Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Humor Kekerasan Film Anak-Anak Televisi Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Pola Pikir Anak-Anak
Endah Agustiani*
[email protected]
Abstract The reseach on humor violence in film of children in Indonesia television which is related to establishment mindset and to understand the reality of the viewers represent an efforts to understand the correlation between television and the viewers, in case how if the viewers watch intensively the television that can affect their mindset and children ability in understanding reality. Sensuality and violence becomes an important element in humor, especially in the children film and it is not apart from them. Nowadays, the impression of humor violence, and humor as the main package to present the violence so everyone can enjoy it, as if it a legal thing. The understanding of reality through language games is correlated with natural processes of the application of language since children, in its development is an empiric phenomenon. But unfortunately, what is perceived in children films, it can’t represent the entire reality, because it has obscured the causal impact significantly. Key Words: Tayangan anak, Humor dan Kekerasan, pembentukan pola pikir
*
Peneliti pada Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Page | 7
Pendahuluan
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Kekerasan adalah hal yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik itu acara lokal maupun import. Baik itu dalam beritaberita yang ditayangkan dengan tujuan agar masyarakat luas dapat menerima informasi tentang apa yang terjadi di luar wilayah dan pengetahuan mereka, maupun dalam tayangan-tayangan hiburan yang dibuat seperti sinetron, movie, sinema, acara sitkom, bahkan masuk dalam tayangan-tayangan dalam program anak. Kekerasan telah menjadi fenomena umum, mulai dari kasuskasus kriminal yang disajikan dalam tiap tayangan program berita sampai masuk dalam ranah humor sebagai tontonan hiburan untuk masyarakat Semua pemberitaan itu telah menjadi santapan sehari-hari saat menonton televisi, bahkan penonton bisa tertawa karena kekerasan telah dibalut oleh kekonyolan-kekonyolan para pemain di acara televisi, mulai dari perkataan sampai tindakan dan semua itu dianggap lumrah. Kekerasan tidak hanya berwujud pada tindakan secara fisik namun juga berupa psikis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal menarik yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana sesuatu yang jelas-jelas merupakan perilaku kekerasan dijadikan sebagai bahan humor, dengan dibalut kekonyolan dari karakter utama tokoh dalam tayangan anak-anak tersebut. Beberapa contoh film anak-anak televisi Indonesia yang sangat jelas memiliki gambaran perilaku kekerasan sampai pada saat ini masih banyak ditayangkan, hal ini dapat dilihat pada film Bernard Bear (dengan
tokoh utama beruang kutub, dan ada juga teman-temanya yaitu kadal, dan pinguin) dan Tom and Jerry (Tom adalah kucing rumah dan Jerry adalah tikus), dan bentuk mainan seperti dalam film Viccky and Johnny (merupakan aksesori per), Monk (anjing kecil), Spongebob Squarepant (hewan-hewan dari laut), Woody Woodpecker (dengan tokoh utama burung pelatuk), dan filmfilm keluaran Disney Land dan Looney Tunes dengan tokoh-tokoh berbentuk hewan juga. Beberapa film tersebut mengambil karakter lucu-lucu dan tampilan menarik seperti hewan dan mainan. Penampilan yang menarik secara visual ini merupakan langkah awal memasuki dan mendekati dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan lugu. Jam tayangnya pun merupakan jam tayang untuk anak-anak. Meskipun berlabel BO (Bimbingan Orangtua) dan A (Anak-anak), namun terkesan jauh dari sifat mendidik, apalagi bila acara tersebut ditonton tanpa didampingi oleh orangtua atau orang yang lebih dewasa untuk bisa membantu anak mencerna pesan dari tayangan-tayangan tersebut. Setiap anak meski memiliki umur yang rata-rata sama tetapi sangat mungkin memiliki kesiapan yang berbeda dalam menerima dan mengembangkan bakat yang ada di dalam dirinya. Hal yang dikhawatirkan adalah keluguan dari anak-anak yang hanya akan menyerap semua hal secara apa adanya, tanpa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Selanjutnya apa yang nampak akan menjadi pemahaman bagi mereka tentang apa itu realitas, dan membentuk pola pikir sesuai dengan Page | 8
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
karakter-karakter yang dimainkan di dalam tayangan-tayangan tersebut. Hal menarik lainnya adalah bahwa beberapa film tersebut, merupakan film tanpa text maupun dialog dengan menggunakan bahasa verbal atau dikenal dengan istilah non dialog slapstick seperti dalam film Bernard Bear, Tom and Jerry (walaupun ada juga beberapa episodenya yang memiliki dialog, tapi hampir sebagian besar tanpa dialog bahasa verbal), film Vicky and Johnny, dan Monk. Sedangkan film-film lainnya masih menggunakan dialog bahasa verbal yang sudah di dubing dengan bahasa tempat dimana film itu ditayangkan, namun ada juga yang masih menggunakan text asli dan menggunakan penerjemahan dalam film tersebut ketika diputar.
memuat unsur kekerasan di dalam program acara anak-anak di pertelevisian Indonesia berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir penonton (dalam hal ini anak-anak). Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan pemahaman yang komprehensif tentang konsep humor kekerasan film anak-anak di televisi Indonesia dan keterkaitannya terhadap pembentukan pola pikir dan pemahaman realitas penonton anakanak. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah membuka wacana dan pemikiran masyarakat untuk lebih peka terhadap efek kemajuan teknologi terhadap generasi muda,juga agar lebih mampu menguatkan pembentukan karakter generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Semua film tersebut merupakan film import dan bukanlah sesuatu yang baru lagi, namun masih bisa bertahan untuk tetap tayang sampai saat ini. Pentingnya penelitian ini mengacu pada bagaimana pada akhirnya apa yang ditayangkan di televisi terhadap proses pembentukan pola pikir penonton dalam hal ini adalah anak-anak. Pembentukan pola pikir terkait erat dengan proses pembentukan karakter atau kepribadian anak. Apa yang menjadi pola pemahaman akan berpengaruh sangat besar pada tindakan yang diambil. Oleh karena itu, penelitian ini penting dalam tahap menguraikan pesan dan visi yang terdapat dalam setiap film anak-anak dan pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan pemahaman atas realitas. Masalah yang kemudian akan dibahas dalam artikel ini adalah terkait bagaimana tayangan-tayangan yang
Apa Itu Humor Kekerasan? Humor dan kekerasan, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan secara harfiah keduanya memiliki makna yang saling bertolak belakang. Humor seringkali dikaitkan sebagai halhal yang memicu dan memancing tawa dan juga sebagai hiburan, sedangkan kekerasan diidentikan dengan perbuatan yang memaksa, mendesak, dan juga sebagai sebuah bentuk dari konflik, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pendapat Suseno. Dalam sebuah artikel di Kompas yang berjudul “5 Mitos Dalam Pengasuhan Anak”, dikatakan bahwa: “Film-film kartun yang disiarkan di televisi pasti baik untuk usia mereka. Film kartun memang kesannya kekanak-kanakan, tetapi belum Page | 9
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
tentu baik untuk mereka. Anda mungkin akan mengira bahwa film yang menunjukkan sikap saling berbagi dan menyayangi tidak akan membuat mereka menjadi agresif, dibandingkan bila mereka menonton film-film penuh kekerasan. Namun, anak-anak yang masih sangat kecil seringkali belum mampu menangkap pelajaran yang ingin disampaikan pada bagian akhir film. Dengan demikian, semua konflik yang menunjukkan perilaku buruk tidak ditanggapi anak sebagai sesuatu yang harus diubah, melainkan justru sebagai instruksi mengenai bagaimana harus berperilaku.” (http://female.kompas.com/read/20 11/02/02/1439353/5.mitos.tentang. pengasuhan.anak, unduh tanggal 9 Februari 2011) Kekerasan yang sudah tersaji melalui tayangan-tayangan di televisi saat ini seakan sudah tidak mengenal batas usia dan telah menjadi bumbu utama di setiap program televisi. Effek dari apa yang ditayangkan di televisi secara berkala membentuk suatu pencitraan atau persepsi bagi yang menonton. Melalui pemaparan di atas, nampak adanya suatu visi dan juga pesan dari setiap tayangan televisi, dan hal ini tidak sebatas masalah komersial saja. Suatu kecenderungan dalam mengkomsumsi acara-acara di televise, bisa menjadi suatu “budaya”. Budaya televisi melarutkan identitas dalam keseragaman yang dangkal sehingga masyarakat kahilangan kemampuan untuk mendefinisikan jati diri atas sikap dan perilakunya. Perilaku yang
ditirukan tidak sekedar bersifat fisik dan verbal, melainkan justru nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan acara tersebut. Apa yang dipersepsi dari tayangan-tayangan tersebut menjadi suatu gambaran juga pemahaman tentang apa itu realitas. Peirce mengungkapkan bahwa permasalahan dari persepsi sedikitnya merupakan permasalahan dari mengetahui apa yang dirasakan daripada mengetahui apakah cara yang digambarkan persepsi menentukan sebuah jawaban. Selanjutnya diungkapkan juga oleh Peirce tentang pendapat Wittgenstein yaitu, ”tell me how you think and I shall tell you what you think”, “…what do we perceive? A form or an individual object? Very quickly nearly everybody agrees: the eyes sees the individual object, the mind perceives the form.” (Déledalle, 2000: 147). Apa yang dikemukakan oleh Wittgenstein dapat dilihat kaitan antara bahasa dan pikiran, dan yang harus pertama kali diperiksa adalah ”bagaimana (how)” dan bukannya ”apa (what)”. Televisi disegala sektor kehidupan tanpa sadar telah membawa dunia memasuki era baru dan efek baru yang lebih cepat dari yang dibayangkan semula. Hasilnya, berbagai informasi dapat diterima dan diikuti masyarakat di penjuru dunia. Bahwa dengan dukungan penuhnya televisi sebagai media informasi yang merupakan akibat atau dampak dari kemajuan teknologi, membuat televisi menjadi hal yang penting dalam melakukan penyebaran informasi guna memperbaiki hubungan komunikasi, baik antara kelompok Page | 10
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
maupun dengan cara massal sekalipun (Muhaimin, 2008: 16-17). Terkait hal tersebut, maka sasaran utama dari tayangan-tayangan di televisi adalah ibu rumah tangga dan juga anak-anak, hal ini di asumsikan bahwa ibu rumah tangga dan anak-anak lebih memiliki waktu luang dan juga lebih banyak melakukan aktifitas di dalam rumah. Berangkat dari hal itu, dan dalam penelitian ini, maka yang akan selanjutnya disorot adalah film anakanak yang ada di televisi nasional yang kebanyakan adalah acara import. Setiap orang dari berbagai usia dan juga kebudayaan memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap humor. Sebagian orang mampu mengekspresikan diri terhadap sesuatu yang membuat mereka tertawa atau menggelikan yang disebut sebagai hal yang lucu. Sedangkan orang-orang yang mampu menyajikan hal-hal lucu tersebut disebut sebagai pelawak, atau orang yang memiliki selera humor yang tinggi. Namun, ada beberapa hal yang menjadi faktor penentu dari selera humor ini, yaitu terkait dengan daerah, kebudayaan, kedewasaan seseorang, tingkat pendidikan, kecerdasan, dan konteks yang digunakan. Ada beberapa macam humor yang cukup banyak mewarnai media saat ini seperti humor slapstick dan satire. Humor slapstick, yaitu lelucon yang kasar seperti film Tom and Jerry, Bernard Bear, Viccky and Johnny, dan lainnya, yang memadukan kekerasan sebagai bahan humor. Humor satire, yaitu lelucon yang dimaksudkan sebagai bahan sindiran, ini dapat dilihat dalam bentuk karikatur atau tayangan komedi.
Salah satu comedian terbesar dan terkenal saat ini adalah Rowan Atkinson yang lebih dikenal masyarakat luas melalui karakter yang ia perankan yaitu Mr. Bean. Aktinson menjelaskan bahwa sebuah benda atau seseorang bisa menjadi lucu dalam tiga cara yang berbeda yaitu: a) bersikap dengan cara yang tidak biasa, b) menjadi sesuatu di tempat yang tidak biasa, dan c) menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan ukuran. Terkejut adalah salah satu tanda dari humor. Hal ini seringkali nampak pada tiap episode di film Mr. Bean, yaitu orang-orang cenderung terkejut oleh tingkah laku Mr. Bean. Seseorang yang terkejut oleh hal yang menyenangkan akan bereaksi positif seperti tertawa. Tidak merasa terancam maupun merasa dalam kondisi berbahaya. Hal tersebut terjadi di luar kesadaran manusia. Seperi apa yang ditampilkan dalam tayangan Mr. Bean, banyak orang yang menonton merasa terkejut, tidak menyangka atas sikapsikap yang dilakukan oleh Mr. Bean yang terbilang aneh, tidak sesuai tempat, waktu dan juga porsinya yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Kekerasan dan sensualitas juga mewarnai bahan humor di Indonesia, seperti yang dapat ditemukan dalam tayangan-tayangan komedi oleh beberapa grup lawak fenomenal Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), Srimulat, Patrio (dan generasi muda dari hasil Audisi Pelawak Indonesia – API – yang diselenggarakan TPI), dan yang saat ini banyak digemari oleh orangorang dari berbagai kalangan yaitu OVJ (Overa Van Java) di Trans 7. Tidak Page | 11
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
dapat dipungkiri lagi setiap adegan kekerasan diperlihatkan secara terbuka, meskipun menggunakan alat-alat yang tidak berbahaya secara fisik dan dikatakan aman. Humor seakan tidak komplit bila tidak ditayangkan dengan kekerasan dan juga sensualitas, baik dari adanya wanita-wanita cantik, pakaian atau ucapan yang mengarah ke arah sensualitas, dan tentu saja sindiransindiran juga olok-olokan ikut menjadi bahan utama dalam humor. Pembahasan mengenai kekerasan dalam sub-bab ini, akan dibatasi pada ranah pengertian dan bentuk kekerasan, dan tidak masuk dalam ranah hukum. Hal ini dikarenakan terkait dengan tema utama dan permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini.
Miller mengemukakan (Santoso,2002:13) bahwa, istilah kekerasan memiliki harga yang tinggi. Seperti banyak istilah yang mengandung makna kehinaan atau kekejian yang sangat kuat, istilah kekerasan diberlakukan dengan sedikit diskriminasi pada berbagai hal yang tidak disetujui secara umum. Termasuk di dalamnya adalah fenomena seperti iklan permainan di TV, tinju, musik rock’n roll dan tindak tanduk pelaku, detektif swasta fiksi dan seni modern. Ruang lingkup istilah ini, bila digunakan dalam bentuk seperti di atas, menjadi demikian luas sehingga mengaburkan maknanya. Kekerasan yang mulai larut dalam kebiasaan hidup bermasyarakat, bisa dikatakan sebagai “budaya kekerasan”, yang muncul dari setiap gesekan atau konflik. Kekerasan bisa meliputi masalah ekonomi-politik, pertanahan, agama, suku, adat istiadat
dan sebagainya. Pemahaman mengenai kekerasan dapat dilihat dari berbagai pespektif, yang paling banyak digunakan yaitu teori psikologis, fenomena kekerasan, dan gejala kekerasan dalam sejarah manusia. Ketiga hal tersebut merasuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti kekerasan dalam pendidikan, struktural, agama dan budaya. Tindakan maupun perilaku dikatakan sebagai bentuk kekerasan jika sudah melampaui batas kemanusiaan (inhumanity), yang telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia. Beriring dengan hal itu (kekerasan), maka muncul juga gejalagejala yang mengarah pada perdamaian, keamanan, toleransi,kebajikan, dan kasih sayang, dan kedua hal itu saling bertumpang tindih dalam proses sejarah, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Suryo (Arifin, 2000: 32). Perbedaan antara perilaku kekerasan dengan tindakan kekerasan adalah, perilaku (behavior) dilakukan secara berulang– ulang hingga membentuk habit, sedangkan tindakan kekerasan bersifat sementara, dan pada kasus atau kejadian-kejadian tertentu. Satu hal yang paling dekat dengan perilaku kekerasan adalah agresi. Menurut perspektif teori psikologi, kekerasan bisa terjadi jika potensi mental pada seseorang tidak sesuai dengan realisasi aktual. Menurut definisinya agresi merupakan pengrusakan dan gangguan menyakitkan yang ditujukan pada orang lain dengan niat terencana. Perasaan emosi yang ditekan dalam waktu sekian lama, baik terjadi pada orang perorangan maupun pada kelompok. Page | 12
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Ada dua penyebab utama agresi, yaitu penyebab personal dan penyebab sosial. Pertama, dalam hal perilaku agresi. Masing-masing orang mempunyai cara mengekspresikan agresi yang berbedabeda sesuai dengan sifat-sifat dasar kepribadiannya. Karakter intrinsik atau “bawaan” sangat mempengaruhi bagaimana seseorang merespon situasi diluar dirinya, dengan agresi atau perilaku lainnya. Provokasi langsung berupa verbal maupun tindakan dari orang lain juga dapat menimbulkan kemarahan dan agresi, terutama jika provokasi itu sengaja dilakukan dengan niat buruk. Kekerasan media (media violence) terutama dari media elektronik (televisi, Internet, dan film) juga dapat meningkatkan agresi sebagian penontonnya. Kegairahan yang meningkat juga dapat menimbulkan agresi, karena kognisi sering mempengaruhi emosi dan selanjutnya mempengaruhi agresi. Ada hubungan yang kompleks antara emosi dan kognisi, keduanya dapat mempengaruhi agresi. Alkoholisme juga dapat memfasilitasi agresi. Orang yang terpengaruh alcohol atau mabuk dapat melakukan agresi, terutama pada targettarget yang tidak dapat melawan atau membela diri, ini adalah bagian dari penyebab sosial (Arifin, 2000:5-6). Keragaman bisa jadi salah satu pemicu tindakan maupun perilaku kekerasan, ketidakmampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap perbedaanperbedaan itu. Ini bukan hanya terkait perbedaan keinginan, Namun juga bisa pada masalah pandangan, seperti perbedaan agama, ras, dan budaya. Mengapa bisa demikian? Sedangkan
setiap agama selalu mengajarkan kebaikan kepada sesama, menolak dan menentang kekerasan. Bahwa kekerasan yang terjadi memang seringkali mengatasnamakan agama dan keyakinan tertentu, namun hal ini tidak dapat dipandang sebagai suatu kebenaran bahwa perbedaan agama adalah pemicu terjadinya kekerasan. Kekerasan dari waktu ke waktu semakin kompleks, hal-hal yang melatarbelakangi bukan hanya satu atau dua faktor saja, namun semakin rumit, bahkan bsia dipicu oleh hal yang sepele, atau bahkan tidak memiliki motif secara langsung, melainkan hanya suatu refleksi apa yang dilihat dan dipahami. Melalui beberapa teori di atas, maka dapat dilihat beberapa sifat dan bentuk dari kekerasan, seperti yang terangkum di bawah ini: Menurut Douglas (Santoso, 2002: 11) Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat didefinisikan: 1) kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; 2) kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam; 3) kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; 4) kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik Page | 13
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka atau tertutup. Perilaku mengancam jauh lebih menonjol dari kekerasan terbuka, dan kekerasan defensive jauh lebih menonjol dari kekerasan agresif. Weber mengatakan, bahwa dengan mengancam, ada sedikit orang yang bisa mengontrol orang lain. Ancaman diangap sebagai bentuk kekerasan, merupakan unsur penting kekuatan (power), kemampuan mewujudkan keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan. Ancaman menjadi efektif jika seseorang mendemonstrasikan keinginan untuk mewujudkan ancamannya (santoso, 2002: 11).
Dalam perilaku maupun tindakan kekerasan, seringnya melibatkan serangan dengan memukul (assault and battery), bentuknya bisa serangan verbal sampai pembunuhan (homicide). Pembunuhan umumnya dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan/dimaksudkan seseorang. Clinard dan Quinney mengatakan bahwa perbedaan antara serangan dan pembunuhan sebagai berikut ini (Santoso, 2002: 25): “Pada umumnya, pembunuhan dan serangan bertubi-tubi adalah sama, karena keduanya melibatkan penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan perdebatan atau pertikaian. Dalam serangan bertubitubi ada suatu usaha untuk menyebabkan orang terluka atau bahkan mencabut kehidupan orang itu. Hampir semua pembunuhan mewakili beberapa bentuk serangan bertubi-tubi, perbedaan utamanya
terletak pada adanya korban yang meninggal….”
Selanjutnya dikatakan bahwa serangan dengan memukul dan pembunuhan pada umunya sebagian besar kasus dilakukan pada orang yang sangat dekat, dan kasus-kasus dalam situasi dimana interaksi korban dan pelaku menjadi sangat emosional secara kualitas, sehingga berkembang agak lebih cepat menjadi suatu tindak kekerasan (Santoso, 2002: 27). Suatu persoalan kunci yang berkaitan dengan kekerasan, sekaligus dengan perilaku menyimpang pada umumnya, adalah faktor penting dan ketidakmungkinan mengetahui maksud “riil” orang lain. Banyak perbedaan yang ingin kita buat, termasuk apakah suatu tindakan dianggap menyimpang atau tidak, harus bergantung pada apa yang “dimaksudkan” individu pelaku. Namun, maksud tidak dapat diamati tetapi hanya bisa disimpulkan dari pelaku yang bisa diamati. Karena individu bisa mengubah perilaku yang dapat diamati dan berarti bisa menyembunyikan maksud mereka, maka maksud selalu tidak pasti (Santoso, 2002: 41).
Identifikasi Unsur Kekerasan Sebagai Bahan Humor dalam Film Anak-Anak Televisi Indonesia Kekerasan yang marak terjadi dalam realitas, seringkali di eksploitasi di media massa. Seperti apa yang diungkapkan dalam penelitain LIPI pada tahun 1998 yang dilakukan di empat kota (Medan, Ujungpandang, Page | 14
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Bogor, dan Bekasi) menyimpulkan bahwa tingkat keseringan menonton film laga di televisi berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan. Hal ini terungkap bahwa setelah menonton film laga di televisi, responden memiliki persepsi bahwa ”hidup ini keras”. Efek kemudian terbentuk adalah senang berkelahi atau mesti bersikap keras dalam menghadapi perbedaan (Arifin, 2000: 96). Televisi menjadi perhatian utama, karena televisi merupakan medium sehari-hari yang banyak digemari dan mudah diakses oleh orang-orang, bahkan menjadi sumebr informasi yang terpercaya dan aktual bagi orang-orang. Sayangnya di dalam program-progam yang ditayangkan di televisi banyak mengandung unsur kekerasan, bahkan untuk tayangan anak-anak sekalipun. Apapun nama acara yang ditayangkan di televisi, selalu mengandung unsur kekerasan baik itu acara berita maupun hiburan, yang dibalut dalam kisah drama, horor, humor, dan reality show, kekerasan bukan lagi milik film action, dan bahkan kekerasan telah menjadi cerita itu sendiri, cerita bukan lagi masalah alur dan makna. Hal yang lebih memperparah adalah kekerasan yang dibalut oleh sensualitas, kedua hal itu seakan melekat menjadi satu paket, untuk lebih mengesankan atau mengaburkan kedua hal itu dibumbui oleh humor. Khususnya untuk acara anak-anak, karena sudah dibumbui oleh humor, seakan melegalkan tindakan maupun perilaku kekerasan dalam setiap tayangan. Hal ini dapat ditemui hampir di seluruh film maupun
tayangan anak-nak lain, seperti film kartun Tom and Jerry, perselisihan kedua hewan itu seakan tidak pernah usai, selalu berisi persaingan, saling mengejar, dan balas dendam. Ada kala dimana si kucing yang menang, namun lebih sering si Jerry sang tikus lah yang menang. Mungkin hal yang hendak di tekankan di sini adalah bahwa ukuran tidak jadi masalah, besar tidak berarti lebih kuat dan pintar. Selain film tersebut di atas, kekerasan nampak juga pada film kartun Spongebob Squarepants, kekerasan yang dibalut oleh humor dan kekonyolan para pemainnya. Spongebob sebagai tokoh utama, selalu berlaku konyol namun dengan cara yang polos, tidak diperlihatkan sebagai karakter yang jahat atau suka berintrik, berbeda dengan karakter Mr. Crab yang mata duitan, atau Squidward yang sering menunjukan sikap iri dan jengkel terhadap Spongebob, merasa lebih baik dan bahkan sering membodohi Spongebob, semua adegan di tiap episode di bawakan dengan balutan humor, seolah dapat mengaburkan tindakan kekerasan. Masih banyak film lainnya yang mengandung kekerasan yang masih tayang dengan jam tonton untuk anak-anak selain kedua film tersebut, seperti Viccky and Johnny, Mong the Little Dog, Bernard Bear, dan lainnya. Berdasarkan contoh dan juga pemaparan di atas, yang disebutkan merupakan film anak-anak yang ditayangkan pertelevisian di Indonesia. Sebagian besar diwarnai oleh adegan kekerasan yang dijadikan sebagai bahan Humor. Atau dikenal dengan satire dan Page | 15
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
slapstick. Sajian yang dikemas dalam tayangan anak-anak seperti kartun dan animasi namun penuh dengan unsur kekerasan. Ada beberapa hal mencolok dari kebanyakan tayangan yang dapat diidentifikasi yaitu: permusuhan, balas dendam, kompetisi tidak sehat, saling mengejek dan merendahkan, kesombongan, mau menang sendiri atau ketidakpedulian terhadap orang lain. Semua itu diekspresikan melalui bentuk amarah tak terkendali, pikiran-pikiran keluar batas apa yang tidak baik dan tidak boleh dilakukan. Seperti beberapa contoh film anak-anak yang masih mendapatkan jam tayang di pertelevisian Indonesia dengan jam tayang untuk anak-anak dan berlabel BO (Bimbingan Orangtua) di bawah ini: 1.
2.
Tom and Jerry: Serial animasi Amerika Serikat hasil produksi MGM, bercerita tentang kisah Tom si kucing rumah dan Jerry si tikus. Kedua sering dikisahkan sebagai sosok yang tidak pernah akur dan saling mengejar. Film kartun ini ditayangkan di MNC TV atau dulu dikenal dengan TPI, pada pagi hari. Film ini sebagian besar tidak menggunakan bahasa verbal, lebih pada adeganadegan dan juga bunyi-bunyi. Spongebob Squarepants: Salah satu produk dari Nickelodeon. Kartun ini diciptakan oleh seorang ahli biologi laut dan animator Stephen Hillenburg dan lalu dirilis melalui perusahaannya United Plankton Pictures Inc. settingnya berada di Samudra Pasifik di kota Bikini Bottom. Dengan tokoh utama Spongebobe yang merupakan seekor spon laut.
3.
4.
Acara ini masih ditayangkan di Global TV setiap hari pada waktu pagi dan juga sore hari yang sudah di dubbing ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang paling menonjol dalam diri Spongebob adalah sikap konyol yang bisa dibilang tidak bersikap seperti orang pada umumnya. Tokoh lain yang sering muncul adalah Patrik, Mr. Crab, Sally, dan Squidward Tentacles. Looney Tunes: merupakan kumpulan serial beberapa tokoh kartun, berbentuk animasi komedi, yang paling terkenal dan memiliki karakter yang kuat adalah Bugs Bunny, kelinci berwarna abu-abu yang lincah penuh akal. Setiap tokoh memiliki episode tersendiri terkadang juga muncul dengan tokoh yang lainnya dalam satu episode. Serial ini diproduksi oleh Wraner Bros. Ciri khas serial kartun ini adalah selalu diiringi musik klasik, selain terdapat juga banyak adegan kekerasan seperti memukul, menembak, persaingan dan memanfaatkan kelemahan pihak lain. Tokoh-tokoh utama yang terlibat ialah Bosko, Buddy, kemudian Bugs Bunny, Daffy Duck, Porky Pig, Elmer Fudd, Sylvester, Tweety, Marvin the Martian, Taz, Wile E. Coyote dan Road Runner, Foghorn Leghorn, Yosemite Sam, Pepé Le Pew, Speedy Gonzales, dan sebagainya. Mickey Mouse and Friend (Walts Disney):Film ini merupakan animasi komedi yang dibuat oleh Walt Disney. Mickey Mouse telah menjadi ikon dari kartun Walt Disney. Karakter lain yang biasanya ikut muncul adalah Minnie Mouse, Page | 16
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Donald Duck, Daisy Duck, Goofy, Pluto, Ludwig Von Drake, namun karakter-karakter tersebut juga memiliki episode tersendiri. Ada beberapa kejadian yang seringkali muncul seperti kejadian sial dan suasana kekacauan. Ke-empat film anak-anak tersebut di atas cukup fenomenal dan berumur panjang di pertelevisian Indonesia, dan memperlihatkan adegan kekerasan secara terbuka dengan dibumbui oleh suara-suara tawa untuk memancing yang menonton agar ikut tertawa dan membentuk image bahwa tiap adeganadegan tersebut memang lucu.
Korelasi Tayangan Humor Kekerasan Terhadap Pembentukan Pola Pikir dan Pemahaman Realitas Penonton Pola pikir atau yang kerap disebut sebagai mindset, yaitu bagaimana cara pandang seseorang. Merujuk pada kata berpikir maka mencakup beberapa hal seperti pikiran dan penalaran. Pikiran yang dalam bahasa Inggris berarti mind memiliki beberapa pengertian yaitu; 1) kesadaran, keinsyafan, 2) daya rasional, nalar manusia, kemampuan untuk bernalar, 3) psike atau jiwa, diri, ego, identitas pribadi, 4) roh, substansi rohani, 5) apa yang bertahan dalam seluruh perubahan kesadaran (pengalaman, kesadaran), 6) entitas yang memperlihatkan fungsifungsi seperti mencerap, mengamati, mengingat, membayangkan, memahami, merasa, membangkitkan emosi, menghendaki, menalar, mengadakan suatu perhitungan menuju
ke suatu masa depan, serta menilai, 7) sebutan untuk fungsi-fungsi yang ada dalam no. 6 tetapi yang tidak memiliki suatu realitas ontologism sebagai suatu entitas atau substansi, dan 8) sebutan untuk respon adatif suatu organisme rasional terhadap lingkungannya dalam perjuangan untuk hidup. Fungsi-fungsi dinamis yang memperhatikan serta selektif dari organisme tersebut pada benda-benda dalam dunia internal dan eksternal yang memiliki nilai hidup yang mungkin (dan dalam bentukbentuk pikiran yang lebih tinggi, memiliki minat/perhatian intrinsic) (Lorens Bagus, 1996: 841-842). Pengetahuan yang diperoleh melalui media seperti televisi, kebanyakan merupakan pengetahuan aposteriori, hal ini dikarenakan banyaknya informasi yang bisa disebar dari berbagai pelosok dunia dan disaksikan oleh berbagai kalangan di berbagai tempat. Semisal, orang desa di daerah Indonesia yang sudah terjangkau televise, bisa mengetahui kehidupan kota melalui acara-acara di televisi baik itu berita, sinetron, film, maupun bentuk tayangan lainnya. Mereka memperoleh gambaran bagaimana kehidupan kota tanpa perlu pergi ke kota, bahkan pengetahuan itu bisa menjadi bekal informasi ketika mereka akan pergi ke kota. Selain itu tidak hanya sekedar tentang bagaimana kehidupan kota, tetapi juga gambaran tentang kehidupan orang-orang luar negeri. Dengan kemajuan teknologi saat ini, informasi menyebar dengan sangat cepat, salah satu media utama dan menjangkau hingga ke pelosok adalah televisi. Sayangnya tidak semua pihak mampu Page | 17
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
menyaring dan juga melakukan klarifikasi terhadap informasi yang diperoleh melalui televisi.
Sesuatu yang disaksikan secara intens tanpa adanya penyaringan secara tepat atas mana informasi yang berguna dan mana yang berbahaya, maka berpengaruh besar terhadap pemahaman penonton atas realitas yang dilihat melalui televisi, padahal kebenaran atas informasi tersebut tidak bisa dikatakan 100% benar. Kasusnya adalah apa yang ditayangkan semua merupakan produk luar negeri yang jelas memiliki perbedaan secara kultural dengan kondisi di Indonesia, dan belum tentu tayangan tersebut juga ditayangkan di negara yang membuat untuk dikomsumsi anak-anak. Hampir sebagian besar tayangan untuk anakanak berbentuk kartun animasi dengan menggunakan karakter hewan dan sosok imajinasi. Hal ini dinilai lebih mudah membuat anak-anak merasa tertarik karena daya imajiansinya masih lugu dan tinggi, tidak terpaku pada realitas yang mereka belum pahami dan alami. Namun di satu sisi, dengan keterbatasan dalam pengalaman dan pemahaman realitas, mereka juga masih memiliki keterbatasan dalam memahami
informasi yang diterima jika tanpa bimbingan bisa menimbulkan missperception atau persepsi yang salah. Kekerasan bukanlah bagian dari cerita maupun isi yang disajikan oleh media, namun sudah menjadi cerita itu sendiri dan inti yang disajikan. Pesan dalam Tayangan di Media Massa (Televisi) Semua hal yang ditayangkan di televisi (TV) memiliki pesan yang hendak disampaikan kepada penontonnya. Terlepas dari benar atau salah, pesan itu lebih pada tujuan yang diinginkan pihak produsen untuk bisa dipahami dan diterima (baik dalam pikiran ataukah dalam bentuk tindakan) oleh konsumen TV. Sebagai contoh iklan-iklan yang ditayangkan, dengan berbagai macam slogan dan juga rekayasa hasil, agar penonton berminat untuk membeli, atau sinetron dengan penokohan baik dan jahat yang sangat jelas agar bisa di idolakan dan terus di saksikan tiap episodenya bahkan diperpanjang bila sudah habis masa tayangnya, entah apakah sinetron itu bermuatan nilai yang baik atau tidak, apakah sesuai dengan kultur di tempat ditayangkan atau tidak. Coba perhatikan kedua ilustrasi di bawah ini:
(gambar 1. ilustrasi TV sebagai pembawa pesan) (gambar 2. ilustrasi Kekerasan di televisi) Page | 18
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Pada gambar 1, secara langsung dapat dipahami maksud yang ingin disampaikan, bahwa TV memang memuat banyak pesan yang hendak ditanamkan pada diri penonton, tidak hanya sebatas disampaikan untuk disetujui atau tidak. Sedangkan pada gambar 2, nampak seorang anak kecil yang menonton adegan berkelahi namun dalam bentuk kartun, seolah dengan itu menjadi lumrah untuk disaksikan karena ditayangkan dalam bentuk tontonan anak-anak, tanpa peduli dengan adegan dan isi yang bisa mempengaruhi si penonton. Kedua gambar tersebut hanya beberapa contoh ilustrasi dari sekian banyak ilustrasi tentang bagaimana TV mampu mempengaruhi pola pikir hingga ke perilaku anak-anak, melalui pesan-pesan komersial yang kurang mengandung nilai moral, atau bisa jadi ada nilai moral namun cara penyampaiannya membuat nilai itu tidak dapat diterima dengan tepat. Meskipun ada nilai-nilai moral yang disampaikan, namun cara penyampaian jelas menjadi sangat berperan penting. Nilai-nilai moral bisa jadi tidak dapat ditangkap oleh penonton secara tepat bila caranya pun tidak sesuai. Maraknya komedi satire dan slapstick dalam tayangan film anakanak, menjadi suatu keprihatinan yang besar dalam proses perkembangan mereka sebagai generasi muda yang berjiwa Pancasila. Bahwa pada faktanya film-film yang ditayangkan tersebut merupakan produksi luar yang memiliki kultur jauh berbeda dengan kultur Indonesia. Tuntutan untuk adanya tayangan yang bermutu memang sangat
mendesak, tidak hanya untuk tayangan anak-anak saja, melainkan juga harus merambah pada tayangan-tayangan lain, bahkan untuk acara berita sekalipun. Hal ini karena, jam tayang di pertelevisian Indonesia belum sesuai dengan kondisi pola aktivitas masyarakat Indonesia, yang dikhawatirkan anak-anak menyaksikan sesuatu yang belum sesuai dengan daya tangkap pikiran mereka, meskipun sudah ada upaya untuk iklan rokok ditayangkan pada malam hari. Meskipun tayangan film anakanak di beri label BO (Bimbingan Orangtua), SU (Semua Umur) dan A (anak-anak), tidak ada jaminan anakanak didampingi saat menonton, dan jelas kekerasan sudah mulai kabur dalam makna dan tindakan. Selain itu, hal lain yang mungkin terjadi adalah orang dewasa bukan mendampingi anak-anak dalam menonton, melainkan mereka bersama menonton. Oleh karena itu pesan menjadi tidak berfungsi bila kemasan yang disajikan tidak tepat. Penonton tentu akan lebih terpikat terlebih dahulu pada kemasan dibanding isi (yaitu pesan yang sebenarnya ingin disampaikan). Bahwa kartun bukan tidak baik bagi anak-anak, namun semua bergantung juga pada konten dari tayangan tersebut dan kondisi anak yang menonton. Imajinasi memang tidak terbatas, namun harus dipertegas kembali mana bagian imajinasi dan mana yang masuk pada realitas. Humor maupun kekerasan tidak hanya sebatas ruang lingkup dari sebuah tindakan atau perilaku, namun juga Page | 19
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
penangkapan maknanya bisa dipahami melalui bahasa baik secara verbal maupun simbol. Sebagai contoh, dalam sebuah adegan yang terdapat dalam salah satu episode film anak-anak “Tom
and Jerry” yang berjudul “the flying cat”, Seperti yang terdapat dalam beberapa potongan gambar di episode “the flying cat” berikut ini:
(gambar 3. Tom and Jerry in “the flying cat”) (gambar 4. Tom and Jerry in “the flying cat”)
(gambar 5. Tom and Jerry in “the flying cat”)
Jerry mencoba menjegal Tom dengan tujuan bermaksud untuk menolong si burung dari tangan Tom, kemudian Tom hendak balas dendam atas perbuatan Jerry, Tom terus mengejar-ngejar Jerry, setelah itu Tom mengejar burung sambil dengan memegang kampak. Kampak sebagai benda tajam yang berfungsi utama untuk membelah benda keras seperti kayu, ketika di pegang oleh Tom mengidentifikasikan sebagai suatu bentuk kekerasan. Selain itu kekerasan juga muncul di saat si Burung
membakar tangga yang dinaiki Tom, agar Tom tidak berhasil menangkap Jerry. Perilaku-perilaku ini lah yang kemungkinan besar diserap dan dapat ditiru oleh anak-anak, bukan nilai moralnya. Marah, iri, persaingan tidak sehat, saling balas dendam, gegabah, sombong, tidak peduli dengan orang/pihak lain, sebagian besar semua sikap dan sifat tersebut dapat ditemukan dalam film anak-anak, dan semuanya diungkapkan atau diekspresikan melalui Page | 20
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
tindakan kekerasan atau mengalami suatu kekerasan dari benda-benda sekitarnya. Seperti yang terdapat dalam film Bernard Bear pada episode ice climbing, diceritakan bahwa Bernard si beruang memanjat tebing es seorang diri, saat memanjat salah satu alat pemanjatnya jatuh (semacam palu), disusul dengan alat yang lain, hingga ia pun ikut terjatuh namun berkat cakarnya ia bisa selamat, tapi sayangnya alat yang jatuh itu menimpa kepalanya (dia tidak apa-apa), kemudian ia menyadari
(gambar 6. Benard Bear in “ice climbing” ) climbing”)
Apa yang nampak? Beberapakali Bernard tertimpa benda keras di kepalanya (alat pemanjat tebing dan batuan es), dan yang terakhir dia dan tebingnya tumbang, tapi Bernard baikbaik saja, karena bagaimana pun itu hanya film kartun. Ini hanya salah satu episode dari film Bernard Bear, di episode-episode lainnya sifat marah dan gegabahnya juga sangat nampak. Dan bagaimana bila dalam realitas hal tersebut terjadi? Kepala yang terkena benda keras jelas akan berbahaya dan menimbulkan luka yang serius. Marah,
bahwa dengan cakarnya ia masih bisa memanjat tebing es, ia pun terus memanjat dengan berbagai gaya tanpa merasa takut untuk jatuh, karena terlalu senang ia melakukan adegan-adegan berbahaya, pada akhir cerita ia berhasil naik ke puncak, namun ujung tebing yang ia jadikan pegangan terbelah, dengan cakarnya ia berusaha bertahan namun akhirnya seluruh tebing ikut tumbang. Seperti dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:
(gambar 7. Benard Bear in “ice
bukanlah hal yang salah, namun sikap dalam menyikapi rasa marah itu lah yang bisa membuat marah menjadi hal yang salah. Aksi balas dendam pun tak kalah menariknya dengan sifat marah yang juga banyak menonjol di film anak-anak. Nilai moral apa yang bisa diambil? Banyak, namun bagaimana anak-anak bisa menyerapnya dengan baik jika adegan-adegan kekerasanlah yang banyak diperlihatkan dan diiringi suara tawa, sehingga seolah hal itu lucu.
Page | 21
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Analisis Humor Kekerasan dalam Film Anak-Anak
Humor kekerasan dalam tayangan film anak-anak bagi orang dewasa pada umumnya sudah sangat jelas tanpa perlu lagi diperlihatkan mana bagian dari kekerasan itu, namun tidak bagi anak-anak. Kekerasan itu sendiri mampu mengaburkan jalan cerita. Kekerasan bukan hanya masalah dari cara dan bentuknya, namun bagaimana efek dari kekerasan itu, baik bagi pelaku maupun korban, nilai ini lah yang semestinya dipahami bersama. Berikut ini akan dijelaskan mengenai keterkaitan humor kekerasan terhadap pembentukan pola pikir dan pemahaman realitas bagi penonton anak-anak—inilah salah satu yang dimaksud sebagai efek kekerasan di televisi—. Terkait dengan permasalahan pada penelitian ini, maka Tv merupakan media termudah untuk dijangkau masyarakat secara luas, bahkan anakanak seringkali ditinggalkan untuk menonton Tv ketika orang dewasa sibuk di dapur atau dengan aktivitas di rumah. Sudah menjadi anggapan umum bahwa
kartun, animasi, karakter hewan, dan sejenisnya merupakan tayangan khas anak-anak, walaupun memang ada juga khusus dewasa. Apa yang dilihat dan di dengar bisa menjadi suatu pengetahuan aposteriori. Untuk penjelasan lebih lanjut, maka akan digunakan beberapa episode dalam tayangan anak-anak sebagai contoh untuk dapat menguraikan permasalahan dalam penelitian ini.
1. Looney Tunes (Warner Bros Pic. Inc): episode “Rabbit Season, Duck Season” Daffy Duck berkarakter mudah terprovokasi, dan Bugs Bunny sangat pandai bermain kata-kata, sehingga Daffy Duck sering kali terbawa ucapan Bugs Bunny, yang mengakibatkan dirinya sering terkena sial. Pada episode ini, Bugs Bunny dan Daffy Duck saling melempar pernyataan pada pemburu agar tidak diburu, seperti yang nampak pada gambar (8-9), dan sang pemburu dibuat bingung oleh Bugs Bunny dan Daffy Duck:
(gambar 8. Looney Tunes in
(gambar 9. Looney Tunes in
“Rabbit Season, Duck Season”)
“Rabbit Season, Duck Season”) Page | 22
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
Tindak kekerasan menjadi lucu melalui alur pembicaraan dan juga gaya pembawaan ketika mengucapkannya. 2. Mickey Mouse (Walt Disney): episode “The Moving Day”
(gambar 10. Mickey in “The Moving Day” ) (gambar 11. Mickey in “The Moving Day”)
Apa yang ditayangkan (setiap adegan dan gambaran) di film ditangkap oleh penonton sebagai model dari realitas (picture as reality). Contoh: subjek, yaitu karakter dalam tayangan atau pelaku, dan objek yaitu terkait tempat, alat sebagai media (relational facts) antar pelaku. Dari kedua contoh di atas, banyak media yang digunakan sebagai alat kekerasan. Pada film Looney Tunes, sudah ada pistol (benda yang bisa melukai), yang mendukung untuk terjadinya kekerasan antar pelaku selain melalui kata-kata yang memprovokasi sehingga terjadi tindakan kekerasan antar pelaku. Pada film kedua, yaitu Mickey Mouse, peralatan yang ada di rumah saat hendak dipindahkan malah melukai pelaku, tanpa dimaksudkan demikian. Namun, perilaku kekerasan pun melekat pada karakter Sherrif. Pada umumnya di film-film tersebut memang ada alat-alat yang mengindikasikan sebagai alat yang dapat melukai (pistol, kampak, dan lainnya,
sebagai simbol yang terkait pada fungsi dan penggunaan). Pemahaman tentang peranan dan manfaat dari suatu benda terkait erat dengan fungsi yang biasanya digunakan. Sehingga memang muncul persepsi ke arah yang diharapkan dimengerti dengan cukup melihat dan pada akhirnya, setiap adegan yang memunculkan kekerasan memperkuat persepsi itu. Hal ini karena adanya kaitan antara simbol dan yang disimbolkan yaitu dalam bentuk relational facts yaitu relasi yang terdapat dalam fakta sebagai bentuk dari peristiwa. Simbol itu sesuatu yang dapat dimengerti dan mempersepsikan apa yang disimbolkan. Penutup Maka kesimpulan atas permasalahan dari penelitian ini yang dapat ditarik adalah: Pertama, dewasa ini pertelevisian Indonesia memang marak dengan tayangan kekerasan, yang sudah menjadi inti cerita Page | 23
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
dengan kemasan berbeda dalam setiap program acara, khususnya acara hiburan dan tayangan untuk anak-anak, kekerasan dibalut sebagai suatu bentuk humor. Kekerasan yang terdapat pada realitas di ekploitasi oleh media massa dan dikemas ke dalam bentuk hiburan yang disajikan kepada setiap kalangan tanpa melihat batasan umur. Televisi sebagai salah satu media massa yang paling mudah dijangkau di berbagai daerah dan juga kalangan menjadi alat sakti untuk mengetahui dunia luar, hal yang semula membuat terkejut (apakah itu info maupun sebuah tayangan) lama-lama akan menjadi hal biasa jika terus disajikan dan ditonton secara intens, selain itu info yang disajikan menjadi tidak tepat guna bila dikonsumsi oleh pihak yang tidak semestinya (seperti tayangan dewasa untuk anak-anak, atau info professional bagi pemula) Tanpa ada penyaringan dan pembimbingan. Dan humor sebagai kemasan utama kekerasan sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja, seakan melegalkan. Ditambah, sensualitas sebagai bahan yang tidak kalah menarik dan selalu ada dalam tayangan humor, tayangan anakanak pun tidak terlepas dari kedua hal tersebut.
Kedua, Pemahaman realitas berkaitan dengan proses alamiah penggunaan bahasa sejak anak-anak, sehingga perkembangan dalam mempelajari bahasa pada anak-anak merupakan suatu fenomena empiris dalam memahami permainan bahasa. Proses alamiah ini meliputi pembelajaran dalam memahami realitas terutama melalui bahasa, bukan sebatas pada penjelasan (baik atau tidak) melainkan pada pelatihan dan penunjukan langsung pada objek-objek tertentu melalui training. Pemahaman
tentang peranan dan manfaat dari suatu benda terkait erat dengan fungsi yang biasanya digunakan, karena simbol itu sesuatu yang dapat dimengerti dan mempersepsikan apa yang disimbolkan. Adanya alat-alat yang mengindikasikan sebagai alat yang dapat melukai (pistol, kampak, dan lainnya) dalam setiap film memperkuat persepsi itu, namun setiap adegan kekerasan itu tidak menampakan rasa sakit pada yang mengalami (karakter dalam kartun) atau luka yang serius, ini bisa mengaburkan suatu hubungan sebab akibat secara nyata. Banyak hal yang masih bisa ditelaah bersama terkait permasalahan pada penelitian ini, masalah kekerasan bukan lah suatu permasalahan yang bisa sekali solusi dan dipotong begitu saja alurnya dalam kehidupan. Kekerasan telah mengakar dalam tiap kebudayaan, pencegahan dan juga rehabilitasi lah yang harus terus digiatkan. Karakter apa yang akan terbangun bila anak-anak terus dibiasakan mengkomsumsi tayangantayangan mengenai kekerasan, yang akan terjadi adalah karakter yang tidak peka dengan kondisi sosial, sesuatu yang semestinya menimbulkan keprihatinan malah menjadi bahan untuk olokan dan ditertawakan. Ketidakpekaan sosial jelas akan sangat berimplikasi pada bagaimana sikap atau respon terhadap lingkungan sekitar dan juga kokohnya suatu bangsa. Kekerasan bukan lah materi utama untuk dijadikan media bagi anak-anak dalam memahami realitas, hal itu karena bisa menumbuhkan asumsi bahwa dunia ini memang keras dan juga memancing respon dengan kekerasan juga. Maka bila hal itu terjadi kekerasan akan terus menjadi siklus yang tak terpotong dari sejarah umat Page | 24
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013
manusia. Jika tidak mampu memotong siklus tersebut maka alihkan pada tempat yang semestinya
Daftar Pustaka Buku: Déledalle, Gerard (ed), 2000, Charles S. Peirce’s Philosophy of Signs: Essays in Comparative Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, USA Guttenplan, Samuel, 1991, The Language of Logic: An Introduction to Logic, Basil Blackwell, Oxford Hendro
Muhaimin, 2008, ”Pengaruh Televisi Terhadap Perubahan Budaya Dan Perilaku Masyarakat Jawa (Tinjauan Etika Nilai Max Scheler)”. Skripsi Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Yakarta
Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The ASIA Foundation, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Thomas Santoso (ed), 2002, Teori-Teori Kekerasan, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta Website: http://female.kompas.com/read/2011/02/02 /1439353/5.mitos.tentang.pengasuha n.anak, unduh tanggal 9 Februari 2011 Video: Bernard Bear, episode “Ice Climbing”, rg animation studio, 2 menit 29 detik Looney Tunes, episode “Rabbit Season, Duck Season”, Warner Bros, 3 menit 30 detik Mickey Mouse, episode “Moving Days”, Walt Disney, 9 menit 24 detik Tom and Jerry, episode “The Flying Cat”, MGM Cartoon, 6 menit 46 detik
Syifaul Arifin, dkk (ed), 2000, “Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan”,
Page | 25