I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.630 ton, dibawah negara Pantai Gading dengan luas areal penanaman 2,1 juta Hektar dan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 (Ditjenbun, 2010). Biji kakao dapat dipergunakan untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula dan beberapa jenis makanan lainnya bahkan karena kandungan lemaknya tinggi biji kakao dapat dibuat cacao butter/mentega kakao, sabun, parfum dan obat-obatan. Penelitian Yamashita et al. (2013) menyebutkan bahwa kandungan Procyanidins dalam biji kakao mampu mencegah diabetes mellitus dengan menekan kadar hiperglikemia dan obesitas tinggi lemak. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao Ghana apabila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa yang khas. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri, sehingga potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka (Askindo, 2005). Kakao yang daerah asalnya di lereng timur bawah pegunungan Andes, Amerika Selatan, sudah ditanam di pekarangan-pekarangan di Minahasa pada akhir abad ke-18.Namun kakao baru diperkebunkan di perkebunan besar sekitar
1
tahun 1880 di Jawa Tengah. Dan sekarang perkebunan kakao ditanam di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Penanaman kakao di Indonesia dipicu oleh rusaknya kebun-kebun kopi arabika karena penyakit karat (Hemileia vastatrix) sekitar tahun 1880. Di Jawa yang banyak ditanam adalah kakao mulia (edel cacao, Belanda; fine flavor cocoa, Inggris), yang merupakan hibrida dari jenis Criollo dan Forastero, yang sering juga disebut sebagai Trinitario. Klon-klon yang terkenal antara lain DR1, DR2, dan DR38 ditanam sebagai tanaman klonal dengan menempelkannya pada batang-bawah tanaman semai (asal biji) (Ruruk dan Langsa, 2007). Kendala yang dihadapi dalam budidaya kakao di Indonesia adalah banyaknya hama dan penyakit yang antara lain disebabkan oleh virus. Penyakit virus pada tanaman kakao untuk pertama kalinya ditemukan dan dipelajari oleh Steven pada tahun 1936 di Ghana, Afrika Barat dan pada ketika itu disebut “Swollen Shoot Disease of Cacao” serta masih dianggap suatu penyakit “Die Back”. Penyakit ini diperkirakan disebabkan virus yang disebut Cacao Swollen Shoot Virus (CSSV), di Ghana merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menggagalkan panen kakao. Di Indonesia, penyakit mosaik pada tanaman kakao untuk pertama kalinya dilaporkan oleh Semangun pada tahun 1961. Tentang penyebab penyakitnya, Semangun (1961) menduga kuat bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh virus. Fakta pertama yang memperkuat dugaan ini adalah keberhasilan Sinarmojo dan Semangun (1962) dalam menularkan penyakit dengan cara penyambungan dan vektor Pseudococcus sp. dan Ferrisia virgata Cock. Walaupun para peneliti berikutnya telah memperoleh bukti dan kesepakatan pendapat bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus, namun belum ada kesamaan
2
pendapat identifikasi mengenai kelompok virus penyebabnya. Semangun (1976) menduga bahwa penyakit mosaik di Indonesia identik dengan leaf mottle di Afrika Barat. Kemudian Kenten dan Wood (1976) demikian pula Parnata (1976) berpendapat bahwa penyakit mosaik di Sumatera Utara disebabkan oleh salah satu strain CSSV. Hanya saja dari sekian banyak gejala yang ditimbulkan oleh CSSV, gejala swollen yang terdapat pada batang dan akar belum ditemukan. Sedangkan Triharsa et al. (1977) membuktikan bahwa ukuran partikel virus mosaik di Jawa terletak di antara CSSV dan CMLV (Cocoa mottle leaf virus). Sifat dan karakter penyakit mosaik yang mengarah ke CSSV di Indonesia belum diketahui dengan jelas. Diperlukan identifikasi lebih lanjut seperti morfologi virus dan karakter molekuler virus penyebab penyakit mosaik tanaman kakao. Kemajuan di bidang biologi molekuler atau teknologi berbasis DNA telah melahirkan berbagai teknik molekuler yang dapat dimanfaatkan untuk deteksi dan identifikasi virus penyebab mosaik pada tanaman kakao. Kebun kakao banyak terdapat di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya di kebun kakao milik
petani
di
Kalibawang,
Kulonprogo.
Pada
kebun
kakao
tersebut
dibudidayakan kakao klon DR (Djati Roenggo) yang menurut pengamatan telah terserang gejala penyakit mosaik. Identifikasi pengelompokan isolat virus dengan pendekatan molekuler dari sekuen utuh ataupun bagian tertentu suatu genom yang terlindungi dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus penyebab mosaik tanaman kakao. Keragaman genetik isolat virus yang diambil dari daerah conserved tersebut dicocokkan dengan isolat virus yang mirip yang tersedia di Gene bank Data base. Selanjutnya urutan basa nukleotida pada sekuen target teramplifikasi dianalisis
3
hubungan
kekerabatannya
dalam
bentuk
dendogram
pohon
filogenetik.
Identifikasi morfologi dan molekuler virus ini sangat penting untuk mengetahui secara jelas virus apa yang menyebabkan penyakit mosaik tersebut. Karena apabila benar terbukti bahwa virus tersebut adalah CSSV, maka potensi terjadinya ledakan penyakit virus ini sangat besar karena penyakit dapat tertular lewat serangga mealybug dan perbanyakan bibit kakao melalui teknik penyambungan (tempel) dari entres tanaman yang sudah terinfeksi. Dikhawatirkan adanya kemungkinan pembentukan mutan-mutan baru yang lebih ganas, teutama pada klon-klon unggul yang tidak tahan penyakit.
B. Permasalahan 1. Apakah virus penyebab mosaik pada tanaman kakao tersebut CSSV? 2. Bagaimanakah
morfologi
partikel
virus
dan
karakter
molekuler
virus
penyebab mosaik pada tanaman kakao di Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Bagaimanakah
hubungan
kekerabatan
virus
penyebab
mosaik
dari
perkebunan kakao di DIY dengan isolat CSSV di dunia?
C. Tujuan 1. Identifikasi morfologi partikel virus penyebab mosaik dengan mikroskop elektron. 2. Identifikasi molekuler virus penyebab mosaik pada tanaman kakao. 3. Studi hubungan kekerabatan CSSV isolat Yogyakarta dengan CSSV isolat lain di dunia.
4
D. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai karakter molekuler virus penyebab mosaik pada tanaman kakao di Indonesia .
Keragaman virus penyebab mosaik yang diduga CSSV pada gilirannya akan membantu memahami tentang perkembangan epidemiologi dan pengendaliannya serta evolusi populasi virus. Sehingga seleksi terhadap varietas baru tanaman kakao dapat diperhitungkan mengenai ketahanannya terhadap CSSV.
5