I. A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Resin akrilik saat ini masih merupakan pilihan untuk pembuatan basis gigi tiruan lepasan karena harganya relatif murah, mudah direparasi, proses pembuatannya mudah, menggunakan peralatan sederhana, serta memiliki warna stabil dan mudah dipoles (Nirwana, 2005). Sebagai bahan basis gigi tiruan, resin akrilik harus mempunyai beberapa sifat antara lain: tidak beracun, tidak larut dalam cairan mulut, bahan penghantar panas yang rendah, mudah direparasi jika patah (Anusavice, 2003). Selain sebagai basis gigi tiruan, resin akrilik juga digunakan sebagai bahan reparasi (Craig, 1997). Kekurangan resin akrilik adalah mudah patah, dan patahnya basis gigi tiruan dapat terjadi di luar mulut yaitu jatuh pada tempat yang keras, sedangkan patah yang terjadi di dalam mulut dapat disebabkan oleh karena fatique maupun occlusal forces. Patahnya basis gigi tiruan dapat disebabkan oleh fitting dari gigi palsu tidak bagus, tidak adanya keseimbangan oklusi, fatique maupun jatuh (Nirwana, 2005). Pembuatan gigi tiruan yang baru membutuhkan biaya mahal dan memakan waktu lebih lama, sehingga dilakukan prosedur reparasi gigi tiruan lama (Memarian dan Shayestehmajd, 2009). Syarat hasil reparasi diantaranya adalah harus menghasilkan kekuatan fleksural maupun kekuatan impak yang cukup. Kekuatan fleksural adalah beban maksimum yang dapat diterima atau kemampuan bertahan suatu bahan sebelum patah dengan beban yang diberikan di tengah-tengah dan bahan ini ditumpu pada kedua ujungnya. Kekuatan fleksural merupakan gabungan dari kekuatan tekan,
1
tarik, dan geser (Craig, 1997). Kekuatan impak adalah energi yang diserap suatu bahan sebelum fraktur ketika mendapatkan tekanan tiba-tiba. Kekuatan impak pada penggunaan gigi tiruan dikaitkan dengan tekanan tiba-tiba saat gigi tiruan terjatuh dan terbentur pada permukaan yang keras (McCabe dan Walls, 2008). Kekuatan
hasil
reparasi
tersebut
antara
lain
dipengaruhi
oleh
teknik
penyambungan, bentuk preparasi kedua ujung yang akan disambung dan bahan reparasi yang dipergunakan (Doerjadibrata, 2005). Beberapa bahan telah digunakan untuk mereparasi gigi tiruan resin akrilik, termasuk akrilik kuring dingin, kuring panas, polimerisasi sinar, dan polimerisasi microwave. Walaupun beberapa cara telah dilakukan untuk memperbaiki gigi tiruan yang fraktur, penggunaan akrilik kuring dingin paling digemari karena sederhana dan cepat. Akan tetapi gigi tiruan yang direparasi dengan akrilik kuring dingin sering mengalami patah di daerah penyatuan. Fraktur pada plat gigi tiruan yang telah direparasi lebih sering terjadi pada daerah sambungan antara bahan dasar dan bahan reparasi (Nagai, 2001). Plat gigi tiruan patah yang direparasi dengan resin akrilik kuring dingin memiliki kekuatan hanya sebesar 18-75% dari kekuatan awal (Miura dkk., 2010). Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, diantaranya dengan memodifikasi kontur permukaan sambungan, metode polimerisasi, mengoptimalkan jarak antara area yang direparasi, memberi perlakuan pada permukaan reparasi, atau dengan menggunakan bahan penguat seperti kawat, aramide, dan fiber (Golbidi dan Mousavi, 2007). Fiber sebagai bahan penguat dikelompokkan menjadi 2 yakni fiber alami dan fiber
2
olahan/sintetis. Salah satu jenis fiber sintetis adalah polyethylene. Penambahan fiber
polyethylene
telah
terbukti
memperbaiki
sifat
mekanis
polymethylmethacrylate tanpa mempengaruhi kualitas estetis (Prakash, dkk., 2014). Akan tetapi, apabila terdapat bagian fiber sintetis yang keluar dari permukaan resin sebagai akibat degradasi resin atau kegagalan mekanis dapat menimbulkan masalah klinis seperti iritasi mukosa. Oleh karena itu, bukan hanya kapasitas fiber sebagai bahan penguat saja yang dicermati, sifat biokompatibilitas untuk aplikasi klinis
juga perlu mendapat perhatian. Selain itu fiber sintetis
berharga lebih mahal sehingga diperlukan suatu material baru sebagai alternatifnya, yaitu fiber alami. Fiber alami merupakan biomaterial yang cukup menjanjikan oleh karena sifat biokompatibilitasnya, dan yang paling penting adalah fiber alami memiliki Young’s modulus dan kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada bahan basis gigi tiruan. Kedua sifat inheren tersebut membuat fiber alami layak digunakan sebagai bahan penguat basis gigi tiruan yang baru (Xu, dkk., 2013). Saat ini fiber alam mendapat perhatian para ahli karena mempunyai kekuatan spesifik yang tinggi, berat jenis lebih rendah, mudah diperoleh, sumber alam yang dapat diolah kembali dan tidak beracun (Darmanto, 2010). Selain itu, biaya produksinya tergolong murah dan ramah lingkungan (Srinivasa dan Bharath, 2011). Seperti telah banyak diketahui bahwa beberapa jenis serat alam seperti kenaf, abaca, rami, dan goni mempunyai sifat mekanik yang tinggi (Purwanto, dkk., 2014).
3
Rami (Boehmeria nivea) menghasilkan serat alam dari pita (ribbons) kulit kayunya yang sangat keras dan mengkilap (Sudjatmiko, 2013). Tanaman ini memiliki diameter yang kecil (10-60 µm) dan warna yang putih sehingga memenuhi syarat estetis basis gigi tiruan (Xu dkk., 2013). Rami memiliki kekuatan tarik yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan serat flax atau jute, yaitu 850-900 N/mm2, dan hampir sama dengan glass fiber (Yu dkk., 2010). Permukaan fiber mengandung wax dan subtansi non selulosa seperti hemiselulosa, lignin, dan pektin, yang menyebabkan adhesi yang buruk antara matriks dan fiber, sehingga dibutuhkan perlakuan kimia terhadap permukaan fiber untuk meningkatkan adhesi antara matriks dengan fiber, meningkatkan kekasaran permukaan fiber, serta untuk menurunkan penyerapan air pada fiber. Fiber yang bersifat hidrofilik ini memiliki tingkat penyerapan air yang tinggi. Perlakuan alkalisasi
(mercerization)
menggunakan
natrium
hidroksida
(NaOH)
mengakibatkan peningkatan sifat hidrofobisitas dan mengurangi penyerapan air (Ku dkk., 2011). Fiber yang dialkalisasi mengalami peningkatan karakteristik adhesi permukaan sebagai akibat hilangnya kotoran alami maupun buatan sehingga menghasilkan permukaan yang kasar (Yu dkk., 2010). Hilangnya hemiselulosa dan lignin pada proses alkalisasi akan mengakibatkan berkurangnya kekakuan fiber sehingga fiber menjadi lebih fleksibel dan terjadi peningkatan kemampuan fiber dalam menerima beban (Carvalho dkk., 2010). Fiber yang tidak mengalami perlakuan dapat bertindak sebagai inklusi dalam campuran resin akrilik dan bukannya memperkuat justru melemahkan resin dengan merusak homogenitas matriks. Adhesi antara resin dan fiber dapat
4
ditingkatkan dengan pemberian perlakuan silane pada permukaan fiber (Mowade dkk., 2014). Silane memodifikasi permukaan melalui beberapa tahap, yakni hidrolisis, kondensasi, dan pembentukan ikatan selama perlakuan fiber (Xue dkk., 2007). Kekuatan mekanik plat resin akrilik dapat diperbaiki dengan surface treatment menggunakan bahan kimia seperti chloroform, methylene chloride, acetone, methylmethacrylate, dan ethyl acetate. Chloroform dan methylene chloride bersifat karsinogenik dan menimbulkan efek toksik. Acetone dan methylmethacrylate tidak meningkatkan kekuatan mekanik plat resin akrilik secara signifikan karena pengetsaan dengan kedua bahan ini menghasilkan permukaan yang tidak terlalu kasar dengan jumlah fissure yang sedikit (Memarian dan Shayestehmajd, 2009). Ethyl acetate merupakan pelarut organik yang tidak terdaftar dalam klasifikasi International Agency for Research on Cancer (IARC). Oleh sebab itu, ethyl acetate digunakan sebagai alternatif pengganti chloroform dan methyl chloride karena dinilai lebih aman. Ethyl acetate dapat melarutkan permukaan basis gigi tiruan resin akrilik dengan efek yang sama seperti etsa methylene chloride (Shimizu, dkk., 2008). Surface treatment pada permukaan bahan mengakibatkan superficial crack propagation dan pembentukan pit. Morfologi permukaan yang disertai pit dan crack disebabkan oleh disolusi polymethylmethacrylate oleh ethyl acetate. Hal ini meningkatkan mechanical interlocking, sehingga menambah adhesi kedua permukaan yang disambung (Colvenkar dan Aras, 2008).
5
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diajukan, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut, apakah ada pengaruh jenis fiber dan surface treatment ethyl acetate terhadap kekuatan fleksural dan impak reparasi plat gigi tiruan resin akrilik? C.
Tujuan Penelitian
Untuk mengkaji pengaruh jenis fiber dan surface treatment ethyl acetate terhadap kekuatan fleksural dan impak reparasi plat gigi tiruan resin akrilik. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan wawasan bagi perkembangan ilmu kedokteran gigi mengenai pengaruh jenis fiber dan surface treatment ethyl acetate terhadap kekuatan fleksural dan impak reparasi plat gigi tiruan resin akrilik. 2. Memberikan alternatif solusi untuk memperkuat reparasi plat gigi tiruan agar tidak terjadi patah berulang. E. Keaslian Penelitian Hadianto (2014) meneliti tentang pengaruh jenis fiber terhadap kekuatan fleksural dan impak base plate komposit resin akrilik, dengan hasil bahwa pada konsentrasi fiber 1,6% berat, base plate dengan penguat serat sisal memiliki rerata kekuatan fleksural paling tinggi, sedangkan base plate dengan penguat polyethylene fiber memiliki rerata kekuatan impak tertinggi. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan penelitian yang sudah ada ialah penulis akan meneliti tentang pengaruh jenis fiber dan surface treatment ethyl acetate terhadap kekuatan fleksural dan impak pada plat
6
gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas yang direparasi dengan menggunakan resin akrilik polimerisasi dingin.
7