1
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai benua maritime memiliki perairan yang sangat luas dan panjang garis pantai terbesar kedua di dunia, yaitu 81.000 km (Anonim,
2008). Kondisi ini menjadikan perikanan dan produk perikanan memainkan peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Produk perikanan tidak hanya dimanfaatkan untuk konsumsi lokal tetapi juga untuk ekspor. Kebijakan pemerintah untuk menempatkan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015, membuat perikanan dan pelaku perikanan terus berupaya mencapai target melalui peningkatan produksi. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) telah menjadi penting dalam industri perikanan tuna dalam beberapa tahun terakhir (Collette dan Nauen, 2000). Ikan cakalang adalah ikan bernilai komersial tinggi, dan dijual dalam bentuk segar, beku, atau diproses sebagai ikan kaleng, ikan kering, atau ikan asap. Dalam bahasa Jepang, cakalang disebut katsuo. Ikan cakalang diproses untuk membuat katsuobushi yang merupakan bahan utama dashi (kaldu ikan) untuk masakan Jepang. Dalam makanan Manado, cakalang diawetkan dalam bentuk cakalang fufu (cakalang asap) (Anonim, 2010). Ikan cakalang bisa berperan sebagai inang perantara dalam siklus hidup cacing-cacing tertentu seperti Anisakidae. Pada tubuh ikan cakalang (K. pelamis) cacing berada dalam stadium larva, namun bila manusia makan daging ikan mentah atau kurang masak, larva cacing dapat masuk ke tubuh manusia melalui mukosa lambung dan usus halus (Yman, 2003).
2
Anisakiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari family Anisakidae terutama Anisakis sp dan tergolong zoonosis yang berbahaya. Sumber infeksi utama pada manusia karena mengkonsumsi ikan mentah yang mengandung larva Anisakis sp., (Acha dan Szifres, 2003). Memakan ikan yang tidak masak atau setengah masak yang terinfeksi dapat menyebabkan penyakit Anisakiasis. Anisakis menyerang saluran pencernaan manusia yang dimana dapat menginfeksi parasit pada manusia akan menimbulkan reaksi alergis yang meliputi urtikaria, anafilaksis, dermatitis, gastroenteritis, sampai gejala asma (Bircher et al. 2000). Akhir-akhir ini masalah keamanan pangan menjadi salah satu issu yang mendapatkan perhatian dunia. Salah satu target keamanan pangan tersebut adalah parasit penyebab zoonosis ikan cakalang dapat menjadi inang perantara parasit Anisakis sp., penyebab anisakiasis pada manusia. Indonesia sebagai pusat diversitas parasit di dunia, kemungkinan memiliki spesies parasit Anisakis sp., yang lebih besar dan belum terdeskripsi. Oleh karena itu, sebagai langkah awal dari penelitian ini, kegiatan yang dilakukan adalah mengoleksi parasit nematoda dari ikan cakalang dan menentukan tingkat infeksi Anisakis sp., dari Perairan Sulawesi Selatan, dengan teknik deteksi dan diagnosa secara molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1. Mengetahui tingkat infeksi parasit Anisakis sp., pada ikan cakalang. 2. Melakukan deteksi morfologi Anisakis sp. 3. Melakukan deteksi molekuler Anisakis sp., dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi tentang keberadaan dan jenis Anisakis sp., pada ikan cakalang.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika dan Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Vertebrata
Class
: Telestoi
Ordo
: Perciformes
Famili
: Scombridae
Genus
: Katsuwonus
Species
: Katsuwonus pelamis
Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis. Collete (1983) menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill rakes) berjumlah 53 – 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya disekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa
5
bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Adapun bentuk umum serta bagian-bagian tubuh ikan cakalang dapat dilihat pada (Gambar 1).
2
3
4
5
6
1
10
11
7
9
8
12
Gambar 1. Bentuk umum serta bagian-bagian tubuh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (sumber : http://www.fishbase.org) Keterangan gambar: 1. Rahang bawah (mandibulla); 2. Rahang atas (maxila); 3. Mata; 4. Biji mata pupil; 5. Praeoperculatum; 6. Operculum; 7. Sirip punggung I (pinna dorsalis I); 8. Sirip punggung II (pinna dorsalis II); 9. Sirip ekor (pinna caudalis); 10. Sirip dada (pinna pectoralis); 11. Sirip perut (pinna ventralis); 12. Jari-jari keras sirip dubur (anal spine)
Suatu faktor yang paling penting untuk permulaan hidup bagi hewan maupun ikan adalah makanan. Makanan memang peranan penting dalam pertumbuhan, migrasi dan beberapa aspek biologi lainnya tergantung pada jumlah dan mutu dari makanan yang dimakan oleh ikan tersebut. Pakan utama Katsuwonus pelamis
yaitu ikan-ikan kecil, krustasea dan moluska. Mencari
makan pada pagi hari dan kembali pada sore hari (Collette dan Nauen 1983). Blackburn dan Serventy (1981) menemukan bahwa bahan pangan utama di
6
lambung skipjacks di perairan Australia adalah euphausids, dan berbagai ikan serta cumi-cumi yang presentase keberadaannya dalam jumlah yang lebih kecil dari pada isi perut.
Parasit Anisakis sp pada ikan cakalang Masalah yang sering muncul yang dapat berakibat pada ikan cakalang hingga pada manusia yaitu ikan terjangkit parasit Anisakis sp., sehingga bila dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu atau dalam keadaan setengah masak akan mengakibatkan penyakit anisakiasis. Anonim (2005) menyatakan Anisakis sp., adalah cacing nematoda umum, larva nematoda menginfeksi banyak spesies ikan. Parasit ini memiliki siklus hidup yang rumit, yang memiliki inang perantara yang terdiri dari beberapa jenis ikan sebelum akhirnya sampai ke inang target. Inang terakhirnya adalah mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus, dimana cacing dewasa menyebabkan inflamasi serius pada dinding perut. Ukuran larva Anisakis sp., berkisar 10-50 mm, berwarna putih dan biasanya berbentuk lingkaran atau melingkar dalam kista dalam otot ikan (Gambar 2). Anisakiasis menginfeksi manusia melalui makanan ikan laut mentah atau setengah matang, dan penggunaan ikan rucah sebagai makanan dalam budidaya dapat memfasilitasi transfer parasit pada spesies ikan air tawar (Anonim, 2005).
7
Gambar 2.
Anisakis sp (www.mjwcooper.com.au diakses pada tanggal 6 Novenber
2010) Sistematika dan Morfologi Anisakis sp Anderson (2000) mengklasifikasikan parasit Anisakis sp., sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Nematoda
Class
: Secernentea
Order
: Ascaridida
Super fammily
: Ascaridoridea
Family
: Anisakidae
Sub family
: Anisakinae
Genus
: Anisakis
Spesies
: Anisakis sp
Anisakis adalah genus dari parasit nematoda, yang memiliki siklus hidup yang melibatkan ikan dan mamalia laut. Larva parasit infektif bagi manusia dan menyebabkan Anisakiasis, dan ikan yang telah terinfeksi dengan Anisakis sp., dapat menghasilkan anafilaksis reaksi pada orang yang telah menjadi peka terhadap Immunoglobulin E (IgE) (Anonim, 2010). Morfologi Anisakis dapat dilihat pada Gambar 3.
8
Berdasarkan morfologi Anisakis sp., dikelmpokkan menjadi Anisakis Type I dan Anisakis Type II. Perbedaan didasarkan pada ukuran ventrikulus dan keberadaan mukron pada ujung posterior. Anisakis Type I memiliki ventrikulus yang lebih panjang dan terdapat mukron pada ujung posterior. Sedangkan Anisakis Type II ventrikulus lebih pendek dan tidak memiliki mukron.
Gambar 3. Morphology of A. simplex(s.s.) from chum salmon in this study. a Cephalic region; b Digestive tract; c Caudal region.lt larval tooth, ep excretory pore,ed excretory duct, lb labia, eesophagus, vc ventriculus, int intestinum, a anus, g rectal gland, m mucron
(Setyobudi, dkk. 2010).
Anisakis sp., berbagi fitur-fitur umum dari semua nematoda; yang berbentuk tubuh seperti ulat, bundar dan bersegmen. Dengan rongga sempit seperti pseudocoel. Mulut terletak pada anterior, dengan anus terletak posterior (Gambar 4). Epitel skuamosa mengeluarkan cairan kutikula yang berlapis yang melindungi tubuh dari cairan pencernaan (Anonim, 2010). Seperti semua parasit dengan siklus hidup kompleks yang melibatkan sejumlah inang, rincian morfologi bervariasi tergantung pada inang dan tahap siklus hidup parasit yang masuk pada saat menginfeksi ikan. Panjang parasit ini
9
pada saat dewasa kira-kira 2 cm. Ketika di inang target, Anisakids lebih panjang, lebih tebal dan lebih kokoh, untuk beradaptasi dengan lingkungan berbahaya dari usus mamalia (Anonim, 2010).
Gambar 4: Bagian Posterior dari Anisakis sp Dewasa (sumber: Biota Neotrop. Vol.8 no.2 Campinas April / Juni 2008 diakses pada tanggal 23/08/2010)
Siklus Hidup Larva Paraasit Anisakidae Anisakis sp., memiliki siklus hidup yang kompleks melewati beberapa inang melalui perjalanan hidupnya. Telur menetas dalam air laut dan larva yang dimakan oleh krustasea, biasanya Euphausids. Krustasea terinfeksi kemudian dimakan oleh ikan atau cumi-cumi. Nematoda masuk ke dalam dinding usus dan encysts dalam mantel pelindung, biasanya di bagian luar visceral organ, tetapi kadang-kadang di otot atau di bawah kulit. Siklus hidup selesai ketika ikan terinfeksi dimakan oleh mamalia laut, seperti ikan paus, anjing laut, atau lumbalumba (Anonim, 2010).
10
Anisakidae memiliki siklus hidup yang kompleks. Anisakis sp., dewasa ditemukan didalam perut mamalia laut, dimana mereka melekat dalam mucosa secara berkelompok. Produksi telur parasit dewasa dilepaskan keluar melalui fases mamalia. Perkembangan telur secara embryonasi terjadi di dalam air, dan larva L1 dibentuk dalam perut. Larva mengalami molting, menjadi L2 yang berenang bebas di badan air setelah mereka lepas dari telur. Larva tersebut termakan oleh krustacea. Larva yang termakan akan berkembang menjadi L3 yang menginfeksi ikan dan cumi-cumi. Setelah inang mati, larva migrasi ke jaringan otot, dan melalui predator larva berpindah dari ikan ke ikan. Ketika ikan atau cumi-cumi yang terkandung larva L3 Anisakis termakan oleh mamalia laut, larva akan mengalami molting kedua dan berkembang menjadi cacing dewasa (Parker and Parker, 2002) Telur parasit yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja hospes akan menetas di air. Larva stadium kedua yang keluar dari telur akan ditelan oleh hospes pertama lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Hospes perantara pertamanya adalah udang Thysanoesaa dan Euphausia. Bila hospes pertama ini dimakan oleh hospes perantara kedua, didalam tubuhnya berkembang menjadi larva stadia ketiga lanjutan. Hospes perantara kedua dan hospes parateniknya berupa ikan laut, cumi-cumi dari berbagai jenis, dan membentuk rantai penularan satu dengan yang lainnya sedemikian kompleksnya (Audicana et al, 2002). Siklus hidup larva Anisakis spp., dapat dilihat pada Gambar 5. Laporan menyebutkan bahwa angka infeksi pada lumba-lumba biasa mencapai 70% dan jumlah cacing pada seekor lumba-lumba biasa mencapai 1.200 ekor cacing. Survai yang dilakukan oleh Beron-Vera et al (2001) pada
11
lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus commersonii) di perairan Atlantik Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari spesies Anisakis memiliki prevalensi yang tinggi (100% di Patogonia bagian tengah dan 87% di Tiera del Fuego). Dengan demikian, nematoda zoonotik seperti Anisakis spp., memiliki potensi untuk dijadikan indikator perairan, atau kondisi kesehatan satwa liar yang ada di perairan tersebut.
Gambar 5. Siklus hidup Anisakis sp (sumber: CaliVita | Parasites Copyrights 2011 diakses pada tanggal 23 Agustus 2010)
Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah larva L3 yang masuk bersamaan daging ikan yang dimakan. Dalam tubuh manusia, larva akan hidup
12
dan pada umumnya tetap sebagai larva stadia ketiga, namun kadang-kadang juga berkembang hingga larva stadia keempat atau larva yang sedang berganti kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes perateknik. Kebanyakan larva berada di sub mucosa namun bisa juga mencapai organ-organ di rongga abdomen.
Jenis dan Distribusi Parasit Anisakidae Anisakis spp., adalah parasit yang meginfeksi banyak jenis ikan laut ekonomis penting, termasuk tuna sirip biru (Thunnus thynnus), dimana ikan ini adalah salah satu produk ekspor penting, sehingga data distribusi penting tidak hanya untuk kesehatan tetapi juga alasan ekonomi. Frekuensi dan jumlah larva L3 (tahap Invasif) parasit diselidiki dalam sampel dari jumlah total 179 tuna yang dikumpulkan selama tiga tahun. Parasit ditemukan dalam 39 sampel ikan dan prevalensi berkisar 21,78% dari kelimpahan rata-rata 2,69 (Žilic and Mladineo, 2006). Berdasarkan data, menurut Mattiucci and Nascetti (2006), yang termasuk dalam Anisakis spp., 1 terdiri atas lima spesies (Anisakis simplex sensu strico, A. simplex C, A. typical, A. ziphidorum) dan yang termasuk dalam golongan Anisakis spp., 2 yang secara morfologi diketahui sebagai Type II (sensu Berland, 1960) terdiri atas tiga spesies (A. physeteris, A. brevispiculata, dan A. paggiae). Ringkasan aspek ekologi dari masing-masing spesies, termasuk kecondongan inang dan aspek geografis, disajikan sebagai berikut:
13
Anisakis simplex kompleks Tiga spesies yang sejauh ini termasuk didalam A. simplex complex adalah A. simplex s.s., A. pegreffii, A. simplex C. Inang akhirnya adalah cetaceans dan intermediate/paratenic host adalah ikan atau cumi-cumi.
A. simplex s.s. Spesies ini tersebar di antara 35 º Lintang Utara dan Artic Polar Circle, terdapat dibagian barat dan bagian timur samudra Pacific, A. simplex s.s., sejauh ini telah dilaporkan Sembilan inang cetacean. Empat spesies cumicumi dan 26 spesies ikan sejauh ini ditemukan sebagai inang larva. A. pegreffii Dahulunya dianggap sebagai A. Simplex, A. pegreffii merupakan spesies dari genus Anisakis yang dominan di laut Mediterania yang menyebar dan menginfeksi ikan-ikan pelagis dan demersal. Jenis ini juga menyebar di daerah Australia antara 35º Utara dan 55º Selatan. Saat ini, telah tercatat bahwa parasit dewasa terdapat dalam tiga spesies dari lumba-lumba sebagai inang definitif dalam 28 spesies ikan dan dua jenis cumi-cumi. A. simplex C. Saat ini, spesies ini ditemukan menginfeksi ikan-ikan yang tersebar di daerah Pasific Canada, Chile, perairan New Zeland dan pantai Atlantic Afrika Utara. Sejauh ini, parasit A. simplex C diidentifikasi dari tiga jenis mamalia laut. A. typica Berdasarkan data studi genetik A. typical, jenis ini tersebar dari 30º Lintang Selatan sampai 35º Lintang Utara pada daerah temperatur hangat dan
14
perairan tropis. Pada daerah ini, fase dewasa ditemukan pada enam spesies lumba-lumba dan untuk fase larva ditemukan di 10 spesies ikan. A. ziphidarum Spesies ini dideteksi pada paru ikan paus, Mesoplanda layardii dan Ziphius cavirostris dari laut Atlantic Selatan (pantai Afrika Selatan). Selain itu juga ditemukan menginfeksi ikan paus M. mirus, dan M. grayi diperairan Atlantik Selatan dan dalam Mesoplodon sp., dan Ziphius carvirostris dari Perairan Caribean. Kisaran geografis luas dan berhubungan dengan inang definitif dari parasit ini. Anisakis sp. Anisakis sp., telah dideteksi hanya pada larva (L4) di ikan paus Mesoplodon mirus dan M. grayi dari Afrika Selatan dan perairan New Zeland. Jenis ini dianggap memiliki hubungan yang sangat dekat dengan A. ziphidarum dibanding dengan spesies lain secara genetis. Walaupun pembuktian hanya pada fase dewasa, L3 dari spesies ini sejauh ini tergolong Type I, dan jarang diidentifikasi dalam beberapa spesies ikan diperairan Atlantik (tidak ada data publikasi) A. physeteris Defektif inang utama dari spesies ini adalah ikan paus, Physeter macrocephalus tidak ditemukan terinfeksi dilaporkan di cetacean yang lain. Larva type II dari A. pyseter secara genetic teridentifikasi hanya sedikit spesies inang dan jarang terjadi selama studi Aniakis sp. A. paggiae Spesies ini ditemukan sebagai parasit, saat dewasa di ikan paus, Kagia breviceps dan K. sima dari pantai Florida dan Atlantik Afrika Selatan
15
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan di Pasific stock (the Pasific coast of Japan) dan the Tsushima Warm Current stock (the East China Sea and the Sea of Japan), ditemukan larva parasit Anisakis type I berturut-turut A. simplex sensu stricto and A. pegreffii. Sebagai tambahan, untuk pertama kali di Jepang, Anisakis simplex C and Anisakis ziphidarum dideteksi dalam ikan dari the Pasific Stock. Rata-rata jumlah larva A. pegreffii dan A. simplex sensu strict per ikan adalah 47 dan 6 (Suzuki et al, 2010).
Anisakiasis Anisakiasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva Anisakis yang termakan melalui makanan olahan seafood mentah, khususnya ikan mentah atau setengah matang. Penyakit ini diketahui menyebabkan penyakit gastrointestine pada manusia. Kasus pertama ditemukan di Netherland pada tahun 1961 dan umumnya kasus ini ditemukan di Jepang dimana gastrointestine anisakiasis sering menyerang perut dan saluran pencernaan. Sejak laporan pertama ditemukan pada warga Jepang pada tahun 1964, Jepang menjadi major endemic area dengan lebih dari 12.000 kasus yang telah dilaporkan (Mineta et al, 2006). Famili Anisakidae sering disebut juga sebagai kelompok cacing yang sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Sejauh ini spesies-spesies yang sudah dilaporkan menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex, Pseudoteranova sp, dan Contracaeum sp. Kadang-kadang spesies Contracaeum sp., ditemukan juga sebagai spesies Hysterothylsacium. Dari keempat spesies ini yang paling banyak menginfeksi manusia adalah Anisakis simplex.
16
Perkembangan Penelitian Molekuler Anisakis sp Saat ini, larva anisakid telah diidentifikasi secara morfologi dan molekuler. Secara morfologi, identifikasi cukup sulit dilakukan pada fase larva sehingga dibutuhkan identifikasi secara molekuler untuk menentukan spesiesnya. Metode identifikasai secara molekuler telah dikembangkan dengan beberapa teknik oleh para peneliti dahulu. Beberapa metode identifikasi untuk spesies anisakid seperti polymerase chain reaction yang dilanjutkan dengan uji restriction fragment lengh polymorphism (PCR-RFLP) dan sequencing dari ribosomal DNA (rDNA), internal transcribed spacers (ITS-1 dan ITS-2) dan 5,8S rDNA (riboprinting) dan mtDNA cox2 gene markers telah dikembangkan (Quiazon et al, 2009). Quiazon et al (2009) melakukan identifikasi larva Anisakis spp., yang menginfeksi
Alaska
polloc
(Theragra
chalcogramma)
secara
molekuler
menggunakan PCR-RFLP dan sequencing ITS region (ITS1-5,8S rDNA-ITS2) serta gen marker mtNDA cox 2. Mereka menemukan empat spesies dari Anisakis spp., yaitu Anisakis simplex (sensu stric [s.s.]), A. pegreffii, A. brevispiculata, dan Anisakis spp., yang termasuk dalam Anisakis type II.
17
III. METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelintian ini dilaksanakan pada bulan September – November 2010 di Laboratorium Hama Penyakit Ikan Universitas Hasanuddin Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah slide glass, cover glass, stereomicroskop, compound mikroskop, gunting bedah, pisau bedah, pinset, nanpan bedah, autoclave, oven (pemanas kering), inkubator, pipet, tabung eppendoff (1,5 mL), mikro pipet (1-5000 µL), cawan petri (diameter 90 mm), freezer dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan adalah 150 µL nucleus lysis solution, 4,3 µL proteinase K, 0,75 µL RNase, 50µL larutan protein precipitation, 150 µL isopropanol, 150 µL etanol 70%, 25 µL larutan DNA rehidrasi, tissue, kertas serap, glyserol, larutan fisiologis (0,85% NaCl), alkohol 70%, ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan isolate parasit Anisakis spp.
Hewan uji Hewan uji yang digunakan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang di beli dari beberapa tempat pelelangan ikan (Rajawali dan paotere Makassar serta pelelangan ikan beba di Takalar).
18
Prosedur Kerja Adapun prosedur kerja dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu: 1. Pengambilan Sampel Ikan Katsuwonus pelamis Pada Beberapa Pelelangan Ikan (Beba, Rajawali dan Paotere). Survei ikan cakalng (Katsuwonus pelamis) dilakukan di 3 lokasi Tempat Pelelangan Ikan (Beba, Rajawali dan Paotere). TPI Beba berlokasi di Takalar, TPI Rajawali dan Paotere berlokasi di Makassar. Dari 3 lokasi TPI di lakukan pengambilan sampel secara acak yang dilakukan secara bertahap selama 11 kali pengambilan sampel hingga mencapai jumlah sampel sebanyak 36 ekor (ikan yang berukuran ≤ 30cm sebanyak 12 ekor dan ikan yang berukuran > 30 cm sebanyak 24 ekor) . 2. Identifikasi Morfologi Parasit Anisakis spp Setelah dilakukan pengumpulan sampel, kemudian ikan diukur panjang tubuhnya untuk dan dilakukan pembedahan guna mengambil jeroan ikan yang akan diperiksa. Jeroan atau bagian organ dalam ikan yang diperiksa adalah usus, lambung, jantung dan hati ikan cakalang. Setelah jeroan ikan diperoleh, kemudian diletakkan di atas cawan petri dan dilakukan pemeriksaan akan adanya infeksi parasit Anisakis sp., secara visual di bawah mikroskop dimana jeroan ikan tersebut sudah diberi larutan fisiologis 70%. Larutan fisiologis diberikan secukupnya untuk menjaga agar jeroan ikan tidak kering. Setelah parasit diperoleh, lalu di kumpulkan pada cawan petri yang digenangi oleh larutan fisiologis untuk kemudian parasit yang ditemukan dibersihkan dari debrisdebris yang melekat dan selanjutnya dilakukan fiksasi pada alkohol 70%. Selanjutnya dilakukan identifikasi secara morfologi pada stereo mikroskop
19
dengan melihat bentuk ventriculus, bagian ujung anterior dan posterior. Parasit yang ditemukan dikelompokkan kedalam Anisakis tipe I dan Tipe II. Setelah itu dilakukan penghitungan Prevalensi dan Intensitas parasit. Prevalensi adalah presentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan, dan Intensitas rata-rata adalah menggambarkan jumlah parasit tertentu yang ditemukan pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi. 3. Identifikasi Molekuler Parasit Anisakis spp Identifikasi molekuler dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu tahap Amplifikasi PCR dan Elektroforesis dan Visualisasi DNA. Ekstraksi DNA Parasit Anisakis spp Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan petunjuk ekstraksi DNA dari Pro-mega dengan mengikuti prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam protokol dengan sedikit modifikasi. Secara berurutan ekstrasksi DNA dilakukan sebagai berikut: 1. Parasit yang telah difiksasi pada alkohol 70% dibersihkan beberapa kali, sehingga tidak ada jaringan lain yang terikut hanya jaringan dari parasit. 2. Mengambil 3 buah tabung eppendorf 1.5 mL dan tambahkan masingmasing lysis buffer sebanyak 600 µL (500 µL buffer yang ditambahkan 120 µL 0,5M EDTA) yang didinginkan pada es. Kemudian tambahkan 12,5 µL dari 20 mg/mL proteinase K, Inkubasi semalam pada water bath shaker suhu 55 ºC. 3. Inkubasi lysate semalam, atau inkubasi 3 jam pada suhu 55 ºC pada shaking incubator dan setiap jam dilakukan vortex. Tambahkan 3 µL RNase pada lysate lalu campur dengan membolak balik tabung 2 - 5 kali.
20
4. Inkubasi suhu 37 ºC selama 15 - 30 menit. Biarkan sampel dingin pada suhu ruang selama 5 menit. 5. Menambahkan 200 µL larutan protein precipitation dan vortex keras pada kecepatan tinggi selama 20 detik. Kemudian sampel didinginkan pada es selama 5 menit. Sentrifus selama 4 menit pada 13000 rpm. 6. Protein yang mengendap akan membentuk pellet putih yang keras. Pindahkan supernatan yang mengandung DNA (jangan ambil protein) pada tabung eppendorf 1.5 mL yang mengandung 600 µL isoprophanol pada suhu ruang. Campur secara perlahan larutan sampai tampak adanya warna putih seperti benang. 7. Sentrifus selama 1 menit 13000 rpm pada suhu ruang. DNA akan tampak seperti pellet putih yang mengendap. Kemudian supernatan dibuang dengan hati-hat dengan menggunakan mokro pipet. Ditambahkan 600 µL ethanol 70% suhu ruang dan bolak balik tabung beberapa kali secara perlahan untuk mencuci DNA. 8. Sentrifus
pada
13000
rpm
1
menit.
Ethanol
dibuang
dengan
menggunakan pipet sequensing atau pipet pasteur. Pellet DNA mudah lepas, hati-hati agar pellet DNA tidak ikut terbuang. Kemudian tabung diletakkan dengan kondisi terbalik di atas kertas pengisap, untuk mengisap sisa-sisa cairan yang masih ada pada tabung sampai kering selama 10 - 15 menit. 9. Setelah itu, kemudian ditambahkan 100 µL larutan DNA rehydrasi. Lakukan rehydrasi dengan inkubasi pada suhu 65 ºC selama 1 jam. 10. Secara priodik mencampur larutan dengan melakukan tapping pada tabung.
Rehydrasi
DNA
dengan
menginkubasi
larutan
semalam
21
(overnight) pada suhu ruangan atau pada suhu 4 ºC. menyimpan DNA pada frezzer dengan suhu –20 ºC sebelum diproses lebih lanjut. Secara periodik campur larutan dengan melakukan tapping pada tabung. Atau rehydrasi DNA dengan inkubasi larutan semalam (overnight) pada suhu ruang atau pada suhu 4ºC. Simpan DNA pada freezer – 20ºC sebelum diproses lebih lanjut. Amplifikasi DNA Metode PCR dengan teknik Amplifikasi DNA dilakukan dengan komposisi, primer, dan kondisi PCR sebagai berikut : Komposisi PCR Master mix
10 µL
Primer
1 µL x (2 psg)
Template DNA
1 µL
Coralload
2 µL
Primer Universal ITS 1, 5.58 dan ITS 2 Primer Universal yang digunakan adalah Primer F : 5 – GTC GAA TTC GTA GGT GAA CCT GCG GAA GGA TCA – 3 Primer R : 5 – GCC GGA TCC GAA TCC TGG TTA GTT TCT TTT CCT – 3 Kondisi PCR Kondisi PCR adalah pre-denaturasi 94ºC 3 menit, denaturasi 94 ºC 30 detik, annealing, 46 ºC 1 menit, extension 72 ºC 10 menit dan final extension 72 ºC 5 menit. Siklus PCR sebanyak 30 siklus.
22
Elektroforesis Pada tahap elektroforesis, dilakukan persiapan gel agarose yang ditimbang sesuai dengan keperluan. Konsentrasi agarose yang digunakan adalah 1 %. Dengan menggunakan pemanas hotplate, agarose dilarutkan sampai mendidih dan setelah itu dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai suhunya sekitar 50 °C kemudian dicetak dalam tray agarose yang telah dilengkapi dengan sisir untuk membentuk sumur gel. Setelah agarose dingin, sisir tray diangkat kemudian gel dimasukkan kedalam elektroforesis apparatus yang telah diisi dengan TAE 1 x sebagai buffer elektroforesis. Gel hasil elektroforesis direndam dalam ethidium bromida (konsentrasi 1 mg/ml). Kemudian gel dicuci dengan aquadest selama 10 – 15 menit. DNA divisualisasikan pada UV trasilluminator dan dilakukan pengambilan gambar.
Perubah yang Diamati Tingkat infeksi parasit dinyatakan dalam prevalensi dan intensitas, dihitung berdasarkan petunjuk Fernando et.al (1972) sebagai berikut: 1. Prevalensi =
× 100%
Dimana : Prev
: Persentase ikan yang terserang penyakit (%)
N
: Jumlah sampel ikan yang terinfeksi parasit (ekor)
n
: Jumlah sampel yang diamati (ekor)
23
2. Intensitas =
Ʃ
Dimana : Int
: Intensitas serangan penyakit (Individu/ekor)
Ʃp
: Jumlah total parasit (Individu)
n
: Jumlah sampel ikan yang terinfeksi parasit (ekor)
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi dan Deskripsi Jenis Parasit Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap sampel ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) selama empat bulan dengan sebelas kali pengambilan sampel pada beberapa pelelangan ikan (Rajawali dan Paotere Kota Makassar serta pelelangan ikan di Beba di Kabupaten Takalar) didapatkan jenis parasit golongan Anisakis spp. Identifikasi dan jenis parasit sebagai berikut:
Anisaki sp. Penggolongan parasit Anisakis sp., menurut Anderson (2000) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phylum : Nematoda, Class : Secernentea, Order : Ascaridida, Super Famili : Ascaridoidea, Family : Anisakidae, Sub Family : Anisakinae, Genus : Anisakis, dan Spesies : Anisakis sp Bentuk morfologi dari Anisakis sp., yang menyerang jeroan ikan cakalang (K. pelamis) dari hasil pengamatan selama penelitian disajikan dalam Gambar 6 sebagai berikut:
1 2
Gambar 6. Morfologi parasit Anisakis sp., (40x40).
25
Keterangan: 1. Ventrikulus, 2. Badan
ventriculus
Gambar 7. Ventriculus larva Anisakis sp Keterangan : Ventriculus nampak jelas di bawah mikroskop, dengan pembesaran 40x40
Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis Anisakis sp., memiliki tubuh bulat panjang berwarna putih trasparan, pada salah satu ujung posterior terdapat ventruculus (0,2163 ± 0,0025 mm) yang berwarna putih. Larva Anisakis dibagi menjadi dua tipe, yaitu larva Anisakis type I larva yang memiliki mucron, booring tooth dan ventriculus, sedangkan larva Anisakis type II memiliki boring tooth dan ventriculusa (Gambar 6 dan 7). Hal ini sesuai dengan pendapat Quiazon et al, (2008) dan Berland (1961) larva Anisakis type I memiliki ventriculus yang lebih panjang dari larva Anisakis type II dan memiliki mucron, sedangkan larva Anisakis type II memiliki ventriculus yang lebih pendek dan tidak memiliki mucron tetapi memiliki boring tooth.
26
1
Gambar 8. Morfologi parasit Anisakis sp., bagian anterior (40x40). Keterangan : 1. Boring tooth
1
Gambar 9. Morfologi parasit Anisakis sp., bagian posterior (40x40). Keterangan : 1. Mucron
Pada anterior Anisakis sp., terdapat boring tooth yang berfungsi untuk melubangi dinding usus halus dan sekaligus untuk berpegangan pada mukosa dari usus halus agar tidak lepas pada waktu kontraksi intestinum mencerna makanan (Gambar 8 dan 9). Simangunsong (1986) mengatakan cara mengambil makanan cacing Nematoda dari Famili Ascarididae adalah dengan cara
27
menancapkan boring teeth nya hingga ke dalam lapisan muskularis mukosa yang terdapat dalam lipatan mukosa intestinum. Dari hasil pengamatan Anisakis sp banyak ditemukan pada jeroan ikan terutama pada bagian lambung, hati dan usus. Hal ini sesuai dengan pendapat Al-zubaidy (2010) larva ditemukan dalam usus dan terbungkus (melingkar dalam kista berdinding tipis) di dinding lambung, hati, dan otot. Ikan yang diperiksa tidak menunjukkan tanda-tanda eksternal penyakit (Gambar 10 dan 11).
Gambar 10. Anisakis sp., pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang terinfeksi cacing Anisakis sp., akibat memakan ikan yang lebih kecil yang sudah mengandung larva Anisakis sp. setelah masuk ketubuh ikan cakalang, larva Anisakis sp., melakukan enkapsulasi di jeroan ikan (hati, lambung dan usus). Menurut Audicana et al (2002) telur parasit yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja inang akhir akan menetas di air. Larva stadium kedua
28
yang keluar dari telur akan ditelan oleh hospes pertama lalu berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Inang perantara pertamanya adalah udang Thysanoesaa dan Euphausia. Bila inang pertama ini dimakan oleh inang perantara kedua, didalam tubuhnya berkembang menjadi larva stadia ketiga lanjutan. Inang perantara kedua dan inang parateniknya berupa ikan laut, cumicumi dari berbagai jenis, dan membentuk rantai penularan satu dengan yang lainnya sedemikian kompleksnya. Larva Anisakidae ditemukan dan diisolasi pada jeroan ikan (hati, lambung dan usus) dan pada bagian otot perut. Pada rongga abdomen larva menempel pada peritoneum. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya larva cacing Anisakidae dalam otot/filet, namun seringkali larva Anisakidae ini terlihat menempel membentuk seperti kista pada permukaan otot disekitar rongga abdomen atau organ peritoneum. Hasil penelitian ini tidak menemukan adanya larva dalam otot sejalan dengan temuan larva anisakis yang relatif sedikit dalam otot pada ikan Barracouta oleh Wharton et al. (1999) yaitu 0.3% dan ikan horse-mackerel oleh Roepstorff et al. (1993) dan Adroher et al. (1995) yaitu 1.8%. Temuan yang terbanyak pada mesenterium dan peritoneum yaitu 88.3%. Kemudian jika membandingkan keberadaan larva pada otot hypaxial dan epiaxial ditemukan hanya ada satu anisakis sp. dan satu pseudoterranova sp. di dalam otot epiaxial selebihnya terdapat pada otot hypaxial (Hereas et al. 2000 ; Levsen et al. 2004). Tingginya
jumlah
larva
pada
mesenterium
dan
dinding
viseral
dibandingkan dalam organ pencernaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Schopf et al. (2002) mungkin disebabkan oleh kondisi sistim pertahanan inang (IL-4 dan IL-10) yang menyebabkan larva Anisakidae bermigrasi ke luar saluran
29
cerna dan memilih jaringan lemak di mesenterium usus dan dinding viseral untuk bertahan hidup dan tumbuh.
Gambar 11. Larva Anisakis yang terdapat pada Hati Ikan cakalang (K. pelamis)
Gambar 12. Larva Anisakis yang terdapat pada otot Ikan cakalang (K. pelamis)
Selain pada usus, lambung dan hati, larva Anisakis juga ditemukan pada otot. Larva yang ditemukan pada otot (Gambar 12) kemungkinan merupakan larva yang bermigrasi setelah inang mati. Parker and Parker (2002) mengatakan
30
setelah inang mati, larva migrasi ke jaringan otot, dan melalui predator larva berpindah dari ikan ke ikan. Lokasi mesentrium berdekatan dengan daging (otot) di sekeliling abdomen sehingga larva ditemukan pada otot di sekitar abdomen. Hal ini sesuai juga dengan hasil penelitian Hurst (1984) Sakanari dan McKerrow (1989) dalam Baladin (2007) bahwa dalam tubuh ikan larva Anisakidae ini terlihat melingkar dalam suatu kista yang mengandung jaringan ikan dan menempel pada permukaan organ-organ perut. 45 40
Frekuensi
35 30 25 20 15 10 5 0 10 11121415 16 18 19 20212223 24 25 26 27282930 31 32 33 34353640 42 43 44 45505152 55 58 59 60616263 64 65 66 676868 70 73 74 75 767778 80 81 84 86 888990
Panjang Ventriculus (µm) Gambar 13. Grafik frekuensi parasit Anisakis sp., berdasarkan panjang ventriculus
Berdasarkan grafik (Gambar 13) di atas dapat diketahui bahwa Anisakis sp., yang ditemukan memiliki variasi ukuran ventrikulus yang panjang ventrikulus berkisar 10 µm sampai 90 µm. variasi ukuran panjang ini dapat menjadi petunjuk bahwa kemungkinan ada lebih dari satu spesies Anisakis sp., pada ikan cakalang, sampai saat ini sepsis Anisakis sp., yang telah ditemukan di Indonesia adalah Anisakis typica. Menurut Suzuki et al, (2010) Berdasarkan data studi genetik A. typica, jenis ini tersebar dari 30º Selatan sampai 35º Utara pada daerah temperatur hangat dan perairan tropis. Pada daerah ini, fase dewasa
31
ditemukan pada enam spesies lumba-lumba dan untuk spesies larva ditemukan di 10 spesies ikan.
B. Tingkat Serangan Parasit (Prevalensi dan Intensitas Serangan parasit) Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh persentase prevalensi dan intensitas rata-rata parasit Anisakis sp., pada ikan cakalang (K. pelamis) yang berukuran kecil (≤ 30 cm) dan ikan cakalang (K. pelamis) yang berukuran besar (> 30 cm) seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Prevalensi (%) dan Intensitas Infeksi parasit Ikan
Jumlah sampel
Jumlah
Jumlah sampel
Prevalensi
Intensitas
cakalang
yang
parasit
yang
Parasit (%)
serangan parasit
(K. pelamis)
(ekor)
Ikan kecil (≤
diperiksa
terinfeksi
(ekor)
(individu/ekor)
12
0
0
0
0
24
305
14
58,33
21,7857±35,9
30 cm) Ikan
besar
(>30 cm)
757
Dari Tabel 1 di atas, maka diketahui prevalensi tertinggi terdapat pada ikan cakalang (K. pelamis) yang berukuran besar sebesar 58,33%±0,4385% sedangkan untuk ikan yang berukuran kecil tidak ditemukan parasit Anisakis sp. Intensitas serangan parasit larva Anisakis sp., tertinggi terdapat pada ikan cakalang (K. pelamis) berukuran besar sebesar 21,7857±35,9757 (individu/ekor). Tingginya prevalensi dan intensitas pada ikan cakalang (K. pelamis) yang berukuran besar disebabkan karena ikan yang besar jumlah makanannya lebih banyak dari pada ikan yang kecil, sehingga parasit yang masuk ketubuh ikan yang lebih besar cenderung lebih banyak dibandingkan ikan yang kecil. Menurut
32
Schopf et all (2002), Stromnes dan Andersen (2003) Tingkat penularan suatu parasit dipengaruhi beberapa faktor, seperti jenis ikan, ukuran ikan, umur ikan, jenis kelamin ikan, waktu dan tempat serta kondisi perairan tempat ikan itu berada. Strǿmnes dan Andersen (2003) dalam La Ode (2007) bahwa sejumlah larva Anisakis sp., memiliki panjang lebih dari 28 mm dan terus bertambah panjang seiring dengan bertambahnya usia ikan.
950 bps
5’
Gambar 14. Hasil PCR dengan menggunakan primer . F: ( GTC GAA TTC GTA GGT 3’ 5’ GAA CCT GCG GAA GGA TCA ) dan R: ( GCC GGA TCC GAA TCC 3’ TGG TTA GTT TCT TTT CCT )
Dari hasil PCR diketahui bahwa pita DNA berada pada kisaran 950 bps yang menunjukkan bahwa pita DNA merupakan pita DNA Aniskis sp., hal ini sesuai dengan pendapat Abe et al (2006) mengkaji bahwa Anisakis sp., ditemukan pada 950 bps.
33
Sedangkan menurut Setyobudi., dkk (2010) dimana dari 48 sampel ikan salmon (Oncorhynchus keta) yang dipilih secara acak dan diidentifikasi dengan metode analisis PCR-RFLP dengan primer universal (ITS 1, 5,8 S dan ITS 2), menghasilkan dua pita yang kuat yaitu 550 dan 430 bps , HinfI menghasilkan dua pita (620 dan 250 bps), sedangkan Taqi menghasilkan dua pita pada kisaran 430 dan 400 bps. Semua sampel yang diuji menunjukkan hasil yang sama, dan pola fragmen ini sesuai dengan Anisakis simplex (D'et al Amelio. 2000). Larva Anisakis sp., diitentifikasi secara morfologi dan molekuler. Secara morfologi, identifikasi cukup sulit dilakukan pada fase larva sehingga dibutuhkan identifikasi secara molekuler untuk menentukan spesiesnya. Metode identifikasai secara molekuler telah dikembangkan dengan beberapa teknik oleh para peneliti dahulu. Beberapa metode identifikasi untuk spesies anisakid seperti polymerase chain reaction
yang
dilanjutkan
dengan
uji
restriction
fragment lengh
polymorphism (PCR-RFLP) dan sequencing dari ribosomal DNA (rDNA), internal transcribed spacers (ITS-1 dan ITS-2) dan 5,8S rDNA (riboprinting) dan mtDNA cox2 gene markers telah dikembangkan (Quiazon et al, 2009). Menurut Mattiucci (1845) Ketidak konsistenan dalam karakter morfologi Anisakis menyulitkan dalam menentukan filogeni yang tepat. Hal ini mendorong kebutuhan untuk mengklasifikasikan nematoda berdasarkan karakter genetik dan / atau metode biokimia. Jadi, dimulai pada akhir tahun 1980-an, peneliti mulai mengevaluasi taksonomi parasit nematoda, dan genetik diferensiasi dan hubungan antara taxa dari genus. Di perairan Bali dan Jawa telah dilakukan penelitian tentang Anisakis secara morfologi sekuensing pada region ITS 1, 5.58 dan ITS 2, dan ditemukan
34
bahwa yang dominan adalah Anisakis typical. Selain itu ditemukan pula Anisakis sp 1 dan Anisakis sp 2 (Palm, et al. 2008)
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan pengamatan morfologi parasit nematoda yang menginfeksi ikan cakalang adalah Anisakis sp., tipe I. Berdasarkan pengamatan secara molekuler DNA yang teramplifikasi dengan praimer universal dengan ukuran 950 bp adalah Anisakis sp. 2. Parasit Anisakis sp., menyerang bagian usus, hati, lambung dan otot ikan cakalang. 3. Secara mikroskopik anisakis memiliki tubuh yang bulat panjang berwarna putih trasparan, pada bagian anterior terdapat ventriculus (0,2163 ± 0,0025 mm) yang berwarna putih. 4. Parasit Anisakis sp., tidak ditemukan pada ikan berukuran kecil (≤ 30 cm), dan prevalensi mencapai 58,33 % pada ikan berukuran besar (> 30 cm) dan intensitas 21,7857±35,9757 individu/ekor.
Saran Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menegenai Anisakis sp., pada ikan cakalang untuk mengetahui jenis-jenis/spesies yang terdapat di Indonesia yang menyerang ikan cakalng (Katsuwonus pelamis).
36
DAFTAR PUSTAKA
Abe, N., Tominaga, K., and Kimata, I. 2006. Usefulness of PCR-Restriction Fragment Length Polimorphism Analysis of the Internal Transcribed Spacer Region of rDNA for Indentification of A. simplex Complex. Jpn. J. Infect. Dis. 59 : 60 – 62 Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Diseases Common to Man and Animals. Volume III : Parasitoses. 3rd Ed. Washington DC: Pan American Health Organization Adroher FJ, Valero A, Ruiz J, Iglesias L. 1995. Larval anisakids (Nematoda: Ascaridoidea) in horse mackeral (Trachurus trachurus) from the fish market in Granada, Spain. Parasitol Res 82:319-322 Anderson R.C. 2000.Nematode Parasit of Vertebrates: Their Development and . 2nd edision CAB. International. UK. P.650. Anonim, 2010. Aquaculture Fish Informasi. Cakalang (Katsuwonus pelamis). http://cakalang-katsuwonus-pelamis.html Anonim.
2010. Parasit dalaman Manusia. Contact_info_privaeg_policy_sitemay@2010_parasinhumans.org
Audicana,M.T., Ansotegui I.J,. de Corres L.F and Kennedy M.W. 2002. Anisakis simplelex : dangerous – dead and alive?. TRENDS in Parasitology Vol. 18 No. 1:20 – 25. Baladin, La ode. 2007. Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan Kembung (Rastrelliger spp.). Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor. Bogor Beron-Vera B., Pedrasa S.N., Raga J.A, Pertierra A.G, Crepso EA, Alonso MK, Goodall RN. 2001. Gastrointestinal helminthes of Commerson’s dolphins Cephalorhyncus commersonii from center patogonia and tierra del Fuego. Diseases of Aquatic Organisms 47:201 – 208. Bircher AJ, Gysi B, Zenklusen HR, Aerni R. 2000. Eosinophilic oesophagitis associated with recurren urticaria: Is there a worm (Anisakis simplex) in the rose. Schweiz Med Wochenschr 130:1814-9 Bleeker, 1851 – Mackerel Scads round scads. 2009. http://wikipedia,thefree_encyclopedia.Decapterus.htm Departemen of fisheries. Government of western Australia. Published: June 1998/ Last update: Jan 2005. Mycobacteriosis/ Nocardiosis Anisakid Nematodes Crayfish Handlers Disease.
37
Fishblogh. 2010. Ikan Layang Sebagai Alternatif Untuk Meningkatkan Konsumsi Ikan. http://ikan-layang-sebagai-alternatif-untuk.html Herreras MV, Aznar FJ, Balbuena JA, Raga JA. 2000. Anisakid Larvae in the Musculature of the Argentinean Hake. Merluccius hubbsi. J Food Prot 63:1141-1143 Lee, M., Cheon D.S., and Choi C. 2009. Molecular genotyping of Anisakis species from Korean sea fish by polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP). Journal of Food Control. 20:632-626. Levsen A, Lunestad BT, Berland B. 2004. Low Detection Efficiency of Candling as a Commonly Recommended Inpection Method for Nematode Larvae in the Flesh of Pelagic Fish. J Food Prot 68:828-832 Mattiucci S. dan Nascetti G. 1845. Molecular Systematics, Phylogeny And Ecology Of Anisakid Nematodes Of The Genus Anisakis Dujardin. P.113 Palm.,Damriyasa., Linda and Oka. 2008. Molekuler Genotiype on Anisakis. Jurnal of Helminthologia, 4,1:3-12 Parker, J.N. and Parker P.M. 2002. The Official Patient’s Sourcebook of Anisakiasis. ICON Health Publication, San Diego, USA. PP 120. Schopf LR, Hoffmann KF, Cheever AW, Urban JF, Wynn TA. 2002. IL-10 Is Critical for Host Resistance and Survival During Gastrointestinal Helminth Infection. J Immunol 168:2383-2392 Setyobudi., Hyeok Jeon., Ho Lee., Baik Seong and Ho Kim. 2010. Occurrence and Identification of Anisakis spp. (Nematoda: Anisakidae) Isolated from Chum Salmon (Oncorhynchus keta) in Korea. Strǿmnes, E. and Andersen K. 2003. Growth of wholewarm (Anisakis simplex, Nematodes, Ascaridoidea, Anisakidae) third-stage Larvae in paratenic fish hosts. Parasitol Res 89 : 335 – 341 Wharton DA, Hassall ML, Aalders O. 1999. Anisakis (Nematoda) in some New Zealand inshore fish. New Zealand J of Marine and Freshwater Res 33:643-648 Yman L. 2003. Spesifik IgE in the diagnosis of parasite-induced allergy. Allergy 59:14-17
38
Lampiran 1. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan pertama pada hari Kamis 29 Juli 2010 pada pelelangan ikan Beba di Kabupaten Takalar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar Takalar
23 20 22,5 22,7 20 19 20,5 22,5 22 21 25 21
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
-
-
panjang ventriculus dalam skala -
panjang Ventriculus (mm) -
39
Lampiran 2. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kedua pada hari Kamis 5 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kakatua
58
12
12
2
Kakatua
58
5
5
panjang ventriculus dalam skala 75 70 75 75 80 68 80 75 70 70 80 75 68 75 84 70 90
panjang Ventriculus (mm) 0,765 0,714 0,765 0,765 0,816 0,6936 0,816 0,765 0,714 0,714 0,816 0,765 0,6936 0,765 0,8568 0,714 0,918
Lampiran 3. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan ketiga pada hari Jum’at 6 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kakatua
55
27
-
2
Kakatua
58
27
-
3
Kakatua
35
3
-
4
Kakatua
38
1
-
panjang ventriculus dalam skala tdk dapat di ukur tdk dapat di ukur tdk dapat di ukur tdk dapat di ukur
panjang Ventricul us (mm) -
40
Lampiran 4. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan keempat pada hari Kamis 12 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kaka tua
57
69
69
panjang ventriculus dalam skala 75 88 68 70 78 60 50 73 80 59 66 68 75 90 77 75 64 81 74 78 88 67 52 60 73 60 76 65 77 67 78 58 68 65
panjang Ventriculus (mm) 0,765 0,8976 0,6936 0,714 0,7956 0,612 0,51 0,7446 0,816 0,6018 0,6732 0,6936 0,765 0,918 0,7854 0,765 0,6528 0,8262 0,7548 0,7956 0,8976 0,6834 0,5304 0,612 0,7446 0,612 0,7752 0,663 0,7854 0,6834 0,7956 0,5916 0,6936 0,663
41
67 60 61 63 86 69 60 89 70 76 68 51 90 62 68 55 76 59 65 70 55 70 55 74 60 65 70 55 60 59 85 70 75 60
0,6834 0,612 0,6222 0,6426 0,8772 0,7038 0,612 0,9078 0,714 0,7752 0,6936 0,5202 0,918 0,6324 0,6936 0,561 0,7752 0,6018 0,663 0,714 0,561 0,714 0,561 0,7548 0,612 0,663 0,714 0,561 0,612 0,6018 0,867 0,714 0,765 0,612
42
Lampiran 5. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kelima pada hari Jum’at 13 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No 1
Lokasi Kakatua
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
60
-
-
panjang ventriculus dalam skala -
panjang Ventriculus (mm) -
Lampiran 6. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan keenam pada hari Jum’at 20 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Potere Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Potere
58
1
1
2
Potere
58
2
2
panjang ventriculus dalam skala 81 65 50
panjang Ventriculus (mm) 0,8262 0,663 0,51
Lampiran 7. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan ketujuh pada hari Senin 23 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Potere Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
Potere
54
105
97
1
panjang ventriculus dalam skala 40 22 22 21 20 20 30 30 26 25 20 22 22 20 30 26
panjang Ventriculus (mm) 0,408 0,2244 0,2244 0,2142 0,204 0,204 0,306 0,306 0,2652 0,255 0,204 0,2244 0,2244 0,204 0,306 0,2652
43
20 22 20 22 20 21 32 20 20 21 25 25 20 25 20 25 10 21 25 20 16 26 20 25 15 20 30 20 30 20 25 30 25 20 25 21 30 11 15 30 23
0,204 0,2244 0,204 0,2244 0,204 0,2142 0,3264 0,204 0,204 0,2142 0,255 0,255 0,204 0,255 0,204 0,255 0,102 0,2142 0,255 0,204 0,1632 0,2652 0,204 0,255 0,153 0,204 0,306 0,204 0,306 0,204 0,255 0,306 0,255 0,204 0,255 0,2142 0,306 0,1122 0,153 0,306 0,2346
44
2
Potere
53
153
106
12 25 25 20 22 28 30 23 35 23 30 21 22 20 31 25 20 25 30 26 34 24 25 20 19 25 26 25 23 32 21 19 22 29 22 20 25 11 30 25 30
0,1224 0,255 0,255 0,204 0,2244 0,2856 0,306 0,2346 0,357 0,2346 0,306 0,2142 0,2244 0,204 0,3162 0,255 0,204 0,255 0,306 0,2652 0,3468 0,2448 0,255 0,204 0,1938 0,255 0,2652 0,255 0,2346 0,3264 0,2142 0,1938 0,2244 0,2958 0,2244 0,204 0,255 0,1122 0,306 0,255 0,306
45
25 25 44 35 25 30 35 25 27 30 32 20 32 20 25 30 27 30 30 25 40 27 25 25 16 30 35 20 25 20 30 30 35 31 21 20 35 30 29 28 36
0,255 0,255 0,4488 0,357 0,255 0,306 0,357 0,255 0,2754 0,306 0,3264 0,204 0,3264 0,204 0,255 0,306 0,2754 0,306 0,306 0,255 0,408 0,2754 0,255 0,255 0,1632 0,306 0,357 0,204 0,255 0,204 0,306 0,306 0,357 0,3162 0,2142 0,204 0,357 0,306 0,2958 0,2856 0,3672
46
25 30 25 32 21 31 30 22 26 35 33 43 25 21 36 30 25 22 35 25 30 20 30 40 19 36 29 29 40 30 16 30 40 30 25 30 31 25 30 42 24
0,255 0,306 0,255 0,3264 0,2142 0,3162 0,306 0,2244 0,2652 0,357 0,3366 0,4386 0,255 0,2142 0,3672 0,306 0,255 0,2244 0,357 0,255 0,306 0,204 0,306 0,408 0,1938 0,3672 0,2958 0,2958 0,408 0,306 0,1632 0,306 0,408 0,306 0,255 0,306 0,3162 0,255 0,306 0,4284 0,2448
47
40 30 18 30 35 22 19 25 35 35 30 40 25 31 28 30 14 30 40 29 30 45 30
0,408 0,306 0,1836 0,306 0,357 0,2244 0,1938 0,255 0,357 0,357 0,306 0,408 0,255 0,3162 0,2856 0,306 0,1428 0,306 0,408 0,2958 0,306 0,459 0,306
Lampiran 8. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kedelapan pada hari Kamis 26 Agustus 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kakatua
48
2
2
2
Kakatua
48
4
4
panjang ventriculus dalam skala 38 45 55 55 52 53
panjang Ventriculus (mm) 0,3876 0,459 0,561 0,561 0,5304 0,5406
48
Lampiran 9. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kesembilan pada hari Rabu 13 Oktober 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kakatua
58
8
3
2 3 4 5
Kakatua Kakatua Kakatua Kakatua
50 51 55 57
1 1 -
1 1 -
panjang ventriculus dalam skala 15 25 40 20 20 -
panjang Ventriculus (mm) 0,153 0,255 0,408 0,204 0,204 -
Lampiran 10. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kesepuluh pada hari Kamis 21 Oktober 2010 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1
Kakatua
34
1
1
panjang ventriculus dalam skala 32
panjang Ventriculus (mm) 0,3264
Lampiran 11. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan kesebelas pada hari Jum’at 7 Januari 2011 pada pelelangan ikan Kaka tua Makassar.
No
Lokasi
Ukuran Ikan (cm)
Jumlah Nematoda
Jumlah Anisakis
1 2 3 4
kakatua kakatua kakatua kakatua
30 32 31 35
1
1
panjang ventriculus dalam skala 21
panjang Ventriculus (mm) 0,2142
49
Lampiran 12. Data ikan cakalang untuk membedakan antara ikan kecil ≤ 30 cm dan ikan besar > 30 cm.
No 1 2 3 4
Pengambilan sampel III tanggal 06 Agustus 2010 K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis B 55 27 B 58 27 B 35 3 B 38 1 0 Total Parasit
Pengambilan sampel IV tanggal 12 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 57 69 69 69 Total Parasit Pengambilan sampel V tanggal 13 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 60 0 Total Parasit Pengambilan sampel VI tanggal 20 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 58 1 1 2 B 58 2 2 3 Total Parasit Pengambilan sampel VII tanggal 23 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 54 105 97 2 B 53 153 106 203 Total Parasit Pengambilan sampel VIII tanggal 26 Agustus 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 48 2 2 2 B 48 4 4 6 Total Parasit Pengambilan sampel IX tanggal 13 Oktober 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 58 8 3 2 B 50 1 1
50
3 4 5
B B B
51 55 57 Total Parasit
1 -
1 5
Pengambilan sampel X tanggal 21 Oktober 2010 No K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis 1 B 34 1 1 1 Total Parasit
No 1 2 3 4
Pengambilan sampel XI tanggal 07 Januari 2011 K/B Panjang Ikan Nematoda Anisakis B 30 B 32 B 31 B 35 1 1 1 Total Parasit
51
Lampiran 13. Perhitungan nilai prevalensi dan intensitas serangan parasit Anisakis spp., pada ikan cakalang yang berukuran kecil (≤ 30 cm) dan berukuran besar (> 30 cm) pada setiap pengambilan sampel. A. Tingkat serangan parasit prevalensi dari 11 kali pengambilan sampel pada ikan kecil (≤ 30 cm) dan ikan besar (> 30 cm). 1. Pengambilan sampel pertama
Berukuran kecil (≤ 30 cm) =
0 12
100% = 0 %
2. Pengambilan sampel kedua
Berukuran besar (> 30 cm) =
2 2
100% = 100 %
3. Pengambilan sampel ketiga
Berukuran besar (> 30 cm) =
0 4
100% = 0 %
4. Pengambilan sampel keempat
Berukuran besar (> 30 cm) =
1 1
100% = 100 %
5. Pengambilan sampel kelima
Berukuran besar (> 30 cm) =
0 1
100% = 0 %
6. Pengambilan sampel keenam
Berukuran besar (> 30 cm) =
2 2
100% = 1 00%
52
7. Pengambilan sampel ketujuh
Berukuran besar (> 30 cm) =
2 2
100% = 1 00%
8. Pengambilan sampel kedelapan
Berukuran besar (> 30 cm) =
2 2
100% = 1 00%
9. Pengambilan sampel kesembilan
Berukuran besar (> 30 cm) =
3 5
100% = 60 %
10. Pengambilan sampel kesepuluh
Berukuran besar (> 30 cm) =
1 1
100% = 1 00%
11. Pengambilan sampel kesebelas
Berukuran besar (> 30 cm) =
1 4
100% = 25 %
B. Intensitas parasit dari 11 kali pengambilan sampel pada ikan kecil (≤ 30 cm) dan ikan besar (> 30 cm). 1. Pengambilan sampel pertama
Berukuran kecil (≤ 30 cm) =
0 = 0 0
/
53
2. Pengambilan sampel kedua
Berukuran besar (> 30 cm) =
17 = 8,5 2
/
3. Pengambilan sampel ketiga
Berukuran besar (> 30 cm) =
0 = 0 0
/
4. Pengambilan sampel keempat
Berukuran besar (> 30 cm) =
69 = 69 1
/
5. Pengambilan sampel kelima
Berukuran besar (> 30 cm) =
0 = 0 0
/
6. Pengambilan sampel keenam
Berukuran besar (> 30 cm) =
3 = 1,5 2
/
7. Pengambilan sampel ketujuh
Berukuran besar (> 30 cm) =
203 = 101,5 2
/
8. Pengambilan sampel kedelapan
Berukuran besar (> 30 cm) =
6 = 3 2
/
54
9. Pengambilan sampel kesembilan
Berukuran besar (> 30 cm) =
5 = 1,67 3
/
10. Pengambilan sampel kesepuluh
Berukuran besar (> 30 cm) =
1 = 1 1
/
11. Pengambilan sampel kesebelas
Berukuran besar (> 30 cm) =
Prevalensi Intensitas Stdv Pre Stdv Int
1 = 1 1 Kecil 0 0 0 0
/ Besar 0,5833 % 21,7857 Indv/ekor 0,4385 35,9757