I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara megabiodiversity nomor tiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Kongo). Meskipun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, baik pada tingkat populasi, spesies, maupun genetik. Indonesia memiliki sekitar 90 jenis ekosistem khas yang merupakan habitat flora-fauna yang meliputi 10% dari total jenis tumbuhan berbunga, 12% dari total jenis mamalia, 16% dari total jenis reptilia, 17% dari total jenis burung, 25% dari total jenis ikan, 33% dari total jenis serangga, dan 40% dari total jenis coral yang ada di seluruh dunia (Harsono, 2000; Bappenas, 2003; Bappenas, 1993). Selain dikenal sebagai negara megabiodiversity, Indonesia juga merupakan negara dengan laju pengurangan luas hutan terbesar di dunia yaitu sekitar 1,6-2,3 juta ha/tahun (Dephut, 2006). Kerusakan hutan yang terjadi pada hutan produksi akibat pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) telah mencapai 58,9% dari total luas kawasan hutan hujan tropis seluas 133,7 juta ha. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan tuntutan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat, ditandai dengan makin tingginya tingkat deforestasi, yaitu diperkirakan Indonesia kehilangan hutan seluas 15,8 juta ha antara tahun 20002012, yang disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan, kebakaran, dan illegal logging (Hansen, et al., 2013). Pengurangan luas hutan tersebut berimplikasi bagi kehidupan manusia saat ini (berkurangnya habitat flora-fauna, rusaknya catchment
1
area, terganggunya iklim mikro, terganggunya hidroologi yang mengakibatkan banjir dan kekeringan (Haryono, 2010). Dampak kerusakan hutan mengakibatkan fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan, berbagai kehidupan flora-fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak atau bahkan hilang.
Apabila suatu spesies mengalami
kepunahan, maka populasinya tidak akan pernah pulih, dan komunitas tempat hidupnya akan kekurangan komponen (hilangnya sumber plasma nutfah), sehingga nilai potensinya untuk kelangsungan hidup manusia tidak akan terwujud.
Oleh
karena itu, memelihara lingkungan yang sehat dan seimbang berarti menjaga semua komponen lingkungan dalam kondisi yang baik (Harsono, 2000).
Sehubungan
dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati maka dilakukan melalui konservasi ex-situ dan in-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan pada habitat aslinya (Haryono, 2010). Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi in-situ.
Kontribusi taman nasional bagi kehidupan manusia
menjadikan kawasan ini perlu mendapat perhatian secara mutlak. Dalam rangka konservasi biodiversiti, sejak tahun 1982, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan konservasi alam, yang dalam pelaksanaannya dilakukan melalui pengelolaan kawasan-kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam/ KSA dan Kawasan Pelestarian Alam/KPA). Landasan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi adalah UU. No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistemnya, UU. No.41 tahun 2
1999 tentang Kehutanan, PP. No.68 tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, UU. No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP. No.18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam dan UU.No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Dephut, 2006). Dalam implementasinya penetapan kawasan taman nasional di Indonesia banyak menimbulkan konflik antara pemerintah selaku pemegang otoritas taman nasional dengan masyarakat sekitar kawasan yang telah hidup dan menetap sebelum kawasan itu ditetapkan (Ganefi, 2001; Sauni, 2006; Simangunsong 2010; Suramenggala, 2013). Konflik-konflik itu timbul karena dibatasinya hak masyarakat dalam mengakses kawasan konservasi atau ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat atas kawasan tersebut (Awang, 2007; Hidayat, 2011). Pembatasan akses di sini maksudnya, kemampuan individu atau kelompok masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional dibatasi dengan Surat Keputusan penetapan kawasan sebagai kawasan konservasi. Penetapan kawasan taman nasional secara langsung membatasi akses pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat, padahal hidup dan penghidupan mereka masih sangat bergantung pada hasil dan lahan yang ada di dalam taman nasional (Haryono, 2010). Program-program pengembangan untuk desa-desa sekitar TNM yang selama ini dilakukan oleh pengelola kawasan dalam hal ini Balai TNM dengan berbagai pihak misalnya JICA (Japan International Corporation Asociation) dalam meningkatkan management kolaborasi antara Balai TNM dengan masyarakat sekitar 3
kawasan, terkait pemanfaatan getah damar yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan (diklat) penyadapan getah damar dinilai belum optimal dan belum mampu untuk membentuk masyarakat menjadi berdaya dan mandiri dengan pengetahuan, ketrampilan dan bantuan-bantuan yang telah diperolehnya. Hal tersebut disebabkan karena, 1) Balai TNM tidak memberikan sosialisasi terlebih dulu tentang pentingnya management collaborasi bagi pegelolaan kawasan; 2) Masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan program yang akan dilakukan. 3) Program yang dijalankan sebenarnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan mendasar dari masyarakat sekitar kawasan, melainkan masyarakat hanya sekedar mengikuti apa yang disarankan oleh lembaga pendonor (JICA), sehingga ide-ide dan harapan yang diinginkan dari masyarakat sebenarnya belum tersalurkan (Hidayat, 2011). Untuk mengatasi fenomena yang terjadi pada kawasan-kawasan konservasi diperlukan adanya alternatif sistem pengelolaan yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan fungsi penetapan kawasan konservasi sebagai kawasan penyangga kehidupan (Dirawan, 2006; Rahardjo et al., 2005)). Ekowisata adalah alternatif sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mampu memenuhi dua prinsip tersebut, karena dalam prakteknya ekowisata hanya memanfaatkan jasa lingkungan yang disediakan oleh alam dan sosial budaya masyarakat untuk dikembangkan sebagai objek daya tarik wisata, dan bukan mengeksploitasi sumberdaya alam (Fandeli dan Mukhlison, 2000; Rahardjo, et al., 2005). Secara
konseptual
ekowisata
didefinisikan
sebagai
suatu
konsep
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya4
upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya lokal) dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan (Nugroho, 2011).
Pengelolaan berbasis
masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan alam, yang meletakkan pengetahuan
dan
kesadaran
lingkungan
masyarakat
lokal
sebagai
dasar
pengelolaannya (Satria, 2009). Dalam
implementasinya
ekowisata
memberikan
kesempatan
kepada
pengunjung untuk mendapatkan pengalaman berkaitan dengan alam (keunikan dan kealamian flora-fauna), dan budaya lokal masyarakat, sekaligus belajar tentang pentingnya konservasi.
Hasil penelitian di negara-negara berkembang yang
dilakukan oleh Agrawal dan Redford (2006), menunjukkan bahwa secara empiris ekowisata berperan dalam 4 (empat) indikator konservasi yaitu pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumberdaya. Aktivitas ekowisata saat ini tengah menjadi trend yang menarik yang dilakukan oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk menikmati bentukbentuk wisata yang berbeda dari biasanya (Satria, 2009). Adanya minat kunjungan ke kawasan konservasi dengan motivasi memperoleh tambahan pengetahuan dan pengalaman secara langsung di alam memberikan peluang bagi kawasan pelestarian alam dalam memanfaatkan peluang trend yang ada sebagai destinasi tujuan wisatawan (Fandeli dan Mukhlison, 2000).
Beberapa kawasan konservasi di
Indonesia hampir sebagian besar memiliki kontribusi positif dalam perkembangan ekowisata, misalnya Taman Nasional Gunung Ciremai yang mengalami peningkatan jumlah kunjungan yang cukup signifikan di mana selama kurun waktu lima tahun dari (2007-2011) mengalami peningkatan dari 8.478 menjadi 331.258 wisatawan 5
(Lucyanti, et al., 2013), Taman Nasional Bukit Tigapuluh berdasarkan data hasil observasi 2006-2010, mengalami peningkatan dari 1016 menjadi 2233 pengunjung (Haryono, 2010), Taman Nasional Bali Barat sejak 2010-2013, mengalami peningkatan kunjungan pertahunnya lebih dari 30 ribu wisatawan (Suramenggala, 2013). Kunjungan
ekowisatawan
berdasarkan
data
analisis
WTTC
(2000),
menunjukkan pertumbuhan rata-rata pasar ekowisata berkisar antara 10-30% per tahun, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata pertahun untuk pariwisata pada umumnya yaitu sekitar 4,6% per tahun.
Data ini menunjukkan
bahwa pergeseran perilaku pasar wisata sedang berlangsung, sehingga ekowisata diprediksikan akan menjadi pasar wisata yang sangat prospektif (Nugroho, 2011). Jasa lingkungan yang menjadi daya tarik wisatawan ke kawasan konservasi antara lain: keunikan dan kelangkaan flora-fauna, kemistisannya, air yang mengalir di dalamnya, udara segar yang dihasilkan, serta keunikan pola hidup dan budaya masyarakat sekitar kawasan. Pola ini menjadi pendekatan baru dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya yang selama ini telah banyak dilakukan namun lebih bersifat merugikan (mengeksploitasi) (Rahardjo, et al., 2004). Pemanfaatan jasa lingkungan dan budaya lokal masyarakat dalam kemasan produk daya tarik ekowisata, dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk tampil sebagai subjek utama dalam pengelolaan praktek-praktek wisata alam dan budaya lokal. Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif akan memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung.
Hal ini
menjadi prinsip ekowisata yang penting, karena dengan adanya tambahan ekonomi 6
bagi masyarakat sekitar kawasan akan tumbuh motivasi dan kepedulian untuk ikut melestarikan potensi sumberdaya alam dan budaya yang ada di sekitar mereka (Rahardjo, et al., 2005). Pola kemitraan yang melibatkan seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) merupakan bentuk pengelolaan kolaboratif (collaboratif management) dalam pengelolaan ekowisata di taman nasional. Petheran, et al., (2004), mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orang-orang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan taman nasional kini telah mengembangkan mekanisme yang bisa melibatkan stakeholder termasuk masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi (Kepmen No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaborasi Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam). Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam menurut Kepmen No. P.19/2004 adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kolaborasi dalam Kepmen P.19 tahun 2004, memiliki ketentuan utama adalah tidak merubah status KSA dan KPA sebagai kawasan konservasi. Kolaborasi
membawa
konsekuensi
adanya
pembagian
otoritas
dan
tanggungjawab pengelolaan di antara para pihak yang diwujudkan dalam suatu proses 7
dan mekanisme kelembagaan.
Kolaborasi sangat penting dalam pelaksanaan
penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas dan mengoptimalkan pengelolaan kawasan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Patheran, 2004).
Para pihak yang dimaksud
adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Pelestarian Alam, antara lain: Lembaga pemerintah pusat, Lembaga pemerintah daerah, masyarakat setempat, LSM, dan swasta. Bentuk pengelolaan kolaborasi ini lebih dititikberatkan pada peran dan keterlibatan stakeholder untuk terlibat secara optimal dalam seluruh aspek pengelolaan mulai dari perencanaan program, hingga penerimaan manfaat dari kegiatan ekowisata.
Melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal dalam
manajement kolaboratif merupakan proses untuk menfasilitasi dan mendorong masyarakat lokal agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama (subjek) dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu kondisi kelestarian secara ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi (Patheran, et al.,2004). Untuk melihat aktualisasi pengembangan ekowisata pada kawasan pelestarian alam, penelitian diaplikasikan pada Taman Nasional Manusela (TNM) yang merupakan salah satu dari 50 unit taman nasional di Indonesia, yang ditetapkan berdasarkan SK MENHUT No.281/kpts-VI/1997 pada tanggal 23-Mei-1997. Secara geografis taman nasional ini terletak pada dua kecamatan di kabupaten Maluku Tengah yaitu kecamatan Seram Utara (Wahai) dan Seram Selatan (Tehoru). 8
Kawasan yang dikenal sebagai salah satu daerah sebaran burung endemik (DBE) ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat unik, hal ini disebabkan karena terletak di antara daerah walacea yang merupakan daerah penampakan biota Asia dan Australia. Kawasan Taman Nasional Manusela (TNM) mempunyai 7 (tujuh) tipe ekosistem, yang berturut-turut mulai dari pantai hingga ke puncak gunung Binaya dengan jenis-jenis flora hutan mangrove hingga hutan lumut. Sedangkan untuk jenis satwanya TNM memiliki jenis mamalia kecil dan sedang, kelelawar, 124 jenis avifauna, 46 jenis reptil, 8 jenis amphibia, 90 jenis kupu-kupu dan jenis biota air (Renstra Balai TNM 2010-2014). Tingginya potensi keanekaragaman hayati dalam kawasan TNM, didukung pula oleh potensi budaya lokal yang ada dalam tatanan kehidupan suku Nuaulu (biasa disebut dengan orang Nuaulu). Adat-istiadat, upacara ritual, tempat pamali, mitos, rumah adat, sistem pengetahuan tradisional, serta kesenian yang dimiliki merupakan aset potensial bagi pengembangan produk daya tarik ekowisata. Pemanfaatan potensi budaya sebagai daya tarik ekowisata harus dapat dimanfaatkan secara optimal melalui perencanaan yang melibatkan seluruh masyarakat adat Nuaulu. Pengembangan ini memiliki tujuan utama untuk memperkenalkan kekayaan budaya dan jatidiri orang Nuaulu kepada orang luar akan eksistensi mereka sebagai orang suku asli pulau Seram, yang mampu mempertahankan berbagai warisan leluhur dalam arus globalisasi dan modernisasi. Selain itu melalui partisipasi aktif dalam perencanaan, pengembangan hingga pengelolaan manfaat akan menumbuhkan minat pelestarian budaya lokal bagi generasi muda, artinya unsur perlindungan, 9
pengembangan dan pemanfaatan harus menjadi dasar pelestarian budaya lokal (Sumijati, et al., 2004). Pengembangan keanekaragaman hayati dan budaya lokal, sebagai produk daya tarik ekowisata, harus dapat menonjolkan eksotisme/keunikan yang menjadi unsur utama dalam menarik kunjungan wisatawan, eksotisme dan keunikan menurut Spillane (1994), merupakan sesuatu yang asing, atau belum diketahui/dikenal oleh orang banyak sehingga merangsang rasa ingin tahu bagi orang yang berada di luar kawasan untuk mengenal budaya tersebut.
Eksotisme sebuah daerah tujuan
ekowisata sering kali ditampilkan sebagai sesuatu yang masih asli berhadapan dengan pembangunan dan perkembangan industri yang merusak keaslian suatu objek daya tarik wisata.
Kealamian dan keunikan yang terkandung dalam keanekaragaman
hayati dan budaya lokal sering menjadi magnet untuk menarik kunjungan wisatawan terutama wisatawan mancanegara yang jenuh dengan kehidupan modern (Hakim, 2004). Putra (2004), mengemukakan bahwa dalam pengembangan potensi produk daya tarik budaya perlu memperhatikan beberapa aspek di antaranya; 1) keunikan, suatu objek wisata budaya biasanya memiliki nilai tambah karena adanya keunikan, kekhasan, atau keanehan yang dimiliki, artinya objek tersebut sulit didapatkan kesamaannya atau tidak dimiliki di daerah lain; 2) aspek estetika, aspek ini juga menjadi suatu syarat yang penting dari suatu objek budaya untuk dapat menarik minat kunjungan wisatawan.
Suatu objek yang tidak unik, dapat saja menarik minat
kunjungan karena keindahan yang dimiliki; 3) aspek keagamaan, suatu objek wisata budaya bisa saja tidak unik, tidak menarik, namun memiliki nilai keagamaan yang 10
tinggi, artinya objek tersebut dipercaya sebagai objek yang sifatnya suci, wingit atau mempunyai kekuatan spiritual tertentu dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia; 4) aspek ilmiah, nilai ilmiah dari suatu objek wisata budaya juga dapat menarik banyak wisatawan, karena memiliki nilai pengetahuan yang tinggi meskipun unsur lainnya yaitu keunikan, estetika dan keagamaannya kurang. Merujuk pada RENSTRA Balai Taman Nasional Manusela (2010-2014), terlihat bahwa kajian objek daya tarik ekowisata diarahkan pada produk wisata alam terbatas dengan potensi unggulan birdwatching dan tracking gunung Binaya. Kedua jenis atraksi wisata tersebut telah dikembangkan oleh Balai TNM sejak tahun 2003 dan cukup mendapat respons yang baik dari kunjungan wisatawan, hal ini terlihat dari jumlah kunjungan yang terus mengalami peningkatan. Namun, kegiatan ekowisata di TNM belum dapat memberikan dampak yang signifikan bagi ekonomi masyarakat sekitar kawasan, karena kunjungan yang ada dalam kawasan masih sangat rendah. Rendahnya tingkat kunjungan wisatawan di suatu destinasi ditentukan oleh berbagai faktor, untuk itu perlu adanya kajian yang komprehensif untuk dapat mengetahui permasalahan yang ada dalam kawasan TNM. Dengan melihat berbagai argumentasi di atas, tentunya pengembangan konsep ekowisata pada kawasan TNM menjadi penting untuk dikaji mengingat taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang memiliki fungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman flora-fauna, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga perlu dijaga dan dipelihara dengan baik melalui pengembangan strategi pengelolaan yang mampu menunjang kelestarian kawasan.
Dalam penelitian ini diharapkan dapat 11
menghasilkan strategi pengelolaan ekowisata yang mampu menunjang fungsi dasar dari penetapan kawasan konservasi demi keberlanjutan aspek ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. 1.2. Rumusan Masalah Keberadaan TNM yang semakin terdegradasi akibat adanya tuntutan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan, yang menyebabkan timbulnya aktivitas perambahan, perburuan satwa, perladangan berpindah, dan illegal logging, berimplikasi terhadap kelestarian keanekaragaman hayati yang ada dalam kawasan. Untuk itu, perlu adanya strategi pengelolaan yang dapat menjembatani antara keperluan konservasi taman nasional dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Tingginya potensi keunikan keanekaragaman hayati dan budaya lokal suku Nuaulu yang ada di kawasan TNM, memberikan peluang pengembangan yang potensial bagi objek daya tarik ekowisata. Perencanaan pengembangan yang lebih komprehensif terhadap berbagai potensi perlu dikaji dan dianalisis sebagai peluang pemanfaatan bagi peningkatan daya tarik ekowisata, untuk itu bukan hanya alam, ataupun budaya yang perlu dipersiapkan namun masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan sebagai subjek dalam kegiatan ini harus benar-benar memahami posisi dan kesiapannya dalam menyongsong kegiatan ekowisata tersebut, agar tujuan penetapan taman nasional sebagai kawasan yang dapat memberikan manfaat ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi dapat tercapai secara berkelanjutan. Langkah awal dalam membangun strategi pengelolaan ekowisata yang optimal di TNM, dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu; pertama adalah mengidentifikasi dan 12
menganalisis kondisi eksisting dan potensi kawasan TNM dari aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya lokal masyarakat sekitar, dan aspek ekonomi berupa potensi jasa lingkungan; kedua adalah melakukan analisis pengelolaan kawasan berdasarkan konsep ekowisata.
Analisis dilakukan berdasarkan pada beberapa unsur utama
(Shelly et al., 2001; Fandeli, 2000; Damanik dan Weber, 2006) yaitu: 1) kualitas potensi ODTW berdasarkan aspek keunikan; kealamian, otentisitas; dan diversitas. 2) bentuk keterlibatan antara stakeholder, pengembangan ekowisata pada kawasan lindung syaratnya adalah integrasi membuat keputusan dan perencanaan antara pengelola kawasan, masyarakat lokal, dan pengembang (Mitchell, 1994; Woodley, 1993; Slocombe, 1993). Pengembangan ekowisata kawasan taman nasional secara berkelanjutan antara supply dan demand, harus dikuasai dan direncanakan oleh seluruh stakeholder (Slocombe, 1993); 3) dalam implikasinya pengembangan ekowisata harus didasarkan pada beberapa prinsip dan kriteria, di mana dalam penelitian ini mengunakan prinsip dan kriteria yang dikemukakan oleh Fandeli dan Nurdin (2005); Sekartjakrarini, (2004); UNEP dalam Stecker (2006) yaitu : 1. Atraksi yang dikembangkan dipilih yang memiliki nilai jual tinggi baik atraksi alam, budaya maupun heritage; 2. Pembangunan fasilitas dan utilitas dibangun sesuai dengan budaya dan tradisi lokal secara terpadu dengan lingkungan; 3. Kelembagaan-kelembagaan lokal diperkuat dan diberikan peranan yang lebih besar; 4. SDM, kegiatan ekowisata intinya menjual service kepada wisatawan, maka kualitas SDM turut menentukan keberhasilan ekowisata; 13
5. Memberikan dampak ekonomi; penghasilan melalui kunjungan wisatawan bagi kawasan dimanfaatkan untuk mengkonservasi pengelolaan sumberdaya hayati dalam kawasan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal; 6. Dalam pengembangan harus sesuai dengan batas daya dukung kawasan (Fandeli dan Nurdin, 2005). Daya dukung ini akan menjadi alat kontrol peringatan dini terhadap kemampuan area kawasan untuk mendukung jumlah ekowisatawan; 7. Keberlanjutan budaya, budaya lokal sebagai daya tarik bagi wisatawan harus dapat dipertahankan, wujud budaya yang tercipta dalam kurun waktu yang panjang, harus dapat dipertahankan kealamian dan kesakralannya. Perubahan budaya yang terjadi sebagai dampak dari aktivitas dengan wisatawan oleh beberapa ahli disebut cultural ill-effect of tourism. Untuk dapat melihat dampak dari pengembangan ekowisata, terlebih dahulu perlu diperhatikan hal-hal yang telah teridentifikasi dari perencanaan, pengembangan, karena hal tersebut menyangkut kelangsungan pertumbuhan kawasan, dan kelangsungan para pelaku wisata yang berada dalam kawasan taman nasional tersebut, di antaranya: 1. Data kunjungan wisatawan; 2. Karakteristik demografi wisatawan dengan kebutuhan; 3. Tipe dan aktivitas wisata yang dapat ditawarkan, beserta dengan variasi wisata yang mungkin dapat dilakukan; 4. Struktur masyarakat yang ada dalam kawasan tersebut;
14
5. Kemampuan masyarakat untuk dapat mengadopsi dari berkembangnya kepariwisataan; 6. Kebijakan yang mendukung pengembangan; dan 7. Pengelolaan kawasan yang terpadu (wall, 1993; Wall and Wright, 1995) Berdasarkan pada konsep teoritis yang ada, dan berbagai potensi yang dimiliki oleh TNM, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal di TNM yang dapat dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata yang berdaya saing tinggi. 2. Bagaimana kontribusi stakeholder dalam mendukung pengembangan potensi ekowisata di dalam kawasan TNM. 3. Bagaimana daya dukung (carrying capacity) kawasan terhadap aktivitas ekowisata. 4. Berapa besar manfaat ekonomi yang akan diterima oleh masyarakat dan Balai TNM dalam pengelolaan ekowisata untuk turut menunjang kelestarian kawasan taman nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. 5. Bagaimana model pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan karakteristik potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal di TNM. 1.3. Tujuan Penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi potensi daya tarik keanekaragaman hayati di TNM. 2. Mengidentifikasi potensi daya tarik budaya lokal suku Naulu.
15
3. Mengidentifikasi stakeholder dan kontribusinya terhadap pengembangan daya tarik ekowisata di TNM. 4. Mengidentifikasi manfaat ekonomi bagi masyarakat dan Balai TNM. 5. Menentukan nilai daya dukung kawasan terhadap kunjungan ekowisatawan. 6. Membangun model pengelolaan ekowisata yang sesuai dengan karakteristik potensi daya tarik ekowisata di TNM. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik terhadap pengembangan ilmu ekowisata maupun untuk semua pihak yang berkepentingan di dalam pengelolaan Taman Nasional Manusela (TNM) yaitu: 1. Bagi Balai TNM, sebagai sumbangan pemikiran untuk landasan pengelolaan dan pengembangan ekowisata di taman nasional atau kawasan konservasi lainnya dengan alokasi sumberdaya keanekaragaman hayati dan budaya lokal yang memiliki keunikan dan kealamian yang potensial bagi peningkatan jumlah wisatawan. 2. Memberikan landasan dan peluang pengembangan secara ilmiah bagi penelitian ekowisata berikutnya di TNM. 3. Hasil kajian terhadap potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal sebagai daya tarik ekowisata, dapat digunakan sebagai masukan untuk penyuluhan dan perencanaan pengembangan objek daya tarik ekowisata di taman nasional agar lebih menekankan pada kelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat.
16
4. Pengembangan potensi taman nasional dapat dijadikan sebagai upaya untuk merubah pola pikir masyarakat dengan tidak hanya mengeksploitasi potensi dalam kawasan, tetapi mengenalkan kegiatan pengelolaan potensi jasa lingkungan sebagai daya tarik ekowisata yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh kegiatan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi di samping upaya menunjang kelestarian kawasan. 1.5. Keaslian Penelitian Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti pada beberapa penelitian relevan yang berbeda dengan penelitian ini tersaji pada Tabel.1. berdasarkan uraian penelitian terdahulu, pada Tabel.1, maka terdapat hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya antara lain karena: 1) Aspek kajian, kajian dalam penelitian yang diangkat lebih kompleks, karena berangkat dari permasalahan yang ada di lapangan, belum dimanfaatkan beragam potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal yang ada dalam kawasan TNM secara optimal sebagai daya tarik ekowisata, maka penelitian dititikberatkan pada: pertama, mengidentifikasi potensi keanekaragamana hayati pada zona rimba, dan zona pemanfaatan yang memiliki daya tarik objek ekowisata;
kedua bagaimana potensi budaya masyarakat lokalnya.
Masyarakat lokal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah masyarakat asli Seram yang masih mempertahankan budaya lokalnya antara lain; upacara dan ritual adat, kearifan lokal, mitos yang dipercaya, tempat keramat, dan kesenian; ketiga bagaimana peran/keterlibatan stakeholder dalam menunjang pengembangan potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal sebagai daya tarik ekowisata; empat menentukan daya dukung dan manfaat ekonomi yang diperoleh melalui pemanfaatan 17
kawasan untuk ekowisata; dan kelima menyusun strategi pengembangan objek daya tarik ekowisata yang menunjang pelestarian kawasan TNM secara berkelanjutan. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang ditemukan dengan tema yang berkaitan antara lain seperti yang disajikan dalam Tabel.1 dibawah ini. Tabel. 1. Beberapa Penelitian yang Berkaitan dengan Tema Potensi Keanekaragaman Hayati dan Budaya Lokal sebagai Daya Tarik Ekowisata di TNM No
Nama peneliti
Judul
Metode dan tehnik analisis Purposive sampling, FGD, Carrying Capacity, Modeling konsep.
Tujuan Penelitian
1.
Dirawan. G.D (S3) (2006)
Strategi Pengembangan Ekowisata pada Suaka Margasatwa (Studi Kasus : SM. Mampie Lampoko.
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi kriteria ekowisata yang mempengaruhi pengembangan ekowisata kawasan SM; 2. Merancang model dinamik pengembangan ekowisata.
2.
Moh. Haryono (S3) (2011)
Model Pengembangan Pengelolaan TN Secara Terintegrasi di TN Bukit Tiga Puluh. Propinsi Riau-Jambi
Deskriptif-kualitatif dan kuantitatif. Analisis yang digunakan adalah analisis spatial, supply dan demand, Analisis SWOT dan AHP, Analisis sistem dinamik
1. Melakukan analisis kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT; 2. Merumuskan strategi dan program prioritas pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi; 3. Membuat model pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi.
3.
I. Suramenggala (S3) (2013)
Survei dan model analisis sistem dinamis model, Powersim Constructor
Menggambarkan dan merumuskan model pengelolaan TNBB yang selaras dengan karakteristik biogeofisik, sosial budaya dan ekonomi masyararakat.
4.
Martani (S2) (2009)
Pengembangan Desain Pengelolaan Kawasan Konservasi Dengan Menggunakan Analisis sistem Dinamis. Kajian potensi Ekowisata Berbasis Masyarakat di TN Karimunjawa.
Deskriptif, kuaitatif, dan kuantitatif, SWOT
5.
Asri Antonius (S2) (2010)
Pemberdayaan Masyarakat Kampung Komodo dalam Pengembangan Ekowisata di Loh Liang TN Komodo.
Deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan analisis SWOT dan AHP
1. Mengetahui potensi produk dan pasar wisata; 2. Mendeskripsikan latar belakang sosial budaya, dan ekonomi terkait peluang usaha dan kerja dari kegiatan ekowisata; 3. Menentukan strategi dalam pengembangan kedepan. 1.Mengidentifikasi dan menganalisis program-program pemberdayaan masyarakat; 2. Menganalisis partisipasi dan keterlibatan masyarakat kampung komodo dalam pengembangan ekowisata; 3. Menganalisis dampak pengembangan ekowisata pada masyarakat kampung komodo.
18
Lanjutan Tabel 1 6.
Ai Yuniarsih (S3) (2014)
Model Pengembangan Pemanfaatan SDA TN Gunung Ciremai
Deskriptif, AHP dan Sistem Dinamik
1.Mengidentifikasi potensi SDA di TN Gunung Ciremai dan sejauh mana dampaknya bagi berbagai pihak; 2. Mengidentifikasi keinginan masyarakat dan stakeholder terkait dengan pemanfaatan potensinya;3. Merumuskan model pengembangan pemanfaatan potensi SDA di TN Gunung Ciremai.
1.6. Definisi Operasional. Agar tidak terjadi salah tafsir dalam penelitian ini, dipandang perlu menjelaskan batasan pengertian judul dengan mengedepankan beberapa istilah yang bersifat operasional, agar mempunyai pemahaman yang sama dengan yang dimaksudkan oleh peneliti terhadap suatu konsep yang digunakan dalam penelitian.: Keanekaragaman hayati: Keanekaragaman pada tingkat jenis flora-fauna yang terdapat dalam kawasan taman nasional yang memiliki nilai kealamian, keunikan dan kelangkaan, sehingga dapat dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata (Yoeti, 2008). Pengelolaan Keanekaragaman Hayati: Merencanakan strategi pengelolaan florafauna di dalam kawasan taman nasional untuk dikembangkan sebagai objek daya tarik ekowisata, sehingga melalui pengembangan tersebut dapat menarik minat kunjungan ekowisatawan ke dalam kawasan. Masyarakat sekitar hutan: Sekelompok orang baik masyarakat adat maupun pendatang yang telah turun temurun bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan dari lahan hutan (Sardjono, 2004; Manullang, 1999).
19
Upacara Tradisional: Upacara yang selalu dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu,
guna
memperingati
kegiatan-kegiatan
tertentu
dan
pengungkapan
kepercayaan yang biasanya berupa upacara tertentu dengan menggunakan peralatan tertentu. Kearifan lokal: Pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu mencakup pengetahuan, keyakinan, pemahaman, sikap serta adat kebiasaan yang menuntun perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Keraf, 2010) Zona rimba: Daerah dalam kawasan taman nasional, yang menjadi pusat kegiatan wisata terbatas. Pemanfaatan potensi baik keanekaragaman hayati maupun sumberdaya alam fisik semata-mata ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi wisata pada zona tersebut. Zona Pemanfaatan: Zona yang dialokasikan untuk menampung kegiatan rekreasi/wisata serta penyediaan sarana prasarana untuk pengelolaan, seperti kantor atau stasion penelitian, maupun untuk keperluan wisatawan seperti bumi perkemahan, jalan, listrik, dan prasarana lainnya. Stakeholder: Kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan dari suatu kegiatan/proyek (Maryono et al., 2005). stakeholder adalah orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam yang terdiri atas pengguna sumberdaya alam ataupun para pengelola lainnya. Stakeholder dalam penelitian ini adalah pemerintah kabupaten, Balai TNM, kepala suku/kepala adat, masyarakat lokal pelaku ekowisata, LSM, peneliti, dan pihak swasta yang merupakan pihak terkait yang menerima manfaat langsung dari taman nasional. 20
Daya Dukung Wisata: Jumlah atau kapasitas wisatawan yang dapat ditampung dalam suatu ruang tertentu yang tergantung pada kemampuan sumber daya wisata. Pendekatan carrying capacity dilakukan dengan menggunakan perhitungan batas PCC (Phisik Carrying Capacity), RCC (Riil Carrying Capacity), ECC (Ecologys Carrying Capacity). Wisata budaya: Jenis perjalanan wisata yang dilakukan dengan keinginan untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman wisatawan tentang kearifan lokal, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat, cara hidup, ritual, upacara adat, arsitektur rumah adat, serta seni yang dimiliki oleh suatu daerah. Budaya Lokal:
Perwujudan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat di daerah tertentu. Critically Endangered (CR)/Kritis: Kategori ditujukan kepada spesies yang menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, yang dimasukan dalam kategori ini adalah spesies yang dalam 10 (sepuluh) tahun atau 3 (tiga) generasi memiliki resiko kepunahan lebih besar dari 50%. Endangered (EN)/Genting: Spesies dengan resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar dalam waktu yang agak dekat, dan beresiko menjadi kritis, yang tergolong dalam kategori ini adalah spesies yang dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi memiliki resiko kepunahan lebih besar dari 20%. 21
Vulnerable (VU)/Rentan: Spesies dengan resiko kepunahan dalam jangka waktu menengah dan beresiko menjadi genting. Termasuk dalam kategori ini adalah spesies yang dalam waktu 100 tahun memiliki resiko kepunahan lebih besar dari 10%. Tergantung Upaya Konservasi: (Conservation Dependent): Spesies yang tidak terancam kepunahan, namum keberlangsungan hidupnya sepenuhnya bergantung kepada upaya konservasi, dan tanpa upaya konservasi maka spesies ini akan punah. Near Treathened (NT)/Mendekati Terancam Punah: Spesies yang mendekati rentan, namun untuk saat ini tidak tergolong terancam punah. Least Concern (LC)/Kekhawatiran Minimal: Spesies yang tidak terancam kepunahan maupun kategori nyaris terancam. Data Deficient/(DD)/Kurang Data: Spesies tanpa data yang cukup lengkap untuk menentukan resiko kepunahannya. Not Evaluated/ (NT): Spesies yang belum dievaluasi untuk menentukan kategori ancamannya. Travel Cost Method (TCM): Metode biaya perjalanan wisata yang digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi suatu wilayah, yang meliputi biaya transportasi pulang pergi dari tempat tinggalnya, akomodasi, jasa guide, tiket masuk kawasan, dan pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan.
Pendekatan ini
dilakukan dengan survei dan pengisian kuisioner terkait dengan tourist expenditure untuk mengestimasi nilai ekonomi dari aktivitas ekowisata bagi msyarakat sekitar dan Balai TNM. Strategi Pengembangan: Upaya untuk melakukan analisis terhadap kondisi potensi kawasan taman nasional baik internal yang meliputi kelemahan dan kekuatan, dan 22
kondisi lingkungan eksternal yaitu peluang dan ancaman yang akan dihadapi dan kemudian diambil alternatif untuk menentukan strategi yang harus dilakukan secara optimal. 1.7. Kerangka Pemikiran. Dalam rangka konservasi biodiversiti pemerintah menetapkan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam. Taman nasional merupakan jenis kawasan konservasi yang dikelola dengan tujuan utama perlindungan sumberdaya alam hayati dan pemanfaatan kepariwisataan alam. Zonasi merupakan cara atau metode pengelolaan taman nasional yang ditetapkan dalam UU No.5 tahun 1990, dan PP.No.68 tahun 1998. Zonasi ditentukan dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan yang bersifat saling mendukung serta memisahkan dari kegiatan yeng bertentangan. Walaupun konsep penetapan taman nasional sebagai kawasan konservasi sangat ideal dengan fungsi utamanya yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah serta pemanfaatan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, namun bukan berarti tidak menghadapi permasalahan. Permasalahan yang selama ini dihadapi terkait dengan tindakan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat yang berdampak pada degradasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu
adanya alternatif pengelolaan yang dapat mengakomodir kepentingan fungsi pelestarian kawasan konservasi dan fungsi pemanfaatan kawasan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam kawasan.
23
Ekowisata adalah alternatif sistem pengelolaan yang mampu memenuhi dua prinsip tersebut. karena dalam implikasinya ekowisata hanya memanfaatkan jasa lingkungan yang disediakan oleh alam sebagai daya tarik bagi wisatawan, dan melibatkan masyarakat sekitar sebagai subjek utama dalam perencanaan hingga monitoring kegiatan, dan bukan melakukan tindakan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada (Fandeli dan Nurdin, 2000; Rahardjo et al, 2005). Potensi keanekaragaman flora-fauna, kemistisan, air yang mengalir, udara yang ada didalamnya serta budaya masyarakat sekitar hutan merupakan potensi objek daya tarik ekowisata yang menjadi pull factor adanya kunjungan wisatawan ke dalam kawasan. Keunikan dan kealamian yang ada harus dapat dikembangkan sebagai daya tarik utama bagi wisatawan, karena memiliki nilai yang berbeda dari objek lainnya (Damanik dan Weber, 2006). Untuk itu perlu adanya pengembangan secara komprehensif pada setiap potensi yang ada. baik alam, budaya lokal, dan landskap sehingga objek daya tarik yang dimiliki dalam kawasan semakin beragam dan berkualitas bagi minat kunjungan wisatawan. Keragaman objek yang ada akan memberikan banyak pilihan dan tambahan pengalaman bagi ekowisatawan, sehingga akan mempengaruhi lama tinggal wisatawan dalam kawasan (Fandeli dan Nurdin, 2000).
Oleh karena itu dalam
menganalisis suatu ODTWA di suatu kawasan terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dari objek-objek yang ada. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pengembangan ekowisata di TNM adalah menjaga kelestarian ekosistemnya. Untuk itu harus diketahui karakteristik dari potensi objek daya tarik ekowisata yang terdapat
24
di kawasan agar produk yang ditawarkan pada wisatawan sesuai dengan karakteristik (fungsi) kawasan dan daya dukungnya. Pengembangan ekowisata diharapkan dapat mensinergikan kepentingan konservasi dan sosial ekonomi serta menjadikan masyarakat sebagai subjek utama dalam pengelolaan.
Pada kawasan konservasi di mana sumberdaya alam atau
biodiversity dan budaya masyarakat sekitar kawasan merupakan basis utama daya tarik wisata, sehingga keberlanjutan dan pelestarian alam dan budaya merupakan hal yang sangat penting. Agar pengelolaan dan pengembangan ekowisata di TNM dapat berjalan secara optimal dengan memberikan manfaat dan nilai tambah serta meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian kawasan bagi masyarakat, maka perlu dilakukan pengumpulkan data dan informasi objek dan daya tarik wisata dalam kawasan melalui pengamatan langsung dan studi literatur; melakukan penilaian terhadap objek dan daya tarik wisata, sarana dan prasarana, aksesibilitas, lingkungan dan masyarakat, dan potensi pasar; menghitung daya dukung kawasan; mengidentifikasi peran, kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan, dan penyusunan strategi pengembangan ekowisata. Dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata diharapkan dapat mewujudkan konsep pariwisata berkelanjutan, melalui adanya pertumbuhan ekonomi lokal (melalui peningkatan jumlah kunjungan), kelestarian objek wisata (daya dukung menjadi landasan pengelolaan), dan partisipasi masyarakat (mengembangkan management collaboratif). Kerangka pikir dalam penelitian ini tersaji pada Gambar 1. 25
P R R M A S A
L A H A N n
KPA TamanNasional (UU No. 5/1990 dan PP No.68/1998)
Degradasi Keanekaragaman hayati
perambahan
Kelestarian fungsi Ekologi, Sosial , Ekonomi
perlindungan sistem penyangga
pertambahan penduduk
Illegal logging
pengawetan keanekaragaman hayati
pembatasan akses masyarakat
pencurian flora fauna
pemanfaatan keanekaragaman hayati
rendahnya sosek masyarakat
perladangan berpindah
Pengelolaan Potensi Ekowisata di Taman Nasional Manusela
Zona Rimba Resort Sawai-Masihulan
P E N E L I T I A N
Keanekaragaman Hayati Variabel: - flora-fauna endemik/ dilindungi. - tipe ekosistem - keragaman jenis florafauna - komposisi jenis flora fauna
Zona Rimba Resort Kanikeh
Budaya Lokal Variabel - tradisi/kebiasan hidup - kearifan lokal - kesenian lokal - rumah adat
Zona pemanfaatan Reosrt Sasarata
Daya Dukung
Variabel: - luas kawasan - waktu pengamatan - lamanya aktifitas -kondisi biofisik kawasan
Zona Penyangga desa Houlu
Stakeho lders Variabel:
Wisat awan Variabel:
- stakeholder kunci - stakeholder utama - stakeholder pendukung
- demografi - psikografi - tourist expenditure
Analisis ODTW: Alam: - INP flora - Keunikan dan kelangkaan satwa burung.
Daya dukung kawasan:: Daya dukung fisik (PCC)) Daya dukung Riil (RCC) Daya Dukung Ekologis (ECC)
Nilai Ekonomi Masyarakat melalui tourist expenditure (TCM)
ODTW: Budaya lokal orang Naulu -rumah adat, - tradisi/ritual kearifan lokal, (sasi), - kesenian lokal
Collaboratif management Menganalisis kontribusi stakeholders (pemerintah, Balai TN, masyarakat. LSM )
Model Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan di Taman Nasional Manusela
Gambar.1. Kerangka Pikir Penelitian
26