BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Konsumen merupakan salah satu komponen dari transaksi perdagangan yang memegang
peranan penting dalam roda perekonomian suatu negara selain pelaku usaha dan produk yang dipasarkan. Dalam kegiatan bisnis, konsumen adalah komponen yang tidak terpisahkan dalam interaksi perdagangan. Tidak akan tercipta sebuah interaksi perdagangan tanpa ada konsumen. Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa. Sehingga barang atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang atau jasa yang dibutuhkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Persaingan bisnis secara global yang semakin ketat juga menimbulkan persaingan diantara para pelaku usaha dalam menunjukkan keunggulan produknya. Pemasaran memasuki era persaingan global karena sekat dan batasan geografis tidak lagi menjadi kendala akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat. Memenangkan persaingan menjadi semakin sulit karena ketatnya kompetisi diantara pelaku usaha. Daya saing menjadi tuntutan bagi pelaku usaha apabila ingin unggul dari kompetitornya. Daya saing merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan
efisiensi sumber daya serta strategi pemasaran yang tepat. Keunggulan daya saing yang dimiliki membuka peluang pelaku usaha memenangkan persaingan di pasar bebas. Suatu perusahaan atau pelaku usaha dapat memenangkan persaingan apabila mereka memiliki keunggulan kompetitif atau komparatif. Menurut Kotler, keunggulan kompetitif adalah keunggulan atas pesaing yang didapat dengan menyampaikan nilai pelanggan yang lebih besar, melalui harga yang lebih murah atau dengan menyediakan lebih banyak manfaat yang sesuai dengan penetapan harga yang lebih tinggi.1
Keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui
banyak cara seperti menyediakan barang dan jasa dengan harga yang murah atau menyediakan barang dan jasa yang lebih baik dari pesaing. Untuk mencapai keunggulan kompetitif, pelaku usaha harus mampu menggunakan dengan baik sumber daya konseptual maupun sumber daya fisik untuk mencapai tujuan usahanya. Keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang dimiliki perusahaan dimana mereka akan fokus untuk berproduksi di jenis barang yang paling efisien diantara berbagai jenis barang yang mereka produksi. Mereka akan melakukan spesialisasi produk yang mereka anggap paling efisien dari segi biaya sehingga harganya mampu bersaing dan diharapkan pelaku usaha mendapatkan keuntungan maksimum dari penjualan produk tersebut. Pelaku usaha yang ingin menguasai pasar harus memilih apakah akan mengutamakan keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif, karena keduanya tidak bisa sejalan. Penentuan pilihan didasarkan pada kondisi sumber daya yang ada, baik itu sumber daya manusia, kondisi keuangan, sumber daya alam dan lainnya. Pilihan antara keunggulan kompetitif dan komparatif berpengaruh terhadap strategi pemasaran produk yang mereka hasilkan. Produk yang dihasilkan dengan efisiensi yang tinggi memiliki harga pokok produksi yang lebih rendah dari 1
Kotler, Philip, dkk, 2000, Manajemen Pemasaran dengan Pemasaran efektif dan Pofitable, cetakan Kedua, Gramedia Pusat Utama, Jakarta, h.95.
produk sejenis. Keunggulan yang dimiliki tersebut harus disampaikan kepada konsumen melalui pemasaran, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang lengkap terhadap produk yang dijual. Tanpa itu, keunggulan yang dimiliki suatu produk tidak akan sampai pada konsumen. Banyak produk yang memiliki banyak keunggulan tetapi tidak laku di pasar karena kesalahan strategi pemasaran maupun kurang efektifnya iklan dalam mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk tersebut. Menurut Deborah Goldring, attracting new clients and retaining loyal clients is a primary marketing goal. This can only be achieved by delivering a high level of service quality such that client expectations are met or exceeded.2 Bagi pelaku usaha yang bergerak dalam usaha perdagangan atau penjualan produk, promosi penjualan memegang peranan penting dalam mencapai tujuan utama pemasaran. Melalui promosi, diharapkan konsumen mau mencoba penggunaan produk dan mendorong konsumen yang sudah ada untuk menggunakan produk lebih sering lagi. Untuk mencapai tujuan pelaku usaha yang diinginkan, promosi penjualan yang benar dan tepat harus dilakukan dengan berbagai cara dan media, baik yang menggunakan biaya kecil seperti brosur sampai yang memerlukan biaya besar antara lain iklan melalui media cetak maupun media elektronik. Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, bentuk-bentuk promosi penjualan khususnya iklan mengalami tranformasi yang sangat pesat. Bentuk dan jenis iklan sangat beragam dengan berbagai tujuan, mulai dari memberikan informasi, mengajak atau membujuk untuk membeli sampai menekankan tentang brand awareness tentang produk yang telah dipakai oleh konsumen setianya. 2
Deborah Goldring, 2013, Aligning Communicated and Conceived Brand Promise in Professional Services Firms, Journal of Marketing Development and Competitiveness, Vol.7(2), Stetson University, Florida, h.72.
Salah satu bentuk promosi penjualan adalah melalui iklan. Iklan merupakan sarana promosi bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan produk serta menarik perhatian konsumen terhadap produk yang akan dijual. Iklan berfungsi menginformasikan, diantaranya tentang kualitas, harga, garansi, suku cadang, manfaat, kelebihan dibanding produk lain, keamanan, syarat dan atau cara untuk memperoleh produk tersebut, purna jual serta hal-hal lain yang terkait dengan itu. Dalam dunia marketing “doing business without advertising is like a winking at the girl in the night. You know what you are doing but nobody else does.”3
Iklan bagi pelaku
usaha merupakan keharusan dan dianggap sebagai darah yang mengisi denyut nadi kehidupan usaha baik pada sektor barang maupun jasa.4 Iklan juga merupakan media informasi barang dan jasa yang menimbulkan efek tertentu terhadap konsumen. Efek yang dimaksud bukan berarti konsumen diharapkan langsung membeli produk yang diklankan tersebut karena iklan diciptakan tidak hanya untuk mendapatkan penjualan seketika. Iklan juga bersifat jangka panjang, karena efeknya baru dirasakan dalam jangka panjang terlebih lagi dengan adanya beberapa iklan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan konsumen akan suatu barang dan jasa atau untuk menanamkan dibenak konsumen citra merek atau brand barang yang dijual sehingga konsumen yang sudah memakai barang dan jasa tersebut tidak berpindah ke produk lain. Untuk mencapai tujuan berupa keuntungan yang optimal, iklan yang benar dan tepat harus dilakukan, karena pada dasarnya iklan mempunyai tujuan penting yang akan mendukung tercapainya keuntungan optimal bagi perusahaan. Namun untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, ada kecenderungan pelaku usaha melakukan praktek bisnis tidak jujur yang
3
Steuart Henderson Britt, 1978, Marketing Management and Administrative Action, McGraw-Hill Companies, New York. 4 Zaim Saidi dalam Rampen, Felicia Lidya, 2013, Jurnal Lex ex Societatis, Vol.I, No. 2, April-Juni, Universitas Sam Ratulangi, Manado, h.116.
dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen selaku pemakai produk karena iklan yang dilakukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tanpa memikirkan kepentingan konsumen. Konsumen membutuhkan berbagai informasi mengenai produk yang akan dibeli terutama dalam tahapan pra-transaksi karena informasi yang di dapat dari iklan menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam membeli suatu produk.
Karena pentingnya informasi yang
tercantum dalam iklan, maka pelaku usaha berusaha mengemas informasi tersebut semenarik mungkin bahkan beberapa iklan memuat klaim yang berlebihan. Pelaku usaha terkadang membuat iklan yang bombastis dengan mengabaikan kebenaran dan kejujuran dalam kegiatan promosinya dengan tujuan semata-mata untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Informasi yang termuat dalam iklan cenderung satu arah sehingga kebenaran akan informasi itu baru dapat dibuktikan apabila konsumen sudah membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa yang ditawarkan. Praktek bisnis yang tidak sehat (unfair trade practice) dari pelaku usaha berpotensi menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Konsumen sering kali merasa tidak puas terhadap produk yang telah mereka beli karena terdapat beberapa perbedaan kondisi, harga, fasilitas, performa dan lain-lain dengan informasi dan janji yang tercantum dalam iklan yang mereka lihat. Dalam beberapa kasus klaim-klaim dan janji-janji yang tertera pada iklan bahkan tidak terbukti sama sekali kebenarannya sehingga konsumen menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha yang terlibat. Banyaknya iklan yang cenderung menyesatkan dan mengandung pernyataan bohong karena belum ada standar atau perumusan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan iklan yang menyesatkan, termasuk di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia maupun New
Zealand.5 Sedangkan kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, yaitu dengan telah mempergunakan fakta-fakta material yang harus dipenuhi dalam proses periklanan sebagaimana tertuang dalam pasal 10 dan pasal 17 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK) tetapi pengaturan tentang kategori iklan yang menyesatkan belum diatur
sehingga tidak terdapat
ketentuan yang tegas dalam penentuan kategori iklan menyesatkan. Dalam rumusan Pasal 10 UUPK hanya berkaitan dengan fakta materil dalam suatu iklan dimana pernyataan menyesatkan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan. Sedikitnya kasus periklanan yang sampai di pengadilan juga menjadi penyebab tidak adanya efek jera bagi pelaku usaha yang membuat iklan menyesatkan, sehingga masih banyak iklan menyesatkan di berbagai media massa dan sarana periklanan lainnya. Untuk menentukan misleading atau informasi menyesatkan yang terdapat pada iklan dapat dilihat apakah pada iklan tersebut ada pernyataan yang secara eksplisit maupun inplisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam praktek klaim, representasi atau kepercayaan yang masuk akal tidak dipaparkan kepada konsumen yang dapat mengakibatkan konsumen menyimpulkan informasi yang diterima secara salah. Praktek pemberian informasi yang menyesatkan dapat berupa keterangan yang tidak benar, mengelabui dan memberikan janji-janji yang berlebihan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan,
5
Lysonski. Steven dan Duffy, Michael F, 1992, The New Zealand Fair Trading Act of 1986 : Deceptive Advertising, The Journal of Consumer Affair, Vol 26. Madison.
jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang/jasa yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.6 Bentuk-bentuk klaim produk tanpa disertai bukti konkrit merupakan bentuk penyesatan informasi yang cukup banyak ditemukan di berbagai media cetak, elektronik maupun sarana promosi lainnya. Melalui penonjolan klaim-klaim tersebut, pelaku usaha berusaha menunjukkan keunggulan produk mereka dari kompetitor. Beberapa klaim produk bersifat subyektif misalnya iklan shampo “pakailah shampo ini selama 6 hari dan rambut anda akan hitam berkilau.” Tetapi faktanya konsumen yang membeli produk tersebut rambutnya tidak mengalami perubahan. “Hanya 15 menit ke bandara dari Nusa Dua”. Tetapi faktanya jarak tempuh 15 menit tersebut hanya bisa ditempuh saat jam 2 dini hari dan bukan pada jam padat kendaraan. Klaim-klaim tersebut cenderung berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Konsumen yang percaya dengan janji-janji yang diiklankan akan merasa dirugikan karena produk yang mereka beli tidak sesuai dengan janji yang ditampilkan dalam iklan. Kebanyakan konsumen enggan menuntut ganti rugi atau memidanakan pelaku usaha yang menampilkan iklan menyesatkan dikarenakan biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan hal tersebut sangat besar dan banyak. Terlebih lagi apabila harga barang yang mereka telah beli tidak sebanding dengan biaya dan/atau ganti rugi yang mungkin akan mereka dapatkan. Keengganan konsumen untuk memproses secara hukum pelaku usaha yang menampilkan iklan menyesatkan membuat para pelaku usaha tetap melakukan praktek-praktek bisnis tidak jujur. Konsumen hanya dapat mengeluh dan menceritakan keluhan-keluhan mereka melalui media maupun bercerita ke orang lain agar orang itu tidak membeli produk serupa. Konsumen pada umumnya tidak
6
Dedi Harianto, 2008, Standar Penentuan Informasi Iklan Menyesatkan, Jurnal Equality, Vol 13. No.1 Februari, Universitas Sumatera Utara, Medan, h.44.
mengetahui bahwa janji-janji yang disebutkan dalam iklan dapat menimbulkan akibat hukum apabila tidak ditepati. Janji dalam tradisi hukum kontrak Common Law merupakan janji yang penegakannya dapat dilakukan melalui pengadilan. Tidak semua janji adalah janji dan tidak semua janji dapat ditegakkan melalui pengadilan.7 Sehingga janji dalam iklan berdasarkan konsep ini dapat dikategorikan atas 2 jenis yaitu janji yang mengandung akibat hukum dan janji yang tidak mengandung akibat hukum, atau iklan yang semata-mata merupakan informasi produk. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat KUHPerdata) tidak mengenal konsep janji sebagaimana dikenal dalam tradisi hukum kontrak Common Law dan tidak mengatur mengenai kategori janji yang dapat dikualifikasikan sebagai janji hukum dan janji bukan hukum. Hal tersebut merupakan bentuk kekosongan norma dalam KUHPerdata yang mengakibatkan konsumen tidak dapat menggunakan fasilitas norma hukum perjanjian untuk melindungi hak-hak mereka dari janji-janji yang terkandung di dalam iklan yang dapat dikategorikan sebagai janji hukum. Masalah tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan hukum yang timbul dari akibat kekosongan hukum yang perlu diisi dengan formulasi norma yang dapat digunakan sebagai pijakan bagi konsumen untuk melindungi hak-haknya dari janji-janji iklan yang bersifat hukum yang menimbulkan kerugian pada konsumen. Aturan-aturan hukum sangat dibutuhkan karena pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bisnis membutuhkan sesuatu yang lebih dari hanya sekedar janji serta itikad baik saja dan adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak memenuhi janjinya. Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan tentang janji sangat penting 7
Ida Bagus Wyasa Putra, 2014, Hukum Kontrak Internasional (Bahan Ajar), Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.37.
dalam dunia bisnis untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan keadilan apabila terjadi pelanggaran atas janji dari pelaku usaha dan pelaku usaha pun akan menjalankan bisnisnya sesuai dengan koridor hukum dan tidak mempraktikkan bisnis yang dapat merugikan konsumen. Untuk mengisi kekosongan tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap konsep janji di dalam iklan berdasarkan konsep janji di dalam tradisi hukum kontrak Common Law untuk mengisi kekosongan konsep dan kekosongan norma di dalam KUHPerdata.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji berdasarkan hukum kontrak ?
2.
Bagaimanakah pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimanakah janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah permasalahan pertama dibahas
tentang bagaimana janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji menurut hukum kontrak dan yang kedua membahas tentang bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata sehingga janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen. 1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu tentang hukum kontrak yang berkaitan dengan konsep janji yang merupakan esensi dari perjanjian di dalam KUHPerdata sebagai norma dasar yang mengatur tentang hukum perikatan di Indonesia. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan menganalisa konsep janji dalam iklan kaitannya dengan konsep janji berdasarkan hukum kontrak.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimana janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah : 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat dalam usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis khususnya dalam memahami aspek hukum kontrak.
2.
Memberi sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum terkait pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.
1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
1.
Bagi masyarakat sebagai konsumen diharapkan dengan hasil penelitian dari tesis ini memberikan pemahaman kepada konsumen berkenaan dengan konsep janji dalam iklan sebagai dasar perlindungan hak konsumen.
2.
Bagi marketing atau perusahaan yang memasarkan produknya melalui iklan diharapkan dengan hasil penelitian dari tesis ini dapat memberikan masukan tentang konsep periklanan sehingga dapat melindungi hak konsumen.
3.
Penulis sendiri, dalam rangka membekali penulis dengan pengetahuan dan pemahaman untuk menganalisis konsep hukum janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak di dalam KUHPerdata.
1.6
Orisinalitas Penelitian Untuk menunjukkan gambaran bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti
lainnya, maka penulis mengemukakan penelitian-penelitian antara lain: 1.
Penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Promosi Dalam Bentuk Brosur Kendaraan Bermotor Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus : Gugatan Ludmilla Arief Melawan PT.Nissan Motor Indonesia di BPSK Propinsi DKI Jakarta) yang diteliti oleh Ambar Ditya Hanesty, dari Universitas Indonesia Tahun 2012, yang meneliti tentang kedudukan brosur dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan apakah promosi yang dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia melalui brosur Nissan March dalam kasus Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia melanggar ketentuan dalam UndangUndang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaimanakah bentuk tanggungjawab yang harus dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia sebagai pelaku usaha terhadap praktik promosi melalui brosur yang tidak jujur dalam kasus Ludmilla Arief
melawan PT.Nissan Motor Indonesia dan apakah putusan Badan Penyelesaian Sengketa dalam kasus Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini lebih menekankan pada perlindungan konsumen dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penjual sebagai pelaku usaha terhadap brosur yang tidak jujur sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2.
Penelitian tentang Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Melalui Iklan Penjualan Dalam bentuk Brosur di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diteliti oleh Oktaviana Kusuma Anggraini, dari S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Tahun 2010. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris yang menekankan pada sejauh mana efektifitas pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dalam melakukan transaksi jual beli perumahan sehubungan dengan adanya iklan dalam bentuk brosur yang ditawarkan.
3.
Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dari Iklan Televisi yang Menyesatkan Perspektif Hukum Indonesia yang diteliti oleh Djudju Hendro dari Fakultas Hukum Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang meneliti tentang kategori iklan yang menyesatkan menurut hukum di Indonesia. Dalam kesimpulannya peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud iklan televisi menyesatkan adalah iklan yang mengelabui konsumen (misleading) dalam hal kualitas, kuantitas, harga, tarif, jaminan garansi dan hal lain yang termuat dalam iklan dimana pelaku usaha tidak bertanggung jawab dan memenuhi janji-janji dalam iklan sebagaimana yang ditayangkan di televisi. Pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang keliru, tidak lengkap ataupun
memberikan informasi yang berlebihan mengenai sifat, kualitas, kuantitas, harga, tarif, jaminan dan garansi serta membuat perbandingan dengan produk sejenis melalui klaimklaim tertentu. Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui perlindungan hukum yang bersifat preventif atau represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan dengan membuat regulasi mengenai hal-hal yang belum diatur agar hak-hak konsumen tetap terlindungi. Perlindungan represif dilakukan dengan memberikan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku apabila terjadi sengketa karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha.
1.7
Landasan Teoritis Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan
fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.8 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. Dalam menjawab permasalahan sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah penelitian ini, maka dikemukakan landasan teoritis antara lain teori pembentukan kontrak dan teori janji dalam pembentukan kontrak dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang pertama. Teori perlindungan hukum dan teori kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang kedua. Berikut uraian singkat mengenai teori-teori tersebut diatas :
1.7.1 Teori Pembentukan Kontrak 8
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
KUHPerdata tidak menentukan standar prosedur yang teknis berkenaan dengan pembentukan kontrak. Satu-satunya ketentuan yang menunujukkan indikasi pengaturan mengenai hal itu adalah Pasal 1313 yang menyatakan bahwa setiap kesepakatan merupakan perbuatan dua orang atau lebih yang mengikatkan dirinya sendiri terhadap satu atau lebih orang lainnya. Tetapi, tidak lagi ada ketentuan lain yang secara lebih teknis mengatur tentang apa yang dimaksud dengan “perbuatan” dan “mengikatkan diri” itu. Dari sisi praktis dapat disimpulkan bahwa “pernyataan kehendak” dapat saja dilakukan secara langsung oleh para pihak atau dengan bantuan seorang notaris.9 Dalam tradisi Civil Law, setiap orang yang akan membuat kontrak harus mencari sendiri atau menentukan sendiri cara untuk membuat perjanjian, sepanjang persyaratan sahnya perjanjian terpenuhi sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.
10
Sebagaimana yang tersirat dalam
pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuah perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak dalam perjanjian sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari perjanjian tersebut. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian yaitu asas yang menentukan lahirnya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kesepakatan ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara para pihak merupakan momentum terjadinya perjanjian (lahirnya perjanjian). Namun, adakalanya tidak terjadi persesuaian antara pernyataan dan kehendak. Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut,
9
Japan International Cooperation Agency dan Pusat Kajian Regulasi, 2009, Studi Formulasi Tentang Hukum Economi yang Terkait Dengan Iklim Investasi di Indonesia, Jakarta, h.277. 10 Ibid, h.278.
yaitu Teori Kehendak, Teori Pernyataan, dan Teori Kepercayaan.11 Berikut ini penjelasan dari teori - teori tersebut : a.
Teori Kehendak (Wilstheorie) Menurut Teori Kehendak, perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan
pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini adalah dapat menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. b.
Teori Pernyataan (Verklaringstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui
oleh orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan , perjanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya, teori ini menimbulkan berbagai kesulitan, seperti bahwa yang dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. Misalnya, A menyatakan Rp.500.000,- tetapi yang dikehendaki sebenarnya hanya Rp.50.000,-. c.
Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie) Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang
menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai. Alternatif sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori ini adalah : a. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian itu terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Pemecahannya adalah pihak lawan berhak mendapat ganti rugi karena pihak lawan mengharapkannya. 11
Syahmin AK, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, h.40.
b. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada. c. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan pada ketentuan umum di dalamnya. Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian atau kontrak harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offer) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwa mungkin ia tidak membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.12
1.7.2 Teori Janji dalam Pembentukan Kontrak Berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak yang berkaitan dengan konsep janji dalam kontrak :13 a.
Teori Hasrat (Will Theory). Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa yang mereka inginkan.
12
Subekti, 1979, Hukum Perjanjian , Cet VI, Intermasa, Jakarta, h.29-30. Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.5-11. 13
b.
Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory). Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam negara-negara yang menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.
c.
Teori Sama Nilai (Equivalent Theory). Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).
d.
Teori Kepercayaan Merugi (Injurious Reliance Theory). Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.
1.7.3 Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum melihat dari tahapan lahirnya yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai
dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Teori Perlindungan Hukum menurut Fitzgerald, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.14 Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.15 Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum kaitannya dengan konsumen juga mengalami perkembangan teori dan doktrin. Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.16
14
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53. Ibid, h.54. 16 Az. Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.64-65. 15
Konsumen memperoleh perlindungan hukum dari hukum perlindungan konsumen diantaranya untuk :17 1.
Menghindari iklan/ promosi yang menyesatkan (misleadingadvertising);
2.
Mengontrol transaksi yang dapat menimbulkan resiko tertentu terhadap konsumen; dan
3.
Secara umum memberikan kontrol terhadap keadaan yang tidak seimbang (unfair) dan ”tidak sadar” (unconsciousness) dalam perjanjian business-to-consumer (B to C). Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Adam Smith bahwa yang berpengaruh terhadap
pembentukan teori hukum perlindungan konsumen yang melahirkan dua teori besar yaitu : 1.
Perlindungan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah, dan
2.
Perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar.18 Dasar dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak
konsumen. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah:19 1.
Let the buyer beware (caveat emptor) Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan 17
Chris Reed, 2004, Internet Law Text and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, h. 296. 18 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Cet.I, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.26. 19 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.61.
konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri. 2.
The due care theory Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, penggugat (konsumen) yang melakukan pembuktian. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, tergugat membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian. Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan buktibukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini.
3.
The prifity of contract Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum.Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha
dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan posisi pelaku usaha.
1.7.4 Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A.Hart mengungkapkan tentang kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa makna dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A.Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.20 Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yaitu :21 1.
Kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada diluar undangundang tersebut.
2.
Kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata (law in the
20
H.L.A.Hart, The Concept of Law, (New York : Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M.Khozim, 2010, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, h.230 21 Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, h.117
books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan menyentuh kepada masyarakatnya.22 Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, bahwa hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.23 Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya yang berbedabeda. Kepastian hukum pada negara dengan sistem civil law, positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam law in the books. Kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan dilaksanakan secara substantif bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum. Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan 22
Ibid, h.118 Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi, h.162
23
kepastian penegakan hukum seharusnya sejalan, tidak hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum. 24
1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Hukum Penelitian hukum ini tergolong penelitian hukum normatif yaitu metode yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan, dengan jalan mempelajari buku literatur, perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan kategori janji dalam iklan menurut hukum kontrak dan pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata. 1.8.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Penelitian ini akan menggunakan beberapa jenis pendekatan antara lain : 1.
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa peraturan perundang-undangan, dimana penelitian akan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan janji dalam iklan dan janji menurut hukum kontrak serta pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata. 24
Mahmul Siregar, 2008, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.4, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, h.58
2.
Pendekatan Konsep (Conseptual Approach) Penelitian ini juga akan mengkaji konsep-konsep berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti, dimana konsep tersebut merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum yang berkembang di bidang hukum kontrak. Konsep yang akan dikaji adalah konsep janji iklan kaitan dengan janji dalam hukum kontrak dan konsep janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1.
Bahan Hukum Primer. Yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2.
Bahan Hukum Sekunder Dalam hal menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum bisnis tentang kontrak dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan janji dalam iklan dan kontrak.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan dan undang-undang terutama yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran dan pencatatan mengenai bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik itu bahan hukum primer maupun sekunder.
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini, analisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif analitis. Beberapa aspek akan dianalisa dengan demikian akan diketahui janji dalam iklan apakah merupakan janji menurut hukum kontrak. Selanjutnya akan dikaji pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.25
25
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, 2013, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 32.