eJournal Ilmu Hubungan Internasional 2014, 2(2) : 495-508 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
UPAYA PEMERINTAH KAMBOJA DALAM MENANGANI HUMAN TRAFFICKING TAHUN 2000 - 2010 Mikha Roslina Ambarita1 1002045005 Abstract Globalization has positive impacts such as increase welfare and the progress of civilization, however in the other side globalization has negative impact is to encourage the emergence of cross-border crimes in the world. Globalization have change the characteristics of the crime, previously in domestic scope shifted into cros-border or transnational. One type of the crime is human trafficking. Along with the continuous increase in sexual crimes, the victims of this crime not only adults but also children. Cambodia is a source, transit, and destination country for men, women, and children trafficked for purposes of sexual exploitation and forced labor. To address the issue, Cambodian goverment take actions by conducting work programs which is implemented in a National Plan of Action to combat human trafficking and commercial sexual exploitation. In implementing the programs Cambodian government cooperating with End Child Prostitution, Abuse and Trafficking in Cambodia (ECPAT-Cambodia). ECPAT-Cambodia is an International Non-Govermental Organization which has focused attention on the elimination all forms of commercial sexual exploitation of children. ECPAT act to assist the government in implementing the work programs to address the issue such as execute campaigns, workshops and monitor the implementation of the National Plan of Action. Besides, the Cambodian government is also cooperating with the Thailand government to address cross-border of human trafficking from and to Thailand and Cambodia. The cooperation with Thailand also aims to help the victims back to their home countries. Keywords : Commercial Sexual Exploitation of Children, Human Trafficking, ECPAT, Cambodia. Pendahuluan Globalisasi merupakan suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi dapat memberikan dampak positif seperti meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan peradaban, namun dapat juga memberikan dampak negatif yaitu mendorong munculnya kejahatan lintas batas 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
negara di seluruh belahan dunia. Perkembangan global telah mengubah karakteristik kejahatan yang semula dalam lingkup domestik bergeser menjadi lintas batas negara atau transnasional. Salah satu bentuk kejahatan tersebut adalah perdagangan manusia. Perdagangan manusia telah berkembang menjadi persoalan kemanusian yang memprihatinkan. Salah satu bentuk perdagangan manusia adalah perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual. Korban dari tindak kejahatan ini tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual sering mengalami kejahatan seksual. Kejahatan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk kejahatan terhadap anak tersebut termasuk meminta atau menekan seorang anak di bawah umur untuk melakukan aktivitas dengan tujuan kepuasan seksual. (www.childwisecambodia.net). Berbagai bentuk kejahatan seksual terhadap anak di antaranya kekerasan seksual, pelanggaran seks, pelecehan seksual, tindakan menundukkan seseorang untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan atau tidak dibenarkan, perampokan, pemerkosaan, dan penganiayaan. (Ronald B. Flowers, 2006 : 103) Fenomena perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial sudah sejak lama berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk negara-negara di Kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Indonesia dan Kamboja. Kamboja adalah negara asal, persinggahan, dan tujuan bagi pria, wanita, dan anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual dan tenaga kerja paksa. Perempuan dan anak-anak Kamboja diperdagangkan ke Vietnam, Thailand dan Malaysia untuk eksploitasi seksual atau sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan para pria diperdagangkan sebagai buruh paksa di pertanian dan perikanan. (www.no-trafficking.org) Pada tahun 1994 UNICEF memperkirakan ada lebih dari 60.000 perempuan yang menjadi korban dari perdagangan manusia untuk tujuan seksual di Kamboja dan sekitar sepertiga dari total korban tersebut adalah anak perempuan di bawah usia 18 tahun. (www.seameo.org). Ada tiga faktor penyebab meningkatnya perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual di Kamboja yaitu kemiskinan dan rendahnya pendidikan, lemahnya sistem penegakan hukum, dan globalisasi. (www.childwisecambodia.net) Terjadinya kejahatan seksual terhadap anak memunculkan berbagai dampak negatif terutama pada anak-anak, sebagian besar anak-anak yang telah menjadi korban dari tindak kejahatan seksual mengalami trauma serta gangguan psikologis karena telah dieksploitasi dan mendapat penganiayaan seksual. Untuk menangani masalah tersebut, pemerintah Kamboja bekerjasama dengan lembaga pemerhati masalah ESKA yaitu ECPAT-Kamboja (End Child Prostitution, Abuse and Trafficking in Cambodia). Dibantu oleh ECPAT, pemerintah Kamboja mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional menangani
496
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
perdagangan dan eksploitasi seksual anak. ECPAT berperan dalam melaksanakan program-program kerja yang dibuat oleh pemerintah di antaranya melaksanakan kampanye peningkatan kesadaran terhadap bahayanya kejahatan seksual terhadap anak, lokakarya yang dilakukan untuk para pemilik hotel, guest house, dan agenagen perjalanan agar tidak terlibat dalam segala tindakan yang mengarah pada ESKA, serta memantau pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Selain itu pemerintah Kamboja juga melakukan kerjasama dengan pemerintah Thailand untuk mengatasi perdagangan manusia lintas batas negara dari dan menuju Thailand serta Kamboja. Kerjasama yang dilakukan dengan Thailand juga bertujuan untuk membantu para korban pulang ke negara asal mereka. Kerangka Dasar Teori Perdagangan Manusia (Human Trafficiking) Dalam Protokol Palermo tahun 2000, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan perdagangan manusia (Human Trafficking) sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Yang termasuk dalam perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi di antaranya adalah kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan, pengambilan organ tubuh dan eksploitasi untuk tujuan seksual. (www.idlo.int) Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan perdagangan manusia sebagai semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali. (www.gaatw.org). Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa istilah perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Rekrutmen dan transportasi manusia 2. Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani 3. Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan Perdagangan manusia terjadi karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia adalah : (www.worldvision.com.au)
497
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
1. Kemiskinan Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja,tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan manusia. 2. Keinginan cepat kaya Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi. 3. Pengaruh sosial budaya Budaya yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu perdagangan manusia. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua. 4. Lemahnya pencatatan dokumen kelahiran Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran sangat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak memiliki surat pencatatan kelahiran (akta kelahiran) secara teknis kehilangan perlindungan hukum dari negara. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri. 5. Korupsi dan lemahnya penegakan hukum Korupsi memainkan peran integral dalam memfasilitasi perdagangan manusia, di samping dalam pemalsuan dokumen dan biaya ilegal lain, korupsi juga telah menghalangi penyelidikan dan penuntutan kasus perdagangan manusia. Kebijakan Publik Thomas R. Dye dalam bukunya Understanding Public Policy mengatakan bahwa kebijakan adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. (Thomas R. Dye, 2002 : 21) Sedangkan Mustopadidjaja berpendapat bahwa kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat dimana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Ia juga berpendapat bahwa kebijakan publik sebagai suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah. (Mustopadidjaja, 2003 : 121)
498
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (Public policy), seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. (Budi Winarno, 2008 : 17) Kerjasama Internasional Menurut K.J. Holsti dalam bukunya, International Politics : A Framework For Analisis, kerjasama internasional diartikan sebagai proses di mana sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan, merudingkan atau membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesain atau lainnya, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian atau perundingan tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Kemudian Holsti menyebutkan ada beberapa alasan mengapa negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya. (K. J. Holsti, 1997 : 362) 1. Dengan alasan demi meningkatkan kesejahteraan ekonominya banyak negara yang melakukan kerjasama dengan negara lain untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung negara tersebut dalam memproduksi suatu produk kebutuhan bagi rakyatnya karena adanya keterbatasan yang dimiliki negara tersebut. 2. Untuk meningkatkan efisiensi yang berkaitan dengan pengurangan biaya. 3. Karena adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan bersama. 4. Dalam rangka mengurangi kerugian negatif yang diakibatkan oleh tindakantindakan individual negara yang memberi dampak terhadap negara lain. Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena kehidupan internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional. Mengenai kerjasama internasional Dr. Budiono membaginya kedalam empat bentuk, yakni : (T. May Rudy, 1998 : 84) 1. Kerjasama Global Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. 2. Kerjasama regional Kerjasama regional merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Adapun yang menentukan dalam kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan, pandangan bidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktifitas ekonomi juga ikut menentukan pula apakah kerjasama tersebut dapat di wujudkan. 3. Kerjasama Fungsional Permasalahan kerjasama fungsional maupun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks di sebabkan oleh semakin banyaknnya berbagai lembaga kerjasama yang ada. Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak
499
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama fungsional baik di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik. 4. Kerjasama Ideologi Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teorial tidak relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka diforum global. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yang memaparkan secara jelas dan sistematis mengenai upaya pemerintah Kamboja dalam menangani perdagangan manusia terutama pada anak untuk tujuan eksploitasi seksual tahun 2000-2010. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan menggunakan literatur buku-buku dan sumber dari internet. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis kualitatif. Hasil Penelitian Kondisi ekonomi, politik dan sosial Kamboja memberikan pengaruh terhadap peningkatan human trafficking di Kamboja. Kamboja merupakan negara sumber, transit, dan tujuan bagi wanita, pria dan anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual komersial dan kerja paksa sebagai pembantu rumah tangga. (www.no-trafficking.org). Seiring dengan terus meningkatnya perdagangan manusia di Kamboja, korban dari kejahatan tersebut tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual di Kamboja memberikan dampak negatif terhadap Kamboja, yaitu dampak sosial serta dampak terhadap reputasi Kamboja di mata dunia. Hal ini kemudian membuat pemerintah Kamboja mulai melaksanakan usaha-usaha yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 2000 pemerintah Kamboja mulai melaksanakan sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) memberantas perdagangan anak dan ekploitasi seksual komersial anak yang dikembangkan berdasarkan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta berdasarkan hukum yang berlaku di Kamboja. Dalam RAN tersebut pemerintah melakukan kerjasama dengan organisasi internasional non pemerintah yaitu ECPAT yang memiliki fokus permasalahan pada penghapusan segala bentuk ESKA. Selain itu, pemerintah Kamboja melakukan kerjasama dengan pemerintah Thailand. Kedua negara menyepakati sebuah kerjasama bilateral untuk mengapuskan perdagangan perempuan dan anak-anak serta bekerjasama untuk membantu para korban. National Plan of Action (Rencana Aksi Nasional Menentang Perdagangan dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak) Rencana Aksi Nasional memberantas perdagangan anak dan ekploitasi seksual komersial anak dikembangkan berdasarkan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dan berdasarkan hukum yang berlaku di Kamboja. Kebijakan dan hukum tersebut telah dikembangkan berdasarkan peraturan nasional dan internasional seperti Konstitusi Kamboja (Contitution of the Kingdom of
500
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
Cambodia), perjanjian Internasional dan Konvensi Hak Asasi Manusia, Hak-hak Perempuan dan Anak-anak dan Protokol Opsional yang ditandatangani dan diratifikasi oleh Kamboja. Rencana Aksi Nasional Lima Tahun yang pertama untuk memerangi Perdagangan dan Eksploitasi Seksual Anak di Kamboja dilaksanakan pada tahun 2000-2004, dikembangkan oleh Dewan Nasional Kamboja untuk Anak-anak dengan memperoleh masukan teknis dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Internasional. Rencana aksi nasional ini berisi empat program utama yang berhubungan dengan pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi, serta rencana yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satunya adalah dengan membentuk departemen khusus yang bertugas untuk mencegah dan mengatasi perdagangan anak dan eksploitasi seksual yaitu Department of AntiHuman Trafficking and Juvenile Protection (DAHTJP). (www. resources.ecpat.net). Dalam melaksanakan RAN tersebut, pemerintah Kamboja menetapkan beberapa strategi yang komferhensif agar tujuan dari rencana tersebut dapat dicapai dengan maksimal. Strategi-strategi tersebut, di antaranya : 1. Memperkuat implementasi kebijakan dan meningkatkan kerjasama nasional dan internasional. 2. Mencegah perdagangan manusia untuk tujuan seksual dan eksploitasi tenaga kerja. 3. Meningkatkan mekanisme peradilan pidana (menekan dan menuntut pelaku perdagangan manusia) 4. Melindungi korban (termasuk member bantuan dalam rehabilitasi, repatriasi, dan reintegrasi ke dalam masyarakat) dengan perhatian khusus pada anakanak. 5. Mengembangkan pemantauan dan evaluasi kerja. Dari pelaksanaan RAN pertama, Kamboja telah mengalami kemajuan dalam memerangi perdagangan manusia dan eksploitasi seksual komersial, (www.unicef.org) meskipun pelaksanaan rencana tersebut sedikit lemah karena terbatasnya sumber daya manusia yang memadai namun telah dicapai beberapa hal penting termasuk pembentukan DAHTJP, sebuah departemen nasional yang menyediakan layanan hotline 24 jam, sehingga masyarakat dapat melaporkan kasus-kasus perdagangan dan eksploitasi seksual komersial, dibentuknya Departemen Anti Perdagangan Manusia dan Perlindungan Anak-anak, meningkatkan kesadaran mengenai ESKA di antara para pembuat kebijakan dan masyarakat sipil, dan kerjasama bilateral yang dilakukan pemerintah Kamboja dengan pemerintah Thailand dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU) untuk memerangi perdagangan perempuan dan anak-anak. Setelah RAN yang pertama selesai dilaksananakan, pemerintah kemudian melanjutkan dan mengembangkan RAN kedua yaitu RAN untuk memberantas perdagangan dan eksploitasi seksual komersial anak pada tahun 2006 – 2010. Kementrian Urusan Sosial Kamboja bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan RAN tersebut. (www.resources.ecpat.net)
501
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
Rencana Aksi Nasional kedua (2006-2010) meliputi, perluasan cakupan untuk dapat mencakup semua bentuk perdagangan anak, membina kemitraan dengan industri pariwisata, membentuk mekanisme pengawasan yang efektif, dan strategi yang efektif untuk mengumpulkan dan menyusun informasi tentang perdagangan eksploitasi seksual anak. RAN kedua akan memerlukan uji coba dari sistem pemantauan yang disebut Database of Child Trafficking and Child Sex Explitation. Komite Perlindungan Anak tingkat provinsi telah didirikan pada tahun 2002 di berbagai provinsi di bawah Departemen Sosial, Tenaga Kerja, Pelatihan Kejuruan dan Remaja. Komite ini bekerjasama dengan Dewan Nasional untuk Anak-anak, dalam kerjasama dengan Dewan Anak, Komite ini fokus pada penghapusan pekerja anak dan bentuk lain dari eksploitasi seksual komersial. Komite berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyelamatkan anak-anak dari rumah bordil dan membantu mereka dalam membuat kontak dengan layanan rehabilitasi dan reintegrasi. Mereka juga berusaha untuk mendidik masyarakat tentang UU Pemberantasan Penculikan, Perdagangan dan Eksploitasi Manusia. Komite menerima dukungan teknis dan keuangan dari UNICEF dan ILO / IPEC. Selain itu, jaringan perlindungan anak berbasis masyarakat telah dibentuk dengan dukungan dari UNICEF di desa-desa di lima provinsi, dengan maksud untuk mencegah perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap anak, memastikan deteksi dini kasus yang dicurigai dan merujuk korban anak untuk layanan dukungan yang tepat. Namun, kurangnya mekanisme koordinasi antara tingkat provinsi dan kabupaten telah menghambat kerja sama yang efektif. Dari pelaksanaan RAN pertama dan kedua telah dicapai beberapa hasil yang cukup signifikan terhadap peningkatan usaha-usaha yang bertujuan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan seksual terhadap anak. Kerjasama dengan Pemerintah Thailand Dalam upaya untuk menangani kejahatan seksual terhadap anak, pemerintah Kamboja juga melakukan kerjasama dengan pemerintah Thailand. Pemerintah Kamboja dan Thailand menyepakati sebuah kerjasama bilateral untuk mengapuskan perdagangan perempuan dan anak-anak serta membantu para korban. Kerjasama tersebut disepakati melalui sebuah Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada 31 Mei 2003. MoU tersebut berisi tentang kerjasama antara Thailand dan Kamboja dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada korban trafiking, mekanisme untuk mengurangi tindak perdagangan manusia, dan tindakan pencegahan seperti pelaksanaan kejuruan dan program pendidikan. Dalam MoU tersebut, kedua negara sepakat untuk membentuk Joint Task Force untuk memastikan repatriasi yang aman bagi para korban (www.no-trafficking.org) serta sepakat untuk melakukan bebagai program kerja guna menangani masalah perdagangan wanita dan anak-anak serta perlindungan bagi para korban. Melalui kerjasama dengan pemerintah Thailand, Kamboja telah memperkuat respon terhadap penyelesaian masalah ESKA. Thailand dan Kamboja telah membentuk jaringan yang kuat untuk bekerja bersama memerangi masalah ini.
502
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
Ekstradisi dan perjanjian repatriasi telah ditandatangani antara Kamboja dan Thailand untuk memulangkan anak-anak Kamboja yang diperdagangkan ke Thailand. Sejak tahun 2003 sekitar 200 anak telah dikembalikan ke Kamboja untuk direhabilitasi dan direintegrasi. Kerjasama dengan End Child Prostitution, Abuse and Trafficking in Cambodia (ECPAT-Cambodia) ECPAT Kamboja adalah sebuah jaringan organisasi nasional, internasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang relevan bekerja untuk mengapuskan eksploitasi seksual komersial anak. Didirikan pada tahun 1995 oleh sekelompok organisasi non-pemerintah yang didedikasikan untuk memerangi eksploitasi seksual anak. Organisasi ini memiliki tujuan untuk mengapuskan segala tindakan eksploitasi seksual komersial anak termasuk pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. ECPAT Kamboja bekerja sama dengan beberapa aktor utama, termasuk Kementerian Pariwisata, Kementerian Sosial, Veteran dan Rehabilitasi Pemuda, Departemen Interior, Departemen Urusan Perempuan, dan Dewan Nasional Kamboja untuk Anak-anak, berbagai lembaga PBB, LSM dan kedutaan besar asing di Kamboja. Pada tanggal 1 Juni 2005, ECPAT Kamboja bekerja sama dengan Dewan Nasional Kamboja untuk Anak-anak. Kegiatan ini meliputi kegiatan pelatihan, lokakarya dan peningkatan kesadaran bahayanya perdagangan manusia dan eksploitasi seksual. Para anggota koalisi yang memberikan layanan langsung kepada korban mendapatkan perlindungan dari pemerintah melalui peningkatan kapasitas perawatan dan perlindungan. Selain itu ECPAT juga melalukan kerjasama dengan kementrian pariwisata dalam melakukan lokakarya untuk mencegah pariwisata seks anak. Kemudian ECPAT melakukan satu hari Seminar Sharing Good Practices dan Pembentukan Jaringan Perlindungan Anak. Kelompok ini juga mengadakan lokakarya nasional tentang Pariwisata yang aman dari seks anak, bekerja sama dengan Departemen Pariwisata, World Vision Kamboja dan Child Wise Australia. Departemen Sosial Kamboja dan perwakilan dari 24 kota dan provinsi juga berpartisipasi dalam kegiatan ini. ECPAT juga memantau Rencana Aksi Nasional terhadap ESKA (2000-2004). Kelompok ini menerbitkan tiga isu newsletter mereka dan didistribusikan sebanyak 4.000 eksemplar, diterbitkan melalui artikel media masa dan analisis situasi di surat kabar lokal pada kasus yang dilaporkan dari perkosaan dan perdagangan manusia, menginformasikan kepada masyarakat tentang tren dan rute perdagangan manusia. Kemudian para anak yang menjadi korban perdagangan manusia dibawa ke organisasi yang tepat untuk mendapatkan pemulihan dan rehabilitasi, seperti Cambodia Recovery Centre. Pada tanggal 12 Desember 2006, ECPAT melaksanakan kampanye mengenai bahayanya ESKA dan cara pencegahannya, yang dilakukan di 6 lokasi berbeda di 6 provinsi di Kamboja; Bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata untuk melaksanakan lokakarya pada masyarakat yang bekerja di industri pariwisata dan pihak terkait. Kegiatan ini dilaksanakan di dua provinsi yaitu Phnom Phen dan Siem Riap; Konferensi tahunan dilakukan pada 19 Desember 2006 untuk
503
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
membahas dan mencari tahu strategi masa depan; Empat puluh papan iklan yang dibawa berkeliling di Phnom Penh oleh transportasi-transportasi umum yang menampilkan pesan “Kami benar-benar menentang pariwisata seks anak” dilengkapi dengan nomor hotline yang dapat dihubungi. Kemudian pada tahun 2007, dari 40 papan iklan yang ada di transportasitransportasi umum di tahun sebelumnya, ECPAT kemudian menambahkan 20 papan iklan lagi pada tahun 2007; Melaksanakan lokakarya Pariwisata Seks Anak di provinsi Battambang bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata; Sebuah lokakarya pelatihan pada catatan penyelesaian lembar diadakan bagi LSM yang berpartisipasi dalam proyek database. (www.ecpatcambodia.org) Analisis terhadap Kebijakan Pemerintah Pemerintah Kamboja telah melakukan banyak usaha untuk menangani kejahatan seksual terhadap anak melalui berbagai program kerja, kebijakan-kebijakan serta kerjasama dengan berbagai pihak. Di tambah dengan peningkatan dalam usahausaha untuk membantu para korban. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Kamboja ternayata menemukan hambatan-hambatan di dalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan tersebut, di antaranya : 1. Sumber daya manusia yang tidak memadai untuk menangani masalah tersebut seperti melakukan investigasi, menindaklanjuti kasus, dan penyelamatan terhadap korban. 2. Lemahnya sistem penegakan hukum. Beberapa pejabat tingggi dan polisi / militer yang mendapatkan suap dari para pemilik rumah bordil melakukan perlindungan terhadap rumah bordil atau sindikat perdagangan seks untuk memungkinkan kegiatan mereka terus beroperasi. 3. Pemerintah telah membentuk berbagai departmen untuk menangani masalah kejahatan seksual. Namun koordinasi antar tiap-tiap departmen masih kurang, sehingga menghambat kinerja masing-masing. 4. Informasi yang akurat mengenai para korban masih sangat terbatas. Hal ini karena kegiatan perdagangan manusia merupakan kegiatan ilegal dan terselubung sehingga sulit untuk mendapatkan data yang pasti mengenai para korban. 5. Aspek kehidupan masyarakat seperti pernikahan dini, dan kurangnya pengawasan terhadap anak di rumah, mengakibatkan jumlah dari korban kejahatan seksual tetap meningkat dan sulit untuk diatasi. Selain itu kecenderungan masyarakat kamboja yang enggan untuk melaporkan tindakan pemerkosaan terhadap anak mereka juga menjadi penghambat, karena menurut budaya masyarakat Kamboja hal ini dapat merusak kehormatan dan reputasi keluarga. 6. Jaringan untuk memantau dan menyelidiki kasus, terutama di provinsiprovinsi sangat lemah bahkan tidak ada. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya-upaya yang bertujuan untuk peningkatan kesadaran terhadap hak-hak anak serta kampanye mengenai bahayanya tindakan kejahatan seksual, tetapi pengetahuan serta kesadaran masyarakat masih sangat kurang. Sehingga masih banyak masyarakat yang terjebak dalam kondisi eksploitatif. Hambatan-hambatan tersebut yang kemudian 504
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
mengakibatkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah menjadi kurang efektif sehingga masih banyak kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang tidak terungkap, ditambah dengan sebagian besar pelaku tidak dihukum sesuai perbuatan mereka hal ini berakibat pada masih terus meningkatnya tindak kejahatan seksual yang terjadi di Kamboja. Namun dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut, telah dicapai beberapa hasil yang cukup signifikan, banyak korban yang dibantu dan diselamatkan. Selama periode 2005-2007 telah banyak korban perdagangan manusia lintas batas negara yang dipulangkan secara resmi ke Kamboja. Sejak tahun 2005-2007 sebanyak 28 warga Kamboja yang menjadi korban perdagangan manusia berhasil dipulangkan dari Malaysia, 578 korban perdagangan manusia dari Thailand, dan 430 korban dari Vietnam. Selain itu 25 warga Vietnam yang menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja berhasil dipulangkan. Selama tahun 2005 – 2007 setidaknya ada 1.061 korban perdagangan manusia telah secara resmi dipulangkan ke negara asal mereka. (www.no-trafficking.org). Kemudian selama periode 2006 - 2008, 58 kasus perdagangan domestik diselidiki melibatkan 91 pelaku, dan 43 kasus perdagangan lintas batas negara diselidiki melibatkan 70 pelaku. Pada tahun 2008 saja, ada 854 korban trafficking yang diselamatkan; 580 dikirim kembali ke keluarga mereka; 89 dikirim ke LSM dan 185 dikirim ke Kementerian Sosial, Veteran dan Urusan Pemuda untuk rehabilitasi. (www.cambodia.ohchr.org) Meskipun pemerintah belum berhasil menangkap seluruh pelaku kejahatan seksual terhadap anak, karena kegiatan mereka yang terselubung dan dilakukan oleh sindikat kejahatan yang terorganisir dengan baik, namun upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah telah membawa hasil yang cukup signifikan terhadap peningkatan jumlah korban yang dibantu / diselamatkan. Sejak oktober 2009 oktober 2010 pemerintah Kamboja telah berhasil menyelediki 149 kasus yang melibatkan 224 pelaku dan 742 korban. (www.cambodia.ohchr.org) Kesimpulan Dalam menangani perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual yang melibatkan anak-anak, ada beberapa upaya yang ditempuh oleh pemerintah Kamboja pada tahun 2000 - 2010, yaitu : Pemerintah menerapkan berbagai program kerja yang dikembangkan dalam sebuah Rencana Aksi Nasional untuk menangani perdagangan dan eksploitasi seksual anak. Dalam RAN tersebut pemerintah melakukan kerjasama dengan organisasi internasional non pemerintah yaitu ECPAT yang memiliki fokus permasalahan pada penghapusan segala bentuk ESKA. ECPAT berperan dalam membantu pemerintah dalam melaksanakan program-program kerja untuk mengatasi masalah tersebut seperti melaksanakan kampanye peningkatan kesadaran terhadap bahayanya kejahatan seksual terhadap anak, lokakarya yang dilakukan untuk para pemilik hotel, guest house, dan agen-agen perjalanan agar
505
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
tidak terlibat dalam segala tindakan yang mengarah pada ESKA, serta memantau pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) Kamboja. Selain itu pemerintah Kamboja juga melakukan kerjasama dengan pemerintah Thailand untuk mengatasi perdagangan manusia lintas batas negara dari dan menuju Thailand serta Kamboja. Kerjasama yang dilakukan dengan Thailand juga bertujuan untuk membantu para korban untuk pulang ke negara asal mereka. Di bidang hukum, pemerintah Kamboja memulai upayanya dengan mengimplementasikan Konvensi Hak Anak dan Protokol Opsional tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak melalui pendekatan berbasis hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak yang berfungsi sebagai dasar untuk program-program perlindungan terhadap anak. Prinsip-prinsip nondiskriminasi, keutamaan kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk kelangsungan hidup dan pengembangan serta rasa hormat adalah inti dari program, proyek dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 2008, pemerintah memberlakukan Undang-undang tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menekan tindak perdagangan manusia dan eksploitasi seksual yang berfungsi untuk melindungi hak-hak dan martabat manusia, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan warga negara, melestarikan dan meningkatkan kebiasaan nasional yang baik, dan untuk menerapkan protokol PBB atau instrumen atau perjanjian internasional lainnya tentang perdagangan manusia di Kamboja. Dari upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah, beberapa pencapaian penting telah dihasilkan daru upaya tersebut yaitu telah banyak korban yang dibantu dan selamatkan. Selama tahun 2005 – 2007 setidaknya ada 1.061 korban perdagangan manusia yang secara resmi telah dipulangkan ke negara asal mereka. Pada tahun 2008 saja, ada 854 korban trafficking yang diselamatkan; 580 dikirim kembali ke keluarga mereka; 89 dikirim ke LSM dan 185 dikirim ke Kementerian Sosial, Veteran dan Urusan Pemuda untuk rehabilitasi. Selama periode 2006 – 2008, 58 kasus perdagangan domestik telah diselidiki melibatkan 91 pelaku, dan 43 kasus perdagangan lintas batas negara melibatkan 70 pelaku. Pada tahun 2009, The Capital and Provincial Courts Cambodia telah menghukum 112 pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Lalu tahun 2010, telah mengambil tindakan pada 87 kasus perdagangan manusia yang melibatkan 122 pelaku dan kasus eksploitasi seksual komersial anak yang terdiri dari 55 kasus yang diadili yang kemudian menghukum 76 pelaku. Pemerintah Kamboja telah melakukan banyak usaha untuk menangani kejahatan seksual terhadap anak melalui berbagai program kerja, kebijakan-kebijakan serta kerjasama dengan berbagai pihak. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Kamboja ternyata menemukan hambatan-hambatan di dalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan tersebut di antaranya sumber daya manusia
506
Upaya Pemerintah Kamboja Menangani Human Trafficking (Mikha Roslina A)
yang tidak memadai untuk menangani masalah tersebut seperti melakukan investigasi, menindaklanjuti kasus, dan penyelamatan terhadap korban, lemahnya sistem penegakan hukum, kurangnya koordinasi antar tiap-tiap department yang telah di bentuk oleh pemerintah untuk menangani masalah tersebut, sulitnya mendapatkan informasi yang akurat mengenai para korba karena kegiatan perdagangan manusia yang terselubung, serta aspek kehidupan masyarakat seperti pernikahan dini dan kurangnya pengawasan terhadap anak di rumah mengakibatkan jumlah dari korban kejahatan seksual tetap meningkat dan sulit untuk diatasi. Hambatan-hambatan tersebut yang kemudian mengakibatkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah menjadi kurang efektif sehingga masih banyak kasuskasus kejahatan seksual terhadap anak yang tidak terungkap, ditambah dengan sebagian besar pelaku tidak dihukum sesuai perbuatan mereka hal ini berakibat pada masih terus meningkatnya tindak kejahatan seksual yang terjadi di Kamboja. Menurut data dari kepolisian Kamboja, pada tahun 2001 jumlah korban kejahatan seksual terhadap anak sebanyak 110 orang meningkat menjadi 300 orang pada tahun 2004 dan menjadi 590 orang pada tahun 2007. Masih banyak kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang belum terungkap yang melibatkan lebih banyak korban lagi. Sulit untuk mendapatkan data pasti mengenai jumlah korban, hal ini karena kegiatan terjait ESKA merupakan kegiatan ilegal dan tersembunyi yang melibatkan para pelaku yang memiliki jaringan terselubung yang terorganisir dengan baik. Referensi Buku Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah Holsti, K. J. 1995. International Politics : A Framework For Analisis. New Jersey : Prentice. terjemahan Wawan Juanda. 1997. Politik Internasional : Suatu Kerangka Analisis. Bandung : Bina Cipta Mustopadidjaja. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi & Evaluasi Kerja, Lembaga Administrasi Negara, Republik Indonesia, Jakarta : Duta Pertiwi Foundation Rudy, T. May. 1998. Teori Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional. Bandung : Refika Aditama Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik : Teori & Proses. Jakarta : Media Pressindo Skripsi: Antonius Gabriel Liah, “Peran ECPAT dalam Menangani Masalah Child Sex Tourism (CST) di Indonesia” Universitas Mulawarman, Samarinda, Unpublised. Media Internet: Child Wise, Child Abuse and Exploitation in Cambodia : Emergency Reporting, diakses melalui http://www.childwisecambodia.net/Child-Abuse-andexploitation-in-Cambodia/ pada tanggal 12 September 2013 507
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 495-508
ECPAT Cambodia, Against the Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC), diakses melalui : http://www.ecpatcambodia.org/index.php?menuid=2&submenuid=4&men uname=What%20We%20Do pada tanggal 13 Desember 2013 ECPAT Internasional, Global Monitoring : Status of Action Against Commercial Sexual Exploitation of Children Cambodia, diakses melalui http://resources.ecpat.net/EI/Pdf/A4A_II/A4A_V2_EAP_CAMBODIA.pd f tanggal 18 Oktober 2013 Flowers, Ronald B. 2006. Sex Crimes: Perpetrators, Predators, Prostitutes, and Victims, Michigan : Charles C Thomas Publisher GAATW, Collateral Damage : The Impact of Anti-Trafficking Measures on Human Rights around the World, diakses melalui http://www.gaatw.org/Collateral%20Damage_Final/singlefile_CollateralD amagefinal.pdf pada tanggal 6 Maret 2014 International Development Low Organization (IDLO), Human Trafficking (Perdagangan Manusia), diakses melalui http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf pada tanggal 3 Maret 2014 Kingdom of Cambodia, First and Second National Report on The Implementation of the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography 2002 – 2010, diakses melalui http://cambodia.ohchr.org/WebDOCs/DocTreatyBodies/CRC/OPSC_to_C RC-Eng.pdf pada tanggal 13 Mei 2014 SEAMEO, Impact of Child Trafficking on the Children and their Communities : Chapter 7, diakses melalui http://www.seameo.org/vl/combat/7chap.htm pada tanggal 11 Maret 2014 UNICEF, Cambodia Background, diakses melalui http://www.unicef.org/infobycountry/cambodia_2190.html pada tanggal 26 Februari 2014 World Vision, Fact Sheet : Trafficking for the Purpose of Sexual Exploitation, diakses melalui http://www.worldvision.com.au/Libraries/DTL_fact_sheets/Factsheet_Sex ual_exploitation.pdf pada tanggal 12 Desember 2013
508