BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim yang terdiri dari 17.508 pulau dan memiliki
panjang garis pantai 81.000 km, serta luas laut 5,8 juta km2 (70% dari luas Indonesia). Pantai Indonesia juga merupakan negara dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Budiharsono, 2001). Melihat panjangnya garis pantai dan banyaknya jumlah pulau di Indonesia, maka hal tersebut dapat mencerminkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang besar untuk mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Kabupaten Pesisir Barat merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah pesisir Indonesia tepatnya di Provinsi Lampung. Kabupaten ini resmi menjadi daerah otonom pada tanggal 25 oktober 2012 yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat. Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat juga didasarkan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung. Kabupaten Pesisir Barat memiliki luas wilayah ±29.707,23 km2 yang terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan, di antaranya yaitu Kecamatan Pesisir Utara, Kecamatan Pesisir Tengah, Kecamatan Pesisir Selatan, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kecamatan Bengkunat, Kecamatan Krui Selatan, Kecamatan Karya Penggawa, Kecamatan Pulau Pisang, Kecamatan Lemong, Kecamatan Way Krui, dan Kecamatan Ngambur. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah bahwa
1
”Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan dari masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri yang berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Oleh karena itu, Kabupaten Pesisir Barat sebagai daerah otonom sudah seharusnya mengatur kepentingan rumah tangganya sendiri dan mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada di wilayahnya. Berdasarkan amanat dari UU No.22 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung, yang perlu dilakukan oleh Kabupaten Pesisir Barat sebagai daerah otonom yaitu perlu melakukan upaya-upaya dalam meningkatkan kemampuan ekonomi, sumberdaya manusia, pemberdayaan, penyediaan infrastruktur, dan pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pesisir Barat merupakan kabupaten dengan kondisi wilayah berupa wilayah pesisir, yang merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut (UU No.27 Tahun 2007). Sebagai wilayah pesisir sudah tentunya memiliki potensi wilayah yang lebih kompleks daripada wilayah-wilayah lainnya, baik dari potensi fisik maupun sosial budaya yang ada. Salah satu kewajiban bagi pemerintah daerah Kabupaten Pesisir Barat sebagai daerah otonom yaitu membuat perencanaan pembangunan wilayah dengan membuat kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat di wilayah tersebut dengan tetap menjaga keseimbangan terhadap kearifan lokal masyarakat setempat. Berdasarkan hasil dari identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir yang dikutip dari Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung dalam Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung Tahun 2000, Daerah Kabupaten Pesisir Barat yang pada tahun tersebut secara administrasi termasuk dalam Kabupaten Lampung Barat memiliki isu-isu prioritas di antaranya
2
yaitu belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya, degradasi habitat wilayah pesisir, rawan bencana alam (gempa, tanah longsor, banjir), potensi wisata bahari belum dikembangkan secara optimal, belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, rendahnya penataan dan penegakan hukum, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, serta kerusakan hutan, taman nasional, dan cagar alam laut. Kompleksnya
permasalahan
di
wilayah
pesisir
umumnya
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan interaksi antara manusia dengan alam yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, wilayah pesisir perlu membutuhkan perencanaan dan penanganan yang menyeluruh dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Kebijakan-kebijakan dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir tidak hanya melihat permasalahan yang ada hanya dari satu sisi saja, melainkan secara keseluruhan. Pembangunan suatu wilayah dapat diupayakan dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada pada wilayah yang direncanakan. Pesisir Barat merupakan wilayah pesisir dengan berbagai sektor kegiatan utama yang dapat dikembangkan di antaranya yaitu sektor pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, pariwisata, kepelabuhanan, dan penegakan hukum (Natabaya,2001). Sebagai wilayah pesisir, Kabupaten Pesisir Barat memiliki potensi utama pada sektor pariwisata khususnya pada wisata kepesisiran. Pengembangan wisata kepesisiran perlu ada kecermatan dan keseriusan dalam penanganan, hal ini karena wisata kepesisiran merupakan wisata yang bersifat alami, sehingga perencanaannya memerlukan kondisi dan integrasi dari semua instansi terkait. Oleh karena itu, dalam pengambilan kebijakan pengembangan kawasan pesisir sudah seharusnya bersifat “bottom-up” yang melibatkan masyarakat dalam melaksanakan perencanaan arah pembangunan dengan mendayagunakan potensi yang ada secara optimal termasuk nilai-nilai kearifan lokal.
3
Partisipasi masyarakat dalam merencanakan program pembangunan akan membantu pemerintah memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sosialisasi pariwisata bagi masyarakat sekitar lokasi objek wisata menjadi penting karena akan mendorong masyarakat untuk berperan serta membantu pengembangan pariwisata (Suwantoro, 2004:29). Selain itu dengan menyertakan partisipasi masyarakat juga dapat menjadikan masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab pada program yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat juga dapat ikut mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Hal ini karena masyarakat merupakan pengguna yang secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan potensi kepesisiran tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam melibatkan masyarkaat dalam merencanakan pembangunannya yaitu dapat dilakukan dengan mengidentifikasi potensi wilayah dengan menanyakan langsung kepada masyarakat yang bermukim pada wilayah yang akan direncanakan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
pengelolaan sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir Indonesia terletak pada kebijakan yang kurang konsisten, yaitu dimana terdapat beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan dengan intensif bahkan sampai telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan dari ekosistem pesisir. Sedangkan terdapat juga beberapa wilayah pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan juga terdapat wilayah pesisir yang belum terjamah sama sekali. Oleh karena itu diperlukannya kebijakan yang tepat dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir dengan cara mengoptimalkan potensi-potensi yang terdapat di wilayah pesisir.
4
Menurut Coastal Resource Management Project Provinsi Lampung Tahun 2000, salah satu permasalahan utama di wilayah Pesisir Lampung bagian barat khususnya di Kabupaten Pesisir barat yaitu masih rendahnya pengelolaan potensi wisata kepesisiran serta belum adanya penataan ruang wilayah pesisir. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukannya perencanaan pariwisata yang sesuai dengan potensi wisata yang ada khususnya wisata kepesisiran dengan mengidentifikasi potensi pariwisata yang ada dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Selain itu identifikasi potensi wisata ini juga dapat digunakan sebagai rekomendasi kebijakan yang tepat dalam merencanakan pembangunan pariwisata di Kabupaten Pesisir Barat. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka muncullah pertanyaan-pertanyaan penelitan sebagai berikut : 1. apa potensi wisata kepesisiran yang terdapat di Kabupaten Pesisir Barat ? 2. apa kebijakan perencanaan pembangunan pariwisata kepesisiran yang ada sesuai dengan preferensi masyarakat setempat ? 3. apa rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengoptimalisasikan potensi wisata kepesisiran di Kabupaten Pesisir Barat berdasarkan preferensi masyarakat ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, adapun tujuan dari
penelitian ini yaitu : 1. mengidentifikasi potensi wisata kepesisiran di Kabupaten Pesisir Barat; 2. mengidentifikasi kesesuaian arah perencanaan pembangunan pariwisata kepesisiran dengan preferensi masyarakat setempat;
5
3. merumuskan arahan dan rekomendasi kebijakan dalam melaksanakan pembangunan pariwisata di Kabupaten Pesisir Barat berdasarkan preferensi masyarakat.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat dalam perencanaan pembangunan wilayah wilayah Kabupaten Pesisir Barat selaku daerah otonom. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu rekomendasi dalam mengambil kebijakan yang tepat dalam perencanaan pembanguan pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1 Definisi Wilayah Pesisir Menurut Dahuri et al. (1996) wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana jika ditinjau dari garis pantainya (Shore line) wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Supriharyono (2000) mengemukakan batasan wilayah pesisir tidak jauh berbeda dari yang disampaikan oleh Dahuri yaitu wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Batassan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, misalnya aliran air tawar, sedimentasi, maupun aktivitas yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di daratan. Batasan ke arah darat wilayah pesisir terdiri atas bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
6
masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, misalnya angin laut, perembesan air asin,dan pasang surut. Menurut Christanto (2010) Wilayah Pesisir merupakan wilayah yang terdiri atas : 1) memiliki komponen daratan dan perairan laut; 2) memiliki perbatasan daratan dan laut dengan tingkat pengaruh dari daratan ke laut maupun sebaliknya yaitu dari lautan ke daratan; 3) tingkat pengaruh dari lautan ke daratan dan dartan ke laut tidak uniform dalam lebar, kedalaman, dan ketinggian.
Adapun bentukan yang dapat dihasilkan oleh pesisir yaitu bentuk gua dan lengkungan, selain itu Pesisir juga merupakan satu kawasan hunian atau tempat tinggal bagi manusia dengan berbagai aktivitas yang dilakukannya, pada tahun 1990 diperkirakan 50% -70% jumlah penduduk di dunia tinggal di wilayah pesisir (Edgreen 1993 dalam Pramudyata 2008). Berdasarkan definisi-definisi yang beragam tersebut, menurut kesepakatan internasional wilayah pesisir diartikan sebagai wilayah perairan antara laut dan dartan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al., 1994 dalam Dahuri et al, 1996). Berdasarkan definisi-definisi mengenai wilayah pesisir, terdapat beberapa batasan yang telah diatur atau ada di masyarakat di antaranya yaitu (Yuwono 1999 dalam Pramudyata 2008) : a) Undang-undang pelayaran : perairan pantai sejauh 3 mil dari garis pantai; b) kepentingan rekayasa/teknik pantai : perairan pantai adalah perairan dengan kedalaman sampai 100 atau 150 m; c) keperluan perikanan : perairan pantai adalah perairan yang digunakan untuk penangkapan ikan secara tradisional, ± 3 mil dari garis pantai;
7
d) Undang-undang lingkungan hidup : sempadan pantai sejauh 100 m dari batas pasang tertinggi; e) tebal buffer zone hutan mangrove yang diperlukan yaitu 130 x p, dimana p merupakan rentang pasang-surut rata-rata di daerah pantai; f) batas negara : Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) ± 200 mil dari garis pantai ke arah laut; g) Undang-undang No.32 tahun 2004 : perairan pantai untuk kabupaten/kota sejauh 4 mil garis pantai, sedangkan perairan pantai untuk provinsi sejauh 12 mil dari garis pantai.
1.5.2 Pembangunan Wilayah Menurut Todaro (2000) pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang terdiri atas berbagai perubahan dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-insitusi nasional, selain itu pembangunan juga dapat diartikan sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penanganan ketimpangan pendapatan. Todaro juga beranggapan bahwa dalam pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar di antaranya yaitu meningkatkan rasa harga diri (self-esteem), kebebasan (freedom) untuk memilih, dan kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok. Secara umum Pembangunan juga diartikan sebagai salah satu usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya (Budiman, 2000). Rostow (1960) mengungkapkan bahwa pembangunan suatu bangsa diawali oleh transformasi structural masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern yang merupakan proses yang berdimensi banyak (multidimensional). Wilayah merupakan suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang dinilai beradasarkan bagian-bagian internalnya. Wilayah dapat dibedakan menjadi wilayah nodal, wilayah homogen, wilayah perencanaan, dan wilayah administratif (Budiharsono, 2001).
8
Budiharsono juga menyimpulkan bahwa ilmu pembangunan wilayah merupakan kumpulan disiplin ilmu dan teori terapan yaitu ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan, matematika, sosiologi, statistika,ekonomi, dan geografi. Pembangunan berkelanjutan menurut komisi sedunia untuk lingkungan dan pertumbuhan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kebutuhan kemampuan generasi yang akan datang (Soemarwoto, 1997). Selain itu, untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan juga di butuhkan tersedianya sumberdaya yang cukup, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, serta lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
1.5.2 Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Daerah otonom adalah kesatuan dari masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri yang berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah otonomi dan wilayah-wilayah administratif. Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya di dasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. Daerah dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomoni, dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan bangsa dalam rangka pelakasaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
9
1.5.3 Potensi dan Permasalahan di Wilayah Pesisir Adapun sumberdaya yang terapat di wilayah pesisir terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui dan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya yang dapat diperbaharui di antaranya yaitu hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut (seaweed), dan sumber daya perikanan (plankton, benthos, moluska, ikan, mamalia laut, krustasea). Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui yang terdapat di wilayah pesisir di antaranya yaitu pasir, timah, bauksit, bijih besi, minyak dan gas, serta mineral dan bahan tambang lainnya (Dahuri dkk, 1996). Selain itu, kegiatan berbagai sektor yang dapat dilakukan di wilayah pesisir di antaranya yaitu sektor pertambangan, sektor lingkungan hidup, sektor kehutanan,
sektor
pariwisata,
sektor
kepelabuhanan,
dan
sektor
penegakan
hukum
(Natabaya,2001). Selain itu, akibat tingkat pemanfaatan wilayah pesisir yang belum optimal dan bahkan sering terjadi tumpang tindih dalam pemanfaatan potensi yang terdapat di wilayah pesisir, sehingga dapat menimbulkan berbagai permasalahan terhadapt wilayah pesisir atau merusak potensi yang ada. Adapun permasalahan-permasalahan utama yang sering terjadi di wilayah pesisir yaitu pencemaran, abrasi pantai, degradasi fisik habitat, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, over-eksploitasi sumber daya alam, dan bencana alam (Dahuri dkk, 1996). Menurut Manning dan Sweet (1993) dalam Supriharyono (2000) manfaat ekosistem di wilayah pesisir dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu : a) manfaat terhadap produksi; b) manfaat yang menyokong kehidupan; c) manfaat terhadap sosiobudaya.
10
1.5.5 Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Akibat sumberdaya alam yang besar dan beragam yang terdapat di wilayah pesisir sehingga menyebabkan berbagai instansi serta sektor pelaku pembangunan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, sering menyebabkan tumpang tindihnya pemanfaatan sumberdaya alam antara satu sektor dengan sektor lainnya. Sudah seharusnya dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Prinsip keterpaduan antarsektor adalah kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu maupun mematikan kegiatan dari sektor lain (Tuwo, 2011) Untuk mengurangi dampak konflik kepentingan akibat tumpang tindihnya pemanfaatan wilayah pesisir antar sektor, maka diperlukannya perencanaan wilayah pesisir secara terpadu. Dimana keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang serta tangggung jawab antarsektor maupun instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan juga antar tingkat pemerintahan dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga tingkat pusat (vertical integration) Selain itu, perencanaan wilayah pesisir secara terpadu juga ditujukan agar pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh, perencanaan tujuan dan sasaran, serta pengelolaan segenap kegiatan pemanfaatannya untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara terpadu juga dimaksudkan untuk mengkorodinasikan atau mengarahkan berbagai aktivitas dari berbagai sektor dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir. Perencanaan pembangunan secara terpadu umumnya bertujuan untuk mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Selain itu menurut Sorensen dan Mc
11
Creary (1990, dalam Dahuri et al, 1996) mengartikan keterpaduan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi. Hanson, (1988 dalam Dahuri et al, 1996) mendefinisikan perencanaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang ada secara optimal dengan tidak melupakan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air dan Kerangka Acuan Pekerjaan Studi Konsep Kerangka Pengelolaan Pantai, terdapat lima aspek penting dalam pengelolaan pantai, di antaranya yaitu : a) konservasi daerah pantai; b) pendayagunaan daerah pantai; c) pengendalian kerusakan daerah pantai; d) sistem informasi daerah pantai; e) pemberdayaan masyarakat (stakeholders).
1.5.6 Pariwisata Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, maupun mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan, pariwisata adalah berbagai kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Kegiatan berpariwisata merupakan suatu proses bepergian sementara dari seseorang
12
ataupun kelompok menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya dikarenakan berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan, maupun kepentingan lain misalnya hanya sekedar ingin tahu, menambah pengalaman dan untuk belajar (Suwantoro, 1997). Suwantoro (1997) juga mendefinisikan bahwa pariwisata adalah sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah.
Pariwisata
berdasarkan aspek sosiologis yang dikemukakan oleh Cohen (1984, dalam Pitana, 2005) menyebutkan bahwa pariwisata dapat dipandang dari salah satu maupun beberapa pendekatan konseptual di bawah ini. 1. Tourism as a commercialised hospitality Menurut pendekatan ini pariwisata merupakan proses komersialisasi dari hubungan tamu dengan tuan rumah. 2. Tourism as a democratised travel Dalam pendekatan pariwisata dianggap sebagai salah satu prilaku perjalanan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya. Pariwisata dulu hanya dimonopoli oleh kaum aristokrat, sekarang sudah dapat dilakukan oleh siapa saja. 3. Tourism as a modern leisure activity Pendekatan ini menerangkan bahwa pariwisata dipandang sebagai suatu institusi yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat modern, dengan cara mengembalikan masyarakat kepada situasi harmoni dan keseimbangan. 4. Tourism as a modern variety of a traditional pilgrimage Pariwisata melalui pendekatan ini dianggap berkaitan dengan ziarah keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat tradisonal, atau merupakan bentuk lain dari sacred journey.
13
5. Tourism as an expression of basic cultural of basic cultural themes Melalui pendekatan ini dapat melihat pengertian perjalanan dari pihak pelaku perjalan tersebut, akan dapat ditemukan berbagai klasifikasi perjalanan dari pihak pelaku perjalanan yang sangat ditentukan oleh budaya pelakunya. 6. Tourism as an acculturation process Pendekatan ini memfokuskan analisis pada proses akulturasi sebagai akibat dari interaksi host-guest yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. 7. Tourism as type of ethnic relation Pendekatan ini menjelaskan mengenai hubungan host-guest, dan mengaitkannya dengan teori-teori etnisitas, hubungan antar-etnis, serta dampak-dampak yang timbul terkait dengan identitas etnis. 8. Tourism as form of neo-colonialism Pariwisata melalui pendekatan ini dianggap sangat berperan dalam mempertajam hubungan metropolis-periferi, karena negara penghasil wisatawan akan menjadi dominan (metropolis) sedangkan negara penerima (tourist-receiving countries) akan menjadi satellite atau peripheral.
Pembangunan pariwisata dapat memberikan berbagai peluang baru bagi masyarakat tetapi jika masyakarat tidak mampu memanfaatkan peluang pariwisata, maka keberadaannya akan semakin marginal di tengah perkembangan pariwisata di daerahnya (Pitana, 2005). Komponen-komponen lain yang mendukung pariwisata yaitu : a. Akomodasi
14
Hal ini menjadi penting karena wisatawan yang sedang melakukan perjalanan dan jauh dari tempat tinggalnya akan memerlukan tempat tinggal sementara yang dapat digunakan untuk beristirahat dan tidur, makan dan minum, membersihkan diri, menerima tamu, berangkat ke tempat atraksi wisata serta pulang setelah mengadakan perjalanan keliling atau melaksanakan aktivitasnya. b. Jasa pangan Peranan jasa pangan dalam pariwisata adalah sebagai salah satu unsur dari produk wisata, membantu memenuhi kebutuhan wisatawan dalam hal makan dan minum, serta sebagai unsur promosi atau daya tarik bagi wisatawan. c. Transportasi Transportasi dalam kepariwisataan berfungsi untuk memindahkan wisatawan dari suatu tempat ke tempat lain sebagai tujuan wisata. d. Atraksi wisata Atraksi wisata merupakan daya tarik utama mengapa seseorang datang berwisata ke suatu tempat e. Penawaran Penawaran merupakan sejumlah barang atau jasa yang ditawarkan dengan harga tertentu dan dalam waktu tertentu.
Adapun tujuan dari kepariwisataan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang kepariwisataan yaitu sebagai berikut : 1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi; 2) meningkatkan kesejahteraan rakyat;
15
3) menghapus kemiskinan; 4) mengatasi pengangguran; 5) melestarikan lingkungan, alam, dan sumberdaya; 6) memajukan kebudayaan; 7) mengangkat citra bangsa; 8) memupuk rasa cinta tanah air; 9) memperkuat jati diri dan kesatuan bangsa; 10) mempererat persahabatan antarbangsa.
Menurut Sukarsa (1999) proses perencanaan dalam kepariwisataan dapat dilakukan dalam lima tahap, di antaranya yaitu : a. melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia serta potensi yang dimiliki; b. menaksir pasaran pariwisata dan mencoba melakukan proyeksi lalu lintas wisatawan pada masa mendatang; c. memperhatikan di daerah belahan dunia mana permintaan (demand) lebih besar daripada persediaan atau penawaran (supply); d. melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing; e. melakukan perlindungan terhadap kekayaan alam yang dimiliki dan memelihara warisan budaya bangsa serta adat istiadat suatu bangsa yang ada.
16
Menurut Spillane (1987, dalam Sari, 2011) yang menarik customer untuk mengunjungi suatu daerah tujuan wisata sehingga dapat diketahui jenis pariwisata yang layak untuk dikembangkan serta jenis sarana dan prasaran yang mendukung kegiatan pariwisata tersebut di antaranya yaitu : 1) Pariwsiata untuk menikmati perjalanan (pleasure turism) Dilakukan oleh orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, mencari udara segar yang baru, mengendorkan saraf untuk menikmati keindahan alam, untuk menikmati hikayat suatu daerah, untuk menikmati hiburan, dan sebagainya. 2) Pariwisata untuk rekreasi (recreation sites) Dilakukan oleh orang yang memanfaatkan hari
libur untuk beristirahat, untuk
memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohani yang akan menyegarkan keletihan dan kelelahan. 3) Pariwisata untuk kebudayaan (cultural turism) Pariwisata ini ditandai dengan adanya rangkaian motivasi seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset dengan mempelajari adat istiadat, serta cara hidup masyarakat setempat. 4) Pariwisata untuk olahraga (sport turism) Pariwisata ini memiliki tujuan utama untuk berolahraga. 5) Pariwisata untuk urusan dagang besar (business turism) Unsur yang ditekankan dalam pariwisata jenis ini adalah kesempatan yang digunakan oleh pelaku perjalanan ini yang menggunakan waktu-waktu bebasnya untuk menikmati dirinya sebagai wisatawan yang mengunjungi berbagai objek wisata dan jenis pariwisata lain.
17
6) Pariwisata untuk konvensi (convention turism) Wisatawan melakukan perjalanan wisata dengan macam-macam motivasi.
1.5.7 Preferensi Masyarakat Preferensi mengandung pengertian sebuah kecencerungan dalam memilih atau prioritas yang diinginkan. Menurut Nicholson (1994, dalam Wijaya, 2008), preferensi diasumsikan memiliki tiga sifat dasar di antaranya yaitu : 1) kelengkapan (completeness) Kelengkapan (completeness) memiliki arti jika Adan B merupakan dua kondisi atau situasi, maka setiap orang selalu harus menspesifikasikan apakah : a)
A lebih disukai daripada B;
b)
B lebih disukai daripada A;
c)
A dan B sama-sama disukai. Menurut pengertian ini, dimana setiap orang diasumsikan tidak bingung dalam
menentukan piilhan jika mengacu dasar ini. Hal ini karena setiap orang tahu yang baik dan yang buruk, sehingga setiap orang selalu dapat menjatuhkan pilihan antara dua alternatif. 2) transitivitas (transitivity) Transitivitas (transitivity) merupakan suatu kondisi jika sesorang menyatakan lebih menyukai A daripada B, dan lebih menyukai B daripada C, maka orang tersebut harus lebih menyukai A daripada C. Sesorang tidak dapat mengartikulasikan preferensi yang saling bertentangan. 3) kontiunitas (continuity)
18
Kontinuitas (continuity) adalah suatu keadaan jika sesorang menyatakan lebih menyukai A daripada B ini berarti segala kondisi di bawah pilihan A tersebut lebih disukai daripadda kondisi di bawah pilihan B. Hal ini mengasumsikan bahwa preferensi setiap orang akan mengikuti dasar di atas. Sehingga, setiap orang akan aselalu dapat membuat atau meyusun rangking pada semua situasi ataupun kondisi mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai dari berbagai macam barang dan jasa yang tersedia.
1.5.8 Wilayah Kepesisiran Menurut Sunarto (2001) dalam Djainal (2012) wilayah kepesisiran merupakan padanan dari istilah coastal area, yang memiliki batasan sebagai daerah yang membentang dari minakat gelombang pecah (breaker zone) di laut hingga mencapai batas akhir daratan allluvial pesisir (coastal alluvial plain) di darat. Adapun ciri pokok wilayah kepesisiran menurut Kay (1999) dalam Muhsoni (2009) di antaranya yaitu : a) wilayah kepesisiran mencakup komponen darat dan laut; b) mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat; c) tidak memiliki lebar, kedalaman, dan ketinggian yang seragam.
Interaksi antara lautan dan proses di wilayah teristerial serta penggunaannya merupakan elemen penting dalam wilayah kepesisiran. Oleh karena itu menurut Clark (1995) dalam Jati (2012) wilayah kepesisiran dapat didefinisikan sebagai : a) memiliki komponen daratan dan perairan laut;
19
b) memiliiki batas darat dan laut dengan pembatasan pada tingkat pengaruh dari lautan ke daratan maupun dari daratan ke laut; c) Lebar yang tidak selalu seragam, kedalaman tidak selalu sama, dan ketinggian yang bervariasi.
Menurut Gunawan et al. (2005, dalam Desmawan, 2012) wilayah kepesisiran (coastal zone) merupakan wilayah yang dimulai dari gelombang (breakers zone), pantai (shore) rataan pasang-surut (tidal flat) baik berupa rataan lumpur (mud flat) maupun rawa payau (saltmarsh) juga termasuk wilayah-wilayah yang secara morfogenesis pembentukannya masih dalam pengaruh aktivitas marin. Wilayah kepesisiran merupakan wilayah yang kaya akan sumberdaya hayati dan sangat potensial untuk dikembangkan dengan berbagai aktivitas budaya, industri, pariwisata, dan jasa yang dapat menunjang perekonomian nasional (Mutaqin, 2013). Selain itu wilayah kepesisiran juga merupakan wilayah yang dinamis dengan berbagai proses geomorfik yang terjadi di dalamnya, serta memiliki penggunaan lahan yang kompleks. Adapun proses geomorfik yang terjadi di wilayah pesisir diantarnya yaitu erosi, sedimentasi, dan penurunan muka air tanah. Oleh karena itu, maka terdapat pengelolaan kawasan kepesisiran terpadu yang dikenal dengan istilah Integrated Coastal Zone Management (ICZM) yang merupakan proses pengelolaan yang kontinyu serta dinamis, dan dapat menyarankan peraturan, strategi, dan kebijakan yang sesuai utnuk pengelolaan wilayahnya. Selain itu ICZM juga merupakan suatu konsep pengelolaan yang mampu meminimalisasi biaya, kerusakan lingkungan serta mampu mengambil penggunaan yang paling efisien (Ramesh dan Vel, 2011).
20
1.5.9 Masyarakat Masyarakat adalah kesatuan sosial yang memiliki kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Dimana jiwa masyarakat sendiri merupakan potensi yang berasal dari unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Selain itu pakar sosiologi Mac Iver, J.L Gillin memerikan penjelasan bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena memiliki nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama (Musadun 2000, dalam Adrianto, 2006).
1.6
Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini beberapa konsep dan pemikiran pelaksanaan. Penelitian akan di
paparkan dalam sebuah konsep terstruktur berupa kerangka pemikiran yang memuat keseluruhan kegiatan sampai terciptanya hasil yang diharapkan dari adanya penelitian ini. Berikut kerangka pikir penelitian akan dijelaskan dalam gambar 1.1 berikut ini :
21
Pembangunan Wilayah Otonomi Daerah
Wilayah Kepesisiran
Kebijakan Pengembangan Wilayah
Potensi Wisata Kepesisiran
Potensi Internal -Kondisi fisik objek wisata 2 -Fasilitas Penunjang wisata -Sosial Budaya masyarakat 3
Wisatawan
Potensi Eksternal : Aksesibilitas (Jalan, Angkutan, Jarak )
Pereferensi Masyarakat
Arahan dan Rekomendasi 4 Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kepesisiran Gambar. 1.1 Kerangka Pemikiran
1.7 Keaslian Penelitian Studi mengenai identifikasi potensi wisata kepesisian sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya hanya saja yang membedakanya di antaranya yaitu objek, lokasi dan tujuan penelitian yang berbeda antara satu penelitian dengan penelitian yang lainnya. Berdasarkan hasil studi literatur yang didapat, untuk kajian mengenai indentifikasi potensi wisata kepesisiran, terdapat empat penelitian yang berkaitan dengan tema yang penulis lakukan.
22
Model Pengelolaan Wilayah Kepesisiran Secara Terpadu Untuk Pengembangan Sistem Pendukung Keputusan Perencanaan Pembangunan Kota Pesisir Berkelanjutan, dalam sebuah Disertasi yang ditulis oleh Raditya Jati (2012). Adapun tujuan penelitiannya yaitu untuk mendapatkan indikator-indikator kota berkelanjutan berdasar dari para multipihak di daerah penelitian, mempelajari dan menyusun model pengelolaan wilayah kepesisiran secara terpadu untuk perencanaan pembangunan kota pesisir yang berkelanjutan, mengembangkan suasu sitem pendukung keputusan tahap awal dalam pengelolaan wilayah kepesisiran secara terpadu dan berkelanjutan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur , yang merupakan sebuah tesis yang ditulis oleh Stefanus Stanis (2005). Adapun tujuan yang diinginkan oleh penulis yaitu untuk menganalisis potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut Kabupaten Lembata, menganalisis Nilai-nilai Kearifan lokal yang memiliki keterkaitan erat dengan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir di Kabupaten Lembata, menganalisis program dan kegiatan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam pesisir dan laut di kabupaten Lembata. Hasil penelitan yang diharapkan yaitu potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Lembata, potensi budidaya perikanan yang terdapat di Kabupaten Lembata, pengolahan pascapanen perikanan masih bersifat tradisional, kearifan lokal yang terdapat di Kabupaten Lembata, dan pendekatan pemberdayaan kearifan lokal. Model Pengembangan Pariwisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara merupakan sbuah jurnal yang ditulis oleh Aderius Sero (2012). Adapun tujuan dari penelitan ini yaitu untuk mengatahui persepsi masyarakat, pemerintah dan swasta terhadap model pengembangan pariwisata bahari di Pantai Tagalaya, Kumo dan Kakara Halmahera Utara,
23
mengetahui model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di pantai tagalaya, kumo dan kakara. Hasil penelitan yang diharapkan yaitu persepsi masyarakat terhadap pengembangan pariwisata bahari berbasis masyarakat, partisipasi dan peranserta masyarakat dalam pengembangan pariwisata bahari berbasis. masyarakat di ketiga objek wisata, dan emberdayaan masyarakat adanya upaya pemberdayaan dilakukkan oleh pihak pemerintah dan pengelola terhadap masyarakat sekitar. Kajian potensi wisata wilayah pesisir untuk pengembangan pariwisata di kecamatan pulau pisang, kabupaten pesisir barat, provinsi lampung yang merupakan sebuah skripsi yang ditulis oleh Sulas Viana (2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wisata yang ada di Kecamatan Pulau Pisang, mengetahui pendapat wisatawan untuk pengembangan objek wisata Kecamatan Pulau Pisang, mendeskripsikan peran pemangku kepentingan dalam kegiatan pariwisata di Kecamatan Pulau Pisang, dan menyusun rencana strategi pengembangan pariwisata di Kecamatan Pulau Pisang. Hasil penelitan yang diharapkan yaitu Peta objek wisata Kecamatan Pulau Pisang, tabel klasifikasi penilaian potensi internal dan eksternal objek wisata, dan rekomendasi strategi pengembangan pariwisata di Kecamatan Pulau Pisang, Kabupaten Pesisir Barat.
24
Tabel Tabel 7.1 1.1Keaslian KeaslianPenelitian Penelitian Tujuan Judul Penelitian
Hasil Metode Penelitian
Penelitian
Penelitian
Raditya Jati
Model Pengelolaan
1.Mendapatkan indikator-
Model Kajian :
1.Pembelajaran indikator
(2012)
Wilayah Kepesisiran
indikator kota berkelanjutan
1.Studi literatur dan preseden
kota berkelanjutan bebasis
Secara Terpadu Untuk
berdasar dari para multipihak di
2.Pengamatan lapangan secara
pada hasil FGD di wilayah
Pengembangan Sistem
daerah penelitian
langsung
kepesisiran Kota Semarang
Pendukung Keputusan
2. Mempelajari dan menyusun
3.Pengumpulan data melalui
dan Cilacap
Perencanaan
model pengelolaan wilayah
wawancara dan diskusi
2.Peranan ICZM dalan
Pembangunan Kota
kepesisiran secara terpadu untuk
kelompok terfokus
Perencanaan wilayah
Pesisir Berkelanjutan
perencanaan pembangunan kota
(Disertasi)
pesisir yang berkelanjutan
Teknik anallisis :
pengelolaan DPSIR Kota
3.Mengembangkan suatu sistem
1.Analisis preseden dan telaah
Semarang dan Kota Cilacap
pendukung keputusan tahap awal
pustaka
4.Sintesis Pengembangan
dalam pengelolaan wilayah
2.Analisis kualitatif
Model DSS Kota Semarang
kepesisiran secara terpadu dan
3.Analisis kuantitatif
dan Kota Cilacap
3.Pembelajaran model
25
berkelanjutan Stefanus
Pengelolaan Sumberdaya 1. Untuk menganalisis potensi dan
Teknik pengumpulan data:
Stanis (2005)
Pesisir dan Laut Melalui
pemanfaatan sumberdaya alam
1.Observasi
tangkap di Kabupaten
Pemberdayaan Kearifan
pesisir dan laut Kabupaten
2.Wawancara
Lembata
Lokal di Kabupaten
Lembata
Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur (Tesis)
2. Untuk menganalisis Nilai-nilai
1. Potensi lestari perikanan
2. Potensi budidaya perikanan yang terdapat di
Teknik analisis :
Kearifan lokal yang memiliki
1.quantitative
keterkaitan erat dengan
comparative.
pengelolaan sumberdaya laut
2. analisis kualitatif
perikanan masih bersifat
dan pesisir di Kabupaten
Komparatif
tradisional
Lembata. 3. Untuk menganalisis program dan kegiatan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam memanfaatkan dan
time
series
kabupaten Lembata 3. Pengolahan pasca panen
4. Kearifan lokal yang terdapat di Kabupaten Lembata 5. Pendekatan pemberdayaan kearifan lokal
mengelola sumberdaya alam
26
pesisir dan laut di kabupaten Lembata. Aderius Sero
Model Pengembangan
1.Mengatahui persepsi
Teknik pengumpulan data :
1.persepsi masyarakat
(2012)
Pariwisata Bahari
masyarakat, pemerintah dan
Pusposive sampling
terhadap pengembangan
Berbasis Masyarakat di
swasta terhadap model
Kabupaten Halmahera
pengembangan pariwisata bahari
Teknik analisis data secara
masyarakat.
Utara (Jurnal)
di Pantai Tagalaya, Kumo dan
induktif
2. partisipasi dan peranserta
pariwisata bahari berbasis
Kakara Halmahera Utara
masyarakat dalam
2.mengetahui model
pengembangan pariwisata
pengembangan pariwisata
bahari berbasis. masyarakat
berbasis masyarakat yang
di ketiga objek wisata
diterapkan di pantai tagalaya,
3. pemberdayaan
kumo dan kakara.
masyarakat adanya upaya pemberdayaan dilakukkan oleh pihak pemerintah dan pengelola terhadap
27
masyarakat sekitar. Sulas Viana
kajian potensi wisata
. 1.mengidentifikasi potensi
Metode penelitian survey
1.Peta
(2014)
wilayah pesisir untuk
wisata yang ada di Kecamatan
Teknik pengumpulan data:
Kecamatan Pulau Pisang
pengembangan
Pulau Pisang
1.Survey lapangan
2.Tabel klasifikasi penilaian
pariwisata di kecamatan
2. mengetahui pendapat
2.Wawancara
potensi
pulau pisang, kabupaten
wisatawan untuk pengembangan
3.Pengumpulan data sekunder
eksternal objek wisata
pesisir barat, provinsi
objek wisata Kecamatan Pulau
lampung (skripsi)
Pisang 3.mendeskripsikan peran
Teknik analisis data:
pengembangan pariwisata di
pemangku kepentingan dalam
1.Metode skoring dari variabel
Kecamatan Pulau
kegiatan pariwisata di Kecamatan
2.Analisis Deskriptif
Kabupaten Pesisir Barat
Pulau Pisang
3.Analisis SWOT
4.menyusun pengembangan
rencana
objek
wisata
internal
3.Rekomendasi
dan
strategi
Pisang,
strategi
pariwisata
di
Kecamatan Pulau Pisang.
Tria Febrina
Identifikasi Potensi
1.mengidentifikasi potensi wisata
Teknik pengumpulan data :
1. potensi wisata kepesisiran
28
Seli (2014)
Wisata Kepesisiran
kepesisiran di Kabupaten Pesisir
1.Wawancara
di Kabupaten Pesisir
Berbasis Prefrensi
Barat.
2.Observasi
Barat
Masyarakat di Kabupaten 2.Mengidentifikasi
arah 3.Studi literatur
Pesisir Barat, Provinsi
perencanaan
Lampung (skripsi)
pariwisata kepesisiran yang sesuai Teknik analisis data:
kepesisiran yang sesuai
dengan
dengan kebutuhan
kebutuhan
pembangunan
2. arah perencanaan pembangunan pariwisata
masyarakat 1.Analasisi secara induktif
setempat
2. Analisis kualitatif
3.merumuskan arahan dan
komparatirf
masyarakat setempat arahan
dan
rekomendasi
rekomendasi kebijakan dalam
kebijakan
dalam
melaksanakan pembangunan
melaksanakan
pariwisata di Kabupaten Pesisir
pembangunan pariwisata di
Barat.
Kabupaten Pesisir Barat.
29
1.8 Batasan Operasional Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk me mengidentifikasi potensi wisata kepesisiran, mengidentifikasi arah perencanaan pembangunan pariwisata kepesisiran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, dan merumuskan arahan dan rekomendasi kebijakan dalam melaksanakan pembangunan pariwisata di Kabupaten Pesisir Barat. Berikut ini merupakan beberapa asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1) pariwisata adalah suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah (Suwantoro ,1997); 2) wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan, jika ditinjau dari garis pantainya wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore) (Dahuri et al. ,1996); 3) wilayah kepesisiran merupakan wilayah yang dimulai dari gelombang (breakers zone), pantai (shore) rataan pasang-surut (tidal flat) baik berupa rataan lumpur (mud flat) maupun rawa payau (saltmarsh) juga termasuk wilayah-wilayah yang secara morfogenesis pembentukannya masih dalam pengaruh aktivitas marine (Gunawan et al. , 2005 dalam Desmawan ,2012); 4) preferensi adalah sebuah kecenderungan dalam memilih atau prioritas yang diinginkan (Nicholson 1994, dalam Wijaya ,2008); 5) persepsi adalah suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman (Winarto ,1998) dalam Maryati ,2006);
30
6) Masyarakat merupakan merupakan kumpulan dari individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena memiliki nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama (Musadun 2000, dalam Adrianto 2006).
31