BAB I
IMAN Iman dan Amal Secara garis besar, agama Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) bagian teori, atau yang lazim disebut rukun iman, dan (2) bagian praktek, yang mencakup segala apa yang harus dikerjakan oleh orang Islam, yakni, amalan-amalan yang harus dijadikan pedoman hidupnya. Bagian pertama disebut ushul, dan bagian kedua disebut furu’. Kata ushul adalah jamaknya kata ashl, artinya pokok atau asas; adapun kata furu’ adalah jamaknya kata far’, artinya cabang. Bagian pertama disebut pula aqa’id artinya kepercayaan jamaknya kata aqidah, makna aslinya ikatan. Adapun bagian kedua disebut pula ahkam, jamaknya kata hukm makna aslinya aturan, artinya peraturan Islam. Menurut Imam Syahrastani, bagian pertama disebut ma’rifat, dan bagian kedua disebut tha’ah artinya taat. Jadi, ma’rifat adalah pokok, sedang taat adalah cabang. Istilah inilah yang diambil oleh para ulama fiqih zaman kemudian; adapun menurut Qur’an, dua bagian itu disebut iman dan ‘amal. Pada galibnya, kata iman diterjemahkan percaya; kata iman berasal dari kata amana (biasanya diterjemahkan ia percaya), itu jika digunakan menurut wazan transitif, artinya, menganugrahkan ketentraman atau perdamaian; tetapi jika digunakan menurut wazan intransitif, artinya, masuk dalam keadaan tentram atau damai. Adapun kata ‘amal, artinya, perbuatan; (dua perkataan itu seringkali disebutkan bersamasama dalam Qur’an Suci untuk menunjukkan orang mukmin, katakata orang-orang yang beriman dan berbuat baik, berulangkali disebutkan dalam Qur’an Suci untuk menggambarkan orang mukmin sejati). Oleh sebab itu, Allah disebut Al-Mu’min (59:23), artinya, Yang menganugrahkan ketentraman, sedangkan orang yang beriman disebut al-mu’min, artinya, orang yang masuk dalam keadaan tentram atau damai, karena ia telah menerima ajaran Qur’an yang
126
ISLAMOLOGI
mendatangkan perasaan tentram di hati, dan perasaan aman dari rasa takut. Oleh karena ajaran Qur’an itu mula-mula diterima, lalu dipraktekkan, maka rukun iman itu disebut pokok, sedang aturanaturan yang harus dilaksanakan dalam praktek disebut cabang, karena cabang itu tumbuh dari pokok sebagaimana amal itu tumbuh dari iman. Jika kita ingin mengerti arti Islam yang sebenarnya, kita harus selalu ingat akan hubungan antara iman dan amal. Kata iman dalam al-Qur’an Dalam Qur’an Suci, kata iman digunakan dalam dua arti yang berlainan. Menurut Imam Raghib, ahli kamus al-Qur’an yang termasyhur, kata iman itu artinya kadang-kadang tak lebih dari sekedar pengakuan di bibir beriman kepada Muhammad. Penggunaan kata iman seperti itu banyak sekali contohnya di dalam Qur’an. Misalnya, dalam 2:62 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang beriman (amanuu), dan orang Yahudi dan orang Nasrani, dan orangorang Shabi’i, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat baik, mereka akan memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka, dan tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan mereka tak akan merasa susah”. Selanjutnya dalam 4:136 dikatakan: “Wahai orang-orang yang beriman (amanuu), berimanlah kepada Allah dan Utusan-Nya, dan kepada Kitab yang Ia wahyukan kepada UtusanNya”. Tetapi lebih lajut Imam Raghib berkata, bahwa iman itu berarti pula tashdiqun bilqalbi wa ‘amalun bil-jawarih, artinya, pengakuan dengan bibir itu harus diiringi dengan pembenaran di hati dan melakukan apa yang diimaninya itu dengan anggota badan. Dalam ayat 57:19 diuraikan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Utusan-Nya, mereka adalah orang tulus dan setia kepada Tuhan mereka”. Tetapi kata iman digunakan pula dalam salah satu arti yang disebutkan belakangan, yakni pembenaran di hati dan berbuat baik. Contoh tentang ini adalah: “Para penduduk padang pasir berkata: Kami beriman. Katakanlah: Kamu tidaklah beriman, tetapi berkatalah: kami tunduk, dan iman belum masuk ke dalam hati kamu” (19:14). Dalam ayat ini, kata iman benar-benar berarti pem-benaran di hati,
IMAN
127
sebagaimana dijelaskan oleh ayat itu sendiri. Contoh lain lagi: “Dan apa sebab kamu tidak beriman kepada Allah? Dan Utusan mengajak kamu supaya beriman kepada Tuhan kamu, dan Ia sungguh-sungguh menerima perjanjian kamu jika kamu beriman” (57:8). Di sini beriman kepada Allah berarti berkorban dalam mem-bela kebenaran, sebagaimana hubungan kalimat itu dengan kalimat di muka dan di belakangnya. Jadi terang kata iman yang digunakan dalam Qur’an Suci bisa berarti pengakuan tentang kebenaran di lisan saja, atau pembenaran di hati dan meyakini sedalam-dalamnya tentang kebenaran yang dibawa oleh Nabi Suci, atau berbuat baik kemudian mempraktekkan ajaran-ajaran yang diterima, atau meng-gabungkan tiga unsur tersebut. Tetapi pada umumnya, kata iman hanyalah digunakan dalam arti pembenaran di hati disertai dengan pernyataan lisan terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Suci dari Allah, tanpa mengikutsertakan perbuatan baik. Itulah sebabnya mengapa dalam Qur’an Suci, orang-orang tulus disebut orang yang yang ber-iman dan berbuat baik, sebagaimana kami terangkan di atas. Kata iman dalam Hadits Dalam Hadits, kata iman acapkali digunakan dalam arti yang lebih luas lagi, yakni mencakup perbuatan baik, dan kadang-kadang hanya berarti perbuatan baik saja. Diriwayatkan bahwa Nabi Suci bersabda: “Iman mempunyai cabang enampuluh lebih, dan rendah hati (haya) salah satu dari cabang iman” (Bu. 2:3). Dalam Hadits lain dikatakan: “Iman mempunyai cabang tujuhpuluh lebih, (iman) yang paling tinggi ialah yang menyatakan Tiada Tuhan selain Allah (laa ilaaha illallah), dan yang paling rendah ialah menyingkirkan sesuatu yang dapat mendatangkan bencana dari jalan umum” (M. 1:12). Menurut suatu Hadits lagi: “Mencintai sahabat Anshar1 pertanda dari iman” (Bu. 2:10). Menurut Hadits lain lagi: “Salah seorang di antara kamu tiada beriman kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri” (Bu. 2:7). Dan Hadits yang ketiga berbunyi: 1. Penduduk Madinah yang memberi pertolongan kepada Nabi Suci pada waktu beliau hijrah ke Madinah, disebut Anshar, jamaknya kata nashr, artinya penolong.
128
ISLAMOLOGI
“Salah seorang di antara kamu tiada beriman, kecuali jika ia lebih besar cintanya kepadaku daripada cintanya kepada ayahnya, anaknya, dan sekalian manusia” (Bu. 2:8). Jadi, kata iman itu diterapkan terhadap segala perbuatan baik. Salah satu bab dalam Kitab al-Iman (Kitab 2), Imam Bukhari memberi judul “Orang yang berkata: Iman itu tiada lain hanyalah berbuat baik”. Untuk menguatkan apa yang beliau kutip dari Qur’an Suci, beliau menggunakan dalil Qur’an yang menerangkan bahwa iman itu bisa bertambah,2 karena perbuatan baik itu sebagian daripada iman, karena jika tidak, maka tak dapat disebut iman. Kufr atau kafir Sebagaimana iman itu berarti menerima segala kebenaran yang dibawa oleh Nabi Suci, maka kufur berarti menolak kebenaran; dan sebagaimana mempraktekkan kebenaran atau berbuat baik itu disebut iman atau sebagian dari iman, maka demikianlah menolak kebenaran atau berbuat jahat disebut kufur atau sebagian dari kufur. Judul salah satu bab dalam Kitab Bukhari berbunyi sbb.: “Ma’asyi (perbuatan maksiyat) adalah sebagian dari perkara jahiliyah” (Bu. 2:22). Nah, kata jahiliyah, (makna aslinya kebodohan), menurut istilah Islam berarti “zaman jahiliyah” sebelum datang Nabi Suci. Jadi, jahiliyah itu sinonim dengan kufur atau kafir. Untuk memperkuat keterangan ini, ada satu Hadits yang meriwaytkan perihal Abu Dharr, bahwa beliau pernah memaki-maki budaknya dengan mengatakan, dia budak Negro perempuan; lalu beliau diberi peringatan oleh Nabi Suci: “Wahai Abu Dharr! Apakah engkau memaki-maki dia karena ibu-nya? Sesungguhnya engkau orang yang dalam batinmu terdapat jahiliyah” (Bu. 2:22). Jadi perbuatan memaki-maki orang karena keturunan Negro, ini disebut jahiliyah atau kufur. Menurut Hadits lain, Nabi Suci diriwayatkan memberi peringatan kepada para sahabat: “Ingat! Nanti sepeninggalku, janganlah kamu menjadi kafir (kuffar, jamaknya kata 2. “Dia ialah Yang menurunkan ketentraman dalam hati kaum Mukmin, agar mereka menambah iman mereka” (48:4). “Dan orang-orang beriman hendaklah menambah iman mereka” (74:31). “Tetapi ini menambah iman mereka” (3:172).
IMAN
129
kafir), sehingga sebagian kamu memenggal leher sebagian yang lain” (Bu. 25:132). Di sini perbuatan menyem-belih orang Islam oleh orang Islam lainnya dikutuk sebagai perbuatan kufur. Hadits lain lagi berbunyi: “Memaki-maki orang Islam itu durhaka (fasiq), dan membunuh orang Islam itu kufur” (Bu. 2:36). Sekalipun dalam Hadits itu dinyatakan bahwa peperangan antara kaum Muslimin disebut kufur, dan kaum Muslimin yang saling bertempur itu disebut kafir, namun Qur’an menyebut dua golongan kaum Muslimin yang saling bertempur itu orang yang beriman (mu’min) (49:9).3 Jadi terang sekali bahwa perbuatan tersebut disebut kufur karena perbuatan itu fasiq (durhaka). Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu ‘Atsir dalam kitab Nihayah, yaitu Kamus Hadits yang paling terkenal. Beliau menulis di bawah kata kufr sbb: “Kufr atau kafir itu dua macam: pertama, mendustakan iman, yang ini lawan dari iman; dan kedua, mendustakan far’ (cabang dari furu’il-Islam), dalam hal ini, orang tidaklah keluar dari iman hanya karena ia mendustakan far’.” Sebagaimana telah kami terangkan, furu’il-Islam ialah peraturanperaturan Islam, dengan demikian perbuatan mendustai atau menolak peraturan Islam, walaupun ini disebut kufur, tetapi bukanlah kufur dalam arti yang sesungguhnya, yaitu menolak Islam. Untuk menjelaskan persoalan ini, beliau menguraikan satu peristiwa: “Kepada Imam Azhari ditanyakan, apakah seseorang (Muslim) dapat menjadi kafir hanya karena ia menganut suatu paham. Beliau menjawab bahwa paham semacam itu kufur; dan tatkala beliau didesak, beliau menjawab: “Orang Islam kadang-kadang ber-salah karena kekafiran”. Jadi terang sekali bahwa orang Islam tetap Islam sekalipun ia bersalah karena melakukan perbuatan kufur. Orang Islam tak boleh disebut kafir
3. “Dan apabila dua golongan dari kaum mukmin saling bertempur, maka usahakanlah dirukunkan di antara mereka. Lalu apabila salah satu di antara mereka ber-buat curang terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang curang itu, sampai ia kembali kepada perintah Allah”. (49:9).
130
ISLAMOLOGI
Bagian terakhir dari paragraf tersebut menjelaskan, bahwa orang Islam tak layak disebut kafir. Setiap perbuatan jahat atau perbuatan maksiyat adalah perbuatan kufur. Dalam hal ini, orang Islam pun dapat saja melakukan perbuatan kufur. Demikian pula sebaliknya, yaitu setiap perbuatan baik adalah perbuatan iman; dengan demikian, orang kafir pun dapat saja melakukan perbuatan iman. Tak ada sesuatu yang aneh dalam keterangan itu. Adapun garis pemisah antara orang Islam dan orang kafir, atau antara orang mukmin dan orang kafir ialah Kalimah Syahadah, yakni suatu pernyataan bahwa “tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Utusan Allah – La ilaha illallah, Muhammadur-Rasulallah. Seseorang menjadi Muslim atau Mukmin dengan mengucapkan kalimat syahadat tadi, yakni kalimat Tauhid dan syahadat Rasul, dan selama ia tak melepaskan imannya kepada itu, ia tetap Muslim atau Mukmin, tak peduli apa pun pendapatnya terhadap agama, atau perbuatan buruk apa pun yang ia lakukan; dan orang yang tak meng-ucapkan kalimat syahadat ia tetap non-Muslim atau orang kafir, tak peduli perbuatan baik apa pun yang ia lakukan. Ini bukan berarti setiap perbuatan buruk yang dilakukan orang Islam tidak mendapat hukuman, atau perbuatan baik kaum nonMuslim tak mendapat ganjaran. Undang-undang pembalasan perbuatan baik ataupun buruk adalah undang-undang tersendiri, yang tetap bekerja, tak memandang kepercayaan apa ataupun agama apa yang dia anut, dan tentang ini Qur’an Suci menjelaskan dengan katakata yang terang: “Barang-siapa berbuat baik seberat atom, ia akan melihat itu; dan barang-siapa berbuat buruk seberat atom, ia akan melihat itu” (99:7-8). Orang Mukmin dapat saja berbuat buruk, dan orang kafir dapat saja berbuat baik, dan masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan. Akan tetapi orang tak berhak mengeluarkan seseorang dari persaudaraan Islam selama ia mengucapkan Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Hal ini dijelas-kan seterang-terangnya oleh Qur’an Suci dan Hadits. Qur’an Suci berfirman: “Janganlah kamu berkata kepada orang yang mengucap-kan salam kepada kamu: Engkau bukanlah orang mukmin (9:94). Salam orang Islam Assalamu ‘alaikum, artinya Semoga damai atas kamu, ini dianggap cukup untuk
IMAN
131
membuktikan bahwa orang yang mengucapkan salam adalah orang Islam, dan orang tak berhak ber-kata kepadanya bahwa ia bukan orang mukmin, sekalipun mungkin orang itu tak jujur. Qur’an Suci menyebut dua golongan kaum Mukmin yang saling bertempur sebagai mu’min: Dan jika dua golongan di antara kaum mu’min saling bertempur, maka usahakan-lah kerukunan di antara mereka (49:9). Selanjutnya Qur’an ber-firman: “Kaum Mukmin itu tiada lain kecuali bersaudara, maka usahakanlah kerukunan di antara saudara kamu” (49:10). Orang yang sudah ketahuan munafik pun diperlakukan oleh Nabi Suci dan para sahabat sebagai orang Islam sekalipun mereka menolak menyertai kaum Muslimin dalam pertempuran untuk membela diri. Diriwayatkan dalam Hadits, bahwa pada waktu pimpinan kaum munafik yang terkenal licik, yakni Abdullah bin Ubayy, mati, Nabi Suci bersabda: “Barangsiapa menjalankan shalat seperti kita, dan menghadap kiblat kita, dan makan daging binatang yang kita sembelih, ia orang Islam yang menikmati perjanjian Allah dan RasulNya, maka janganlah kamu melanggar perjanjian itu” (Bu. 8:28). Hadits lain lagi mengatakan: “Tiga hal yang menjadi landasan iman ialah (1) menjauhkan sesuatu dari orang yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, janganlah kamu menyebut dia kafir karena suatu perbuatan dosa, atau mengeluarkan dia dari Islam karena melakukan perbuatan ...” (AD. 15:33). Menurut Hadits ketiga yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, Nabi Suci bersabda: “Barangsiapa menyebut kafir kepada orang ahli la ilaha illallah, maka ia sendiri lebih dekat kepada kekufuran” (Tb). Adapun yang dimaksud orang ahli la ilaha illallah ialah kaum Muslimin. Sudah jelas bahwa barangsiapa mengucapkan dua Kalimat Syahadat, bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, ia Muslim, maka dari itu, menyebut dia kafir, ini dosa besar. Jadi terang sekali bahwa untuk menjadi anggota persaudaraan Islam, orang tak perlu diuji oleh ulama besar yang mahir dalam ilmu kalam, misalnya, tapi cukup hanya diuji oleh orang awam saja ataupun oleh orang buta hurup yang hanya dapat memberi penilaian lahiriah saja yang merasa puas menerima salam secara Islam, yang tak banyak komentar jika melihat orang menghadapkan
132
ISLAMOLOGI
wajahnya ke arah Kiblat, yang baginya Islam itu hanyalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Suatu ajaran yang jelas dan terang benderang yang diajarkan dalam Qur’an dan Hadits, tak memerlukan bantuan apa pun dari ulama Islam yang besar-besar. Sekalipun di belakang hari timbul banyak perpecahan dan banyak keruwetan yang dimasukkan oleh ulama zaman kemudian dalam agama Islam yang sederhana, namun ajaran tersebut tetap dipegang teguh oleh semua penulis Islam. Penulis kitab Mawaqih menyimpulkan pendapat para ulama sebagai berikut: “Kebanyakan ulama dan fuqaha sepakat, bahwa kaum ahli kiblat (orang yang mengaku Ka’bah sebagai kiblatnya), tak boleh disebut kafir” (Mf. hal. 600). Imam Abul-Hasan Asy’ari yang ter-masyhur, menulis dalam permulaan kitab beliau Maqalatul-Islamiyyin wa ikhtilafatul-mushalli (Ucapan kaum Muslimin dan perbedaan orang bershalat): “Setelah Nabi Suci wafat, timbullah perpecahan di kalangan kaum Muslimin tentang banyak hal, sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dlall (menyimpang dari jalan benar), dan sebagian lagi menjauhkan diri dari sebagian yang lain, sehingga mereka menjadi golongan (firqah) yang terpisah satu sama lain, dan menjadi golongan yang berserakan, namun demikian Islam menghimpun mereka dan melingkupi mereka dalam suasana Islam” (MI. hal. 1-2).4 Diriwayatkan bahwa Thahawi berkata: “Tiada hal yang 4. Imam Asy’ari menguraikan prinsip ini sebagai kata pendahuluan pembahasan beliau mengenai golongan (firqah) dalam Islam, lalu diteruskan dengan pembicaraan tentang pecahnya kaum Mujslimin menjadi golongan Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan sebagainya. Dilanjutkan lagi dengan pembahasan pecahnya golongan besar menjadi golongan kecil, misalnya golongan Syi’ah pecah menjadi golongan Gahliyah (Ekstrimis), dan golongan ini pecah lagi menjadi limabelas golongan. Golongan Rafidlah pecah lagi menjadi duapuluh empat, dan Zaidiyah pecah lagi menjadi enam cabang. Golongan Khawarij pecah menjadi limabelas, dan demikian pula mengenai golongan yang lain. Semua golongan besar dan kecil ini oleh Imam Asy’ari disebut kaum Muslimin, bahkan golongan Ghaliyah pun tak dikeluarkan dari Islam sekalipun sebagian besar mereka percaya bahwa pimpinannya Nabi, dan menghalalkan barang yang terang-terangan diharamkan oleh al-Qur’an. Misalnya golongan Bayaniyah, mereka percaya bahwa pendirinya, yakni Imam Bayan, seorang Nabi. Para pengikut Abdullah bin Mu’awiyah percaya bahwa beliau itu Tuhan dan Nabi. Demikian pula mengenai golongan lainnya. Namun demikian, mereka tetap
IMAN
133
dapat mengeluarkan seseorang dari iman, kecuali ia mengingkari apa yang membuat dia masuk dalam iman itu” (Rd. III, hal. 310). Imam Ahmad bin Mustafa juga berkata, bahwa hanya orang sinting sajalah yang menyebut orang lain: kafir, karena para Imam yang dapat dipercaya dari madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali dan Asy’ari, semuanya berpendapat bahwa kaum ahli kiblat tak dapat disebut kafir” (MD. I, hal. 46). Sebenarnya, yang mula-mula men-datangkan perpecahan di kalangan umat Islam dengan menyebut-nyebut kafir kepada sesama saudara Muslim ialah kaum Khawarij, penyebabnya karena orang lain tak mau menyetujui pendapat kaum Khawarij tersebut. Iman dan Islam Hal ihwal tentang arti kata iman dan Islam telah kami terangkan. Kata iman makna aslinya keyakinan hati, sedang kata Islam makna aslinya tunduk, maka dari itu, Islam terutama sekali bertalian dengan perbuatan. Perbedaan makna asli ini diuraikan seterang-terangnya dalam Qur’an dan Hadits, walaupun dalam penggunaan sehari-hari, dua-duanya mengandung arti yang sama, dan kata mukmin dan muslim acapkali digunakan dalam Qur’an dan Hadits silih berganti. Contoh penggunaan kata iman dan islam dalam Qur’an Suci diuraikan dalam 49:14: “Para penduduk padang pasir berkata: Kami beriman (amanna dari kata iman); katakanlah: Kamu tidaklah beriman, tetapi katakanlah: kami tunduk (aslama dari kata islam); dan iman belum masuk ke dalam hati kamu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Utusan-Nya, Dia tak akan mengurangi amal kamu sedikit pun, karena Allah itu Yang Maha-pengampun, Yang Mahapengasih”.5 Sudah tentu ini tidaklah berarti mereka tak beriman disebut Muslim karena mereka tetap beriman kepada Nabi Muhammad dan Qur’an Suci sebagai wahyu Ilahi, dan mereka tetap mengikuti syari’at Islam. Para pengikut madzhab Asy’ari zaman sekarang yang menyebut kafir kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan kecil, hendaklah mengambil pelajaran ini. 5. Kadang-kadang penggunaan kata iman dan islam dalam Hadits menunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan, sekalipun penggunaan itu biasanya dicampurbaurkan. Dalam Kitabul-Iman, Imam Bukhari meriwayatkan satu Hadits dari Abu
134
ISLAMOLOGI
kepada Nabi Muhammad. Adapun yang dimaksud iman masuk ke dalam hati, ini dijelaskan dalam ayat berikutnya: “Adapun orang mukmin ialah orang yang beriman kepada Allah dan Utusan-Nya, lalu mereka tak ragu-ragu, dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Mereka itulah orang tulus” (49:15). Sebenarnya kata Iman dan Islam itu digunakan dalam arti dua tingkat perkembangan rohani manusia yang berlainan. Orang disebut beriman (amana) apabila ia mengikrarkan imannya kepada Allah Yang Mahaesa dan kepada Nabi Muhammad, yang ini sebenarnya adalah iman tingkat permulaan, karena dengan meng-ikrarkan iman itu, orang mulai bergerak; dan orang disebut telah beriman (amana) apabila ia mempraktekkan dengan sekuat tenaga iman yang ia ikrarkan. Contoh tentang dua macam iman ini telah kami berikan. Yang pertama tersebut dalam 2:62 dan 4:136, adapun contoh yang kedua tersebut dalam 49:15 yang baru saja kami kutip di atas. Adapun perbedaan antara dua macam iman itu ialah, iman pada tingkat permulaan hanyalah baru pengakuan di lisan saja, yakni mengucapkan dua Kalimat Syahadat, sedang tingkat kedua, iman itu diHurairah yang berbunyi:” Pada suatu hari Rasulallah saw sedang duduk di luar bersama para sahabat, tatkala itu datanglah seorang laki-laki kepada Nabi Suci dan bertanya: “Apakah iman itu? Beliau menjawab: Iman ialah engkau beriman kepada Allah dan malaikat-Nya, dan kepada pertemuan dengan Dia, dan kepada para UtusanNya, dan beriman kepada Hari Kebangkitan. Ia bertanya lagi: Apakah Islam itu? Beliau menjawab: “Islam ialah engkau mengabdi kepada Allah dan tak menyekutukan sesuatu dengan Dia, dan menegakkan shalat, dan membayar zakat, dan berpuasa pada bulan Ramadlan” (Bu. 2:37). Hadits lain lagi diriwayatkan dalam Kitab Bukhari menerangkan bahwa tatkala seorang sahabat berbicara berkali-kali tentang seseorang bahwa menurut pendapatnya, ia adalah mukmin. Nabi Suci ber-kali-kali bersabda bahwa bukanlah mukmin melainkan muslim (Bu. 2:19). Jadi ini berarti bahwa orang hanya menilai orang lain dari lahirnya saja. Tetapi dalam permulaan Kitab Bukhari ada satu Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar menerangkan bahwa Islam mencakup pula iman: “Islam bersendi atas lima asas, yaitu mengikrarkan kesaksian (syahadat) yakni tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad itu Utusan Allah, dan menegakkan shalat dan membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada bulan Ramadlan” (Bu. 2:1). Kata yang digunakan di sini bukanlah iman melainkan syahadat (mengikrarkan kesaksian), dan dalam hal ini, walaupun syahadat menuntut pula iman akan benarnya yang diikrar-kan, namun ini tetap merupakan perbuatan lahir.
IMAN
135
tingkatkan dan disempurnakan, dan ini berarti iman tingkat terakhir, yaitu iman yang telah masuk ke dalam kalbu dan menghasilkan perubahan penting dalam dirinya. Demikian pula dalam penggunaan kata islam. Dalam tingkat permulaan, Islam hanyalah berarti kesediaan orang untuk tunduk, sebagaimana diuraikan dalam 49:14; sedang dalam tingkat terakhir, Islam berarti berserah diri sepenuhnya, seperti diuraikan dalam 2:112 yang berbunyi: “Ya barangsiapa berserah diri (aslama) sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat baik (kepada orang lain), ia memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka, dan tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan mereka tak akan susah”. Jadi, baik iman maupun Islam, dua-duanya sama dalam tingkat permulaan dan tingkat terakhir, yakni, dari tingkat ikrar lalu berkembang ke tingkat penyempurnaan, yang sudah tentu melalui berbagai tingkat. Dua-duanya mempunyai titik permulaan dan tujuan akhir; orang yang berbeda pada titik permulaan atau atau orang baru, dan orang yang telah mencapai tujuan, walaupun terdapat perbedaan yang amat besar, namun dua-duanya disebut mukmin atau muslim, demikian pula orang yang berada di tengah perjalanan antara titik permulaan dan tujuan terakhir, juga disebut Mukmin atau Muslim. Dalam Islam tak ada dogma Uraian tersebut membawa kita kepada kesimpulan, bahwa dalam Islam tak ada dogma, yaitu ajaran yang dianggap dapat menyelamatkan manusia hanya dengan percaya saja. Menurut ajaran Islam, iman bukanlah suatu keyakinan semata akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan iman itu sebenarnya, menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Qur’an Suci dengan tegas memegang teguh pengertian ini, karena menurut Qur’an Suci, walaupun setan dan malaikat sama-sama adanya, namun beriman kepada malaikat acapkali disebut sebagai dari rukun iman, sedang terhadap setan, orang diharuskan mengafirinya. Qur’an berfirman: “Oleh karena itu, barangsiapa mengafiri setan dan beriman kepda Allah, ia sungguh-sungguh berpegang pada pegangan
136
ISLAMOLOGI
yang kuat” (2:256). Kata-kata yang digunakan di sini untuk menerangkan iman kepada Allah dan mengafiri setan ialah yu’minu dan yakfuru, atau iman dan kafir. Jika kata iman hanya berarti percaya kepada adanya sesuatu, dan kata kafir berarti tak percaya kepada adanya sesuatu, maka kata: mengafiri setan tidaklah diajarkan dengan kata-kata beriman kepada Allah. Allah ada; malaikat ada; setan juga ada; tetapi mengapa kita harus beriman kepada Allah dan malaikatNya, sedang kepada setan kita harus mengafirinya, ini disebabkan karena menurut ajaran Islam, malaikat adalah makhluk yang mendorong manusia ke arah perbuatan baik, sedang setan makhluk yang mendorong manusia ke arah perbuatan jahat. Maka dari itu, beriman kepada malaikat, artinya, berbuat sesuai dengan dorongan malaikat yang mendorong ke arah perbuatan baik; dan mengafiri setan, artinya, menolak mengikuti dorongan setan yang mendorong manusia ke arah perbuatan jahat. Oleh sebab itu, arti iman ialah menerima prinsip sebagai landasan bagi perbuatan, dan semua ajaran Islam cocok dengan gambaran ini. Tak ada dogma, tak ada rahasia, tak ada kepercayaan yang tak memerlukan perbuatan. Setiap rukun iman adalah ajaran yang harus diwujudkan dalam perbuatan guna mencapai puncak perkembangan manusia. Rukun Iman Secara singkat, seluruh ajaran agama Islam dapat disimpulkan dalam dua kalimat pendek, yaitu: laa ilaaha illallah, MuhammadurRasulullah, artinya, Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Utusan Allah. Hanya dengan mengikrarkan kesaksian (syahadat) akan benarnya dua ajaran yang sederhana itu, orang telah masuk dalam barisan Islam. Dua komponen rukun Islam yang sederhana ini, tak pernah dimuat bersama-sama dalam Qur’an Suci, seperti lazim-nya kalimah syahadat. Namun bagian pertama Kalamah Syahadat ini merupakan tema Qur’an yang tetap; beriman kepada Allah Yang Maha-esa, yang sebenarnya memang tak ada Tuhan selain Allah, ini berulangkali disebut sebagai ajaran pokok, bukan saja bagi agama Islam, melainkan pula bagi tiap-tiap agama yang diwahyukan oleh
IMAN
137
Allah. Bentuk ayatnya bermacam-macam: “Adakah mereka mempunyai Tuhan disamping Allah?”. “Tak ada Tuhan selain Allah”; “Tak ada Tuhan selain Dia”; “Tak ada Tuhan selain Engkau”. “Tak ada Tuhan selain Aku”. Kalimat Syahadat bagian kedua: Muhammad Rasulullah adalah sendi terutusnya Nabi Muhammad, yang ini juga merupakan tema Qur’an Suci yang tetap; kalimah ini termuat dalam 48:29. Hadits pun mengajarkan, bahwa syarat utama untuk memeluk Islam ialah mengucapkan dua kalimah syahadat (Bu. 2:40). Menurut istilah ulama fiqih zaman belakangan, apa yang diuraikan di atas disebut iman mujmal, atau uraian iman singkat; adapun iman yang terurai, yang menurut ulama ahli fiqih disebut iman mufasshal, ini diterangkan dalam permulaan Qur’an Suci sebagai: “beriman kepada Yang Maha-gaib (yakni Allah), beriman kepada apa yang diwahyukan kepada para Nabi sebelumnya, dan beriman kepada Akhirat (2:2-4). Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah itu juga diuraikan seterang-terangnya tentang lima ajaran iman: “Agar orang beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, dan Malaikat, dan Kitab dan para Nabi” (2:177). Berulang kali Qur’an Suci menjelaskan bahwa hanya kepada lima ini sajalah orang harus beriman. Dalam Hadits terdapat sedikit perbedaan. Misalnya dalam Bukhari, diuraikan: “Agar engkau beriman kepada Allah, dan kepada Malaikat-Nya, dan kepada pertemuan dengan Dia, dan kepada Utusan-Nya, dan agar engkau beriman kepada Hari Kebangkitan” (Bu. 2:37). Terang sekali bahwa beriman kepada pertemuan dengan Allah, diuraikan dalam Hadits itu, padahal itu sudah tercakup dalam iman kepada Allah tersebut dalam ayat yang kami kutip di atas; banyak lagi yang disebutkan secara khusus dalam Hadits yang ber-beda dengan Qur’an Suci; lihatlah 13:2 dan sebagainya. Selanjutnya, dalam Hadits, kata Kitab tak disebutkan tersendiri, dan ini tercakup dalam kata “para Nabi”. Jadi menurut Qur’an Suci dan Hadits, rukun iman itu lima, yaitu beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Nabi-Nya, Kitab Suci-Nya dan kepada Akhirat. Tetapi dalam sebagian Hadits ditambahkan kata-kata: “Agar engkau beriman kepada Qadar (makna aslinya ukuran). Sebenarnya, Qadar itu diterangkan dalam Qur’an sebagai undang-undang Allah, bukan sebagai rukun iman; dan segala
138
ISLAMOLOGI
undang-undang Allah itu diterima oleh orang Islam sebagai Kebenaran. Arti Iman Sebagaimana telah kami terangkan, semua rukun iman itu sebenarnya landasan bagi perbuatan. Allah adalah Yang mempunyai segala sifat kesempurnaan. Jika orang diharuskan beriman kepada Allah, itu sebenarnya orang diharuskan memiliki sifat-sifat akhlak yang tinggi, yang tujuannya untuk mencapai Sifat Ilahi. Orang harus menempatkan idamannya sebagai suatu cita-cita yang amat luhur dan yang amat suci yang terlintas dalam batin seseorang; dan ia harus menyesuaikan tingkah-lakunya dengan cita-cita itu. Adapun iman kepada malaikat, ialah agar orang menuruti bisikan baik yang menjadi pembawaan orang, karena malaikat itulah yang menggerakkan bisikan baik itu. Adapun arti iman kepada Kitab Suci, ialah agar kita mengikuti petunjuk yang termuat di dalamnya guna mengembangkan daya batin kita. Beriman kepada para Utusan, artinya, agar kita mencontoh suri-tauladan yang diberikan oleh mereka, dan rela mengorbankan hidup kita untuk kepentingan sesama manusia seperti yang dilakukan oleh mereka. Beriman kepada Akhirat mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan materiil atau kemajuan fisik bukanlah tujuan hidup kita. Adapun tujuan hidup yang sebenarnya ialah hidup abadi yang amat luhur yang dimulai sejak Hari Kebangkitan. ____________