Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
POLA PIKIR DAN PENDIDIKAN Minnah El widdah Abstract Setiap manusia baik sebagai individu atau sebagai kelompok masyarakat memiliki thought style (pola pikir) yang khas dan terkadang berbeda antara satu dengan lainnya. Kekhasan dan atau perbedaan-perbedaan pola pikir manusia ini terbentuk atau dipengaruhi oleh banyak faktor, yang kemudian juga menjiwai atau mewarnai aktifitas kehidupannya termasuk mempengaruhi kegiatan pendidikan yang dilakukan.. Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari judul di atas, mencoba mengangkat suatu diskursus filosofis tentang dua model atau pola pemikiran (thought style) yang kemudian mempengaruhi sistem dan kegiatan pendidikan. Kata Kunci : Pola pikir, Model pendidikan A. Pendahuluan Pemikiran, sebagai hasil aktivitas akal, menempati posisi yang sangat penting dan menentukan bagi kehidupan manusia dan bahkan bagi kelangsungan kehidupan di bumi pada umumnya. Hasil pemikiran, yang berisi nilai-nilai, dapat digunakan manusia untuk menentukan arah dan corak kehidupannya, selain itu hasil pemikiran juga dapat membantu manusia untuk bertahan hidup menyesuaikan diri dengan alam dan mengatasi keterbatasan alamiahnya sehingga manusia mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya. Hasil kegiatan berpikir manusia ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada dua model. Model pertama; adalah pemikiran yang berkaitan dengan masalah sistem nilai, atau norma-norma tata kehidupan manusia, dan model kedua; adalah pemikiran yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan teknis dan bersifat mekanistik. Model pertama melahirkan suatu pengetahuan tentang pandangan hidup manusia (hukum-hukum tidak tertulis masyarakat seperti adat istiadat dan sebagainya) dan undang-undang formal atau hukum tertulis yang, secara langsung maupun tidak, mengatur manusia dalam menjalani kehidupan, baik kehidupan individual maupun sosialnya. Model kedua dari hasil kegiatan berpikir manusia melahirkan suatu pengetahuan teknologik 1
Minnah El Widdah, Pola …
yang secara lebih nyata telah menampakkan diri dalam bentuk penemuanpenemuan peralatan teknologi dalam segala bidang kehidupan, mulai dari peralatan rumah tangga, alat-alat kedokteran termasuk di dalamnya obatobatan, peralatan kantor, konstruksi bangunan, dan sebagainya hingga peralatan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bahkan peralatan yang dapat berakibat pada kehancuran kehidupan manusia itu sendiri. Selanjutnya hasil pemikiran manusia model pertama dalam perkembangan sejarahnya, secara sadar atau tidak, telah pula mengikat manusia hingga terbelenggu dalam suatu pola hidup (life style), dan pandangan hidup tertentu yang pada gilirannya kemudian berpengaruh pada “tindakan-tindakan” yang dilakukannya baik secara perorangan maupun tindakan kolektif masyarakatnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok pada dasarnya merupakan gambaran dan manifestasi dari pola pikir (thought style)nya. Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari judul di atas, mencoba mengangkat suatu diskursus filosofis tentang dua model atau pola pemikiran (thought style) yang kemudian mempengaruhi sistem dan kegiatan pendidikan. B. Pola Pemikiran (Thought Style) Akal, sebagai potensi berpikir, yang dimiliki oleh manusia telah menjadikannya berbeda dari makhluk lain. Manusia tidak hanya menjadi bagian dari alam, dan hidup diantara makhluk lain di bumi, akan tetapi, dengan kemampuan berpikirnya, manusia mampu menyadari kehidupannya, sehingga ia mampu mengarahkan proses hidupnya dan tidak hanyut dalam proses kehidupan alamiahnya semata. Dengan akalnya manusia berupaya memahami alamnya, memahami makna kehidupannya dan makna keberadaanya diantara benda-benda alam dan makhluk hidup selain dirinya. Dengan pemikiran dan pemahamannya tentang alam, kehidupan dan makna keberadaan dirinya tersebut, manusia memiliki konsep-konsep tentang nilai-nilai dan pandangan dunia. Dengan pikirannya manusia memiliki thought style. Istilah thought style (pola pikir), dipopulerkan oleh Karl Mannheim dalam bukunya Ideology and Utopia (Fuad Baali dan Ali Wardi, 1981; 22). Dalam bahasa aslinya yang digunakan Mannheim, pola pikir adalah denkstil, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi thought style, yang mempunyai arti kebahasaan sama yaitu pola pikir. Pola pikir yang dimaksud di sini adalah prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang 2
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
implisit, yang membentuk kerangka acuan atau perspektif, darimana seseorang memandang dunia, yang kemudian cenderung menbentuk sikap mental, pandangan hidup atau falsafah hidup (Fuad Baali; 22). Setiap manusia baik sebagai individu atau sebagai kelompok masyarakat memiliki thought style (pola pemikiran) yang khas dan terkadang berbeda antara satu dengan lainnya. Kekhasan dan atau perbedaan-perbedaan pola pikir manusia ini terbentuk atau dipengaruhi oleh banyak faktor. Penulis, dalam artikel ini tidak akan membicarakan satu persatu faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola pikir ini, dengan alasan pertama bahwa pembahasan seperti itu tidak mungkin dilakukan pada penulisan artikel singkat seperti ini, alasan kedua bahwa fokus tulisan ini memang bukan ditujukan pada kajian tersebut. Sungguhpun demikian, demi sedikit melengkapi tulisan ini, penulis akan mencoba, secara singkat, membahas bagaimana pola pikir ini terbentuk dalam kehidupan manusia. Mengutip pemikiran Fuad Baali (1981; 2), secara garis besar, terbentuknya pola pikir (thought style) manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: (1) Kultur, (2) Kedudukan sosial, dan (3) Kecenderungan personal. Dalam hal ini penulis cenderung menambah satu faktor lagi menjadi yang keempat, yang juga tidak bisa dikesampingkan yaitu (4) Kekayaan informasi pengetahuan. Manusia pada awalnya terpengaruh, dalam pemikirannya, oleh sistem prakonsepsi dan nilai-nilai kultur yang tertanam dalam benaknya sejak kanak-kanak disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosialnya. Prakonsepsi dan nilai-nilai ini tersembunyi dalam alam bawah sadar pikirannya. Manusia biasanya menerapkannya pada obyek-obyek yang dilihatnya dan seringkali menganggapnya sebagai dasar-dasar hukum alam yang telah diterima secara umum. Apabila seseorang atau sekelompok masyarakat menemukan atau melihat nilai-nilai tertentu yang ada dalam masyarakat lain, yang berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaannya sendiri, biasanya ia akan merasa kagum atau sebaliknya akan menjadi marah dan tidak suka, karena ia menganggap nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai kebudayaannya tersebut keliru atau bahkan dianggapnya sebagai sebuah kejahatan yang besar. Selanjutnya, pola pikir manusia juga selalu dipengaruhi oleh klasifikasi kelas kelompok dan pisisi sosialnya. Misalnya, kelompok masyarakat kelas atas (penguasa) biasanya memandang revolusi atau gerakan sosial lainnya sebagai suatu tindak penyimpangan dan bahkan dianggap sebuah kejahatan yang pelakunya harus dihukum 3
Minnah El Widdah, Pola …
berat, karena hal itu, bagi mereka, dapat merusak ketentraman dan kedamaian umum atau merusak tatanan sosial yang mereka anggap “sakral”. Sebaliknya kelas atau kelompok oposan memandang revolusi sebagai suatu fenomena yang membawa rahmat atau suatu “tindakan Tuhan” untuk mengembalikan keadilan sosial hilang. Pemikiran manusia juga tidak dapat menghindar dari kecenderungan emosional personalnya. Tidak ada manusia yang benar benar dapat, secara seratus persen, menghindar dari kecenderungan atau keadaan emosionalnya. Bahkan Aristoteles, yang sangat mempercayai kemampuan logikanya yang mutlak, mengakui pengaruh emosi atas pikiran manusia (Fuad Baali; 2-3). Seseorang yang dasarnya suka atau tidak suka terhadap sesuatu, akan memiliki kesimpulan yang berbeda dalam menentukan sebuah pilihan atau penilaian. Akhirnya, Kekayaan informasi pengetahuan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang juga merupakan satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir. Seorang atau kelompok yang memiliki keluasan pengetahuan biasanya juga memiliki kesimpulan berbeda tentang suatu masalah dengan orang atau kelompok yang tidak berpengatahuan. Seorang sarjana tentu mempunyai pola pikir yang berbeda dengan orang yang hanya berpendidikan rendah. Selanjutnya, pandangan atau pemahaman seseorang tentang realitas alam (pandangan dunia), pandangan tentang nilai-nilai dan sebaginya juga menentukan thought style seseorang atau masyarakat. Tampaknya manusia akan selalu terpenjara dalam empat lingkaran konsentris. Apabila seseorang dapat terlepas dari belenggu kondisi emosional pribadinya, dia masih akan dibatasi oleh belenggu kedua yaitu sikap-sikap kelas dan kedudukan sosialnya. Dan kalau ia dapat terbebas dari kungkungan belenggu kedua, dia barangkali dibatasi oleh belenggu ketiga yaitu kungkungan budayanya. Begitu seterusnya, yang kebanyakan kungkungan belenggu itu tidak disadari sehingga tidak bisa dihindari. C. Idealisme dan Realisme Istilah Idealisme dan Realisme yang dibicarakan dalam artikel ini didefinisikan dari perspektif sosiologis, bukan filosofis. Ini pelu dijelaskan agar pembaca memilki pemahaman sesuai dengan apa yang penulis maksudkan dalam artikel ini. Orang biasanya lebih dahulu mengenal istilah ini dalam tradisi kajian filsafat ketimbang sosiologi. Dalam tradisi filsafat, ketika kita membicarakan kedua istilah idealisme dan realisme, biasanya akan 4
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Minnah El Widdah, Pola …
dirujuk kepada dua tokoh besar filsafat Yunani abad klasik yakni Plato dan muridnya Aristoteles (Titus, 1984; 315-331). Idealisme dan realisme dalam filsafat, adalah suatu kajian yang ditujukan untuk menyingkap atau untuk mengerti hakikat yang “ada”. Idealisme, yang mana Plato dianggap sebagai tokoh utama dan pertama, adalah suatu pandangan filsafat yang mengatakan bahwa hakikat yang ada ini bukanlah terletak pada alam yang tampak dan bisa diraba (alam empirik), karena alam empirik ini adalah merupakan manifestasi atau ekspresi dari suatu “keberadaan” yang abadi dan absolut, yang bersifat spiritual (Nelson B. Henry, Ed. 1962; 139-140). Jadi realitas hakiki bagi aliran ini adalah realitas yang berada “di luar” realitas empirik, yang oleh Plato disebut dengan istilah idea (alam idea) yang abadi dan tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan idealisme, realisme (Aristoteles) memandang bahwa hakikat yang ada adalah alam yang tampak ini, yang jamak dan beraneka ragam. Dengan kata lain bahwa alam empirik adalah real adanya (Titus, 1984; 328-331), ia bukan bayang-bayang atau hanya sebuah manifestasi seperti yang dikatakan Plato. Aristoteles menolak “idea transendental” dari Plato dengan alasan bahwa : 1. Konsep “idea” sangat abstrak, sehingga sulit untuk dihubungkan dengan realitas empirik. 2. Konsep “idea” sifat statis dan kekal, karena itu tidak dapat digunakan untuk menerangkan gerak dan perubahan yang terjadi pada benda-benda indifidual yang konkrit. 3. Bahwa “idea” adalah tiruan atau kopi dari benda dan bukan sebab dari bendanya. 4. “Idea” tidak lebih dari reduplikasi, tiruan yang tidak ada gunanya, dan tidak menerangkan sesuatu apapun terhadap bendanya. 5. Tidak menjadi jelas dengan mengatakan apa yang dimaksud bahwa sesuatu itu adalah tiruan atau kopi dari “idea”. 6. Apabila kita mencari hubungan antara “idea” dan benda, maka berarti kita terjun ke dalam regresi yang tidak akan berakhir atau tidak terbatas. 7. Teori “idea” benar-benar memisahkan hakikat atau bentuk dari suatu benda dari bendanya itu sendiri (Ali Saifullah, tt; 81-82). Untuk mengatasi kelemahan teori “idea transendental” Plato, Aristoteles mengemukakan teori hule-morphisme yang mengatakan bahwa keseluruhan alam empirik ini real adanya, dan seluruh benda benda terdiri dari dua unsur yakni unsur yang tetap dan unsur yang berubah, yaitu unsur “hule” (materi, bendanya atau bahannya), dan “morph” (bentuknya). Kedua unsur itu menbentuk kesatuan tak terpisah yang masing-masingnya bukan merupakan bagian dari sesuatu, akan tetapi inherent dalam sesuatu itu, tidak 5
pula bersifat transendental (di luar bendanya), akan tetapi immanent atau di dalam bendanya (Ali Saifullah, 82). Untuk memperkuat teori hule-morphisme-nya ini, Aristoteles mengemukakan juga teori kausalitas tentang kejadian alam, yang mana dikatakan bahwa alam terjadi berdasarkan rangkaian sebab yang berujung pada sebab pertama (causa prima) yaitu Tuhan. Dalam hal kenyataan yang berubah, Aristoteles juga mengatakan, terjadi oleh berbagai sebab. Secara garis besar sebab-sebab ini didefinisikannya menjadi empat sebab yaitu; Material cause, formal cause, efficient cause, dan final cause (Louis O. Kattsoff, 1992; 57). Filosof muslim pertama, Al-Kindi, tampak juga terpengaruh oleh pemikiran ini, yang mana dalam hal sebab gerak dan perubahan alam, ia juga mengemukakan empat sebab yatu; Sabab maddah, sabab shurah, sabab fa’ilah, dan sabab Tammiyah (Hasyimsyah Nasution, 2002; 21). Istilah idealisme dan realisme dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk dipahami dalam makna filosofis seperti tersebut di atas, akan tetapi dipahami dalam perspektif sosiologis. Secara populer ada dua tipe pola pikir manusia yang saling bertentangan (Fuad Baali; 6), yakni kaum idealis di satu pihak dan kaum realis pada pihak yang lain. Idealisme dalam kajian sosiologis adalah suatu sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, nilai-nilai estetika dan nilai-nilai relegius. Jadi, kaum idealis adalah orang-orang yang menerima dan hidup menurut standar-standar moral, estetika dan standar agama yang dianggap tinggi dan sakral (Titus, 1984; 316). Sedangkan realisme adalah suatu pandangan atau sikap yang tunduk atau patuh kepada fakta, kepada apa yang terjadi, dan bukan kepada apa yang diharapkan atau diinginkan oleh nilai-nilai tertentu. Maka kaum realis adalah orang-orang yang patuh atau tunduk pada fakta atau realitas yang terjadi, yang dirasakan, dan bukan pada cita-cita moral atau cita-cita agama yang diinginkan (Titus, 1984; 328). Jadi pemaknaan istilah idealisme dan realisme dalam perspektif sosiologis berbeda dengan filsafat. Perhatian filsafat lebih ditekankan pada pemahaman tentang apakah realitas asal alam berupa “idea” ataukah materi, apakah kenyataan yang tampak ini merupakan realitas yang sebenarnya, ataukah hanya merupakan penampakan atau manifestasi dari sesuatu yang immateri dan spiritual. Sementara secara sosiologis kedua istilah tersebut dipahami sebagai sebuah pandangan atau sikap hidup, atau pola pikir (thought style) manusia dalam memahami hidup dan kehidupannya, yang juga dapat dikatakan sebagai falsafah hidup. 6
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Minnah El Widdah, Pola …
D. Thought Style dan Pendidikan Pendidikan merupakan suatu fenomena khas kehidupan manusia. Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam mempersiapkan sumber daya manusia dan akan menjadi aktor dalam menjalankan fungsi dari berbagai bidang kehidupan manusia. Lebih dari itu bahkan Cohn (1979) mengemukakan bahwa pendidikan sangat erat hubungannya dengan tingkat penghasilan dan kesuksesan yang diraih seseorang. Karena pendidikan sebagai salah satu bentuk investasi pembangunan sumber daya manusia, yang telah memberikan keuntungan yang tidak hanya bagi individu yang bersangkutan namun juga masyarakat dan bangsa pada umumnya. Selain itu pendidikan juga telah memperlihatkan proporsi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (Cohn,1979:163). Van Cleve Morris mengatakan, sebagaimana dikutip H.M Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam (1994; 2-3), bahwa pendidikan tidak semestinya hanya dipahami sebagai alat sosial untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, akan tetapi juga harus dipahami sebagai agen perubahan sosial untuk mencapai hari depan yang lebih baik. Hubungan antara manusia dan pendidikan adalah merupakan hubungan antara subyek dengan aktifitasnya. Manusia sebagai subyek pendidikan, memiliki pandangan dunia dan pandangan tentang nilai-nilai kehidupan yang kemudian membentuk suatu sistem kebudayaan dan peradabannya. Pemikiran yang menjadi sumber kebudayaan suatu kelompok manusia (masyarakat) selalu menjadi acuan bagi kesinambungan perjalanan sejarahnya, dan cenderung selalu dilestarikan melalui proses pendidikan, baik pendidikan dalam maknanya yang umum maupun dalam pengertiannya yang khusus. Kegiatan pendidikan adalah upaya membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia kepada tujuan tertentu. Karena pendidikan merupakan sebuah proses yang bertujuan, maka pendidikan adalah suatu kegiatan yang penuh dengan muatan nilai-nilai, pandangan hidup dan cita-cita kemanusiaan. Pendidikan mengemban tugas dan fungsi untuk menyerap, mengolah dan menganalisa serta menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat, dan harus mampu mengalihkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya (H.M Arifin, 1994; 3). Melalui perspektif inilah maka, secara filosofis, kegiatan pendidikan dipahami sebagai upaya realisasi dari ide-ide filsafat (M. Noor Syam,1988; 41,43). 7
Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok masyarakat hidup dalam sosio-budaya. Manusia menciptakan kebudayaan, membina dan mengembangkannya, melestarikannya, serta hidup dalam warna atau corak kebudayaannya sendiri. Pendidikan, baik sebagai sebuah sistem maupun sebagai suatu proses, adalah juga merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Oleh karena pemahaman manusia tentang dunia dan kehidupannya berbeda-beda, yang kemudian melahirkan sistem nilai dan thouhgt style (pola pikir) yang berbeda, maka muncul pulalah keanekaragaman corak pendidikan dalam kehidupan manusia, baik dalam sistem maupun tujuannya. Tidak ada satupun kegiatan pendidikan yang terlepas dari sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, karena hanya dengan kegiatan pendidikanlah thouhgt style suatu kelompok masyarakat dapat lestari, berkembang dan termanifestasikan dalam kehidupan nyata. Setiap kelompok masyarakat atau bangsa melaksanakan aktifitas pendidikannya secara prinsipiil untuk menjaga dan menanamkan nilai-nilai filosofis atau thouhgt style kelompoknya. Suatu kelompok masyarakat beragama, komunitas muslim misalnya, berupaya menanamkan dan bahkan upaya mendakwahkan nilai-nilai agamanya melalui kegiatan pendidikan. Secara historis pelembagaan Islam dalam bidang pendidikan memang bermula dari fungsi dakwah dan ta’lim dari masjid yang dulu sering disebut dengan langgar atau surau tempat dimana para guru, da’i, Kiyai melakukan dakwah dan ta’lim, dan kemudian melembaga menjadi pesantren (Abdurrahman Wahid, 1974), Melaui penelusuran akar sejarah, sesungguhnya pendidikan Islam tidak pernah berpisah dari dakwah yang menjadi tujuan utama dari seluruh gerakan keagamaan Islam di seluruh dunia. Berakar pada latar kesejarahan dimana pendidikan Islam berawal dari pelaksanaan dakwah, maka dunia pendidikan Islam yang sesungguhnya adalah bentuk riil upaya mentransfer doktrin agama Islam menjadi nilai-nilai kongkrit etis bagi individu pemeluknya, dan pewarisan nilai-nilai tersebut kepada generasi selanjutnya. Karena itulah maka sulit sekali bagi kegiatan pendidikan Islam untuk membebaskan diri dari pemahaman-pemahaman keagamaan baik yang bersifat lokalistik, parsial dan doktrinal, maupun rasional (Affandi Mochtar ; 2001).
8
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
E. Idealisme dan Realisme dalam Pendidikan Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa aktifitas pendidikan pada dasarnya merupakan upaya realisasi dari ide-ide filsafat, dan aktivitas pendidikan merupakan kegiatan yang tidak pernah bisa terlepas dari sistem nilai atau thouhgt style yang dianut subyeknya (manusia), maka Idealisme dan Realisme, sebagai suatu thouhgt style, memiliki corak dan sistem pendidikan yang khas, dan berbeda. Kaum idealis adalah orang-orang yang menganut sistem nilai universal, yang cenderung mereka anggap mapan dan tidak berubah. Karena itu penganut paham ini biasanya sulit menerima adanya perubahan. Sistem dan aktifitas pendidikan kaum idealis, sebagai orang yang menerima dan hidup menurut standar-standar moral, estetika dan standar agama yang dianggap tinggi dan sakral, mengacu pada upaya pelestarian nilai-nilai yang mereka anut. Pendidikan model ini biasanya bersifar konservatif dan memiliki kecenderungan untuk terjebak pada regresi budaya dan peradaban serta bersifat jumud. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam tipe ini biasanya adalah kaum Perennialis, Essensialis dan kelompok agamawan. Perennialis berpegang pada prinsip bahwa nilai nilai itu bersifat universal, abadi, berlaku di waktu dan tempat manapun. Aliran ini didasarkan pada pandangan ontologi bahwa Reality is universal, that is every where and at every moment the same. Karena itu, bagi perennialisme, pendidikan harus bersandar pada nilai-nilai abadi yang hidup terus di manapun dan kapanpun. Dalam kajian filsafat pendidikan aliran ini dikenal dengan sikap regresifnya, yaitu regressive road to culture, khususnya nilai-nilai budaya abad pertengahan (M. Noor Syam, 1988; 296-310). Essensialis adalah kelompok masyarakat yang juga percaya pada nilai-nilai universal, hanya saja sumber nilai universal yang dianut kaum ini berbeda dengan kaum perennialis, dan aliran ini bersifat konservatif (M. Noor Syam, 1988; 260-266). Sementara kaum agamawan (meski tidak seluruhnya) juga cenderung terjebak pada sifat regresif atau konservatif tradisional karena mereka dipengaruhi oleh sikap kehati-hatian dan menjaga kemurnian ajaran Tuhan, atau disebabkan karena pemahaman keagamaan yang tekstual. Sedangkan realisme adalah suatu pandangan atau sikap yang tunduk atau patuh kepada fakta, kepada apa yang terjadi, dan bukan kepada apa yang diharapkan atau diinginkan oleh nilai-nilai tertentu. Maka, kaum realis berarti orang-orang yang patuh atau tunduk pada fakta atau realitas yang terjadi, yang dirasakan, dan 9
Minnah El Widdah, Pola …
bukan pada cita-cita moral atau cita-cita agama yang diinginkan. Konsep dan tindakan pendidikan yang lahir dari kaum realis ini biasanya bersifat dinamis, lebih menekankan pada progresivitas, dan lebih menyuarakan optimisme, serta tidak ingin terikat ketat pada sistem nilai tertentu. Fokus tujuan pendidikan dari kaum realis adalah lebih kepada pengembangan potensi diri manusia untuk mencapai kemajuan kebudayaan dan peradaban. Yang termasuk dalam kelompok ini, dalam kajian filsafat pendidikan, misalnya adalah progressivisme (M. Noor Syam, 1987; 225-248), dan eksistensialisme (Ali Saifullah, 157-165). Wa Allah a’lam bi al shawab
Daftar Pustaka Abdurrahman Wahid, (1974), Pesantren Sebagai Subkultur, dalam M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta : LP3ES, Affandi Mochtar, (2001), Dinamika Internal Kajian dan Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu Ali Saifullah, HA., (tt), Antar Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional Cohn, E. (1979), The Econimics of Education. Cambridge, Massachusetts : Ballinger Publishing Company. Fuad Baali & Ali Wardi, (1989), Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (terj.) Mansuruddin & Ahmadie Thaha, Jakarta; Pustaka Firdaus, Cet. I. Gunawan. H. Ari, (1986), Kebijakan-kebijakan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara Hasyisyah Nasution, (2002), Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III Henry, Nelson B. (Ed.), (1962), Philosophies of Education, Chicago, University Of Chicago Press, Cet. XVII HM. Arifin, (1994), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV 10
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012
Minnah El Widdah, Pola …
Kattsoff, Louis O, 1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Soejono Soemargono (Pent),Tiara Wacana Yogya, Cet. V.
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA
Titus, Harold H., (1984), Persoalan-Persoalan Filsafat, (terj.) HM. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I
Dra. Hasnidar Karim, M.Pd.I1
Muhammad Noor Syam, (1988), Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, Cet. IV
Abstrak Tujuan pendidikan yang diharapkan ialah membentuk kepribadian seseorang menjadi insan kamil dengan pola taqwa kepada Allah SWT, dimana tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah “Fitrah”yaitu dapat membembing manusia sejalan dengan kejadiannya. Dan bertujuan untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Dengan adanya pendidikan Islam maka diharapkan menghasilkan manusia yang berkepribadian muslim yang berbuat baik secara lahiriah maupun batiniah yang mampu mengabdikan amal dan perbuatan untuk mencari keridhoan Allah SWT.
Siagian S. P, (1995), Teori Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Grafindo Persada
Kata Kunci : Pendidikan Islam Mengatasi Kenakalan Remaja A. Pendahuluan. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa anak merupakan amanat dari Allah SWT yang dititipkan kepada orang tuanya untuk dijaga, dibimbing, dididik dan diarahkan sesuai dengan apa yang diamanatkan. Dalam perkembangan informasi yang sangat pesat diera globalisasi saat ini memberikan peluang kepada remaja untuk terlibat secara lansung dalam suasana kehidupan global.Dengan tahap perkembangan remaja yang masih mencari identitas diri,remaja dihadapkan pada berbagai alternative pilihan yang tersedia ditengah lingkungan. Hal ini acap kali menjadi remaja berada dalam posisi yang tidak mudah dan bimbang. Untuk itu lajunya perkembangan arus imformasi dan teknologi secara bersamaan,memberikan pengaruh pada perkembangan remaja sebagai suatu masa “ krisis “ dalam pencarian identitas diri sebagai individu yang utuh selain itu pula, berbagai sarana dan prasarana penunjang, seperti: fasilitas alat komonikasi (Cetak maupun elektronik ), keberadaan orang tua dan keluarga serta teman seusia. Dan seluruh komponen tersebut mempengaruhi proses pembentukan identitas diri remaja oleh karena itu sarana dan prasarana penunjang tersebut memiliki arti yang berbeda, pada diri remaja lainnya. Kemudian masa remaja sebagai masa “ peralihan “ dari masa anakanak ke remaja, berarti mereka sedang mengalami perobahan-perobahan 1
11
12
. Dosen Fakultas Tetap Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi