BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin berkembangnya peradaban masyarakat. Secara historis, perdagangan orang tidak dapat dilepaskan dari perbudakan karena merupakan perkembangan dari perbudakan yang telah mengalami berbagai kemajuan baik dari segi tujuannya maupun modus operandinya. Perbudakan telah berkembang sejak beberapa ribu tahun yang lalu yang diawali dengan adanya penaklukan atas suatu kelompok oleh kelompok lainnya, kelompok yang kuat dan mempunyai kekuasaan akan menguasai kelompok yang lemah. Kekuasaan ekonomi dan politik menjadi sumber dan peluang untuk dapat berkembangnya perbudakan, sebagai konsekuensi dari penaklukan yang dibayar dengan “pengabdian mutlak”.1 Dalam sejarahnya, perbudakan telah terjadi di Indonesia sejak zaman kerajaan. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya 1
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (kebijakan hukum pidana dan pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 350.
2
dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya.2 Sistem tersebut menunjukkan bahwa sejak jaman kerajaan, manusia telah dijadikan sebagai suatu obyek tukar menukar yang dengan kata lain dapat dikatakan bahwa manusia telah digunakan sebagai obyek perdagangan. Seiring dengan perkembangan zaman, perbudakan yang telah terjadi sejak masa lampau tersebut berkembang menjadi suatu kejahatan yang sekarang dikenal dengan istilah perdagangan orang (human trafficking). Perdagangan orang telah mengalami beberapa perkembangan dari perbudakan pada masa feodal, menjadi suatu kejahatan yang lebih bersifat terorganisir dan dapat bersifat antar Negara. Sistem perdagangan orang yang lebih modern ini mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan. Pada zaman tersebut orang-orang pribumi diculik secara paksa untuk dipekerjakan sebagai pekerja pada berbagai proyek penjajah. Para pribumi yang diculik pada masa penjajahan tidak hanya terbatas laki-laki dewasa saja, tetapi juga banyak para wanita yang diculik untuk dipekerjakan sebagai wanita penghibur dan juga pekerja seks komersial. Hingga saat ini, perdagangan orang yang melibatkan wanita maupun anak-anak merupakan suatu permasalahan yang terjadi secara global karena melibatkan berbagai pihak dengan keuntungan yang sangat menggiurkan bagi pelakunya. Definisi mengenai perdagangan orang telah mengalami berbagai perkembangan hingga pada akhirnya ditetapkan Protocol to Prevent, Suppress, and 2
Punish
Trafficking
in
Persons
Especially
Women
and
Children
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 1.
3
Supplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konvensi tersebut menentang kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000, yang pada Pasal 3 menyatakan sebagai berikut.3 (a) “Perdagangan Manusia” adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian
atau
penerimaan
pembayaran
atau
keuntungan
guna
memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktikpraktik yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (b) Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan. (c) Perekrutan, pegangkutan, pemindahan, dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai “perdangangan manusia” walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang disebutkan dalam ayat (a) pasal ini.
3
Ibid., hlm 16.
4
(d) “anak-anak” adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun. Perdagangan orang di Indonesia sebenarnya telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni di dalam Pasal 297 yang bunyinya “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”, namun karena Pasal tersebut dirasa terlalu sempit cakupannya karena hanya dapat menjerat wanita dan juga anak laki-laki yang belum cukup umur, sehingga dikeluarkanlah UndangUndang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) yang mengatur lebih khusus dan spesifik tentang tindak pidana perdagangan orang yang semakin berkembang di Indonesia. Meskipun telah ada aturan hukum yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang di Indonesia yang diatur di dalam UU PTTPO, namun perdangangan orang masih terus berkembang dengan berbagai modus operandi baru. Para pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak pernah kehabisan ide untuk melakukan kejahatan terorganisir ini. Faktor ekonomi dari korban biasanya menjadi faktor pendukung yang memudahkan para trafficker untuk melancarkan aksinya. Para trafficker biasanya mengiming-imingi calon korban dengan iming-iming peningkatan ekonomi, selain itu para trafficker seringkali melakukan pemaksaan dan juga penculikan terhadap calon korbannya untuk diperjualbelikan sebagai komoditinya. Mudahnya perkembangan dari tindak pidana perdagangan orang di Indonesia juga didukung dari budaya masyarakat Indonesia sendiri seperti adanya diskriminasi gender, pernikahan dini, kawin siri,
5
konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilainilai moral agama merupakan faktor-faktor yang mendukung mudahnya perkembangan tindak pidana perdangangan orang di Indonesia.4 Sejalan dengan semakin berkembanganya teknologi informasi dan komunikasi, modus operandi yang dilakukan oleh trafficker pun semakin beragam. Salah satu modus operandi yang sedang popular saat ini adalah dengan menggunakan dunia maya (cyberspace) sebagai media untuk mencari korban dan memperdagangkan korbannya. Semakin pesatnya perkembangan cyberspace dengan
berbagai
aplikasi
pendukung
didalamnya
semakin
menambah
keberagaman modus operandi yang dilakukan oleh para trafficker. Setelah sempat marak aksi perdangangan manusia yang dilakukan melalui media internet dengan menggunakan website seperti www.krucil.net, www.bintangmawar.net dan www.semprot.net yang telah berhasil dibongkar oleh kepolisian pada 2012 silam,5 kini para trafficker dapat lebih mudah dalam melancarkan aksinya dengan semakin maraknya penggunaan berbagai aplikasi media sosial di masyarakat. Dengan adanya berbagai media yang dapat mempermudah para trafficker dalam menjalankan aksinya, modus operandi dari para trafficker pun juga semakin berkembang, namun demikian peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih belum secara khusus mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan melalui cyberspace ini.
4
Henny Nuraeny, op. cit. hlm. 111. Polisi Bongkar Penjualan Orang Melalui Dunia Maya, http://metro.sindonews.com/, Diakses tanggal 22 Februari 2016, Pukul 20.45 WIB. 5
6
Sehubungan dengan persoalan yang terjadi dan telah dipaparkan di atas, peran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penegakan hukum kasus tindak pidana perdangangan orang ini sangatlah penting. Polri merupakan ujung tombak dalam penegakan berbagai aturan hukum yang telah dibuat di Indonesia. Polri harus bisa menuntaskan berbagai persoalan yang ada sehingga dapat tercipta keamanan dan ketertiban di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum ini penulis akan mengkaji secara mendalam peran dari Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dilakukan melalui cyberspace,karena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi di Indonesia yang menjadi tujuan bagi para pelajar untuk melanjutkan pendidikannya dan juga para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk menghabiskan masa liburannya dan juga salah satu Provinsi di Indonesia dengan jumlah pengguna internet terbesar di Indonesia yangmencapai 2 (dua) juta pemakai pada tahun 2014.6Sehingga, provinsi DIY menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi human trafficking melalui cyberspace cukup tinggi. Berdasarkan fakta tersebut penulis akan melakukan kajian yang mendalam terhadap peran dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dengan judul:
6
Profil Pengguna Internet Indonesia 2014, http://slideshare.net/, Diakses tanggal 13 Juni 2016, Pukul 11.32 WIB.
7
“PERAN KEPOLISIAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM UPAYA
PENEGAKAN
PERDAGANGAN
HUKUM
ORANG
TERHADAP
(HUMAN
TINDAK
TRAFFICKING)
PIDANA MELALUI
CYBERSPACE” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis membuat beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dilakukan melalui cyberspace? 2. Apa saja yang menjadi kendala bagi Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dilakukan melalui cyberspace? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui upaya Kepolisian khususnya Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana
8
perdagangan orang (human trafficking) yang dilakukan melalui cyberspace. b. Mengetahui berbagai faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang dilakukan melalui cyberspace. 2. Tujuan Subyektif a. Sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di bidang Ilmu Hukum dan memperoleh gelar Sarjana Hukum. b. Menambah pengetahuan dan keterampilan hukum baik dalam aspek teori maupun praktik. D. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan penulis terdapat beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yunita Sinta Dewi pada tahun 2015 dengan judul “Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Tindakan Pelacuran” dalam bentuk penulisan hukum (skripsi) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam skripsi yang ditulis oleh Yunita Sinta Dewi rumusan masalah yang dibahas adalah tentang peluangpenerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap tindakan pelacuran dan penerapan Undang-Undang tersebut dalam putusan
9
pengadilan.Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih menitikberatkan pada penerapan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap tindak pidana pelacuran sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menitikberatkan kepada peran kepolisian khususnya Polda DIY dalam penegakkan hukumnya. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Helmy Indrawan pada tahun 2013 dengan judul
“Peran
Kepolisian
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang” dalam bentuk penulisan hukum (skripsi) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam skripsi yang ditulis oleh Helmy Indrawan rumusan masalah yang dibahas adalah tentang upaya yang dilakukan oleh Polda DIY dalam menanggulangi TPPO dan juga faktor-faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan upaya penanggulangan tersebut. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah terkait ruang lingkup kajiannya. Penelitian ini mengkaji peran Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara umum (TPPO secara umum), sedangkan penulis mengkaji peran Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta terkait dengan tindak pidana perdagangan orang yang khusus dilakukan melalui cyberspace. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Aditya Chandra Darmawan pada tahun 2010 dengan judul “Penegakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah
10
Hukum
Pengadilan
hukum(skripsi)
di
Negeri Fakultas
Surabaya”dalam Hukum
bentuk
Universitas
penulisan
Gadjah
Mada
Yogyakarta.Dalam skripsi yang ditulis oleh Aditya Chandra Darmawan rumusan masalah yang dibahas adalah tentang upaya penegakan hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan hambatan dan penanggulangannya dalam mengatasi TPPO.Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah terkait rumusan masalah yang diajukan dan juga ruang lingkup penelitian. Rumusan masalah yang diajukan adalah terkait dengan upaya penegakan hukum dan hambatan serta penanggulangan dalam mengatasi terjadinya tindak pidana perdagangan orang, sedangkan rumusan masalah yang dibahas oleh penulis adalah terkait dengan peran Polda DIY dalam penegakan hukum TPPO melalui cyberspace beserta hambatannya. Obyek penelitian yang dilakukan juga berbeda, obyek dari penelitian ini adalah Pengadilan Negeri Surabaya, sedangkan obyek dalam penelitian penulis adalah Polda DIY. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Wina Leni Dertivia Saragih pada tahun 2009 dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak”dalam bentuk penulisan hukum(skripsi) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam skripsi yang ditulis oleh Wina Leni Dertivia Saragih rumusan masalah yang dibahas adalah tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak dan
11
kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum tersebut. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih menitik beratkan pada penegakan hukum yang khusus terhadap tindak pidana perdagangan orang yang dialami oleh anak sedangkan penulis lebih menitikberatkan kepada peran dari Polda DIY dalam penegakan hukum terhadap TPPO yang dilakukan melalui cyberspace. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Aleida Panisales Farid pada tahun 2008 dengan judul “Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia” dalam bentuk penulisan hukum (skripsi) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam skripsi yang ditulis oleh Maria Aleida Panisales Farid rumusan masalah yang dibahas adalah tentang perbandingan perlindungan terhadap hak-hak anak yang berkaitan dengan TPPO antara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional.Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih menitikberatkan pada perbandingan hukum antara ketentuan dalam hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional, sedangkan penulis lebih menitikberatkan pada peran aparat penegak hukum (Polda DIY) dalam penegakan hukum terhadap ketentuan hukum nasional tentang tindak pidana perdagangan orang.
12
Berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penulisan yang telah dilakukan sebelumnya tidaklah sama dengan penelitian yang dilakukan penulis walaupun tema yang diangkat adalah sama yakni terkait dengan perdagangan orang (human trafficking). Penulis melakukan penelitian yang lebih menitikberatkan kepada peran dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang khususnya yang dilakukan melalui cyberspace, sehingga membedakan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penulisan hukum dengan judul “Peran Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) Melalui cyberspace” belum pernah dilakukan serta memiliki perbedaan dengan penelitian lain dengan tema serupa yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga penulis dapat menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis adalah asli dan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Akademis a. Meningkatkan keterampilan penulis dalam penelitian hukum. b. Sebagai sarana untuk mengembangkan wawasan dan khazanah pengetahuan penulis dalam bidang Hukum Pidana khususnya mengenai tindak pidana perdagangan orang.
13
2. Kegunaan Praktis a. Bagi aparat penegak hukum, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan masukan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang khususnya yang dilakukan melalui media dunia maya. b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menambah kesadaran hukum dan mengetahui peran dari kepolisian khususnya kepolisian daerah istimewa Yogyakarta dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan melalui media dunia maya.