BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pangan satu negara akan sangat menentukan kondisi ketahanan pangan negara tersebut. Idealnya seperti yang diterakan FAO1 bahwa satu negara berhak untuk memiliki kedaulatan pangan dengan otoritas penuh terhadap pengaturan baik produktivitas, distribusi, serta penetuan harga atau jaminan adanya akses yang merata dengan kuantitas dan kualitas yang baik bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini jelas merujuk pada pandangan nasionalis atau merkantilis yang melihat negara sangat diperlukan dalam memberi proteksi terkait sektor vital ini. Namun pada praktiknya kemudian, di era globalisasi yang sarat akan bentuk bentuk liberalisasi perdagangan ini, tindakan proteksi berlebihan oleh satu negara dianggap sebagai penghambat perdagangan dan sangat dilarang keras. Hal ini kemudian menimbukan dilema khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia yang sebagai negara agraris justru tidak memiliki kedaulatan atas pangannya sehingga krisis ketahan pangan sering terjadi. Hal ini dikarenakan untuk pemenuhan pangannya Indonesia telah bergantung pada impor. Salah satu pangan strategis Indonesia dengan jumlah impor terbesar adalah komoditas kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditi yang paling dibutuhkan di Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu konsumen kedelai terbesar 1
FAO REPORT. Food Security PDF. 2011 dapat diunduh di http://bbc.world/fao.htm diakses pada 1 April 2013
1
yakni sekitar 26 juta ton tiap tahunnya, namun sayangnya petani domestik hanya mampu menghasilkan 700 ton tiap tahunnya. Situasi ini sangat janggal mengingat sebagai negara konsumen kedelai terbesar, hingga saat ini Indonesia belum mampu meningkatkan ketahanan komoditi pangan satu ini untuk pemenuhan rakyatnya, justru bergantung pada negara lain. Ironisnya, seperti yang diterakan Romphius2, sebenarnya Indonesia telah menanam kedelai sejak 1750. Sementara Amerika yang notebene sebagai importir kedelai dunia baru memulainya pada 1950-an, Brasil dan Argentina baru mulai 1970-1980-an. Dari segi pengalaman budi daya petani Indonesia khususnya Jawa dan Bali sudah memiliki pengalaman yang panjang. Hanya saja seiring dengan upaya pengembangan budidaya kedelai, impor kedelai tetap dilakukan guna memenuhi permintaan domestik yang tinggi. Impor kedelai di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1929, yaitu sebanyak 68.000 ton dari Manchuria, walaupun produksi dalam negeri sudah mencapai 127.000 ton pertahun. Setelah kemerdekaan, impor kedelai dimulai lagi pada tahun 1971 sebesar 277 ton, kemudian meningkat menjadi 171.746 ton pada tahun, 1976 dan naik lagi menjadi 400.000 ton pada tahun 19843. Sebenarnya hingga awal tahun 90an impor kedelai tidak pernah lebih dari 500.000 ton dan produksi dalam negeri terus meningkat bahkan di tahun 1992, produksi dalam negeri dapat mencapai 1.9 juta.
2
Usman Sunyoto. Politik dan Ketahanan Pangan Kedelai. Yogyakarta: CIRED. 2004. hal 10
3
. Swastika. Menata Ulang Kebijakan Pangan kedelai . Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. 2006 hal 31
2
Pada perkembangannya kemudian, Indonesia ikut serta dalam liberalisasi perdagangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture ( AoA) di tahun 1995 dan Letter of Intent IMF di tahun 1998,4 membuat proteksi dan subsidi serta hambatan tarif dan non tarif harus dihapuskan, hasilnya adalah kedelai lokal tidak mampu bersaing dan akhirnya banyak petani kedelai yang berpindah komoditi. Hal ini lah yang kemudian menjadi lingkaran setan (vicius cycle). Produktivitas kedelai lokal semakin menurun dan impor semakin meningkat yang akhirnya membuat Indonesia menjadi ketergantungan dan permasalahan ini sulit diselesaikan hingga saat ini. Dampak lanjutan berupa krisis pangan kedelai dunia dan fluktuasi harga kedelai dunia yang tidak menentu dan dapat melonjak drastis secara tiba-tiba seperti yang terjadi di tahun 2008, hingga 2012.
Berbagai program swasembada guna mencapai kemandirian pangan dan ketahanan pangan jangka panjang sudah sering dilakukan, dan yang baru-baru ini dikeluarkan untuk menangangani krisis kedelai di tahun 2012, dengan pasokan kedelai dunia yang menurun dan lonjakan harga di pasar domestik, adalah rancangan pemerintah untuk mengembalikan fungsi pengawasan, stock buffer, price stabilizer dan penjamin pasar kedelai lokal kepada BULOG yang sempat dilarang dalam LoI 1998. Program lengkap guna mendorong tercapainya swasembada pada tahun 2014 juga telah dibentuk dengan ekspektasi produksi kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi mencapai 1.5 ton/ha dari sebelumnya yang hanya 1.3 ton/ha. Dari hitungan ini
4
Ibid
3
maka pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini maka impor diasumsikan tidak lagi diperlukan. Selain itu, pemerintah telah menetapkan harga pembelian pemerintah atau HPP sebesar Rp.7000/kg pada Juni 20135.
Namun, program pemerintah untuk swasembada ini kerap mendapat tantangan yang cukup berat. Data statistik di lapangan memperlihatkan produksi tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, yang berarti terdapat defisit produksi hingga 1,9 juta ton untuk mencapai 2.7 juta ton. Dengan hitungan sederhana maka setiap tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1.4 juta ton. Hal ini jelas angka yang sulit. Selain itu, pengembalian fungsi BULOG sebagai kontrol harga dan stock buffer untuk mengatasi lonjakan harga kedelai internasional juga akan sulit dilaksanakan mengingat hingga kini, untuk mengurusi beras saja BULOG masih sangat kewalahan mengingat kurangnya dana untuk stock buffering sehingga tidak bisa mengontrol harga di pasar. Terlebih pada akhir Agustus 2013, seiring dengan melambungnya nilai tukar dollar menjadi Rp.11.000, maka harga kedelai juga ikut meningkat drastis menjadi Rp.9000/kg. Permasalahan kedelai ini selalu sulit untuk diselelesaikan mengingat program swasembada yang selalu kontradiktif dengan kebijakan peningkatan impor, penurunan tarif masuk, serta kelonggaran bagi importir bebas.
Terlihat adanya ambiguitas dalam kebijakan kedelai Indonesia dengan tidak adanya ketegasan terkait blueprint dan kedaulatan atas pangan sehingga
5
Supadi. Ketahanan Pangan dan Produktivitas Kemandirian Pertanian Indonesia PDF. 2006. Dapat diunduh di http://pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3273085.pdf diakses pada 12 September 2013
4
pemerintah selalu saja mengeluarkan kebiajakan yang bersifat inkrementalis dimana sasarannya hanya jangka pendek dan tidak sustain dengan hanya mencari solusi pemenuhan permintaan domestik yang dari tahun ke tahun jauh melebihi produksi lokal, dengan terus melakukan impor dan mengikuti alur perdagangan bebas dengan menurunkan tariff guna mendapat harga yang murah di pasar domestik tanpa pertimbangan atas multiplyer effect yang terjadi bagi produktivitas lokal dan ketahanan pangan jangka panjang. Pola kebijakan inkrementalis ini tidak pernah berubah
B. Rumusan Masalah Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana bentuk politik kebijakan pemerintah terkait pangan kedelai dan mengapa kebijakan tersebut selalu bersifat inkrementalis dengan menganalisa peran serta kepentingan aktor-aktor terkait C. Fokus Penelitian Peran dan kepentingan aktor aktor penting terkait isu kedelai menjadi fokus tulisan ini dalam melihat bagaimana inkrementalisme / pragmatisme kebijakan kedelai dibentuk dan dilaksanakan D. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan menitikberatkan pada kebijakan kedelai Indonesia pasca liberalisasi pangan era Soeharto
5
E. Tujuan Penelitian Indonesia dihadapi pada dilema antara kedaulatan pangan guna pencapaian kemandirian dan ketahanan pangan kedelai yang sustain dan stabil (swasembada), atau kebijakan penyelesaian permasalahan terkait desakan pemenuhan kebutuhan jangka pendek (impor). Terlihat bahwa terdapat ambiguitas dalam penentuan kebijakan pangan dan permasalahan antara food security dan food sovereignty dimana situasi perkedelaian di Indonesia telah dikuasai oleh tata niaga pangan yang sarat akan liberalisasi, namun di satu sisi keinginan untuk menjaga keamanan pangan tetap dilakukan. Hal ini merupakan perdebatan panjang dan fenomena krisis pangan yang berujung pada naiknya harga kedelai di tahun 2008 dan 2012-2013, maka penelitian terkait analisa kebijakan pangan kedelai Indonesia ini perlu dilakukan untuk mendapat penjelasan komprehensif mengenai bagaimana sebenarnya kebijakan terkait pangan kedelai Indonesia tersebut dibuat. Penelitian ini mencoba menjelaskan faktor penyebab ambiguitas kebijakan pangan kedelai yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal namun selalu saja terganjal kebijakan untuk impor. Untuk itu analisa peran dan pengaruh aktor-aktor terkait akan dibahas. F. Tinjauan Pustaka Sebenarnya cukup banyak literatur yang mengkaji mengenai kondisi problematis terkait kebijakan pangan khususnya kedelai di Indonesia. Kedelai sebagai pangan strategis memiliki tingkat konsumsi yang tinggi yakni sekitar 2-3 juta ton setiap tahunnya dan mengalami peningkatan sekitar 1.5-3 % setiap tahun.
6
Tulisan yang spesifik membahas mengenai produktivitas kedelai di Indonesia dapat ditemui pada tulisan Romphius ( 2005 ) yang memetakan sejarah dan perkembangan usaha tani kedelai di indonesia yang ternyata telah mulai dibudidayakan pada abad ke-17 , jauh lebih dulu dibandingkan dengan importir kedelai terbesar yakni Amerika. Pada waktu itu kedelai dibudidayakan sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Sampai saat ini di Indonesia kedelai banyak ditanam di dataran rendah yang tidak mengandung air. Hanya saja hingga kini produktivitas kedelai lokal tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, hal ini tentu menjadi masalah seiring dengan semakin meningkatnya jumlah
permintaan / konsumsi domestik inilah yang
menimbulkan permasalahan pangan dan mendorong pemerintah untuk mengimpor kedelai demi pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut Swastika ( 1997: 50 ), tingginya pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pertumbuhan penduduk dan pesatnya pertumbuhan industri pangan dan pakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan industri pangan seperti tahu, tempe kecap, dan pangan olahan lainnya. Sedangkan peningkatan industri pakan sejalan dengan meningkatnya industri peternakan yang dikarenakan oleh tingginya kebutuhan akan produk turunan hasil peternakan. Namun demikian, produktivitas kedelai justru mengalami penurunan setiap tahunnya, ini merupakan permasalahan yang kompleks. Penelitian Sumarno ( 1990 ) juga memperlihatkan fenomena yang sama dengan menambahkan bahwa sebenarnya Indonesia pada tahun tahun 1975 hingga 1995, Indonesia mampu berswasembada kedelai, bahkan sempat mengalami net
7
impor negatif, hanya saja hal ini tidak berlangsung lama, dikarenakan tingginya lonjakan permintaan untuk konsumsi kedelai di dalam negri sehingga kuantitas impor pun ditingkatkan bahkan hingga kini ketergantungan impor masih berlangsung.
Oleh
karenanya,
menurutnya
perlu
diterapkan
program
pengembangan usahatani kedelai atau program swasembada yang serius oleh pemerintah. Penelitian lain yang melihat bahwa sebenarnya Indonesia sulit melepaskan ketergantungan terhadap impor kedelai dikarenakan oleh tingginya pinjaman tanpa bunga atau nilai kredit yang diberikan oleh negara eksportir seperti Amerika terhadap importir lokal serta preferensi baik perajin tahu tempe serta produk olahan kedelai lainnya untuk menggunakan kedelai impor yang jauh lebih murah dan dinilai memiliki kualitas lebih baik. Hal ini dikemukakan oleh Siswono ( 2003 ) yang melihat dampak liberalisasi pangan dan kerjasama ekonomi bagi komoditi pangan strategis Indonesia. Hal ini terlihat dari analisis data oleh Hafsah ( 2003 ) terkait pemberian kredit lunak oleh USDA ( Departmen Pertanian Amerika Serikat sebesar 12 juta US$ setiap tahunnya dan terus mengalami peningkatan seperti pada tahun 2001 sebesar 650 juta US$ dan tahun 2002 sebesar 750 juta US$. Penelitian selanjutnya oleh Ridha Amaliyah yang menjabarkan tiga pilar utama AoA adalah sebagai berikut ( Ridha Amaliyah: 2008 ) a) Akses Pasar ( Market Access ) Mekanisme-mekanisme kunci dalam komitmen ini adalah membangun perdagangan dengan rezim tarif (tariffication), pengurangan tarif, dan pengikatan
8
besarnya tarif masing-masing produk pertanian. Tarifikasi atau yang juga disebut comprehensive tariffication pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan nontarif menjadi tarif yang senilai (tariff ekivalen). Artinya, proteksi di sektor pertanian sebenarnya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam bentuk tarif, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Pengurangan tarif ditetapkan rata-rata sebesar 36 persen atau minimal 15 persen yang berlaku untuk setiap mata tarif dalam jangka waktu 6 tahun dan hanya berlaku bagi negaranegara maju. Untuk negara berkembang, penurunan tarifnya sebesar 24 persen atau minimal 10 persen untuk setiap mata tarif dalam jangka waktu 10 tahun. Sasaran penurunan tarif adalah hambatan non-tarif yang sudah diganti dengan tarif. b) Subsidi Domestik Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi baik untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan/transfer dana kepada produsen. Isi 231 kesepakatan dalam AoA dirancang agar dukungan domestik diubah sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, atau kalaupun ada maka pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi pertanian kecil sekali. Untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang, tidak semua subsidi perlu dipotong. Mereka dapat diklasifikasikan dalam kategori khusus. Kategori tersebut dapat digolongkan dalam Green Box, Blue Box, dan Amber Box. Green box merupakan subsidi yang secara tidak langsung mendukung produk pertanian. Subsidi ini dianggap tidak terlalu mengacaukan pasar. Blue box
9
merupakan subsidi yang berupa pembayaran langsung kepada petani untuk membatasi jumlah produksi. Selain itu, juga diperuntukkan bagi bantuan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian dan pembangunan pedesaan di negara berkembang. Sedangkan, Amber box adalah subsidi yang secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh diberikan untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap. c) Subsidi Ekspor Komitmen ini dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan subsidi ekspor dilaksanakan pada target volume komoditas yang diekspor maupun dalam bentuk nilai (budgetary). Pengurangan dalam bentuk nilai diberlakukan kewajiban penurunan sebesar 36 persen dan penurunan kuantitas volume sebesar 21 persen dari total ekspor dalam kurun waktu enam tahun dengan menggunakan tahun dasar periode 1980-1990 untuk negara maju. Kewajiban pengurangan nilai sebesar 24 persen dan kewajiban pengurangan volume sebesar 14 persen dalam jangka waktu sepuluh tahun untuk negara berkembang. Amaliyah menganalisa terdapat kaitan antara perjanjian pertanian WTO ini dengan ketahanan pangan Indonesia khususnya kedelai dimana kedelai lokal tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang mengakibatkan banyaknya petani kedelai lokal yang akhirnya beralih pada komoditi lain dimana daya saing dengan impornya masih tidak terlalu lemah. Selain itu krisis ekonomi di tahun 1998, yang memaksa Indonesia untuk melakukan perjanjian ( Letter of Intent )
10
dengan IMF terkait pemberian hutang luar negri yang mana menuntut Indonesia untuk menerapkan beberapa program yang dibentuk IMF yang salah satu diantaranya adalah penghapusan subsidi untuk usaha tani kedelai dan membuka keran impor seluas-luasnya. Penelitian serupa mengenai liberalisasi pertanian juga dilakukan oleh Maryoto ( 2004 ) yang menyimpulkan bahwa persoalan yang muncul pada aspek pertanian negara berkembang saat ini sudah sangat komplek, tidak lagi hanya persoalan kuantitas dan kualitas produksi dan hambatan terkait sektor financial, infrastruktur dan teknologi saja, tapi permasalahan yang lebih sulit datang dari lonjakan produk impor serta strategi untuk dapat bertahan dalam kompetisi ini. Penelitian Ryan Primarsati (2008) menekankan pada pengaruh perubahan harga kedelai terhadap masyarakat, penelitia Rini Romala (2010) menekankan pada bagaimana bentuk kebijaka pangan pasca liberalisasi pangan di era Soeharto dan penelitian Aditya Rahmana (2008) menekankan pada hubungan ekonomi politik dalam ketahanana pangan Indonesia. Kebanyakan penelitian terdahulu hanya fokus pada pengaruh satu kebijakan internasional terhadap kebijakan impor pangan kedelai (seperti AoA atau LoI saja), namun tidak secara komprehensif menjelaskan dilema berkepanjangan yang dihadapi Indonesia untuk swasembada dalam ranah domestik, maka untuk melengkapi penelitian terdahulu, penelitian ini akan mencoba memberi penjelasan lebih komprehensif terkait ambiguitas kebijakan pangan kedelai Indonesia yang dipengaruhi tidak saja oleh desakan sederet perjanjian yang mengharuskan untuk liberalisasi atau peran AS sebagai eksportir
11
kedelai terbesar, tapi analisa mendalam yang membahas bagaimana dan mengapa bentuk perpolitikan kebijakan kedelai di Indonesia bersifat pragmatis / inkremental dengan tarik menarik kepentingan antar aktor pro impor dan swasembada. G. Kerangka konseptual Seperti apa yang dikatakan oleh Milton Friedman6 mengenai pertumbuhan pangan yang berdasarkan deret hitung, dan pertumbuhan penduduk yang erdasarkan deret ukur, masalah pangan terus saja menjadi permasalahan tidak berkesudahan. Namun peningkatan permintaan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkurangnya ketersediaan / produksi pangan domestik bukanlah penyebab tunggal masalah pangan satu negara. Kebijakan pangan yang tidak tepat merupakan faktor utama. Untuk kasus kedelai di Indonesia, kebijakan yang dirumuskan pemerintah kerap menghadapi dilema antara swasembada atau impor. Jika ditelisik lebih jauh terdapat permasalahan antara penerapan kebijakan demi mencapai ketahanan pangan (food security) dimana berdasarkan konsep yang dirumuskan dalam world food summit 1996yang menekankan akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana yang berarti selama kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi, maka impor diperbolehkan. Atau memilih untuk lebih menitikberatkan pada pencapaian kedaulatan pangan yang berarti pemenuhan pangan sendiri dengan
6
Milton Friedman. Food Security and Demography PDF. 1953. Dapat diunduh di http://socjologia.amu.edu.pl/isoc/userfiles/40/friedman-1953.pdf diakses pada 30 September 2013
12
blueprint atau kebijakan yang mandiri tanpa dipengaruhi oleh konstelasi politik internasional serta adanya proteksi terhadap petani dan perdagangan pangan lokal. Untuk dasar / landasan kebijakan terkait pangan sendiri, Indonesia telah memiliki Undang Undang pangan No 7 tahun 19967, dimana disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup , baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian, pembinaan, dan pengawasan mulai dari proses produksi, distribusi hingga konsumsi. Lebih lanjut disebutkan bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah: a. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Undang Undang ini juga menjelaskan mengenai cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang terdiri atas: a.Cadangan pangan Pemerintah; b.Cadangan pangan masyarakat.
7
Kementan. Undang Undang Pangan No 7 Tahun 1996 PDF. 1996. Dapat diunduh di http://ditjennak.deptan.go.id/download.php?file...1996.pdf diakses pada 30 September 2013
13
Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud pada ayat, maka Pemerintah: a. Mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat perdesaan, perkotaan, propinsi, dan nasional; b. Mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional. Selanjutnya pada pasal Pasal 48 diterangkan bahwa untuk mencegah dan atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut. Pasal 49 menyatakan pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya: a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil; b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan; c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan; d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan teknologi di bidang pangan;
14
e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan; f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional; g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional Kebijakan ini kemudian disempurnakan pada tahun 2012 dengan dikeluarkannya Undang-Undang terkait pangan No 188 yang dimana juga dijelaskan mengenai kedalutan, kemandirian dan keamanan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
8
Kementan. Undang Undang Pangan No 18 Tahun 2012 PDF. 2012. Dapat diunduh di http://ppvt.setjen.pertanian.go.id/ppvtpp/files/61UU182012.pdf diakses pada 30 September 2013
15
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Swasembada pangan merupakan target utama kementrian Pertanian dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/Rc.110/1/20109 selama lima tahun ke depan (2010-2014), dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu: 1. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. 2. Peningkatan Diversifikasi Pangan. 3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor. 4. Peningkatan Kesejahteraan Petani. Impor dilakukan apabila cadangan pangan nasional ( persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat ) dan cadangan pangan pemerintah ( persediaan
9
Kementan. Kebijakan Ketahanan Pangan 2010-2014 PDF. 2010 dapat diunduh di http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/KUKP%202010%20%202014%20Edit% 20TA%20Nov%202011.pdf....pdf diakses pada 30 September 2013
16
pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah ) tidak dapat memenuhi kebutuhan. Cadangan pangan pemerintah terdiri atas: a. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi. b. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. c. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa. d. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga. Selanjutnya pada Pasal 39 dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Serta melakukan penanggulangan krisis pangan dengan cara mengatur kebijaka terkait distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga, serta bantuan pangan ( Pasal 46 ) Pasal 56 berisi: : a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah; b. Penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan Pemerintah;
17
c. Pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah; d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan; e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional; f. Pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau g. Pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan 2009-2012 Kebijakan ini juga memembahas mengenasi : a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan produksi pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus untuk menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi. b. Perluasan areal tanaman pangan c. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan untuk membantu meningkatkan posisi tawar petani di hadapan pedagang pengumpul dan tengkulak; d. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat dengan sasaran jelas, yakni berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan petani e. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang pertanian dan pengolahan pangan untuk mendorong pertumbuhan investasi usaha berbasis pertanian dan pangan. f. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan
18
kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman serta umpan balik kepada lembaga pemerintah yang berkompeten termasuk lembaga legislatif; g. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus daging) sebagaimana disampaikan secara resmi oleh Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah ini dapat dilakukan melalui penerapan berbagai instrumen dan regulasi perdagangan secara arif untuk melindungi dari persaingan yang tidak menguntungkan dan memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing produk pertanian strategis nasional. Dalam Undang Undang pangan ini terlihat bahwa goal dari kebijakan pangan pemerintah Indonesia adalah pencapaian self sufficiency atau swasembada dengan impor hanya sebagai alternatif saat cadangan nasional tidak memenuhi. Namun pada kenyataannya pemerintah justru terus saja bergantung pada impor tanpa upaya nyata untuk mencapai swasembada. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil arah kebijakan pangan kedelai Indonesia membuat program yang ada terkait swasembada menjadi tidak efektif dan regulasi untuk impor terus dipermudah. Sekali lagi hal ini menunjukkan permasalahan dalam menentukan untuk berdaulat secara pangan atau sekedar kebijakan instan demi memenuhi kebutuhan pangan. Terkait kemandirian pangan atau self sufficiency sebenarnya sejalan dengan teori merkantilisme, dimana negara merupakan aktor utama yang memiliki
19
wewenang dalam menentukan arah dan melaksanakan kebijakan perekonomian sepenuhnya.10 Proteksionisme merupakan salah satu upaya suatu negara untuk merumuskan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dalam rangka melindungi perekonomian domestik dari dominasi produk-produk asing.11 Namun yang lantas menjadi kendala kemudian adalah situasi sistem ekonomi politik internasional, dimana comparative advantage atau prinsip efisiensi produktivitas, sering menjadi dilema seiring dengan masuknya pangan dalam era liberalisme . Seperti yang selalu diutarakan oleh David Ricardo ( 1817 ) sebagai salah satu tokoh liberalisme yang melihat persaingan ( competitiveness ) merupakan sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi tanpa harus ada satu bentuk proteksi dimana memang pasar ( market ) lah yang menentukan kebijakan, yang dalam hal ini diartikan bahwa keputusan untuk impor kedelai merupakan satu bentuk keputusan yang tepat dan sudah seharusnya dilakukan dengan pertimbangan efisisensi. Maka muncullah tanggapan bahwa lebih menguntungkan bila impor dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih bagus dibandingkan harus produksi sendiri dengan hasil yang tidak optimal. Karena itu importir diberi keleluasaan dalam perdagangan kedelai domestik
10
Jackson dan Sorensen. Introduction to International Relations. Oxford University Press: 2007. Hal 175-216
11
Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional” (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 58.
20
Kebijakan kedelai Indonesia dapat dibedakan dalam dua fase, yakni fase sebelum liberalisasi pangan dan fase setelah liberalisasi pangan. Fase sebelum liberalisasi pangan terdiri dari12: (a) Fase revolusi (1945-1965) Dalam fase ini, pemerintah sangat gencar dalam meningkatkan sektor pertanian dan menjadikan pemenuhan pangan secara mandiri sebagai prioritas kebijakan dengan membentuk BAMA (b) Fase konsolidasi ( 1967-1983) Dalam fase ini, pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas pangan melalui revolusi hijau dengan membentuk BULOG dan program BIMAS, INMAS dan INMUM yang tertuang dalam repelita 1-4 (c) Fase tumbuh tinggi ( 1984-1992 ) Sedikit berbeda dengan data produksi pangan secara keseluruhan dimana fase tumbuh tinggi berlangsung dari tahun 1978-1986, dan kemudian mengalami fase dekonstruksi, kasus kedelai, fase tumbuh tinggi baru dimulai di tahun 1984 saat pemerintah mulai melakukan program intensifikasi pertanian kedelai merujuk pada keerhasilan swasembada beras di tahun 1984. Produktivitas kedelai
12
Busatanul Arifin. Pembangunan Pertanian Indonesia Selama 60 Tahun PDF. 2005. Dapat diunduh di http://repository.ipd.a.id/bitstream/handle/123456789/43763/bustanul%20arifin.pdf?sequence =1 diakses pada 20 September 2013
21
pernah mencapai puncak produksi mendekati angka 2 juta ton di tahun 1992 Selanjutnya sejak tahun 1995, dengan dikelarkannya peraturan mengenai liberalisasi pangan oleh WTO dalam Agreement of Agriculture dan dengan ditandatanganinya nota kesepakatan dengan IMF untuk mengikuti “aturan main” perdagangan bebas di tahun 1998, praktis Indonesia memasuki fase liberalisasi dimana prioritas kebijakan untuk swasembada menjadi sulit dicapai. Dengan adanya pematasan tarif masuk bahkan penurunan hingga 0%, batasan wewenang unuk subsidi, serta penghapusan peran BULOG atas kedelai, membuat pemerintah seolah kehilangan kedaulatan untuk membuat kebijakan yang optimal terkait pangan kedelai. Bisa dikatakan Indonesia telah masuk dalam fase: (a) Memasuki liberalisasi pangan (1995-1998) Fase dimana Indonesia harus menyetujui peraturan dalam Agreement of Agriculture ( AoA ) di tahun 1995 dan Letter of Intent ( LoI ) di tahun 1998 (b) Fase krisis / transisi ( 1998-2001) Pada fase ini, Indonesia mengalami masa dimana situasi politik maupun ekonomi tidak dalam kondisi stabil. Pergantian pemerintah melalui jalan kudeta serta krisis ekonomi dan limpahan hutang negara membuat sektor pangan terabaikan (c) Fase ambigu dimana impor kian meningkat, produktivitas terus menurun yanga mengakibatkan ketergantungan dan krisis pangan kedelai yang
22
lantas membuat pemerintah kembali ingin fokus berswasembda namun tidak pernah berhasil ( 2001-sekarang ) Untuk memahami politik kebijakan kedelai di Indonesia penulis mengacu pada tulisan Budi Winarno13 terkait model sistem politik yang bersumber dari teori sistem David Easton yang memandang kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (input desakan ataupun support aktor-aktor terkait, pengaruh kondisi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya) yang ada disekitarnya. hasil akhir dari kebijakan kedelai cenderung pragmatis atau inkremental Tulisan ini akan menggunakan pendekatan kelompok dengan fokus pada aktor-aktor penting terkait pembuatan kebijakan kedelai
14
yakni pemerintah
sebagai pembuat kebijakan ( kementrian perdagangan atau kemendag, kementrian pertanian atau kementan, kementrian keuangan atau kemenkeu ); departemen terkait yakni dewan kedelai nasional atau DEKANAS, badan urusan logistik atau BULOG; lembaga swadaya masyarakat terkait yakni asosisasi petani kedelai Indonesia (APKKI), asosiasi kedelai Indonesia ( AKINDO ), koperasi perajin tahu tempe (KOPTI), serta dua raksasa importir kedelai Indonesia yakni PT Cargill, PT FKS Multi Agra dan PT Gerbang Cahaya Utama. Peran dan interaksi serta kepentingan antar aktor ini akan menetukan kebijakan yang diambil. Mendag kerap mengeluarkan regulasi yang mendorong kelancaran praktik impor dengan pertimbangan untuk memnuhi kebutuhan domestik yang tidak bisa 13
Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta:Media Pressindo. 2007. hal 94
14
Ibid.
23
dilakukan oleh petani lokal, sederet regulasi seperti minimalisir tarif masuk yang juga merupakan putusan mentri keuangan, hingga mengubah prasarat impor dari importir khusus dan terdaftar menjadi importir umum. Di sisi lain, kementan hanya mengeluarkan sederet program peningkatan produktivitas lokal yang kerap kali hanya sebatas program tanpa implementasi yang efektif. Kedua kementrian ini mengeluarkan kebijakan yang saling berseberangan, dengan meningkatknya impor seiring dengan harga yang murah maka program swasembada oleh kementan tidak dapat berjalan dengan efektif karena gairah petani menjadi berkurang, dan di sisi lain dengan kegagalan program kementan ini maka kebutuhan domestik akan terus menuntut untuk impor, hal ini sudah menjadi lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Dewan kedelai nasional yang merupakan badan yang baru dibentuk di tahun 2009 hingga kini hanya berperan sebagai pemberi masukan dan respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan baik oleh kementan, kemendag maupun kemenkeu tanpa adanya wewenang untuk turut secara langsung dalam pembuatan kebijakan Berdasarkan konsep model sistem politik ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bukan tanpa pengaruh dari lingkungan ekonomi sosial dan politik sekitar atau aktor-aktor yang turut memberi input. Civil society atau LSM merupakan kekuatan dasar yang dimiliki oleh masyrakat untuk menjembatani aspirasinya utnuk dijadikan pertimbangan dalam decision making (grassroot). Dalam hal ini asosiasi petani kedelai memiliki peran yang signifikan, namun sayangnya asosiasi ini bukanlah asosiasi yang kuat sejauh ini keluhan dan protes yang dikeluarkan oleh petani terkait krisis kedelai melaui asosiasi ini hanya
24
ditanggapi sebatas program swasembada tanpa implementasi yang signifikan oleh kementan, di sisi lain kemendag terus memperlancar impor dan menyerahkan urusan proteksi dan peningkatan produksi lokal pada kementan. Tidak seperti asosiasi kedelai di AS, APKKI tidak bisa turut ikut campur secara langsung dalam desicion making process. Di sisi lain asosiasi kedelai Indonesia atau akindo lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan kedelai nasional yang berarti impor bukanlah masalah selama tidak merugikan, seruan untuk bisa mandiri dalam memproduksi kedelai tidak disampaikan secara gencar. Di sisi lain kopti merupakan koperasi yang dibentuk guna mendampingi bulog dalam distribusi impor kedelai oleh pemerintah di era orde baru. Kopti cukup memiliki pengaruh yang kuat dalam setiap kebijakan terkait kedelai karena kopti menampung aspirasi perajin tahu tempe yang jumlahnya sangat banyak dengan kebutuhan yang kerap tidak bisa dipenuhi oleh petani lokal. Sasaran utama dari kopti hanya sebatas pemenuhan stok kedelai dengan harga yang murah, tanpa menitikberatkan apakah harus dari lokal atau impor, namun pada praktiknya impor merupakan pilihan yang kerap diambil dikarenakan keleluasan untuk melakukan impor dan tarif yang rendah, serta produksi lokal yang tidak pernah cukup serta harga yang lebih mahal dari pada impor. Hasilnya kopti justru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan importir dibandingkan dengan petani dan dengan degradasi kekuatan bulog untuk mengontrol kedelai di tahun 1998, laju impor semakin sulit untuk dikontrol. Tata niaga kedelai sendiri bersifat oligopoli dimana impor hanya dikuasai oleh tiga perusahaan besar yakni PT Cargill, PT Gerbang Cahaya Utama dan PT
25
FKS Multi Agra dengan kuota mencapai 70% dari keseluruhan impor15. PT Cargill merupakan perusahaan multinasional yang berasal dari AS sebagai eksportir terbesar mencapai 80 % dari keseluruhan impor, PT Gerbang Cahaya Utama merupakan pemain lama yang termasuk dalam salah satu importir besar yang menerima program subsidi ekspor oleh AS di tahun 2001, sedangkan pada PT FKS Multi Agra, meskipun merupakan importir baru namun memiliki kuota terbesar sebanyak 47 %, jika ingin menelisik lebih lanjut, terdapat nama Ir Yusan sebagai komisaris independen yang merupakan mantan wakil kepala badan koordinasi penanaman modal (BKPM) yang secara langsung mendampingi Gita Wirjawan, mendag, yang dulunya merupakan kepala BKPM. Keleluasaan yang dimiliki oleh ketiga importir ini menunjukkan adanya indikase kartel yang hingga saat ini masih diselidiki oleh komisi pengawas persaingan usaha (KPPU). Hubungan antar aktor seperti inilah dimana tidak kuatnya asosiasi petani kedelai dan besarnya peran importir dalam memenuhi kebutuhan kedelai membuat
pemerintah
membuat
kebijakan
inkremental
yang
cenderung
menyelesaikan masalah dipermukaan saja yakni mengenai bagaimana menjaga pasokan kedelai atau ketahanan pangan kedelai yang berorientasi jangka pendek dan cenderung hanya mengikuti kebijakan-kebijakan yang sudah ada dengan perbaikan di sana sini sesuai kondisi yang dihadapi ( pragmatis ). Saat kedelai 15
Opini Jalan Satu. Kartel Kedelai dan Partai Penguasa. Kompas. 16 September 2013. Dapat
diunduh di http://politik.kompasiana.com/2013/09/16/kartel-kedelai-dan-partai-penguasa593226.html diakses pada 25 Desember 2013
26
murah keran impor akan dibuka sebesar-besarnya dan tarif menjadi 0 % namun saat terjadi krisis, program untuk menuju swasembada dengan menyasar pada peningkatan produksi lokal secara mandiri kembali digalakkan, namun bukan berati impor diputus. Hasilnya kedaulatan pangan dimana ketegasan dalam membuat kebijakan yang memberi serta proteksi kepada petani sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan jaminan atas pasokan kedelai nasional serta ruang dalam desicion making secara mandiri tidak pernah bisa berhasil. Hal ini juga dikarenakan saat ini tidak ada sosok pemimpin yang memang memprioritaskan pangan seperti di era orde lama dan orde baru. H. Argumen Utama Kebijakan pemerintah terkait kedelai kerap mengalami dilema antara swasembada atau impor. Menerapkan prinsip kedaulatan pangan yakni pemenuhan pasokan pangan nasional sendiri secara mandiri dengan adanya ruang dalam desicion making process dan proteksi terhadap petani tanpa dipengaruhi oleh bentuk perdagangan internasional, atau tidak mempermasalahkan bagaimana dan dari mana pangan ini berasal selama ketahanan pangan yang berarti akses dan pasokan pangan nasional terjamin. Jika menelisik kembali arah kebijakan pangan yang sudah ada, pada Undang Undang pangan No 7 tahun 1996), orientasi kebijakan selalu ditujukan pada pemenuhan ketahanan pangan, konsep kemandirian dan kedaulatan pangan tidak diterakan didalamnya. Namun pada praktiknya pemerintah di era orde lama dan orde baru cukup memberi perhatian pada pangan dengan kebijakan yang bersifat proteksi pada petani. Seiring dengan krisis pangan yang kerap terjadi dan ketergantungan terhadap impor menjadi
27
semakin besar pasca Agreement of Agriculture (AoA) oleh WTO di tahun 1995 dan Letter of Intent (loI) dengan IMF d tahun 1998, penyempurnaan dilakukan dengan dikeluarkannya Undang Undang pangan No 18 tahun 2012 dan sederet program pencapaian swasembada juga dirumuskan. Namun dalam prakteknya produksi kedelai lokal tetap tidak bisa memenuhi permintaan nasional dan impor terus saja meningkat. Terlihat bahwa Indonesia tidak memiliki blueprint yang jelas akan arah kebijakan pangan kedelai meskipun undang undang pangan telah mengalami perbaikan dan penambahan. Kepentingan dan peran serta interaksi antar aktor dalam perumusan kebijakan merupakan faktor penentu. Aktor di sini adalah pemerintah yakni kemendag dengan kebijakan pemenuhan pangan kedelai murah secara impor dan kementan yang mengeluarkan program peningkatan produksi lokal guna mencapai swasembada. Di sisi lain asosiasi petani kedelai yang seharusnya memiliki andil besar dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan kedelai justru tidak memiliki power yang signifikan. Kopti sebagai wadah bagi aspirasi perajin tahu tempe lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan akan kedelai murah tanpa menuntut secara spesifik dari mana kedelai itu berasal. Importir di sisi lain tentu menginginkan adanya kelonggaran dalam melakukan impor dengan tarif rendah seperti yang selama ini terjadi. Terdapat tarik menarik kepentingan dan peran yang berbeda di sini, kemendag lebih fokus dalam pemenuhan aspirasi kopti dikarenakan 70 % pemanfaatan kedelai adalah untuk produsen tahu tempe, dan tahu tempe sendiri merupakan pangan strategis masyrakat Indonesia. Keleluasaan untuk impor juga
28
diberikan karena hampir 100% kedelai yang digunakan dalam industri tahu tempe adalah kedelai impor. Kopti yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan impor sendiri memiliki hubungan yang lebih dekat dengan importir dibandingkan dengan petani karena harga yang ditawarkan lebih rendah dan jaminan terkait pasokan yang selalu ada. Importir juga memiliki posisi yang cukup signifikan khususnya importir besar karena dengan tidak adanya Bulog dan produksi lokal yang selalu tidak cukup, importir merupakan jalan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Di sisi lain kementan dengan program swasembadanya kerap mengalami stagnasi dengan dewan kedelai nasional asosiasi kedelai dan petani yang tidak memiliki kekuatan signifikan dalam menjamin posisi petani kedelai lokal dalam perdagangan domestik yang kerap kalah bersaing dengan kedelai impor, serta tidak adnaya proteksi atau subsidi guna meningkatkan produktivitas kedelai lokal. Tidak adanya singkronisasi kebijakan antar kementrian ini dan tarik menarik aktor aktor penting pada ranah input tadi mengakibatkan program pemerintah yang selalu bersifat pragmatis atau inkremental dimana impor terus dilakukan dan saat krisis terjadi barulah swasembada kembali dirumuskan. Hasilnya kedaulatan pangan tidak bisa tercapai begitu pula dengan kemandirian pangan, dan saat krisis terjadi, bahkan ketahanan panganpun menjadi terancam. I. Metode Penelitian Sebagai metode penelitian beberapa langkah yang diambil adalah dengan melakukan konseptualisasi kemudian melakukan generlisasi. Konseptualisasi merupakan roses penyederhanaan fenomena dengan mengklasisfikasikan dan
29
mengkategorisasikannya.
Data-data
yang
diperoleh
melalui
media
dikategorisasikan dalam konsep-konsep yang telah dibahas dalam landasan konseptual. Setelah kategorisasi dilakukan, analisis difokuskan pad relasi antar konsep-konsep, apakah itu kondisional, kausalitas, atau tidak berhubungan sama sekali. Sedangkan generalisasi merupakan pernyataan tentang hubungan antar dua konsep atau lebih. Jadi merupakan teknik analisi data dengan memakai langkah induktif komparatif, yakni membandingkan data-data yang ada dalam penelitian ini untuk dikategorikan berdasarkan unsur-unsur yang diteliti, dan kemudian membuat kesimpulan. Pengumpulan data-data tersebut bersifat purposive, bermaksud untuk menguatkan argumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan atau metode kualitatif karena argumen yang dibangun didasarkan pada basis rasional. Penelitian ini berusaha memahami realitas sosial dengan memahami hubungan rasional antara satu konsep dengan konsep yang lain. metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dimana fokus pada analisa ekonomi politik dibalik kebijakan impor kedelai Indonesia. Untuk memperoleh data, digunakan teknik pengumpulan data secara studi oustaka, yaitu dengan menelusuri, mengumpulkan, dan membahas data-data sekunder yang berasal dari berbagai literatur seperti review atas buku, artikel, jurnal, data online, surat kabar, dan majalah. Sedangkan data primer didapat dari wawancara ataupun mengunduh dokumen atau blue print yang didapat langsung dari webiste Disperindag, Deptan, dan Badan Pusat Statistik ( BPS ).
30
J. Sistematika Penulisan Thesis ini terdiri dari lima Bab, dimana: 1. Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang,
rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, dan metode penelitian 2. Bab kedua berisi penjelasan mengenai gambaran perkedelaian Indonesia, yakni perihal produksi, konsumsi, dan impor 3. Bab ketiga berisi penjelasan mengenai kebijakan kedelai Indonesia identifikasi aktor-aktor terkait 4. Bab empat berisi analisa ambiguitas kebijakan kedelai Indonesia dengan melihat peran posisi dan tarik menarik kepentingan aktor terkait 5. Bab lima berisi kesimpulan
31