BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Teridentifikasi sebanyak 30.000 jenis flora di Indonesia dan 950 spesies di antaranya diketahui memiliki fungsi bio-farmaka dari 40.000 jenis flora di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang yang cukup baik untuk menjadi salah satu negara terbesar dalam industri obat tradisional dan kosmetik alami berbahan baku tumbuhan (Devy & Sastra, 2006). Tanaman empon-empon mempunyai nilai penting dalam menunjang perekonomian Indonesia dari sektor non migas. Simplisia dari rimpang empon-empon banyak diminati sebagai bahan baku obat-obatan tradisional. Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan jenis tanaman empon-empon yang paling
terkenal, sering digunakan, dan paling tinggi harganya (Heyne,
1987). Nilai ekonomis kunyit terletak pada rimpangnya. Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri sebagai metabolit sekunder yang mempunyai sifat mudah menguap pada suhu ruang dan larut dalam pelarut organik (Wijayati et al., 2005). Kunyit juga merupakan salah satu tanaman obat potensial. Selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai bumbu dapur dan zat pewarna alami. Dalam dunia kesehatan, kunyit banyak dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit,
1
2
antara lain gangguan empedu, batuk, luka diabetes, gangguan hati, rematik dan sinusitis. Senyawa aktif kunyit yaitu kurkuminoid yang memiliki aktivitas antioksidan,
antivirus,
antiinflamasi,
antifertilitas,
hepatoprotektif,
dan
antibakteri,
aktivitas
antijamur,
imunostimulan
antidiabetik, pada
hewan.
Kurkuminoid menghambat biosintesis leukotriene melalui jalur liposigenase dan mengurangi pembentukan prostaglandin (Kumar & Sakhya , 2013). Nilai ekspor kunyit selama tahun 2011 sebesar 4,5 juta US$ dengan volume berat 2.672 ton, sedangkan nilai impornya sebesar 332 ribu US$ dengan volume berat 269 ton. Oleh karena itu, surplus perdagangan yang diperoleh sebesar 2.402 ton dengan nilai 4,1 juta US$. Produktivitas kunyit di Indonesia pada tahun 2011 ini sebesar 2,03 kg/m2. Volume ekspor dapat terus meningkat sejalan dengan peningkatan produktivitasnya. Tanaman kunyit berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia sebagai penghasil devisa, menambah lapangan pekerjaan, memenuhi kebutuhan obat dalam negeri, dan menambah penghasilan petani. Untuk itu perlu dilakukan penanaman kunyit dalam kebun yang luas dilengkapi dengan unit pengolahan sehingga dapat menghasilkan bahan baku yang siap bersaing dengan luar negeri (Anonim, 2012). Kunyit merupakan tumbuhan geofit yaitu tumbuhan tanah dengan kuncup terminal terkubur di bawah tanah. Tumbuhan ini akan menghasilkan rimpang pada
saat musim kemarau. Ciri – cirinya yaitu berakhirnya pertumbuhan vegetatif, seperti terjadi kelayuan/ perubahan warna daun dan batang yang semula hijau berubah menjadi kuning (tanaman kelihatan mati). Perbanyakan tanaman ini biasanya dilakukan dengan cara menanam kembali potongan rimpang yang telah
3
cukup tua tanpa diberi perlakuan, sehingga penggandaannya sangat lambat dan daya produksinya juga rendah. Pemeliharaan tanaman dengan penanaman tahunan memerlukan biaya yang mahal dan tenaga yang banyak. Selain itu, penyakit seperti busuk rimpang yang disebabkan oleh Pythium sp., dan bercak daun yang disebabkan oleh Taphrina sp. dan Collectrichum sp. banyak merusak rimpang sehat yang akan digunakan sebagai bibit (Nayak & Naik, 2006). Produktivitas umbi bibit untuk produksi bibit yang cocok bergantung pada faktor-faktor seperti: fotoperiodisme, suhu, umur fisiologis umbi bibit, kerapatan tanaman, nitrogen, penyediaan air, dan zat pengatur tumbuh (Gregory, 1965). Zat pengatur tumbuh memiliki efek yang cukup besar pada kesuburan umbi dan sangat berkaitan dengan keseimbangan hormonal (Stuart & Cathey, 1961; Vreugdenhil & Struik, 2006). Dengan memperlakukan umbi menggunakan giberelin, umbi akan bertunas lebih cepat. Pemberian giberelin secara eksogen dapat menghasilkan lebih banyak jumlah umbi bibit kentang (Rehman et al., 2001; Burton, 1989). Xin et al. (1998) menunjukkan bahwa giberelin merupakan regulator dominan dalam pembentukan umbi kentang. Jumlah giberelin pada organ yang berbeda akan berubah selama fase pertumbuhan. Aktivitas giberelin tertinggi pada fase vegetatif dan terendah pada saat umbi dormansi (Mikitzel, 1993). Hasil penelitian Rahman et al. (2006) menunjukkan bahwa aplikasi giberelin memiliki potensi untuk memecahkan dormansi dan mempercepat tunas dalam kultivar lokal bawang putih. Shibairo et al. (2006) melaporkan bahwa dengan penambahan giberelin secara eksogen dapat meningkatkan pertunasan, jumlah tunas per umbi, panjang dan indeks vigor tunas.
4
Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pertunasan umbi maka perlu dilakukan pemberian giberelin secara eksogen. Berdasarkan
pada
latar
belakang
tersebut,
adanya
peningkatan
produktivitas kunyit maka nilai ekspor juga akan meningkat. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas budidaya kunyit. Kendalanya terletak pada masa dormansi rimpang kunyit yang dapat menghambat pertunasan dan rimpang kunyit hanya dapat dipanen pada musim kemarau saja. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat dilakukan pemberian giberelin secara eksogen pada rimpang kunyit sebelum ditunaskan. Variasi pola pengirisan rimpang bertujuan untuk mengetahui bagian rimpang mana yang paling cepat tumbuh, sehingga dapat mempermudah pemilihan bagian rimpang yang optimal dalam pertunasan dan mengurangi biaya bibit. Selain itu juga pengirisan bertujuan untuk memperluas bidang penyerapan giberelin. Dalam penelitian ini dikaji mengenai upaya untuk mempercepat proses pertunasan kunyit dengan cara mengkombinasikan antara pola pengirisan rimpang kunyit dengan perendaman giberelin. Dalam penelitian ini juga akan membandingkan proses pertunasan antara rimpang induk (empu) dengan rimpang cabang kunyit. Hal ini diharapkan dapat mempercepat waktu pertunasan kunyit dan meningkatkan pertumbuhan kunyit.
5
B. Permasalahan Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1.
Dari rimpang kunyit mana yang paling cepat bertunas ?
2.
Bagaimanakah kecepatan pertunasan dengan metode pengirisan dari rimpang kunyit induk dan cabang?
3.
Bagaimanakah pengaruh giberelin terhadap pertunasan rimpang induk dan rimpang cabang kunyit?
4.
Bagaimanakah pengaruh kombinasi perbedaan pola pengirisan, jenis rimpang dan giberelin terhadap kecepatan pertunasan rimpang kunyit ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui bagian rimpang kunyit yang paling cepat bertunas.
2.
Mengukur kecepatan pertunasan dengan metode pengirisan berbeda pada rimpang kunyit induk dan cabang.
3.
Mengkaji pengaruh giberelin terhadap pertunasan rimpang kunyit induk dan cabang.
4.
Mengetahui pengaruh kombinasi pola pengirisan, jenis rimpang dan giberelin terhadap kecepatan pertunasan rimpang kunyit.
6
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Memberikan informasi mengenai bagian dan jenis rimpang yang tepat dalam penanaman rimpang kunyit sehingga dapat dipakai sebagai acuan dalam teknik budidaya kunyit.
2.
Mempercepat waktu pertunasan dan meningkatkan pertumbuhan kunyit.