HUMAN TRAFFICKING
PENDAHULUAN Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan, pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya dengan tujuan eksploitasi (Course Instruction, 2011:2). Perdagangan manusia berhubungan dengan menjajakan diri (memperdagangkan), tawar-menawar, membuat kesepakatan, melakukan transakasi dan hubungan seksual (Taiwan Medicare, 2012). Perdagangan manusia melakukan pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak yang lainnya dengan menggunakan ancaman, penipuan dan penguasaan. Perdagangan manusia mengandung elemen pengalihan yang tujuannya bisa untuk apa saja baik eksploitasi tenaga kerja, pembantu rumah tangga, pengambilan organ tubuh dan sampai kepada eksploitasi seks komersil (Wagner, 2004). Human Trafficking terutama perempuan dan anak-anak merupakan perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun diperkirakan ada sekitar dua juta manusia yang diperjualbelikan dan sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Dalam skala global atau internasional, praktik perdagangan perempuan dan anak-anak berhubungan erat dengan tindakan kriminalitas dan dinyatakan sebagai pelanggaran hak asazi manusia (HAM) berat (Safa’at 1998). Ternyata isu ini telah menjadi masalah serius tingkat nasional maupun regional bahkan internasional. Maraknya praktik perdagangan perempuan dan anak-anak ini, diawali dengan semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja baik antar daerah, wilayah maupun negara. Faktor dominan yang dapat dicurigai sebagai penyebab suburnya praktik ini adalah kemiskinan, ketaktersediaan lapangan kerja, terlebih kebodohan, yang akhirnya menyesatkan dan menjerumuskan mereka pada jual beli jasa seksual dari tempat asal, lintas kota bahkan lintas negara (Engel, 2007). Hal ini disebabkan karena latarbelakang pendidikan yang rendah, kurang informasi tentang dunia luar. Rendahnya pendidikan merupakan salah satu faktor yang juga mengakibatkan anak-anak mudah terjebak ke dalam dunia prostitusi dan tertipu untuk masuk kedalam lingkaran perdagangan anak khususnya anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan kemudian didorong untuk memperoleh penghasilan begitu mereka berhenti sekolah, agar dapat menjadi mandiri dari segi keuangan karena untuk menghidupi keluarganya. Pendidikan formal yang rendah menyebabkan banyak di antara mereka yang mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang rendah. Ketrampilan yang serba terbatas karena pendidikan rendah, mereka terpaksa terjebak dalam perangkat sindikat human trafficking. PERSPEKTIF HISTORIS HUMAN TRAFFICKING Human Trafficking sering dipandang sebagai fenomena baru sekalipun eksploitasi dan trafficking perempuan telah ada ribuan tahun yang lalu. Human Trafficking telah berubah dari waktu ke waktu, meskipun tidak linear. Melihat bentuk-bentuk kontemporer human Trafficking dalam perspektif sejarah, memungkinkan kita untuk belajar dari masa lalu dan menerapkannya pada masa depan. Bagaimana human Trafficking berubah dari waktu ke waktu? Human Trafficking bukanlah sebuah fenomena yang relatif baru, bahkan sudah ada ribuan tahun sebelum masehi di kerajaan Israel, dimulai dengan perbudakan manusia. 1
Kemiskinan yang menimpa masyarakat Israel teristimewa para petani, bukan hanya kondisi lahan pertanian yang kurang menguntungkan dan perbedaan individu-individu pada tingkat kehidupan sosial dalam masyarakat sebagai penyebab kemiskinan, melainkan juga akibat strukturisasi proses-proses ekonomi dan politik, dalam pengertian bahwa hanya sekelompok kecil (penyelenggara negara termasuk raja, para nabi dan kelompok sosial elite baru) yang menguasai lahan-lahan pertanian dan pengambilan keputusan mengenai kehidupan masyarakat Israel (Gottwald, 1985). Kelompok para nabi adalah orang-orang yang dekat kekuasaan bahkan dilibatkan dalam sistem sosial kemasyarakatan, untuk mengkanonkan Alkitab Ibrani, menyusun kalender keagamaan menyangkut tugas pelayanan sehari-hari, menasihati hakim, dan menangani kasus-kasus tertentu sebagai pemegang hak atas tanah, hutan dan kebun anggur (Robert and Mary Coote, 1990). Kelompok sosial elite baru adalah para pedagang dan tuan-tuan tanah yang mendapat keuntungan, menguatkan posisi dan status sosial ekonomi mereka ketika Israel Bersatu terbentuk dengan sistem monarki (kerajaan) di bawah pemerintahan raja Daud. Kelompok ini semakin kaya ketika melakukan investasi dengan cara membeli tanah-tanah rakyat, meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi, akibatnya banyak rakyat yang menjual tanah, menjadi budak karena hutang sebab tidak bisa mengembalikan pinjamannya (Gottwald, 1985). Struktur sosial masyarakat Israel saat itu tidak memberi kesempatan kepada para petani yang berekonomi lemah untuk memperbaiki hidup ekonomi mereka, sehingga kesenjangan sosial antara kaya dan miskin semakin lebar. Kesenjangan sosial adalah pangkal dari ketidakadilan, yang mana terjadi penguasaan, pemerasan dan penghisapan manusia terhadap manusia yang lain. Ketidakadilan tersebut mengakibatkan terjadinya kelas-kelas sosial di dalam kehidupan masyarakat Israel. Kelas-kelas sosial merupakan titik tolak diberlakukannya undang-undang mengenai sistem perbudakan dan kerja paksa. Seorang budak dilihat sebagai milik tuannya, sehingga dapat dilakukan apa saja yang dikehendaiknya. Kerja paksa adalah suatu keharusan kerja tanpa hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang pekerja maupun budak. Setelah masehi, sebelum larangan perbudakan di abad ke-19, Eropa Barat dan Amerika Serikat sangat diuntungkan dari perdagangan budak trans-atlantik, karena budak dikirim dari Afrika ke Amerika untuk bekerja di pertambangan atau di perkebunan. Ada beberapa argumen tentang kapan perdagangan manusia dimulai. Beberapa sumber mengatakan bahwa perdagangan budak di Afrika yang dibawa oleh pedagang budak dan dikirim melintasi Atlantik ke Amerika. Cree (2008) orang pertama yang berpendapat bahwa kerja paksa anak-anak selama 1700-an adalah awal yang sebenarnya dari apa yang sekarang dikenal sebagai perdagangan manusia. Perdagangan manusia untuk tujuan seksual pertama kali secara sah diakui oleh 'perbudakan kulit putih' (Kangaspunta, 2010) bahwa untuk mendapatkan seorang wanita kulit putih dilakukan dengan cara kekerasan, obat-obatan, atau dengan penipuan untuk melakukan hubungan seksual. Kangaspunta, juga berpendapat bahwa pemerintah internasional mulai membahas 'perbudakan kult putih' setelah perdagangan manusia dan perbudakan trans-atlantik dibuat ilegal. Inggris adalah negara pertama kali membuat hukum yang melarang perbudakan pada tahun 1807, ketika mereka mengesahkan undang-undang yang membuat Trans-atlantic perdagangan manusia dan perbudakan ilegal. Pada 1820, Amerika Serikat mengikuti contoh Inggris dengan membuat perdagangan budak dianggap suatu kejahatan dan karena itu diancam dengan hukuman mati. Pada 1899 dan 1902, konferensi internasional untuk pertama kali berbicara tentang perbudakan kulit putih yang diselenggarakan di Paris, Perancis. Kemudian pada tahun 1904, sebuah perjanjian internasional terhadap 'perdagangan budak kulit putih' diciptakan, dengan fokus pada perempuan migran dan anak-anak (Kangaspunta, 2010). Pada tahun 1910, 13 negara menandatangani Konvensi Internasional Pemberantasan Perdagangan 2
Budak Kulit Putih untuk membuat bentuk perdagangan ilegal. Konvensi Internasional ini mengarah pada pembentukan komite nasional untuk bekerja melawan perdagangan perempuan kulit putih. Pada bulan Juni tahun 1921, sebuah Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi internasional di Jenewa, di mana 'perbudakan kulit putih' istilahnya diubah 'perdagangan perempuan dan anak'. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa: perdagangan manusia di semua negara terutama perempuan dan anak termasuk anak laki-laki juga diakui sebagai korban. Selama konferensi ini, 33 negara menandatangani Konvensi Internasional Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak. Pada tahun 1923, Liga Bangsa-Bangsa memiliki kelompok ahli melakukan dua studi tentang perdagangan perempuan dan anak-anak (Cree, 2008). Studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan bahwa wanita asing yang menjual diri mereka di negara-negara, itu atas permintaan untuk pelacuran (prostitusi). Mengapa ada permintaan untuk prostitusi? Dari Negara mana mereka berasal? Apa pekerjaan mereka di Negara asal? Mereka memenuhi permintaan tersebut atas kemauannya sendiri atau ada pihak ketiga yang membantu mereka? Bagaimana mereka dapat sampai di negara-negara tersebut? Menurut hasil penelitian pertama, sebagian besar perempuan datang dari banyak negara Eropa yang berbeda dan dikirim ke negara-negara di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, dan ke Mesir, Israel, Aljazair, dan Tunis. Studi kedua difokuskan secara khusus pada perdagangan seks antara Asia, Eropa dan Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Asia sangat sedikit yang diperdagangkan ke Eropa atau Amerika, bahkan banyak dari korban perdagangan orang Amerika dan Eropa yang diperdagangkan ke negara-negara Asia. Hasil penelitian kedua juga menunjukkan pola wanita Asia yang diperdagangkan dari satu negara Asia ke Negara yang lain, dan perempuan Asia diperdagangkan dengan laki-laki dari latar belakang etnis mereka sendiri yang tinggal di dalam atau mengunjungi tempat-tempat di luar Asia. Kedua studi ini menunjukkan bahwa cara utama yang digunakan dalam perdagangan perempuan adalah kekerasan dan penipuan. Pada tahun 1949, Konvensi PBB tentang Perdagangan Orang dan Eksploitasi seksual. Ini merupakan konvensi pertama tentang perdagangan manusia yang mengikat secara hukum untuk negara-negara yang menandatanganinya dan mewajibkan negara-negara untuk membuat larangan terhadap prostitusi ilegal. Namun, seperti semua konvensi sebelum itu, konvensi ini masih ditangani hanya berurusan dengan perdagangan manusia yang memiliki tujuan eksploitasi seksual. Pada tahun 2000, Protokol PBB Anti Perdagangan manusia telah disahkan. Hal itu baru menyangkut semua bentuk perdagangan manusia ilegal. Sementara perdagangan manusia diakui secara internasional dan telah ada hukum internasional yang disahkan, masih merupakan masalah yang sangat serius di seluruh dunia. Menurut sebuah laporan yang diberikan pada tahun 2004 oleh Departemen Luar Negeri AS, 600.000 hingga 800.000 orang diperdagangkan melintasi perbatasan internasional setiap tahun dan lebih banyak orang yang diperdagangkan di negara asal mereka (Cree, 2008). Para trafficker saat ini masih menggunakan metode untuk mendapatkan korban-korban mereka yang mirip dengan metode yang terlihat Liga Bangsa-Bangsa 1923 yaitu kekerasan dan penipuan. Menurut Linda Woolf, seorang profesor Psikologi di Webster University, metode-metode termasuk termasuk unsur paksaan, yang mencakup janji-janji pekerjaan atau perkawinan, penculikan, dan beberapa gadis yang dijual ke trafficker oleh orang tua mereka sendiri (Woolf, 2010)). Secara kontemporer perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual sering disebut sebagai perbudakan dan perdagangan modern. Analogi ini menyiratkan bahwa banyak orang yang diperdagangkan saat ini, hidup di bawah kondisi yang sama dengan yang dialami oleh 3
budak pada zaman dahulu. Dalam pengertian bahwa baik perbudakan maupun eksploitasi modern menempatkan manusia sebagai barang yang bisa dimiliki dan menjadi milik, sehingga dapat diperbuat sewenang-wenang oleh pemiliknya. STRATEGI DAN TAHAPAN HUMAN TRAFFICKING Menurut Course Instruction (2011:12) traffickers menerapkan empat strategi umum untuk merekrut korban perdagangan manusa yaitu penculikan, target keluarga miskin, pengantin pesanan dan merekrut pelacur lokal. Strategi pertama, penculikan yaitu korban diambil dengan paksaan dan kekerasan. Strategi kedua, target keluarga miskin yaitu traffickers meyakinkan keluarga untuk menjual anak-anak mereka. Karena banyak keluarga di negara berkembang hidup dalam kemiskinan, traffickers menawarkan kepada keluarga korban, bahwa uang akan membantu mereka untuk bertahan hidup. Dengan menjual putrinya, mereka mendapatkan uang dan kesempatan yang lebih baik dan menjanjikan. Strategi ketiga, pengantin pesanan yaitu perkawinan digunakan sebagai operasi perdagangan ilegal. Perkawinan antara lelaki asing dengan pengantin pesanan perempuan biasanya dilakukan dengan sistem kontrak meski tidak tertulis. Hal itu terlihat dari ijin tinggal yang tercantum dalam visa. Visa yang berlaku 2 tahun, berarti setelah 2 tahun pengantin pesanan perempuan harus dipulangkan. Ada yang terkatung-katung karena paspor ditahan, didukung dengan budaya malu, akhirnya memilih jalan pintas menjadi pekerja seks komersial. Strategi keempat, merekrut pelacur lokal, yaitu traffickers membeli pelacur yang bekerja di klub malam lokal dari pemilik bordil, hanya iming-iming pelacur dengan menjanjikan mereka masa depan yang lebih makmur. Dalam beberapa kasus, para pelaku adalah anggota keluarga, teman, atau kenalan dari korban dan keluarganya. Course Instruction (2011:11) mengidentifikasi lima tahap dari pengalaman perdagangan manusia yaitu tahap pra keberangkatan, tahap perjalanan dan transit, tahap tujuan, tahap penahanan dan deportasi, tahap integrasi dan re-integrasi. Tahap pra keberangkatan, yaitu tahap sebelum korban menjadi terlibat dalam situasi perdagangan, termasuk rekrutmen dan mempersiapkan untuk perjalanan. Tahap perjalanan dan transit, yaitu tahap setelah perekrutan selama mana korban "setuju" atau dipaksa ke dalam situasi diperdagangkan, mencakup perjalanan pelaku membawa korban ke tujuan pekerjaan mereka. Tahap ini bisa sangat berbahaya, korban diisolasi dan disekap di beberapa tempat transit. Tahap tujuan, yaitu tahap korban tiba di tempat tujuan. Tahap ini ditandai oleh pemaksaan, eksploitasi, kekerasan fisik, psikis dan seksual. Tahap penahanan dan deportasi, yaitu jika korban ditangkap oleh polisi atau otoritas imigrasi, korban dijerat dalam proses hukum dan mereka sering takut dideportasi, dan atau balas dendam dari pelaku. Tahap integrasi dan reintegrasi yaitu pemerintah dan lembaga yang terkait memberikan layanan kepada korban untuk mengintegrasikan kembali korban kembali ke keluarga dan masyarakat. Situasi dan kondisi yang terberat bagi korban, ketika korban tidak diterima keluarga maupun masyarakat, sehingga korban kehilangan penghargaan atas dirinya, makna dan tujuan hidup menjadi bias. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERDAGANGAN PEREMPUAN dan ANAK-ANAK di INDONESIA KHUSUS BATAM (Hasil Penelitian di Batam, 2006) Keprihatinan terhadap perempuan dan anak-anak yang menjadi korban sindikat perdagangan yang berkedok penyaluran tenaga kerja wanita dan anak-anak, sebenarnya muncul dari kebutuhan. Kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan, kebutuhan fisiologis keluarga, 4
kebutuhan akan rasa aman, rasa memiliki, cinta kasih, kehormatan, harga diri, aktualisasi dan transendensi diri seperti yang diungkapkan oleh Maslow (Meadow, 2001), sering membuat orang terjebak untuk melakukan apa saja, asalkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan di atas memberikan gambaran tentang betapa rumitnya setiap individu menyediakan dan memperlengkapi segala sesuatu yang diperlukan untuk hidup. Ketidaktersediaannya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menghambat, merintangi dan mempersulit orang untuk mencapai tujuan hidup. Ketika hal-hal yang merintangi itu tidak dapat diatasi, sehingga gagal untuk mencapai kebutuhan hidup yang ideal, di saat itulah manusia jatuh dan terbelenggu dalam masalah. Masalah kebutuhan yang tidak terpe-nuhi, dapat saja tergantung pada ba-gaimana seseorang mencari, mendapatkan dan memperoleh kebutuhan tersebut. Pemenuhan kebutuhan itu bukan hanya kebutuhan perempuan dan anak-anak yang menjadi korban trafficking saja, tetapi juga menjadi kebutuhan mereka yang terlibat dalam jaringan sindikat perdagangan perempuan dan anak-anak seperti, para mucikari, para trafficker sebagai penawar jasa tenaga kerja, dan para sopir taxi yang terlibat dalam jaringan tersebut. Kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi telah menjadi faktor pemicu terjadinya suatu sindikat perdagangan perempuan dan anak-anak, karena tanpa disadari pemenuhan kebutuhan dari pihakpihak tersebut saling melengkapi. Berikut ini dipaparkan faktor-faktor penyebab perdagangan perempuan dan anak-anak di Indonesia menurut ranking yang tertinggi ke yang paling rendah. 1. Kemiskinan dan Kelangkaan Lapangan Kerja Penyebab terjadinya praktek trafficking menurut ranking tertinggi dalam wawancara dengan Wagner bahwa: Kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja merupakan faktor pendorong utama terjadinya perdagangan perempuan dan anak-anak di Indonesia, karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dalam hidup, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan partisipasi sosial 1. Pendidikan yang kurang, sehingga tidak terampil dalam berpikir, bekerja dan akhirnya tidak dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan produktif. Tidak ada pekerjaan yang produktif dalam arti bisa memberikan penghasilan yang cukup, sedangkan tuntutan ekonomi semakin meningkat. Jumlah keluarga yang sangat besar. Tidak ada faktor produksi secara ekonomis yang dimiliki oleh seseorang kecuali tenaganya. Tidak ada kesempatan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas itu (tanah, modal, peralatan, dan sebagainya). Tekanan penduduk, sehingga perbandingan antara tanah dan penduduk tidak seimbang (Indraswari, 2005). Kondisi alam dan lingkungan dimana berbagai kegiatan manusia untuk mempertahankan hidupnya telah menjurus ke tindakan-tindakan over-eksploitasi lingkungan. Kebijakan pemerintah menaikkan BBM berakibat meningkatnya beban domestik keluargakeluarga dalam masyarakat. Dalam mengelola keuangan keluarga, para perempuanlah yang sangat merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Dalam wawancara dengan Ola 2, beliau memahami bahwa sekalipun budaya patriakhi menempatkan laki-laki sebagai orang yang paling bertanggungjawab mencari nafkah, dalam kenyataan para perempuanlah (istri) selalu 1 Lola Wagner, Wawancara. Direktur Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK), Batam; 28 Agustus 2006. 2 Loupatty Ola, Konselor Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK), Batam; 28 Agustus 2006.
5
terdesak dan mengalami dilema kehimpitan keuangan keluarga. Kaum perempuanlah yang berhadapan dengan seluruh anggota keluarga dan bagaimana harus memenuhi kebutuhan keluarga ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, keluarga berada dalam masalah dan rentan terhadap kemiskinan (Indraswari, 2005). Kesemuanya itu mengakibatkan kemiskinan yang bukan hanya sementara tetapi selama kehidupan itu ada. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi dapat disebabkan faktor internal dan eksternal. Penuturan Wagner dalam wawancara bahwa, sebab-sebab kebodohan dihubungkan dengan belum adanya kesadaran akan diri sendiri, merasa tidak mampu, tidak ada kesempatan dan tidak mau memanfaatkan kesempatan, kurang lapangan kerja atau ketrampilan, malas, tidak mau melakukan pekerjaan yang dianggap rendah, menggantungkan diri pada orang lain, kurang mampu berwiraswasta, mental peminta-minta karena struktur sosial yang menekan kehidupan masyarakat. Industrialisasi yang menjadikan semakin berkurangnya lahan pertanian, sehingga lapangan kerja bagi perempuan-perempuan desa menjadi sangat terbatas, membuat mereka terjebak dengan iming-iming gaji yang tinggi sebagai tenaga kerja wanita di luar maupun di dalam negeri, sebagaimana yang dituturkan Gabriel dalam wawancara bahwa: Sebagian besar perempuan-perempuan pencari kerja karena tekanan kemiskinan itu adalah Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, akhirnya menjadi pekerja seks komersial dipaksa untuk melayani para turis yang datang dari Singapura, Malaysia dengan ciri-ciri etnis Cina, Jepang, India, Melayu dan Australia 3. 2. Ekonomi Keluarga dan Kesempatan Pendidikan Untuk membantu perekonomian keluarga, anak-anak perempuanlah yang dianggap dapat membantu keberlangsungan hidup keluarga dengan be-kerja, seperti yang dituturkan Nico dalam wawancara bahwa: Masyarakat Indonesia yang terdesak karena tekanan ekonomi keluarga, melihat anak-anak perempuan adalah tulang punggung keluarga. Hal ini disebabkan karena latarbelakang pendidikan yang rendah, kurang informasi tentang dunia luar 4. Rendahnya pendidikan merupakan salah satu faktor yang juga mengakibatkan anak-anak mudah terjebak ke dalam dunia prostitusi dan tertipu untuk masuk kedalam lingkaran perdagangan anak khususnya anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan kemudian didorong untuk memperoleh penghasilan begitu mereka berhenti sekolah, agar dapat menjadi mandiri dari segi keuangan karena untuk menghidupi keluarganya. Pendidikan formal yang rendah menyebabkan banyak di antara mereka yang mendapatkan pekerjaan dengan bayar-an yang rendah, dengan ketrampilan yang serba terbatas karena pendidikan rendah mereka terpaksa menerima tawaran-tawaran untuk bekerja di lembah nista. Maksud untuk membantu ekonomi keluarga, justru membawa mereka terjebak dalam kubangan eksploitasi seksual dan komersial, seperti yang dituturkan Ola dalam wawancara bahwa: Mereka dijanjikan untuk bekerja keluar negeri sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia), tetapi dikirim dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Tanjung Balai Karimun, 3 Romo Marcel Gabriel; Pimpinan Komisi Migran dan Perantau (KMP) Keuskupan Pangkalpinang yang berada di Batam: 30 Agustus 2006. 4 Nico, Guru SMU Yapendik GPIB, Batam: 27 Agustus 2006.
6
Jakarta, Bali dan yang terbanyak di Batam serta beberapa tempat lain di Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan target pelaku perdagangan dan jaringan trafficker mengeksploitasi mereka untuk kepentingan seksual dan komersial. Perempuan-perempuan desa dan anak-anak lugu yang miskin informasi ini hanyalah ingin mengubah nasib, namun mereka malah jatuh ke dalam lembah nista yang membuat mereka tak berharga serta malu, sebab mereka adalah para “penyaji tubuh” bagi para lelaki hidung belang yang haus akan nafsu seksual (Venny, 2005). Tubuh para korban trafficking ini menjadi tak bertuan, jatuh dalam pelukan manusia-manusia penikmat tubuh perempuan yang tidak banyak memahami apa yang sedang terjadi, karena ketika mencari pekerjaan dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan yang ringan, enak, dengan gaji yang tinggi, tetapi semuanya hanyalah tipuan belaka. Akibat praktik perdagangan ini, para perempuan dan anak-anak sekarang merintih, meratap, menyesal atau bahkan mungkin mengumpat-umpat pada biro tenaga kerja yang mengirimkannya. Dalam kondisi seperti ini yang bisa “dinikmati” adalah kebengisan para sindikat, kepahitan hidup serta perlakuan kekerasan lain yang menyebabkan penderitaan dan tekanan batin. Tubuh yang tidak lagi dikuasai (karena telah dikuasai orang lain sebagai objek) merupakan bagian dari penderitaan para korban trafficking. Seks menjadi sasaran utama mereka yang menjadi korban. Perempuan dan anak-anak ini, menganggap dengan bekerja mereka dapat mengubah nasib dan menuju surga dunia, namun tanpa disadari mereka menjadi objek pada ajang praktik manipulasi dan perangkap pekerjaan illegal. Mereka tidak mendapatkan backing dari kekuatan sosial tertentu sehingga cenderung ditutup-tutupi. Mereka mengalami penderitaan karena disiksa, dari pada disayangi dan dihargai sebagai manusia, seperti yang dituturkan Gabriel dalam wawancaranya. Berbagai kekerasan fisik lainnya yang dialami oleh korban perdagangan manusia ini seperti; dipukul pada bagian kepala, bagian punggung dipukul dengan kayu, ditempeleng, badan dibenturkan ke lemari, ditusuk dengan pisau, disundut dengan rokok bahkan ada yang disetrika. Lebih tidak manusiawi lagi mereka yang ada dalam kondisi sakit (juga karena disiksa) tetap diharuskan untuk bekerja). 3. Sex Tourism Banyak kawasan industri yang berkembang dengan pesat di Indonesia, mengundang banyak wisatawan asing maupun domestik. Contoh pulau Batam karena panoramanya yang begitu indah, dan dikelilingi pulau-pulau kecil yang digunakan untuk kepentingan perdagangan, bahkan ketika Batam pernah menjadi kota perjudian (kasino), sehingga tuntutan pengembangan wilayah menjadi tidak terelakkan. Sebagai kota perjudian pada zamannya, benar-benar membuat semaraknya kota Batam khususnya pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu, seperti yang dituturkan Agus dalam wawancaranya bahwa: Semaraknya Batam membawa keuntungan dan menambah penghasilan sopir taxi sebagai pelanggan tetap para penjudi yang adalah wisatawan asing dan yang selalu setia menunggu wisatawan tersebut selama melakukan transaksi seksual maupun perjudian 5. Tanpa harus melakukan suatu pekerjaan yang berat, hanya dengan menunggu pelanggan selesai melakukan transaksi judi dan seksual, seorang sopir taxi bisa menerima puluhan sampai ratusan dolar Singapura. Hal ini tidak hanya membawa keuntungan bagi para sopir taxi, tetapi 5
Agus, Sopir taxi, Batam: 26 Agustus 2006.
7
juga keuntungan besar bagi para mucikari yang memiliki pub, karaoke, hotel-hotel dan pantipanti pijat. Batam menjadi business center dan pariwisata yang mengakibatkan berjamurnya pertokoan, supermarket, hotel-hotel, hostel-hostel, restoran, café, pub, diskotik, karaoke, pantipanti pijat terutama di daerah Nagoya maupun sarana-sarana pariwisata lainnya. Batam menjadi daya tarik banyak perempuan-perempuan muda yang menjadi tulang punggung keluarga, yang kehilangan pekerjaan karena PHK, kehilangan lahan pertanian, berasal dari ekonomi keluarga yang lemah dan miskin, dengan berbekal kecantikan dan penampilan yang menarik mau bekerja di sektor pariwisata, dengan harapan memperoleh gaji yang tinggi. Kesempatan ini digunakan oleh para trafficker membujuk, merayu dan menipu perempuanperempuan tersebut dengan dalih akan dipekerjakan sebagai pelayan toko dan restoran. Penuturan Ivan 6 dalam wawancaranya bahwa: Perempuan-perempuan pencari kerja ini, baru bisa memaknai dan mengenal dirinya, setelah mereka jatuh dalam pelukan para wisatawan yang adalah laki-laki hidung belang secara bergantian, hanya untuk memenuhi kebutuhannya maupun ekonomi keluarga. Kenyataan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa lelaki hidung belang; hanya karena tekanan hidup dan desakan ekonomi yang kemudian menempatkan para wisatawan hidung belang bukan sebagai makhluk sosial dan mitra kerja tetapi sebagai mahkluk bejat yang siap memakan mangsanya sesama manusianya kapan saja ia mau. Menurut Gabriel, dalam wawancaranya bahwa: Salah satu hal yang ikut mempengaruhi bertambahnya jumlah korban perdagangan perempuan dan anak-anak, ialah promosi Batam sebagai daerah pariwisata, dengan istilah 4 S sebagai pemikatnya: Sea, Shore, Sun, Sex. Kecuali Resort-resort di Lagoy (Pulau Bintan), Batam tidak mempunyai sesuatu yang khas sehubungan dengan ketiga S yang pertama. Hanya S yang keempat yang marak di pulau Batam sejalan dengan perkembangan-perkembangan di bidang lain yang terjadi di daerah Batam. Demikian pula penuturan Mamat dalam wawancaranya bahwa: Meningkatnya perdagangan perempuan dan anak-anak di kota Batam, merupakan dampak lain ditutupnya perjudian di Batam. Ditutupnya perjudian, bagi kami sebagai sopir kehilangan pelanggan tetap, demikian pula para mucikari pemilik pub, hotel dan panti-panti pijat kehilangan penghasilan yang besar 7. Karena itu baik trafficker, mucikari, sopir taxi membentuk suatu jaringan sindikat perdagangan perempuan dan anak-anak dengan berbagai cara, sehingga pekerja seks komersial dan permintaan pelacur anak semakin meningkat, untuk mengimbangi dan meningkatkan jumlah pelanggan dan penghasilan yang berkurang bahkan hilang akibat ditutupnya perjudian di kota Batam. 4. Budaya Malu dan Migrasi Kerja Penuturan Wagner dalam wawancaranya bahwa: Budaya malu merupakan suatu fenomena baru yang marak di Batam saat ini. 6 7
Ivan, Koordinator Research YMKK, Batam: 28 Agustus 2006. Mamat, Sopir taxi, Batam: 26 Agustus 2006.
8
Batam menjanjikan banyak harapan untuk memenuhi keinginan memperoleh uang dan kekayaan yang banyak, agar setelah kembali ke kampung halaman atau kota asal dapat menyenangkan orang tua dan keluarga. Pengalaman tenaga kerja wanita yang pernah direkrut oleh agen-agen Perusahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), kembali ke kampungnya dengan membawa uang yang banyak, membuat semakin meningkatnya perempuan dan anakanak yang menjadi korban trafficking, agar bisa mengulangi sukses yang pernah dialami TKW yang lain. Memang pada awalnya, masyarakat memandang negatif bila anak-anak perempuan mereka dikirim sebagai tenaga kerja. Namun ketika ada tenaga kerja wanita yang pulang membawa uang banyak bahkan ada yang membeli sawah, membangun rumah dan lain sebagainya, akhirnya banyak perempuan muda dan anak-anak yang bermigrasi untuk bekerja. Hal inilah yang membuat banyak keluarga kemudian merencanakan strategi penopang kehidupan dengan bekerja di luar negeri dan bermigrasi (Wawancara, Gabriel). Keinginan memiliki materi dan standar hidup lebih tinggi, didukung dengan budaya malu kalau kembali tidak membawa uang yang banyak bagi keluarga memicu terjadinya migrasi, sehingga migrasi dan budaya malu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya praktik trafficking. Budaya malu memaksa perempuan dan anak-anak rela mengorbankan dirinya menjadi pekerja seks komersial, pelacuran anak bahkan ada yang bersedia kawin kontrak, asalkan kembali kampung dapat membeli sawah, tanah atau membangun rumah bagi orang tua, keluarga dan anak-anak. Kebanyakan mereka yang menjadi korban budaya malu adalah perempuanperempuan muda yang terjebak rayuan dan tipuan para trafficker maupun agen PJTKI yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pelayan toko, restoran dengan gaji yang tinggi akhirnya terjerumus dalam jerat eksploitasi seksual (Wawancara, Ola). Ketimbang malu, tidak membawa uang dan kekayaan yang banyak, tidak ada pilihan lain, selain menggeluti kehidupan malam sebagai suatu profesi. Sebagian kecil mereka adalah TKW illegal yang dideportasikan dari luar negeri khususnya Malaysia dan Singapura. Mereka dicegat di pelabuhan-pelabuhan dan direkrut oleh para trafficker dan dijual kepada para mucikari menjadi pekerja seks komersial (Wawancara, Gabriel). Ketimbang pulang dengan tangan hampa dan kosong, lebih baik menerima tawaran sebagai pekerja hiburan malam di diskotik sampai ke tempat-tempat prostitusi yang berkedok rumah makan maupun warung remang-remang di kota Batam. 5. Budaya Patriarki Budaya patriarkhi menempatkan laki-laki berkedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan yang ditindas, dieksploitasi dan mengalami tekanan sosial bukanlah ciri masyarakat Arab atau masyarakat Timur Tengah atau negara-negara dunia ketiga. Semua ini merupakan bagian yang integral dari sistem politik, ekonomi dan budaya bahkan agama yang berpengaruh besar hampir dalam seluruh dunia, baik masyarakat terbela-kang yang bersifat feodal, atau yang mewarnai masyarakat industri modern yang menyerah pada pengaruh revolusi sains dan teknologi. Keadaan dan persoalan kaum perempuan dalam masyarakat kontemporer lahir dari per-kembangan sejarah yang dikuasai oleh laki-laki (El, 2001). Budaya laki-laki ini membuat ajaran berbasis pandangan laki-laki dan ajaran ini dianggap suatu kebenaran. Dalam segala aspek kehidupan pemahaman ini merasuk dan mengideologi. Dalam masyarakat, kita kerap kali menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik mau-pun publik 9
(oleh masyarakat, agama, media massa dan sebagainya) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati ini teriris sedih dan perih. Ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan bermula dari peletakan kaum perempuan pada tingkat sub-ordinasi terhadap kaum laki-laki, yang berakibat kaum laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam kehidupan dan pandangan perempuan dinegasi-kan pada gilirannya segala aturan main yang kemudian disebut budaya yang dibangun atas dasar pandangan laki-laki (El, 2001)8, karena dalam patriarki segala sesuatu dibangun atas dasar pandangan laki-laki, maka secara tidak langsung segala sistem kehidupan telah berpusat pada laki-laki atau yang disebut dengan Androsentris. Mau tidak mau, suka tidak suka, perempuan harus masuk dalam sistem dan budaya yang dibuat laki-laki sebagai pusatnya. Akhirnya perempuan terperangkap dalam budaya androsentris yang banyak mempengaruhi perilakunya. Budaya patriarkhi sudah menyejarah dan terpatri dalam pemikiran orang tua bahwa perempuan dianggap lemah kepribadian juga dalam tindakannya. Perempuan tidak akan mampu melawan laki-laki, perempuan adalah orang kedua setelah laki-laki. Perempuan hanya seorang pendamping bukan dalam pengertian sebagai mitra yang sejajar, tetapi pembantu yang berfungsi sebagai seorang pelayan (El, 2001). Persepsi seperti itu yang menyebabkan banyak perempuan dan anak-anak putus sekolah, selain itu tekanan ekonomi keluarga mengakibatkan perempuan dan anak-anak seringkali menjadi pencari nafkah tambahan atau pelengkap buat kebutuhan keluarga. Anak dipahami sebagai tulang punggung keluarga dan kepatuhannya kepada orang tua menjadi suatu kewajiban untuk membantu keluarga. Berkembangnya paradigma pemahaman masyarakat seperti itu, terutama kalangan masyarakat berpenghasilan rendah bahwa anak adalah hak mutlak orang tua. Penuturan Romie dalam wawancaranya bahwa: Apapun yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya, itu adalah urusan dan hak mereka dan tidak merasa bersalah ketika melakukan hal itu 9. Anak harus patuh kepada orang tua, walaupun kepatuhan itu adalah kepatuhan yang keliru dan pemahaman yang salah tentang hak-hak anak. Pemikiran budaya patriarkhi inilah yang juga menjadi salah satu penyebab perdagangan perempuan dan anak-anak di Indonesia, karena laki-laki menguasai perempuan dan perempuan dapat diperlakukan apapun menurut keinginannya. Hal ini jugalah yang sering terpatri dalam persepsi orang tua bahwa setinggi-tingginya perempuan bersekolah, akhirnya kembali juga ke dapur, sumur, sawah dan tempat tidur untuk melayani suami. Karena itu perempuan dan anakanak yang bekerja, pada umumnya mencurahkan sebagian besar waktunya dan tenaganya untuk bekerja dan bukan bersekolah, seperti yang dituturkan Santi dalam wawancaranya bahwa: Bekerja itu hal yang biasa bagi perempuan dan anak-anak apabila pekerjaan tersebut ringan dan tidak mengganggu perkembangan mereka, seperti ibu ini 10. Pemikiran seperti inilah yang membuat perempuan dan anak-anak menjadi rentan sekaligus sebagai pemicu terjadinya perdagangan perempuan dan anak-anak oleh para sindikat jaringan trafficking.
8 Budaya laki-laki dikenal dengan se-butan Patriarki yang berasal dari kata Yunani Pater yang berarti bapak. Jadi budaya patri-arkhi adalah pemerintahan oleh bapak. Sistem sosial, ekonomi, politik bahkan agama diatur berdasarkan relasi yang di dalamnya laki-laki menjadi kepala. 9
Romie, Buruh Pabrik di daerah Timbal, Batam: 29 Agustus 2006. Santi, Berjualan di pasar Nagoya, Batam: 29 Agustus 2006.
10
10
DAMPAK HUMAN TRAFFICKING Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction (2011: 13, 14) sebagai berikut. 1. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban trafficking sering mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan cedera aktual atau terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain" dan tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering melibatkan "rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari post traumatic stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa, mengalami penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual dan di eksploitasi (American Association, 2005: 467). Setelah kedatangan ke tempat tujuan, perempuan korban trafficking perempuan korban trafficking terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan dalam kurungan, dan kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari mereka, surat identitas, paspor, visa, dan dokumen lainnya (Course Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak gejala psikologis yang dihasilkan dari kekerasan mental sehari-hari dan penyiksaan. Ini termasuk depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan, fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan, ketidakpercayaan, tentang situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya dan malu (Stotts & Ramey, 2009:10). Rasa takut yang terus-menerus untuk keamanan pribadi mereka dan keselamatan keluarga mereka, ancaman deportasi akhirnya berkembang menjadi rasa kehilangan dan tidak berdaya. Hal ini tidak mengherankan bahwa depresi, kecemasan, dan post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gejala yang umum dialami oleh para korban yang diperdagangkan. Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan, insomnia, depresi dan post traumatic stress disorder menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri (Taylor, 2012:1). Para perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan penting untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan. 2. Dampak Sosial Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani nafsu bejat para tamu (”lelaki hidung belang”). Para korban semestinya memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking. Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami oleh perempuan.korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi sebagai strategi 11
untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para korban terutama anakanak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan. Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13), persoalan sosial yang sangat tragis dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Selain itu, para pria sering melihat perempuan korban trafficking sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan karena itu menolak untuk menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan korban trafficking terjadi dalam berbagai sektor dan berbagai bentuk. Kenyataan ini telah menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kesederajatan, bisa diwujudkan. Jadi dampak sosial yang dimaksud adalah isolasi sosial, penolakan dari keluarga & masyarakat mengakibatkan perempuan korban trafficking kehilangan makna dan tujuan hidup serta penghargaan atas dirinya. 3. Dampak Kesehatan Fisik Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya. Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka tidak memberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual. Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009: 10). Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap para korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka semakin terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual menular lainnya. Para perempuan korban trafficking dirugikan dengan berbagai metode yang digunakan traffickers untuk "kondisi" mereka, termasuk pemerkosaan, pemerkosaan geng, ancaman untuk menyakiti korban atau keluarga korban, kronis pada pendengaran, dan kardiovaskular atau masalah pernapasan yang disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual dan memaksa penggunaan narkoba. Luka fisik termasuk hal-hal seperti patah tulang, gegar otak, luka bakar, dan vagina atau dubur robek. Kehamilan korban yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan atau prostitusi. Infertility sebagai akibat infeksi kronis menular seksual yang tidak diobati atau gagal atau melakukan aborsi tradisional bukan oleh para medis dan tanpa perawatan medis. Belum lagi penyakit yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, seperti diabetes atau kanker, sebagai ancaman masa depan para korban (Stotts & Ramey, 2009: 11). Penyalahgunaan zat (obat-obatan terlarang) sebagai sarana untuk mengatasi situasi depresi korban sekaligus sebagai strategi traffickers menundukkan korban untuk melakukan eksploitasi seksual. Jadi dampak kesehatan fisik yang dimaksud adalah cedera aktual & ancaman terhadap integritas diri para korban yang mengalami kekerasan fisik dan seksual. Penderitaan secara fisik yang dialami para perempuan korban trafficking, menciptakan citra diri negatif, konsep diri para korban semakin terpuruk, kehilangan makna hidup, harkat dan martabat para korban menjadi hancur.
12
ANALISA DAN KESIMPULAN Human Trafficking atau biasa disebut perdagangan manusia, merupakan salah satu masalah sosial yang marak terjadi beberapa waktu belakangan ini. Persoalan ini telah menimbulkan keprihatinan besar, karena manusia (khususnya perempuan dan anak-anak) telah dijadikan komoditi perdagangan. Human trafficking merupakan bentuk baru dari sistem perbudakan pada abad modern ini. Praktik-praktik ini menjadikan manusia tidak lebih dari barang dan tentunya bisa digunakan sesuai dengan keinginan pembeli. Ketika ia dibeli, maka ia kehilangan hakhaknya, bahkan seluruh kemanusiaannya. Setiap orang memiliki mimpinya sendiri tentang suatu kehidupan yang layak baginya. Dengan sendirinya, ia akan berusaha untuk memenuhi mimpi-mimpinya ini, segala upaya dilakukan agar mimpi-mimpinya bisa tercapai, namun sayangnya mereka tidak punya apa-apa, mereka tidak mempunyai pendidikan dan ketrampilan yang layak sebagai modal kerja dan memperoleh uang. Mereka juga tidak memperoleh uang atau materi dalam bentuk lain yang bisa dipakai menjadi jaminan hidup mereka. Yang mereka punyai adalah tubuh dan kehidupan yang sedang mereka jalani, padahal hidup harus terus berlanjut. Dalam melanjutkan kehidupannya, mereka tidak punya pilihan lain, selain menggunakan apa yang mereka punyai dalam rangka mencapai mimpi-mimpi mereka. Tubuh, harga diri, dan kemanusiaan mereka dipertaruhkan demi mimpi-mimpi tersebut. Sangat ironis memang, bahwa kemanusiaan sekarang ini menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan. Uang, materi menjadi daya pemikat yang luar biasa hebat. Dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan, iming-iming, tawaran, janji-janji, menimbulkan harapan baru akan masa depan yang lebih layak. Sayangnya, ada yang memanfaatkan kelemahan, ketidakberdayaan orang lain demi kepentingan mereka, demi sejumlah uang. Manusia tega memakan manusia lainnya demi sejumlah uang, yang mereka peroleh dari proses perdagangan tersebut. Uang dan materi telah merubah sejumlah orang menjadi serigala-serigala buas yang siap memangsa kapan saja ada kesempatan, tidak peduli, perempuan bahkan anak-anak. Untuk itu, penulis sangat setuju jika ada kemauan baik dari pemerintah dan gereja untuk memerangi praktik-praktik perdagangan manusia di Indonesia. Praktik-praktik ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan seseorang. Yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan gereja, bahwa upaya memerangi praktik-praktik ini tanpa melakukan upaya-upaya pemberdayaan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan, upaya-upaya memberi suatu penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, maka upaya tersebut tidak memiliki arti yang signifikan, dan hanya akan menimbulkan persoalan sosial yang lain. Hal ini disebabkan, akar persoalannya adalah bukan pada perdagangan manusia itu, tetapi pada persoalan kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan, dan budaya. Manusia telah dimotivasi bukan dengan ide tetapi materi sebagai kebutuhan dasar untuk tetap hidup. Kesimpulannya bahwa human trafficking adalah bentuk penghisapan oleh manusia atas manusia lainnya, yang telah merusak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Transaksi jual beli manusia itu telah mengesampingkan nilai-nilai kemanusian dan menggantinya dengan nilai-nilai lain, sejauh itu menguntungkan. Hasrat terhadap uang dan materi menggantikan bahkan menghapuskan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah tantangan besar bagi kemanusiaan, bahkan masyarakat manusia pada umumnya. Mengapa demikian? Karena praktik ini mereduksi kemanusiaan manusia hingga pada tingkat yang paling rendah. Manusia tidak saja dijadikan budak, tetapi keberadaannya dieksploitasi demi 13
uang dan materi. Hakikat keberadaan manusia, harkat dan martabatnya dalam praktik trafficking tidak lebih dari barang (benda) sehingga ia lebih rendah dari binatang. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah apa yang sudah gereja lakukan untuk maraknya human trafficking di Indonesia?
DAFTAR KEPUSTAKAAN American Psychiatric Association (APA). (2005, January). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-IV-TR (4th ed.). Washington, DC: Author. In Williamson, Nicole M. Dutch, and Heather J. Clawson. (2010). Evidence-Based Mental Health Treatment for Victims of Human Trafficking. Caliber, an ICF International Company, April, 2010. [Online]. Tersedia : http://aspe.hhs.gov/hsp/07/Human Trafficking/MentalHealth/index.shtml, [14 Pebruari 2012]. Chatterjee,P. and Chakraborty, T., Srivastava, N., Deb, S. (2006). Short and LongTerm Problems Faced by the Trafficked Children:A Qualitative Study Social Science International. In Wickham, Leak. (2009). The Rehabilitation and Reintegratio Process For Women and Children. Recovering From The Se Trade, April, 21 2009, [Online]. Tersedia : http//www.recovering.com [29 Januari 2012]. Coote, Robert B and Mary P. Coote. (1990). Power, Politics, and The Making of the Bible, Minneapolis : Fortress Press. Course Participation Instructions (CPI). (2011). Human Trafficking and Exploitation. [Online]. Tersedia : www.netce.com [25 Januari 2012]. Cree,V.E. (2008).Confront Sex Trafficking:Lessons from History. International Social Work Engel, J.D. (2007). ”Persepsi Masyarakat Batam Terhadap Perdagangan Perempuan dan Anak-anak”, dalam Kritis: Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. Salatiga: Program Pascasarjana UKSW Gottwald, Norman K. 1985. The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadephia : Fortress Press. Kangaspunta(n.d.). (2010). A Short History of Trafficking in Persons. From Freedom from Fear:http://www.freedomfromfearmagazine.org. In. Wedam. (2010). Human Trafficking and Culture: The History of Human Trafficking. February 25, 2010 [Online]. Tersedia: http://www.juliewedam.blogspot.com/search/label/human trafficking [3Juli 2012].
14
Maslow A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper & Row. In Wikipedia: The Free Encyclopedia. (2012). Self-Esteem, January 24, 2012, [Online]. Tersedia: http://www.wikipedia.org [25 Januari 2012]. Meadow, Marry Jo. 2001. Memahami Orang Lain: Meningkatkan Komunikasi dan Hubungan Baik dengan Orang Lain, Yokyakarta. Stotts, E, I., Ramey, L. (2009). Human Trafficking: A call For Counselor Awareness and Action. Journal of Humanistic Counselig, Education and Development, March 22, 2009,[Online]. Tersedia : http://www.hihbeam.com [5 Pebruari2012]. Safa’at, Rahmat 1998. Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak asasi Perempuan, Malang: IKIP Malang. Syafaat, Rachmad. (2003). Dagang Manusia (Kajian Trafficking terhadap Perempuan & Anak). Yokyakarta: LAPPERA PUSTAKA UTAMA. Taiwan, Medicare: Taiwan Int’l Medical & Healthcare Exhibition. (2012). Traffic Synonyms, Traffic Antonym,Thesaurus. [Online]. Teersedia : http://www.thesaurus.com, [5 April 2012]. Taylor, Karen. (2012). Consequences of Low Self-Esteem & Substance Abuse. eHow Contributor, [Online]. Tersedia : http://www.eHow.com [29 Januari 2012]. Venny, Adriana 2005. Perempuan dan Tubuhnya, Dalam Suara Perempuan, Batam: KMP Keuskupan Pangkalpinang. Wagner, Lola. (2004). Trafficking Perempuan dan Remaja untuk tujuan Eksploitasi Seksual Komersil di Batam. Jurnal perempuan edisi 29, don’t buy don’t sell.
Wickham, Leak. (2009). The Rehabilitation and Reintegratio Process For Women and Children. Recovering From The Se Trade, April, 21 2009, [Online]. Tersedia : http//www.recovering.com [29 Januari 2012]. Williamson, E., Dutch, N M., and Clawson, H J. (2010). Evidence-Based Mental Health Treatment for Victims of Human Trafficking. Caliber, an ICF International Company, April, 2010. [Online]. Tersedia: http://aspe.hhs.gov/hsp/07/HumanTrafficking/MentalHealth/index.shtml [14 Pebruari 2012].
15
Woolf,L.M (n.d.). 2010. Sex Trafficking. From Women and Global Human Rights:http://www.webster.edu/~woolfln/trafficking.htmld. El, Saadawi. (2001). Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar JDE
16