39
BAB II ANCAMAN HUMAN TRAFFICKING DI INDONESIA A. Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya Human Traficking Di Indonesia Human Trafficking merupakan suatu bagian dari dinamika perpindahan penduduk dalam hal ini migrasi tenaga kerja pada satu titik bisa berlangsung secara sukarela untuk kepentingan jangka pendek dan dapat dilakukan secara paksa. Perpindahan tenaga kerja baik secara sukarela maupun paksa bukanlah fenomena baru. Misalnya pada jaman kolonial Belanda penduduk pribumi dipindahkan baik melalui perbudakan, perdagangan karena hutang piutang, ataupun perpindahan yang dilakukan oleh negara dalam hal penjahat kriminal atau pengasingan politik1 Bahkan sebelum Belanda datang ke negri ini Perbudakan memang pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang "dijual" atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan keluarga istana. Sistem feodal ini memang belum menunjukkan keberadaan 1
http://www.stoptrafiking.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=297&Itemid=14 di akses pada 18 juni 2010
40
suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran.2 Namun ada perbedaan mendasar dengan trafficking yang terjadi pada abad masa kini, yaitu migrasi antar negara. Dalam arus migrasi ini, terdapat fenomena lain yang muncul yakni feminisasi migrasi yang didominasi oleh anak gadis dan perempuan. Pekerjaan yang dilakoni oleh gadis-gadis atau perempuan korban penyeludupan manusia bercirikan 3D yaitu : dirty, no dignity, dan dangerous atau kotor, tidak memiliki martabat, dan berbahaya.3 Salah satu faktor terjadinya perdagangan manusia adalah akibat ambruknya sistem ekonomi lokal, sehingga banyak anak-anak, gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global untuk mencari pendapatan. Situasi ini semakin merajalela di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi yang parah serta negara-negara yang mengalami perpecahan. Di samping itu, pekerjaan yang tersedia dalam negeri tidak sesuai dengan pekerjaan pilihan mereka untuk tetap tinggal di kampung halamannya. Dengan kata lain, pekerjaan yang ada tidak memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi para anak gadis itu. Bagi para calon migran sendiri, mereka tidak mengetahui apakah calon tenaga kerja atau para rekruter itu resmi atau gelap. Yang mereka tahu hanyalah bahwa ada tawaran suatu pekerjaan disuatu tempat di suatu negara, dan dengan jumlah tertentu atau dengan kesepakatan tertentu, mereka bisa direkrut untuk pekerjaan itu. Orang-orang seperti ini, baru 2
3
http://adetaris.multiply.com/journal/item/9/Trafficking di akses pada 18 juni 2010
“Ibid
41
kemudian menyadari bahwa mereka telah memasuki negara secara gelap. Dan para migran gelap inilah yang posisinya sangat rentan, tanpa perlindungan. Faktor-faktor pendorong diatas, juga terkait erat dengan diskriminasi jender dalam keluarga dan masyarakat, banyak anak gadis dan perempuan yang berupaya melarikan diri dari ketidakadilan jender, beban kerja yang terlalu berat dirumah atau mereka dipaksa kawin oleh orang tua. Di dalam kebanyakan budaya kita di Indonesia, anak gadis dan perempuan kurang mendapat penghargaan tinggi apalagi dalam situasi krisis, anak gadis dan perempuan yang pertama dikorbankan. Misalnya anak perempuan yang pertama kali akan diberhentikan dari sekolah apabila keluarga mengalami krisis krisis ekonomi atau krisis pangan. Bahkan tidak jarang, keluarga atau orang tua menjual anak gadis mereka untuk bekerja demi meringankan beban ekonomi keluarga. Adapun kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap wanita dan anakanak, diskriminasi terhadap wanita, kurang kewaspadaan korban untuk mendapatkan pekerjaan, kultur yang menempatkan wanita pada tingkat yang lebih rendah, kurangnya keamanan aparat penegak hukum dalam penjagaan daerah perbatasan serta minimnya perhatian pemerintah. Selain itu, kurangnya pendidikan yang bersifat menyeluruh, yang terutama meliputi pendidikan dalam ilmu pengetahuan, pendidikan moral, pendidikan agama,dan pendidikan kewarganegaraan.4
4
http://mamduhnurullah.blogspot.com/2009/05/metodoligi-tapi-bener-ga-yah.html di akses pada 19 juni 2010
42
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking manusia di Indonesia. Trafficking terjadi karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antar lain: 1.
Kurangnya pemahaman Agama, dan lemahnya iman.
2.
Lemahnya kemampuan kepala keluarga (laki-laki) sebagai pencari nafkah, sehingga memaksa perempuan untuk menggantikan peran laki-laki.
3.
Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
4.
Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.
5.
Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.
6. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas. 7.
Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus Trafficking.
43
1. Faktor Ekonomi
Dalam kasus human trafficking, yang terjadi adalah pelanggaran atas hak asasi manusia, di mana manusia hanya diperlakukan sebagai obyek eksploitasi, bahwa hakhak para korban sering dilecehkan. Mereka hanya diperlakukan sebagai obyek transaksi ekonomi, dan keuntungan dari hasil penjualan tubuhnya bukan diperuntukkan bagi para korban melainkan dirampas oleh para penjual. Korban human trafficking rata-rata menimpa anak-anak dan kaum perempuan. Mereka banyak dipergunakan sebagai buruh dan penjaja seks. Ada banyak faktor yang menyebabkan perdagangan manusia marak terjadi, mulai dari krisis multidimensi faktor ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah, faktor budaya, globalisasi, modernitas, sampai pada lemahnya pengawasan pemerintah.
Faktor ekonomi dan pendidikan dinilai menjadi faktor yang dominan pasalnya banyak orang tergiur bekerja di kota besar maupun luar negeri karena tawaran gaji yang dijanjikan para calo (distributor) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan mereka di kampung halamannya. Selain itu para korban mudah dibohongi oleh calo karena banyak di antara mereka yang buta huruf.Seperti disinggung di atas, faktor utama penyebab terjadinya human trafficking adalah alasan ekonomi. Hal ini terbukti dengan kondisi para korban yang di pelosokpelosok desa yang memprihatinkan. Rata-rata mereka tidak punya pekerjaan yang dapat menopang kehidupannya. Karena itu seharusnya pemerintah, khususnya pemerintah daerah agar memperhatikan nasib warganya.Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, para korban kesulitan melepaskan diri karena kuatnya tekanan
44
para pemilik usaha lokalisasi dan kafe remang-remang. Maka, beberapa instansi pemerintah daerah diharapkan segera membentuk tim investigasi trafficking, yaitu DPRD, Dinas Sosial, BPPKB, LSM dan Polisi. Tim inilah yang akan mengecek langsung ke berbagai area remang-remang untuk menelusuri kebenaran dugaan adanya trafficking. Kepolisian pun harus proaktif bertindak tegas terhadap para pelaku trafficking.5
Untuk meminimalisir kasus tersebut, beberapa instansi pemerintah bisa melakukan berbagai cara. Salah satunya melalui sosialisasi Undang-Undang (UU) No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perda 4/2007 tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang.Pelaku perdagangan orang atau trafficking saat ini tidak hanya mengincar perempuan muda, tapi juga gadis belia lulusan sekolah. Oleh karena itu, penyuluhan pencegahan perdagangan manusia juga ditujukan kepada para pelajar, karena mereka dianggap rentan dengan bujuk rayu pelaku trafficking.
2. Faktor Geografi
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Jika kita perhatikan lokasi negri kita maka kita lihat : di utara dan selatan ada benua-benua, sedamng di
5
http://komunikasiuii.or.id/?p=518 di akses pada 19 juni 2010
45
timur dan barat ada samudra-samudra. Dapat dikatan bahwa posisi Indonesia ada di satu, di tengah-tengah percaturan lalu lintas kehidupan dunia yang sangat ramai.
Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas sebagai berikut :
Gambar : Posisi Indonesia di antara beberapa negara, laut dan samudera6
Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan.
Selatan : Negara Australia, Samudera Hindia
Barat : Samudera Hindia
Timur : Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik
Posisi silang tersebut dengan sendirinya berpengaruh atas kehidupan bangsa kita dari masa ke masa, baik secara menguntungkan maupun yang merugikan. Posisi kepulauan kita yang baik itu mudah untuk mendatangkan ancaman dari
6
http://ms.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia di akses pada 19 juni 2010
46
luar, lebih-lebih kalau posisi kita dihubungkan dengan sumberdaya alam yang kita miliki. Ingatlah bahwa kedatangan penjajah Belanda pada abad
ke-16
dirangsang oeh tarikan kekayaan rempah-rempah Maluku. Masuknya bala tenara Jepang pada awal perang dunia ke-2 bermaksud antara lain menguras harta minyak bumi kita untuk keperluannya berperang.7
Letak geografi yang strategis pada persimpangan dua benua dan dua samudra menyebabkan Indonesia secara langsung maupun tidak lansung dapat terlibat aktif dalam permasalahan kejahatan Transnasional khususnya ancaman human trafficking. Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintu-pintu masuk Indonesia seperti pelabuhan laut dan udara, serta masih terbatasnya kerjasama internasional maupun regional dalam masalah human trafficking menjadikan Indonesia sebagai lading yang subur bagi tumbuhnya kejahatan transnasioanl khususnya human trafficking. Indonesia negara yang memiliki berbelas ribu pulau yang tersebar dari sabang hingga merauke, negara yang terkenal dengan lebih dari 300 suku dan kebudayaan yang tersebar di berbelas ribu pulau yang ada ini juga terkenal dengan julukan baru. Indonesia, mempunyai julukan yang seharusnya tidak bisa dibanggakan sebagai julukan yang baik di mata dunia. Julukan ini bisa membuat nama Indonesia dimata dunia menjadi tidak baik. Sekarang Indonesia bisa dibilang sebagai negara "pemasok" human trafficking di dunia. Tidak hanya
7
N. DALDJOENI,”Dasar-dasar Geografi Politik”,(Bandung, PT . Citra Adidaya Bakti 1991), hlm. 199-200.
47
sebagi "pemasok" saja tetapi negara kita ini juga sudah dikotori sebagai tempat transit para korban human trafficking ini.8 Sebenarnya masalah human trafficking di Indonesia sudah menjadi masalah lama yang sulit untuk diberantas, sama seperti korupsi yang bisa mengakibatkan orang menjadi kecanduan; masalah human trafficking ini punjuga menurut infromasi yang saya dapatkan, sekitar 100.000 perempuan dan anak-anak menjadi korban human trafficking setiap tahunnya. Sebagai negara "pemasok", parahnya Indonesia mengirimkan korban anak-anak yang dibawah umur. Yaitu dibawah umur 18 tahun. Banyak dari mereka yang terpaksa melakukan pekerjaan ini karena dilandasi dengan kondisi ekonomi keluarga mereka, lalu karena mereka juga terjerat dengan rayuan manis dari para distributor yang membujuk mereka dengan "iming-iming" seperti pekerjaan dengan gaji yang banyak. Apa yang mereka lakukan disana. Para wanita dan anak-anak ini dikirim ke negara seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang, Hong-kong dan juga Midle East ini untuk bekerja sebagai pembantu dan PSK. Contohnya saja di Malaysia warga Indonesia terutama para wanita yang dikirim ke Malaysia sebagai TKW (tenaga kerja wanita). Meraka banyak dikirim ke Malaysia dan berkerja sebagai pembantu tetapi banyak dari mereka yang kembali dengan mengenaskan seperti disiksa, dipukuli, tidak dibayar gaji mereka sampai ada yang meninggal. Sungguh ironis memang bangsa ini terhadap para pahlawan devisa ini.
8
http://www.e-dukasi.net/mapok/mp_full.php?id=216 di akses pada 22 juni 2010
48
Pemerintah seharusnya menilik lebih dalam tentang masalah human trafficking ini, yang dikorbankan tidak hanya satu ornag saja. 100.000 perempuan dan anakanak setiap tehunnya harus mengorbankan nasib mereka. Kalau nasib mereka bagus, mereka bisa bekerja seperti layaknya orang bekerja tetapi jika tidak nasib mereka pun buruk. Menurut saya, pemerintah kurang tegas dalam menilik masalah ini mungkin saja di karenakan banyak faktor yang akhirnya masalah ini dapat lolos, memang pemerintah sudah membuat undang- undang mengenai Human Trafficking ini. Dalam UU tersebut jika kita melanggar pasal-pasal kita akan terkena hukuman. Hukumannya adalah kurungan mulai dari 3 tahun hingga 15 tahun dan juga denda. Semoga UU yang sudah dibuat ini dapat berjalan dengan seharusnya.
3. Penagruh Budaya : Faktor budaya sebagai berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafficking:
Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan
49
terhadap trafficking. Buruh/pekerja anak, bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategistrategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafficking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang diperdagangkan misalnya lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
50
Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking.
B. JENIS-JENIS TRANSNASIONAL CRIME DI INDONESIA
Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada pada posisi strategis sangat memiliki beragam keuntungan. Di sisi lain, letak geografis Indonesia yang memiliki perairan dan wilayah yang cukup luas juga memiliki dampak negatif, yaitu berupa kejahatan yang terorganisasi dan permasalahan sosial lainnya.Salah satunya adalah tindak kejahatan transnasional (antarnegara), Transnational Organized Crimes (TOC) seperti smuggling atau penyelundupan, trafficking atau penjualan barang maupun
51
manusia, illegal fishing, illegal mining, dan illegal logging. Kasus-kasus seperti ini tidak sulit ditemukan, terutama di daerah-daerah terpencil dan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Sebagai negara kepulauan, sedikitnya ada sembilan daerahatau wilayah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat.9
Selain itu wilayah rawan lainnya adalah Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk ribuan pulau terluar lainnya yang tidak berpenghuni. Tak bisa dihindari, luasnya wilayah yang menjadi prioritas pengamanan dibandingkan sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini personel keamanan yang bertugas menjaga wilayan kerap kali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya. Berdasarkan data yang dimiliki Polri, untuk kasus trafficking atau smuggling people misalnya, pada 2009 lalu terjadi 422 kasus. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 230 kasus. Selain itu, penyelundupan senjata api (sen-pi) juga mengalami kenaikan dari 16 kasus pada 2008 menjadi 25 kasus pada 2009 lalu.Ini belum termasuk illegal logging, mining, dan fishing. Khusus untuk illegal logging, yang berhasil diungkap selama 2009 mencapai 426 kasus dengan barang bukti berbagai batang kayu berkualitas dan peralatan berat lainnya. Untuk illegal mining, kasus yang ditangani selama 2009 mencapai 138 kasus. Selain kejahatan model di atas, kejahatan
9
http://www.deplu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=20&l=id di akses pada 24 juni 2010
52
lain yang dianggap meresahkan adalah perampokan di perairan, seperti Selat Malaka di Sumatra Utara dan Kepulauan Riau.10
Di Indonesia, daerah-daerah perbatasan yang dianggap rawan terhadap terjadinya tindak kejahatan transnasional meliputi kawasan gugusan Kepulauan Riau dan pesisir Selat Malaka yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia.Selat Malaka sebagai salah satu jalur perlintasan tersibuk di dunia sangat rawan terhadap tindak kejahatan, seperti perompakan dan penyelundupan, baik penyelundupan barang maupun manusia. Hal ini lebih dikenal sebagai Tekong Pompong yang disebut sebagai jaringan Riau.Sedangkan, di sepanjang perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, terutama di wilayah Kalimantan Barat, kejahatan jenis penyelundupan, prostitusi, dan penjualan manusia banyak ditemukan. Sementara itu, untuk perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, jenis kejahatan yang terjadi biasanya berupa konflik senjata, penjualan mobil curian, dan kerawanan politik.Selain itu, ada juga jaringan penyelundup yang disebut sebagai jaringan Belawan yang diduga beroperasi di jalur Belawan, Sumatra "Utara-Port Klang Malaysia. Mereka disinyalir menyelundupkan aneka jenis barang. Bahkan, tak jarang, menyelundupkan manusia.
Luasnya wilayah yang ditangani dan harus dijaga tak cukup hanya dengan penempatan personel keamanan, baik TNI maupun Polri. Jumlah personel Polri yang hanya 400.000 personel tak akan mampu mengcaver luas wilayah Indonesia yang
10
http://bataviase.co.id/node/137683 di akses pada 24 juni 2010
53
mencapai 191.9440 kilometer persegi atau sekitar 3.977 mil dengan 33 daerah provinsi yang memiliki populasi mencapai 230 juta penduduk. Hal ini dapat dicegah melalui upaya preemptive (penangkalan), prefentif (pencegahan), dan represif (penegakan hukum). Kondisi di atas belum termasuk pengaturan operasi pengamanan antara instansi terkait yang masih tumpang tindih serta adanya perbedaan kepentingan dan , persepsi dalam penegakan hukum dari masing-masing negara, seperti Malaysia dan Singapura, dalam kasus-kasus tertentu.11
Belum berjalannya kesepakatan hot pursuit dalam pengejaran dan penangkapan kepala yang dicurigai sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Ditambah dengan disharmoni antara ketentuan perundang-undangan yang kontradiktif dan pendelegasian tugas Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakormala) yang cenderung parsial dan belum terintegrasi ditambah minimnya sarana dan prasarana penunjang keamanan, seperti kapal patroli yang hanya 42 kapal. Padahal, untuk pengamanan wilayah perairan Indonesia, mulai dari Sabang sampai Marauke, idealnya Polri harus memiliki 300 kapal patroli dengan beragam spesifikasi dan kemampuan operasi.
1. Jenis-Jenis Transnasional Crime
Masalah kejahatan yang berbentuk kejahatan transnasional (transnational crime) seperti perdagangan gelap (illlicit trade), perdagangan obat terlarang (illicit drug), perdagangan manusia (human trafficking), terorisme, dan penyelundupan 11
Ibid”
54
manusia (people smuggling) merupakan ancaman serius bagi negara. Posisi geografis Indonesia yang strategis dan merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah sangat luas semakin menambah suburnya pertumbuhan jenis-jenis kejahatan lintas batas tersebut, karena itu sebagai negara asal maupun transit bagi operasi tindak kejahatan transnasional maka Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan upayaupaya dalam menekan kejahatan lintas batas tersebut melalui suatu format kerjasama dengan negara-negara tetangga secara komprehensif. Tantangan utama yang dihadapi dalam memberikan respon cepat terhadap jenis kejahatan seperti ini adalah bagaimana membuat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara kunci baik secara bilateral maupun multilateral dan mengembangkan kerjasama teknis dalam pemberantasan terorisme, bajak laut, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan dan perdagangan manusia dan senjata serta lalu lintas obat-obat terlarang (illicit drug/drug trafficking)
Pesatnya
perkembangan
teknologi
informasi
dan
peradaban
dunia
menyebabkan terjadinya kejahatan baru yang bersifat kompleks dengan skala lintas negara/transnasional. Perkembangan teknologi informasi dan peradaban manusia secara sosiologis dapat dikatakan sebagai “crime is the shadow of civilization”. 12
Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintu-pintu masuk Indonesia
seperti pelabuhan laut dan udara, serta masih terbatasnya kerjasama internasional pada penanganan kejahatan transnasional menjadikan Indonesia sebagai ladang subur bagi tumbuhnya kejahatan tersebut. 12
Jenderal Polisi (P) Drs. Chairuddin Ismail., SH, MH, Kapita Selekta Penegakan Hukum Tindak Pidana Tertentu, Jakarta : PTIK Press, 2007.
55
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Perundang-undangan lainnya berwenang : melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan Internasional”. Dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : “Yang dimaksud dengan „kejahatan Internasional‟ adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk dltanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia”. Dengan demikian relevansinya Polri harus mengambil langkah–langkah yang menjadi sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya meningkatkan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas khususnya pada kejahatan transnasional. Oleh karena itu diperlukan kajian yang mendalam mengenai penanganan kejahatan transnasional khususnya Human Trafficking dalam kaidah hukum pidana internasional.
Menurut George Sehwarzenberger, memberikan 5 (lima) pengertian tentang hukum pidana internasional sebagai berikut :13
1. Hukum pidana internasional dalam pengertian : ruang lingkup teritorial hukum pidana nasional.. 2.
Hukum pidana internasional dalam pengertian : adanya aspek internasional yang ditentukan sebagai ketentuan pada hukum pidana nasional.
3. Hukum pidana internasional dalam pengertian : adanya kewenangan internasional yang terdapat didalam hukum pidana nasional 13
Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional 1, Jakarta : Restu Agung, 2006.
56
4. Hukum pidana internasional dalam pengertian : hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum dalam kehidupan bangsa-bangsa yang beradab. 5. Hukum pidana internasional dalam pengertian : materi-materi hukum yang tercantum pada hukum pidana internasional tersebut.
Dalam konseptual hukum pidana internasional kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional maupun dalan nasional (Indonesia) perlu adanya payung hukum yang memuat tentang syarat materiil dan formil yang digunakan pada peradilan dan pengadilan yang dilaksanakan dalam penerapan hukum pidana internasional melalui subyek maupun obyek hukum tersebut, maka dasar sumber hukum pidana internasional menyebutkan yang bersumber dengan klasifikasi sebagai berikut yaitu sumber utama dan sumber skunder dimana yang dimaksud adalah :14
1.
Perjanjian internasional.
2.
Kebiasaan internasional (International Custom).
3.
Prinsip – prinsip hukum umum (General Principles of Law).
4.
Keputusan pengadilan dan pendapat para penulis terkenal.
5.
Keputusan dalam sengketa antar negara.
Dalam kajian yang dilaksanakan hukum pidana internasional yang didalamnya dengan salah satunya kejahatan trans-nasional dalam arti bahwa suatu 14
Ibid”
57
perbuatan kejahatan yang dilakukan baik oleh pelaku dalam satu negara maupun lebih dari satu negara dengan melihat tempat maupun kejahatan yang dilakukan menyangkut lebih dari satu negara dengan korban secara umum dunia internasional yang menjadi kesepakatan antar negara, sehingga perlu adanya pembahasan mendalam yang berdasarkan asas hukum pidana international oleh Hugo Grotius sebagai berikut : “ Asas au dedere au punere “ “Berdasarkan asas tersebut diatas maka perlu adanya kajian dengan menggunakan teori Cesare Beccaria yaitu: “Deterence Theori “Dalam pembahasan yang menggunakan Asas Au dedere au punere dengan mengkaji permasalahan dengan teori detterence maka akan menemukan perumusan dan pemecahan masalah hukum pidana internasional dengan permasalahan kejahatan transnasional. “15
2. Tujuan Kejahatan Transnasional
Kejahatan transnasional terorganisasi merupakan kejahatan internasional yang mengancam
stabilitas ketahanan dan keamanan nasional serta politik, ekonomi,
sosial dan kehidupan berbangsa dalam bernegara Indonesia sampai saat ini masih
15
Topo Santoso, SH, MH dan Eva Achjani Zulfa, SH, Kriminologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005.
58
menjadi negara yang sangat dirugikan dari tindak kejahatan tersebut.16 Indonesia merupakan salah satu negara tujuan peredaran narkotika dan perdagangan orang karena lemahnya pengawasan dah hokum negri ini maka semakin berkembanglah kejahatan tersebut apalagi orang-orang yang notabenenya ekonomi lemah akan mudah terpengaruh untuk diiming-imingi pekerjaan padahal itu hanyalah modus terhadap korban oleh karena itu untuk menagnggulangi masalah ini Kita dapat memanfaatkan kerjasama internasional dalam menangkal tindak pidana kejahatan transnasional terorganisasi hal menjelaskan bahwa Indonesia perlu menjalin kerjasama dengan negara lain dalam meningkatkan penanggulangan kejahatan transnasional terorganisasi. Melalui pelatihan dan kerjasama teknik keamanan seperti halnya yang dilakukan melalui latihan ini, TNI AU dan RTAF dapat mengatasi ancaman kejahatan transnasional di masa depan dan menambahkan tujuan latihan bersama tersebut juga dibentuk bagi kedua pihak agar dapat mempererat kerjasama di bidang sosial dan kultural.17Demi tercapainya persatuan regional. Karena di era sekarang ini ancaman bukan lagi Negara (state ) tetapi non-state yaitu seperti halnya terosisme, penyelundupan senjata (arms smagguling) terhdap daerah rawan konflik, pencucian uang (money laundry) dan perdagangan manusia (Human Trafficking) inilah ancaman yang sekarang sudah terjadi dalam dekade ini.
16
http://bedanews.com/rubrik/hukum-kriminal/ruu-konvensi-pbb-menentang-kejahatan-transnasional-terorganisasidisetujui-menjadi-uu.html di akses pada 27 juni 2010 17
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=8529 di akses pada 27 juni 2010
59
3. Mekanisme Operasi Transnasioanl Crime
Modus kejahatan transnasional seperti perdagangan
dan penyelundupan
manusia sudah semakin rapi dan sulit diatasi. Jenis kejahatan ini akan terus berkembang dan semakin berbahaya jika mental korupsi sulit dihilangkan, karena perdagangan dan penyelundupan manusia saat ini memakai pola baru para pelaku sudah meninggalkan cara lama, yaitu menyelinap ke negara lain secara diam-diam, kini pelaku sudah memakai dokumen perjalanan resmi. Hal itu bisa terjadi karena pelaku bekerja sama dengan pegawai instansi terkait yang menangani keimigrasian. Pelaku pun dapat dengan mudah mengantongi visa dan paspor untuk mewujudkan rencananya. Korupsi di negara ini sudah terstruktur, dampaknya bisa ke mana-mana, termasuk terhadap kejahatan transnasional ini, pengiriman tenaga kerja ilegal ke Korea, menjadi salah satu contoh mudahnya mengirimkan orang lain ke luar negeri. Separuh dari 40.000 tenaga kerja Indonesia yang berada di Korea berstatus ilegal. Sebagian besar dari mereka memakai visa turis untuk dapat masuk ke Korea.
Namun Indonesia saat ini belum memiliki panduan khusus untuk menangani kejahatan transnasional, penanganan tidak bisa kasus perkasus tetapi di sisi lain belum ada aturan bersama untuk menangani hal ini dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri mengatakan
kejahatan transnasional sangat
kompleks selain korupsi ada faktor penyebab utama lainnya, yaitu kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Perdagangan dan penyelundupan manusia dapat mudah terjadi karena masyarakat membutuhkan penghasilan yang lebih besar dengan bekerja di luar negeri dari pada di dalam negri.
Para pelaku perdagangan Indonesia
60
memerlukan Undang-Undang tentang kejahatan transnasional terorganisir untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan dalam skala internasional.18
Kejahatan transnasional terorganisir merupakan kejahatan internasional yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian, Pemerintah Republik Indonesia turut menandatangani United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime pada tanggal 15 Desember 2000 silam di Palermo Italia. Kerjasama internasional ini perlu dibentuk dan ditingkatkan karena kejahatan tersebut telah berkembang menjadi kejahatan terorganisir. Itu dapat dilihat dari
lingkup,
karakter,
modus
operasi,
dan
pelakunya,
walaupun Indonesia turut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia menyatakan persyaratan terhadap pasal 35 ayat 2 yang mengatur pilihan negara-negara dalam menyelesaikan perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran dan penerapan isi konvensi.Pemerintah Republik Indonesia tidak terlibat pada ketentuan pasal 35 ayat 2, pasal tersebut dapat merujuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.19
18
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/28/17120329/.Korupsi.Menyuburkan.Kejahatan.Transnasional di akses pada 25 juni 2010 19
http://news.okezone.com/read/2008/12/15/1/173657/1/indonesia-perlu-uu-perangi-kejahatan-transnasional di akses pada 25 juni 2010
61
C. Kebijakan Keamanan dan Pertahanan di Indonesia
1.
Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Tradisional Menuju Pertahanan Non Tradisional
Secara tradisional pemikiran tentang keamanan seringkali dikaitkan tujuan dan pengendalian kapabilitas militer dalam menghadapi ancaman penggunaan kekerasaan bersenjata. Dengan kata lain pendekakatan secara konvensional lebih di dominasi oleh pemikiran-pemikiran yang berdimensi militer. Namun dewasa ini pendekatan tentang masalah keamanan lebih di perluas kepada isu-isu yang bersifat multidimensional terutama non militer.
kejahatan transnasional saat ini dinilai sebagai ancaman keamanan (security theart) baru. Runtuhnya perang dingin merupakan salah satu sebab mengemukanya fenomena ini. Bila selama perang dingin ancaman keamanan oleh setiap negara dirumuskan hanya sebagai ancaman militer atau perluasan ideologi dari dua superpower yang bersaing, maka berakhirnya perang dingin ancaman keamanan dianggap akan datang juga dari apa yang diistilahkan sebagai grey phenomenon. Kejahatan
teroganisir
antarnegara
tersebut
semakin
diawasi
setelah
penyerangan di New York tanggal 11 september 2001. Modus operandi itu, kini diperhitungkan sebagai seuah fenomena dan tindakan kriminal (terorisme) baru. Maka definisi jelas tentang transnational oraganized crime (TOC), tetapi salah satu faktor pemicunya adalah kemudahan akses internasional, di sektor telekomunikasi, teknologi dan informasi. Karena lemahnya penegakan hukum di negara-negara
62
berkembang anatara lain Indonesia, berkaibat juga pada maraknya kejahatan lintas batas negara itu. Dalam
dimensi
militer
(military
security),
dapat
menguasai
dan
memperngaruhi negara sehingga ia bisa menggunakan perangkat militer negara tersebut untuk tujuan-tujuan kelompoknya.Selain itu, kejahatan transnasional yang berkembang dan bisa juga memiliki sendiri sayap militernya tentu saja akan mengancam keamanan dalam negri. Kejahatan tarnsnasional juga dapat mengancam stbilitas politik (political security) sebuah negara. Transnasional menjadi sebuah ancaman serius terhadap kesejahteraan warga. Kejahatan ini menggunakan berbagai cara untuk menjalankan bisnisnya mulai dari suap, pemerasaan, hingga pembunuhan. Umumnya negara-negara yang sedang menjalani transisi politik dan krisis ekonomi merupakan faktor-faktor penumbuh subur kejahatan tersebut.
Politik Strategi Pertahanan Republik Indonesia adalah jabatan dari geopolitik pada aspek militer, karena itu mengandung aspek-aspek konsepsi ruang, konsepsi frontiner, konsepsi kekuatan-kekuatan dan konsepsi penciptaan rasa aman dan keamanan bagi rakyat.
Perkembangan
global
memaksa
pertahanan dan keamanan
Indonesia
disesuaikan/ditingkat wawasannya mencakup regional, karena dunia sudah tanpa batas (konice kohmae). Dengan demikian, politik strategi pertahanan Indonesia harus berupaya menciptakan frontinerdi luar batas negara dengan maksud untuk memperbesar ruang pertahanan dalam menghadapi berbagai tantangan/ancaman.
63
Strategi Pertahanan Indonesia didefinisikan sebagai perlawanan rakyat semesta yang disesuaikan dengan perkembangan situasi/globalisasi. Dengan politik pertahanan rakyat semesta dikaitkan dengan kondisi dan konfigurasi geografis ruang negara, maka strategi pertahanan yang degelar untuk mewujudkan rasa aman bagi rakyat adalah “stability in Depth” atau stabilitas berlapis. Karena ancaman bukan lagi negara (state) tetapi masalah kejahatan transnasional yang lebih rumit masalahnya seperti terorisme, human trafficking dan smuggling, drugs trafficking, arms smuggling, money lundring, illegal fishing dan illegal logging. Yang mengakibatkan kerugian negara mencapai ratusan trilyun setiap tahunnya.
Program yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi tantangan kejahatan transnasional pada pembangunan dalam rangka meningkatkan keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas adalah untuk menurunkan tingkat kriminalitas dan penurunan kejahatan baik melalui konvensional, transnasional, kejahatan narkoba, perdagangan manusia, konflik komunal, kejahatan di laut maupaun kejahatan terhadap sumber daya alam, agar aktivitas masyarakat dapat berjalan secara wajar.
2. Peran Kementerian Luar Negri RI Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara
Pengakuan Internasional bahwa human trafficking adalah salah satu bentuk kejahatn teroganisir lintas negara dengan sendirinya menempatkan Kementerian Luar Negri Republik Indonesia, sebagai backbone kerjasama internasional, pada posisi yang sangat menentukan di dalam upaya penanggulangan kejahatan tersebut. Sejauh
64
ini Kementerian Luar Negri telah memainkan peran tersebut dengan baik. Mulai dari menggagas Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Person and Related Transnational Crimes sejak tahun 2002, menggagas pembentukan POKJA Kerjasama Internasional
di
Bidang
Penanggulangan
Kejahatan
Teroganisir
Lintas
Negara,pembentukan Direktorat Perlindungan WNI & BHI, mengkoordinasikan partisipasi dan mengkonsolidasikan posisi Indonesia di dalam berbagai forum regional dan internasional terkait, menjadi penjuru di dalam berbagai negosiasi bilateral dan regional, serta memberikan masukan sesuai tupoksi Kementerian Luar Negri di dalam penyusunan berbagai produk kebijakan dan hukum terkait dengan penanggulangan human trafficking, khususnya penyusunan UU 21/2007 tentang PTPPO dan penyusunan SOP pemulangan dan Reintegrasi Korban Perdagangan Manusia. Upaya aktif Kementerian Luar Negri di dalam upaya nasional pemberantasan perdagangan manusia bersifat intermestik, yaitu hanya difokuskan kepada upaya memperjuangkan kepentingan Indonesia di fora internasional di dalam isu human trafficking yang memiliki pijakan pada realitas sosial keseharian yang terjadi. Disisi lain, dengan kompetensi yang dimiliki, Kemenlu juga berusaha menginternalisasikan best practices di tingkat internasional serta norm setting yang diterima masyarakat internasional ke dalam upaya-upaya nasional yang dilkukan. Kemenlu juga secara aktif mencari dukungan internasional bagi capacity building di tingkat nasional.
65
D. Permasalahan dan Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Ancaman Human Trafficking
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila yang bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, spiritual dan materiil yang serta merta tidak hanya bertugas memelihara ketertiban saja akan tetapi lebih luas dari pada itu sebab kewajiban turut serta dalam semua sektor kehidupan.
Berbagai peraturan sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi permasalahan trafficking sebagai suatu kejahatan. Tetapi kita juga mengetahui bahwa kejahatan adalah fenomena sosial (social phenomenon) yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum semata.
Dengan kata lain harus dilakukan antara upaya penegakan hukum di satu sisi dan upaya di bidang lain, seperti sosial dan ekonomi, yang dapat menghapuskan faktor-faktor kriminogen bagi trafficking. Dari berbagai laporan penelitian tentang trafficking yang terjadi di berbagai belahan dunia, dapat dikemukakan beberapa permasalahan berkenaan dengan trafficking (khususnya perempuan dan anak).
66
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang dimaksud dengan perdagangan manusia adalah:
proses perekrutan, transportasi, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan sesseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan penculikan pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh dimana ijin dari korban perdagangan orang tidak relevan.” Sementara usulan dari DPR yang di maksud dengan trafficking adalah: “ perdagangan
orang
adalah
tindakan
merekrut,
mengirim
dan
menyerahterimakan orang terutama perempuan dan anak untuk tujuan eksploitasi, baik fisik, seksual, maupun tenaga dan menimbulkan keuntungan baik materiil maupun imateriil”
Jadi, dengan melihat mulai dari proses perekrutan, jalan atau cara dan tujuan memperkerjakan seseorang untuk bekerja diluar negri, kita tidak akan sulit untuk menilai apakah seseorang telah melakukan trafficking, dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
67
Tabel 2 Kondisi Indonesia dalam Penghapusan Perdagangan Manusia
KRITERIA
KONDISI APRIL 2006 - Mei2007 (Laporan US Dept of State 2006)
PENCEGAHAN 1. Pemerintah mengambil langkah-langkah seperti pendidikan masyarakat dalam rangka mencegah perdagangan manusia
PERLINDUNGAN 2. Pemerintah melindungi dan memberikan bantuan kepada korban perdagangan manusia dan memastikan korban tidak dipidana secara semestinya
Sebagai upaya untuk meningkatkan perhatian regional terhadap perdagangan manusia dan kejahatan transnasional, pemerintah RI bersama dengan Australia meyelenggarakan konferensi regional bulan febuari 2002 yang untuk pertama kalinya mengundang 52 menteri dari negara sumber, transit dan tujuan Pemerintah tidak secara langsung mensponsori upaya pencegahan seperti program pendidikan anti-perdagangan manusia, tetapi bekerjasama dengan LSM dan organisasi internasional menyediakan layanan dasar pada perempuan dan anak calon korban perdagangan manusia. Walaupun ada keterbatasan sumber daya, tetapi ada kenaiakan alokasi anggaran nasional untuk memerangi perdagangan manusia.
Indonesia adalah sumber perdagangan manusia khususnya perempuan muda dan gadis. Mereka dikirim ke luar negri, tetapi juga untuk didalam negri. Korban perdagangan manusia terutama untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Sangat sedikit proteksi diberikan kepada korban perdagangan manusia dari luar negri, dimana mereka tidak otomatis dipenjara atau dideportasi atau mungkin
68
PENINDAKAN HUKUM 3. Pemerintah dengan sungguh-sungguh menyelidiki dan menindak kegiatan-kegiatan perdagangan manusia di wilayahnya
4. Pemerintah mengekstradisi tertuduh pelaku perdagangan manusia sebagaimana dilakuakn kepada tertudu tindak pidana serius lainnya
5. Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah lainnya menyelidiki dan menindak kegiatan perdagangan manusia.
mencari status sebagai pengungsi. Shelter Pemerintah dan layanan untuk korban perdagangan manusia baik asing maupun WNI dinilai sangat terbatas.
Tidak mempunyai undang-undang untuk melawan segala bentuk perdagangan manusia undang-undang yang ada dipergunakan untuk menghukum pelaku perdagangan manusia, tetapi hukuman maksimum jauh lebih kecil dari hukuman untuk perkosaan. Hakim jarang memberikan hukuman maksimum dalam kasus-kasus perdagangan manusia. Adanya keterbatsan dana pemerintah
(tidak ada ulasan mengenai hal ini dalam US Dept of State Trafficking in Person Report, 2006).
Pemerintah bekerjasama dengan Australia pada bulan Febuari 2002 mengadakan konferensi regional yang dihadiri 52 negara asal, transit dan tujuan perdagangan manusia, untuk meningkatkan perhatian regional terhadap perdagangan manusia dan kejahatan transnasional .
69
6. Pemerintah mengawasi pola migrasi dan emigrasi untuk pembuktian perdagangan manusia, dan penegak hukum mengambil tindakan yang tepat berdasarkan terhadap bukti-bukti tersebut.
7. Pemerintah dengan sungguh-sungguh menyelidiki dan publik yang terlibat atau memfasilitasi perdagangan manusia, dan mengambil tindakan yang tepat bagi pejabat yang membiarkan terjadinya perdagangan manusia.
Adanya perbatasan antar negara yang mudah diterobos (“porous”).
Meluasnya korupsi pemerintah lokal.
oleh
Sumber : US Dept of state, Trafficking in Person Reoort, 2006
1. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Human Trafficking Faktor utama sebagai penyebab trafficking adalah kemiskinan dan kurang tersedianya lapangan pekerjaan terutama di pedesaan.20 Kondisi ini menyebabakan banyak laki-laki dan perempuan, dewasa maupun anak-anak bermigrasi ke luar daerah sampai pula ke luar negri untuk mencari pekerjaan guna meningkatkan taraf hidup mereka. Faktor berikut adalah rendahnya tingkat pendidikan mereka, sehingga sering sekali menyebabkan mereka terpaksa menerima pekerjaan yang bersifat eksploitatif (karena tidak bisa membaca kontrak kerja). Faktor ketiga penyebab 20
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2004) .op.cit hal 6. Lihat juga IOM (2001), op.cit hal 9 serta Rosenburg, Ruth (Ed), (2003). Perdagangan Perempuan dan Anak Indonesia. International Catholoic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity.
pejabat
70
trafficking yaitu: keterbatasan akses pada informasi (akibat tingkat pendidikan yang rendah tadi, bahkan banyak di antara mereka yang buta huruf), menyebabkan mereka rentan terjebak dalam trafficking yang terutama menempatkan perempuan dan anak pada perdagangan seksual komersil, atau pembantu rumah tangga tanpa jam kerja yang jelas.21 Berkaitan dengan upaya penegakan hukum juga terdapat beberapa masalah yang menghambat proses tersebut. Hal ini antara lain adalah belum adanya pemahaman yang sama tentang trafficking secara yuridis, serta banyaknya orang yang terlibat dalam kegiatan trafficking, yang sering sekali tidak dapat dijangkau oleh peraturan hukum positif yang ada sebagai pelaku trafficking melainkan hanya sebagai pelaku tindak pidana biasa yang diancam dengan pidana ringan. Berkenaan dengan sifat transnasional pada trafficking juga menimbulkan masalah lain, yaitu perlunya kerjasama dengan negara lain dalam upaya penanggulangan,
baik
preventif
maupun
represif.
Membahas
masalah
penanggulangan kejahatan berarti kita bicara tentang politik criminal (criminal policy), yaitu usaha-usaha rasional dari suatu masyarakat atau bangsa untuk menanggulangi kejahatan.22 Politik Kriminal itu mengejawantah dalam 3 bentuk yaitu:23 (1) Upaya prevention without punishment atau pencagahan dengan memberdayakan bidang-bidang lain untuk menghapuskan sifat-sifat kriminogen yang ada di dalam masyarakat, misalnya dengan pengolahan kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), siskamling, dan lain sebagainya, (2) Upaya represif 21
Beberapa factor lain yang juga dianggap memberi kontribusi pada meningkatnya jumlah trafficking internasional adalah perang atau situasi konflik di suatu wilayah/Negara, ketidaksetaraan gender pada sebagian masyarakat tertentu, serta adanya permintaan yang tinggi dari Negara-negara demand, terutama karena meningkatnya prostitusi dan sex tourism di berbagai Negara. Miko, Francis. T (2004) 22 Sudarto (1986). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung : penerbit Alumni, hal 93. 23
Lihat Muladi dan Barda Nawai Arief, dalam Teori-teori dan kebijakan pidana
71
dengan menggunakan hukum pidana, tepatnya penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana, (termasuk juga dalam upaya kedua ini dimulai dari pembentukan
hukumnya),
(3)
meningkatnya
peran
media-masa
untuk
mengkampanyekan sifat berbahayanya suatu kejahatan serta perang terhadap kejahatan tersebut (public awareness). Berpijak dari wujud politik kriminal seperti tersebut di atas, maka berkenaan dengan upaya penganggulangan trafficking dapat di uarikan beberapa hal sebagai berikut: 1) Penegakan Hukum Upaya penegakan hukum membutuhkan suatu dasar hukum yang pasti tentang trafficking serta kesamaan pandangan dari seluruh aparat penegak hukum tentang definisi trafficking. Pengertian trafficking yang terdapat dalam keppres Nomor: 88 Tahun 2002 tentang RANP3A sampai saat ini belum tersosialisasi dengan baik. Definisi ini juga tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi pemidanaan para pelaku trafficking, karena bukan merupakan suatu peraturan hokum pidana. Jika di dalam praktik penegak hukum menemukan kasus yang memenuhi rumusan trafficking dalam keppres tersebut, tapi tidak memenuhi rumusan pasalpasal KUHP atau pasal 83 dan 85 Undang-undang Perlindungan Anak, maka pelaku tidak dapat dihukum sebagai trafficker. Sebaliknya juga sering terjadi adalah karena banyaknya pelaku yang terlibat dalam trafficking,24 maka masing-
24
Dari definisi trafficking yang ditentukan dalam Convention Againts Transnational Organized Crime 2000, maka pihak-pihak yang dapat terlibat dalam kejahatan ini tidak hanya berupa organisasi kejahatan lintas batas saja, tapi juga melibatkan organisasi resmi dan tidak resmi, atau juga individu serta tokoh masyarakat yang sering sekali tidak menyadari keterlibatannya. Mereka anatar lain adalah: perusahaan perekrut tenaga kerja dengan agen dan calonya; tetangga, teman ataukepala desa yang secra tidak langsung menjadi calo dari perusahaan PJTKI tersebut; aparat pemerintah bila terlibat dalam pemalsuan dokumen majikan (penerima); pemilik atau pengelola rumah bordil; calo pernikahan; orang tua atau saudara korban dapat menjadi pelaku manakala mereka dengan sadar menjual anak atau saudaranya langsung atau melalui calo ke industi seks, atau menerima pembayaraan di muka untuk pekerjaan yang akan dilakukan anaknya, atau menawarkan layanan dari anak mereka
72
masing pelaku hanya dapat dikenai pasal-pasal tertentu dalam KUHP sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya. Ancaman pidana ringan dalam beberapa pasal KUHP tersebut tidak membawa efek jera pada para pelaku, yang seringkali mendapatkan keuntungan ekonomis yang besar dari bisnis ini. Oleh karena itu pemerintah perlu segera meratifikasi Convention Against Transnational Organized Crime 2000, berikut protokolnya yang memberikan pengertian trafficking secara luas, dan mentranformasikan isi konvensi tersebut ke dalam hukum nasional. Bagaimanapun juga pidana yang berat tetap merupakan upaya yang harus dipertimbangkan bagi penganggulangan kejahatan yang secara ekonomis memberikan keuntungan besar kepada pelaku. Pidana yang berat tersebut bukan saja dalam bentuk pidana penjara yang lama, tetapi juga pidana denda yang besar, yang sekaligus dapat ditambhakan pula sankasi pemberian restitusi bagi korban mereka.25 Permasalahan lain dari upaya penegakan hukum adalah belum adanya kesamaan definisi anak dalam berbagai peraturan hukum positif di Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa 18 tahun termasuk yang masih di dalam kandungan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan belum dewasa adalah 21 tahun. Di bawah usia tersebut tapi sudah menikah menyebabkan seseorang berstatus dewasa menurut Hukum Perdata dan cakap
guna melunasi hutang; serta suami manakala ia menikahi perempuan untuk kemudian mengirim istrinya ke tempat baru demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam prostitusi. Rahayan sebagaimana dikutip dalam Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2004).op.cit, hal 10-11 25 Pidana denda yang besar dapat menjadi sumber pembiayaan bagi pelaksanaan bentuk upaya penaggulangan lain yang diuraikan pada bagian berikutnya, seperti perlindungan, dan bantuan kepada korban.
73
untuk melakukan berbagai perbuatan hukum. Undang-undang perkawinan menetapkan batas usia minimal 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan untuk menikah. Sementara KUHP mentukan usia 16 tahun bagi anak yang melakukan tindak pidana, tetapi 15 tahun bagi anak yang menjadi korban tindak pidana pada pasal 287. 2. Kebijakan Pemerintah mengenai masalah Human Trafficking Pemerintah Republik Indonesia menentang dan menyatakan perang terhadap human trafficking dan secara serius menanggulanginya. Tahun 1998, Indonesia telah mendatangani Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in women, yang merupakan consensus regional Asia-pasifik dalam memerangi women
trafficking di kawasan ini. Tekad Pemerintah Indonesia
tersebut dikuatkan kembali melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada rapat koordinasi bidang Kesra tanggal 17 oktober 2001 yang menegaskan bahwa Indonesia akan melakukan usaha-usaha yang sungguh-sungguh dalam memerangi perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak. Pemerintah menetapkan Kementerian Pemerdayaan Perempuan sebagai penggiat (focal point) dalam melakukan usaha-usaha tersebut. Melauli Keputusan Presiden No. 69 Tahun 2008 ditetapkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 58 ayat (7) Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan Peraturan Presiden Guugus tugas pencegahan dan penanganan
74
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dan dibentuk gugus tugas yang terdiri dari unsur pemerintah termasuk POLRI, LSM, Organisasi Wanita,Swasta dan Media Masa. Dalam jangka pendek, dilaksankan Crash Program pemulangan WNI korban perdagangan manusia di Sabah Malaysia dan di Kuwait yang akan diteruskan ke wilayah lain seperti Serawak, Semenanjung Malaysia, Singapura dan di negara-negara lain di Timur Tengah, melauli koordinasi kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, Singapura dan Kuwait dengan Kementrian Luar Negri Indonesia yang melakukan koordinasi dengan institusi lainnya seperti POLRI, Kementrian Kesra, Kementeria sosial, Pemberdayan Perempuan, Tenaga Kerja, Pemerintah daerah dan LSM dalam melakukan proses pemulangan korban. Kepada para pejabat atau aparat yang terlibat dalam tindak kriminal, memfasilitasi atau membiarkan terjadinya tindakan kriminal termasuk human trafficking, akan dikenakan tindakan tegas sesuai dengan peraturan perundangundang yang berlaku (Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 43 Tahun 1999, dan Peratuaran Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peratuaran Disiplin Pegawai Negri Sipil). Secara simultan, kegiatan pencegahan (prevention), perlindungan (protection) dan penindakan hukum (prosecution) akan dilakukan bersama-sama, namun dengan adanya keterbatasan anggaran, maka prioritas lebih ditujukan kepada tindakan perlindungan dan pencegahan, sementara untuk penindakan hukum sedang disiapkan berbagai landasan hukum yang dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk melaksanakan tindakan tersebut. Untuk kebutuhan
75
mendesak sementara ini, usaha-usaha penangkapan pelaku perdagangan orang (trafficker) digalakkan dan kepada para pelaku tersebut dikenakan sanksi menurut KUHP pasal 297 meskipun diketahui bahwa bobot hukuman yang di berikan 6 tahun sangat tidak memadai dengan kejahatan yang dilakukan. Akan tetapi khusus untuk perdagangan anak; Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memberikan ancaman hukuman yang tegas pada pelaku trafficker yaitu hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Masalah keterbatasan dana oprasional penghapusan human trafficking, akan di coba untuk diatasi melalui kerjasama yang sinergis dengan seluruh sektor terakait dan aparat kepolisian, dan mengundang peran serta masyarakat baik dalam dan luar negri sehingga tidak terlalu memberatkan beban pemerintah Republik Indonesia yang dalam masa-masa ini masih belum selesai memulihkan dampak akibat multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998.26 Berdasarkan tabel jumlah korban perdagangan manusia menruut international organized migration (IOM):
Tabel 3 Banyaknya Korban Perdagangan Orang berdasarkan provinsi
26
Provinsi Asal
Total
%
Jawa Barat
862
22.77%
Kalimantan Barat
721
19.05%
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “Trafficking in Person”. Hal 11-12.
76
Jawa Timur
464
12.26%
Jawa Tengah
430
11.36%
Sumatra Utara
254
6.71%
Nusa Tenggara Barat
248
6.55%
Lampung
191
5.05%
Nusa Tenggara Timur
162
4.28%
Banten
83
2.19%
Sumatra Selatan
72
1.90 %
Sulawesi Selatan
61
1.61%
DKI Jakarta
60
1’59%
Aceh
27
0.71%
Sulawesi Tengah
23
0.61%
D.I. Yogyakarta
19
0.50%
Jambi
14
0.47%
Sulawesi Tenggara
13
0.34%
Sulawesi Barat
12
0.32%
Kepulauan Riau
11
0.29%
Riau
8
0.21%
Sumatra Barat
8
0.21%
Sulawesi Utara
7
0.18%
Bengkulu
5
0.13%
Maluku
5
0.13%
77
Kalimantan Selatan
5
0.13%
Kalimantan Timur
3
0.08%
Gorontalo
2
0.05%
Bali
1
0.03%
Kalimantan Tengah
1
0.03%
Papua Irian Jaya
1
0.03%
Bangka- 1
0.03%
Kepulauan Belitung Tidak ada data
11
0.29%
Total
3,789
100%
* Sebagian besar wanita dari Jawa Barat. * Mayoritas laki-laki dan anak-anak dari Kalimantan Barat27.
27
Trafficked Person Assisted by IOM Indonesia Maret 2005-Juni 2010/28072010/Page 2