BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glaukoma merupakan suatu keadaan klinis dimana tekanan bola mata seseorang sangat tinggi atau tidak normal sehingga mengakibatkan kerusakan syaraf optik mata (Ananta, 2014). Kerusakan syaraf optik mata yang berkelanjutan dapat mengakibatkan gangguan pada sebagian atau seluruh lapang pandang mata. Glaukoma terjadi bila cairan mata di dalam bola mata pengalirannya terganggu (Ilyas, 2007). Glaukoma dapat menyerang siapa saja. Ditinjau dari sisi epidemiologi, diperkirakan 66 juta penduduk dunia sampai tahun 2010 menderita gangguan penglihatan karena glaukoma (Budiono, 2013). WHO memasukkan glaukoma sebagai penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia yaitu sebesar 8%. Diperkirakan akan terjadi peningkatan angka kebutaan di dunia sebesar 11,1 juta pada tahun 2020 (WHO, 2012). Di Indonesia, tercatat 0,16% penduduk mengalami gangguan lapang pandang (Ilyas, 2007). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6%, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (1,85%), berturut-turut diikuti Provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan Riau (1,26%), Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatra Barat (1,14%) dan terendah Provinsi Riau (0,04%) (Kemenkes, 2015). Kerusakan penglihatan yang disebabkan karena meningkatnya tekanan intraokular ini merupakan penyebab kebutaan terbesar nomor 2 di Indonesia setelah katarak (Depkes RI, 2003).
1
2
Kita harus mengenali glaukoma sejak dini. Pada usia diatas 35 tahun sebaiknya seseorang mengenali dan memahami penyakit glaukoma. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang tidak memahami tentang penyakit glaukoma (Ilyas, 2007). Glaukoma sering disebut dengan pencuri penglihatan karena gejala glaukoma sering tidak disadari oleh penderitanya dan sering dianggap sebagai suatu gejala penyakit lain (Ismandari, 2010). Mayoritas pasien datang dengan keluhan non-glaukoma dan terdiagnosis glaukoma setelah dilakukan beberapa pemeriksaan. Bagi mereka yang telah didiagnosis glaukoma, lebih dari sepertiga tidak mengetahui atau tidak yakin dengan tipe glaukoma yang mereka derita. Padahal kebutaan yang disebabkan karena glaukoma merupakan kebutaan yang irreversible. Hal ini berbeda dengan kebutaan karena katarak yang reversible setelah mendapat pengobatan. Ketidaktahuan tentang sifat penyakit dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam pengobatan penyakit tersebut. Pada kasus glaukoma, ketidakpatuhan pengobatan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan (Kong, dkk., 2013). Pada penderita glaukoma, kehilangan penglihatan dianggap sebagai suatu stressor tersendiri. Hilangnya lapang pandang baik unilateral maupun bilateral
dapat
menyebabkan
penurunan
produktivitas
dan
tingkat
kemandirian. Selain itu, kebutaan juga dapat menyebabkan seseorang kehilangan lapangan pekerjaan, hilangnya fungsi sosial di masyarakat, dll. Hal ini dapat memicu terjadinya kecemasan hingga depresi.
3
Kecemasan adalah respon terhadap suatu
ancaman yang sumbernya
tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual. Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan (Kaplan & Sadock, 2010). Namora, (2009) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan suatu tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika seseorang berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Suatu kecemasan dapat bersifat fisiologis dan patologis. Kecemasan dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mengatasi rasa cemasnya. Suatu masalah kecemasan bukan tidak mungkin untuk diatasi. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi kecemasan seperti dengan berdzikir, mengingat Allah, bekerja, mendengarkan musik dll. Seperti dalam QS Ar-Ra’d ayat 28 :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dengan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
4
Kecemasan juga dapat terjadi karena suatu kondisi medis umum. Gejala kecemasan tersebut identik dengan gejala gangguan kecemasan primer. Gejala tersebut merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada gangguan cemas karena kondisi medis umum (Kaplan dan Sadock, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mohamed, dkk., (2011) didapatkan data yang menunjukkan adanya perasaan putus asa pada penderita glaukoma. Hal ini disebabkan karena tingginya miskonsepsi pengetahuan tentang glaukoma dan perilaku yang buruk dalam menjaga kesehatan mata. Perilaku yang buruk menyebabkan semakin buruknya progresifitas kehilangan lapang pandang. Kehilangan lapang pandang menyebabkan suatu perasaan yang mengancam mengenai ketidakpastian dimasa mendatang yang berdampak pada kecemasan pasien. Fabjani, (2015) mengungkapkan bahwa tingkat pengetahuan tentang glaukoma masih sangat buruk. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian yang diadakan sebelumnya. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Lau yang mengungkapkan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit mata di beberapa negara berkembang. Dari hasil survey 22,9% masyarakat dapat mendeskripsikan tentang penyakit katarak dengan benar, tetapi hanya 10,2% yang dapat mendeskripsikan tentang glaukoma. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang glaukoma dan dukungan psikologis sangat dibutuhkan. Pengembangan edukasi harus ditingkatkan untuk memberikan informasi lebih lanjut dan meningkatkan efektifitas promosi kesehatan serta dapat menghindari kebutaan dan kecemasan. Agorastos, dkk., (2013) dalam
5
penelitiannya juga menyebutkan rendahnya daya tarik peneliti dalam meneliti hubungan antara kecemasan, depresi, dan gangguan tidur pada pasien glaukoma yang berbanding terbalik dengan tingginya level komorbiditas depresi, kecemasan, dan gangguan tidur pada pasien glaukoma. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh tingkat pengetahuan tentang glaukoma dengan tingkat kecemasan pasien glaukoma di RS. Mata Dr. Yap, Yogyakarta B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan pasien tentang glaukoma dengan tingkat kecemasan pada pasien glaukoma? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan pasien tentang glaukoma dengan tingkat kecemasan pasien glaukoma di RS. Mata Dr. Yap Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian dan pengembangan wawasan ilmu kedokteran jiwa, khususnya mengenai: Hubungan tingkat pengetahuan tentang glaukoma dengan tingkat kecemasan pasien glaukoma di RS. Mata Dr. Yap Yogyakarta
6
2. Manfaat praktis a. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti bagi rumah sakit, khususnya dalam pengembangan pelayanan kesehatan
secara
holistik.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan program penyuluhan baik dari aspek glaukoma maupun aspek psikis pasien sehingga selain meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien, juga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien glaukoma di RS. Mata Dr. Yap Yogyakarta. b. Bagi Pasien Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pasien mengenai glaukoma dan pengendalian kecemasan, bahwa glaukoma bukan suatu penyakit yang harus ditakuti, namun harus dipahami sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien. c. Bagi Peneliti Meningkatkan pemahaman mengenai hubungan pengetahuan pasien tentang penyakit glaukoma dengan tingkat kecemasan pasien glaukoma. d. Bagi Insitusi Sebagai sumber atau bahan penelitian selanjutnya.
7
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh pengetahuan pasien terhadap tingkat kecemasan pasien glaukoma di RS. Mata Dr. Yap, sejauh yang penulis ketahui belum terdapat penelitian yang sejenis. Namun penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
No.
1.
2.
Nama Pengarang, Tahun, Judul Penelitian Mohammed,E., Bayoumi, O., & Draz, S. (2011), “Impact of an Educational Programme on Knowledge, Beliefs, Practices and Expectation about Care Among Adolescent Glaucoma Patients in Cairo.”
(Agorastos, dkk., 2013), “Depression, Anxiety, and Disturbed Sleep in Glaucoma.”
Tabel 1. Keaslian Penelitian Metode Hasil
Persamaan dan Perbedaan
A quasieksperimental dengan desain one group pretest post-test pada subyek 50 remaja (usia rata-rata 12-18 tahun) yang memiliki kriteria inklusi glaukoma kongenital atau glaukoma sekunder.
Terdapat 12% dari populasi penelitan mempunyai pengetahuan yang baik dan ditemukan kepercayaan diri yang meningkat pada pasien setelah penyuluhan
Persamaan: Penelitian ini memiliki persamaan dengan peneliti yaitu meneliti dampak dari pengetahuan pada pasien glaukoma. Perbedaan:Peneliti tidak memberikan program penyuluhan kepada responden penelitian. Sedangkan pada penelitian tersebut peneliti melakukan penyuluhan yang digunakan sebagai pembanding.
Cross sectional study pada subyek pasien glaukoma di Department of Ophtalmology University Medical Centre HamburgEppendorf.
Hasilnya didapatkan 36% dari populasi penelitian mencapai batas skor BDI yang mengindikasikan depresi ringan pada 44,8% di VFD group dan 24,3% di n-VFD group. STAI
Persamaan: Penelitian ini memiliki persamaan dengan peneliti yaitu meneliti tentang kejadian kecemasan pada pasien glaukoma. Perbedaan:Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti tidak meneliti hubungan
8
(p=0.028) menunjukkan efek persisten dari cemas.
3.
depresi dan kualitas tidur dengan glaukoma. peneliti hanya meneliti tentang hubungan pengetahuan terhadap tingkat kecemasan pada pasien glaukoma. Kong, dkk., Cross Didapatkan Persamaan: 2013, Is sectional study Hasil yang Penelitian ini Glaucoma pada 86 pasien signifikan memiliki persamaan Comprehension glaukoma berupa dengan peneliti yaitu Associated with yang hubungan antara meneliti kejadian Psychological memenuhi glaukoma kecemasan pada Disturbance and kriteria inklusi terhadap kualitas pasien glaukoma Vision-Related dan eksklusi. tidur, tingkat Perbedaan: Peneliti Quality of Life kecemas dan tidak meneliti for Patients with depresi pada hubungan antara Glaucoma? A pasien glaukoma glaukoma dengan Cross-Sectional p<0,05 kualitas tidur dan Study depresi. Peneliti hanya menghubungkan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan pasien glaukoma.