I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagai negara tropis dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (FAO, 1991). Hutan tropis ini merupakan sumberdaya alam hayati (plasma nutfah) yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati serta memiliki peran sangat penting dalam sistem penyangga kehidupan yang sangat vital, antara lain sebagai sumber bahan makanan, bahan papan, serta bahan baku industri dan obat-obatan, di samping berperan sebagai paru-paru dunia dan mensuplai oksigen bagi lingkungan global (Ditjen PHKA, 2007). Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting bagi fungsi ekologis, yaitu dalam regenerasi hutan tropik. Sebagian besar primata memakan buah dan biji sehingga mereka berperan penting dalam penyebaran biji-bijian/benih (seed dispersal), keseimbangan, dan kelestarian ekosistem hutan (Fachrul, 2012; Basalamah dkk, 2010). Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam jenis primata terkaya di dunia. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada, 40 jenis ditemukan di Indonesia, dan 24 jenis di antaranya merupakan satwa endemik yang hanya hidup di Indonesia. Primata endemik pun ditemukan di Pulau Jawa yang merupakan pulau hunian terpadat di Indonesia. Potensi pengurangan habitat primata terparah ada di pulau tersebut. Hingga kini primata-primata yang masih bertahan hidup dan endemik adalah owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata),
1
2
rekrekan (Presbytis fredericae) dan kukang Jawa (Nycticebus javanicus) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Rekrekan atau lutung kelabu (Fresbytis fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik di Jawa Tengah yang hanya dapat dijumpai di beberapa kawasan saja seperti Gunung Slamet, Gunung Cupu, Gunung Sumbing, Gunung Sundoro dan Gunung Merbabu (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Species yang pada awalnya diklasifikasikan sebagai anak jenis
dari Surili (Presbytis comata) ini dikategorikan IUCN dalam status genting (endangered) sehingga perlu upaya-upaya konservasi untuk pelestariannya. Rekrekan
mengalami
ancaman kepunahan
yang tinggi,
karena
penangkapan di alam dan kerusakan habitatnya. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) habitat rekrekan telah menyusut sekitar 96% dari luas awal 43.274 km2 menjadi hanya 1.608 km2. Menyusutnya habitat rekrekan tersebut mengakibatkan rekrekan hanya menempati sisa-sisa habitat yang masih ada. Salah satu habitat rekrekan yang masih tersisa, yaitu berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb). Keberadaan kawasan yang terletak di wilayah Pulau Jawa dengan populasi penduduk yang padat, menjadikan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya cukup rawan terhadap kerusakan. Menurut
Indrawan
dkk.
(2007),
penyebab
utama
hilangnya
keanekaragaman hayati bukanlah dari eksploitasi manusia secara langsung, melainkan kerusakan habitat sebagai akibat yang tidak dapat dihindari dari bertambahnya populasi penduduk dan kegiatan manusia. Lebih lanjut, Nursahid (2000) menyatakan bahwa beberapa primata membutuhkan hutan yang masih
3
bagus, jauh dari gangguan sehingga satwa tersebut tidak akan survive dengan adanya pembukaan hutan. Sebagaimana lutung lainnya, rekrekan umumnya memakan pucuk-pucuk daun, bunga, buah dan biji.
Menurut Alikodra (2002), untuk mendukung
kehidupan satwa liar, termasuk rekrekan diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung dan berkembang biak, maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar tersebut disebut habitat. Rekrekan menempati habitatnya sesuai dengan lingkungan yang diperlukan dalam mendukung kelangsungan hidupnya. Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa habitat rekrekan merupakan hutan tropik atau pegunungan mulai dari ketinggian 350 – 1.500 meter di atas permukaan laut. Menurut Bailey (1984) Pemilihan habitat bersifat khusus, suatu spesies satwa liar akan memilih tipe habitat yang sesuai dengan habitatnya sendiri dan mudahnya berdaptasi untuk mendapatkan makanan dan perlindungan, juga untuk mendapatkan tempat yang baik melalui persaingan.
1.2.
Perumusan Masalah Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) merupakan salah satu
kawasan konservasi yang telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004, tentang Taman Nasional Gunung Merbabu pada kawasan sekitar Gunung Merbabu seluas 5.725
4
hektar. Salah satu dasar penunjukan kawasan ini adalah potensi karakteristik biofisik dan kekayaan plasma nutfah terlebih yang merupakan jenis endemik. Kawasan ini secara administratif terletak di Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali Propinsi Jawa Tengah. Bagi masyarakat sekitar kawasan TNGMb, kawasan ini mempunyai arti yang penting, karena tingginya ketergantungan masyarakat terhadap Gunung Merbabu. Masyarakat sekitar kawasan sebagian besar adalah petani dan buruh tani, selain itu masyarakat juga memelihara ternak. Selain menggarap lahan yang dimiliki, masyarakat juga memanfaatkan kawasan TNGMb dengan menanam dan memanen rumput di dalam kawasan sebagai sumber pakan ternak dan mengambil ranting pohon untuk kayu bakar. TNGMb merupakan kawasan konservasi yang memiliki peranan penting bagi pelestarian ekosistem hutan tropis pegunungan dan habitat dari beberapa jenis hidupan liar yang endemik dan langka.
Di dalam kawasan TNGMb
diketahui terdapat 3 jenis primata, yaitu: monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung hitam (Trachypithecus auratus sondaicus), dan rekrekan atau lutung abu-abu (Presbytis fredericae). Rekrekan merupakan satwa endemik Jawa Tengah yang keberadaannya termasuk dalam kategori genting.
species ini
mengalami ancaman kepunahan yang tinggi karena kerusakan habitatnya. Keberadaan rekrekan di TNGMb hanya ditemukan pada lokasi-lokasi tertentu saja. Menurut Satyatama (2008), dari empat buah jalur pendakian yang ada di TNGMb, yaitu Jalur Tekelan – Puncak, Cuntel – Puncak, Wekas – Puncak, dan Selo – Puncak yang berhasil diinventarisasi dan diinterpretasi, hanya pada
5
Jalur Selo – Puncak terjadi perjumpaan dengan rekrekan. Lebih lanjut, menurut Haryoso (2011) dari hasil pengamatan di sekitar jalur Selo – Puncak, keberadaan rekrekan hanya dapat dijumpai pada blok Pandean dan Nglorokan.
Hal ini
mengindikasikan tidak semua bagian ruang menjadi habitat terpilih bagi rekrekan. Berdasarkan beberapa kenyataan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah ada seleksi habitat oleh rekrekan dalam melakukan aktivitasnya di TNGMb ?
2.
Bagaimana karakteristik vegetasi pada tipe habitat yang dipilih oleh rekrekan di TNGMb ?
3.
Faktor biotik dan abiotik apa saja yang mempengaruhi seleksi habitat oleh rekrekan di TNGMb ?
4.
Bagaimana karakteristik habitat yang dipilih oleh rekrekan di TNGMb pada level microsite ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui adanya seleksi habitat oleh rekrekan di TNGMb.
2.
Mengetahui karakteristik vegetasi pada tipe habitat yang dipilih oleh rekrekan di TNGMb.
3.
Mengetahui faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi seleksi habitat oleh rekrekan di TNGMb ?
4.
Mengetahui karakteristik habitat yang dipilih oleh rekrekan di TNGMb pada level microsite.
6
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain : 1. Memberikan data dan informasi tentang karakteristik habitat rekrekan di TNGMb; 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan suatu standar habitat yang dapat menjamin kelangsungan hidup rekrekan; 3. Dapat digunakan sebagai data pendukung untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan habitat bagi rekrekan di TNGMb. 1.5. Penelitian Lain yang Terkait Penelitian mengenai rekrekan atau lutung abu-abu sudah pernah dilakukan sebelumnya, antara lain : populasi dan distribusi rekrekan di lereng selatan Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Setiawan, dkk (2007), pendugaan tempat-tempat yang menarik untuk melihat lutung abu-abu sebagai obyek daya tarik wisata alam di Taman Nasional Gunung Merbabu oleh Haryoso (2011), dan penggunaan habitat oleh rekrekan di lereng Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Fithria (2012). Penelitian mengenai seleksi habitat oleh rekrekan di TNGMb belum pernah dilakukan sebelumnya. Rincian penelitian lain yang terkait dengan rekrekan maupun seleksi habitat, disajikan di Tabel 1.1. berikut ini.
7
Tabel 1.1. Penelitian yang terkait dengan tema penelitian No
Nama dan judul penelitian
Tahun
Metode penelitian
Hasil penelitian
Keterangan
1
Setiawan, dkk/ populasi dan distribusi rekrekan di lereng selatan Gunung Slamet Jawa Tengah
2007
Metode: Line transect method (Buckland et al., 1993); analisis & estimasi populasi menggunakan pendekatan perpendiculars distance dalam program komputer DISTANCE 5.0
Estimasi populasi di lereng selatan Gunung Slamet (36,6559 m2) adalah 219 individu dengan kepadatan 5,96 individu/km2
Biodiversitas volume 8 nomor 4
2
Agustin/ karakteristik habitat rekrekan di lereng timur Gunung Slamet Jawa Tengah
2007
Untuk mengetahui habitat mikro dan makro digunakan metode point centered quarter method. Analisis data: analisis deskriptif kuantitatif
Habitat mikro: jenis pohon pakan & cover didominasi pohon anggrung (Trema oriantale), jenis pakan non pohon didominasi pandan (Pandanus amboniensi); habitat makro: didominasi pohon panggang (Travesia sundaica), non pohon didominasi sirih-sirihan (Piper)
Skripsi Fakultas Kehutanan UGM
3
Kusuma/ komposisi pakan rekrekan di lereng selatan Gunung Slamet
2007
Metode: focal group sampling Technique (pengamatan prilaku) & frequency of occurrence (mengetahui komposisi &kesukaan pakan)
Rekrekan menghabiskan waktunya untuk makan 47,93%, istirahat 30,86%, bergerak 21,19%; komposisi pakan: daun 87,59%, bunga 10,08%, buah 2,33%; sumber pakan: pohon & liana: Dedek (Ficus toxicaria) 34,88%, mutuan (Araceae) 18,6%, tutub (Macaranga rhizinoides) 17,05%, jurang (Ficus spec) 7,75%, temendilan (Tridax sp) 3,88%.
Skripsi Fakultas Kehutanan UGM
4
Haryoso/ pendugaan tempat-tempat yang menarik untuk melihat lutung abu-abu sebagai obyek daya tarik wisata alam di TNGMb
2011
Pengamatan visual dengan metode Berau of Land Management pada tiga alternatif jalur (Bundas, Nggancik, dan Jurang Bangke).
Keberadaan rekrekan pada TNGMb dijumpai di Blok Pandean & Nglorokan; alternatif jalur wisata satwa liar yang dipilih adalah jalur Jurang Bangke
Tesis Fakultas Kehutanan UGM
8
No
Nama dan judul penelitian
Tahun
Metode penelitian
Hasil penelitian
Keterangan
5
Fithria/ penggunaan habitat oleh rekrekan di lereng gunung slamet Jawa Tengah
2012
Level lanskap: variabel diinterpretasi dengan data SIG & dianalisis dengan analisis geostatistik; level homerange: penentuan homerange dengan mengikuti pola pergerakan harian (daily range), karakteristik habitat dengan metode jalur untuk jenis tumbuhan pohon saja; level habitat mikro:metode animal centred method (untuk mendata karakteristik habitat) & frequency of occurrence (untuk mendata sumber pakan)
Karakteristik habitat rekrekan di Gunung Slamet: a) Level landskap, pada hutan primer & sekunder, hutan tanaman, kebun campuran, elevasi 644 – 2024 mdpl, lebih menyukai lereng selatan; b) level homerange, diameter pohon 38-51 cm, tinggi 15-25 m, jumlah jenis 23-81, keragaman jenis 2,98 -4,15; c) level site spesifik, komposisi pakan 81,65% pucuk daun muda, 2,79% daun tua, 6,70% buah, 4,83% biji, 0,29 cendawan. Keberadaan : dipengaruhi faktor biotik dan abiotik
Disertasi Fakultas Kehutanan UGM
6
Kuswanda dan Pudyatmoko/ Seleksi tipe habitat orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson 1827) di Cagar Alam Sipirok Sumatera Utara
2012
Pengumpulan data : plot contoh bujur sangkar 100 m x 100 m secara sistematik dengan jarak 200 meter pada line transect. Plot untuk mengamati komp. biotik 20 m x 20 m secara sistematik dengan jarak 300 m untuk unused plot dan secara search sampling untuk used plot. Analisis data: indeks kesamaan komunitas Sorensen, MANOVA, indeks seleksi Neu dan ChiSquare test.
Seluruh kawasan CA Sipirok merupakan habitat potensial untuk digunakan orangutan dengan proporsi luas setiap tipe habitat : hutan primer 900-1200 m dpl (77,4%,), hutan primer 600- 900 m dpl (12,3%), hutan sekunder (6,1%) & lahan kering semak belukar (4,3%). Terdapat perbedaan karakteristik vegetasi pada tiap tipe habitat. Pemilihan tipe habitat tertinggi oleh orangutan sebagai tipe habitat yang disukai adalah hutan primer 600-900 m dpl dengan nilai rasio seleksi (wi) 2,210 dan indeks standar seleksi (Bi) 0,402 dan hutan sekunder (wi= 2,052; Bi= 0,373). Orangutan di CA. Sipirok telah beradaptasi dengan area berhutan yang dekat dengan ladang masyarakat lokal.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
9
1.6. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian mengenai seleksi habitat oleh rekrekan di TNGMb Jawa Tengah dituangkan secara sistematik pada Gambar 1.1. berikut ini: Realita Rekrekan: 1. Penting dalam proses ekologi hutan; 2. Primata endemik Jawa Tengah dengan kategori genting; 3. Di TNGMb, hanya ada di lokasi tertentu
Teori & aksioma 1. Seleksi habitat dapat terjadi pada level homerange & microsite 2. Seleksi habitat dapat diprediksi melalui variabel/komp. habitat.
Kebutuhan Data
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah ada seleksi habitat rekrekan di TNGMb ? 2. Karakteristik vegetasi pada tipe habitat yang dipilih oleh rekrekan ? 3. Karakteristik habitat pada level microsite ?
Seleksi tipe habitat: 1. Proporsi used 2. Proporsi expected
Variable habitat: 1. Komp. biotik 2. Komp. abiotik
Analisis Data: Chi-square Test Metode Neu
Kruskal Wallis ANOVA Regresi logistik
Hasil Penelitian
Tipe habitat
yang dipilih oleh rekrekan
Karakteristik veg. pada tipe habitat yg dipilih oleh rekrekan Karakteristik habitat level microsite Model RSPF
Kesimpulan dan Saran
Gambar 1.1. Kerangka pemikiran penelitian seleksi habitat rekrekan di TNGMb