I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pisang merupakan tanaman hortikultura penting yang menjadikan Indonesia negara dengan produktivitas pisang terbesar di dunia semenjak sepuluh tahun terakhir, dengan rerata mencapai 55 ton/Ha. Dalam lima negara dengan produktivitas pisang terbesar di dunia, seperti ditunjukkan gambar 1.1, Indonesia merupakan satusatunya negara dari kawasan Asia Tenggara. Padahal kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan pusat asal (center of origin) tanaman pisang, yang menyimpan kekayaan biodiversitas yang besar, sehingga potensi kawasan ini lebih baik dibandingkan kawasan lainnya.
Sumber: FAO, 2014 Gambar 1.1 Lima negara dengan produktivitas tertinggi di dunia menurut FAO
Oleh Ploetz (2006) dinyatakan bahwa semenjak tahun 1990-an, berkembang penyakit layu pada pisang yang berdampak pada penurunan produksi pisang di kawasan Asia Tenggara hingga mempengaruhi perdagangan pisang di negara-negara barat dan negara dengan pisang sebagai bahan pangan pokok. Begitu pula dengan Indonesia, yang mengalami penurunan kuantitas ekspor pisang semenjak tahun 1997
1
dan semakin turun drastis pada tahun 2000, sebagaimana ditunjukkan gambar 1.2. Semenjak itu, ekspor pisang Indonesia memasuki masa kelam karena beberapa tahun tercatat tidak ada ekspor sama sekali (Anonim, 2014).
Sumber: FAO, 2014 Gambar 1.2 Ekspor pisang Indonesia tahun 1992-2011 menurut FAO
Penyakit layu pada pisang salah satunya disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense. Infeksi jamur ini mengakibatkan kelayuan pada tanaman pisang bahkan hingga mengakibatkan kematian. Infeksi fatal pada pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar dan bertahan di dalam tanah hingga 30 tahun (Moore et al., 1995), sehingga langsung berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Dinyatakan oleh Dale (2012) bahwa penyakit ini lebih lambat menyebar dibandingkan dengan penyakit darah. Namun faktor penentu persebaran adalah mobilitas tanaman pisang yang sudah terinfeksi sehingga prediksi kecepatan sebar yang lambat dapat berubah seketika mengingat kondisi Indonesia yang berpulau-pulau meningkatkan resiko perpindahan bahan tanam tanpa pengawasan yang ketat. Ditambah dengan kemampuan patogen bertahan 2
di tanah hingga puluhan tahun mengakibatkan kesulitan dalam menangani lahan yang telah terinfestasi. Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang banyak diusahakan baik dengan menggunakan pestisida kimia maupun pengendalian secara kultur teknis. Penggunaan pestisida kimia melalui fumigasi tanah menggunakan metil bromida diketahui berbahaya dan tidak efektif karena infestasi patogen dapat berulang setelah dua hingga tiga tahun setelah aplikasi. Pengendalian secara kultur teknis dilakukan dengan menanam varietas tahan, menjaga sanitasi lahan tanam, penggunaan saprodi bebas patogen, dan lain-lain. Sejauh ini pengendalian secara kultur teknis dengan prinsip pencegahan hanya efektif pada lahan yang masih bebas dari infeksi patogen (Vicente, 2004). Pengembangan usaha pengendalian dengan memanfaatkan dukungan alami lingkungan kemudian banyak diusahakan. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tanah supresif. Tanah supresif didefinisikan sebagai tanah dengan insidensi penyakit tular tanah yang tetap rendah meskipun terdapat inokulum patogen dan kondisi lingkungan sesuai bagi ekspresi penyakit di tanaman inang (Cook dan Baker, 1983, cit. Alabouvette, 2001). Mekanisme penekanan penyakit di tanah supresif masih memerlukan pengkajian lebih dalam karena keberadaan tanah ini masih sedikit yang diketahui. Untuk itu diperlukan eksplorasi keberadaan tanah supresif dan pengkajiannya dalam penekanan penyakit, terutama penyakit layu Fusarium pisang. Salah satu teknik pengkajian yang bisa dilakukan yaitu melalui pengujian dengan menggunakan makhluk hidup (bioassay). Teknik bioassay dikenal sebagai teknik yang murah dan mudah diaplikasikan untuk mengetahui respon tanah terhadap suatu perlakuan (Pfeiffer, 2004). Teknik ini dapat menunjukkan hasil interaksi faktor dan proses dalam tanah sehingga dapat memberikan gambaran mengenai dukungan tanah terhadap tanaman. Dalam studi tanah supresif, teknik bioassay diterapkan untuk mengetahui respon tanah terhadap keberadaan patogen penyebab penyakit yang diamati melalui performa tanaman uji.
3
2. Tujuan 2.1 Mengetahui tingkat keparahan penyakit layu Fusarium pada pisang yang ditanam pada tanah supresif. 2.2 Mengetahui populasi patogen penyebab layu Fusarium pisang di tanah supresif.
3. Kegunaan 3.1 Memberikan data keberadaan tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang. 3.2 Memberikan informasi teknik bioassay untuk mengetahui kemampuan tanah supresif dalam menekan penyakit layu fusarium pisang.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Pisang (Musa sp.) Pisang merupakan buah yang umum dikenal oleh masyarakat Indonesia dan menjadi bahan pangan utama nomor empat di dunia setelah padi, gandum dan jagung (Frison dan Sharrock, 1999 cit. Anonim, 2007). Heslop-Harrison dan Schwarzacher (2007) menyatakan asal tanaman pisang berada di kawasan Indonesia dan Malaysia dan tersebar di kawasan Asia Tenggara. Namun menurut CGIAR (2012c), bentangan asal tanaman pisang adalah dari India hingga Papua Nugini, termasuk di dalamnya Indonesia dan Malaysia. Selain kawasan tersebut, Afrika diduga merupakan pusat asal pisang yang kedua karena ditemukan jenis East African Highland Bananas yang tidak tumbuh di kawasan lain serta banyaknya variasi spesies pisang olahan di benua ini (Ploetz et al., 2007) Masyarakat Indonesia tidak membedakan antara penyebutan pisang buah segar maupun buah olahan tetapi dalam dunia internasional ada perbedaan penyebutan antara keduanya. Banana merujuk pada pisang sebagai buah segar yang dapat dikonsumsi langsung sedangkan plantain merujuk pada pisang yang harus diolah sebelum dapat dikonsumsi, meskipun dalam keadaan benar-benar masak dapat dikonsumsi langsung. Deskripsi plantain menurut CGIAR (2012c) mempunyai karakter buah yang lebih panjang, kulit lebih tebal dan kandungan pati yang lebih tinggi. Berdasarkan kegunaannya, buah pisang dibagi menjadi 4 yaitu (Anonim, 2011): a. Dessert banana: dapat dikonsumsi langsung sebagai buah meja, jenisnya meliputi Cavendish, Red Banana, Apple Banana, Gros Michel, dan lain-lain. b. Cooking banana: konsumsi melalui pengolahan terlebih dahulu, jenis yang familiar misalnya East African Highland Banana. c. Beer banana: kultivar yang khusus digunakan untuk jus, bir, maupun wine, kebanyakan merupakan anggota East African Highland Banana, seperti jenis Beer, Musakala, Nakabululu dan sebagainya. d. Multipurpose banana: misalnya hibrid hasil pemuliaan Fundación Hondureña de Investigación Agricola (FHIA).
5
Tanaman pisang tergolong dalam family Musacea bersama satu genus lain yaitu Ensete (Ploetz et al., 2007). Tanaman pisang umum disebut “pohon” meskipun karakter fisiknya adalah herba monokotil dengan batang semu (Tomlinson, 1969 cit. Heslop-Harrison dan Schwarzacher, 2007). Batang yang sesungguhnya pada tanaman pisang yaitu bagian bonggol, yang ditandai dengan adanya buku-buku (nodes dan internodes). Tunas yang tumbuh dari bonggol banyak dipergunakan sebagai bahan tanam secara vegetatif. Meskipun begitu, secara alami dapat terjadi perkawinan sehingga memungkinkan terbentuk hibrid. Kebanyakan pisang yang dapat dikonsumsi merupakan hasil perkawinan dalam spesies Musa acuminata dan persilangan alami antara M. acuminata dengan M. balbisiana. M. acuminata berasal dari kawasan hutan tropis di Asia Tenggara sedangkan M. balbisiana berasal dari kawasan Asia Tenggara bagian utara dan Asia Selatan. Karena ada kesamaan kawasan persebaran, banyak ditemukan jenis pisang hasil hibridisasi alami dari keduanya di kawasan overlapping tersebut (Ploetz et al., 2007). Tetua M. acuminata dan M. balbisiana bergenom diploid masing-masing AA dan BB. Anggota subgrup diploid yang dibudidayakan merupakan klon bergenom AA, seperti pisang Barangan dan pisang Mas, dan AB yang banyak ditemukan di kawasan India dan Afrika. Kelompok genom BB (M. balbisiana) tidak mengalami evolusi partenokarpi sehingga buahnya berbiji banyak dengan pati yang sedikit (Heslop-Harrison dan Schwarzacher, 2007). Akibatnya pisang bergenom BB tidak dapat dikonsumsi tetapi lebih tahan terhadap penyakit, sehingga berpotensi sebagai tetua untuk pemuliaan tanaman tahan (Morton, 1987). Kultivar Tani adalah salah satu pisang bergenom BB yang dibudiayakan di Thailand untuk diambil daunnya dan sebagai pakan ternak. Hibrid triploid terdiri atas genom AAA, misalnya kelompok Cavendish dan Gros Michel, AAB, seperti kelompok pisang raja dan ABB, yang termasuk kelompok Bluggoe, pisang Awak/ Klotok dan pisang Saba/ Kepok. Pisang bergenom tetraploid kebanyakan merupakan hasil persilangan buatan dengan genom AAAA, AAAB, AABB dan ABBB (Ploetz et al., 2007).
2. Penyakit Layu Fusarium Pisang Penyakit layu Fusarium pisang diduga berasal dari kawasan Asia Tenggara dengan kasus pertama dilaporkan di Australia pada tahun 1876. Saat ini penyakit
6
yang juga dikenal sebagai Panama diseases ini sudah menyebar ke seluruh daerah produsen pisang. Kultivar pertama pisang yang mengalami kerusakan total karena penyakit ini adalah Gros Michel di Panama pada tahun 1890 (Daly dan Walduck, 2006). Akan tetapi sekarang semua kultivar pisang diketahui rentan, bahkan kultivar Cavendish yang semula merupakan kultivar tahan (Ploetz, 2000; Agrios 2005). Penyakit layu Fusarium pada pisang disebabkan oleh jamur dari spesies Fusarium oxysporum, yakni F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) (Moore et al., 1995; Koenig et al., 1997; Agrios 2005). Spesies Fusarium oxysporum sebagian besar didominasi oleh tipe saprofit, akan tetapi diketahui lebih dari 150 forma speciales menjadi patogen di komoditas tertentu. Secara morfologis, patogen ini mampu membentuk miselium aerial yang berwarna putih hingga ungu, sporodokhia yang berwarna kecoklatan hingga jingga dan sklerotia berwarna biru. Mikro dan makrokonidia dibentuk di monofialid yang bercabang dan tidak bercabang. Ukuran mikrokonidia lebih kecil daripada makrokonidia, bersel satu atau dua, berbentuk oval sampai menyerupai ginjal. Makrokonidia terdiri atas empat hingga delapan sel dengan bentuk menyerupai sabit dengan sel di bagian ujung menyerupai bentuk kaki. Klamidospora biasanya berbentuk bulat dan dibentuk tunggal atau berpasangan di hifa atau konidia. Patogen ini belum diketahui teleomorf-nya (Ploetz, 2006). Teknik identifikasi yang sudah digunakan untuk jamur ini ada 6, yang meliputi teknik Vegetative Compatibility Group (VCG), berdasarkan kelompok senyawa volatil, RAPD-PCR, electrophoretic karyotype (EK), analisis enzim pektat serta pengelompokan berdasarkan ras (Pegg et al., 1994 cit. Hermanto dan Setyawati, 2002).
Jamur Foc diketahui membentuk 4 ras patogen yang masing-masing
mempunyai karakter patogenisitas yang berbeda. Ras 1 diketahui menyerang tanaman pisang kultivar Gros Michel yang bergenome AAA dan Manzano yang bergenome AAB. Sedangkan ras 2 diketahui menyerang kultivar Bluggoe (ABB). Ras 3 diisolasi dari kelompok pisang hias Heliconia sp. dan masih diragukan mengenai kedudukan forma spesialisnya karena secara genetik Musa dan Heliconia berbeda. Ras 4 diketahui merupakan ras paling berbahaya karena menyerang kultivar yang rentan terhadap ras 1 dan 2. Cavendish sebagai kultivar yang dikenal tahan dapat pula diinfeksi oleh Foc ras 4 jika ditanam di wilayah subtropis yang musim dinginnya menjadi faktor predisposisi bagi Cavendish. Akan tetapi semenjak awal
7
1990-an kultivar Cavendish yang ditanam di daerah tropis seperti Indonesia dan Malaysia juga dapat terinfeksi (Ploetz, 2006). Penelitian mengenai keberadaan Foc ras tropis 4 di Indonesia dilaporkan oleh Masanto et al., (2010) yang mendapatkan isolat Bnt2 yang diisolasi dari tanaman pisang Awak (AAB) di Bantul dan isolat Kjg1 dari tanaman pisang Ambon (AAA) di area Kalimantan Timur yang dideteksi secara molekuler dengan ukuran DNA sekitar 1400 pasang basa. Penyakit layu Fusarium pada pisang karena infeksi Foc ras 4 menunjukkan gejala yang sama dengan penyakit layu Fusarium pada umumnya. Gejala eksternal ditunjukkan dengan menguningnya daun dimulai dari bagian tepi daun dan tanaman yang tua. Daun yang sudah menguning menggelantung pada sisi-sisi batang semu, kemudian diikuti dengan kematian daun muda. Gejala internal terjadi pada bagian jaringan pengangkut yang berubah warna menjadi coklat kemerahan hingga merah marun sebagai akibat pertumbuhan patogen di dalam jaringan. Kolonisasi patogen ini dapat dibuktikan dengan cara memotong bagian pangkal batang atau rizoma secara melintang. Warna coklat kemerahan yang menunjukkan kolonisasi patogen akan membentuk lingkaran mengikuti keberadaan jaringan pembuluh tapis (Agrios, 2005). Apabila irisan dilakukan membujur maka tampak kolonisasi bergerak naik ditunjukkan oleh warna kecoklatan yang memudar pada bagian batang yang lebih muda. Meskipun begitu gejala infeksi ini tidak nampak pada buah (Daly dan Walduck, 2006).
3. Tanah Supresif dan Kondusif Tanah merupakan substansi penting dalam dunia pertanian. Meskipun dewasa ini banyak dilakukan penelitian mengenai medium tanam alternatif, namun pada realisasinya tanah masih tetap dibutuhkan sebagai medium pertumbuhan tanaman, tak terkecuali tanaman pisang. Statistik FAO menunjukkan bahwa pada tahun 2011, 5,1 juta hektar lahan pertanian dari 4,9 milyar hektar dunia menghasilkan pisang. Lahan pertanian Indonesia tercatat seluas 54,5 juta hektar dengan luas panen pisang sebesar 104.156 hektar (Anonim, 2013a). Pentingnya tanah bagi pertanian selain sebagai pendukung akar juga berfungsi sebagai penyedia hara bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu kualitas tanah sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman (Janvier et al., 2007). Kualitas tanah
8
yang baik yaitu tanah yang sehat sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara berkelanjutan. Tanah sehat tergantung pada proses-proses fisik, kimia dan biologis yang berlangsung di dalam ekosistem. Dalam kaitannya dengan penyakit tanaman, proses fisik, kimia dan biologi tertentu dapat membentuk karakter tanah supresif (Cepeda, 2006). Menurut Baker dan Cook (1974) cit. Janvier et al. (2007), tanah supresif yaitu tanah dengan insidensi penyakit yang tetap rendah meskipun populasi patogen, tanaman inang dan kondisi lingkungan sesuai untuk perkembangan penyakit. Hal-hal yang dapat mendorong supresifitas tanah, yaitu (1) patogen tidak terus menerus berada di tanah, (2) patogen dijumpai terus menerus namun hanya mengakibatkan sedikit kerusakan atau bahkan tidak menyebabkan kerusakan sama sekali atau (3) patogen berada di tanah secara terus menerus dan mengakibatkan penyakit selama beberapa saat namun selang beberapa waktu patogen tersebut menjadi kurang penting meskipun tetap berada di tanah. Berdasarkan definisi di atas, maka tanah supresif dapat dikenali melalui insidensi penyakit yang tetap rendah meskipun tanaman inang merupakan tanaman rentan dan keadaan lingkungan mendukung berkembangnya penyakit. Tanah supresif terhadap penyakit dibedakan dengan tanah supresif terhadap patogen karena inokulum tetap dijumpai pada tanah supresif terhadap penyakit namun tidak mampu menginduksi terjadinya penyakit. Sementara itu pada tanah supresif terhadap patogen, inokulum patogen tidak ditemukan, karena rusak atau tidak mampu bertahan di tanah (Baker dan Cook, 1983 cit. Alabouvette, 1999). Alabouvette (1999) menyampaikan bahwa setiap tanah mempunyai potensi menekan perkembangan penyakit sehingga tanah dengan kemampuan penekanan yang rendah dapat ditingkatkan level supresifitasnya melalui modifikasi. Modifikasi yang disarankan merupakan upaya membentuk karakter tanah semirip mungkin dengan karakter tanah supresif dengan titik berat pada peran mikroorganisme, flora yang ditanam dan kandungan nutrisi tanah. Beberapa jenis bakteri antagonis dan Fusarium non-patogenik dinyatakan mampu mempengaruhi perkembangan penyakit layu Fusarium pada beberapa tanaman inang. Kombinasi dengan tanaman penutup tanah tertentu memberikan efek yang berbeda terhadap insidensi penyakit sedangkan dalam kaitannya dengan nutrisi, disebutkan bahwa pemupukan bisa memberikan
9
dukungan terhadap supresifitas tanah namun mekanisme yang terjadi tidak lepas dari biodiversitas tanah dan kandungan mineral tanah sehingga korelasi pemupukan dengan supresifitas tidak dapat disama-ratakan pada tiap jenis tanah. Toussoun (1975) cit. Fravel et al. (2003) menyatakan bahwa tanah supresif terhadap layu Fusarium didukung oleh tingginya populasi Fusarium spp. Hal ini dibuktikan oleh Fravel et al. (2003) pada tanah supresif dari Chateaurenard yang mengandung F. oxysporum dan F. solani dalam populasi yang tinggi. Menurut Larkin et al. (1993), banyak mikroorganisme yang dilaporkan berkontribusi dalam supresifitas tanah, akan tetapi yang paling menonjol adalah strain Fusarium spp. nonpatogen dan kelompok bakteri pendar fluor Pseudomonas spp. Oleh karena pendukung terbesar supresifitas tanah adalah keragaman mikroflora, maka supresifitas ini dapat hilang karena perlakuan panas di atas suhu 55°C (Fravel et al., 2003) seperti perlakuan moist heat dengan suhu 60°C selama 30 menit (Lin dan Cook, 1979). Restorasi terhadap tanah supresif yang rusak tersebut hanya dapat dilakukan dengan re-introduksi Fusarium spp. non patogen (Fravel et al., 2003) atau dengan menambahkan tanah supresif murni (tidak diperlakukan) pada tanah supresif yang sudah rusak tersebut (Lin dan Cook, 1979). Puspitasari (2011) melaporkan hasil analisis keragaman bakteri di tanah Cianjur dan Salaman, Magelang, dengan teknik PCR-RISA (Polymerase Chain Reaction – Ribosomal Intergenic Spacer Analysis) terhadap bakteri yang dikulturkan pada medium TSA (Tryptone Soya Agar). Keragaman bakteri dari tanah risosfer pisang sehat di Cianjur lebih rendah daripada keragaman bakteri di risosfer pisang sehat Salaman, Magelang. Untuk hasil keragaman bakteri di risosfer pisang sakit, baik Cianjur maupun Salaman, Magelang, menunjukkan keragaman yang hampir sama. Hal itu dibuktikan dengan hasil visualisasi PCR-RISA yang menunjukkan bahwa sampel tanah sehat Salaman, Magelang membentuk 3 band sedangkan sampel tanah sehat dari Cianjur membentuk 1 band sementara sampel tanah sakit dari Cianjur dan Salaman, Magelang, menunjukkan 1 band saja. Puspitasari (2011) juga melaporkan bahwa kadar karbon bebas di tanah sehat baik Cianjur dan Magelang lebih rendah daripada kadar karbon bebas di tanah sakit baik di kawasan Cianjur maupun Magelang. Wiraswati (2013) melaporkan adanya isolat antagonis yang berupa aktinomisetes dari sampel tanah Sarampad, Cianjur dengan kemampuan
10
penghambatan pertumbuhan Foc secara in vitro mencapai 55,56%. Berdasarkan hasil sekuensing, diketahui isolat aktinomisetes tersebut berkerabat dekat dengan Streptomyces sp. Berkaitan dengan faktor fisik tanah, kandungan lempung diduga berpengaruh terhadap supresifitas tanah (Persson dan Olsson, 2000), namun belum diketahui mekanisme peranannya dalam menekan perkembangan penyakit (Alabouvette, 1999). Pada sampel tanah Sarampad, Cianjur, Somala (2012) melaporkan bahwa kandungan lempung lebih tinggi (26,948) daripada tanah Salaman, Magelang (6,35).
4. Teknik Bioassay Bioassay merupakan singkatan dari biological assay yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai pengujian (assay) dengan melibatkan organisme (hewan atau tumbuhan) atau bagian dari organisme (sel atau jaringan). Teknik ini biasa dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu substansi, misalnya senyawa tertentu, terhadap organisme uji. Dalam studi mengenai tanah, teknik bioassay bisa dipergunakan untuk mengetahui kadar residu herbisida (Pfeiffer, 2004; Brinton et al., 2005), identifikasi tanah supresif (Miyan et al., 2012) hingga menguji kapasitas tanah dalam menekan aktivitas organisme tanah (Pankhurst et al., 2003). Indikator yang dipergunakan untuk bioassay tidak ditentukan secara mutlak melainkan bergantung pada substansi yang hendak diuji. Oyarzun (1993) menggunakan tanaman indikator kacang polong untuk pengujian penyakit busuk akar karena tanaman tersebut secara umum dikenal rentan terhadap penyakit busuk akar serta telah dipakai sebagai tanaman uji sebelumnya. Miyan et al. (2012) menggunakan kecambah gandum sebagai indikator untuk identifikasi tanah supresif terhadap penyakit akar tanaman serealia. Pankhurst et al. (2003) menggunakan tanaman tebu sebagai indikator untuk menguji kapasistas tanah dalam menekan aktivitas organisme tanah yang berdampak pada penurunan hasil tebu. Bioassay terhadap herbisida disarankan menggunakan tanaman yang sensitif terhadap paparan herbisida jumlah kecil, seperti mentimun, sorghum, oat, kedelai dan sebagainya (Anonim, 2011). Pengamatan dalam bioassay dapat dilakukan melalui beberapa parameter, seperti (1) kemampuan berkecambah; (2) berat segar dan berat kering
11
tanaman; (3) perubahan fisiologi dan morfologi tanaman uji; dan atau (4) gejala yang diekspresikan tanaman uji.
12
III. HIPOTESIS
1. Tanah yang diduga supresif terhadap layu Fusarium pisang mampu menekan perkembangan penyakit layu Fusarium pisang. 2. Populasi Fusarium oxysporum f.sp. cubense tertekan di tanah diduga supresif.
13
IV. METODE PENELITIAN 1. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan untuk penelitian ini yaitu medium PDA, medium PDB, medium PPA (Pepton PCNB Agar), isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense BNT2 dari koleksi Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik, akuades, alkohol 96%, sampel tanah yang diduga bersifat supresif dan kondusif, tanaman pisang kultivar Ambon Kuning (AAA) hasil kultur jaringan berumur 2 bulan, fungisida berbahan aktif Karbendasim® 50WP, spirtus dan beras. Alat yang dipergunakan yaitu gelas ukur, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, tabung eppendorf, polybag, lampu bunsen, jarum ent, jarum ose, skalpel, gelas drigalski, timbangan, mesin autoclave, mesin PCR, peralatan elektroforesis dan mesin UV-trans iluminator.
2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – September 2014 di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik dan Rumah Kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
3. Tata Laksana Penelitian 3.1 Penyiapan inokulum Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) resisten terhadap karbendasim 3.1.1 Pembuatan isolat Foc resisten terhadap karbendasim Isolat BNT 2 koleksi laboratorium IPT Klinik Fakultas Pertanian UGM diperbanyak pada medium PDA kemudian diinkubasi selama 7-14 hari pada suhu ruang. Setelah masa inkubasi, 10 ml air steril dituang ke petridish untuk memanen spora. Suspensi yang terbentuk kemudian disaring dengan menggunakan kain kasa steril. Suspensi spora yang diperoleh digoreskan pada medium PDA yang mengandung fungisida berbahan aktif karbendasim konsentrasi 5, 10, 50, 100, 500 dan 1000 ppm dilanjutkan inkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Masing-masing level konsentrasi dibuat 3 petridish sebagai ulangan dan diacak secara lengkap. Setelah masa inkubasi, diamati konsentrasi tertinggi yg masih dijumpai Foc tumbuh.
14
Spora tunggal Foc yang tumbuh menjadi koloni tunggal dipindahkan ke medium PDA dan disimpan sebagai Foc resisten.
3.1.2 Konfirmasi karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dengan metode PCR a. Ekstraksi DNA Foc TR4 dan Foc resisten ditumbuhkan dalam medium potato dextrose broth (PDB) dan diinkubasi di mesin penggojog selama 5 hari. Setelah masa inkubasi, dilakukan ekstraksi DNA Foc TR4 dan Foc resisten dengan metode CTAB 2% (Subandiyah, 2003). PDB disaring menggunakan kertas saring steril untuk memisahkan miselium dengan suspensi spora. Miselium yang tertinggal di kertas saring ditimbang sebanyak 0,5 gram. Miselium digerus menggunakan mortar dengan ditambah larutan CTAB 2% sebanyak 700µl dan pasir kuarsa steril untuk mempermudah penggerusan. Larutan CTAB 2% dibuat dari CTAB 2%, Tris-HCl 50mM, EDTA 100mM, PVP 1%, NaCl 1,5% dan β-mercaptoethanol 1%. Setelah miselium halus dipindahkan ke tabung eppendorf ukuran 1,5 ml untuk diinkubasi dalam suhu 60°C dalam waterbath selama 30 menit, dengan setiap 10 menit dilakukan penggojogan manual. Setelah 3 kali penggojogan, gerusan miselium tersebut disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm hingga diperoleh lapisan supernatan yang bening. Supernatan dipindah ke tabung eppendorf baru dengan ditambahkan larutan CIAA 24:1 hingga sepenuh tabung. Selanjutnya dilakukan homogenisasi manual untuk mencampur larutan CIAA dan supernatan selama 1-3 menit. Setelah dihomogenkan, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh lapisan supernatan yang dipindah ke tabung baru. Etanol absolut dingin ditambahkan ke dalam tabung berisi supernatan hingga tabung penuh kemudian diinkubasi pada suhu -20°C selama 1 malam. Setelah 1 malam, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan etanol yang selanjutnya dituang perlahan-lahan agar endapan tidak terbawa. Selanjutnya ke dalam tabung ditambahkan alkohol 70% hingga penuh
dan secara manual dihomogenkan selama 1-3 menit. Langkah
berikutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit hingga alkohol terpisah. Alkohol kembali dituang perlahan kemudian tabung berisi
15
DNA dikeringanginkan. Setelah kering ditambahkan TE buffer sebanyak 50µl. Untuk penyimpanan DNA dapat dilakukan di suhu -20°C.
b. Amplifikasi PCR Amplifikasi
PCR
dilakukan
menggunakan
primer
FocTR4-F
(5’-
CACGTTTAAGGTGCCATGAGAG-3’) dan FocTR4-R (5’-CGCACGCCAGGA CTGCCTCGTGA-3’) yang mengamplifikasi daerah intergenic spacer (IGS) dengan target berukuran 463 base pair (bp) (Dita et al., 2010). Program amplifikasi yang dipakai adalah sebagai berikut: 95°C selama 5 menit 30 siklus yang terdiri atas 1 menit 95°C, 60°C selama 1 menit dan 72°C selama 3 menit additional extension selama 10 menit pada suhu 72°C. DNA yang sudah diamplifikasi kemudian dielektroforesis sebanyak 5 µL pada gel agarose 2%. Selanjutnya dilakukan pengecatan dengan ethidium bromide dengan cara perendaman selama 15 menit dan visualisasi hasil elektroforesis menggunakan UV transiluminator (Li dan Hartman, 2003).
3.2 Perkembangan penyakit layu fusarium di tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang 3.2.1 Pengambilan sampel tanah diduga supresif dan kondusif Sampel tanah diduga supresif berasal dari Dusun Jamaras, Desa Sarampad, Kecamatan Cigenang, Kabupaten Cianjur sedangkan sampel tanah diduga kondusif berasal dari lahan Kebun Benih Hortikultura di Dusun Margorejo, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Tanah dari Jamaras, Cianjur, dikategorikan sebagai tanah supresif karena gejala infeksi layu Fusarium di lahan ini tidak nampak selama 3 tahun terakhir sementara di lahan sekelilingnya teramati gejala layu Fusarium yang parah. Sampel tanah Margorejo, Magelang, dikategorikan sebagai tanah kondusif karena gejala layu Fusarium di pertanaman ini selalu teramati semenjak penanaman pertama kali (Wibowo, komunikasi pribadi). Pada saat pengambilan sampel, tanaman yang bergejala di lahan ini mencapai 40% dari total luasan lahan.
16
Pengambilan tanah diduga supresif dilakukan di risosfer tanaman pisang sehat sedangkan sampel tanah kondusif diambil di area risosfer tanaman pisang sakit dengan kedalaman masing-masing tidak lebih dari 30 cm. Tanah dari satu lahan kemudian dikompositkan agar tercampur merata. Banyak sampel tanah yang diambil lebih kurang 50 kg per lokasi. Tanah sampel dimasukkan dalam karung plastik untuk kemudian dibawa ke rumah kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
3.2.2 Inokulasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang Medium inokulasi disiapkan dari beras sebanyak ±2,5 kg yang dicuci bersih dan direndam dalam air bersih selama 5 jam. Beras kemudian ditiriskan dan dibungkus dalam kantong plastik dengan massa masing-masing 12 gram. Kantong plastik diikat dengan karet agar menghindari kontaminasi namun masih memungkinkan ada aerasi. Kantong plastik berisi beras kemudian disterilisasi selama 30 menit pada suhu 121°C bertekanan 1 atm. Setelah cukup dingin, beras yang sudah steril dihancurkan hingga menjadi remah-remah beras. Potongan agar Foc resisten dimasukkan dalam medium beras steril secara aseptis dan diinkubasi selama 1 minggu hingga miselium terlihat menutupi permukaan beras. Inokulasi ke tanah diduga supresif dan kondusif dilakukan dengan mencampurkan medium beras ke tanah diduga supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang dengan perbandingan 12,5 gram inokulum Foc resisten dalam 2 kilogram tanah sampel per polybag. Selanjutnya masing-masing polybag ditanami tanaman pisang hasil kultur jaringan kultivar Ambon Kuning yang berumur 2 bulan. Masing-masing tanah sampel ditanami dengan 10 batang tanaman pisang sebagai ulangan. Sebagai kontrol digunakan 10 polybag dari setiap sampel tanah yang tidak diinokulasi Foc resisten kemudian ditanami dengan 10 batang tanaman pisang sebagai ulangan. Semua polybag diacak lengkap dan diletakkan di serambi rumah kaca agar mendapat cukup sinar matahari. Pengamatan dilakukan pada minggu ke-10 setelah inokulasi dengan cara membelah bonggol tanaman pisang dan dilakukan skoring perubahan warna bonggol berdasarkan Mak et. al. (2004) seperti ditampilkan dalam tabel 4.1.
17
Tabel 4.1 Skor indeks keparahan penyakit berdasarkan perubahan warna bonggol pisang (Mak et al., 2004) Skor Keterangan 1
Tidak ada perubahan warna di bagian bonggol maupun jaringan di sekitarnya
2
Tidak ada perubahan warna di bonggol; perubahan warna di bagian percabangan bonggol-akar
3
Teramati 5% diskolorisasi pada bagian bonggol
4
Teramati 6-20% diskolorisasi pada bagain bonggol
5
Teramati 20-50% diskolorisasi pada bagian bonggol
6
Lebih dari 50% bagian bonggol mengalami diskolorisasi
7
Diskolorisasi di seluruh bonggol
8
Tanaman mati
Hasil skoring dikalkulasi dengan rumus:
Indeks Keparahan Penyakit (IKP) = Ʃ(nilai skor x banyak tanaman dalam skor tersebut) Ʃ tanaman yang diperlakukan
Hasil kalkulasi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam 4 kelas yang dimodifikasi sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 4.2.
Tabel 4.2 Penerjemahan indeks keparahan penyakit berdasarkan Mak et al. (2004) yang dimodifikasi Rerata Indeks Keparahan
Translasi
1
Supresifitas tinggi
1.1 – 3
Toleran
3.1 – 5
Kondusif
5.1 – 8
Sangat Kondusif
18
Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan faktor berupa supresifitas tanah dan inokulasi Foc resisten. Selain kedua faktor tersebut, kondisi lingkungan dianggap homogen. Tata letak tanaman uji disajikan dalam gambar 4.1, dengan pemisahan antara perlakuan inokulasi dan tidak diinokulasi untuk menghindari bias karena penyebaran inokulum melalui percikan air siraman.
Gambar 4.1 Tata letak perlakuan di rumah kaca Keterangan: SAL-T = Tanah Margorejo tanpa inokulasi SAL-I = Tanah Margorejo dengan inokulasi CIA-T = Tanah Jamaras tanpa inokulasi CIA-I = Tanah Jamaras dengan inokulasi
3.2.3 Pengamatan populasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang Inokulum Foc resisten disiapkan dengan cara membuat suspensi spora dari biakan Foc resisten berumur 7 hari. Biakan dalam cawan petri dituangi dengan 20 ml akuades steril kemudian digosok permukaannya menggunakan gelas drigalski steril. Suspensi yang terbentuk disaring menggunakan kertas saring steril hingga diperoleh filtrat suspensi spora. Kerapatan spora dalam suspensi tersebut dihitung menggunakan haemocytometer dan ditentukan dalam kisaran 106 spora/ml.
19
Sampel tanah diduga supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan dalam cawan petri. Sebagai tambahan nutrisi, ditambahkan 5 ml larutan glukosa 1% ke dalam tanah dilanjutkan inokulasi suspensi spora Foc resisten yang sudah disiapkan sebelumnya dengan volume 5 ml. Untuk kontrol, suspensi spora digantikan dengan akuades steril. Sampel tanah diinkubasi pada suhu ruang dan dijaga kelembabannya dengan cara menyemprotkan akuades steril setiap ±2 hari sekali hingga tanah cukup basah. Isolasi terhadap Foc resisten dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam setelah inokulasi. Isolasi dilakukan dengan membuat seri pengenceran bertingkat dalam air steril hingga pengenceran ketiga. Seri pengenceran pertama diambil sampel tanah sebanyak 5 gram dalam 45 ml akuades steril yang dihomogenkan dengan mesin pengaduk. Seri pengenceran kedua dibuat dengan mengambil 0,5 ml pengenceran pertama dan dihomogenkan dalam 4,5 ml akuades steril. Pengenceran ketiga dibuat dengan mengambil 0,5 ml pengenceran kedua yang dihomogenkan dalam 4,5 ml akuades steril. Masing-masing seri pengenceran diambil 0,05 ml untuk disebar (spread) di permukaan PPA (Pepton PCNB Agar) dengan bantuan gelas drigalski steril dalam keadaan aseptis. Selanjutnya dilakukan inkubasi di suhu ruang dalam keadaan gelap selama 7 hari. Pengamatan dilakukan setelah masa inkubasi usai dilanjutkan dengan memindah koloni yang diduga Foc ke medium PDA. Setelah regenerasi di medium PDA selama 5 hari, koloni yang menunjukkan morfologi Foc dipindahkan ke medium PDA+50 ppm karbendasim dilanjutkan dengan inkubasi selama 7 hari. Setelah masa inkubasi usai, dilakukan pengamatan terhadap isolat yang mampu tumbuh di medium PDA+50 ppm karbendasim.
4. Analisis data Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Data keparahan penyakit dianalisis menggunakan program SAS 9.1. Uji yang dipakai adalah analisis varian (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% . Apabila antar perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji HSD Tukey dengan α = 5%.
20
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penyiapan inokulum Foc resisten terhadap karbendasim 1.1 Pembuatan isolat Foc resisten terhadap karbendasim Teknik penyiapan isolat Foc resisten menggunakan teknik peracunan makanan (poisoned food technique) dengan konsentrasi fungisida yang dipakai adalah 5, 10, 50, 100, 500 dan 1000 ppm. Bahan aktif fungisida yang digunakan adalah Karbendasim® 50 WP. Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh tabel 5.1 dengan kenampakan hasil tertera di lampiran 1.
Tabel 5.1 Pengujian in vitro pengaruh fungisida karbendasim terhadap pembentukan koloni isolat BNT2 Konsentrasi Karbendasim
Koloni tunggal
5 ppm
+
10 ppm
+
50 ppm
+
100 ppm
-
500 ppm
-
1000 ppm
-
keterangan: + = terbentuk koloni - = tidak terbentuk koloni
Berdasarkan tabel 5.1, konsentrasi karbendasim 5, 10 dan 50 ppm mampu ditolerir oleh spora Foc BNT2 sehingga masih mampu berkecambah dan membentuk koloni. Namun pada konsentrasi 100 ppm hingga 1000 ppm tidak teramati adanya perkecambahan Foc BNT2. Dengan demikian, konsentrasi tertinggi Foc BNT2 masih dapat tumbuh adalah 50 ppm, sehingga Foc resisten diambil dari koloni tunggal yang tumbuh pada konsentrasi tersebut. Pemilihan level konsentrasi dirujuk pada penelitian Sultana dan Ghaffar (2010) yang menggunakan karbendazim sebagai salah satu fungisida uji. Pada penelitian tersebut, potongan agar yang ditumbuhi F. solani mampu tumbuh hingga konsentrasi 50 ppm karbendasim. Penggunaan inokulum dimodifikasi pada penelitian ini yaitu 21
dengan menggunakan suspensi spora, menunjukkan kemampuan toleransi yang sama antara F. solani dan Foc terhadap senyawa karbendasim. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Anonim (2013b), Fusarium spp. termasuk dalam kelompok rendah resiko resistensi (low risk of resistance). Artinya patogen ini tidak mudah mengalami resistensi terhadap paparan fungisida atau untuk terjadinya resistensi diperlukan paparan dalam jangka waktu yang lama. Hasil pengujian ini menunjukkan hal yang sama dengan pernyataan tersebut yaitu bahwa isolat BNT2 hanya mampu mentolerir paparan fungisida hingga 50 ppm dari 4 level konsentrasi yang disiapkan. Teknik pemilihan isolat resisten seperti ini didasarkan pada prinsip seleksi alam, yaitu dengan memberikan cekaman antifungal yang hasilnya dikenal sebagai resistensi spontan (spontaneous resistance). Beberapa antimikrobia yang dipakai diantaranya griseofulvin yang digunakan terhadap Microsporon gypseum (Lenhart, 1967), higromisin B yang digunakan pada Monilinia fructicola (Dai et al., 2003) serta amfoterisin B yang digunakan terhadap Candida albicans (Mao dan Alley, 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan penelitian lebih mendalam mengenai mekanisme resistensi jamur terhadap senyawa antifungal dalam aras molekuler. Dai et al. (2003) membuktikan bahwa M. fructicola yang resisten melalui teknik peracunan medium memiliki sifat resistensi yang stabil terhadap higromisin B. Pada penelitian tersebut, isolat dari koloni yang resisten terhadap higromisin B dibandingkan karakternya dengan isolat yang dimutasi dengan penyisipan gen resisten higromisin B (gen hph) menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens (strain AGL-1) yang hasilnya menunjukkan bahwa isolat hasil resistensi spontan mengalami perubahan secara fenotip yaitu penurunan kemampuan tumbuh, kehilangan kemampuan sporulasi dan melanisasi. Meskipun begitu kedua tipikal isolat masih menunjukkan karakter yang sama dengan M. fructicola yang tidak resisten ketika diamplifikasi pada situs ITS1 dan ITS2. Pemilihan senyawa aktif karbendasim didasarkan pada karakter senyawa ini yang bersifat single-site inhibitor. Dengan sifat tersebut maka jamur yang mengalami resistensi hanya terpengaruh pada satu situs khusus sehingga tidak mengakibatkan perubahan besar di struktur genom-nya. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa karbendasim sebagai kelompok fungisida bensimidasol mempengaruhi situs β-
22
tubulin yang berperan dalam pembelahan sel. Di sisi lain, sifat single-site inhibitor ini mengakibatkan tingginya resiko resistensi dalam jangka waktu paparan yang relatif pendek. Oleh karenanya beberapa negara telah melarang penggunaan senyawa aktif ini, seperti Australia, Amerika Setikat dan negara Uni Eropa.
1.2 Konfirmasi karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dengan metode PCR Karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dikonfirmasi menggunakan primer yang disusun oleh Dita et al. (2010) yang dikembangkan dari situs intergenic spacer (IGS) Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang menghasilkan amplifikasi pita DNA berukuran 463 bp. Hasil amplifikasi Foc resisten ditunjukkan pada gambar 5.1, terbentuk band yang sama dengan Foc BNT2 yang telah diuji positif sebagai Fusarium oxysporum f.sp. cubense tropical race 4 (Foc TR4). Berdasarkan hasil tersebut, maka Foc resisten dinyatakan masih membawa karakter Foc tropical race 4 (Foc TR4).
463 bp
Gambar 5.1 Visualisasi hasil PCR isolat BNT2 dan Foc Resisten
Hasil amplifikasi tersebut menunjukkan bahwa resistensi isolat BNT2 terhadap senyawa karbendasim tidak mengubah situs target primer FocTR4-F dan FocTR4-R yaitu kawasan intergenic spacer (IGS). IGS merupakan situs yang heterogenitasnya lebih tinggi daripada situs ITS (internal transcribed spacer) sehingga variasi
23
rangkaian pada kawasan IGS dapat terjadi hingga di tingkat sel (Gorokhova et al., 2002). IGS merupakan kawasan yang tidak ditranskripsi, yang memisahkan unit repetitif dalam DNA ribosom. Oleh karenanya peran langsung dari susunan basa IGS belum diketahui secara pasti. Pengujian karakter jamur patogen yang resisten terhadap kelompok fungisida bensimidasol secara molekuler juga dapat dilakukan dengan menganalisis gen βtubulin yang berperan dalam proses mitosis sel. Chen et al. (2014) melaporkan bahwa resistensi pada F. fujikuroi terhadap karbendasim (kelompok fungisida MBC) terjadi akibat adanya mutasi pada 3 kodon di gen β2tub. Perubahan terjadi di kodon ke-198 yaitu penggantian GAG (glutamin) dengan GTG (Valin), di kodon 200 terjadi penggantian TTC (Fenilalanin) menjadi TAC (Tirosin) dan di kodon 235 terjadi penggantian GGC (Glisin) menjadi GGT (Glisin) sedangkan laporan mengenai Fusarium oxysporum f.sp. gladioli dan F. oxysporum f.sp. lilii oleh Chung et. al. (2009) menyatakan bahwa resistensi keduanya terhadap senyawa
Methyl
Benzimidazole Carbamate (MBC) tidak mengakibatkan perubahan di kodon 198 maupun 200. Resistensi yang terbentuk diduga dipengaruhi oleh mekanisme yang lain.
2. Penekanan perkembangan penyakit layu fusarium di tanah diduga supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang 2.1 Pengambilan sampel tanah diduga supresif dan kondusif Tanah yang berasal dari Kebun Benih Hortikultura di Dusun Margorejo, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang diduga merupakan tanah kondusif terhadap layu Fusarium pisang berdasarkan kenampakan pertanaman pisang yang menunjukkan gejala layu Fusarium sekitar 40% dari total tanaman. Informasi dari wawancara langsung mendukung pendugaan ini, yaitu bahwasanya semenjak ditanami pisang, dengan bibit bukan hasil kultur jaringan, nampak gejala layu pada pertanaman pisang. Budidaya pisang di Kebun Benih Hortikultura Salaman dilakukan secara monokultur dengan lahan di sekitarnya ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Sebaran infeksi Fusarium di lahan ini terlihat sporadis, sebagaimana infeksi yang tertular melalui tanah.
24
Tanah diduga supresif berasal dari Dusun Jamaras, Desa Sarampad, Kecamatan Cigenang, Kabupaten Cianjur. Kawasan desa ini merupakan kawasan produsen pisang di Kabupaten Cianjur. Kebanyakan lahan di desa ini ditanami pisang dengan kendala layu yang cukup meresahkan. Namun di lahan yang diambil sampel yakni lahan Bapak Haji Harun dinyatakan tidak pernah teramati gejala layu Fusarium selama ±3 tahun penanaman pisang kultivar Raja Bulu. Pertanaman pisang di kebun Bapak Haji Harun tersebut memang berbeda dengan kebun lainnya karena menerapkan sistem budidaya multiple cropping. Sistem budidaya ini menjadi penyangga ekosistem karena memungkinkan keragaman mikroorganisme yang lebih tinggi di dalam tanah dan penyerapan hara yang lebih seimbang. Selain itu, petani penggarap lahan ini juga rutin mengaplikasikan agen hayati Trichoderma sp. setiap 6 bulan sekali. Secara geografis, kedua lokasi pengambilan sampel memiliki karakteristik yang berbeda. Dusun Margorejo berada pada ketinggian ± 400 m di atas permukaan laut sedangkan Dusun Jamaras berada di 750-1.200m di atas permukaan laut. Jamaras, Cianjur berhawa lebih sejuk dengan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan Margorejo, Magelang. Jawa Barat secara umum sudah dikenal sebagai sentra produksi pisang Indonesia, dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 1 juta ton sedangkan produksi pisang di Jawa Tengah pada tahun 2013 tercatat 500.000 ton, separuh dari jumlah produksi Jawa Barat (Anonim, 2014).
2.2 Inokulasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang Hasil pengujian molekuler yang menunjukkan bahwa isolat Foc resisten membawa karakter Foc-TR4 perlu diuji lebih dalam untuk mengetahui apakah isolat ini masih mampu mengakibatkan penyakit layu pada tanaman pisang. Untuk itu dilakukan inokulasi Foc resisten di tanah yang diduga supresif dan kondusif yang ditanami dengan pisang kultivar Ambon Kuning berumur ±2 bulan hasil kultur jaringan. Perubahan warna di bonggol tanaman uji mengindikasikan bahwa isolat Foc resisten terhadap karbendasim masih mampu menginfeksi jaringan tanaman inang, sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 2.
25
Analisis perlakuan yang diberikan terhadap tanaman uji menunjukkan bahwa baik faktor supresifitas tanah, inokulasi Foc resisten maupun interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap tanaman uji. Oleh karenanya perlu dilakukan analisis lanjut menggunakan HSD Tukey dengan α=5%. Hasilnya analisis variansi dan HSD Tukey secara berturutan ditunjukkan oleh tabel 5.2 dan tabel 5.3.
Tabel 5.2 Hasil analisis variansi Faktor perlakuan
Skor perubahan warna bonggol pisang * * *
Supresifitas Inokulasi Supresifitas*Inokulasi
Keterangan: * = Perlakuan menunjukkan beda nyata * = Perlakuan menunjukkan beda nyata dan dianalisis lebih lanjut dengan HSD Tukey Tabel 5.3 Hasil skoring indeks keparahan penyakit, analisis HSD Tukey dan translasi indeks keparahan penyakit menurut Mak et al. (2004) yang dimodifikasi Perlakuan Supresif
Inokulasi (CIA-I) Tanpa Inokulasi (CIA-T) Kondusif Inokulasi (SAL-I) Tanpa Inokulasi (SAL-T)
Indeks Keparahan Penyakit 5 1.3 3 1.4
Hasil Uji HSD Tukey 5a 1.3b 2.8b 1.4b
Translasi Kondusif Toleran Toleran Toleran
Keterangan: CIA-I = Tanah dari Jamaras, Cianjur, diinokulasi Foc resisten CIA-T = Tanah dari Jamaras, Cianjur, tanpa inokulasi Foc resisten SAL-I = Tanah dari Margorejo, Magelang, diinokulasi Foc resisten SAL-T = Tanah dari Margorejo, Magelang, tanpa inokulasi Foc resisten Data di atas menunjukkan bahwa kedua sampel tanah membawa inokulum Foc, yaitu dengan adanya gejala penyakit pada perlakuan yang tidak diinokulasi Foc resisten. Kemungkinan jumlah inokulum yang terbawa tidak berbeda jauh apabila dilihat dari indeks keparahan penyakit yang hanya terpaut 0,1 poin. Dengan hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa kedua sampel tanah bukan bertipe supresif terhadap
26
patogen, karena inokulum mampu bertahan di kedua sampel tanah tersebut. Berdasarkan hasil penerjemahan indeks keparahan penyakit tersebut maka diketahui bahwa tanah yang diduga supresif tidak menunjukkan kemampuan menekan perkembangan penyakit layu Fusarium ketika diinokulasi dengan Foc resisten, bahkan kondisinya menjadi kondusif bagi perkembangan penyakit layu Fusarium pisang. Tren yang sama terlihat pada tanah yang diduga kondusif, namun dengan kelas yang berbeda yaitu toleran. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi pada tanah dari Jamaras, Cianjur, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, yaitu perlakuan tanpa inokulasi pada tanah dari Jamaras, Cianjur, dan Margorejo, Magelang, serta perlakuan inokulasi pada tanah dari Margorejo, Magelang. Hal ini menunjukkan baik tanah yang diduga supresif maupun kondusif tidak mampu menekan perkembangan penyakit layu Fusarium. Banyak faktor yang mempengaruhi supresifitas tanah baik faktor fisik, kimia maupun biologi serta interaksi dari ketiganya (Sudarma, 2010). Interaksi faktorfaktor tersebut membentuk peran lingkungan yang prosesnya dapat diamati berupa: (1) kelengasan tanah; tekstur tanah; suhu tanah; dan sifat fisik lainnya (2) kandungan unsur hara dalam tanah; kandungan pestisida dan bahan kimia lainnya serta (3) keberadaan mikroorganisme pendukung pertumbuhan tanaman dan bersifat antagonis dan atau kompetitif terhadap patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Menurut laporan Somala (2011), pengujian terhadap kadar karbon bebas, aktivitas enzim fluoresin diasetat serta β-glukosidae menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada tanah Sarampad, Cianjur daripada tanah dari Margorejo, Magelang. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroorganisme tanah dari Sarampad, Cianjur lebih tinggi daripada Margorejo, Magelang. Namun aktivitas mikroorganisme yang terpantau tersebut tidak cukup membuktikan bahwa keragaman mikroorganisme di kawasan ini lebih tinggi. Keragaman mikroorganisme bakteri di kawasan Sarampad, Cianjur, diketahui justru lebih rendah daripada Salaman, Magelang (Puspitasari, 2011). Di sisi lain, keberadaan mikroorganisme antagonis berupa aktinomisetes dari sampel tanah Sarampad, Cianjur, telah diketahui berupa Streptomyces sp. Isolat tersebut mampu menghambat perkembangan Foc secara in vitro hingga 55,56%. Sayangnya belum ada data pembanding untuk sampel tanah dari Margorejo,
27
Salaman, Magelang, sehingga belum diketahui ada atau tidaknya mikroorganisme antagonis dari kawasan tersebut. Pemindahan tanah dari lokasi asal serta proses komposit diduga menjadi sebab perubahan karakter tanah, sehingga tanah Jamaras, Cianjur, menunjukkan performa yang berbeda dengan performa di lahan asal. Penggalian tanah serta pengangkutan dengan menggunakan karung plastik diduga merusak karakter fisik tanah seperti perubahan tekstur, struktur dan porositas tanah. Dampaknya ialah gangguan terhadap karakter biologi tanah yang tergantung pada kelangsungan hidup mikroorganisme di dalamnya. Pemindahan tanah ke dalam polybag tidak mampu mengembalikan karakter tanah asal sehingga performa tanah supresif tidak nampak pada pengujian di rumah kaca ini.
2.3 Populasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang Medium PPA (Pepton PCNB Agar) merupakan medium semi selektif bagi jamur Fusarium sp. Medium ini mengandung fungisida dan antibiotik, sebagaimana tercantum di lampiran 3, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur, namun memungkinkan bagi spesies Fusarium sp. untuk tumbuh. Koloni Fusarium sp. yang tumbuh di medium PPA tidak menunjukkan karakter yang spesifik sehingga diperlukan subkultur dalam medium lain untuk keperluan identifikasi. Medium ini dapat meracuni koloni jika dibiarkan lebih dari 2 minggu akibat pemecahan pepton menjadi senyawa amonia (Leslie dan Summerell, 2006). Isolasi Foc resisten dalam tanah diduga supresif dan kondusif menggunakan medium PPA tidak berhasil dilakukan. Pengamatan terhadap koloni yang dipindah ke medium PDA tidak menunjukkan morfologi Foc. Penggantian medium sudah dicoba dengan menggunakan medium K2 tetapi menunjukkan hasil yang sama. Medium K2 adalah medium selektif yang dimodifikasi dari medium Komada (Sun et al., 1978). Kegagalan Foc untuk berregenerasi dimungkinkan karena inokulum yang digunakan bukanlah struktur tahan ditambah dengan tidak adanya tanaman inang. Suspensi spora yang diperoleh melalui pemanenan isolat di medium PDA didominasi oleh mikrokonidia yang merupakan salah satu organ perbanyakan Foc namun bukanlah merupakan struktur tahan. Untuk mampu bertahan di tanah dan diisolasi
28
melalui teknik pengenceran tanah, Foc harus membentuk struktur klamidospora. Semakin banyak klamidospora yang diproduksi, semakin mudah dilakukan isolasi menggunakan teknik pengenceran tanah (Leslie dan Summerell, 2006). Apabila ditinjau dari pengujian pada tanaman, sampel tanah yang tidak diinokulasi Foc resisten menunjukkan gejala layu Fusarium pada tanaman uji. Dari pengamatan tersebut dapat ditarik 2 kemungkinan yaitu: (1) keberadaan klamidospora di dalam tanah tidak cukup banyak untuk diisolasi melalui teknik pengenceran tanah; dan atau (2) Foc memerlukan tanaman inang untuk perbanyakan diri sehingga populasinya cukup tinggi untuk dapat diamati. Menghadapi kondisi tersebut, diperlukan teknik lain untuk mengamati populasi Foc di tanah diduga supresif dan kondusif yang memungkinkan masih adanya inang atau sisa-sisa tanaman inang. Smith dan Snyder (1971) menggunakan teknik inokulasi yang berbeda untuk mengamati perkembangan beberapa jenis Fusarium di tanah diduga supresif dan kondusif tanpa tanaman inang. Suspensi mikrokonidia yang diinokulasikan ke tanah tidak langsung direisolasi melainkan diinkubasi hingga tanah kering selama 2-4 minggu. Selanjutnya tanah kembali dilembabkan dan ditunggu mengering selama 2-4 minggu berikutnya. Metode tersebut memberikan cekaman lingkungan bagi Fusarium sp. untuk membentuk struktur tahan atau mati. Meskipun demikian tidak ada penanda bagi klamidospora yang diinokulasikan sehingga tidak bisa dibedakan dengan klamidospora yang sudah terinfestasi di tanah. Israel dan Lodha (2004) melakukan inokulasi dengan memastikan inokulum berupa klamidospora sehingga inokulum bisa bertahan di tanah, baik pada lahan dengan ataupun tanpa tanaman inang. Teknik yang dterapkan yaitu dengan memperbanyak isolat F.oxysporum f.sp. cumini pada medium pasir:corn meal 5% yang diinkubasi selama 15 hari pada suhu 30±2°C. Inokulasi klamidospora dilakukan dengan mencampurkan sisa tanaman terinfeksi yang mengandung klamidospora dengan tanah uji. Perbedaan hasil antara ekspresi tanah yang diuji dengan dan tanpa tanaman pisang diduga dipengaruhi oleh tipikal inokulum yang digunakan. Berdasarkan rujukan, jenis inokulum yang baik untuk inokulasi ke tanah ialah klamidospora yang banyak dibentuk ketika patogen Foc berada pada keadaan minim nutrisi sehingga
29
memaksa patogen untuk bertahan. Cara inokulasi dengan menggunakan inokulum dalam medium beras steril terbukti mampu menginduksi ekspresi gejala penyakit yang berarti patogen mampu bertahan dan berkembang di tanah uji. Sebaiknya inokulasi di tanah tanpa tanaman inang juga dicoba menggunakan inokulum dalam medium beras steril yang diblender dan disaring untuk mendapatkan klamidospora yang lebih banyak.
30