. Saya diterima di SLTA Negeri 6. Saat itulah saya dipaksa untuk menjual narkoba. Saya takut sekali tetapi saya tidak bisa menolak. Saya diberi tahu cara-caranya dan dipersiapkan secara matang. Katanya ia menjamin keselamatan saya, tetapi ia mengancam akan membunuh saya kalau saya berani lari. Sedikit demi sedikit saya mulai dipaksa mengedarkan narkoba sampai saya stres dan akhirnya menjadi pemakai. Saya mengalami ketergantungan obat dan hal ini ia manfaatkan sebaikbaiknya. Beberapa kali saya mencoba kabur, tetapi selalu gagal. Saya pemah bolos sekolah dan lari ke Jakarta selama 13 hari tetapi ternyata saya sudah dibuntuti sejak awal. Saya ditangkap dan diancam akan diperkosa ramai-ramai kemudian dibunuh kalau saya berani kabur lagi. Masalah ini pernah saya bicarakan dengan orang tua saya dan saya bertekad akan melaporkannya ke polisi. Tetapi belum sempat keluar rumah, kami sudah dihadang oleh grombolan mereka. Akhirnya semuanya saya jalani dengan pasrah. Saya sekarang menjadi pemakai sekaligus
Pmtu^unK11'1 anak di Indont'Mn 76
Pola-pola
Perdagangan
Anak
pengedar narkoba yang bekerja untuk dia dan anggota kelompoknya. Bahkan saya juga diajak mengikuti pertemuan jaringan organisas! mereka di sebuah hotel di kawasan Nusa Dua. Sumber: Gerakan Anti Narkoba (GAN) Bali-Rekontruksl oleh Yayasan Anak Klta (Aklta)-Bali
Anak-anak yang dipekerjakan di perkebunan selama musim tanam dan musim panen Di Medan, dijumpai adanya anak-anak yang dibawa dari satu wilayah ke wilayah lain bersama orang tua mereka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan terutama selama musim tanam dan musim panen kopi, coklat, dan produk perkebunan lainnya. Untuk memastikan apakah bal ini dapat dikategorikan sebagai perdagangan anak atau bukan, diperlukan informasi yang lebih rinci - seperti ada tidaknya sistem pembayaran dimuka, ada tidaknya paksaan dan ancaman, dan ada tidaknya unsur penipuan. Anak-anak yang diperdagangkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang amat memeras tenaga mereka, seperti misalnya pekerjaan di jermal Banyak anak-anak desa diambil untuk dipekerjakan di jermal-jermal, yang terletak 5 sampai 10 mil jauhnya dari pesisir pantai Sumatera. Anak-anak ini pada umumnya adalah anak-anak putus sekolah atau jebolan sekolah dasar yang berasal dari keluarga miskin dan tidak mempunyai kegiatan lain untuk mendapatkan penghasilan di desanya. Pw-dufíiinjíaii anak
Pola-pola
Perdagangan
Anak «
Daerah-daerah yang sudah dikenal sebagai tempat para pemasok dan calo mengambil
anak-anak untuk
diperdagangkan di jermal-jermal adalah sebagai berikut: Tabel 7 Daerah-daerah yang sudah terkenal sebagai daerah pemasok anak-anak untuk dipekerjakan di jermal: 1 Kabupaten Asaban
2 Kabupaten Simalungun
3 Kabupaten Labuhan Batu 4 Kabupaten Deli Serdang
5 Beberapa daerah di Tapanuli 6 Kota Medan
Daerah-daerah di sekitar kota Kisaran, desa Lubuk Palas, keca-matan Air Joman, perkebunan Tinjauan, Sei Bejangkar, Lima Puluh, dan daerah-daerah lain. Daerah-daerah di sekitar Tanah Jawa, kota Siantar, Bandar Pulau, Serbelawan dan daerah-daerah lain. Daerah-daerah di sekitar Rantau Parapat dan Air Batu. Daerah-daerah sekitar Perbaung-an, Galang, dan Pulau Gambar Umumnya anak-anak jalanan dan anak-anak putus sekolah yang diperdaya untuk bekerja di jermal oleh pemasok tenaga kerja anak.
Sumber: laporan ILO/IPEC, Mel 2000. Mereka yang menyediakan dan membawa anak-anak untuk dipekerjakan di jermal biasanya menerima Rp. 15.000 hingga Rp. 20.000 per anak dari pemilik jermal. Orang tua anak-anak itu juga menerima uang yang jumlahnya Pcrdugtinptincilïldkdi I 78
Pola-pola
Perdagangan
Anak
bervariasi, sebagai uang muka. Kalau pulang kampung, anak-anak jermal ini sering kali diminta membantu pemilik jermal mencarikan anak-anak lain untuk dipekerjakan di jermal. Namun, tidak semua anak yang bekerja di jermal dapat dikategorikan sebagai anak-anak yang diperdagangkan karena beberapa dari mereka mau bekerja di jermal secara suka reía dan sebelumnya sudah diberitahu tentang kondisi kerja yang akan mereka jalani. Tidak mudah untuk menentukan mana anak yang diperdagangkan dan mana yang tidak.
MH ingin pulang ke rumah MH (13 tahun) direkrut untuk bekerja di jermal Lian Hok di Tanjung Tiram, Asaban, dua bulan yang lalu. Setelah hampir dua bulan bekerja, ia sudah tidak tahan lagi untuk terus bekerja di sana. MH bekerja siang malam mengangkat jaring penangkap ikan, memilah-milah ikan, menyisiki, menjemur dan menggerus ikan. Anjungan penangkapan ikan ini mempekerjakan 6 anak berusia kurang dari 17 tahun. Upah MH tak akan dibayar kalau ia pulang kampung sebelum genap bekerja tiga bulan penuh sesuai perjanjlan yang umum berlaku untuk pekerjaan di jermal. Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) tidak berhasil membawa kasus ini ke pengadilan karena MH belum mempunyai KTP atau akte kelahiran atau kartu keluarga yang dapat menunjukkan bahwa ia masih belum cukup umur untuk bekerja. Upaya-upaya untuk menolong MH masih terus dilakukan, namun tidak mudah, walaupun sudah mendapat dukungan dari ILO/IPEC dan Departemen Sosial Sumatera Utara. Sumber: KKSP, Me¡ 2000
Perdagangan anaKdi Indonesia 79
Pola-pola
Perdagangan
Pt'rdti¿¿unpuii I Í.Í lili1! 80
Anak
Kebijakan
dan
Tanggapan
V Kebijakan dan Tanggapan
Kebijakan Pemerintah dan Hukum Dengan belajar dari negara-negara seperti Filipina, Thailand, Vietnam, dan Kamboja, kita menyadari bahwa upayaupaya untuk memerangi perdagangan anak membutuhkan langkah-langkah yang sifatnya amat kompleks, yang mencakup aspek perundang-undangan, aspek sosiologi dan aspek psikologis. Sebagai contoh, di Thailand masalah perdagangan anak ditanggapi dengan perumusan kebijakan nasional, yang di satu sisi mendekriminalisasikan (menghapuskan semua pelanggaran atau tindak pidana yang pemah dilakukan) korban, yaitti anak-anak dan perempuan yang berhasil diselamatkan, tetapi di sisi lain mengkriminalisasikan (menjatuhkan dakwaan tindak kejahatan) dan mengenakan hukuman yang berat kepada pelaku dan mereka yang memperoleh manfaat dari kegiatan perdagangan tersebut, mempermudah upaya pemerintah untuk melakukan koordinasi dengan kelompok-kelompok masyarakat dan LSM-LSM, melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, dan mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga dan negara-negara asal para pelaku untuk menanggulangi perdagangan anak. Dr. Wanchai Roujanavong, Jaksa Agung Thailand, menekankan bahwa untuk memerangi perdagangan anak PerdagHiigHn ¿UtElKdi IndoiieHiu 81
Kebijaka.n
dan
Tanggapan
"Anda membutuhkan peraturan hukum yang baik - tidak hanya satu tetapi banyak!". Menurut Wanchai, untuk memerangi perdagangan anak, pertama-tama negara hams secara terbuka mengakui bahwa perdagangan anak memang ada dan terjadi dan masalah ini hendaknya menjadi keprihatinan setiap warganegara dan pemerintah. Demikian presentasi Wanchai pada Pertemuan Konsultatif Regional ECPAT (Hentikan Pelacuran Anak, Pomografi Anak, dan Perdagangan Anak Untuk Eksploitasi Seksual) tanggal 28 Agustus 2000. Sayang, Indonesia belum dapat melangkah maju mencapai satu tahap awal untuk memprakarsai suatu perencanaan yang bersifat konstruktif di bidang kebijakan anti perdagangan anak. Walaupun belum ada kebijakan yang komprehensif mengenai upaya untuk menghapus perdagangan anak di Indonesia, sebenamya peraturan pemndang-undangan yang ada sudah menjatuhkan sanksi hukum terhadap perdagangan anak. Misalnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 297 menyebutkan bahwa:
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Sayangnya, pasal ini tidak pemah dilaksanakan, setidaktidaknya karena tiga alasan. Pertama, perdagangan perempuan sering dihubungkan (atau dianggap berkaitan) dengan pelacuran. Hal ini dibahas dalam pasal-pasal lain RenhigungunQrUlkdi Indoni'siu 82
Kebijakan
dan
Tanggapan
(yaitu pasal 330-335) yang menjatuhkan hukuman yang lebih berat. Kedua, perdagangan anak perempuan tidak dibedakan dari perdagangan perempuan dewasa. Ketiga, penegak hukum jarang menemukan kasus anak laki-laki yang diperdagangkan. Dalam kasus polisi menemukan anak perempuan dikurung untuk tujuan prostitusi, pasal 332 digunakan untuk menjerat pelakunya. Pasal 332 menetapkan:
1)
Diancam dengan pidana penjara: Ke-1. Paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar pernikahan; Ke-2. Paling lama sembilan tahun barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar pemikahan;
2)
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan
3)
Pengaduan dilakukan a.
Jika wanita ketika dibawa pergi belum cukup umur, oleh dia sendiri, atau orang lain yang hams memberi izin bila dia nikah;
b.
Jika wanita ketika dibawa pergi sudah cukup umur, oleh dia sendiri atau oleh suaminya Pcrdiifliingim Uimkdi Imlonrsiu 83
Kebijakan
dan
Tanggapan
Hakim dapat mempertimbangkan hukuman tambaban berdasarkan pasal 334 dan 335 tentang pembatasan kebebasan dengan paksaan. Dalam analisanya mengenai tanggapan intemasional terhadap masalah pelacuran anak, Abe (1997) hanya berhasil menemukan perangkat hukum yang sangat terbatas yang dapat digunakan Indonesia untuk mencegah pelacuran anak. Abe tidak menemukan adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat atau menjatuhkan sanksi hukum terhadap mereka yang terlibat dalam prostitusi dan pornografi anak. Pasal 282 KUHP, misalnya, melarang upaya-upaya menyiarkan, mempertunjukkan atau membawa bahan-bahan pornografi dari satu tempat ke tempat lain untuk konsumsi umum, tetapi sama sekali tidak mempermasalahkan aspek-aspek seperti produksi dan perbanyakan bahan-bahan pomografi. Ada beberapa pasal KUHP yang dapat digunakan untuk memerangi eksploitasi seksual terhadap anak. Pasalpasal tersebut adalah:
•
Pasal 287( 1 ) barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
Perdugangan dTIâlCdi Indnneniu 84
Kebijakan •
dan
Tanggapan
Pasal 290 diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (ke-3) barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan oran lain.
•
Pasal 292 orang yang belum cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
•
Pasal 293 (1) barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan
sengaja
menggerakkan
seorangbelum cukup umur dan baik tingkahlakunya, untuk melakukan aatau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padaahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
•
Pasal 294 ( 1 ) barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak ¡IIUlk'l IIMIoiu'KÍH 85
Kebijakan
dan
Tanggapan
di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
•
Pasal 295 ( 1 ) diancam: (ke-1 )dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya', yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain
•
Pasal 301 barangsiapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya yang sah dan umumya kurang dari dua belas tahun, padahal diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
Pmla^aiiicimQIlflJCdi Indonewia 86
Kebijakan
dan
Tanggapan
Perangkat hukum yang lain yang disebutkan dalam bab ini, adalah Keputusan Menteri No. KEP-204/MEN/1999 Departemen Tenaga Kerja, yang menggantikan Peraturan Menteri sebelumnya No. PER-02/MEN/1994 tentang Penempatan Pekerja Kontrak Indonesia Di Dalam Negeri Maupun di Luar Negeri dan Peraturan Menteri No. KEP44/MEN/1994 tentang Pedoman Umum Penempatan Tenaga Kerja. Keputusan Menteri yang baru ini memberikan peraturan-peraturan yang lebih komprehensif mengenai perekrutan calon pekerja dan juga memberikan kriteria bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perekrutan dan penempatan tenaga kerja (pemasok tenaga keija). Untuk melengkapi keputusan ini, Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan Pedoman Penempatan Tenaga Kerja Ke Luar Negeri (Depnaker, 1999/2000). Disamping itu, Asosiasi Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia juga telah menerbitkan dan menyebarluaskan pedoman operasional bagi para penyalur jasa tenaga kerja Indonesia yang menjadi anggotanya. Perangkat hukum lain yang relevan adalah UndangUndang No. 4/1979 mengenai Kesejahteraan Anak (yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial). Berdasarkan pasal 10 undang-undang ini, negara dapat mengambil hak asuh anak dari orang tua jika terbukti mereka tidak dapat mengasuh anaknya secara layak sebagaimana seharusnya. Namun, peraturan pelaksana undang-undang ini, yang seharusnya diatur melalui Peraturan Pemerintah, tidak pernah dirumuskan. Perdugmiguii clUclKdi 87
Kebijakan
dan
Tanggapan
Mengenai masalah anak yang memakai dan memperdagangkan narkoba, Pasal 87 Undang-Undang No. 22/1997 mengenai Narkoba menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka yang membujuk, menipu dan memaksa anak-anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum (ilegal) yang didefmisikan, dalam pasal-pasal lain, sebagai perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan upayaupaya menanam, memanen, memproduksi, memperdagangkan ganja dan obat-obatan terlarang lainnya. Tanggapan Pemerintah Tidak banyak yang dapat dikatakan mengenai tanggapan pemerintah terhadap perdagangan anak dan perempuan karena masalah ini belum secara resmi diakui sebagai masalah nasional. Secara umum negara mengakui bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab yang paling signifikan dalam kasus anak yang berada dalam kondisi yang sulit. Untuk menanggapi masalah ini, pemerintah telah memprakarsai sejumlah program, misalnya program Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA) yang diperkenalkan tahun 1997 dalam bentuk pemberian pinjaman (kredit) mikro bagi keluarga-keluarga berpenghasilan rendah untuk membantu mereka mendapatkan penghasilan tambaban. Pemberian pinjaman ini merupakan bagian dari program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan melalui Departemen Sosial. Di samping itu, Pemerintah menyediakan bantuan sebesar 31 juta dolar Amerika yang berasal dari pinjaman PerdagangiindFlâl^di Indonesia 88
Kebijakan
dan
Tanggapan
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) untuk membiayai Program Perlindungan Sosial (Social Sector Protection Program) dan Program Pengembangan Kesehatan dan Gizi (Health Nutrition Sector Development Program). Program ini ditujukan untuk anak-anak jalanan dan anakanak miskin lainnya. Bila dilaksanakan dengan tepat dan memadai, program ini akan dapat mengurangi risiko eksploitasi seksual yang dihadapi anak-anak jalanan. Sayangnya, program-program yang disebut di atas tidak secara khusus dirancang untuk menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan anak meskipun program-program itu dapat ikut membantu mencegah perdagangan perempuan dan anak. Satu-satunya kebijakan yang merupakan tanggapan yang relevan terhadap upaya memberantas perdagangan anak diprakarsai oleh Depatemen Tenaga Kerja untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerja anak di jermal. Untuk mencegah anak direkrut untuk dipekerjakan di jermal, pada tahun 1999 pemerintah membentuk komisi tingkat tinggi yang bertugas memberantas perburuhan anak di jermal. Komisi tersebut memulai tugasnya dengan melakukan penelitian yang melibatkan pemerintah daerah, LSM dan angkatan laut. Dicurigai ada oknum marinir yang menjadi beking pengoperasian jermal. Sejumlah anak yang ditemukan bekerja di jermal diambil oleh pemerintah daerah untuk direhabilitasi dan diberi pendidikan keterampilan, lalu dikirim untuk magang, Pen
i,'ari UDclkcli Indoneniu 89
Kebijakan
dan
Tanggapan
dan akhimya bekerja, di perkebunan-perkebunan sebagai alternatif, tetapi tanpa adanya skema perlindungan sosial sama sekali. Setelah itu, upaya-upaya pemerintah untuk mencari dan mengambil anak-anak yang bekerja di jermal dihentikan. Tetapi, dengan program ILO-IPEC, kerja sama dengan LSM, pemantau independen, pemerintah dan angkatan laut untuk mencari dan mengambil anak-anak yang bekerja di jermal kembali dimulai, tetapi kali ini disertai dengan program-program perlindungan sosial. Ketika negara menangani anak-anak perempuan (gadis-gadis belia) yang direkrut menjadi pelacur, penanganan dilakukan tanpa membedakan anak-anak dari orang dewasa dan pendekatan yang dilakukan bersifat amat umum. Semua perempuan yang terlibat pelacuran, baik yang masih anak maupun yang dewasa, dianggap secara sukarela mau menjadi pelacur dan dijatuhi sanksi hukum.9 Hal ini berlawanan dengan hukum karena menurut hukum, hukuman harus ditujukan kepada orang yang merekrut perempuan untuk dijadikan pelacur dan mucikarinya. Kenyataannya cukup sering dijumpai adanya aparat penegak hukum yang memanfaatkan para pelacur untuk memeras uang dari mucikari mereka. Tentu saja, hal ini tidak dapat dianggap sebagai tanggapan negara meskipun negara tidak berbuat apapun untuk menghentikan oknum pemerintah yang melakukan pemerasan. Selain itu juga dijumpai kasus9 Polisi atau aparat penegak hukum dapat menggunakan Pasal 281(a) KUHP yang menghukum mereka yang dengan sengaja mengabaikan norma-norma etika dalam masyarakat. Aparat penegak hukum lainnya dapat menggunakan peraturan pemerintah daerah (misalnya, Perda No. 11/1995 di OKI Jakarta) mengenai keamanan umum dan gangguan ketertiban umum. Perdii^un^unUllâkai Indonrsiu 90
Kebijakan
dan
Tanggapan
kasus penculikan dan penipuan terhadap gadis-gadis belia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam kasuskasus seperti ini sanksi hukum diberikan kepada para pelaku. Meningkatnya kesadaran di kalangan aparat pemerintah mengenai anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus dan tekanan international yang lebih kuat terhadap pelaksanaan hak-hak anak mendorong pemerintah Indonesia meratifikasi dua Konvensi ILO yang penting, yaitu Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja (yang diratifikasi melalui UU No. 20/1999) dan Konvensi ILO No. 182 mengenai Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (yang diratifikasi melalui UU No.l/ 2000). Sebagai tindak lanjut ratifikasi ini, pemerintah, dengan bantuan ILO-IPEC, menyusun rencana aksi nasional (national plan of action). Di samping itu, UNICEF dan dewasa ini juga UNESCO, secara akfif terlibat dalam advokasi hak-hak anak dan juga menyeponsori proyek-proyek penanggulangan dampak kemiskinan dan krisis ekonomi terhadap anak, dan untuk meningkatkan kualitas perhatian dan penanganan terhadap anak-anak yang diperlakukan semena-mena. Organisasi-organisasi masyarakat dan LSM menanggapi isu perdagangan anak dengan berbagai cara. LSM Solidaritas Perempuan, misalnya, secara aktif melakukan pemantauan dan memberikan bantuan hukum bagi perempuan dan anak (perempuan) yang dipekerjakan sebagai pekerja migran dan telah mengalami berbagai tindak I Vn
flTV-jkdi Indom'shi 91
Kebijakan
dan
Tanggapan
kekerasan. Hasil kerja mereka telah diakui baik oleh Depnaker maupun oleh perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Jaringan 13 LSM yang difasilitasi oleh AusAID melalui bantuan teknis dari PKPM Universitas Katolik Atmajaya telah memberikan konseling psiko-sosial, pelayanan kesehatan dan kegiatan reintegrasi lainnya bagi anak-anak (perempuan) yang dipaksa bekerja dalam industri seks komersial. Program yang dimulai tahun 1999 ini telah dilanjutkan dan terus dikembangkan dalam tahun-tahun berikutnya. Menurut penilaian mereka sendiri, setiap LSM sekurang-kurangnya telah menjangkau lebih dari 40 anak. Meski begitu, belum ada upaya penyelamatan massai/ secara besar-besaran (massive rescue) karena keterbatasan sumber daya yang ada dan lemahnya perlindungan yang dapat diberikan. LSM-LSM lainnya berupaya memberikan informasi kepada masyarakat yang tinggal di daerah asal anak-anak yang direkrut untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan perkebunan (tembakau, karet, tebu dan lain-lain). LSM-LSM seperti LAAI (Lembaga Advokasi Anak Indonesia) dan PPAI (Persatuan Perlindungan Anak Indonesia) di Medan telah melakukan studi mengenai anak-anak yang dipekerjakan di perkebunan tebu di wilayah Binjai Timur, Sumatra Utara (Iksan, E,S. Ediyono, H. Siregar, & A. Martua, 2000). Studi tersebut didanai oleh American Center for International Labour Solidarity (ACILS). Yayasan Herdtt^iuifianUrmk
Kebijakan
dan
Tanggapan
AKATIGA (Bandung) diketahui telah melakukan penelitian deskriptif mengenai keluarga dan anak-anak yang dipekerjakan di perkebunán di Deli Serdang, Sumatera Utara, dan di Jember, Jawa Timur. Tetapi masih belum jelas apakah mereka mempunyai program untuk menindaklanjuti studi mengenai anak-anak yang dipekerjakan tersebut. Satu LSM di Bali bekerja secara terselubung dengan bantuan kepolisian dan Interpol untuk menyingkap kasuskasus kekerasan seksual dan perdagangan anak oleh para pedofil. LSM ini juga menyediakan pelayanan rehabilitas! untuk anak korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya di pulau Bali. Organisasi Intemasional lainnya seperti Terres de Homes (Belanda), Save The Children Fund (Inggris), ECPAT (Australia), secara aktif membantu LSM menangani beberapa aspek perdagangan anak. ECPAT-Australia misalnya baru-baru ini mengadakan lokakarya mengenai pariwisata intemasional dan anak yang dilacurkan untuk Perhimpunan Hotel dan Restorán di Indonesia. Plan International dan UNICEF menangani masalah sulit yang berkenaan dengan akte kelahiran dan dampaknya terhadap kesejahteraan anak. Tahun 1998 UNICEF meminta Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (LPUI) melakukan penelitian mengenai akte kelahiran di Jakarta, Sambas di Kalimantan Barat, Sampang di Madura dan Minahasa di Sulawesi Utara (LPUI-UNICEF,1998). Studi P ini merupakan bagian dari pemantauan pelaksanaan Konvensi Hak Anak (CRC) yang ditentukan dalam pasal 7 Konvensi. Dari sejumlah kecil informan (n=154) ditemukan Perdagangan UDâkd i Indonesia 93
Kebijakan
dan
Tanggapan
bahwa tingkat pencatatan kelahiran sangat rendah karena beberapa alasan. Alasan utama adalah tidak adanya fasilitas untuk membuat akte kelahiran (karena fasilitas seperti itu tidak tersedia di rumah sakit atan di kecamatan setempat) atan karena diskriminasi rasial terhadap anak-anak yang dilahirkan dari kelompok minoritas yang dalam hal ini adalah keluarga-keluarga Tionghoa. Alasan lain adalah besamya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat akte lahir. Beberapa keluarga enggan mencatatkan kelahiran anaknya yang pertama karena adanya kepercayaan tradisional bahwa anak yang dilahirkan pertama kali mungkin tidak akan bertahan hidup dan karena itu tidak perlu dicatatkan. Plan International pernah melakukan penelitian serupa pada tahun yang sama (Plan International, 1998). Sebuah seminar nasional yang diorganisir oleh Departemen Dalam Negeri juga pemah diselenggarakan pada bulan Mei 1999. Sejak tahun 1999, pencatatan kelahiran dimasukkan dalam angket survei antar sensus oleh Biro Pusat Statistik. Tanggapan-tanggapan yang diuraikan di atas hanya merupakan gambaran kasar dan kurang terkoordinasi. Di samping itu, pengumpulan data tidak dilakukan secara sistematis. Hal ini mempersulit penyusunan strategi yang lebih tepat dan berkualitas.
Herdagungan ciUcLKdi Indonesia 94
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya VI Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya
Salah satu masalah yang dijumpai dalam upaya untuk menanggulangi perdagangan anak adalah reaksi dan persepsi masyarakat yang berbeda-beda terhadap masalah ini. Ada orang-orang yang sama sekali tidak peduli terhadap masalah ini. Mereka mungkin beranggapan bahwa hal ini terlalu dibesar-besarkan karena toh banyak anggota masyarakat yang memperoleh keuntungan dari pemindahan tenaga kerja dari tempat asalnya ke tempat lain, seperti kasus pekerja kontrak intemasional atau pekerja migran illegal di luar negeri (Adi, 1999) dan kasus di Indramayu, Jawa Barat, (Irwanto,et.al,1997) yang melibatkan pengiriman gadisgadis belia dari desa ke kota untuk dilacurkan. Dalam bab ini kami berupaya menggali berbagai reaksi yang berbeda dari pihak-pihak terkait serta kemampuan mereka dalam menanggapi masalah ini. Masyarakat Masyarakat-masyarakat miskin, misalnya yang ada di daerah Indramayu, pada umumnya tidak terlalu peduli
Perthigangan cUlcikdi indonesia 95
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya dengan masalah perdagangan perempuan dan anak. Mereka menganggap anak sebagai harta atan modal yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Secara umum, perdagangan anak tidak dilihat sebagai kekeliruan melainkan strategi untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik. Di Pulau Batam, anak yang dipekerjakan sebagai pelacur justru dipersalahkan dan dikutuk. Mereka harus bertanggung jawab terhadap pilihan mereka sendiri dan harus menanggung sendiri akibatnya. Masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa anak-anak perempuan yang bekeija sebagai pelacur sebenamya tidak tahu kalau mereka telah ditipu sebelum mereka diperdagangkan. Banyak pemuka agama tidak sudi menangani masalah ini karena masalah ini berlumur dosa. Bagi komunitas di Bali, yang merupakan daerah tujuan wisata terpenting di Indonesia, industri seks merupakan bagian dari pemasukan kas daerah. Ada yang memilih untuk bersikap tutup mata terhadap akibat perdagangan anak untuk pelacuran. Salah seorang anggota keluarga yang menjadi korban pedofil mengatakan dalam suatu wawancara :
" Saya tidak tahu. Saya bodoh. Saya orang desa. Yang saya tahu, anak saya kerja di luar negeri. Yang saya tahu anak saya sering pergi bersama seorang turis. Laki-laki itu sering datang ke sini. la sangat ramah poda saya. "
Herdagangan QTlíikdi Indonesia 96
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Kami sudah mendengar kabar tentang anak-anakyang disuruh mengemis, anak-anak yang jadi pencopet, pelecehan seksual yang dilakukan pada anak-anak dan hal-hal lainnya,
tetapi kami tidak pernah
membicarakan hal ini dalam pertemuan Banjar karena ini merupakan urusan pribadi, bukan urusan orang banyak.
Pada umumnya para pemimpin/ pemuka masyarakat mengetahui masalah perdagangan anak. Mereka tahu bahwa masalah ini bersifat Untas negara. Mereka juga mengakui bahwa proses perekrutannya melibatkan orang-orang setempat, oknum militer dan turis asing, baik laki-laki maupun perempuan. Yang lain melihat hal ini sebagai indikasi bahwa persepsi sebagian kecil masyarakat telah berubah. Individualisme dan keuntungan ekonomi telah menggeser rasa solidaritas dan nilai-nilai moral spiritual yang dulu dijunjung tinggi dan merupakan prioritas utama kehidupan. Tokoh-tokoh adat dan pemimpin-pemimpin agama di Bali sadar akan masalah ini namun mereka masih yakin bahwa sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak yang didatangkan dari Jawa untuk diperdagangkan ke Malaysia, Singapura, Jepang dan Hongkong dan dipekerjakan dalam industri seks komersial. Bagaimanapun, pemimpin-pemimpin ini tidak percaya bahwa sindikat nasional dan intemasional perdagangan anak beroperasi di Bali. Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa anak-anak Bali bekerja sebagai pengemis dan pedagang asongan di
Perdagangan âJlclkdi Indonesia 97
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya pantai-pantai di Sanur dan Kuta, informan kami mengakui bahwa mereka berasal dari desa Karangasem (Bangli) yang sarat dengan kemiskinan dan tradisi. Secara spiritual, orang-orang yang berasal dari wilayah ini percaya bahwa berkelana dalam kesederhanaan dan kemiskinan merupakan bagian ritual keagamaan dan suatu kewajiban. Namun ketika kehidupan menjadi semakin sulit, urusan ritual ini tiba-tiba menjelma menjadi upaya untuk bertahan hidup dengan melakukan pekerjaan apa saja yang dapat menghasilkan uang (economic survival). Di Medan beberapa informan yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan berpendapat bahwa perdagangan anak dan perempuan merupakan akibat kemiskinan. Mereka berpendapat bahwa beberapa keluarga miskin tidak mempunyai pilihan lain selain menawarkan anak-anaknya ke agen atau sindikat perdagangan anak untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks, pekerja pabrik, atau pembantu rumah tangga. Di bawah tekanan ekonomi yang amat berat, keluarga-keluarga miskin melihat peluangpeluang yang ditawarkan di sektor tersebut sebagai kesempatan untuk bertahan hidup. Mereka berpikir bahwa anak-anak sudah sepantasnya bekerja untuk membantu keluarga. Di lain pihak, anak-anak melihat pekerjaan sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk melayani keluarganya. Salah seorang anggota DPRD Medan mengakui bahwa perdagangan anak-anak tidak pemah masuk dalam agenda pembahasan DPRD. « Perdaganganâïlâkdi Indonesia 98
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Banyak orang melihat masalah ini dari sudut pandang moral. Mereka percaya bahwa salah satu cara untuk menghindari perdagangan anak adalah memberikan bimbingan keagamaan sedini mungkin kepada anak-anak. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana bimbingan keagamaan dapat mengatasi tekanan ekonomi. Di dalam masyarakat biasanya ada sejumlah kelompok dan organisasi yang potensial, yang mempunyai kapasitas untuk menangapi masalah perdagangan perempuan dan anak. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat telah gagal untuk memahami hakekat dan luasnya masalah. Karena itu LSM belum dapat melibatkan masyarakat dalam program-programnya. Sebenamya, banyak organisasi-organisasi keagamaan, seperti misalnya Muhammadiyah, Nahdathul Ulama, dan persekutuan gerejagereja Katolik dan Protestan, yang mempunyai fasilitas pendidikan dan kesehatan yang dapat digunakan untuk membantu anak yang menjadi korban. Masalahnya, organisasi-organisasi keagamaan ini sudah lama sekali tidak menangani masalah perdagangan anak karena masalah ini secara politis sensitif dan di jaman Orde Baru, dipandang sebagai hal yang dapat merusak citra organisasi. Namun saat ini organisasi-organisasai keagamaan tersebut telah membuat pemyataan, bahkan beberapa di antaranya telah mempunyai program-program penanggulangan untuk menangani masalah ini, khususnya perdagangan perempuan dan anak sebagai pekerja intemasional dan pelacuran. Di Batam ada organisasi keagamaan (gereja Kristen) yang Perdagangan cfflsltdi Indonesia 99
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya memberikan bantuan kepada anak-anak yang menjadi korban perdagangkan anak, baik yang dijadikan pelacur maupun pembantu rumah tangga. Bantuan yang bermanfaat sebenamya dapat diberikan oleh organisisasi sukarela seperti PKK dan Kelompencapir yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu. Keduanya didirikan di semua provinsi sampai di tingkat kecamatan dan desa. Masalahnya, pada jaman Orde Barn, organisasi-organisasi ini dipandang sebagai asesoris politik yang dimanfaatkan untuk memenangkan pemilihan umum. Meskipun ada banyak manipulas! politik di masa lalu, studi yang lebih mendalam dibutuhkan untuk mengevaluasi dukungan dan efektifitas dari organisiasi-organisasi ini. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jakarta Beberapa LSM mengambil sikap sangat kritis. Solidaritas Perempuan (SP) misalnya menganggap bahwa pengiriman perempuan ke luar negeri untuk dipekerjakan sebagai buruh/ pembantu rumah tangga merupakan perdagangan (trafficking). Secara khusus, mereka menekankan bahwa faktor keuntungan merupakan unsur terkuat yang memotivasi pengiriman buruh perempuan Indonesia ke luar negeri. Solidaritas Perempuan amat vokal dalam menyoroti bahwa pada kenyataannya pengiriman buruh perempuan ke luar negeri hanya membuat agen-agen penyalur jasa tenaga kerja dan oknum-oknum pemerintah yang korup hidup makmur Perdagungtm âJTldkd i 100
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya sekian tahun sementara perlindungan bagi para pekerja perempuan tersebut dapat dikatakan tidak ada. Solidaritas Perempuan mendukung
himbauan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan agar pemerintah menghentikan pengiriman buruh-buruh perempuan Indonesia ke Timur Tengah sampai terbentuknya suatu mekanisme perlindungan yang lebih baik bagi mereka. LSM lainnya, khususnya Lembaga Bantuan Hukum, menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah perdagangan perempuan dan anak. Namun sayang, mereka tidak dapat merujuk satu kasus pun yang pernah mereka tangani. LBH Apik, misalnya, mengakui, baru-baru ini paling tidak ada satu kasus perdagangan anak yang tidak dapat ditindaklanjuti. LSM-LSM tersebut semuanya sepakat, ada banyak kasus perdagangan perempuan dan anak untuk dipekerjakan dan dilacurkan tetapi tidak ada upaya memadai dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah perdagangan tersebut dan melindungi korban. Di samping itu, LSM-LSM tersebut (termasuk Solidaritas Perempuan) umumnya berpendapat bahwa perdagangan perempuan dan anak sebagian merupakan konsekuensi dominasi laki-laki (patriakal) dalam proses pengambilan keputusan. Dua lembaga hak asasi manusia di Jakarta yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) dan KOMNAS PEREMPUAN. Komnas PA menggarisbawahi bahwa perdagangan perempuan dan anak telah lama berlangsung namun dibiarkan sehingga tak terkendali. Komnas PA juga Perdagmigan cjllcikdi Indonesia 101
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya berpendapat bahwa dunia usaba tidak pernah merasa berdosa memperdagangkan anak-anak ke luar negeri atau ke pulau lain di Indonesia untuk dipekerjakan sebagai buruh dan bahwa pemerintah telah gagal melindungi anak-anak tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak memahami arti perdagangan anak. Sejak tahun 1998, ketika komisi dibentuk, Komnas PA menerima sejumlah laporan dan mengumpulkan artikel-artikel di media massa tentang perdagangan anak. Temyata, sebagian besar laporan media itu diperoleh dari Komnas Perlindungan Anak. Di lain pihak, Komnas Perempuan memandang perdagangan perempuan dan anak sebagai masalah yang serius, yang hams disadari dan diberantas. Komnas Perempuan percaya bahwa kemiskinan dan norma-norma tradisional yang kelim mendasari terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Batam Menurut dua LSM di Batam yang diwawancarai dalam penelitian ini, kasus anak perempuan yang diperdagangkan ke Batam untuk prostitusi mempakan dampak langsung dari tidak terkontrolnya ekspansi industri di Batam, termasuk wisata seks. Permintaan pasar akan wisata seks bagi wisatawan laki-laki dari Singapura dan Malaysia telah membuat pulau-pulau lain di sekitar Batam, seperti Kundur, Tanjung Batu dan Tanjung Balai Karimun menjadi daerah tujuan untuk membeli seks murah dan melakukan kawin kontrak jangka pendek. Sejauh ini, tidak ada tindakan hukum
Perdugangan clílflkdi Indonesia 102
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya apapun yang dilakukan untuk memberantas transaksi seks yang berlangsung di pulau-pulau tersebut. Lembaga Bantuan Hukum Cahaya Keadilan mengetahui adanya kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan perdagangan anak dan perempuan tetapi belum mengambil langkah hukum untuk membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan. Lembaga tersebut y akin bahwa upaya gugatan melawan tempat-tempat yang diketahui menjadi ajang transaksi seks tidak akan efektif karena pengadilan yang ada pun tidak bebas dari cengkeraman mafia yang lebih peduli pada uang daripada hak-hak anak. Bali Di Bali, sebagian besar LSM yang diwawancarai untuk penelitian ini memberikan informasi yang akurat mengenai masalah ini. Informan kami dari GAN-Bali, YMK, dan YKP amat yakin, berdasarkan pengamatan yang mereka lakukan, bahwa perdagangan anak memang terjadi di Bali. Kasuskasus perdagangan anak di Bali pada umumnya adalah untuk tujuan seksual. Menurut GAN (Gerakan Anti Narkotik), beberapa anak dilibatkan dalam perdagangan obat-obat terlarang dan bahkan pernah dijumpai kasus anak yang tubuhnya digunakan untuk menyembunyikan obat-obat terlarang untuk diselundupkan. Medan Para aktivis LSM di Medan percaya, ada banyak sindikat yang terlibat dalam perdagangan anak. Pemahaman mereka
Pt
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya mengenai istilah "trafficking" adalah jual beli perempuan dan anak untuk mendapatkan untung. Dan dalam jual beli itu ada unsur permintaan dan penawaran, khususnya untuk tenaga keija dan prostitusi. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah tidak menganggap perdagangan anak sebagai masalah yang serius dan realistis. Aktivis LSM di Medan percaya bahwa kemiskinan dan lemahnya penegakan hukum merupakan faktor pendorong perdagangan anak. Selain itu, kurangnya informasi dan penyuluhan mengenai perdagangan anak membuat masyarakat cenderung mengabaikan hal ini. Pada umumnya anak-anak yang diperdagangkan berasal dari keluarga miskin, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Mereka direkrut oleh calo, berupa organisas! maupun individu. Menurut informan-informan LSM, anak-anak yang dipekerjakan di Sumatra Utara ada yang berasal dari Aceh (tampaknya hal ini disebabkan oleh konflik bersenjata berlarut-larut yang teqadi di Aceh). Selain itu, banyak anak-anak dan perempuan keturunan Jawa direkrut untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, dijadikan pengemis di jalan-jalan, dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan lain-lain. Tetapi, informan-informan LSM tersebut tidak terlalu yakin adanya unsur-unsur perdagangan anak dalam kasus-kasus perekrutan tersebut. Mereka juga menekankan perlunya pendekatan yang lebih strategis, yang hendaknya dimulai dari upayaupaya untuk memetakan masalah ini secara serius, mensosialisasikannya ke masyarakat dan memperbaharui kebijakan yang ada dan membuatnya lebih berpihak pada anak. PertloganKan ÍUÜlklii Indonesia 104
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Kapasitas untuk merespons Sebenarnya, ada banyak LSM dan beberapa kelompok keagamaan yang mempunyai program-program bantuan bagi anak dan perempuan yang menjadi korban perdagangan (lihat lampiran). Tetapi, program-program ini pada umumnya tidak dirancang untuk menanggapi seluruh aspek atau siklus perdagangan anak dan bahkan sama sekali tidak memberikan tanggapan terhadap kebutuhan yang ada. Solidaritas Perempuan, misalnya, mempunyai program konseling hukum dan program pendamping untuk perempuan yang diperdagangkan ke luar negeri. Beberapa program Solidaritas Perempuan bersifat partisipatif dan menggunakan korban yang berhasil diselamatkan dan calon pekerja untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Sayangnya, mereka tidak mengembangkan program-program yang khusus dirancang untuk anak-anak, meskipun dalam banyak kasus mereka dihadapkan pada anak-anak bawah umur yang menjadi korban tindak kekerasan. Akhirakhir ini mereka sedang membahas kemungkinan melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan anak yang terjadi di bidang lain, seperti misalnya perdagangan anak untuk industri seks komersial. Banyak LSM telah mengembangkan program-program konseling sosial psikologi untuk anak-anak yang diperdagangkan sebagai pekerja seks. Di samping keterbatasan dalam ruang lingkup, jangkauan dan kualitas program, sebagian besar LSM hanya memberikan program bagi anak perempuan. Mereka pada umumnya memiliki kapasitas Ferdugungan âTfâlidi Indonesio ÏÔ5
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya yang sangat terbatas untuk melakukan pendampingan pada masyarakat yang warganya diperdagang-kan. Misalnya, ada satu LSM di Bali (Yayasan AKITA) yang menaruh perhatian terhadap anak-anak yang mengalami pelecehan seksual dan perdagangan oleh pedofil. Namun, sumberdaya yang mereka miliki, dalam arti sumber daya manusia yang terlatih untuk melakukan investigasi, pendampingan hukum dan konseling sosial psikologis, sangat terbatas. Banyak informan yang mengatakan bahwa organisas! tempat mereka bekerja amat tertantang me-nanggapi situasi tersebut dan mengupayakan jalan keluarnya tetapi mereka juga mengakui bahwa kapasitas yang mereka miliki amat terbatas. Kebanyakan LSM-LSM yang ada di Indonesia didanai oleh pihak luar. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendanai diri sendiri. Ada juga yang secara jujur mengakui bahwa perdagangan anak merupakan isu yang sama sekali baru bagi mereka dan mereka belum dilatih atau belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah tersebut. Upaya menggalang kerjasama dan upaya membentuk jaringan kerjasama bersama merupakan salah satu tantangan utama dalam menanggapi masalah ini. Meskipun setiap institusi, khususnya LSM, umumnya mempunyai jaringannya sendiri, bentuk-bentuk kerjasama yang sudah ada masih perlu diperkuat. Secara lebih spesifik, informan kami di Bali menyarankan agar LSM-LSM bekerjasama dengan lembaga adat supaya masalah perdagangan anak sepenuhnya menjadi milik masyarakat, bukan hanya ditangani sendirian oleh LSM. LSM-LSM yang Perdagungun anakd i Indoiifiiia 106
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya diwawancarai pada umumnya menyediakan tempat penampungan untuk korban. Tetapi,
pada umumnya,
fasilitas-fasilitas penampungan ini hampir seluruhnya dikelola oleh staf LSM itu sendiri. Kalau toh ada partisipasi dan masyarakat setempat, peran serta masyarakat tersebut sangatlah minim. Hal ini tidak berarti bahwa LSM telah gagal menarik partisipasi masyarakat. Kurangnya partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat sebenamya masih belum memahami hakekat dan lingkup masalah perdagangan anak. Masyarakat pada umumnya masih beranggapan bahwa masalah perdagangan anak merupakan isyu politis antara LSM dan Pemerintah. Tanggung jawab masyarakat setempat jarang sekali dibicarakan. Lembaga Otoritas Publik Badan-badan yang memiliki wewenang umum dalam masyarakat (misalnya RT dan RW) dan kepala desa sampai ke tingkat kecamatan (camat) sangat menyadari masalah ini namun menganggapnya sebagai hal biasa. Permohonan untuk memperoleh KTP dengan menyatakan bahwa si pemohon sudah cukup dewasa bisa didapat dengan mudah. Permohonan seperti ini biasanya dijamin oleh lembaga otoritas di tingkat masyarakat. Agen-agen tenaga kerja khususnya yang mengirim tenaga kerja ke luar negeri sangat akrab dengan praktek-praktek seperti ini. Sekali seseorang mendapatkan KTP, masyarakat dan agen yang menerima orang itu sebagai pekerja tidak perlu PcrdagHiigan anakdi Indonesia ÏÔ7
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya menguatirkan konsekuensi hukum yang timbul karena mempekerjakan pekerja itu. Hal serupa terjadi juga pada perempuan yang dipekerjakan sebagai pelacur, pembantu rumah tangga, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Tentu saja, masih ada kasus legalitas dalam hal mempekerjakan tenaga keija yang tidak terdaftar, misalnya dalam kasus perempuanperempuan yang dipekerjakan untuk menjual minuman ringan dan bir kepada orang yang lewat dan laki-laki dewasa kesepian di sekitar jembatan layang Prumpung, Jakarta Utara. Perempuan-perempuan ini tidak memiliki KTP dan kontrak kerja resmi dengan orang yang mempekerjakannya. Jakarta Bagi beberapa aparat pemerintah, perdagangan anak melanggar hak-hak anak. Bagi lainnya, perdagangan anak bukanlah suatu masalah besar. Departemen Tenaga Kerja yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan masalah pekerja anak, melihat perdagangan perempuan dan anak sebagai suatu dilema. Mereka berpendapat bahwa faktor pendorong dalam perdagangan anak adalah kemiskinan. Karena itu, mereka berpendapat bahwa melarang anak-anak untuk mencari uang bukanlah solusi yang tepat. Anak-anak seharusnya diijinkan untuk bekerja sepanjang hak-hak mereka sebagai anak tidak dilanggar. Perlu juga diketahui, karena keterbatasan waktu, tidak semua sektor di pemerintahan dapat diwawancarai. Pendapat Departemen Tenaga Kerja belum dapat dianggap mewakili pendapat pemerintah secara keseluruhan. PerdaguiiguuâHâJidi Indonesia 108
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Batam Salah satu Pemimpin Asosiasi Perhotelan Indonesia di Batam pernah mengatakan kepada wartawan, "tidak ada bisnis pelacuran di Pulau Batam, yang ada hanyalah hotelhotel dan wisata budaya." Sebaliknya, seorang pejabat pemerintah daerah mengakui bahwa pelacuran anak memang ada di Batam dan bahwa hal ini muncul karena desakan ekonomi. Pejabat pemda itu menjelaskan bahwa anak-anak yang dilacurkan biasanya berasal dari kelas sosial rendah, dan uang yang mereka peroleh digunakan untuk membantu keuangan keluarga. Kantor Wilayah Pendidikan Nasional (Kanwil Diknas) menyadari masalah ini. Menurut mereka, alasan mengapa seorang anak terlibat dalam pelacuran adalah penyalahgunaan dan ketergantungan obat-obat terlarang, yang merupakan dampak modernisas! dan globalisasi. Alasan ini lebih dari sekedar kesulitan ekonomi. Mereka percaya anak-anak dengan sukarela mau menjadi atau dijadikan pelacur. Mereka secara khusus menyoroti kasus pelajar yang diberi umpan obat-obatan terlarang lalu direkrut untuk membantu menjual narkoba. Pelajar yang pandai biasanya menjadi sasaran untuk direkrut. Menurut Kanwil Diknas, sudah ada empat sekolah di Batam yang diketahui mempunyai pelajar yang direkrut sebagai pengedar narkoba. BK3S tidak memiliki program untuk menolong anakanak yang diperdagangkan sebagai pelacur meskipun mereka menyadari masalah tersebut. Sebagian besar program mereka dirancang untuk mencegah anak-anak Perdugangan clílclkdi Indonesia 109
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya terperangkap dalam industri seks, dengan memberikan pelatihan dan beasiswa. Kanwil Tenaga Kerja mengakui tidak mempunyai program yang ditujukan untuk memberantas perdagangan perempuan dan anak. Mereka menyadari bahwa masalah yang berkaitan dengan anak-anak yang dipekerjakan di sektor informal, menjadi pembantu rumah tangga dan pengemis jalanan tidak termasuk dalam wewenang mereka. Jika ada kasus perusahaan atau pabrik mempekerjakan anak yang dilaporkan kepada Kanwil, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengirim surat peringatan kepada perusahaan tersebut. Bali Di Bali, seorang petugas Kanwil Departemen Sosial mengakui bahwa perdagangan anak memang terjadi di Bali meskipun hal ini masih ditutup-tutupi. Bagi aparat pemerintah Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Tenaga Keija dan Pendidikan, masalah perdagangan anak di Bali merupakan hal baru. Medan Konsep perdagangan anak di Medan dipahami sebagai kegiatan merekrut dan menjual anak-anak untuk menead keuntungan, terutama untuk kepentingan ekonomi dan prostitusi. Kanwil sosial memandang perdagangan anak sebagai kegiatan mengirimkan anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur. Pandangan seperti ini membuat masalah Pcrda^angunânËlkdi Indonesia 110
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya tersebut sulit diatasi, terutama bila anak-anak (perempuan) tersebut dianggap mau menjadi pelacur secara sukarela. Kanwil Sosial telah menyediakan pelayanan bagi anak jalanan melalui rumah singgah. la secara khusus menjelaskan langkanya perangkat hukum untuk melindungi anak dari perdagangan. Mereka juga mengakui bahwa mereka tidak memiliki instrumen hukum untuk memberantas perdagangan anak dan berpendapat bahwa Departemen Tenaga Kerja mungkin memiliki peraturan untuk mengatasi hal ini. Di sini tampak jelas bahwa informan tidak mempunyai informasi yang baik tentang hukum dan peraturan yang ada. Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Sumatra Utara mengatakan bahwa perdagangan anak di Sumatera Utara tidak semata-mata untuk tujuan prostitusi tapi juga untuk dipekerjakan pada restorán hidangan laut (.seafood) dan restorán Ciña. la berkata, " Saya menemukan anak-anak dari Nias yang bekerja di salah satu restorán seafood. Jumlahnya kurang lebih 10 orang. Kadang-kadang mereka hanya makan dua kali sehari dan tinggal di dapur yang digunakan untuk memasak" (T. Zega). Tentu saja, ia hanya memiliki informasi serba sedikit mengenai hal ini. la berpendapat bahwa perdagangan anak adalah eksploitasi dan pemerintah harus berbuat sesuatu untuk menolong anakanak itu.
I'erdugtmgan âllclkdi Indonesia 111
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Kapasitas untuk merespons Aparat Penegak Hukum Kapasitas lembaga-lembaga penegak hukum kita miliki amatlah penting untuk menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan anak. Memang, instrumen hukum yang dimiliki Indonesia untuk mengatasi masalah ini amat terbatas. Bagaimanapun juga, setidak-tidaknya Indonesia memiliki ketetapan-ketetapan hukum yang bila sepenuhnya dilaksanakan dapat membantu menanggulangi masalah yang ada. Namun pelaksanaannya menghadapi kendala-kendala berikut:
1)
Lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan dan hakimnya, kepolisian dan lainnya cenderung tidak melihat perdagangan anak sebagai masalah dan tidak mengetahui kasus perdagangan anak.
2)
Aparat penegak hukum dan militer tidak secara efektif mengawasi dan memonitor para anggotanya yang terlibat dalam kejahatan terorganisir.
3)
Sudah umum diketahui bahwa aparat penegak hukum mempunyai penghasilan rendah. Keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan ilegal yang seharusnya mereka berantas adalah strategi untuk bertahan hidup.
Selain masalah upah dasar yang rendah, tantangan lain yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan dan ketrampilan PerdugiuiguiiüDál^di Indonesia 112
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya aparat penegak hukum dan institusinya untuk menanggapi masalah yang ada. Simak pengalaman informan kami di Denpasar, Bali, yang bekerja sama dengan biro intelejen Kepolisian daerah. Melalui berbagai macam cara, mereka telah berhasil mendapatkan foto, catatan dan bukti-bukti fisik tersangka pedofil. Namun polisi tidak dapat menangkap tersangka tersebut karena meskipun sudah ada bukti, polisi membutuhkan kesaksian dan pengaduan korban, sesuatu yang sangat sulit didapat. Ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh tentang kakunya prosedur dan kepekaan dalam menangani masalah. Demikian juga halnya dengan kekerasan yang dialami oleh pembantu rumah tangga. Meskipun kasus penyiksaan pembantu rumah tangga oleh majikan telah sering dilaporkan, jarang sekali ada majikan yang berhasil discret ke pengadilan, baik di Indonesia maupun negara lain. Sekali lagi isu yang muncul tidak hanya isu yang berkenaan dengan kapasitas tetapi juga seluruh isu yang ada mulai dari visi, kemauan politik, kapasitas institusi, dan ketersediaan mekanisme produktif. Semua tantangan ini harus ditangani dengan sangat serius, terutama ketika penegakan hukum dianggap sebagai salah satu komponen paling penting untuk memberikan tanggapan yang efektif terhadap masalah ini. Institusi-institusi sektora! Dalam penelitian, banyak institusi sektoral yang telah disebutkan terutama Departemen Sosial, Depatemen Tenaga IVrditgHngan ŒlOlCdi Indonesiu ÏÏ3
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Kerja, Departemen Kehakiman, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Dalam Negeri dan lain-lain. Semua departemen tersebut memiliki kemampuan dan sumber daya untuk ikut membantu mengatasi masalah perdagangan anak. Namun ada sejumlah masalah yang membuat mereka sulit memberikan tanggapan secara tepat. Ketika pewawancara datang untuk menemui pejabatpejabat pemerintahan di berbagai departemen, beberapa tidak dapat ditemui karena sedang keluar kantor atau rapat atau ketika wawancara dilakukan. Selain itu, banyak di antara mereka yang temyata sama sekali tidak mengetahui masalahnya. Jawaban mereka pun sangat normatif. Ketika diberitahu mengenai apa yang terjadi pada anak-anak yang diperdagangkan, mereka mengatakan bahwa kejadian tersebut patut disesalkan dan bahwa upaya-upaya untuk mencegah dan menolong anak-anak tersebut perlu dilakukan. Ketika pembahasan mengarah pada perdagangan anak untuk pelacuran, para pewawancara mendapat bermacammacam tanggapan. Beberapa setuju bahwa perempuan dan anak-anak yang dilacurkan menjadi korban keadaan dan karena itu mereka membutuhkan bantuan. Tetapi banyak juga yang berpendapat bahwa perempuan dan anak-anak yang dilacurkan ini pantas menderita dan menerima perlakuan tidak adil karena partisipasi mereka dalam industri seks. Pandangan moral seperti ini sangat biasa dijumpai dan memang sulit sekali meyakinkan mereka untuk melihat faktor-faktor penyebab lain selain kemiskinan. Pfrduganguii âUclKdi Indonesia 114
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Selama wawancara dan lokakarya, sangat sering terdengar bahwa masalah perdagangan anak hendaknya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat dan keluarga. Kita perlu upaya khusus untuk mensosialisasikan masalah ini dan untuk meyakinkan pemerintah bahwa masalah ini seharusnya dijadikan masalah penting dalam pembangunan. Hal terakhir yang cukup penting adalah para pejabat departemen yang diwawancara pada umumnya mengatakan bahwa mereka mempunyai program atau fasilitas yang mungkin dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah perdagangan anak. Masalahnya, semua program dan fasilitas ini selalu terikat pada anggaran dan peraturan yang ada. Karena upaya memberantas perdagangan anak pada umumnya tidak termasuk dalam program-program departemen, dengan sendirinya tidak ada dana yang dianggarkan maupun bantuan teknis yang dapat diberikan untuk keperluan ini. Departemen Tenaga Kerja telah mengambil inisiatif membentuk komite nasional untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No. 1/2000 tentang Konvensi ILO No. 182. Namun karena hubungan dengan Panitia Pengarah Nasional tentang pekerja anak yang sudah dibentuk tidak jelas, maka diputuskan untuk menugaskan komite tersebut untuk memonitor pelaksanaan Konvensi 182 di bawah pengawasan Panitia Pengarah Nasional dan menguatkannya dengan Keputusan Presiden.
PerdagangHnHTIEllfrli Indonesia 115
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia Aktivis hak asasi manusia yang diwawancara adalah aktivis dad Kontras (Komisi Nasional Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), ILACR (Indonesia's Lawyers for Child's Rights), dan LPA (Lembaga Perlindungan Anak). Mereka sepakat, adalah penting untuk mengakui bahwa dalam perdagangan anak terdapat agen, oknum, dan badanbadan yang bertanggung jawab melakukan perekrutan dan pengiriman perempuan dan anak-anak sebagai tenaga kerja untuk melakukan pekerjan-pekerjaan yang bersifat eksploitatif. Agen, oknum dan badan-badan tersebut memainkan peran yang amat penting. Kontras tidak memiliki program untuk memberantas perdagangan anak, namun masalah ini akan menjadi prioritas Kontras berikutnya karena perdagangan anak dan perempuan menimbulkan kejahatan terhadap perempuan. Di sisi lain, informan kami dari ILACR mengatakan bahwa pihak keluarga dan negara ikut bertanggung jawab. Kemiskinan menyebabkan keluarga mendorong anaknya untuk bekeqa. Di sisi lain industri secara aktif menggunakan buruh murah yang secara sukarela melakukan pekerjaan apa saja tanpa jaminan sosial dan kesehatan. Jumlah pencari keija termasuk anak-anak sangat banyak. Sayangnya pemerintah tidak efektif melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap anak-anak yang dilibatkan dalam pekeijaan-pekeqaan yang berbahaya. Kasus-kasus yang ada pada umumnya terjadi karena orang dewasa sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap masa depan anak-anak. Mereka sangat menyesalkan hal ini. IVrrliyiingHn HTlftKtlt Indom-Mft 116
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Kapasitas untuk merespons Satu mekanisme yang mungkin dapat memfasilitasi penyusunan kebijakan dan program adalah lembagalembaga hak-hak asasi manusia. Menurut penilaian kami, hingga sejauh ini, baik KOMNAS HAM maupun KOMNAS Perempuan belum melakukan tindakan nyata untuk memberantas perdagangan anak. Namun di masa yang akan datang, Komnas Perempuan dapat lebih berperan dalam memberikan advokasi kebijakan. Komnas PA juga memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan karena masih belum memiliki peraturan yang memberinya otoritas. Surat Keputusan Presiden (Kepres) No. 36/1990 yang meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Anak (CRC) tidak memiliki implikasi legal yang signifikan karena status Kepres relatif lemah dan karena tujuh pasal Konvensi PBB tersebut dikecualikan ratifikasinya oleh pemerintah Indonesia. Pelanggan Lelaki hidung belang tidak merasa risih melakukan hubungan seks dengan anak-anak yang masih sangat muda karena secara tradisional, toh banyak perempuan yang sudah menjadi pelacur pada usia yang masih sangat muda. Alasan lain adalah karena anak-anak dianggap relatif bersih dari penyakit kelamin dan kemungkinan terkena virus HIV penyebab AIDS. Selain itu ada kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan perawan dapat menyebabkan awet muda. (Hull et al., 1997; Irwanto et al., 1997; Parid, 1999; Sedyaningsih - Mamahit, 2000).
Perdugiiii^MnOHtiKdi Indonesia 117
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Penyatur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTK!) Sebagai agen perantara tenaga kerja yang terdaftar, para penyalur jasa tenaga kerja Indonesia beranggapan bahwa mereka memegang peran penting dalam mendukung pekerja memperoleh pekerjaan di luar negeri sehingga para pekerja tersebut dapat membantu keluarga mereka sekaligus membantu perolehan devisa negara. Mereka mengaku bahwa mereka selalu mematuhi peraturan yang ada dan memberikan semua pelayanan yang dibutuhkan calon pekerja. Tetapi, di sisi lain, paja LSM, terutama Solidaritas Perempuan, cenderung memandang PJTKI dari kacamata négatif. Menurut Solidaritas Perempuan, agen tenaga kerja nasional seperti PJTKI sering memetik keuntungan dari berbagai keterbatasan para calon pekerja yang rata-rata hanya berpendidikan SD atau SLTP, tidak pemah pergi ke luar negeri, berpikiran polos, dan memiliki informasi yang sangat sedikit mengenai situasi dan kondisi kerja yang nanti akan mereka jalani di negara tujuan. Sejak perekrutan, caloncalon pekeija tersebut padaumumnya menaruh harapan dan kepercayaan penuh kepada PJTKI. Mereka merasa y akin bahwa mereka akan dilindungi oleh agen sesampainya di tempat tujuannya nanti. Padahal, ketika mereka mengalami eksploitasi, ketidakadilan, dan penyiksaaan mereka tidak dapat meminta tolong kepada siapapun. Menurut Solidaritas Perempuan, banyak agen lepas tangan dan bahkan menyalahkan korban bila kemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesampainya mereka di negara tujuan. Perdagangan¿ffláltdi Indonesia 118
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya Sampai saat ini sama sekali tidak ada sistem perlindungan bagi tenaga kerja migran yang menuntut pertanggungjawaban agen dan pemerintah jika terjadi penyiksaan dan eksploitasi terhadap pekerja migran. Para Politisi Salah satu pemimpin partai politik PAN (Partai Amanat Nasional) yang kami hubungi di pulau Batam mengakui bahwa isyu perdagangan anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur tidak masuk dalam agenda utama banyak partai politik yang ada di Batam walaupun mereka menyadari bahwa hal itu merupakan masalah sosial yang serius. la menambahkan bahwa belakangan ini "perhatian utama setiap partai politik adalah bagaimana bersaing untuk mendapatkan jatah kursi sebanyak-banyaknya di DPRD". Media Pada umumnya persepsi media massa terhadap perdagangan anak hanya terbatas pada perempuan muda yang dijual untuk pelacuran. Pada umumnya media tidak menaruh perhatian pada jenis-jenis perdagangan anak lainnya seperti buruh, anak jermal, pengemis, dan pembantu rumah tangga. Dalam menanggapi perdagangan anak dan perempuan yang dilacurkan, media cenderung menyalahkan korban dan menganggap mereka tidak bermoral. Kapasitas untuk merespons Media biasanya selalu berada di garda depan dalam menanggapi informasi yang diberikan individu maupun Perdugun^un (U lUÎViI Indonesiti ÏÏ9
Persepsi mengenai Perdagangan Anak dan Kapasitas untuk menanggapinya organisasi-organisasi masyarakat. Publikasi di media memegang peran yang amat penting untuk menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat. Media seperti Kompas, Republika dan Suara Pembaharuan telah dikenal sebagai koran nasional yang wartawannya menaruh perhatian besar pada isyu perdagangan anak dan sering membuat tulisan mengenai topik-topik yang berhubungan dengan perdagangan anak. Media lokal, baik cetak maupun elektronik, seperti radio, televisi dan surat kabar lokal juga efektif dalam menyampaikan masalah perdagangan anak ini ke hadapan publik. Media lokal, khususnya media cetak, amat berjasa dalam melakukan investigasi terhadap kasuskasus perdagangan anak yang ada dan amat efektif dalam menekan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan tindakan segera pemberantasan perdagangan anak. Barubaru ini beberapa televisi swasta, khususnya SCTV, RCTI, ANTV, dan Indosiar memiliki program-program khusus (termasuk video klip) yang amat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Lokakarya untuk menambah pengetahuan dan wawasan wartawan mengenai masalah perdagangan anak dan lomba penulisan yang khusus dirancang untuk wartawan sedang diupayakan dengan sponsor dari ILO/IPEC dan UNICEF serta lembaga donor lainnya seperti Ford Foundation, Terre de Homes, dan sebagainya. Supaya upaya pemberantasan perdagangan anak dapat dilakukan secara lebih efektif, media hams selalu diikutsertakan. PmluffunjlunUTlUkdi Indonesia 120
Rekomendas VII Rekomendasi
A. Pertimbangan Umum
1)
Anak adalah masa depan bangsa. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Cara kita mendidik dan memperlakukan anak-anak sebagai generasi penerus akan menentukan kualitas masa depan kita sebagai umat manusia dan bangsa.
2)
Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi penting, antara lain Konvensi Hak-hak Anak beserta protokolnya, Konvensi ILO No 138 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja dan baru-baru ini Konvensi ILO No 182 mengenai Pelarangan dan Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Untuk Anak. Karena itu, secara hukum Indonesia terikat untuk melaksanakan konvensi-konvensi tersebut dan menjadikannya bagian dari hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)
Indonesia telah ambil bagian dalam Deklarasi Stockholm pada bulan Agustus 1996 untuk Herdagttngun BDBKdi Indonesia 121
Rekomendasi menghapuskan eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak-anak. Pada tahun 2001, semua negara yang telah menyepakati deklarasi tersebut diharapkan untuk memaparkan Rencana Aksi Nasional masingmasing.
4)
Banyak anak Indonesia berada dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit sehingga kehidupan dan kesejahteraan mereka terancam. Mereka perlu segera dibantu.
5)
Meskipun telah ada berbagai laporan mengenai kasuskasus perdagangan anak, namun hanya sedikit yang memaparkan besamya masalah, pola-pola perdagangan dan para pelaku yang terlibat di dalamnya.
B. Pertimbangan Khusus
1)
Meskipun Konvensi ILO No. 182 mencantumkan bahwa perdagangan anak adalah salah satu bentuk terburuk perburuhan anak, mandat ILO/IPEC masih terbatas pada upaya-upaya untuk menyoroti masalah perdagangan anak dari segi situasi kerja yang eksploitatif, termasuk upaya-upaya untuk menolong anak-anak yang dieksploitasi secara seksual dan dipekerjakan sebagai pengedar narkoba. Jadi, tidak semua kasus yang melibatkan perdagangan anak relevan dengan mandat ILO. Perdagangan 311¿lKd¡ Indonesia 122
Rekomendasi 2)
Karena itu, dalam rekomendasi ini hanya dipertimbangkan kasus-kasus perdagangan anak yang relevan dengan mandat ILO.
C. Rekomendasi Umum
1)
Koordinasi yang jelas dan tersentralisasi bagi upayaupaya perlindungan anak harus diupayakan untuk merumuskan kerangka kebijakan yang menjamin pelayanan yang berkualitas dan layak untuk anak-anak. Sehubungan dengan Hal tersebut, diperlukan instrumen hukum yang mampu memobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki semua sektor pemerintah guna mendukung kerangka kebijakan tersebut.
2)
Semua instrumen hukum yang berhubungan dengan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi harus ditelaah ulang guna memastikan bahwa instrumeninstrumen tersebut selaras dan konsisten dengan standar-standar internasional. Untuk itu, perlu dibentuk kelompok kerja teknis yang dapat membantu pemerintah menyelaraskan seluruh hukum dan peraturan yang ada.
3)
Mengingat kemiskinan merupakan faktor paling umum yang melandasi terjadinya perdagangan anak, program penghapusan kemiskinan hendaknya dikembangkan dan dilaksanakan secara efektif.
Pfrdiignngan ctTlËÛCdi Indoiiesiu 123
Rekomendasi Sebagai bagian dari program penghapusan kemiskinan, standar kompensasi secara keseluruhan bagi pekeija dewasa hendaknya ditingkatkan sesuai dengan biaya-biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah hams mendorong para pengusaha untuk memberikan tunjangan kesehatan dan tunjangan pendidikan anak kepada para pekerja. 4)
Akte kelahiran mempakan unsur penting hak anak. Tidak adanya akte lahir cenderung menutup peluang anak untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Diperkirakan hanya 30% dari anak yang bam lahir di Indonesia yang didaftarkan. Sehubungan dengan ini, Departemen Dalam Negeri perlu meningkatkan kemampuannya untuk memberikan akte kelahiran kepada setiap bayi yang bam lahir dan untuk mempertimbangkan kembali kriteria layak bagi anak untuk mendapatkan pelayanan dasar.
D. Rekomendasi Khusus Konsep "Perdagangan" 1.
Konsep pengertian istilah "perdagangan" (trafficking) hendaknya diteijemahkan dalam bahasa yang mudah dimengerti penduduk setempat. Misalnya, di Sumatera Utara hendaknya dipakai istilah dalam bahasa Batak Perdtigtutgtui ÎUIcllvli Indonesia 124
Rekomendasi yang pengertiannya mendekati pengertian trafficking. Ada banyak orang, termasuk para informan, yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan trafficking atau mempunyai pengertian yang lain/ berbeda mengenai istilah itu. Dalam bahasa Indonesia, istilah trafficking biasanya diterjemahkan menjadi perdagangan. Kata ini dianggap cukup mudah dimengerti meskipun mungkin kurang menarik bagi para pembuat kebijakan karena kata ini menimbulkan konotasi atau kesan kasar dan merendahkan, terutama ketika diterapkan menjadi "perdagangan anak dan perempuan" yang memberi kesan bahwa perempuan dan anak tak lebih dari sekedar barang dagangan. 2.
Dibutuhkan upaya terpadu untuk menyebarluaskan pengertian konsep "perdagangan" tersebut pada kelompok-kelompok masyarakat yang lebih luas agar mereka mengerti bahwa perdagangan anak merupakan masalah yang tidak boleh dibenarkan dengan mempersalahkan kemiskinan. Yang penting di sini adalah upaya menciptakan kesadaran masyarakat supaya seluruh lapisan masyarakat melihat masalah ini sebagai masalah dan tanggung jawab bersama yang hams mereka atasi secara bersama pula. Sehubungan dengan itu, program-program yang ada hendaknya mendorong terciptanya partisipasi masyarakat secara utuh dan semaksimal mungkin.
(U mlvl ¡ Indonesia 125
Rekomendasi Kajian Lanjutan
3.
Suatu kajian lebih lanjut dan mendalam diperlukan untuk memberikan informasi yang lebih berguna bagi pengembangan program dan kebijakan. Kajian ini hendaknya dikaitkan dengan proyek-proyek sejenis di tingkat sub-regional - terutama di Thailand dan Filipina. Kelompok kerja yang dibentuk terdiri dari wakil-wakil pemerintah, akademisi dan LSM. Disarankan bagi kelompok kerja tersebut untuk melibatkan perwakilan dari lembaga kepolisian dan Departemen Kehakiman. Untuk lebih jelasnya, lihat lampiran Tabel 9.
Pengembangan Kemitraan
4.
Dari penjelasan di atas jelas terlihat adanya beberapa keterbatasan
yang
menghalangi
upaya
penanggulangan masalah perdagangan anak. Tidaklah mungkin bagi lembaga atau departemen untuk mengatasi masalah ini secara sendiri-sendiri dan dengan kekuatan sendiri. Kompleksnya masalah ini, seperti jelas dari uraian-uraian di atas, membuat kita menyadari bahwa upaya menggalang kerja sama melalui kemitraan merupakan satu-satunya cara yang harus dikembangkan di masa mendatang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif.
PerritiganguncLTlELKdi Indonetria 126
ekomendasi Instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasiorganisasi nirlaba, organisasi kemasyarakatan dan lainnya perlu memulai kerja sama untuk menangani masalah ini secara bersama. Bila perlu, kemitraan ini hendaknya didukung dengan peraturan pemerintah atau paling tidak keputusan menteri. Lembaga-lembaga donor, baik organisasi-organisasi swasta yang memberikan daña secara sukarela, lembaga-lembaga PBB, atau badan kerjasama multilateral/ bilateral
hendaknya didorong untuk
mendukung kerjasama antara organisasi pemerintah dan LSM untuk bersama-sama menangani masalah perdagangan anak. Beberapa masalah yang dijumpai sifatnya sangat mendasar seperti upaya supaya anak tidak putus sekolah dan upaya supaya setiap anak memiliki akte kelahiran. Tidak satu LSM pun yang dapat menangani masalah-masalah seperti itu. Instansi pemerintah pun tidak sanggup mengatasi masalah-masalah tersebut sendirian. Karena itu, masalah-masalah berikut ini hendaknya diprioritaskan penanganannya melalui kegiatan yang terkoordinasi dengan baik:
Perdagaiigan (UUllvH Indonesia 127
ekomendas Mengupayakan Supaya Anak Tidak Putus Sekolah
Ketidakmampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan salah satu faktor pendorong perdagangan anak, terutama perdagangan anak-anak perempuan. Oleh karena itu, hendaknya upaya-upaya supaya anak tidak putus sekolah dilakukan semaksimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada anak untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLIP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan cara memperkecil biaya pendidikan dam mendirikan lebih banyak sekolah di masyarakat. Mengingat sumber daya yang serba terbatas saat ini, sangatlah tidak realistis mengharapkan Departemen Pendidikan Nasional untuk menangani masalah ini sendirian. LSM, organisasi nirlaba, dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus berbagi tanggung jawab untuk mengupayakan supaya anak tidak putus sekolah dan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang relevan yang mereka butuhkan supaya mereka dapat bertahan hidup di wilayah tempat tinggal mereka tanpa harus membiarkan diri mereka menjadi korban perdagangan anak. Perdtigangun
Indonesia 128
ekomendasi Oknum-oknum Pemerintah Daerah
Petugas-petugas kelurahan dan kecamatan yang membantu pemalsuan KTP anak yang diperdagangkan merupakan faktor pendorong utama perdagangan anak yang perlu dicermati. Instrumen hukum atau kebijakan yang dapat secara efektif mencegah pemalsuan KTP atau menghukum oknum-oknum tersebut hendaknya segera disusun dan diterapkan. Mengingat penduduk yang tidak terdaftar dan dampaknya terhadap kesejahteraan mereka sendiri merupakan urusan nasional, instansi-instansi pemerintah hendaknya melakukan upaya terpadu dan meningkatkan koordinasi untuk meningkatkan lingkup pelayanan kepada masyarakat.
Mengkaji Ulang Program yang ada
Mengingat berbagai program sektoral untuk perempuan dan anak-anak telah dilaksanakan, kajian ulang terhadap seluruh program yang ada perlu dilakukan
untuk mendalami kemungkinan
mengikutsertakan anak-anak yang menjadi korban dalam program rehabilitasi atau advokasi tambaban untuk mencegah anak dipekerjakan dalam pekerjaanpekerjaan yang berbahaya.
Ferdu^angan (U Uilvl i Indonesia 129
Rekomendasi Aparat Penegak Hukum
8.
Menurut hemat kami, aparat penegak hukum, terutama para hakim dan pihak kepolisian, hendaknya selalu diikutsertakan dalam upaya memerangi perdagangan anak.
9.
Konsep "perdagangan" (trafficking) dan Undangundang No.l/ 2000 yang merupakan ratifikasi Konvensi ILO No 182 perlu disosialisasikan pada para aparat penegak hukum.
10. Departemen Kepolisian mempunyai unit khusus yang menangani masalah perempuan. Unit ini hendaknya menangani semua permasalahan anak tanpa membedakan jenis kelamin anak.
11. Perlu dibuat buku pedoman/ buku petunjuk mengenai etika perilaku beserta protokolnya untuk menindaklanjuti laporan-laporan tentang perdagangan anak. Buku petunjuk ini hendaknya mencantumkan petunjuk pelaksanaan tentang apa yang dimaksud dengan "demi kepentingan anak".
12. Lembaga-lembaga pelayanan seperti LSM dan aparat penegak hukum perlu menyepakati hal-hal yang sifatnya amat mendasar seperti (a) kepentingan anak
PerdugBiiganâflâiC'li Indonesia 130
Rekomendasi harus menjadi prioritas usaha-usaha yang mereka lakukan untuk menangani permasalahan yang ada, (b) para LSM dan anggota-anggota masyarakat lain yang ikut menangani masalah perdagangan anak harus mendapatkan perlindungan dan dijamin keselamatannya, terutama apabila mereka mendapat ancaman dari pelaku. 13. Sejumlah instrumen hukum perlu dibuat dan disebarluaskan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum mengenai bagaimana cara menghadapi permasalahan ini. Instrumen hukum tersebut hendaknya dengan jelas dan rinci ditujukan untuk memberantas perdagangan anak, termasuk upaya menghapus faktor penarik dan faktor pendorong perdagangan anak serta mekanisme yang diperlukan untuk memberikan tanggapan. E. Rekomendasi Khusus Untuk MasingMasing Jenis Perdagangan Anak Perdagangan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga
1.
Banyak anak yang dengan mudah dibujuk oleh para agen untuk bekerja di kota atau negara lain sebagai pembantu rumah tangga. Hal ini disebabkan karena mereka terpikat oleh gaya hidup kota besar dan kurang memiliki informasi mengenai realita kehidupan di
I'erdugaiigiuicUlâlvdi Indonesia 131
Rekomendasi kota-kota besar atau di negara tujuan. Kampanye dengan sasaran keluarga-keluarga di daerah pedesaan diperlukan untuk mencegah supaya anak tidak putus sekolah dan terdorong untuk bekerja di kota. Program jaring pengaman sosial perlu disusun untuk mencegah anak supaya tidak dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya dan dipaksa bekerja.
2.
Di tingkat kelurahan diperlukan kebijakan yang tegas untuk menyusun standar perekrutan dan penempatan tenaga kerja. Perekrutan individu untuk bekerja di luar negeri di bawah usia 18 tahun harus dilarang dan dijatuhi hukuman. Ketentuan ini harus disertaban dalam amandemen Keputusan Menteri No. KEP-204/ MEN/1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri.
3.
Mekanisme perlindungan harus dibuat dan dimonitor oleh lembaga-lembaga yang dapat diandalkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri serta pada saat pemberangkatan, saat tiba dan bekerja di tempat kerja, dan ketika kembali ke desa asal. Sebelum mekanisme perlindungan seperti ini bisa berjalan dengan baik, setiap migrasi, baik ke kota besar maupun ke luar negeri, dengan tujuan mencari pekerjaan harus dicegah.
PenlDjltingiui áflálftli 1 132
Rekomendasi 4.
Anak-anak yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga pada umumnya terkurung di dalam rumah majikannya sehingga tidak mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan (maksudnya tidak bisa bersekolah). Karena itu hendaknya dilakukan upaya-upaya yang lebih serins supaya anak-anak yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dapat tetap bersekolah.
Perdagangan anak untuk di/acurkan
5.
Kampanye menentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak harus dilancarkan supaya semua orang mengetahui nasib-nasib menyedihkan yang menimpa anak-anak yang dilacurkan dan tergerak untuk bersama-sama membasmi pelacuran anak. Untuk itu, perlu dikembangkan upaya-upaya mendidik segenap lapisan dan anggota masyarakat oleh masyarakat itu sendiri.
6.
Kampanye untuk meningkatkan kepedulian di desadesa tempat asal anak-anak yang direkrut untuk dilacurkan harus dilaksanakan. Masyarakat dan orang tua harus disadarkan akan kemungkinan perekrutan tersebut untuk keperluan pelacuran bukan untuk pekerjaan lainnya.
¡''■riiii^nii^un anakdi Indonesia 133
Rekomendasi 7.
Perlu adany a ketentuan hukum yang menghukum para pelanggan serta mereka yang ikut raembantu atau mempermudah penjualan anak untuk dilacurkan.
8.
Perlu adany a ketentuan hukum supaya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tidak diperlakukan sebagai pelanggar hukum (dekriminalisasi). Sebaliknya, anak-anak tersebut hams dilindungi dari tindak kekerasan yang sering dilakukan oleh para aparat penegak hukum atau pihak lainnya.
9.
Untuk menangani perdagangan anak lintas batas negara, khususnya untuk dilacurkan, pemerintah Indonesia hams memprakarsai kerjasama bilateral/ multilateral dengan negara-negara penerima di tingkat regional, khususnya Jepang, Taiwan, Cina (Hongkong), Malaysia, Singapura, dan Brunei Damssalam.
10.
Mekanisme pemantauan hendaknya disusun dan diterapkan di tempat-tempat pelayanan seksual komersial diduga berlangsung. Mekanisme seperti ini amat penting, temtama di daerah-daerah tujuan wisata.
11.
Negara-negara seperti Sri Lanka, Thailand, dan Filipina kini telah melakukan upaya-upaya serius untuk mengidentifikasi dan bahkan menghukum para pedofil yang mencari korban di wilayah mereka.
I'enlagungtui anakdi Indonesia 134
Rekomendasi Sebaliknya, Indonesia saat ini masih dianggap tempat yang aman dan nyaman bagi para pedofd. Karena itu, supaya anak-anak Indonesia tidak menjadi korban para pedofil, Indonesia disarankan menjalin kerjasama dengan Sri Lanka, Thailand dan Filipina dan juga dengan negara asal pedofil. Kerja sama tersebut dapat dilakukan melalui Interpol dan lembaga-lembaga lain seperti LSM. 12. Mengingat adanya jaringan intemasional yang kuat dalam kasus pedofilia, pembuatan kesepakatan multilateral sangat disarankan.
13. Masyarakat perlu diberitahu mengenai cara-cara dan kegiatan yang dilakukan oleh para pedofil dalam mendekati dan memperdaya anak calon korbannya dan juga cara-cara yang mereka lakukan dalam mendekati dan membujuk orang tua calon korban untuk menyerahkan anaknya. Perdagangan anak untuk dijadikan pengemis 14. Meskipun ada laporan tentang proses perekrutan secara aktif terhadap anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pengemis di perkotaan dan bayi-bayi yang disewakan untuk mengemis, pembuktiannya masih sulit dilakukan karena terbatasnya mandat IPEC/ILO. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk
PfKhigwigun anak li liHlonexm 135
Rekomendasi menangani masalah ini tanpa memperlakukan dan menjadikan anak-anak tersebut sebagai pelanggar hukum.
15. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberantas perdagangan anak jenis ini adalah dengan menjalin kerja sama dengan komunitas anak jalanan sehingga upaya bersama untuk membasmi perdagangan dan penyewaan anak dapat dilakukan. Undang-undang dan peraturan yang berlaku hendaknya juga dikaji ulang untuk menemukan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai untuk mendukung upaya-upaya tersebut.
16. Kampanye untuk meningkatkan kepedulian di desadesa mengenai bahaya perdagangan anak dapat membantu mencegah perekrutan anak untuk dijadikan pengemis. Anak-anak yang terHbat da/am penjuatan narkoba
17. Kajian ulang terhadap Undang-undang No. 22/1997 tentang Narkotika dan No. 5/1997 tetnang psikotropika perlu dilakukan. Dalam undang-undang yang ada, anak-anak dianggap sebagai pelaku kriminal apabila mereka terbukti menggunakan obat-obat terlarang seperti halnya pengguna dewasa. Hal ini berkaitan dengan peraturan lainnya, yaitu Undang-undang I'mitigaiigannXlilktll Indollfrtiii 136
Rekomendasi Peradilan Anak, yang mendefinisikan bahwa sejak usia 8 tahun, anak sudah dapat dikenai tanggung jawab melakukan kejahatan. Karena pengguna dianggap pelaku kejahatan, banyak dari mereka yang datang terlambat untuk meminta pertolongan. Banyak anak yang terlibat dalam pengedaran narkoba supaya dapat membeli narkoba bagi diri mereka sendiri. Undangundang yang ada hendaknya melindungi anak yang menjadi korban dan menjatuhkan hukuman seberatberatnya kepada pelaku sesungguhnya yang berada di balik jaringan pengedar narkoba beserta semua kaki tangannya.
18. Kegiatan yang dikoordinasikan bersama dengan lembaga pendidikan dapat mencegah anak-anak sekolah untuk diperalat menjadi pengedar narkoba.
19. Pemanfaatan anak sebagai pengedar obat-obatan terlarang sangat erat kaitannya dengan penggunaan obat-obatan tersebut. Karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki fasilitas rehabilitasi dan pelayanan lanjutan bagi pemakai narkoba yang berusia muda dan miskin.
IVnlitguiigdii anakm 137
Rekomendasi Perdagangan anak yang berkaitan dengan ben tukbentuk eksp/oitasi tain
20. Untuk membasmi perdagangan anak yang berkaitan dengan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, programprogram yang sudah ada hendaknya dikaitkan. Misalnya, untuk mengatasi masalah perdagangan anak untuk dipekerjakan dalam perkebunan, dapat disusun program yang dikaitkan dengan program perdagangan anak yang sudah ada.
Perduguugun flnrt.Kdi ImioiiKxiu 138
Daftar Pustaka Abe, Kohki (1997). The Struggle to Eliminate the Sexual Exploitation of Children: A Survey of International and National Endeavors to Address Child Prostitution and Related Issues. Tokyo: Asian Women's Fund. Adi, Rianto (1987). Migran Kerja Indonesia ke Timur Tengah. Masyarakat Indonesia, 16(1): p. 39-100. Adi, Rianto (1996) The Impacts of International Labour Migration in Indonesia. Unpublished Doctoral Dissertation. Adelaide: University of Adelaide, Australia. Adi, Rianto (1998). Dampak Krisis Ekonomi pada Migrasi Internasional. Warta Demografi, 28 (3), p. 16-23. BPS (1998). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1997. BPS (1998). Indikator Kesejahteraan 1998. BPS (1999). Indikator Kesejahteraan 1999. BPS (2000). Statistik Kesejahteraan Penduduk 1999. PKPM Unika Atmajaya (2000). Summary of RAR 2000 in 8 cities. Unpublished report . Departemen Tenaga Kerja (1997). Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Rl No. SE-12/M/BW/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Anak yang Bekerja. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja Rl. Departemen Tenaga Kerja (1999/2000). Pokok-pokok tentang Kerja ke Luar Negeri. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Direktorat Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri. Departemen Sosial (n.d.) Act of the Republic of Indonesia No. 4/ 1979 concening Child Welfare. Jakarta: Departemen Sosial Rl. Departemen Sosial (1997). Buku Putih Rehabilitasi Sosial Tuna Susila. Jakarta: Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial. Hull, T., Sulistyaningsih, E., & Jones, G.W. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation. !Vniiu,'iinfc'iin (Ulí livli ■ 139
Imawan, Wynandin (1999). Dampak Krisis Ekonomi pada Perkembangan Jumlah Pekerja Anak: Berdasarkan Data Terbaru Desember 1998. Makalah Pada the National Conference on Child Labour: Formulating Policy and Finding Solutions. Bogor, 22-24 July. Irwanto, et al (2000). Situation of Street Children in Indonesia: Results of Social Mapping and Survey in 12 Cities. Draft Laporan Akhir ADB project No. TA-3043-INO. Irwanto, Martini, T., Wutun, Y., Prihartono, J., Marina, K., Sutyanto, B., Susanti, E., & Jalal, M. (1997). Anak yang Dilacurkan: Studi Kasus di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Unpublished report monograph for IPEC-ILO. Farid, Mohamad (1997). Anak yang mengalami kekerasan seksual In Irwanto, Farid, M. & Anwar, J. (1999). Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Análisis Situasi. Jakarta: Kerjasama PKPM Unika Atma Jaya, Departemen Sosial, dan UNICEF. Lendriyono, Fauzik (2000). Pekerja Anak Perempuan dan Pelecehan Seksual: Studi Kasus tentang Pelecehan Seksual terhadap Anak yang Bekerja sebagai Pelayan Minuman di Taman Viaduk Jatinegara, Jakarta Timur. Thesis Magister pada Program Studi Sosiologi, Kekhususan llmu Kesejahteraan Sosial, FISIP - Ul, Depok. Mani, A. (1996). Going Home to Cry: An Analysis of Labour Migrant Letters. Southeast Asian Journal of Social Sciences, 24(2), p. 84-98. Mboi, Nafsiah & Irwanto and associates (1998). Indonesian Experience with Child Labour: Looking for Best Practices. Unpublished report to ILO/IPEC Jakarta, Indonesia. Oey-Gardiner, Mayling (1997). "Feminisasi dunia pendidikan". Dalam Smita Notosusanto & E. Kristi Purwandari (Eds.). Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta: Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia, Kompas, and Yayasan Obor. Rohman & Starinne, A.R (2000). Anak Jalanan di Kuta dan Resiko terhadap PMS, HIV/AIDS: Profil Sosial Ekonomi, Faktor Resiko, Pola Aktivitas Sehari-hari, Perilaku Seksual, Jaringan Sosial, Permasalahan dan Kebutuhan. Denpasar: Kerjasama UPLEK Universitas Udayana dan Aus AID
FerdagunganíiriÍMÍdi Indnneniu 140
Sedyaningsih-Mamahit (1999). Perempuan-perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan the Ford Foundation. Setiadi (1999). Konteks sosio-kultural migrasi Internasional: Kasus di Lewotolok, Plores Timur. Populasi, 10(2), p. 17-38. Suyanto, Bagong (2000). "Komersialisasi dan eksploitasi seksual anak perempuan". Dalam Sri Sanituti Hariadi, S.D. Kristanto, and B. Suyanto (Eds.). Anak Rawan: Bunga Rampai tentang Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Surabaya: Lembaga Perlindungan Anak & UNICEF. Sofian, Ahmad (1999). Flesh Trade of Sumatra: Children are Lured to Brothels In Remote Places by Slimy Operators. International Pressure can help free them. Inside Indonesia. July-September, p. 21-22. Sanioso, T. (1997). Seksualitas dan Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit IND-HILL-CO. Tamtiari, Win! (1999). Dampak Social Migrasi Tenaga Kerja ke Malaysia. Populasi, 10(2), p. 39-56. Tim APJATI (n.d.) Pelaksanaan operasional pelayanan/ pemulangan TKI ke daerah asal, sejak dari Bendara Internasional ke Hall A Ex "IAS". Jakarta; APJATI. Triantoro, W.B. (1999). Migrasi Illegal dan Legal ke Malaysia Barat: Kasus Migrasi Internasional di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Populasi, 10(2), p. 3-16. UNESCO (2000). The World Education Report. Paris: Unesco UNICEF (2000). Data Pembuka Mata. Jakarta: Antara & LIPI. "Wong" Jateng berminat kerja di LN, Kompas daily, September 16, 2000, p. 32. Yayasan KITA (2000). Drug Abuse and HIV/AIDS/HCV: Sharing Responsibility to Face the New Millennium. Unpublished internal report to HAPP project.
l'erdagHiigun anakdi Indonfsin 141
Yentriyani, Andy (2000). Perdagangan Perempuan (Trafficking of Women): Sebuah Konsekuensi System Kapitalis Dunia. Studi Kasus Perkawinan Trans-nasional Indonesia-Taiwan 1992-1995. Skripsi Sarjana pada Jurusan Hubungan Internasional FISIP - Ul, Depok.
PerdaganganOnSlCdi Indonenia 142
Lampiran 1
Tabel 8 Angka Partisipasi Sekolah di SD, SLTP dan SLTA pada tiap provinsi tahun 1998 Propinsi
SD
SLTP
D.I Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung
93.1 93.8 92.4 94.2 90.8 91.4 92.4 92.3
57.7 63.2 61.7 58.7 52.2 54.6 50.0 56.7
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
92.7 92.7 94.2 94.1 92.2
75.8 54.1 60.5 71.0 58.8
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur
93.6 91.1 87.8 70.1
67.8 49.4 34.1 33.9
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan
Barat Tengah Selatan Timur
88.5 93.5 92.6 92.4
40.8 45.9 51.9 57.8
Utara Tengah Selatan Tenggara
90.2 90.0 86.9 90.5
54.8 48.3 48.2 56.6
91.1 80.0 92.3
56.7 42.4 56.9
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi
Maluku Irian Jaya Indonesia Sumber : Sakernas 1998
IVnliiUHiiKHn QJfiglíd i 143
Lampiran 2
Tabel 9 Area untuk Kajian/Penelitian Lanjutan
Tipe Perdagangan
Area Penelitian
Anak dalam industri seksual komersial
Peran dari "significant others". Pembelajaran sosia!. Infrastruktur di lingkungan tempat tinggal (sekolah, pelayanan kesehatan, informasi - televisi, radio, dll). Jalur/rute dan cara perekutan berbeda. Agen, baik dari dalam maupun luar negeri. Tipe-tipe penempatan yang biasa mereka lakukan, di dalam maupun di luar negeri. Kategori klien dan alasan mereka memanfaatkan anak-anak. Contoh-contoh dari tanggapan/respon dan tindakan yang terbaik. Kapasitas masyarakat tradisional untuk menerima kembali keberadaan anak-anak tersebut.
Pembantu Rumah tangga
Peran dari agen penyuplai tenaga kerja. Jenis kontrak atau kesepakatan - bila ada - yang melibatkan agen tenaga kerja atau perantara, anak dan majikan. Besarnya keuntungan yang didapat oleh majikan. Aksesibilitas terhadap pelayanan umum misalnya waktu luang, kesehatan dan pendidikan. Gagasan untuk perlindungan. Untuk pekerja antar negara - seluruh mekanisme untuk menghapuskan perdagangan buruh, kondisi yang dapat memungkinkan pekerja memiliki akses terhadap perlindungan, peran dari pemegang kekuasaan di daerah asal dan daerah tujuan. Contoh-contoh tindakan yang terbaik, baik dari majikan, LSM dan kelompok masyarakat.
Perdaytuigun illlillv'li I 144
Tipe Perdagangan Pengemis
Area PenelWan Daerah pengirim di Indonesia dan faktorfaktor penyebabnya. Peran dari adat istiadat atau kepercayaan masyarakat serta orang tua. Peran dari kelompok yang terorganisasi di kota-kota. Subkultur yang berbeda dan berpengaruh dalam kelompok pengemis Kajian ulang dari peraturan dan hukum yang ada untuk diterapkan dalam melindungi anak terhadap perekrutan dan pemanfaatan sebagai pengemis.
Pedophile
Eksplorasi terhadap peran dari kejahatan yang terorganisasi dalam negara. Tujuan seleksi dan perekrutan. Mekanisme yang digunakan, baik yang modern (misalnya IT Media) maupun tradisional, tipe-tipe eksploitasi yang berbeda (pomografi, kekerasan seksual, dll), Peran dari penguasa dan institusi lokal dalam mendukung atau mencegah insiden tersebut, peran dari polisi. Mendokumen-tasi pengalaman dalam pencegahan eksploitasi semacam ini. Mengkaji ulang perangkat dan prosedur hukum untuk menangani insiden ini dengan cara yang lebih efisien.
Perdagangan obatobat terlarang
Tujuan seleksi dan perekrutan. Keterlibatan organisas! kejahatan di tingkat lokal maupun internasional. Penggunaan narkotika dan obat-obatan serta jenjang karir sebagai pengedar. Peran dari aparat penegak hukum serta institusi di masyarakat dalam pencegahan.
Lain-lain
Kami masih harus mempelajari lebih banyak (keseluruhan siklus) tentang insiden perdagangan untuk eksploitasi buruh di daerah perkebunan, kawin kontrak dan lainnya.
Penelitian dalam aspek pendukung psiko-sosial
Ferdiigangiin cUlOlíd ¡ Indonesia 145
Tipe Perdagangan
Area Penelitian
Kondisi anak.
Pengalaman traumatis dan dampaknya terhadap kondisi emosi dan fisik anak. Usaha dan partisipasi anak dalam menyesuaikan diri dengan trauma.
Sistem bantuan
Institusi dan masyarakat yang mempunyai keinginan untuk membantu proses rehabilitasi dan penyatuan program.
Kapasitas yang dimiliki oleh institusi yang relevan.
Jenis pelayanan dan potensi yang tersedia di masyarakat dalam membantu trauma yang dialami oleh anak-anak.
FerclutfanminHTiclkdi Indoni'siu 146
cz ^CD a) -QroO -bt:co ca m. JÜ cco ^ < O GÛ z cc oo
LU ^ co t: o CC ^ CÉ
CZ 41 'p ro cô •. -ri_ -s , • ™ro -i -S .= S ™ 2^ ^ g ro S J ■= as co as -a aï ^ ^ ^ EEco en J1 E M ™ ° -g: s Q3 co £3 ^ • ë S = lë .a, -ï; _ü -sco -r-1 . e e -S e =5 (S- -S
o c s IH a E ra
co c < c (O O) 0 § ^ O) 1 "E PS. m o o. _C0• o
"OCOr— -==S CO=3 •—Ç ~= —q5 ES
03 O_ "O •— "O TO _ -S -oTO -üOJ "=Q3 -E is O. 00 Û_ I—QJ CO Q_ I
Ecf is CO ■=TO- Cûm —ra ri d ~ iS . co E - E -O — 5 CO iS to ^ Q d CO g —S ZD ro% 5 d -Sco p. — CO •— S o o-— Q3TO^^TOa3S —icccûpS E .92 cû Q ^2 co—
< —I CC < LU 00 < o<
SI3 £5 0Ç
LU < CL. < CO CD ^ Z >— cc lu
CO — is <13 E "3 -Q & fosi -s m
co co czcococoço^PS. S co 5,-oíí cd^ œ o 03 c o. en x:ZD j*:03 D5Ç ^2 TO E0 iIi|sisiil s S Tel .o-S # ë S ë CLE S § 13E "O .d .2 -O HZ3 "i Ex3X2
II g O □: q CC UJ O Q. ^ *c UQ
s?^ " _ 03 ^ ^ -S —•
2 cû GÛco co co^ _TO "S TO TO
"Od -3CQ3 TO CQ ._E TO 03 S => C3 c Ü2 ^ -Q Q3 iS O CO E CD CÛ ¡5CO • J?]0 CO -TO O ' L_03 'I CNJ S as= io "F g^ -3£
00 y O) d "OQ3 O) Sco S3 co É co
TO ^ CO>: ^
.E :
O _ E ^ Sga TO Q — JSCCO d ZDCDd
Û_ d =j d
Pmitiguiwun ariakii 147
X
S3 O GÛ Z GC OO
-ÍS S- Q3 •""" «"«Htocn^^-""3™ ■ '•= c S S a® Q. J2 ¿/:> Jc 2 £ s 0 —cu CZm ^ «= E ^ :ti i'' -r3) , _ ' a, ^>> CO = oj 2 •— ^ T3 ' CO^-!S'S '! § -S g 2 ^ = r- sie-=c.!2 =2 <13 ^¡J S iS ¿3 03g Q3 03 n: .Era ^ ^S^SL^comc^-^s^o-^co -H ^ o) -a*: _ X2 ■e^ E cCO L. co o» Ero 1 ills => g11!- -§ i s. S ! e --i > > O) §8.§âLg.Œg,.2â.E-gïE
Í22 ol
CO TO SC1 O) £? co= -3Cg «' -£ >, S iS 05 TO ^ £ r-^ j=E c= «=co fô ^ « >3 E .ÎS. = E ^ jgro 53 cop_o¿§E "a5 co m ^ _ S 5? 9--° , -iQ3 9 5 CL 9 cô « 32 : I— fc ^Q3 C3 CO CT CZ 03CO
E
*= S ; QC -J g ^ i GC u] O CL < < So
< =3
CO z < GC
X < -j Œ < LU CO < O<
= ■sS Q-i •= r - S O) C I^Sc^ O) •—co- cr eo
i< Œ S cô Eg _j < < ^Si ' UJ CL < tD
HerdagaiigunOHOkdi Indonesu 148
om z ce o o àe ^
C/3 LU 3 ^ CO t o S ce CC
^ CS ?? z go i| 2S
< 3
-S g1 -, i S3 S mS c S sS _ -J c O) Ô3 f ^ S S5r tf m | l: S3 JS .o95 ¿gcr ■= S. I ë •§. c/5 ^ Isa 1 a aio> -£= co ro .E ^ C TO ^ O) 03 fc= J*:TOZD jO TO Q_
J= to ra "o to JH ra ra Q3 S S :=s 2 -a £ -^ TO „E « E ^ s. TO .E 0 O) ._ - :rr Q355 .2. «2 cz £ <=E ra .ti ra po ^ tr E i' fcE j- S o) .E ^E "o ra iS E 03 jtas 73 aj
1 Sf CT ™ 3 TO -o g' sr ai — 1- so g S3 roTO>> tO3 2 -§ ¿ a g áí S^ TO ja03 _ra to to ra -¿¿TO çq 'tr 03 -Q TO —IO !3¿ÜO §V3 CO3
< tr
§ H- CO 3 £2 oc ■«aro
•• 73ra Ec=2 Ë i — TO
¿2 OC 2 LU a. S
cz a i a § j sJ "g ié "M. e03 "i! û-03 e TO 73 Q. I
iVttia^Hngaii rtflrlkdi Indonesia 149
to QI : "to r: CDE
Qc 2 ra as CL.03 ••Q3-
a.! ai C3) iS ro eras n^r
£2 < O: CD cu oo
00 ^ LU ê co tr 0£ OC 01 CE m
CD il S û_ 2 Q cvOC LU O û< ~ < a
-£=ca 2 tñ Œ>
cq .= cq .
cq=3 1qctj _ _ ^ -câ10 a ¿= c « g s5 «- «co S Œ> cq
T JS "fO OJ tg 5 e S f§ 52eu J5 c=m -nce E—. -S£ -23
cq Eas■ ^ çq EO—, as Oí
O) cz j| çq >, cq2 q£ C3) cq ;
1
, 5C H
.® cq E s g gl C =3
cq o ë ^ e 'l-i çq • —
:
fc "$ Ü g E ■™ « 9S 1 5,-8
cq' --cq cq çq O) cq o> cq ^ i— co^ cq • cq ^ S O) : cq cq .Oas cqQ. . "O cr xi cq "s XK .ç 'çcqo .oas ^ .E •ti
cq cpS co cq
^ çq i & E T ^as Qie
^ co E .
< OC
< oc LU < Q
—! < CO <
™ s is E
;i -= H~ < CO < CO oc 5 E c> 2 ^ se
S5 3 ~ -Silas ecq "S cq Q_ cq "O
i - LU û_ < CD
lVnltiKuiiíí«nHHÍlk*l> I 150
a5 ^ e: as O-
TO "O TO ^• _ CTO CZ0> '. O) TO X3 fililí 03 to •*"> c: S's 1 JXL "ii— II CZ O) C
S2< om ce oo
15i
TO > — ^
cz to -S S ^m -O ■e^r —cz -2 _ J2 on=2 TO Q_ ^ ^ t ^zTO « =5
cr en .1. g. co 03 -tr: TO en .oS ^î— — ■-to S s ic — aflî -s ^as '^r TO cTO O) E ^ 53
co LU ^ S tu CE CD 5 CE wJ g CE LU O QS§ Sg
TO ^ ro
S CD jS t O E a:
g 3 dto '
& "O CZan E
< ZD —> ES
< CE
< CE LU < O
_J < CO < -S
en
S> O• TO TO W g- E ro ro '*** » —¡ 1 t .i. i rr = ¿2 "ro an an iS S cm 3 -x Cû o. -25 ■«— ce .3;
~
IeS gŒ « eC LU 5 ^ - lu
u |ss
toen û-55
d=3 dto
on Q™ "a
IVnluKim^im anak.i 151
en
-2
"O -se: an "gto dzn Cl_Sñ TO£r .9"O CO .O
S2 5 O CD z oc oo
!_g I.-S Sis-s-E s-s ^ ™.s a-s « *: o
3 3
.b-E ^ ^ ,o> — £o vw g. C ? o- c=--« sa s ™ S on S S.!! >¡ 2 S Ss âS §"■ S5 %--3 .S •"cE ^ =E S ^ t c; t c; £ É Q- c § 05 "O ta DsÉ o ix.ca O-cu J2 ro û_cl> J2 co -E i reQ. ^
ûû ro a) "re
CO Z
S s < UJ CO < á
SI ES
—Qi rere cre ~ "o
Herdagungiin QTlOkdi Indonesia 152
CO § o zS
CO LU ^ ^ CO tr o2 gEi
ÇD
JS2 ^ CO CDEo XD 11 2 e iSl ."* Cü03 -o
s -i
CO 'CojT eo •Sif—2 ^5 CQ
CT3 "O coO) coCO -ç:_^ Ey- _5 co y f-i E 'co Q3 ^ en ÍS co -£2^0)^ S o CD ID O) X2 en co ■ £ cd c •-o _§ £ -e «3 — i2 CT = CO CO ^ JX "O CQ O S*5,
eo 93 cd 03 = -S s -5 cf eo — "o ^—, eo E — -r—i _ eoO) "55 eo -g*5 S m^3 CO is -E" -5: Œô 2 o
-= 3 £o ^ Q-
li_ û_ eo
2 -íc 22o .9_2 ~ "c=3 U-CO O
E _eo eo Gû
< 3 3
CO ce
SS5 <<
sS J2 I— OQ ce jceg ui 5 CD oj O ^ CC S Z f— LU û-S
eo eo CS
PordiiKtiiiftim anak.ni 153
i, ccczractjco-— '<75,|I-¡|1I^1 rO CO z cc oo
CO UJ ^ z c/5 o tr cc cc £* cu 11 -i s CL o ^z CC lu O O. ¿Z ^O
< ID
«3C CO c "I -=;CO 2 2 "ó^ !._2íCÜ SEE 1
~ •=r E i .S. i §3 ^E_
CO _CO coQ. 3 c: Qcu co=3 » CO
03 CO cCO OECU ™¿, — Q coE s? -5
coTO S^ -Qcu —^1 p 'S re .co - ^a3 mTO cu^
CO Oí Oí -5^ cor E coc c;to ^ c => -a¿= -5 cp o S— -ScoQ o c:E TO i—Ç ._g C mOí cCO St: -g_ s—i — § -s o) S — "o x: c «5$5 o-— ro" -c ■*=£ OJ C3) S ty^TO-gc^CTcj) S co cr • Q co S. .2<5 m ™ro
cu -tO •—^ ~ «45 PCOqj CT O* ^.
to -*—cu PETO TOco -rM TD
'co TO c -pa Sí J2 "co cu ÇZCi. — ^ TO^ O) Çi"mT3-^_TO <35 ç/) u CU "O E ÛQ
co" Sí CO E TO gS O - »| co ~ -2 co" co 2 &2^S 3 ^^^ = 2 < œ S.
< CC
X < -J cc < LU CO < o<
Se oo• • CO = X3g-
gp2 < co cc
má< ,— SSi lu
w co cu "O ~co Q_cu co
o Z anak.in 154
w
O GO z OC o mo
en T= TOir ^=; ir — Q.J3ra ^ -*en E en E cl-^ e CU .cr-ODcDQ.CON.c—rac ~E^ra.EraESro ^5 co e "O co .ra. ' e § "sa 2o-roE — ^crag SS- "C3ra ' '- ^ "303 œ_2 _ S § rao_ O) 2 TO i— >— c/? o3 racr» c:ra c03 03 ra Sn E -t TD Q. ^ ^ E S co E . \_ Cl.
.a "O s -S ra co
-O "O "O
CO ^ :— e ^ <= e .ô ■S "o 2co x: E »—^_ '-ea» B -Q -2 g. oo i2 o •— (13 CO O
E co S COCL O ra E^ ^03 ^3 Q5 1COb; raSQ. O e03 -o" CD ë -i -2 SÍ
< ZD
< oc
< oc LU < O
-_! < C/D <
COOí ECO — 2cô .E — co e
1 -v =É ^ < -= t— Cû S ^ ce Seo g "• se
LU S e • uu
:
en co ra g ; co .E -~co 7=5 ' ra = _^ 03 -= «CL 52 Oí <J"g Q3 có 1 § ~ Mm .S t°-5 C CO s '"£ -o™a? "O J2 g. ^203 E ^ CO <33 &0 Û-
CO ^ LU w tr O ce ^ CE £X
n Kg 00 LU O Û_
S -s
-Q= Q_03
J*:co coe
"Ora "O^
OÎ Q3c= Q.
-Otr ra 03CL TD O 03 û-03 eco -3*:03 cl
Ferciu^an^un BflBKcU Indoiifsia 155
i g 3 om zo ce o ^
E -5 • — w— .
L S3
-e Si 3 'd -2 1
CO ^ LU 2 °1
iÈ es
ooco = -ao
a
11 ¿8 DÇ Ui PÛÉl
£ .ÇO 3
iJ ■scil! co — co—as -ÜÍ ^o ro *=ro .i 2 ^ S05 -2 E P "o -o c=> i_2■ — fS s s i §. 1 .s « 5lâsJ-J as o -ss ^ c kT |.i &|:— " 2 T=3 "O \—:- "a * ^co- .— "O
.2 ^z:° 2 W E i2 Oû ^ J§ ^ s s-js jsiis -£ S "2 e-e: o co « — ■SiS i CO/—Ti CO O) ÇO Sí, O) <2 CO CZc = g" Ii J¿cq "S o.. 1 f—co ds; r— =£c: - — ICL gCO i s s o .O . E c g = •2 £ g>i2 ig | -SSro q. os ^co sros c o O co ■ iS
-i ® o ^ E
< 13 —> 13
iz CO < a:
< —i ce co < uj < á
5É 5 CO ce ái Eg uj < < aígg
If sil|li i |i i^i ji|;il|? ¡reasraiSzaci^asasiS ; o. Q_ co "a co2:.s¿.o co
a! Û-OJ CCO cd
Ferdagun^an ¿UTlâkdi I 156
O Z 03 CC OO
co LU 2 co tr o^
CO ^ ra o. _U ■3CO "S = a> co ill
ss eo -c i5
re 3 i? CO 2 eoco £^ -5É -5, cr ¿2 3 re . ra2^ -a¿CO "5 '5 . CO C 03 •£; 1
ra -Q ra cco co S = ii -o o "O -se £2 E
^ CO 55 > tr CC LU Ji <■ O <
ë
ISS g*1
^1 • S5 oc
: -3 » -§ — cra ^3 -ae CO O) ra •= :=^
,< CL Q CC Z ss
Perdugangan anaki.di indonridu 157
< ^ co o ^ oc oo
en LU en tz o^ ce &^
CD O §!; CC -> S CL O ce S o a. < < LC Q
i a3 ^ ro CO cn ^ -, as .E "as rara 'o ^ P c-o c ¿r. » t E PSi p .3 _a^-°|-3 g^'E ^ ^ ^Q.o)C c = ca «t E cj*: c75 "a ir E^"o E .ci o ra i ra rai c5 .E, c --^ra JS qj o cra E E ora 'p ™ £ 75 _ SE ' «_ j*:^ . S E E E ra co • £ » ; .c^ oí £ ra ra ■t s ES Í2 E cu M cu -2 ""ra O. Q. O-o û_ E "o o. -E :=, a. Z
ra -Q ra ra ci^ra J5 ^ O. ^¿1—¿
S -S E E 'Ëf
1
< ce _ra«;ra "TXra- "arara 3= S . cí^ g ra o> ra E 2 ra
ra>, rac 5 £
— _gra raE£ co jí: i Ë O) ra j*: • P co ra -x: ra -5^ ra raîfl E-j •— â §> 5 _ra3cu -S ra ■—en ra o) c çzC cco co — ra —in4 ■çf •rj—' - r— Zo ^ =3ra 2_, ra O) ra rara ci. ra o. je -Q co •—Q. jÛ_ra-' ra O. ^ iai EiiíiS ra
r S ^ra "Era Qi3 ^2ra -2ra ¡ en .= co
x < -J ce < tu cn < o<
55-
a> I ra S
1 sx ^ ^ p CC 2 5^ ;a:0
éÜ & < a. cD
Perdagtmgun cülclkdi 1 158
£ < O CD z oc oo
CO UJ co o OC CL
11 1 ¡e; ê tr £ CC ^
a> .2, co = en en . a2 ow wo "í ^oj^ oscuen - c:Q,TO -=í= TO ^ eTO TOiS gè &« â§?-g ce c c-3 er £t w = Eu¿ ^ E cr o. Ci. tS enCl "OOto
• ís i s 1TO TO
i— g ra"—
CO E rn OJ r^' g- Eo. "roO3 ra^ \1 5■ TO 2C lililí I ra ¡f l¡ .S- ra ^ ra —' T3 , = TO o TO " ;! jcto ÊCD 2 -.5 = 1 » ™ c:ElaJ s^ ¡I i cdsgasgfe'-grfSgraS-j "OTO
iC CD il -j O. S O z OC UJ O Q< u- < O
Eo TO 12üs ra
< OC
X < _J Œ < UJ CO << o
-=: S
= h- < CQ 52 ce nr O
UJ < < ^ LU a. g
es craoj f=i S—' o» ra - 2
TOra E ra ra too. -cr -igto ra en g. 5 ^ to 5 i2
Ferdagnngan cITIálCdi Indonesia 159
roO) co O o) ¿2
S2 § O QQ z cc oo >>■00.
E S
Sí o. « E Ecô ■£= O) = co s E=
O S5 E&
—= -= O. .2 CO ai I
co .S» "O E ra o » = 8-5 « «
ra ^ -o,
as *g S s 5. '«3
ra E o '.O 03 "O o CO • ^ CD —ï! O Z ; ce tj o i* CE LU O Q5; Z <E < So
ra S •ira ™! c -c 3 «ii f S .= 2 'pË E E2 rac <S o c/5 tu .2, £ .=o a.os ^3
Erao> >^Q3 O
^ ra
< CE
2< UJ v> á<£ I ^ O) £_ •2 £-râ S = ^ .S ra to g» E 0 --a-^£-ES."^c32p ^aï-oS^rao^S-SjSo) CD^^Sí — O-O-^oja^ ^ c _, C7> —:ra 4S.í2EÍ.Í|é|g™Ej§g 2 c-o ëro wJS^CÛ E CD) o as >>
fc SÉ 60 < * < h00 CE ^E9
Síli ffg
S o a3 c -s^-g =. c -Eû_03 ra "o "o
, § iS ^ gto :§. "O
- CO— cra> ^ O) g o. 1 ra
i O) — o. "e ■— Eo 1 co S co
Perdagangan anak;.di Indonesia 160
cz jh : 3^ 32ro H i ís é % S 03 B -& k_ s. c Q_ _t c: -* t= m T3 ''« W^ S -O S, EQiOJ) CO P= co oo E w_cz "Oraï2 E z: -i— —i= "ro " œ ra œ -o *— co -o co I— ._ ^ Q.
£2 < o CÛ : ce oo
ra ?■
ra co Era co : S^ E S p-55 I .
"O —2> co >-. o.
a3 co ra "S -S ra . ra ~ CD>— CDp CO
"É s -i o = ce S: OC ^
co 'c:co CO O en co
"a ca o. cd pcu rai— g^ ja ^ cz c5 -2CO o2
^o 11 -JO : Ql z o ^ ;i ce o lu Qgz SQ
r— ra 0 )' .E " .ra {-m 0-o E û_ra -o^ ra
"cd CÛ ES _g
< ID
ra ra » ^raI mra ^ra -n -C2 E^ ~ ra ra ±= û_ cl cl.vira_. ra
E ra ^ "ra rara ra cra S 2 ¿g ü Q. ^ Q. .=
Qra —ra1 cf ra cñ cr xr ra tdra
< GC
z: < -j Œ< UJ CO < O<
fc —< * < I— co CO ce 25 uS^ o -r
• ás PSSI ü- 3
<S Q ■ ra ra roO) á "§ c^d ? -3 c S 2rara iS g ^ co E
c -S ^ ra
'-î= raro ra S — cE co ra ^ E cl o. S ¿H:, ^ ^ S râ ■ora j*: _c .ra, E2 ra ra û_ czj J*:ra —a
PerdagangHn anakd. 161
o> ra ^ O) ^ ra E ra Û-ra cZ3 ra Q.
S5 < o Z CO CE Oo
cos 1 ^
Z LU CO «; LU ^ co fcr o ^ nr g; CE
^O §1 Si CE LU Oü<1 u- O
-* s00 1
SP W ra S O) ï 03 C7> c s E os = s -P= i& •*03 "co "cô -á± ra S. ra
w oo co ao» 3 C Q3i" ra Eir O ES 2 S o.
CO• §5 I
< e
< CE < O< i^z < co cc :l ¡EO ^^
Pvrduyungun 3H9i(d i Indonexla 162
63.
* c s ■H a E a
i^ — 0) Xi /0 H
co o O ÇO TJ
1S «
ro ça < o.
ça ca < a.
ca ca a> ca
^O) o> ca^ "2i= ca S «g s s? ca g 5 S" 6 ca ^ c« o 5 "2 a § i û-a S13 ^îâ £ 05
-S .a -= ro= .52. "O3 = C CO en œQ. OJ . = JSC « O. _ ^ - B = 00 »: 'ScaS1 < § ~ i •=• .2 S " c: Q- _ a> & ca oo :j; -Q 03 J*: 03 MË-MÈ I CO CO TDca o «s 58^ ca — >— ^a. c»-
Perdagangan âTlâkdi Indonesia 163
ra ■o ra —ra rara — "O ra o a> J3 S Vô Ç5 S^ râ o ra CD s -S 3 CC ra o ■=ra 'aï q\ ra ojo coas ra ra = <=» JO CL "O03 lo _ _c O ra asco
-Q.^rora 05 0 ojra raÇ i2Sra cra JH Si"" E ci
-S stv> 03 œra ¿as o? 00 "O -Js*: GC
ES.
E „
raCl ra ro^ .oaï 'ra ra <S E
« .a .a ^
g« ig .ss. .a
g»10 g. a 1 tial 1=3 oí 'ro a ws ra jsl; ra ^ oï ■o 3 g> ra í/3 ■a>— -ra —j rar-i oo-v oj ra ai oî q_ ra co co aï m il CO
Ferdugangun âllâkdi 1 164
S -gra 'i ra
¿í ra 1o. "a 9 3 o> -*= O- "o ra .ra "S ^O. *"5 ^ jj. ra ra ra "S ^e i2 '=r
rara ^ fe ^ 75 ra _3 "g S. fe ra — .0- •— ra rao. as aa. s E s^ S 11- E J j£ .ça. .ça. sSS^
o» £ o»
E "to
To c= O) oj CZ "O '"Ó E. 00 TO g *=■ — í "to TO E S •—
ÛQ .O "O "O
03 7n2 _aj c: tZ co TO to "S 3? TO T=J «• : 5: cn "O • CZa Ç -i TOcr CO 03 TO SQ. IE BOTOTO
ra a. i!_ £ .5. ra ss t= = ra
ra .rara ra e ra S § CTJ Q. ¡1. 03 îCO03 Q.
TO -OCDCD
=5 s a-s
CO "TO CÇr
^ TO 03 ^C "çÊ o. •— £ "c^Q. Q=> TZ TO O) -*•9 •T- ~ TOS -Q Q3 TO S ~ 1 £ 35 g &E s a
-s « COi ^
PerdugBii^an âDcÛfrli Indonesia 165
J5£ TO s t CD -Q "^3 Q3 c ^ TO CO • C CO 1 TO g. g •= 3 -o to ,¿5 r_ 03 TO TOO) S "O .52 TO
1 Ë i
slfpllilll i=caa3±=
«I OB e S
_C/5 W —1 E2 -C m
^ la «s « S "o ■ ™ v -S :^c — E JTiPCWir'— E «3 : -S m £ "H r^S='C «^iiSgg'gSm^ ■03^ :— t -O t "O
s
s s
Si
S s 8 S
p , s qj eu ro Ef | s g1 ai .a s S, § a S
1 E^ g Cg1 S . S5a> — o - £2 S Q-c/î Ï5 "2 -S ^ S5, aï S " S. ™ E a .S Ta "S 5 ra o) i a« sa «5 ^ ra 03 E c ra i¿ trt •< ü
£S II
é'erdagangan anakdü 166
c s
¿5 fO ¿5 " "is -g "S Q- ~ o. ag co "oB ro rî re0 IaE | Si to E«2 -9 —>9- ro^ | 1 ° SSi £ I r— I <55 Ü " £ — ■" TO "c =^ s. « ■" s " -si •C J2 =J 2 »—QJ -o o -S w JS _ Q3 "ÍS c ta "a — cE E « SB « QÛ to ro ja ss
am E .2.
re= c:to ^ •= "ro -S — TO TO ^ TO "iœ «^ O) í CL "o =^ -2*:£== -a ^«u = « ^3 to Ec =»
O •=TÏ 5 "O ro 5 2= .SH. re co o- -j=3
E co c ^ -TO TÍ5 to
iB —TO tO
E „ £ is M— Ss
e •= ■gS co =S «
'&"§ = « ™ m ra S E o
—TO -SS to J- 05 S. TO Q. "O ^ -Q ^ ra "o ra g g ^ ^ O. & îkTO C -o o to e sTO S 2> E 09 a 11
TO s= s 5 ceS-so r—
•Í6c TO^
PE =' to "O TO TO
>> a-s ■S £ s i ra E E to" o ÎÊ èS CETO O CM
Perdagungun âDâkdi Indonesia 167
O) ■=2" a> ^=3 c o: iS •- TO S aE ^ TO *« £ ^ e i3 g] ™P JS S = §= t c £ S C^ ^ Ü.-ë 2
fiI-§
CP r(T3—i
Ea £2
"Z E 5eg -Seg -gco
eg i o COqj
€ S
™ E en£ -cQ-
eg
o. ©S E CD
TO *» a.
TO ^ O) "Ocgi_ j*;r3 Q_CD dC
To en to _Q Q3co
S>-o oo^ <üa>
•o ■=■■£• g Sà S ^ o. S. jDçgCD
eg to eg eg H. ro js « -g-'ë-Tà « S E S 3!s S -S s s ë g g. g. g ¡r ' g. a -eg TOO) '"O •=TO Nw—O a ^ ■=to Od eg je3 TO O) "O oo 1— ^ CO CD TO C CD-I§ £ -iC Q-To CD CD CO 03 CO
0» €0 I'l
ce co CD «5 CM
Fenluicangan anakdii. 168
j*:^ STO Q. S. to 'ct= TO çg S o C TO 55 E ^ a c il -g -s ^ -= jr eg egO) .9-o Q. .2 eg eg g) to feP 15 ^to je= 2 co <£ § $ S E
E .2.
E
g' ^ " pre® CZ Q. = COOJ TO
CO ^' TO CTO O. =J CO
■=> CO TOa Q.
2 E
w CO M
0) ."tr CD «o Ea S !K co
TO _TO ^ ro "cr .3. ■ to c:TO a> œ co O) Q3 OS O. O. to TO l — TO— -r-j r-n —'. m_ 9 a s i2 Q_ Z3 COCD COCU
Cg coTO iTO § Q. 2 TO
EQ §" CD
—> TO^ CD Oj .eg 10 o. S — 1? ^ ™ S2 js*: en eu 1 aC _g £ to O "' CO
TO ™ Ss . É EO TOex CZ
TO TO c: 2
TO TO .CO TO Q5 ra S E_ TO CDcz £ w ,— a ^ g. TO TO iz -CZ=; JZ3 to co j*:TO xzCO
c\i
Fcrdiigangan ¡uiak.di Indonesia 169
,; i2 S .S. "o .—g. TTO JSC S) L aC S TO . E^ = CO
co s g CD fc ro j- — S s. B 1^-2 "1 .S- E ■S g. ™CJ) 2 =3 O) £ CL.re "c^ re en IS
c=C Q. .2 C c -S ^ .s. a eo » s "ï "O Q-
E §M '= -i f° S 01
if cñ ^ II
II
S ra CT> ^
€ aS
=CO S o
s
ra £ ra .2 ra .ra. w ^ -— re, ra fe S> g1 S S ë g S. 0 S. g S" ra râ o) s "Sra S S J2 C Û- 3 03 CO 03 CO
E^ o ï*:o CO
E^ p i = ra2 -g .2. » to S ^ SS C ÇD9 35 ra ^ ^ ^ -o ra 5- .9- £. m I 2 S ra "O m ra ë ni 3 ^«5 a s e h «s q_ c3 03 §5 o -3
Œ3 .. CD CO Q. S ^ CO S -*° CO ra ^ "3 -O O)C/D 03 rara cz ra rato -orara -2 cra -5É ra . S os ra .ra ^ .2, jai o. co CO CO Q.^ E C¿ 5 $2
2 cr> § aî co ^
Perdii^angon anaki.d¡ Indonexia 170
~ o So 5 £9
ra I E• S ^ O Qs5 E ® ra ra ^ « ra -E en -2
s S
CT35 J2 S S «3
ël
■S
O) § O TO "O -0 « 1 s ™ Sô-!? COC CSÍI CO CO ' o. .2 ra ^ E 1q O) o a>
ra E c J2 S"> ^ 8? S g g. TO SCO *S te s »5? ^ O) g « roOI ^ - 'rô S S2 O) Q> ^COTO -5¿ <S c "E= -g g Q- o c/5 ^
i -«0 M
CO |8 o Sï CD
^ s ë ro .« 48 «ço q5CO O to ^5 co o s>-eu St -ë i2 £TO CO c)5 TO -S S Jr' >—O s s E CL.
g o " TO s?
J2 ; iS ™CO -S co .S 8 .TO. 85CO g TO ETO TO""" TO TO -i¿ S ^TO CO Jg TOQ. CO TO O) TO "TO _ i®--O) TO S'~ TO'S2 COto f-s -S §ë S TO CO ■SCO o g Q_TO fc
Í2 TO) Q.^ E
O X Ferdagongan QUOlídi I 171
^ CO ^ "«r 51 3 os -50.51—03 ^ç ro CNJ ~ CNJ CCTO CM CM D_ CNJ
0 : iSe s f 1 <= IS S-'â Q5 -î— O aj p 1
CO at 1
-P "?= CO S =3 CJ)2 13 iS -8 ¡5 :=. c>5 Hg ^3
S P g E
.=• -S s. s =? ^ SgS 3 c=» ^ ^ iSo ~Q oj ûûra OO
E •=
1 ^ .09 w
S^ ©a co
E E Sco -g .£2. S ra, S os i05 s £ S C3 "g «= 10 .E- q. co S ra ra "P 3 SO) i
S iS il S"
' ' ra í8
^ m Sco 1 " •=• .s. oâ oí 93oj "ra c: .EQ. a-o o. rao) ra cz JS ra
S3
Ferdagan^un áíláií.d¡ Indonesia 172
Eo CO03 S s S ra Era JS ra ~ o
E E 03 Q.
sm -S .a. 8 CD g ¡5 ' rao) 93ra -gra ra = .S- o. ra 05"° o) ra ra E *pra Z3 -1ra cz «ira** ^*— toUra—1 -2a:o'•— Q_
gCD
JS eco O) 1
E ■=
Së
E jo
co €
¿2 S co
^o> -een ii5 ra "en ro ^ S
8 os gI ■1 .S. » ^Si i g. en '¡zr a5 ^ o en q5 S O) 9? -S jjj? S. ® S. "ô en w : O) oa en "S 3 f E S ■S E S8 £lll i i S? -S 1
^ CT5 i 0 « ra Q SÛ_o. CD (
.J_ en Q3 en Jiflf E ro^ c=^ m g! s «s s m ™O) S s is .ra .en sen ■§ ^ g- ra ^ ^ e áf S? o. o. 'crao _2 ra
S CO CT5 Q_o $ r-~
FenlHgangunâllâkdi Indonesia 173
1 a g' ai °i "55 ™ » .Ss -ï — Q. en ■ : S! !S i ¡ S? J
î=f~i en 0"5 S t-
Q. 3 C C s c CO a e C
î c= >5 ~ « _ :3 o o :o ?o .jO) § u-j
-s m £ a S ea <0 ■—
s .. e ca
CL oQ E ^r
coc Q3 E -P«5 îr: r-'
S CO i2 tra jg .S2. ra o> CITI K 0- -ç6 Q. -i -o ! S Q_03 ¡ .
ro S& i ^.g8™,-S-§_g ™c f = iS00 .-s -s 92 5 ^ S JSasto-si co.Q-S.ra E c 2 ^-a .— tñ i2 E v5 2 g so. s =3E "a ra
285 8.15 S E i ra03 O S, i; oS ceg <j> «i 9° S S?
E M
CO 1— ^ >*
Ferdu^ungun £UDâk^' I 174
2? c: S « C ^_ ca — Hî —' o. e= ^ ^ g fc= g c=
m e s ■> % ac
s? ■8 -S— ■S
c -¿g -s co a CZ s CT3 i "3 §* &=3 jg g "1 «
il I i a oo ^_, co -Q fÇ a s roQ. "O 3— âë o 35 8 E s
C=Ç • «3 O «3CO' — O) o a> 03 ^O) o 03 -§% LO -o 000 COCO ro ^ ^ g. o- sa S ■" =5= O) ™ --s g cq >— =Çy s<-> £? ■So ^ -E S iï "i ^ aa «o O ¿2
03 g -3CO cr c: 03 . a JZJCO "O « to :: ^ co S o g as .a " 03 ,— _ s i "S is
CO & 6.
CO i2 ^ CO o Q_CO
c=CO O) -1 CO C CO " «3 .2. ra m 03 = Q3ZZ03Q_ _5£ CO .£= CO O. £0 co CO 0cn cO c:as S2. -o c c "aCO .ac§ si
co ^ Oo _Q
09 ._ S s
CD CO Í— TO D_ ÛC CO S 03 o coc: -5É .S. co C33 03 ip _J S .S0 Q. CO S" «s CO .SÉ O) 03 "E03 .2 S P Q_ c3 -g co ^o
^ S -S «3s -S .2, » CO s5 a S2 Oí "ECO03 1== -g S 03 P Û_ 3 CO o
s ™™ -i 8 s. ro coO) - o5 O)"0 cô "E 3 M Q_« =3c -g CO
S' g S S £2 J2 E g ™ g E
cô .2. ^ C 03 Z3 a cCO "g Q- ^ -P O) CO co j*: — - O) co 03 û- 3 co03 03
£ = O SO 5 f>
Penlu^angHn anakdii 175
H — .2 y? co -o <¡3 CO
!S S J-' 01 S a 2^ I & =— — Era ■i « a .s s a :«I 0 5 a aSi TO^ 2f iü ^ TO TO J2 TO .TO ™ 2 5 TO TO p l_ c to to a5 22 3 Pi? iS j*; ^5 S ra S Q_ COTO gP ¿S TO Q_S CO CL E Si iS 3 J5
£ "o « S2 «*■> 1 i -QQJ -o Xq
_a c -S Qj Q3 1 "i ro ^
E0 =5 ™ Sg : .c .0oü 'ra S Üa s en -1 ra OÍ ^ S
E .2.
|I = ra = ETO Q-fO5 co c cñ ra ^ ™I ZD ~o t—
:
e^ STO -Q_ CÓ Q. Û3 i— œ jjc c= -SQ3 ra to23 = CD TO Q.
<13 ra _2 gü ra .ra —i§ TO COS "o "O "O ra ^c= 'Oœ ra .ra ^ ra raS01 5 -5£ to cr ra O- o. ~ro râ "ETO TO ^ O) "Era 3c Sto Eo □_ 3 co -ac
gto 5 .ra 3^ ^ STO 5 'ra -ifO) to —: C raS0 Q. TO S" TO -3¿ râOí 'ETO "Era S 3 E to jsíí o Q_ tz3 35
I CO
Pcrdii^angtin anak.ii I 176
gra 3 .2, sito gto eo S)10 'ra "PTO ra c5) to d.ra "toto "to<55
2^ TO <= TO <0 ra cfc
—™ "Oœ .E -i ro js « £s » i S Q_ m
jx:<13 — O) oco Ë S -O ^ c=œ ^ -o -e .2 -2 ca;= .£5 ctj a! S
x: raCO ié oí c S
Lr 03 -Q co 03 ro .o c* xs o) S£ co ca ra
S
_— c/î w v ~ Û- O 11es>» Q-
ifs 4^ s E <— 03C .3*:Q3 « E <13 .ïï â5 ï= E E
o. s BS.
S
= «s F 03
i_to -E_ ca s, ® O) ca ^ E -E m g o "S I § £ ™ "S
Eg ^■,a
ca i2 r-E O) TO caS_ 03"l. c=O) "ca ca É TO™ -i .S •;—■ : -S S JE S -S ct g -g ^ J= g <=1 o.^ TO ._ 'en E ^ 3 ças S c: -»= § û-as crj "g co ^o 23
I^ 51 TZ! ¿3 ro
PerdagHn^anâriâkdi Indonesia 177
85 .s- S..1 S,'a Si 1 If Q31 co j
tq w co p .g -ag Q5 C Q- C II E -S • 1 8 §1 ■Eo CS -O 5 •' .2 .2. c c : £ 2 503 -2 ÎS 3= q_W s. 2
•s* 5^ • SS? ô -S F, w j c/>« ■£ ?= *•» O) c c £' - 2 E =0 O •£ o. c .2 iss? as
is03 s. 03
cr e
co j=
—«3 E03 S«s g jr« eco E ¿2 E
s s
JS ç s s sS iaco a s = o) * '=" C tr 03Q. 03 .2. ÍR "O 03 S_2 ^ _■ 03 U> c eCO .S"O •—cl .2e/) "E • aL 0_ a :! a E -ë e i a .s s s
2 " e •
CO CO= <E Q.
JSC e i2 2 -§ $
g .2S a « .a. « CO 03 03 ™ S të — O2_ — «g , "O •— "(/> <_JJ 03 s E a -2
O) se 03 C 0Q. 2T=J •= ' !a ; a.
03 ^ 03 {? «2 oí 5 ^ 2 03 ^Tî 1 ® 8 w/ g 2 ECÎ co §5?Ü co Perda^angonâllâkdi Indonesia 178
fe s a i â s.
o oco. o 0 j=cc o «j o• "O co X2TO ^ C= iS 03 œ« C CD ^ ro cr ^ O ro9- "o
S. S i S. I® 5 &i Is
g -S .à gal «Ê S £
OC W i2 2eq -2 .2 9Ï ÎScq -i?<Í5 03«s» o> S3 S. eu .ro —• C .9CD ■^ isf 1 if s c=-g 0-£2 ro -O a5Q3 "ôï -2a? o g CD (S) JxC ^ m -=2 SCT3 -i .2, S m cq 1 -je [.a S so. S —
r: ^0 £ cco i to ^ .2 'i-S ^
•a E i
PerdagHnganQnokdi Indonesia 179
if Íillí i 0 S3 ^o _£ a :00 CO : ^5CO TO r- roo C C 1; !:
S -o := "O
45 — D_O
. ¿2 0 a5co Q-o «i CL ■55 Qf— Eq3 S -g > s s ™ Ero Q gr -o eO) oj 2 ?> :z: _ û_ O -o Q_ Û_o
Q_ E -2 0,3 CO E03 CC O JE Cl.
CO • co-£=^ co t g "S ^ -E '00 ^ co ^3O ™ E -O
i0303—1 « ra c: .E ^3 E .i= T=J
' : •if :
^
ra ^ -ó -o <13 O) IE -Sro —03 Ô .Eco ro -to t=ro f -s2 7, -t ■5S .i c: co
^ o? ^ C/3
m r" iS 4! E 1 raa i to s o. — «g 2 ^ «S
1CO T 03 ' $2 cS 53o. O ■= § 5S
1—co '1/3J-' _ic;ra . o. g ra ; E en
TO ; ^ ••s 1 ° ■§ S.
"O .2 •;— 5 Q3 O ^5, g Q. -oo? E ra _ ra 'to Û_ O ra to ra Jg CO iCO
ira g5 ra
«i 5 rC 55 3 -g ^
ra tb '— ra ra §,3_ ^ raO) =5 .ra. § Q3 co ÍR "O i B -o ^ ra
ra .g-i? "o g S i2 E95 ra o- "g§> g '3. i2 -E E g* ra SS co O) -Q Q3 ^ to c/> 5. E ,ra— ora ra -o ^ ra "o rap ra -goí g F -E-m co 'ra en o
I— o ra S.
Pi-fduyunyttn fjnftKdi Indcmesi» 180
r
i 'en o. 55 =3co (D > «a» TOTO Ç/D _ CO CNJ CO -SÉCD CO o.■ cs ^ E J2 ^érs =TO 11 1 E « "S tu /-v rs: TO— -*. ■e '-B TO TO 9 cieuTO ^ TOb- ■Ocr TO CL.™ JX;TO cd
O) CZ dTO S !îé E« £^ -st¿
= .<2 -g E .S. 2E raO —cz s ■% tí m et «2 B i CS s» ©a
COto E c:^ TO CO CD" -3 isi ë2< "<3- .92 CO "a• — •. .^. TO S. TO ^ co S-agsi
S .^ TOQ. ss TO c= -Q gj COcd TO
■a t= •=
g -I S g ™ g. „ gw C
E £
! 1
-SÉ 'E -üs TO TO i-ü g -o& : to& O) -j= c » g. 1. i -s cE Q. Q. TO c 1^ t5 TO^ >^0. m 'E E— TO ; s=5*— o> >5 o co T3 TO ^ C TO -CD CD n t -CZTO =3
LOS CD I— CD Í^T c/s"3 C"
Ferdjifranjfan âTlâkdi Indaiifwia 181
E COZD
s I «
II ss
^s »5 £ c ro EE ro -j,1 TO : JS s §> Oí "O l ••= Q- E c ! J -g : > .2, CO
të« =3 _Ç2 « •w 2
-s03 & —.03 t3 ëOJ 3 a5 c E- S3>* O) c«3 03CL —
If "! £
-g g f 2 5 £
^ TO r^- TO _TO S ?-3_S-pj f0I w <S' C- Z3^ ^3 "0^ *= 2¿ E Sic^JSEiog g.-ê 3iSis8.5ii--5o
S(= s33 Sa B "S
2 E E2 E=3 £SS
SI TO» TJ a=
TO o "S Q S
Ferdagangaiiânolidi Indonesia 182
o TO o
E .2.
E m _ C
10 Z
3Qi -3SS -= co8 COaa
« S0 '2 rOSi QJ COX;S-O e> OS c ^ ca 2s P5 -3 2 co
:§<8'¡r ïSEEig: •— 2 co Ota.
A co O) co a E "S° -t -*=Q3 -=2-3 c\3CO •-sí —» <13 a S ^ ^ m ^ w -Q JS 3 c .£5. •■= =._ ^3 cco E a — co ~ « Es M o. á-^ra- .iü. CL ra ¡g g.g 1g, ra ■¿ en en -o g S» -E -e g m ra ™ g2 a E iu ^ o. at eo ™ -3k cr c= cr E as i i 1. S O co E CD 2 co
E M
Perdapangan anakdi 183
co>•. -=rs -íc: to c ^ oa £g -o« 40ÇO y 'F;Q3 ^ as — 03CL ~3 XT CO ~ . 3 ~O) "C3 ^ CO C O) CZCO 0 CO c ■Sa S S i -i
a. «B E~
iCO a Z3 l J2 C3) C35 "O ^Ô ~t ^ ■& -3£ çg COOD i2 S. E co co co>«i jZ3CO03 Q3 c CO co
E M'
C¿ TUco CO
iS , 3 e .t_ CO co ^8. ^ È03 S g ^ 03 CD i— -Q
SQ
Pfnlugungancinâlicli Indonesia 184
co E .23 ^ fe Q™ S feE
co có E TO "o S « « q3 c: co : o «o s m — g1 2 ^s a -S S S !=S
TOc: C03 "cr CO O) c Q3 03 o3 "5» "S ^ ro -Q c: co= -CO) TO TO 0> Q. , <33ECD cpOí "O TO "Oc:03 C _ 1 -S
s s
-Q x: ^S« gai S .2 S S 2
ES.
Z3 —P TO>■> ^ Eâ £5 ™ £ œ3 CO ■e p
^3 ._P i— ^ S -S 05 ^S S
TO
.52
'O)
iS
S
n s
co ço to to
-g o ^o o S s -E E 'i s V 73TO S^J 9 CO ^ CSJ
S 121 i 2, 2a TO TDTO JOTOvw £ I jx:I czS bd y TOCO TO
03 TO E &
cn S :s S "R
x -rs tTO TO
Perriii^ungun cHlclkci i Indonesiii 185
"-=Q- TOC Q o
O03 to -O £ coTO STO -3^ 3"
g m £ m
i e 0» s
oj § I I
.Î2 05 É5 m je ce o E .3. % g s 1/5 ES as -o tu Q oc '-^ ro ce = c ca ce ^ co ^ œ 03 ce ^ o -o= "53 -o =03 5 0 ECO S' -" -Q ce e e cemas ~ c: -3¿ as « S = iS -a¿ en 5 35 E S? aso. ce >■. o
s; sa â s si
ce V) ~ ^ CT ce Qj as i Cï o :j a5 52 = 9 J-! _•*: 03 t/J 03 "O .-O &
cO Cû "3
S S
c e *£
¿.-S è É § .S1 — » ce g Si ? -, as S5 !^ 1 ¡5 I &l E § !=* E cr S "O gQ. S «yj03 E TD S -S
— as CD k-l
JS
o> S. o> S M
5S 1 • m-"
S. 9= oí c=ce 52 T U- prOa. cce 7 ^ 3sg
co O Q_O CM
Herd apangan âTlâkdi 1 186
■3 5^
•=r c= S ro "O o. « eg 'i203 S. e . 6/5 £= c: m m aj j*: o £ «3 S eo .o aa 03co 03 v> J— "O
g" 85 »! Eté 1 §^ S 2 iS ■ 3 S Sa. TS tS
I— "O C Q.
m E-
p «à Ias E=3 w Q_ CO CQ
E
pP ¿2 m
O <13 i— <§ àS = I Og P3. <53 I
as *_; as ■CO) Q.
O 8 £g CSJ
£2 £8§ ^ i > S-" CO N-
Ferdagangun âTlâkdi II 187
d— TO TO O) "O — en to CCO .E -CZ TO :=
c 52 _ -£ TO = u_3to Ü Q3 CO
■22 *55 .— ¿¿ ~ LJ C/Q55
£' TO TO S £ II. TO iS to dE ETO :i iS .E Q3 C/5 ' TO i2 q3 ^ e ^ -Q 'Il =3 ^ 03 « CO a> C/5
O
E -S
ï
TO —; « ® o i= c= f; S"® CO TO to CO ^qj CD -^3 CO
ea
niQ-Ci en d d a 2 pQ. 0 £ E
0> *s (0 xi i • 5-0
E03 ^^ 03 CO TO CO < Q-
' E <0 =) to E C/3 TO d |
û_ E1 ITO ¡S o O 1— CNJ O GQTO T-
E TO ,
ñanak
TO E. . S TO 03
<0 O» ts C
F=i ^33 : 0 qjrr r— CO L- =5 í ™ i !- "f m <—^ -fe SS
3 2 •i— . = I 2 . TO CO CO
c£ -aco £c: co5 :=22 co t— CO "O il cO CL "tO uj -»= 2Q3 S C .IX C Q. JO 03 to »— O) TO s "CO=
S-I I (Sà B is .2. «ra -S i jâ o J= :s Si | o S ra ^ .e- E a
a O) r3 S E
CO t.a
TO CO
TO -i—; TO 03 i ^ *-S a.-s* TO cC3) .x • — c SS. "O to *0c (S ™ Ûc: oí û_ E i
>_ .s cos -oo Q-ai cr= o. co o co g R^.
E S; cos S
CO CD
Percliijftmgtin anakdi Iiuioncsia 189
E S
S •—ro3 "c
Q_ crto Er~TO TO CD T3
"O £ iS r«^
c= ra =>o-S S ^ CO -o 1— iS j*:O) 2 il E ^ -=■"« s^S ? E S " o.
-. o S >■ TO o - Q3Eto ^ E c. O co
■S :§• 'td 1 i2
m iSS
o. S 2 e w cb
€ o 2
TO jg ™ci œ to "¿^ TO if TOO) ■—TO o TO -it: Ol "STO a s ^TO O- C3 03 CO CO «: ja E co '
TO O ™§ to !£>
TO .ra .ra il&i TOO) TD ■—TO o^ TO JC O) "STO S S J203 D_ C3 03 CO CO 5 •pO ^ .= 00TO CO
Perdugangancir&Ëlkdi I 190
Q.^ <—c fc ¡1 O s~ 2 T3 ! -S s>1í i2 C -s TO ía m ra «q i:?i| i aa = c ^ oí «àc TO ^ fn a5 J's ^—' to r—• c=c~£ qj çrt ^^3 TO 2TO C03 E pQ3 d OÍ-J^JD To, E^ 03 "^í ._ Q) O ÍT\ Q_ E E Q.-O S-O-^-S-íB
3èc: '0 — «2= S o.-S X co S- — j*: -a -S :0 .ccq cq B Q i 1cu -S cq cq cr Q_ Q.
« o d -g eq "^> ■ Xl CD ccq -=c=ço S^ « (X) g. c: .se:
Q
=. ^ "co o. i2 5,^ -S ■S ié S S 1 E
riS m = c— 'co lo ccq. E cq O) • s s ^ E 5 •r-. cq
s# tt 2
«9 ra — ra J* M e ra
'■ocq c gE 2 S
~ 'cq ^3 O) d33 cq 23 E -S 2?* -s co sCO CD M "S cq cq
E a
Perdagangan rlTlr-UCdi Indonesia 191
■O i2"3 =■Q3
en c5 E roSi to 5. iS^ g .= o1 j=^TO O en cg) s TO TO 2 — to O 'Tro_3 •— ."ô <¿2 oo Q- to js¿ if iS E 'S
Œ ^ ZI TO CD
I I â3 O) e Z3 to C 03e: "O TO=} ETO «o S" iS ^ =O) S "ro .5, o. ^e: to^ £ to ■= -S™ -S= S ero » Eto en to o o. 7=
TO O)
S O) SS2? .Ee ^ to
CO oj E
03 "O E TO
TO TO E JO i?
^3TO — =C ^=-2 03 §" -S 03 3 —•CD "TOC=3 Ci. CO SS cr co « .Sco û-TO ETO jse
ea
E S g .s» M— CO KCO O M CO
O) "O
1 m
IVrdufcungun QTlOkdi 1 192
toE TO= to Û_CD
to en TOTO s; TO ^
Q. >-> '"O ^ 5, TO c=CO -^"O TO noTO-S _5 §E
5 .-P & ó
_Q JO , 03E 'S CO -ñ "O $D
.£E=3 c jg "q3 g
n3 -£3) -a S £2 'cef ^ E —Q g» cf TO -Qro E
ra ô ^ £ -a a ^ .=. TD
-oco "acoQ. 1= -aco
=> E
E .5.
« ,091 ^
COH
Ferdi^aii|:an3ri9.kfli Indonesia 193
Pcrriiigungim ciriílk
en CO ¿üco —oo o.
< z
(A C PB
(B
< 99 _i DC LU H O z CO < CO 2 < O cc o
ro^ ^ co,
a) CO cn O) — o n~ -ac ra CÔ ^CO to
>i 12 § E $ ^ g .ra ^ a5 _c; ra Q- cnj co to ris raCD > g t==3 — oQ. 5 lit
ii -Sto ^™ raCD czCO d o>
03 £ra "o O JsC fe <2
< oc
— C_3 S, £« g S a. i2 tera —CO Eto S p
o CO Ui u _ oc UI CO
ë =i Q_ =3 Q.
u. o ÛC CL
CO QOD. CO O cuj /-o s Xi . d co CO S3 Q_ _ •— CO co co 1 M
ra
cm ^ = co«5 ccra* co cj ra AU —3 i— >D— I
ïï5
cUlfllvdi Indonesia 195
|22 co "o ^ 5S S
T3 a. == -o <—)E CO8£-g = ^ 9- o "g s S ^ û- cora q ra E O) 2 ^2 cc co lu
- en
g û. C/3
—rio>en cren"o — «•ES,
E
C9 S u u. S 00 Ui o >
—o ~o en o. s 05E "O Oî e en 1 en>, c/D i_cn en enco £" ^ O¥ §o "V en "ECL ^= en E S o en E « te CO ra 5 y ■ara E Q
E -Q 25 ra S i
enco racr en en en en Q5 g-g : ^ i; « , -O^cr "O en en -se ene E er; ra
a3 Qg_ -Qco0 e:c= Sen -2^ra "o—■ -S g a™ S ra E « en en
cûen "O ra —ra_ -—- en — rn
jn ço qj _
« o. /! o _
=4 o S i
IN'rriiiKangan aimkü Indonesia 196
< ce I $ CO ce• CNJ CNJ I CO t— ¡< ^ cnif-f. r^CsJ O- en g'co o• OCT T[> < ^ co ^ Cm en es o & i
< z i UJ a. CO
'50 = -O0 EgQ. ^ a? c s .2 -o 2CD -£2 Q3 TO "B) 1 -S ^ TO If Q_Oí -5TO
CO crco ra«= Q3
5Ç IC S, P ^ra
E o .iscoCO rara 13 ™ ■■E ~^ oí .-^ g> Si s -oF -2*:^ ra [= B = -o
O < OC CO LU O > oc LU CO
o. cñ CD c: != .2 J5o a3 q. "oi OO 5
"O 03 —C/3 E TO
-2TO S — E E? CO ^TO CL "O
CO ^ £2Sra ^TOra ra en to coc: en co
CD Q3 to SEE
CO .2i -os C\J : co CO CO «3CO• 'CO CD Î: ^_ m "TOCT3 C\l CM co co :S ;> CO cn g, S^ l. ^Q»r* O . . x- •
Fra «ra •
anakdi Indonesia 197
enCO ES
CO co" E ce TO OO
2? 5 LU Q. CO
^3 ojt¿ -it:«3Oí "■ E a5 -^ E 05-5 Q- £ —0> CT p *r -0 ro E ^^ ™ E ^35o I¿E Sra "i 1S "s -S£ ^-s
ra -qra E = .i^ raca. :. cra _ra E 5 ra ^ E EZD &CO i? « :
Q_ra "Ora -Qa5
O "o> "o ._c: 00 qj Qra
racc ca. ra raO) "O ra
ra ^
C35 <=£ E
ra ra^ isra<—>
.^2 i=o cara co r—v=
Jai ■- -i £ ra "ra "cS =8 1 i. Sra ^ ra SE SES
O) -E5ra Erars "o .E ca-
-S ._co -a. ra 2O ^Q■è 2ra
ra co S 00
'ETO =. TO CD
^(— ra- co T— § ora2 to ■^ ra rac co rao) ca. o ,— SaS.
— ra o ra ra IZ = o
I JS
naiiakii i,... 198
5 LU O. to
rof— ^ a3 iS «S CD g :> E sco 1 CO^ CO — — 55 Û_03 "OZ3
. co -— CO o> a 03 ro - as~ „CO v>-> ™ fa CD=Q. "gCDCL
03CO _Q •— ÜCDCD :f= ^ 03 "O S- E 'co ^ :i Ç coc cCO i = ? ?
.22 ca 5 "O SCD O) oB. ^3ci ÛL. CO
CO 3
I -íB ' 'cl C " CO c\j CD E —'
•— C CD Q .
P — co
CO
Ponia^iinguii clllcllvcli Iruloiiesin 199
o s ^^ ■a 5 03d !^ O—
CD. c\i co o T—— -d CO
un "^r t— co •, .—,. i— i CsJ I S'
cras 03 c: _ jrco co*w— COQJ Ç7Ç^03 -i - s 2cl 3: >" « a3 eu^ c .Q _ í— -c:ra JO 5 ^ -2 Ss <5 ™ CO ni j*:tu S£-:L cr03
s LU Q. C/3
CZTO CTO CO 13 S s*-i —oí ^ S en c= ■i 1 i ^ ^ ^ >i c» ^«5 -3§ CO ^ 03 COC1 2 = E« c= d £ *53 g ra -*-o TO-- 03- "oSI—CJJ ■S -g 3 = g 3 EEQ03 C™ ^C S y £C5 COE & §. < ^ « i Q" > ^ — -ic13 E(13 j*:CO■sTO, iS ^ CL X=
O
TO iSco «2
_S eTO O
O o- -sCM £ TO CO CNJ iínj ' o r~^ =ï.: 2 p g .i
1
.2
p es .< s g3 ^1 -333 -S CO s fS -O ^ <35 1i
anakdi 1 200
TO O CNJ ct3 - _ CNJ CO ç TO -eTO Sg ~ — TO ;
o- E EE i2to 03 CÛ. —TO CO TO CO '
r
rereread c: CD Ü X3(D "2o §re 3=0 ^ re ,_ «D -re;c re ra praire re -Q os ra
re re re re E -e jn
rorreo.ire— reCD •rr es o _o E
-ora 'co re - "cr o. «pre,—: ra en ç rare raco s, P œ ^ re (— 1!l 8f CD E E i -^CCD CDCL O
"re Erare CDo_ reCD ^2 E "E re *=. -Q . re ^
SCD CC .= -are Q-CD
re tí CD co
re ^oo S? E
CDu_ tr OJ . Q. CO
re c: re= 5. 03 re re CDQ. crQ. ^CD <=re CD I <¿2 5-s ^SCD ™reA. .aQjco «roe cj) re retcr re5 .q -5^ a re ? -2 'rere 2« Sre
Ii CD "O
PiTili^nn^an ctUcjl^cli I 201
yQ5J £O -Qco c ^ i3 CO to X3CD •
LU QCO
a3 E -it:CO._ JDECO
CO ™ S m
O CO LLI u > cc UJ CO
3 .5 *
O. CO 1—1 QCD. ECOCO1 ^O"cô •EÔ ^ ccCD <£ m™ g •5; .•£
Q è s e JSCO S, CO ^ c=co ^ -aE 03O) c q_CD
CD I i I il iQ 'to , ^ Z ^ p ^ TOCD £ c<x> ^ __ CD i co c:g CD ÏS Oí —5CD ^ ^ I
It2 I'cnliif'anpm cilltikcli " 202
ToCO ■ CO— TO 2 toCJ> crtTO TO c 03 ^£ 'co ^ S CO
§
CO CO CO 13
C9 Z S o -o co O co
o m UJ u > ce LU CO
i 13 ETO CD^ S
LU -,LO— S eu s Si ^Il CO « CO siTO -£toto o unczTO O t—
1 -=; h=e is <2 S c en COTO : ~ ce te 3 â = «s ; s -S 11 ■ S S ¿ -TO i
I
n Biinkdi i 203
Pt-rriupungti anakd. 204
.
ILO Jakarta. International Labour Office, 2001 -06-27 ISBN 92-2-812601-9 Diterjemahkan dari Child victims of trafficking: Case studies fr. Indonesia - ISBN 92-2-112558-0, Bangkok. 2001 ISBN 92-2-812601-9