BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan teknik operasi katarak yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Insisi di bagian konjungtiva, sklera maupun kornea pada teknik SICS serta proses operasi dapat menyebabkan kerusakan di area operasi tersebut. Akibat kerusakan tersebut, sel stem limbal, sel goblet konjungtiva mengurangi sekresi musin dan akhirnya mengganggu stabilitas lapisan air mata (Ganvit, et al., 2014; Kavitha, et al., 2012). Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam lapisan air mata yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva. Musin sangat penting dalam menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010; Shatos, et al., 2003). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 50% dari total kebutaan di dunia disebabkan oleh katarak, dengan mayoritas kebutaan akibat katarak ditemukan di negara-negara berkembang (Riaz, et al., 2013). Data Survei Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan Nasional (SKRT-SURKESNAS) tahun 2001 menunjukkan prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%. Prevalensi katarak di Jawa-Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Prevalensi katarak di daerah pedesaan 6,29% lebih tinggi jika dibandingkan daerah perkotaan 4,5% (Tana, et al., 2006).
2
Small Incision Cataract Surgery (SICS) yaitu teknik operasi katarak dengan membuat insisi tunnel kornea-sklera. Desain insisi tunnel sklera bervariasi antara dokter bedah, namun langkah umum teknik ini melibatkan pembuatan flap konjungtiva sebelum dilakukan permodelan tunnel. Prosedur pembuatan flap konjungtiva menyebabkan pemutusan ikatan konjungtiva-limbal dan pembebasan jaringan tenon yang dapat mengakibatkan kerusakan arsitektur limbal terutama ketika peritomi limbal luas diperlukan untuk katarak dengan nukleus besar (Yang, et al., 2014). Inflamasi pasca operasi, edema jaringan, penyembuhan luka, astigmatisme, anestesi topikal dengan pengawet seperti benzalkonium chloride (BAK) dan zat toksik lainnya menyebabkan musin kurang hidrofilik sehingga stabilitas lapisan air mata menurun dan muncul kondisi dry eye (Zhang S., et al., 2010). Sel goblet berstruktur besar, oval atau bulat menyerupai sel lemak dan memiliki inti datar, dapat ditemukan di seluruh bagian konjungtiva. Musin yang dihasilkan oleh sel goblet berkontribusi untuk imunitas lokal, sebagai media untuk perlekatan imunoglobulin (IgA) dan lisozim. Musin juga membantu menjaga kebersihan mata. Rangkaian jaring-jaring musin menjadi perangkap sisa-sisa sel, benda asing dan bakteri. Musin juga berperan dalam respon inflamasi (Gillan, 2008; Peters dan Colby, 2008). Kepadatan sel goblet konjungtiva yang menurun dan adanya perubahan morfologi sel epitel konjungtiva sering dijumpai pada kondisi dry eye (Bhargava, et al., 2014). Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan non sekresi mengalami modifikasi sehingga berubah menjadi epitel
3
keratin non sekresi yang disebut metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet juga terjadi penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan akibatnya mata menjadi kering. Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi pada sel konjungtiva non sekresi pada pasien dengan dry eye. Perubahan-perubahan inti sel juga tampak pada orang normal pengguna lensa kontak. Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis sicca, dimana defisiensi komponen musin terjadi pada kondisi yang menyebabkan hilangnya sel goblet, misalnya disebabkan oleh trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome, hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome (Peters dan Colby, 2008; Gillan, 2008). Pengobatan dengan beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet konjungtiva dapat menjadi indikator untuk integritas permukaan okular terutama menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008). Li X.M. et al. (2007) melaporkan bahwa gejala dry eye meningkat pada pasien setelah fakoemulsifikasi, skor tear meniskus yang rendah, penurunan tear break-up time (TBUT), penurunan tes Schirmer 1 dan metaplasia skuamosa yang terdeteksi melalui sitologi impresi. Liu et al. (2002) melaporkan bahwa terjadi perburukan pada pola lapisan air mata yang signifikan, tear meniskus, TBUT, tes Schirmer 1 dan pewarnaan fluoresein kornea setelah fakoemulsifikasi. Dilaporkan oleh Kavitha et al. (2012) bahwa 66,2% pasien mengalami dry eye setelah SICS. Keadaan dry eye yang dijumpai adalah derajat ringan sebanyak 53,32%, derajat sedang sebanyak 26,6% dan derajat berat sebanyak 20%.
4
Golongan fluorokuinolon telah lama digunakan untuk mencegah infeksi pasca operasi karena efek spektrum luas. Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis, yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa fluorokuinolon topikal memiliki efek toksisitas pada sel-sel kornea. Toksisitas kuinolon terhadap epitel kornea dan konjungtiva berbeda tiap jenisnya (Han, et al., 2014; Watanabe, et al., 2010). Sejumlah penelitian eksperimental dan klinis telah membandingkan toksisitas beberapa antibiotik golongan kuinolon yang berbeda, namun hasilnya tidak konsisten (Han, et al., 2014). Kim S. et al. (2007) melaporkan bahwa levofloxacin (Cravit®) adalah kurang toksik dibandingkan moxifloxacin (Vigamox®) saat diberikan pada kultur epitel kornea manusia lebih dari 2 jam. Tsai T. et al. (2010) menginkubasi sel epitel kornea manusia dengan fluorokuinolon yang berbeda (norfloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin dan gatifloxacin), dengan menggunakan obat mata komersial dan melaporkan bahwa levofloxacin dan ofloxacin menunjukkan toksisitas yang lebih rendah. Beberapa peneliti menganggap toksisitas fluorokuinolon adalah akibat dari pengawet dan bukan dari fluorokuinolon itu sendiri (Han, et al., 2014). Watanabe et al. (2010) membandingkan moxifloxacin dan levofloxacin tanpa pengawet pada mata sehat yang diberikan tiga kali per hari dan melaporkan tidak terdapat perbedaan pada TBUT dan tampilan morfologi dari epitel kornea, stroma dan endotel.
5
Perhatian utama dokter mata setelah ekstraksi katarak selain inflamasi adalah resiko infeksi mata. Infeksi luka operasi dan endoftalmitis pasca operasi relatif jarang, tetapi merupakan peristiwa yang sangat merusak, dan oleh karena itu dibutuhkan antibiotik profilaksis pada operasi katarak (Russo, et al., 2005). Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah dibuktikan sejak tahun 1964 untuk mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kortikosteroid topikal masih menjadi andalan manajemen pasca ekstraksi katarak. Kortikosteroid topikal mempunyai efek samping menghambat penyembuhan luka (Singer, et al., 2012). Sitologi impresi konjungtiva merupakan teknik non invasif pengambilan sampel epitel konjungtiva dan kornea yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air mata rutin, banyak peneliti mengatakan bahwa sitologi impresi dapat menjadi pemeriksaan lini pertama untuk diagnosis dry eye (Bhargava, et al., 2014). Menurut Sinha et al. (2014) sitologi impresi setelah operasi katarak baik fakoemulsifikasi maupun SICS menunjukkan adanya kehilangan sel goblet yang bermakna. Air mata buatan saat ini merupakan terapi andalan dry eye syndrome dan merupakan terapi lini pertama yang disukai karena non invasif serta riwayat efek samping rendah. Tujuan utama penggunaan air mata buatan adalah untuk melumasi permukaan mata sehingga keadaan dry eye dapat terkontrol, mengurangi keluhan, meningkatkan kualitas hidup, meminimalkan faktor resiko dan mencegah kerusakan okular (Laqua, 2004). Air mata buatan dengan
6
kandungan vitamin A diketahui memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva (Kim E.C., et al., 2009; Moshirfar, et al., 2014; Vibhute, et al., 2010). Penelitian terdahulu menggambarkan bahwa salep mata all-trans retinoic acid efektif dalam mengobati empat kasus penyakit permukaan okular seperti keratokonjungtivitis sicca, Steven-Johnson syndrome, pseudopemfigoid karena obat dan dry eye yang disebabkan karena operasi. Analisis sitologi impresi, keluhan dry eye, visus, keratopati, dan tes Schirmer membaik setelah penggunaan salep mata all-trans retinoic acid (Kim E.C., et al., 2009). Kobayashi, et al. (1997) menggambarkan adanya peningkatan sel goblet, penurunan sel keratinisasi, dan peningkatan sel-sel non keratinisasi pada analisis sitologi setelah pengobatan dengan retinol palmitat untuk dry eye nselama empat minggu, namun tidak terdapat perbedaan jumlah sel-sel inflamasi dari sebelum pengobatan. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan efek vitamin A yaitu retinol palmitat topikal terhadap kepadatan sel goblet konjungtiva dengan teknik sitologi impresi pada pasien pasca SICS.
1.2 Masalah Masalah yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut a.
Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah SICS?
7
b.
Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS?
1.3 Tujuan Tujuan yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut a.
Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah SICS.
b.
Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjugtiva sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dalam penelitian ini sebagai berikut a.
Menambah wawasan dan pemahaman mengenai sitologi impresi untuk pemeriksaan kepadatan sel goblet.
b.
Menambah pengetahuan mengenai pengaruh vitamin A terhadap kepadatan sel goblet konjungtiva.
c.
Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut a.
Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah SICS.
8
b.
Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS.
c.
Sebagai bahan pertimbangan pemilihan terapi tambahan pasca operasi katarak.