BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia (http://www.kkp.go.id). Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan luas laut terdiri dari luas laut territorial 284.210,90 Km 2, luas zone ekonomi ekslusif 2.981.211,00 Km2 dan luas laut 12 mil sebesar 279.322 Km 2. Potensi Sumber Daya Ikan mencapai 6,52 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5,2 juta ton per tahun yang terbagi dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) mulai dari WPP 571 di Selat Malaka hingga WPP 718 di Laut Arafura-Laut Timor (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2011). Dengan potensi yang sedemikian hebat seharusnya manfaat yang diperoleh juga besar. Akan tetapi sebagian besar rakyat miskin justru mereka yang tinggal di pesisir dan pantai. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terdapat 38.258 desa miskin dari total 73.067 desa di Indonesia. Dari jumlah desa miskin tersebut lebih dari 25 % atau 10.640 desa merupakan desa miskin di pesisir. Menurut Nikijuluw (2001) populasi masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Dalam bidang perikanan mereka adalah kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. 1
Sebagian terbesar dari komposisi masyarakat pesisir ini adalah nelayan yang memiliki skala usaha kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari usaha mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek Secara nasional, jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil lebih dominan daripada nelayan dan usaha penangkapan ikan skala menengah dan besar. Proporsi dan perkembangan jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan jumlah dan struktur armada penangkapan ikan secara nasional. . Tabel 1.1 Struktur Armada Perikanan Tangkap Nasional Kenaikan Ratarata (%)
Tahun
Kategori dan Ukuran Kapal/Perahu Jumlah
590.314
596.184
590.352
570.827
557.140
20072011 -1,42
Perahu Tanpa Motor
241.889
212.003
193.798
172.907
162.510
-9,43
-6,01
Perahu Motor Tempel
185.509
229.335
236.632
231.333
232.390
6,26
0,46
Kapal Motor
162.916
154.846
159.922
166.587
162.240
-0,03
-2,61
< 5 GT
114.273
107.934
105.121
110.163
103.120
-2,44
-6,39
5-10 GT
30.617
29.936
32.214
31.460
34.860
3,46
10,81
10-20 GT
8.194
7.728
8.842
10.988
9.550
4,98
-13,09
20-30 GT
5.345
5.200
7.403
7.264
7.880
11,56
8,48
30-50 GT
913
747
2.407
2.495
2.700
53,98
8,22
50-100 GT
1.832
1.665
2.270
2.347
2.380
8,00
1,41
100-200 GT
1.322
1.230
1.317
1.462
1.380
1,38
-5,61
> 200 GT 420 406 348 Sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011
408
370
-2,42
-9,31
2007
Ukuran Kapal Motor
2008
2009
2010
2011*)
20102011 -2,40
Tabel 1.1 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan masih digeluti kemiskinan dilihat dari skala usahanya. Salah satu dari empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, sebagaimana dibeberkan 2
oleh
Mulyadi
opportunity),
(2007)
selain
kurangnya
kesempatan
(lack
of
rendahnya kemampuan (low of capabilities), keterpurukan
(voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang adalah kurangnya jaminan (low level-security). Smith (1979) dan Anderson (1979) dalam (Nikijuluw, 2001) menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain, termasuk untuk keperluan jaminan kredit perbankan. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalihfungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Di sisi lain, sifat usaha penangkapan ikan skala kecil yang sangat tergantung pada alam (musiman). Ketidakpastian dan resiko yang sangat tinggi disamping kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing asets) sebagaimana dijelaskan diatas semakin menjauhkan nelayan atas akses perbankan. Kondisi demikian ditambah ketidakmampuan ekonomi nelayan semakin menyulitkan bagi mereka untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti perlu adanya collateral, insurance dan equity. Menurut Mulyadi (2007:138), salah satu akar kemiskinan masyarakat pantai (nelayan) adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang 3
oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondusif yang dilandasi dengan sifat usaha yang individual, tradisional dan subsisten. Keterbatasan akses modal itu ditandai dengan realisasi penyerapan modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama 25 tahun pembangunan Orde Baru yang hanya 0,02 persen dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, kebutuhan permodalan nelayan dipenuhi oleh rentenir, tengkulak dan tauke yang dalam kenyataannya secara jangka panjang tidak banyak menolong bahkan mungkin makin menjerat utang masyarakat pantai/nelayan. Tabel 1.2 Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan berdasarkan Harga Berlaku, 2007-2011 Satuan: Milliar Rupiah
Perikanan
2007 97.697
2008 137.249
Tahun 2009 176.620
PDB Total
3.950.893
4.948.688
5.603.871
6.422.918
5.482.350
PDB tanpa Migas
3.534.406
4.427.633
5.138.955
5.924.008
5.019.263
2,47
2,77
3,15
3,10
3,06
2,76
3,10
3,44
3,36
3,34
Lapangan Usaha
2010 199.219
2011*) 167.719
Presentase PDB Perikanan Terhadap PDB Total Terhadap PDB tanpa MIgas
*) sampai dengan kwartal III tahun 2011 Sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka
Pada kondisi seperti tersebut di atas berakibat potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan (salah satunya bisa dilihat dari kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional; lihat tabel 1.2). Sehingga diperlukan suatu kebijakan satu program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat pantai (nelayan) sehingga selain dapat meningkatkan
4
kesejahteraan juga mendidik mereka lebih mandiri dan memiliki kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan jaminan akses permodalan bagi nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, pada tanggal 15 Nopember 2007 telah ditandatangani kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Badan Pertanahan Nasional R.I. yang diimplementasikan dalam bentuk kegiatan Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil untuk Peningkatan Akses Permodalan melalui Sertifikasi Hak atas Tanah. Kegiatan sertifikasi hak atas tanah nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan status hukum hak atas tanah milik nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, mengubah predikat modal pasif (liquid capital) menjadi modal aktif (active capital), yang dapat didayagunakan sebagai jaminan memperoleh kredit dari perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank. Melalui upaya tersebut diharapkan nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil dapat memperoleh modal usaha untuk peningkatan skala usaha dan pengembangan ekonomi produktif lainnya. Aset nelayan berupa tanah ini dipilih karena sifat kekakuan aset nelayan yang lain yang sulit dijadikan jaminan memperoleh kredit perbankan. Adapun mekanisme pelaksanaan penyiapan calon peserta kegiatan sertifikasi hak atas tanah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Pra sertifikasi tanah meliputi kegiatan sosialisasi, identifikasi dan inventarisasi untuk menyiapkan data calon peserta, yang dilaksanakan pada periode tahun sebelum pelaksanaan sertifikasi (T minus 1), (2) Pelaksanaan sertifikasi hak atas tanah, dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota pada periode tahun setelah pelaksanaan sertifikasi (Tahun T) dan (3) Pasca sertifikasi tanah berupa 5
pembinaan dan fasilitasi akses permodalan bagi penerima sertifikat untuk pengembangan kapasitas nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, yang dilaksanakan pada periode tahun setelah pelaksanaan sertifikasi (T plus 1). Gambar 1.1 Diagram Mekanisme Pelaksanaan Penyiapan Calon Peserta Kegiatan Sertifikasi Hak Atas Tanah Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil PRA SERTIFIKASI
SOSIALISASI
IDENTIFIKASI
SELEKSI
SERTIFIKASI
PASCA SERTIFIKASI
SELEKSI
VERIFIKASI
PENETAPAN PESERTA
PENETAPAN PESERTA
DAFTAR NOMINATIF
PROSES SERTIFIKASI
PEMBINAAN
PESERTA PROGRAM
Sumber: Juknis SeHAT Nelayan
Sejak pertama kali digulirkan hingga sekarang puluhan ribu bidang tanah nelayan telah berhasil ditingkatkan status hukumnya melalui Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHAT) Nelayan. Tabel 1.3 Target dan Realisasi Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHAT) Nelayan 2009-2014 TAHUN TARGET (Bidang) REALISASI (Bidang) 2009
1.500
1.499
2010
3.000
2.990
2011
9.000
7.552*)
2012
15.000
13.741
2013
18.000
16.789
2014
20.000
Belum ada data
*) s,.d oktober 2011 Sumber: Dir PUPI DJPT KKP, SInar Harapan Edisi 18 Juni 2013
6
Pelaksanaan program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul telah dimulai sejak tahun 2009 dimana pada tahun 2010 proses sertifikasi telah selesai yang mencakup 100 bidang dan tersebar pada 3 lokasi: Tabel 1.4. Jumlah Peserta Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan 2010 No. Lokasi Jumlah Bidang 1. Kemadang, Tanjungsari 40 2. Kanigoro, Saptosari 30 3. Girikarto, Panggang 30 JUMLAH 100 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gunungkidul
Sasaran utama program ini sebagaimana dicanangkan secara nasional adalah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Kabupaten Gunungkidul. Sebagaimana gambaran nasional, jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Kabupaten Gunungkidul lebih mendominasi. Hal ini dapat disimak pada data jumlah armada dan nelayan sebagaimana tabel 1.5 di bawah ini: Tabel 1.5 Jumlah armada penangkapan ikan dan nelayan di Kab. Gunungkidul tahun 2011 Jumlah Armada Jumlah Nelayan No Jenis Armada (Unit) (Orang) 1. Kapal Motor > 10 GT 37 708 2. Perahu Motor Tempel 220 3.
Nelayan Tanpa Perahu
373
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gunungkidul
Pelaksanaan Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul selama ini menemui banyak kendala baik pada tahap Pra Sertifikasi, Sertifikasi maupun Pasca Sertifikasi. Pada tahap Pra Sertifikasi, terlambatnya Petunjuk Teknis dari Pusat mengakibatkan jangka waktu Sosialisasi yang
sangat
singkat
sehingga berpengaruh
kepada
tingkat
pemahaman baik petugas maupun calon peserta, ketentuan mengenai jumlah 7
calon
peserta
sering
berubah
sehingga
mempengaruhi
persiapan
pelaksanaannya, identifikasi calon peserta juga menjadi kendala dikarenakan identitas diri nelayan pada KTP yang beragam menyulitkan proses verifikasi, terlalu dominannya peran pemerintah desa dalam penentuan calon peserta sehingga aspirasi nelayan sering terpinggirkan dan mempengaruhi komposisi calon peserta yang seharusnya 100% nelayan. Pada tahap pelaksanaan sertifikasi kendala yang ditemui antara lain, kriteria tanah baik dari sisi luasan maupun status dan batas-batas, topografi dan lokasi bidang tanah yang berjauhan menimbulkan kesulitan pengukuran di lapangan, pembayaran BPHTB yang dinilai masih memberatkan peserta, dan terakhir, lamanya proses penerbitan sertifikat di Kantor Badan Pertanahan Nasional yang mengakibatkan terlewatinya target waktu pensertifikatan tanah nelayan. Namun demikian pada penelitian ini tidak berfokus pada tahapan sertifikasi di Kantor Pertanahan/BPN. Sedangkan pada tahap pasca sertifikasi tidak banyak data yang menunjukkan adanya kendala yang ditemui. Minimnya perhatian terhadap tahapan ini mengakibatkan minimnya data yang bisa diperoleh terutama terkait penggunaan sertifikat yang telah diperoleh para peserta. Jangankan pembinaan, pendataan penggunaan sertifikat sebagai agunan untuk pinjaman modal nelayan hanya dilakukan secara sporadis dan tidak terstruktur secara baik. Padahal, menurut Peneliti justru pada tahap inilah inti tujuan program ini dan pada tahap ini pula inti dari pemberdayaan nelayan bisa dilaksanakan. 1.2 Rumusan Masalah Melihat
berbagai
kendala
dan
permasalahan
dalam
program
pemberdayaan nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil melalui sertifikasi hak atas tanah nelayan tersebut kiranya perlu dirumuskan sebuah jalan 8
keluar agar maksud kebijakan bisa dicapai sesuai yang diharapkan. Unsur pemberdayaan nelayan berupa self financial mechanism untuk mewujudkan helping the poor to help themselves melalui pemanfaatan sertifikat tanah sebagai jaminan untuk penguatan akses modal kelihatannya sepertinya masih luput dari perhatian pelaku kebijakan. Sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat
(community
development)
kebijakan
ini
diharapkan
mampu
mendorong nelayan miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri. Sementara berbagai permasalahan yang terjadi pada tahap-tahap lainnya perlu mendapatkan perhatian serius mengingat tahapan ini juga sangat menentukan dalam pencapaian maksud kebijakan itu sendiri. Selain karena halhal yang telah diuraikan sebelumnya, ketertarikan dan tertantangnya Peneliti untuk melakukan penelitian mengenai program sertifikasi hak atas tanah nelayan dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Gunungkidul, juga disebabkan, menurut penelusuran Peneliti dari berbagai media, belum pernah dilakukan kajian atau penelitian mengenai sertifikasi hak atas tanah nelayan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, telah disampaikan bahwa terdapat berbagai permasalahan dalam Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan yang timbul pada tahapan-tahapan pelaksanaannya baik pada tahap pra sertifikasi, sertifikasi maupun pada tahapan pasca sertifikasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini Peneliti tertarik untuk mengajukan pertanyaan penelitian: 1. Apakah Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2010 benar-benar dapat merubah modal pasif menjadi modal aktif sehingga meningkatkan akses permodalan nelayan?
9
2. Faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi tingkat
keberhasilan
Pelaksanaan Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul dalam meningkatkan akses permodalan nelayan? 1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul yang dapat merubah modal pasif menjadi modal aktif sehingga dapat meningkatkan akses permodalan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul dalam meningkatkan akses permodalan nelayan. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Pada tataran praktis, hasil penelitian diharapkan menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan perikanan tangkap terutama di Kabupaten Gunungkidul guna merumuskan kebijakan peningkatan fasilitasi modal yang lebih efektif melalui Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan. 2. Pada tataran teoritis, diharapkan menambah pengetahuan yang berkaitan dengan mekanisme Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil melaui Sertifikasi Hak Atas Tanah Nelayan.
10