eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2017, 5(1) 143-158 ISSN 2477-2623 (online), ISSN 2477-2615 (print), ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2017
UPAYA PEMERINTAH MALAYSIA DALAM MENANGANI PENDUDUK TANPA KEWARGANEGARAAN (STATELESS) DI SABAH 2010-2015 Melisa Binti Hassan1 Nim.1202045001 Abstract Stateless is critical issue in Sabah, therefore it become an important Malaysian Government's efforts in dealing with people without citizenship (stateless) in Sabah from 2010 to 2015. The effort made by the Malaysian government is making policy through mydaftar program, mykas card, IMM3 card fitting and shaping legislation Seksyen 55 Immigration deed. But there are several obstacles is due to the lack of recognition of the international conventions on stateless, the attitude of indifference neighboring countriesand corruption Keywords :Stateless, Malaysian Goverment Effort Pendahuluan Memiliki status ke merupakan hak setiap manusia untuk bertahan hidup.Ia merupakan prasyarat untuk menikmati hak mutlak yang melekat dalam diri setiap individu sejak ia dilahirkan yaitu hak asasi manusia. Dengan menjadi penduduk suatu negara, setiap individu mendapatkan jaminan keamanan, keadilan, kesejahteraan, kebebasan dan keteraturan yang diberikan oleh negara kepada semua warganegaranya.Hal ini jelas menunjukkan bahwa hak mendapatkan pengakuan sebagai penduduk dalam suatu negara sangat penting karena menjadi ikatan hukum antara keduanya. Pengakuan kewarganegaraan juga dibahas dalam hukum internasional yaitu Universal Declaration of Human Right 1948 , Convention to the Relating of Stateless persons 1954, Convention on the Reduction of Statelessness 196I, International Convention on Civil and Political Rights 1966 dan Convention on the Right of Child 1989. Meskipun sudah ada regulasi internasional yang memberi jaminan atas hak mendapatkan pengakuan suatu negara kepada setiap individu, namun menurut United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) masih terdapat sekitar 12 ribu orang yang tidak memiliki kewarganegaraan di seluruh dunia.Stateless Person atau orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan diartikan sebagai seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun. Stateless Person merupakan individu yang tidak mempunyai dokumen atau identitas diri yang disebabkan dari berbagai permasalahan seperti seseorang yang lahir di sebuah negara yang tidak menganggap dan mengakui masyarakat tersebut, konflik dan hukum yang terjadi dalam suatu negara, undang-undang pernikahan dalam suatu 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
negara, batas wilayah, praktek administrasi dan kurangnya pendaftaran kelahiran. Dengan tidak adanya pengakuan melalui identitas diri masyarakat Stateless mendapat penolakan untuk memperoleh hak dasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal, tidak mempunyai akses pekerjaan, tidak memiliki properti, tidak bisa menikah secara resmi, tidak bisa mendaftarkan kelahiran anak, terhadap pekerjaan, tempat tinggal, Beberapa dari mereka ditahan dalam jangka waktu yang lama karena ketidakmampuan mereka dalam membuktikan siapa diri mereka sebenarnya dan dari mana asal mereka. Masyarakat stateless juga tidak bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Mereka tidak mempunyai hak dalam berpartisipasi politik, sosial dan ekonomi. Myanmar merupakan negara dengan jumlah paling tinggi tingkat stateless sperson yaitu sebanyak 810,000 orang.Posisi kedua ditempati oleh Cote d’ivoire yaitu sebanyak 700,000.Tempat ketiga Thailand sebanyak 506,000. Dalam daftar 20 negara tertinggi tingkat stateless person, terdapat 4 negara Asia Tenggara yang yaitu Myanmar, Thailand, Brunei dan Malaysia di posisi ke-12 dunia. Hal ini jelas membuktikan bahwa stateless menjadi permasalahan krusial di Asia Tenggara. Tingginya tingkat stateless di Malaysia disebabkan oleh migrasi penduduk dari negara tetangga, undang-undang kewarganegaraan yang ketat, Keenganan Malaysia untuk meratifikasi konvensi internasional tentang stateless,sikap apatis dan ketidakpedulian negara penyumbang masyarakat stateless, dan tidak adanya hukum nasional dan aturan jelas yang mengatur tentang stateless. Di Malaysia terdapat 4 kelompok utama yang disebut sebagai stateless atau berisiko sebagai statelessness : Pelarian dari Myanmar, keturunan India yang berada di Malaysia, masyarakat tradisional yang nomadic (komunitas Bajau Laut / Sama Dilaut yang tinggal di dalam perahu), dan anak-anak pelarian dari Filipina dan migran dari Indonesia di Sabah. Sabah merupakan wilayah Malaysia yang mempunyai populasi immigran yang tinggi dimana immigran tersebut dibagi menjadi 3 kategori yaitu pelarian, buruh yang bekerja secara resmi dan illegal migran sehingga wilayah ini mempunyai tingkat stateless yang tinggi. Diperkirakan dari 3.2 juta penduduk Sabah, sekitar 1.9 juta merupakan penduduk yang tidak mempunyai identitas diri . Sekitar 750,000 jiwa illegal dan diantara 30,000 - 50,000 adalah stateless dan sekitar hampir 15,000 adalah anak-anak dibawah umur 12 tahun. Keberadaan dari Stateless lambat laun menimbulkan dampak dari segi keamanan negara, kesehatan, sosial masalah kewarganegaraan, ekonomi dan berdampak terhadap hubungan luar negeri Malaysia dengan negara penyumbang seperti Filipina dan Indonesia. Kerangka Dasar Teori Konsep Stateless Dibawah hukum internasional, stateless persons adalah seseorang yang tidak diakui kewarganegaraaannya secara nasional oleh satupun negara manapun dan berdasarkan hukum nasionalnya. Orang yang tak bernegara secara de jure (hukum) terkadang merupakan orang yang "tidak dianggap sebagai seorang warga negara oleh suatu negara dibawah operasi hukumnya". Orang yang tak bernegara secara de facto (fakta) adalah orang yang berada di luar negara dari kewarganegaraannya dan tidak jelas atau, untuk alasan-alasan valid, tidak mendapatkan perlindungan dari negara tersebut.(UNHCR, 2006:23-24).
144
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
Masyarakat di wilayah Sabah yang merupakan generasi kedua yaitu anak pengungsi yang berasal dari Filipina dan Ilegal migran dari Indonesia merupakan individu yang berpotensi stateless berdasarkan ciri yang dituliskan oleh peneliti Internasional berdasarkan beberapa ciri seperti tidak mempunyai dokumen diri, anak yang lahir dari orangtua yang stateless, tidak diakui di wilayah tempat tinggal ia berada, tidak bisa membuktikan siapa dirinya hingga tidak mampumengurus dokumen diri. Individu dianggap sebagai orang yang tidak memilki kewarganegaraan jika secara hukum, negara yang ia tinggal dan berasal gagal untuk mengakuinya. Di Sabah, anak-anak yang berpotensi stateless memiliki kedekatan dengan Malaysia karena mereka lahir di sana namun tidak diakui oleh pemerintah Malaysia. Hal yang paling penting adalah akankah pemerintah Indonesia dan Filipina mengakui anak tersebut karena tidak adanya dokumen diri dari orang tua mereka.Selain itu Kebijakan Malaysia dalam melakukan pendeportasian bagi setiap orang yang tidak memilki dokumen diri menyebabkan beberapa keluarga terpisah dari anak-anaknya sehingga anak tersebut tidak mengetahui asal usul keluarganya dan tidak mampu mengurus dokumen diri. Maka penulis menyimpulkan bahwa setiap individu khususnya masyarakat Sabah yang tidak memiliki dokumen diri adalah stateless namun statusstateless tidak permanen, jika sekiranya individu tersebut mengurus dan akhirnya memperoleh dokumen diri maka status tersebut akan terhapus. Konsep Kebijakan Publik Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut, bisa disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan oleh pemerintah yang berorientasi pada suatu tujuan tertentu, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan publik atau demi kepentingan politik.Kebijakan ini juga memiliki sifat yang memaksa dan mengikat karena tertuang dalam ketentuan dan peraturan perudang-undangan. David Easton dalam bukunya yang berjudul An Approach to the Analysis of political system mengatakan bahwa kebijakan sebagai suatu respon terhadap kekuatan lingkungan (sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, keamanan, geografis dan sebagainya) yang terdapat atau lingkupi sistem politik tersebut. Sistem tersebut terdiri dari sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat berfungsi merubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports) dan sumber-sumber (resourse) menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang bersifat otoritatif (sah dan mengikat) bagi seluruh anggota masyarakat. Metodologi Penelitian Untuk menjelaskan penelitian ini, peneliti menggunakan deskriptif eksplanatif yang menggambarkan mengenai upaya pemerintah Malaysia dalam menanangani permasalahan Stateless di Sabah, Malaysia. Teknik Analisis data adalah teknik
145
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
analisis Kualitatif yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan kasus-kasus yang berangkat dari hal yang umum dan memiliki kawasan yang luas menuju hal yang bersifat khusus dan spesifik, layaknya pramida terbalik, serta penelitian berdasarkan survei yang mendalam mengenai kasus tertentu, analisisnya tidak menggunakan perhitungan dalam analisa statistik. dalam menganalisis data yang diperoleh dengan maksud untuk memaparkan dengan jelas bagaimana pemerintah Malaysia dalam menanggulangi permasalahan Stateless di Sabah, Malaysia. Hasil Penelitian Upaya Pemerintah Malaysia Dalam Menangani Masalah Penduduk Tanpa Kewarganegaraan (Stateless) di Sabah. 1. Program Pendataan Ulang (MY Daftar) Walaupun tidak adanya pengakuan tentang konvensi internasional mengenai stateless, refugees dan asylum, pemerintah Malaysia telah menandatangani konvensi internasional tentang hak bagi setiap anak. Dalam artikel nomer 7 Konvensi on theRight of the Child jelas menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendaftarkan kelahiran dan memiliki kewarganegaraan.Atas Dasar ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu pemberian akta kelahiran kepada semua anak yang lahir di wilayah Malaysia mengikut jenis kewarganegaraan anak tersebut.Kewarganegaraan anak yang didaftarkan bergantung kepada kewarganegaraan orang tuanya. Pada tanggal 1 November 2008, Kementerian dalam Negeri (KDN) telah membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Jawatankuasa Task Force. Jawatankuasa Task Force dibentuk untuk menyelesaikan permohonan izin masuk dan masalah kewarganegaraan yang tidak bisa tertuntaskan.Selain itu, organisasi ini juga berperan untuk menangani masalah rakyat yang tidak memilki akta kelahiran dan identitas diri.Walaupun telah adanya beberapa kebijakan akta kelahiran yang baru namun tetap saja anak stateless yang lahir di wilayah Malaysia tidak bisa memperoleh kewarganegaraan karena adanya persyaratan yang pembuatan akta kelahiran yang ketat.Dibawah Jawatankuasa Task Force, program MyDaftar diperkenalkan pada tanggal 26 November 2008 yang dilakukan secara bertahap di seluruh negeri bagian di Malaysia. Program Mydaftar 1, mulai diberlakukan tepat pada tanggal ia diperkenalkan hingga 14 Februari 2009 yang hanya dilaksanakan di beberapa wilayah Malaysia seperti Perak, Pahang, Johor, Kuala Lumpur, Selangor dan Negeri Sembilan. Hasil daripada program tersebut, Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) telah menerima sebanyak 196 permohonan.150 Kasus permohonan daftar akta kelahiran telat dan 46 kasus daftar kartu identitas telat. Dari 150 permohonan pendaftaran akta kelahiran yang telat, sebanyak 37 orang merupakan suku Melayu, 111 adalah orang India, 1 suku Cina dan satu orang suku Asli. Manakala untuk permohonan kartu identitas, kasus yang terdaftar sebanyak 46 permohonan yang terdiri dari 9 suku Melayu, 36 suku India dan 1 kaum Cina. Program mydaftar II dilaksanakan pada 26 November 2009 hingga 14 Febuari 2010.Program kedua ini dilaksanakan di Negeri Terengganu, Kelantan, Melaka, Pulau Pinang dan Kedah. Sebanyak 90 permohonan yang diterima seperti Dari 90 kasus permohonan di wilayah Mydaftar II, 52 permohonan untuk pendaftaran telat kartu identitas.7 orang merupakan suku Melayu, 3 suku Cina
146
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
dan 42 suku India.Bagi permohonan akta kelahiran, 8 suku Melayu, 2 suku Cina dan 28 suku India. Seperti tahun sebelumnya, program Mydaftar III diperkenalkan pada 26 November 2010 dan berakhir pada 14 Febuari 2011.Karena batas penelitian penulis adalah di wilayah Sabah, maka untuk program mydfatar III ini penulis membagikan kategori ke negeri bagian.Program ini dilaksanakan di tiga negeri bagian Malaysia lainnya seperti Wilayah persekutuan Labuan, Sarawak dan Sabah.Dari program ini diterima 450 kasus yang telah diproses.63 kasus di wilayah Labuan, 102 di negeri Sarawak dan 285 di negeri Sabah. Sebanyak 3.989 orang yang mendaftar di negeri ini namun hanya 285 yang akan diproses dan diberikan kewarganegaraan. 3.704 lainnya di daftar tunggu dan melanjutkan proses penyiasatan. Khusus untuk negeri bagian ini, Jawatankuasa Task Force hanya menerima permohonan akta kelahiran dan membagi tim untuk permohonan kartu identitas. Dari sekitar 35 etnik di Sabah, organisasi ini hanya meloloskan 7 etnik yang terdiri dari bukan suku asli Sabah, namun memenuhi kriteria untuk mendapatkan akta kelahiran bewarganegara Malaysia. 73 dari etnik Bugis, 58 Jawa, 3 Buton, 31 Sino kadazandusun, 40 Banjar, 53 Bidayuh dan 27 Orang dari suku Cocos. 2. Program Indentifikasi Stateless (Pas IMM13). Pada tahun 1970an terjadinya konflik agama dan politik di Zamboanga, Mindanao Filipina sehingga memaksa penduduk di sana mencari tempat perlindungan hingga ke wilayah Sabah. Atas dasar kemanusiaan, pemerintah Malaysia telah menempatkan 6 kem pengungsi di beberapa wilayah di Sabah seperti Kota Kinabalu, Sandakan, Tawau, Semporna dan Labuan. Masyarakat Filipina ini datang ke wilayah Sabah tanpa identitas diri yang jelas seperti paspor mahupun identitas diri rakyat Filipina.Hal tersebut menimbulkan dampak seperti adanya penduduk yang tidak memiliki identitas diri.Melihat hal ini, pemerintah Malaysia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru yaitu mengakui kehadiran pengungsi ini dengan memindahkan undang-undang paspor (pengecualian)(no.2) 1966 ke (pengecualian)(No.2) 1972. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, pemerintah Malaysia telah mengeluarkan kartu lawatan HIF22 kepada semua pengungsi dengan bayaran sebanyak RM 20.00 (Rp 68,000.00) yang harus diperbaharui dari tahun ke tahun pada setiap 31 Disember. Pembuatan kartu tersebut bertujuan untuk memantau kelompok pelarian dan untuk membedakan mereka dari pekerja-pekerja illegal. Namun pada tahun 1984, atas saran dari UNHCR, Kementerian Imegresen Malaysia (imigrasi) di Sabah mengganti format dan nama HIF22 menjadi kartu IMM 13 karena beberapa alasan seperti para pengungsi tidak diijinkan untuk pulang ke negara asalnya mengingat kondisi dan situasi konflik yang semakin parah. Untuk membuat kartu IMM 13, pemerintah Malaysia mengenakan iuran pembayaran sebanyak RM 90.00 (Rp 280,000.00). Individu yang memilki kartu IMM 13 diijinkan untuk tinggal hanya di wilayah Sabah dan juga bisa bekerja tanpa harus memperoleh visa kerja tetapi hanya di beberapa sektor pekerjaan seperti bisnis, konstruksi, jasa dan transportasi. 3. Penerbitan Pas Hijau (MY KAS) Dengan adanya permasalahan stateless atau masyarakat yang tidak memiliki kewarganegaraan, pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan yaitu pemberian identitas diri yang diperkenalkan dengan nama MY KAS yaitu identitas diri yang
147
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
berstatus sementara. Kartu tersebut dikeluarkan di bawah peraturan 5(3)(C) Peraturan- Peraturan Pendaftaran Negara 1990 dan diamendemen pada tahun 1991 menjadi peraturan 5(3)(ii). Ciri kartu tersebut adalah terdapat tanggal expired dan harus diperbaharui dalam tempoh lima tahun dan bewarna hijau. Namun pada Januari 2005 pemerintah memberhentikan pengeluaran My Kas dan mengeluarkan semula pada 6 Oktober 2008 sebulan sebelum diperkenalkan lembaga khusus yaitu Jawatankuasa Task Force. Pemohon My Kas adalah individu yang berstatus stateless dan lahir di wilayah Malaysia dibuktikan dengan akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia dengan status bukan warganegara atau daftar orang asing. Pemegang My Kas ini tidak memilki hak untuk berpartisipasi dalam politik, tidak bisa bekerja di bidang profesional, tidak bisa bersekolah di sekolah negeri, dikenakan biaya perobatan sama seperti warganegara asing, tidak bisa memiliki properti seperti rumah dan mobil dan tidak akan ditangkap ataupun dideportasi. Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 38672 pemegang kartu ini dan pada tahun 2015, tercatat sebanyak 8616 orang diperkirakan sekitar 30,056 tidak melakukan pendaftaran ulang. 4. Pemberian Sanksi Melalui Pembentukan Kerangka Legislasi. Adanya migrasi besar-besaran dari Filipina memaksa pemerintah Malaysia membuat kerangka legislatif melalui seksyen 55 akta Imegresen. Seksyen ini memperbolehkan pihak Menteri untuk bisa mengeluarkan perintah pengecualian orang untuk dilindungi secara mutlak dan tidak akan dikenakan sanksi atau hukuman bagi individu yang melintasi batas negara tanpa memilki sebarang dokumen. Individu yang diberikan kelonggaran tersebut adalah masyarakat pencari suaka yang memegang kartu IMM 13.Berbeda jauh dengan pencari suaka para migran yang datang secara illegal ke wilayah Malaysia dengan alasan politik mahupun ekonomi, akan dikenakan kerangka legislatif Akta Imigresen 1959/63 (Akta 155). Akta ini merupakan kerangka legislatif utama bagi sistem imigresen di Malaysia.Seseorang yang melintasi batas negara tanpa membawa sebarang identitas yang sah, telah melanggar seksyen 5,6,8,9 dan 15 dalam Akta Imigresen 1959/63. Dalam seksyen tersebut termasuklah kesalahan keluar dan masuk di wilayah Malaysia melalui jalan yang tidak diijinkan, masuk dan tinggal di Malaysia tanpa pas atau identitas yang sah, masuk dan tinggal di Malaysia setelah pas atau permit berakhir dengan tamat tempoh penggunaan maupun dibatalkan oleh Ketua Pengarah Imigresen Malaysia karena alasan tertentu. Kesemua kesalahan ini dikenakan hukuman yang paling berat dengan denda sebanyak RM 10 ribu (sekitar Rp 35 Juta) dan juga lima tahun penjara atau keduanya. Sementara hukuman yang teringan adalah denda atau penjara enam bulan. Seseorang yang didapati melanggar bersalah akan ditangkap, dibawah Akta Imigresen 1959/63 (Akta 155), Akta Penjara 1995 (Akta 537), Peraturan Penjara 2000 dan Peraturan (Pentadbiran dan Pengurusan Depot Tahanan) Imigresen 2003. Individu yang ditangkap, ditahan sehingga 14 hari sebelum dibawa ke pengadilan yang diadili oleh Majistret. Majistret kemudian akan mengeluarkan perintah untuk menahan selama tempoh yang diperlukan oleh pihak Polisi dan Imigrasi Malaysia untuk melakukan penyiasatan. Setelah berakhirnya proses penyiasatan, individu tersebut akan dipindahkan (akta imigresen 1959/63, 51(5)(b)) dan dibawa ke penjara yang telah ditetapkan dan ditahan selama 30 hari sehingga perintah pengalihan atau deportasi dibuat (seksyen 35). Seksyen 34(1)
148
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
difokuskan untuk individu yang telah diperintah untuk dideportasi, boleh ditahan untuk tempoh waktu yang perlu sehingga pengurusan pendeportasian selesai. Kebijakan lain yang turut digunakan yaitu Akta Paspot 1966 (AKTA 150) berkaitan dengan pentingnya memilki paspor untuk masuk dan meninggalkan wilayah Malaysia termasuk harus memilki visa yang relevan dengan tujuan perjalanan. 5. Kerjasama Malaysia dan Indonesia. Sebagai negara yang mempunyai peran penting dalam permasalahan stateless ini yaitu migrasi ke Sabah berasal dari rakyat Indonesia, sebuah kesepakatan telah dicapai diantara kedua negara. Salah satu kerjasama Malaysia dan Indonesia adalah di bidang pendidikan. Sebelum Tahun 2002, bebas bekerja dan menyekolahkan anaknya tanpa identitas. Tetapi setelah dikeluarkan Akta Perburuhan Tahun 2001 dan Akta Pendidikan Tahun 2001, kegiatan mereka dibatasi. Semua pekerja asing harus memiliki dokumen lengkap dan semua pelajar asing juga harus memiliki dokumen lengkap. Pemerintah Malaysia dapat menerima pelajar asing yang akan belajar di sekolah-sekolah Malaysia baik sekolah Kerajaan (Sekolah Negeri) maupun sekolah swasta sepanjang dapat memenuhi ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan. Beberapa persoalan yang kadangkadang sulit dipenuhi oleh pelajar warganegara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, antara lain dokumen pribadi anak, status keimigrasian orang tua, tempat tinggal dan ketersediaan tempat. Pada pertemuan Annual Consultation 2004 antara Presiden Megawati dan Perdana Mentri Abdullah Ahmad Badawi disepakati bahwa Indonesia akan mengirim guru-guru ke Sabah untuk membantu pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Kesepakatan ini belum dapat dilaksanakan. Pada Annual Consultation2006, antara Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan PM Abdullah Ahmad Badawi di Putrajaya, pengiriman guru dibicarakan kembali. Consultation ini menyepakati pengiriman guru Indonesia ke Sabah. Namun masih banyak anak Indonesia yang belum memperoleh pelayanan pendidikan. Berdasarkan survei yang dilaksanakan oleh KJRI Kota Kinabalu pada tahun 2006 terdapat 24.199 anak dan yang memperoleh pendidikan hanya 7000 anak. Bertolak dari keadaan tersebut maka dirasakan perlunya sekolah yang dapat melayani pendidikan secara memadai sehingga perlu didirikan sekolah formal yang menggunakan kurikulum Indonesia. Sehingga pada Annual Consultation antara Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan PM Abdullah Ahmad Badawi dibahas mengenai pembentukan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Menteri Luar Negeri Indonesia melalui surat nomor 120/DI/VI/2008/02/01 tanggal 16 Juni 2008 mengajukan permintaan kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk mendirikan Sekolah Indonesia di Kota Kinabalu. Surat permintaan tersebut ditindaklanjuti oleh Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dengan pembentukan Panitia Penyaluran Dana Subsisdi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu dengan Ketua Panitia Abas Basori dan pengiriman dana dari Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu.
149
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
6. Kerjasama Malaysia dan UNICEF. Ketidakhadiran Filipina sebagai negara yang seharusnya bertanggungjawab dalam peningkatan jumlah stateless di Sabah membuat permasalahan tersebut semakin rumit. Jika pemerintah Indonesia berupaya untuk melindungi hak anakanak stateless dengan memberikan fasilitas seperti sekolah, pemerintah Filipina justru tidak melakukan sebarang upaya. Namun kehadiran United Nations Children’s Fund atau UNICEF sebagai organisasi internasional yang berperan dalam melindungi hak-hak anak, menanggulangi kemiskinan, kekerasan, wabah penyakit, dan diskriminasi turut berpartisipasi dalam menangani permasalahan stateless di Sabah. Begitu juga dengan Malaysia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi on the right of child menerima semua bentuk kerjasama untuk pendidikan setiap anak termasuk anak yang stateless. Salah satu yang menjadi fokus UNICEF dalam pelaksanaan program melindungi hak anak adalah di kampung Numbak. Kampung Numbak merupakan desa yang di bangun di atas air yang terletak sekitar 25 km dari ibukota negara bagian Kota Kinabalu, terletak di sepanjang garis pantai Sepanggar Bay. Kawasan ini dihuni oleh para migran dari Filipina yang mayoritas tidak memiliki dokumen diri. Berdasarkan sejarah, Kampung ini sudah didirikan bertahun-tahun oleh penduduk asli namun atas dasar pembangunan pemerintah Sabah memindahkan penduduknya ke wilayah daratan. Kampung Numbak Baru 1 dan Kampung Numbak Baru 2 yang kemudian dibangun secara bertahap hingga 2007 untuk rumah pengungsi dan orang-orang yang tidak berdokumen. Ada sekitar 5.000 desa di Kampung Numbak dan total 3.000 orang memegang kewarganegaran Malaysia. Mayoritas penduduk desa, sekitar 70%, bekerja 30% merupakan penduduk desa bergantung pada perikanan sebagai utama mereka sumber pendapatan. Sebanyak 60% dari penduduk desa adalah Bajau Ubians dan sekitar 30% adalah Suluks. Departemen Pendidikan (MOE) dari UNICEF melakukan penelitian pada tahun 2009 dan menemukan 43 973 anak-anak yang tidak memiliki dokumen. Oleh itu dengan izin pemerintah Malaysia, pusat pembelajaran Kampung Numbak Educare Centre (NEC) adalah secara resmi dibuka pada 26 Maret 2011 yang bertujuan untuk memastikan semua pengungsi dan anak tak tercatat dapat memperoleh pengetahuan dasar seperti kewarganegaraan, studi agama, membaca, menghitung dan menulis. Target jangka panjang adalah untuk memberikan anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar bisa mandiri dan mendapatkan pekerjaan. NEC didirikan oleh UNICEF, MOE Malaysia, Dinas Pendidikan Sabah Satuan Tugas Khusus (FSTF), dan GuruGuru Malaysia. Salah satu alasan masih terdapat masyarakat yang tidak memiliki kewarganegaraan di Sabah, dapat dilihat dari efektif atau tidaknya aturan hukum yang telah memberikan perlindungan hukum ataupun pemberian kewarganegaraan terhadap seseorang. Untuk dapat menentukan suatu aturan hukum dapat berjalan efektif atau tidak, Lawrence M Friedman dalam efektifitas kebijakan publik tiga komponen yang mempengaruhi efektifitas suatu aturan hukum, yaitu substansi, struktur dan budaya hukum tersebut. Sebuah kebijakan bisa efektif jika antara substansi, struktur dan budaya saling berhubungan satu dengan yang lain. Terdapat beberapa hal yang harus dihadapi oleh
150
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
pemerintah Malaysia agar upaya menangani stateless bisa terealisasi dengan maksimal. Pertama,komponen substansi mengenai aturan dan norma yang mengatur permasalahan tersebut. Pemerintah Malaysia sebagai telah merumuskan berbagai kebijakan seperti program pendataan ulang (my daftar), Program Indentifikasi Stateless (Pas IMM13), penerbitan kartu identitas penduduk sementara dan penyataan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Malaysia dalam menanggulangi permasalahan penduduk tanpa kewarganegaraan di Sabah. Regulasi tersebut adalah seksyen 55E (7) Akta Imigresen 1959/63. Walaupun telah melakukan berbagai upaya, namun upaya tersebut menjadi kurang efektif dikarenakan berbagai hal seperti, program pendataan ulang (my daftar). Program ini hanya dilakukan sekali saja dengan waktu tertentu iaitu program my daftar 1 pada tanggal 14 Februari 2009 di wilayah Perak, Pahang, Johor, Kuala Lumpur, Selangor dan Negeri Sembilan. Seterusnya diadakan pula program my daftar 2 pada tanggal 26 Nopember 2009 di wilayah Terengganu, Kelantan, Melaka, Pulau Pinang dan Kedah dan terakhir di wilayah Persekutuan Labuan, Sarawak dan Sabah pada tanggal 14 Februari 2011. Program pendataaan ulang ini hanya dilakukan sekali dan dalam jenjang waktu yang sangat singkat sehingga hanya bisa mendata sekitar 285 orang di wilayah Sabah. Jenjang waktu yang sangat singkat ini sudah tentu menjadi hambatan bagi penduduk tanpa kewarganegaraan dalam mendaftarkan diri. Begitu juga dengan Program Identifikasi Stateless danidentitas penduduk sementara(Pemberian pas IMM13). Program ini dianggap tidak efektif karena pemegang kartu tersebut hanya memegang kartu ini dengan diperpanjang setiap tahun namun tetap tidak bisa memiliki properti, bekerja di bidang profesional, tidak bisa bersekolah di sekolah negeri, dikenakan biaya perobatan yang tinggi dan tidak bisa memperoleh kewarganegaraan Malaysia. Kebijakan ini sudah tentu bukan langkah yang efektif dalam menangani permasalahan stateless. Pemberian kedua identitas diri tersebut hanya bertujuan untuk melakukan pendataan penduduk tanpa kewarganegaraan namun tetap saja mereka tidak memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan Malaysia. Pemerintah Malaysia tidak melampirkan kelanjutan dalam program tersebut. Pemegang kartu My Kas tidak bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan dan hanya bisa memegang kartu tersebut seumur hidup. Selain itu, regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Malaysia dalam melalui seksyen 55E (7) Akta Imigresen 1959/63 pendatang asing tanpa izin (PATI). Upaya perdeportasian yang dilakukan Malaysia kurang efektif karena individu yang didepotasi akan kembali lagi mengingat telah lahir di Sabah dan memiliki keluarga selama betahun-tahun sehingga sudah tidak bisa menjejaki keluarga di negara asal. Seharusnya pemerintah Malaysia mengeluarkan sanksi yang bisa membikin efek jera seperti pemenjaraan dalam kurun waktu yang lama. Undang-undang pemerintah Malaysia tentang kewarganegaraan juga memiliki peran terhadap Statelessness di Sabah. Sebagai informasi bahwa Malaysia menganut asas Ius Sanguinis dalam menentukan seseorang sebagai warganegaranya atau tidak. Hal ini dapat diketahui, berdasarkan pasal 5 dari Undang-Undang Kewarganegaraan Malaysia 1958 yang mengatakan bahwa anak-anak yang lahir dari orang tua yang berkewarganegaraan Malaysia adalah warganegara Malaysia semenjak lahir. Oleh karena itu, anak-anak Sabah yang tidak memiliki akta kelahiran berpotensi tidak memiliki kewarganegaraan dikarenakan memiliki orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan.
151
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
Begitu juga dengan tidak adanya hukum yang jelas bagi penduduk tanpa kewarganegaran. Kengganan Malaysia dalam mengakui konvensi internasional mengenai stateless seperti Convention to the Relating of Stateless persons 1954, Convention on the Reduction of Statelessness 196I, International Convention on Civil and Political Rights 1966 dan Convention on the Right of Child 1989 tersebut mendatangkan banyak kebingungan dalam memberlakukan kebijakan, sanksi dan hukuman yang telah dibuat karena status dan kondisi pengungsi, pencari suaka, ilegal migran dan orang-orang yang tidak diakui kewarganegaraanya adalah berbeda. Permasalahan anak yang lahir dan membesar di Sabah namun tidak mendapat pengakuan dengan tidak adanya identitas diri adalah permasalahan yang tidak bisa disamakan dengan hukuman Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) karena mereka tidak pernah melakukan pelanggaran lintas batas negara. Akta Imigresen 1959/63 hanya berlaku bagi seseorang yang telah melanggar wilayah perbatasan tanpa izin secara legal dari pemerintah Malaysia. Komponen yang kedua adalah yang bisa mempengaruhi berlakunya kebijakan secara efektif iaitu struktur. Struktur dalam hal ini adalah Malaysia sebagai negara tempat masyarakat stateless berada. Malaysia beserta aparat penegak hukumnya telah melakukan berbagai upaya dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sebagai komponen struktur pemerintah Malaysia telah melakukan berbagai upaya internal dan eksternal dengan beberapa komponen struktur lainnya seperti UNICEF dan pemerintah Indonesia di bidang pendidikan. Namun dengan kerjasama dalam bidang pendidikan saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Butuh sinergitas di bidang lainnya seperti program pendataan dan di bidang keamanan. Selain itu absennya pemerintah Filipina yang menjadi negara penyumbang terbesar stateless membuat komponen stuktur yang dikemukakan oleh Lawrence membuat kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Malaysia tidak berjalan secara efektif. Selain itu Sabah sendiri sebagai wilayah stateless person dengan jumlah yang terbesar di Malaysia seharusnya merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kondisi stateless di Sabah tanpa harus menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Komponen ketiga yang mempengaruhi suatu kebijakan bisa berhasil secara efektif adalah komponen cultures (budaya hukum). Komponen ini dapat dimaknai sebagai budaya ketergantungan. Dalam menjadi negara industri, tidak bisa dipungkiri bahwa sehingga ke hari ini Malaysia masih bergantung dengan tenaga buruh dari negara tetangga seperti Indonesia dan Filipina. Selain sumber daya manusia yang terbatas, pekerja dari Indonesia dan Filipina dibayar dengan biaya yang murah. Begitu juga dengan masyarakat Indonesia yang bemigrasi ke Sabah karena faktor ekonomi dan kedekatan geografis. Halserupa turut terjadi bagi masyarakat Filipina yang bermigrasi ke Sabah dikarenakan faktor Keamanan dan kedekatan geografis. Selain itu, komponen budaya juga dapat diartikan sebagai sikap beserta prilaku dari Stateless Person dalam hal ini masyarakat Sabah terhadap pelaksanaan dari aturan hukum yang memberikan perlindungan terhadap Stateless Person dan juga kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Malaysia. Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan, trauma mendalam terhadap konflik Mindanao dari masyarakat yang tidak memiliki kewarganegaraan di Sabah menyebabkan mereka tidak mengetahui akan status mereka sebagai Stateless Person. Hal ini menyebabkan banyak dari mereka yang buta huruf dan tidak sadar akan keadaan mereka sebagai Stateless Person. Ketidaktauan mereka akan status mereka menyebabkan mereka tidak mengetahui akan hak dan
152
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
kewajiban mereka sebagai Stateless Person. Mereka hanya beranggapan bahwa mereka bagian dari Malaysia dan hidup terisolasi dikarenakan ketakutan yang timbul atau adanya upaya penangkapan, pemenjaraan dan pendeportasian oleh pemerintah Malaysia. Mereka hanya beranggapan bahwa mereka adalah Sabahan (istilah bagi individu yang lahir di Sabah) dan menetap di Malaysia. Selain itu Kebijakan Malaysia dalam melakukan pendeportasian bagi setiap orang yang tidak memilki dokumen diri menyebabkan beberapa keluarga terpisah dari anak-anaknya sehingga anak tersebut tidak mengetahui asal usul keluarganya dan tidak mampu mengurus dokumen diri. Malaysia melakukan upaya internal dan eksternal dalam menangani stateless. Melalui regulasi ini pemerintah Malaysia sedikit banyak telah bisa mengurangi permasalahan pekerja illegal dan masyarakat stateless. Selain Lawrence, Wiliam Dunn mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat akan berhasil dengan maksimal jika semua tahap bisa dilaksanakan secara bersinambungan. Tahap kebijakan yang dikemukan adalah penyusunan agenda, Formulasi kebijakan, Adopsi Kebijakan, Implementasi kebijakan dan Evaluasi kebijakan. Tahap pertama adalah tahap penyusunan agenda yaitu tahap perumusan masalah. Dalam hal stateless di Sabah, pemerintah Malaysia telah menghadapi permasalahan ini diawal tahun 1980 yaitu sepuluh tahun setelah terjadinya migrasi besar-besaran ke wilayah sabah atas faktor ekonomi, keamanan dan faktor geografis. Namun tahap kedua yaitu formulasi kebijakan seperti membentuk beberapa alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah dengan cara paling baik, baru bisa dilaksanakan pada tahun 1981 yaitu dimana pemerintah Malaysia memperkenalkan istilah “Daftar Orang Asing” melalui stampel di akta kelahiran anak yang lahir di wilayah Sabah namun dari orang tua yang bukan warganegara Malaysia. Berselang dua tahun yaitu tahun 1983 pemerintah Malaysia melampirkan pasal 3 dalam Akta Imigresen 1963/1959 mengenai pendatang asing dan sanksi yang berhujung kepada penangkapan. Tahap selanjutnya adalah adopsi kebijakan yang menawarkan beberapa alternatif kebijakan dan hanya satu kebijakan terbaik yang diterima mayoritas dukungan. Dalam hal ini pemerintah Malaysia mengadopsi kebijakan akta imigresen 1959/1963 di pasal 3 dengan mengadopsikan ke pasal 7 dikarenakan proses pelaksanaan penangkapan memerlukan biaya yang mahal untuk menampung pendatang asing yang ditahan sehingga adanya pendepotasian ke negara asal masingmasing. Tahap keempat adalah Implementasi kebijakan yaitu pemantauan hasil dan dampak yang diperoleh dari kebijakan serta evaluasi Kebijakan. Dalam hal ini pemerintah Malaysia telah mengimplementasikan regulasi yang telah dibuat seperti program My Daftar yang dilaksanakan pada 2008-2011. Selain itu pemberian pas IMM 13 yang di implementasikan pada tahun 1972. Seterusnya program penerbitan pas hijau yang diimplentasikan pada tahun 2001 dan pemberian sanksi pada tahun 1983, kerjasama dalam bidang pendidikan bersama pemerintah Indonesia pada tahun 2002 dan kerjasama dengan UNICEF pada tahun 2007. Walaupun adanya upaya pemerintah Malaysia dalam mengurangi stateless, namun terdapat beberapa kelemahan sehingga hingga ke hari permasalahan tersebut belum bisa terselesaikan. Dalam melaksanakan tahap kelima yaitu evaluasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah Malaysia yang menimbulkan banyak kelemahan seperti: a) Pertama,Program Mydaftar yang hanya dilakukan dengan waktu yang singkat sehingga program tersebut tidak bisa terlaksana secara menyeluruh. Program ini juga hanya memberikan akta kelahiran kepada anak yang memiliki persyaratan lengkap dalam pengurusan akta kelahiran. Status yang dipegang oleh anak tersebut juga “bukan warganegara” dan harus membuat beberapa permit seperti
153
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
pas pelajar, paspor dan lain-lain yang memakan biaya yang sangat tinggi di dalam aspek apapun. Anak yang tidak memiliki persyaratan yang cukup sudah tentu tidak bisa di daftarkan dan tidak bisa memperoleh akta kelahiran b) Kedua, MY KAS adalah pemberian kartu identitas sementara kepada individu yang memiliki akta kelahiran yang berstatus “bukan warganegara”. Pemberian identitas diri ini tidak efektif karena pemegang kartu ini sendiri tidak memiliki hak untuk berprtisipasi dalam politik, tidak bisa bekerja secara profesional, tidak mempunyai hak untuk memilki properti seperti rumah daan kenderaan, dan yang paling penting pemegang kartu ini tidak bisa memohon, sebagai warganegara hingga menetap di wilayah Malaysia selama 30 tahun. Mereka hanya memilki hak untuk memperpanjang MYKAS. c) Ketiga, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia tidak efektif dan effisien. Sebagai contoh Seksyen 55 Akta Emigresen. Undang-undang ini dibuat bagi sesiapa yang melintasi batas tanpa identitas diri yang sah. Sedangkan hampir 90% masyarakat stateless yang lahir di Sabah tidak pernah melintasi batas perbatasan. d) Keempat, erjasama eksternal dengan pemerintah Indonesia dan UNICEF hanya dibidang pendidikan sehingga tidak bisa menangani permasalahan dalam aspek keamanan. Dengan merujuk kepada tahap kebijakan Dunn, upaya pemerintah Malaysia tidak efektif karena tahap kelima yaitu evaluasi belum dilaksanakan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya lagi upaya yang terlihat semenjak tahun 2011 yaitu berakhirnya program MY daftar dan hanya melakukan pendepotasian. Pemerintah Malaysia pelu melakukan evaluasi yang sesuai kebijakan dengan fakta yang ada atau malah perlu adanya pembenahan atau pergantian kebijakan karena tidak lagi relevan dengan fakta yang ada dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan ini Hambatan Pemerintah Malaysia Dalam Menangani Masalah Penduduk Tanpa Kewarganegaraan (Stateless) di Sabah. Dari pembahasan mengenai upaya pemerintah Malaysia dalam menangani stateless di Sabah dapat ditemukan beberapa faktor penghambat yang membuat permasalahan stateless ini belum bisa tertuntaskan.Faktor penghambat pertama adalah keengganan Malaysia sendiri untuk meratifikasi konvensi tentang stateless. Hukum internasional telah memberikan perlindungan dan hak-hak terhadap masyarakat stateless dalam konvensi-konvensi seperti Declaration Of Human Right, International Convention to the Status of Stateless Person 1954, International Convention Relating to the Status of Stateless Person 1954, International Convention on Reduction of Statelessness 1961 dan International Covenant on Civil and Political Right 1966. Kebijakan pemerintah Malaysia dalam mengeluarkan kerangka legislatif seperti seksyen 55 akta Imegresen tidak bisa terlaksanakan dengan sempurna. Kehadiran UNHCR sebagai organisasi internasional yang juga berfungsi untuk menjadi pengontrol telah menyelamatkan hampir 1325 individu yang akan dideportasi dengan alasan mereka tidak pernah melakukan pelanggaran lintas batas di wilayah perbatasan Sabah. Dengan belum adanya peratifikasian konvensi tentang stateless maka kebingungan tentang status anak-anak yang lahir di Sabah namun tidak memilki indentitas akan tetap berlanjut. Tidak ada pembahasan hak, kewajiban, tanggungjawab sehingga orang-orang yang tidak memiliki identitas diri tidak mendapatkan perlindungan sehingga tidak adanya hukum nasional dan aturan jelas yang mengatur tentang
154
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
stateless. Begitu pula dengan kelemahan isi konvensi tidak mengatakan secara jelas tentang pemberian sanksi terhadap pelanggaran terhadap hak masyarakat yang tidak memiliki kewarganegaraan.Dengan tidak adanya pengakuan terhadap masyarakat ini, maka hak dan kewajiban mereka tidak bisa terlaksanakan dengan sepenuhnya. Selain itu sikap apatis dan ketidakpedulian negara penyumbang stateless juga menjadi hambatan pemerintah Malaysia dalam menangani masalah ini.Di wilayah Sabah terdapat perwakilan diplomatik Indonesia yang diwakili oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang terletak di Kota Kinabalu (K.K) dan Tawau.Namun pihak konsulat hanya bertanggungjawab untuk mengurusi warganegara Indonesia yang memiliki identitas diri yang diakui oleh pemerintah Malaysia seperti paspor dan Visa kerja.Selain itu mereka juga bertugas memberikan identitas diri seperti akte kelahiran kepada anak Indonesia yang lahir di Sabah dengan identitas dilengkapi dari orang tua.Berbeda dengan Indonesia, tidak adanya perwakilan diplomatik di Sabah menambah sulitnya permasalahan stateless di wilayah ini. Selain tidak memiliki identitas, masyarakat Filipina yang diberikan pas IMM 13 harus berangkat ke Kuala Lumpur untuk mengurusi akta kelahiran anak mereka dengan biaya keberangkatan yang mahal. Faktor Penghambat yang lainnya adalah masalah korupsi.Terdapat suatu budaya suap yang sering dilakukan oleh aparat penegak hukum mahupun masyarakat stateless itu sendiri untuk tetap bisa bertahan hidup di wilayah Sabah.Permasalahan ini mencakup semua aspek termasuk pemalsuan identitas.Adanya kebijakan Mydaftar Malaysia, mewajibkan semua anak yang lahir di wilayah Sabah harus didaftarkan. Terkadang orang tua tidak bisa mendaftrakan anaknya dengan berbagai macam alasan diantaranya adalah ketelambatan pendaftran anak dari waktu yang ditetapkan semenjak anak tersebut lahir, orang tua takut di tangkap aparat kepolisian karena tidak memilki identitas diri, ketidakmampuan untuk membayar pendaftran kelahiran anak karena masalah ekonomi dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang tatacara melakukan pendaftran anak sehingga memerlukan jasa dari pengurus yang terkadang hanya melakukan modus penipuan kepada masyarakat ini. Dari data menunjukkan bahwa pada tahun 2010, terjadi kasus pemalsuan identitas berjenis My Card sebanyak 88 kasus, pemalsuan My PR sebanyak 32 kasus. Manakala pada tahun 2011 menujukkan 86 kasus pemalsuan My Card, 30 kasus pemalsuan My PR. Pada tahun 2012 sebanyak 53 kasus pemalsuan My Card, 17 kasus pemalsuan My PR, 1 Kasus pemalsuan MY KID. Tahun 2013 pula, sebanyak 24 kasus pemalsuan MY Card, 13 kasus pemalsuan MY PR dan 4 kasus pemalsuan MY KID. Pada tahun 2014, 20 kasus pemalsuan My Card dan 8 kasus pemalsuan MY PR. Pada tahun 2015, 6 Kasus pemalsuan My Card dan 1 Kasus pemalsuan MY PR. Selain pemalsuan identitas, terdapat beberapa kasus suap di berbagai wilayah perbatasan seperti Tawau, Labuan, Semporna dan Kudat Sabah. Pada 18 agustus 2015, Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) telah bersama pegawaipegawai kanan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Kepenggunaan dan Koperasi, Polis Diraja Malaysia, Jabatan Kastam Diraja Malaysia, Jabatan Imigresen, Majlis Keselamatan Negara dan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia telah mengadakan pertemuan dan membongkar rahasia pelanggaran korupsi yang dilakukan oleh sekitar 8 973 aparat keamanan di wilayah perbatasan dari tahun 2001.
155
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 1, 2017: 143-158
Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diakukan, maka pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan: 1. Pemerintah Malaysia telah melakukan berbagai upaya dalam menangani permasalahan stateless di Malaysia khusunya di wilayah Sabah yang menjadi negeri bagian dengan kasus kewarganegaraan tertinggi di Malaysia. 2. Upaya yang diambil adalah memberlakukan program MY DAFTAR, pemberian pas IMM3, pemberian MYKAS dan mengeluarkan undang-undang Seksyen 55 Akta Imgresen. 3. Adanya upaya tidak menyelesaikan permasalahan stateless di Sabah karena terdapat beberapa hambatan yang untuk memaksimalkan pemberlakuan kebijakan yang telah dibuat. Hambatan tersebut seperti keenganan Malaysia dalam meratifikasi konvensi tentang stateless, sikap ketidakpedulian negara penyumbang stateless serta kasus suap dan korupsi. Daftar Pustaka Allerton,Catherine “Statelessness and the lives of the migrants in Sabah, East Malaysia”, Malaysia, Vol. 54 No.3. 2014 Constantine, Greg, “Nowhere People”, International Oraganization”. Vol 32, No 2. Legalization and World Poltitics,. Cambridge: The MIT Press. Summer, 2010 Camilia Olson, “Malaysia : Undocumented Children in Sabah Vulnerable to Stateless”, 2007, Bulletin, Washington, DC. Catherine Cassel and Gillian Symon (eds), Qualitative Methods in Organizational Research, London, Sage Publications, 1994, hal 3-4, dalam Bambang Cipto, Tekanan Amerika terhadap Indonesia Kajian atas Kebijakan Luar Negeri Clinton terhadap Indonesia, yogyakarta, Pustaka pelajar 2003, hal.32 David McCrone,”Understanding Scotland The Sociology of a Nation”, London, Rouledge Taylor & Francais Group, 2005 Greg Constantine, “Nowhere People”, 2008, hal 3 KOMNAS Perempuan, Foundation,2005
“Migrasi
Tanpa
Dokumen”,
Jakarta,
The
Ford
H.Lego, Jera Beah,“Protecting and Assisting Refugees and Asylum-Seeker in Malaysia: The Role of the UNHCR, Informal Mechanisms and the Humanitarian Exception”, Malaysia 2013 Institute On Statelessness and Inclusion, “The World’s Stateless”, Netherlands, Wolf Legal Publishers (WLP), 2014 Ismail Ali, 2010, “ Since birth till death, what is their status : a case study of the Sea Bajau in Pulau Mabul Semporna”dalam journal of arts science &commerce, Vol.1, Issue 1,Sabah, department of history, University Malaysia Sabah.
156
Upaya Pemerintah Malaysia Menangani Penduduk Stateless Di Sabah (Melisa Binti Hassan)
Jera Beah H. lego, “Protecting and Assisting Refugees and Asylum-Seeker in Malaysia: The Role of the UNHCR, Informal Mechanisms and the Humanitarian Exception”, hal 83 Jessica, “Amidst Sabah’s 1.9 mil Stateless people”, 2011, Harian Malaysia, 2016 Nur Diana, Nining, “Peran negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person) berdasarkan konvensi tentang The Status Of Stateless Person 1954,Indonesia”,, 2014 Organisation for economic coorperation and development, migrant and the labour market in asiahal 3 Pasal 15“Universal Declaration of Human Rights 1948” dalamNur Diana, Nining, Peran negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person) berdasarkan konvensi tentang The Status Of Stateless Person 1954,Indonesia,, 2014 Pasal 1 ayat 1“Stateless Person Convention 1954” dalam Nur Diana, Nining, Peran negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person) berdasarkan konvensi tentang The Status Of Stateless Person 1954,Indonesia, 2014 Tang Lay Lee, Statelessness, Human Right and Gender Irregular Migrant Workers from Burma in Thailand, Netherlands, Martinus Nijhoff Publishers, 2005 UNHCR, Nationality and Statelessness : A Handbook For Parliamentarians, Switzerland, Inter-Parliamentary Union, 2005 Situs Internet http://www.pikiran-rakyat.com/luar-negeri/2013/03/09/226325/warga-filipinaselatan-menetap-di-sabah-sejak-ratusan-tahun-lalu UNICEF, “REACHING THE UNREACHED An Assessment of the Alternative Education Programme for Refugee and Undocumented Children in Kampung Numbak, Kota Kinabalu, Sabah Malaysia”, 2015, Kuala Lumpur, Malaysia.
157