1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu pemanasan global menjadi isu internasional yang gaungnya sudah sangat gencar di seluruh dunia. Hal tersebut dipicu oleh kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin parah. Salah satu dampak dari pemanasan global adalah perubahan iklim yang akhirnya banyak menimbulkan bencana alam. Bahkan, diperkirakan menjelang tahun 2020 antara 75 – 250 juta orang di Afrika akan kekurangan air akibat dari perubahan iklim tersebut dan hasil pertanian tadah hujan di beberapa negara akan berkurang hingga 50 persen (Zulkifli, 2014). Isu pemanasan global menjadi perhatian banyak kalangan karena ini merupakan masalah masa depan bumi dan segala isinya. Begitu pentingnya masalah lingkungan sehingga banyak pertemuan tingkat dunia telah dilakukan untuk membahas isu tersebut. Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai salah satu agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1972 yaitu pada konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Stockholm, Swedia. Konferensi ini merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan di dunia. Dalam perkembangannya, konferensi-konferensi
internasional
yang
membahas
mengenai
masalah
lingkungan dari tahun ketahun terus diadakan untuk mencari solusi dalam penanggulangan masalah yang dianggap pelik dalam tata lingkungan hidup global saat ini. Pertemuan antar negara-negara dalam membahas masalah lingkungan
1
2
hidup terangkum dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) (Zulkifli, 2012) Indonesia termasuk salah satu negara yang paling banyak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan tersebut, meliputi : ekosistem hutan, sawah, serta terumbu karang. Hutan di Kalimantan yang dulunya rimbun, sekarang menjadi gundul akibat penebangan hutan secara liar. Akhir-akhir ini, berita kerusakan hutan sebagai pemicu utama kerusakan global sangat gencar dibicarakan, seperti kebakaran hutan dan gambut, yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia, yang turut berperan menaikkan tinggi muka air laut akibat naiknya suhu udara dan melelehnya es di Greenwich dan Antartika (Rizal, 2007). Hasil
studi
Kementrian
Lingkungan
Hidup (KLH)
tahun 2012
menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) di Indonesia masih berkisar pada angka 0,57 (dari angka mutlak 1). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari (http://www.menlh.go.id). Hasil ini cukup beralasan karena jika dilihat di lingkungan sekitar, terdapat banyak masalah lingkungan yang terjadi, terutama masalah sampah dan banjir serta pemborosan pemakaian sumber daya seperti air dan listrik. Gunung-gunung sampah bukan masalah yang baru dalam lingkungan. Sebenarnya masalah ini masalah klise yang seharusnya sudah selesai. Tidak jarang pemandangan gunung sampah ini ditemui di pinggir jalan, pada berbagai tempat. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan telah memudar atau justru memang belum terbangun dalam diri
3
masyarakat hingga pemandangan tersebut dapat disaksikan juga di bawah pohon, di sepanjang aliran pembuangan (got), ataupun dalam aliran sungai. Sampah merupakan masalah yang terjadi secara luas pada kota-kota di seluruh Indonesia (Juniah, 2014), tak terkecuali di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Berdasarkan hasil pengamatan saat melintas di beberapa pasar tradisional di sekitar Kota Denpasar tumpukan sampah di setiap sudut pasar menjadi pemandangan yang biasa. Tumpukan sampah tersebut selain kurang enak untuk dilihat juga beraroma yang kurang sedap. Selokan-selokan di sepanjang jalan sering dipenuhi oleh sampah rumah tangga dan sampah dari sawah, sehingga menyebabkan meluapnya air selokan yang menyebabkan terjadinya banjir. Sampah-sampah tersebut akhirnya bermuara di sekitar hutan bakau dan menyebabkan matinya pohon bakau karena akarnya tertutup sampah, terutama sampah plastik. Dalam hal pemborosan sumber daya, sering terlihat ketika memasuki toilet umum di beberapa pusat perbelanjaan, air keran dibiarkan mengucur, tanpa ada yang peduli untuk mematikan dan lampu toilet dibiarkan menyala selama 24 jam. Banyak juga ditemui di daerah perumahan baru yang tidak membuat sarana saluran air (got) di lingkungannya, sehingga pada saat hujan seringkali terjadi banjir. Permasalahan pencemaran lingkungan yang terjadi secara luas tidak akan ada perubahan jika hanya ditonton dan diberi komentar saja, akan tetapi seharusnya semua orang turut serta dalam penyelesaian masalah tersebut. Setiap orang baik individu dari berbagai usia, pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil merupakan komponen penting dalam mewujudkan lingkungan hijau. Ditinjau
4
dari sisi masyarakat, perwujudan lingkungan hijau dapat ditentukan dari perilaku mereka yang ramah lingkungan atau ekologis. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi perilaku ekologis ini. Menurut Suki (2013) perilaku ekologis seperti pembelian makanan organik dan pemakaian tas belanja yang bisa didaur ulang dipengaruhi oleh pengetahuan mereka tentang lingkungan, pengetahuan tentang makanan sehat serta gaya hidup sehat. Sementara, berdasarkan penelitian Tarkiainen (2014) diperoleh bahwa perilaku ekologis seperti pembelian makanan organik dipengaruhi oleh norma subyektif, sikap, dan niat konsumen. Kim dan Chung (2011) menemukan bahwa intensi untuk membeli produk-produk perawatan rambut dan kulit berbahan organik dipengaruhi oleh nilai-nilai konsumen sebagai anteseden dari sikap seperti kesadaran kesehatan, kesadaran lingkungan, serta kesadaran berpenampilan. Selain itu juga dipengaruhi oleh norma subyektif, persepsi kontrol perilaku, serta pengalaman di masa lalu dalam membeli produk hijau tersebut. Pengetahuan lingkungan merupakan hal yang seharusnya diketahui dan dipelajari oleh setiap orang karena kurangnya pengetahuan lingkungan adalah penghalang besar untuk melakukan daur ulang produk dan sikap positif pada konservasi (Simmons dan Widmar, 1990). Grunert (1993) telah menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan lingkungan dan pembelian hijau pada produk organik. Jaolis (2011) juga menemukan bukti bahwa tingkat pengetahuan lingkungan yang tinggi menghasilkan sikap pro-lingkungan yang jauh lebih baik. Suki (2013) menemukan bahwa pengetahuan lingkungan berpengaruh positif terhadap perilaku ekologis. Walaupun pengetahuan dan sikap
5
lingkungan keduanya dipahami dan menjadi sangat penting untuk mengubah tindakan manusia terhadap lingkungan, namun sangat sedikit usaha yang telah dikeluarkan untuk menyelidiki berapa banyak usaha masyarakat yang tahu tentang lingkungan dan hubungan antara pengetahuan dan sikap lingkungan (Barber et al., 2010). Gotschi et al. (2010) menemukan bahwa tingkat pengetahuan lingkungan yang tinggi tidak selalu mengarah pada sikap positif dalam membeli produk organik. Persepsi terhadap makanan organik dan kepercayaan bahwa makanan organik ramah lingkungan tidak kuat satu sama lain, yang artinya bahwa konsumen yang perhatian dan menyadari esensi isu-isu lingkungan tidak menunjukkan sikap dan keputusan mereka ketika mereka mempertimbangkan dalam melakukan pembelian makanan dan produk organik (Salleh et al., 2010). Keputusan seseorang untuk berperilaku, selain dipengaruhi oleh sikap juga dipengaruhi oleh norma subyektif dan kontrol perilaku seseorang. Peran sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku dalam menentukan niat berperilaku dan akhirnya menentukan perilaku yang sebenarnya dijelaskan oleh teori sikap yang direncanakan (Theory of Planned Behavior) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein (Schiffman dan Kanuk, 2007). Sikap merupakan suatu ekspresi rasa suka dan tidak suka terhadap suatu obyek. Sikap berhubungan dengan perilakunya, sikap positif akan menyebabkan perilaku yang positif terhadap suatu obyek (Suprapti, 2013). Hasil temuan Wijaya (2014) memperkuat adanya pengaruh sikap positif dan signifikan pada perilaku pembelian makanan organik. Demikian juga sikap konsumen yang positif berpengaruh terhadap perilaku pembelian sayur organik Baby O dan Veggy O (Asmara dkk., 2012). Namun Noor et al. (2012)
6
menemukan bahwa, sikap positif tidak selalu menimbulkan perilaku yang positif, seperti perilaku pembelian produk hijau di kalangan konsumen di Malaysia. Walaupun sikap konsumen positif terhadap lingkungan namun tingkat pembelian produk hijau tidak menggembirakan yaitu konsumen cenderung memiliki tingkat yang rendah dalam pembelian produk yang ramah lingkungan. Rendahnya tingkat pembelian produk organik juga ditemukan oleh Julina (2013) yaitu banyak konsumen yang memiliki sikap positif terhadap lingkungan tetapi tidak berperilaku menurut sikap mereka. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu harga produk hijau yang relatif lebih mahal, kesediaan produk hijau yang terbatas, kebiasaan konsumen yang sudah berakar, penampilan produk hijau yang kurang menarik, serta terbatasnya informasi yang tersedia untuk produk hijau. Hal ini mengungkapkan fakta bahwa walaupun konsumen mengekspresikan keprihatinannya terhadap lingkungan, mereka tidak berkeinginan untuk berperilaku ekologis. Hal ini merupakan fenomena baru dalam ranah ekologi dan pemasaran dimana para periset mulai mempertanyakan korelasi sikap dan perilaku ekologis. Perilaku ekologis konsumen dalam memutuskan untuk melakukan suatu tindakan membeli dan memakai produk yang ramah lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh sikap sesorang, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal individu berupa ajakan atau saran dari orang-orang yang dianggap penting atau disebut norma subyektif. Norma subyektif muncul melalui rasa percaya dan motivasi. Penelitian Marhaini (2008) menunjukkan bahwa sikap konsumen dan norma subyektif, secara parsial maupun simultan berpengaruh signifikan terhadap
7
niat dan perilaku konsumen. Penelitian Asmara dkk. (2012) mendapatkan bahwa kecenderungan perilaku membeli ataupun mengkonsumsi produk sayuran organik lebih dikarenakan oleh faktor pengaruh orang lain (norma subyektif) dibandingkan kepercayaan dan evaluasi terhadap produk. Perilaku seseorang tidak terjadi begitu saja, ada faktor internal dari individu itu sendiri yang mendorong untuk berperilaku, yang disebut sebagai kontrol perilaku. Persepsi kontrol perilaku yaitu perasaan seseorang mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku (Ajzen, 1975). Rezai et al. (2012) menemukan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap konsumsi makanan hijau yaitu kontrol kepercayaan (control belief) bahwa produk hijau lebih berkualitas dan lebih sehat dan dapat menjaga kelestarian lingkungan. Persepsi kontrol perilaku untuk membeli produk perawatan rambut dan kulit berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap niat beli produk-produk tersebut. Makin kuat kontrol perilaku, maka makin kuat hubungan antara sikap dengan niat membeli produk hijau (Kim dan Chung, 2011). Masalah lingkungan yang saat ini terjadi merupakan masalah seluruh masyarakat. Perilaku ekologis seharusnya dimiliki bahkan dituntut kepada semua pihak untuk lebih memperhatikan alam sekitarnya. Perilaku ekologis petani merupakan hal yang patut dicontoh dalam penanganan sampah, membersihkan aliran air, serta menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di sekitarnya. Perilaku ini terbentuk dari nilai-nilai luhur tentang kelestarian lingkungan yang diperoleh langsung dari alam dan lingkungannya. Generasi muda yang memiliki rentang hidup yang lebih lama seharusnya juga mampu berperilaku seperti itu. Namun,
8
berdasarkan hasil pengamatan didapatkan masih banyak generasi muda yang tidak terlalu peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka belum terbiasa membuang sampah pada tempatnya serta memilah-milah sampah tersebut. Hal ini terlihat di beberapa tempat berkumpulnya anak-anak muda, mereka selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Banyak dari anak-anak muda yang tidak mengerti bagaimana cara memisahkan dan membuang sampah organik, anorganik, serta sampah kertas. Padahal menurut Hume (2010) konsumen generasi Y mewakili masa depan seluruh masyarakat. Jika demikian, mereka seharusnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan dan memiliki kesadaran yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya dalam menjaga kelangsungan hidup bumi dan segala isinya. Setiap generasi pada zamannya mempunyai ciri dan karakteristik masingmasing. Pada Abad kedua puluh pertama kali diperkenalkan Generasi Milenium, yang sering disebut generasi Y atau Echo-Boomers yang merupakan segmen demografi baru (Solomon, 2009 dalam Nurdianty, 2010).
Mamer (2012)
menyatakan bahwa generasi Y lahir antara tahun 1979 sampai dengan tahun 1997. Hawkins and Mothersbaugh (2010) mengkarakteristikkan generasi Y ini sebagai kelompok remaja namun lebih tua dan kelompok dewasa namun lebih muda. Ciri – ciri dari generasi Y adalah berpendidikan, cerdas teknologi, memiliki pengalaman yang luas dalam pemasaran global (global marketplace) serta memiliki ambisi yang tinggi. Disamping ciri-ciri tersebut, ada mitos yang negatif tentang generasi ini, yaitu dikatakan sebagai generasi yang pemalas serta menyukai sesuatu yang serba instan (Hobart, 2012). Namun demikian, beberapa studi menemukan bahwa kelompok generasi Y adalah generasi muda yang paling
9
sadar dan peduli terhadap lingkungan dan masa depan bumi (Vermillion dan Peart, 2010). Studi menunjukkan bahwa konsumen yang berpendidikan semakin khawatir tentang efek jangka panjang dari produk terhadap kesehatan mereka, masyarakat, dan lingkungan (Lee, 2008). Pengetahuan lingkungan dan gaya hidup yang dimiliki generasi Y memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku ekologis (Suki, 2013). Kesadaran lingkungan memiliki pengaruh yang positif terhadap niat beli produk ramah lingkungan (Anvar et al., 2014). Generasi Y dinyatakan bersedia untuk membeli produk yang memiliki atribut bisa didaur ulang, produk dengan bahan-bahan non-toksin, produk yang bebas dari percobaan dengan menggunakan binatang, produk yang diolah melalui proses yang ramah lingkungan, produk yang perusahaannya memiliki hubungan dengan lingkungan dan melakukan berbagai kegiatan ramah lingkungan (Lu et al., 2013). Dilihat dari gender, konsumen remaja puteri lebih menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan dan merasakan masalah lingkungan lebih serius daripada laki-laki (Lee, 2009). Temuan Lee et al. (2013) menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin terlibat dalam praktek hemat energi dan lebih bersedia untuk membayar harga yang lebih tinggi untuk membeli lampu yang hemat energi. Namun tidak ada perbedaan gender dalam hal pembelian lampu hemat energi dan dukungan untuk melarang sumber lampu yang tidak efisien. Dalam hal sikap lingkungan, wanita mencetak nilai-nilai altruistik yang lebih tinggi dari pada pria, namun tidak ada perbedaan dalam nilai-nilai egoistik. Selain itu dibandingkan pria, wanita dinilai lebih memiliki norma subyektif yang lebih
10
tinggi dalam pembelian lampu hemat energi. Hasil penelitian tentang profil konsumen hijau di Indonesia menemukan bahwa tingkat keinginan membeli produk yang ramah lingkungan lebih tinggi pada pria (Jaolis, 2011). Namun, Chen dan Chai (2010) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam sikap lingkungan. Suki (2013) juga mendapatkan hasil yang bertentangan bahwa faktor demografi yaitu usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap perilaku ekologis konsumen muda. Berdasarkan uraian diatas, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan lingkungan terhadap sikap lingkungan serta pengaruh sikap lingkungan, norma subyektif, dan kontrol perilaku terhadap perilaku ekologis generasi Y di Kota Denpasar. Perbedaan dalam pengetahuan lingkungan, sikap lingkungan, serta perilaku ekologis antara konsumen pria dan wanita pada generasi Y di Kota Denpasar juga akan diselidiki. Keberadaan Generasi Y menciptakan peluang yang menguntungkan bagi banyak perusahaan. Bahkan, konsumen generasi ini diperkirakan memiliki peluang sebesar $ 54.3 juta untuk pemasar (McKay, 2010). Menarik perhatian generasi Y ini penting karena mereka dapat mempengaruhi pembelian rekan-rekan dan keluarga mereka. Hubungan teman sebaya menciptakan tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok. Pada lingkungan masyarakat barat, tekanan sosial ditemukan menjadi pengaruh besar pada perilaku pembelian hijau di kalangan orang dewasa (Lee, 2009).
11
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini membahas perilaku ekologis generasi Y di Kota Denpasar yang dilihat dari tingkat pengetahuannya tentang lingkungan, sikap lingkungan, pengaruh tekanan sosial dari teman sebaya (norma subyektif), serta persepsi kontrol perilaku. Perbedaan pengetahuan lingkungan, sikap lingkungan, serta perilaku ekologis antara pria dan wanita juga akan diselidiki dalam penelitian ini. Dengan demikian, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimanakah
pengaruh
pengetahuan
lingkungan
terhadap
sikap
lingkungan pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar? 2) Bagaimanakah pengaruh sikap lingkungan terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar? 3) Bagaimanakah pengaruh norma subyektif terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar? 4) Bagaimanakah pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar? 5) Apakah terdapat perbedaan pengetahuan tentang lingkungan, sikap lingkungan, dan perilaku ekologis antara pria dan wanita pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perilaku ekologis generasi Y di Kota Denpasar. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
12
1) Untuk menjelaskan pengaruh pengetahuan lingkungan terhadap sikap lingkungan pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. 2) Untuk menjelaskan pengaruh sikap lingkungan terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. 3) Untuk menjelaskan pengaruh norma subyektif terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. 4) Unuk menjelaskan pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. 5) Untuk menjelaskan perbedaan pengetahuan lingkungan, sikap lingkungan, dan perilaku ekologis antara pria dan wanita pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. 1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberi kontribusi berupa bukti empiris tentang pengaruh pengetahuan lingkungan terhadap sikap lingkungan, serta pengaruh sikap lingkungan, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku terhadap perilaku ekologis pada kelompok generasi Y di Kota Denpasar. Juga bukti empiris tentang perbedaan pengetahuan lingkungan, sikap lingkungan, dan perilaku ekologis antara konsumen pria dan wanita pada kelompok konsumen generasi Y di Kota Denpasar. Sebagai studi empiris, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang membahas perilaku ekologis, baik bila diterapkan bagi
13
kelompok sampel lain maupun dalam hubungannya dengan perilaku lain yang terkait dengan kepedulian terhadap produk hijau. 2) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini akan memberikan perspektif yang lebih jelas bagi perusahaan untuk melakukan identifikasi yang lebih baik tentang perilaku ekologis bagi segmen pasar generasi Y. Identifikasi terhadap segmen pasar tertentu secara lebih baik akan membantu dalam melakukan strategi targeting dan positioning produk hijau yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan bisa memenuhi permintaan pasar. Dengan memahami perilaku ekologis mereka, perusahaan dapat membangun strategi pemasaran berkelanjutan yang menarik bagi segmen tertentu ini.