BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Anak merupakan bagian dari sebuah keluarga yang patut diberi perhatian, kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak senantiasa membutuhkan bantuan dari orang lain karena mereka memiliki kelemahan dan keterbatasan fisik, mental, maupun pengetahuan. Anak juga memiliki hak yang patut dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh setiap lapisan masyarakat agar tidak diperlakukan buruk oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Berbagai kasus eksploitasi anak yang dijumpai di Indonesia seperti kasus buruh anak, anak jalanan, bisnis jual beli bayi, bisnis pelacuran anak, dan berbagai kasus eksploitasi anak lainnya menunjukkan masih rendahnya perlindungan hukum terhadap anak. Padahal dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak Pasal 32 menyatakan bahwa negara mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang berpotensi mengandung risiko bahaya, mengganggu pendidikan anak, membahayakan kesehatan atau perkembangan jasmani, mental, rohani, moral, dan sosial anak (Organisasi Perburuhan Internasional, 2009 : 24). Namun dalam aplikasinya di masyarakat, konvensi tersebut masih sebatas wacana dan negara Indonesia hingga saat ini belum optimal dalam menyelesaikan berbagai masalah eksploitasi anak.
1
2
Primandari (2013) dalam sebuah artikel berjudul “Pekerja Anak Paling Banyak di Papua” menuliskan bahwa Komnas Perlindungan Anak telah melansir data terkait kasus anak-anak selama semester pertama tahun 2013, dimana Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah pekerja anak mencapai 4,7 juta jiwa di Indonesia. Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 berdasar hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), menunjukkan bahwa jumlah anak berumur di bawah 18 tahun yaitu sekitar 81,4 juta orang atau sekitar 34,26 persen dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia, yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan (Yusuf, 2012 : 5). Jadi dari 81,4 juta jumlah anak di Indonesia, 4,7 juta diantaranya merupakan pekerja anak yang patut mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Berkaitan dengan hal diatas, kota Denpasar sebagai bagian dari negara Indonesia berupaya memenuhi hak-hak anak tersebut dengan merealisasikan program Menuju Kota Layak Anak yang salah satunya mengacu pada Konvensi Hak Anak yang terdiri dari lima klaster hak anak yaitu (1). Hak sipil dan kebebasan, (2). Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, (3). Kesehatan dasar dan kesejahteraan, (4). Pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan seni budaya, (5). Perlakuan khusus (Rosalin, 2011 : 7). Setda (2013) dalam artikel berjudul “Pemkot Denpasar Raih Penghargaan Tertinggi Kota Layak Anak” menyatakan bahwa Denpasar sebagai salah satu kota Menuju Kota Layak Anak di tahun 2015 telah mendapatkan penghargaan untuk kategori Madya pada tahun 2011 dan kategori Nindya pada tahun 2013 karena dianggap telah mampu memenuhi hak-hak anak dengan memberikan ruang
3
kreatifitas dan fasilitas bermain yang memadai, memerhatikan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas, serta berbagai upaya pemenuhan hak anak lainnya. Namun penghargaan yang diraih kota Denpasar tersebut rupanya menjadi hal yang miris ketika kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua anak di kota Denpasar memiliki kesempatan dalam menikmati haknya terutama bagi anak-anak yang hidup bersama orangtua dengan tingkat pendapatan rendah yang cenderung memanfaatkan tenaga dan waktu anak untuk bekerja demi menunjang pendapatan orangtua. Bahkan karena faktor ekonomi, orangtua baik secara sengaja atau terpaksa mengeksploitasi anaknya untuk memberikan sumbangan terhadap pendapatan keluarga dengan cara sewenang-wenang tanpa memperhitungkan batas-batas kewajaran dan hak anak. Hal ini dilakukan karena buruh anak dapat digaji murah, mudah diatur, tidak banyak menuntut, produktifitas tinggi, dan dalam beberapa sektor tertentu kualitas pekerjaan buruh anak lebih baik dibandingkan buruh dewasa (Sofian, 2012 : 45-46). Pernyataan diatas merupakan gambaran dari para tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung, Denpasar-Bali. Tukang suun merupakan buruh pasar yang menjual jasa membawakan barang belanjaan pembeli dengan menggunakan keranjang yang dijunjung di atas kepala dan sebagian besar digeluti oleh kaum perempuan. Manthara (2011) dalam artikelnya yang berjudul “Anakanak Tukang Suun Pasar Badung Bekerja Keras untuk Orangtua yang Mabuk” menyebutkan bahwa terdapat sedikitnya 50 tukang suun anak-anak yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah sama sekali yang dipekerjakan oleh
4
orangtuanya karena sebagian besar dari tukang suun anak-anak tersebut berasal dari kalangan keluarga tidak mampu. Tukang suun anak-anak tersebut bekerja dari pagi hingga malam dan penghasilan yang diperoleh sangat tergantung kepada para pelanggan yang menggunakan jasa mereka. Beberapa dari mereka yang berusia 8-14 tahun menyatakan bahwa mereka ingin mengenyam pendidikan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya, namun orangtua mereka keberatan dengan alasan tidak mampu membiayai sekolah mereka. Ketika tim Bali Sruti yang merupakan salah satu lembaga peduli perempuan dan anak menawarkan kesempatan kepada mereka untuk bersekolah secara gratis dengan syarat harus tinggal di salah satu asrama di Denpasar, salah satu orangtua dari anak tersebut langsung menolak. Bahkan salah satu tukang suun anak-anak yang berusia delapan tahun meminta imbalan jika harus bersekolah dan tinggal di asrama. Ngurah (2013) dalam artikel berjudul “Walikota Rai Mantra : Jangan Jadikan Anak Objek Produksi” menyebutkan bahwa pemerintah Kota Denpasar telah menyediakan fasilitas belajar bagi tukang suun anak-anak dengan dibentuknya Sanggar Belajar Lentera Anak Bali (LAB) di lantai IV ruang aula Pasar Badung yang bekerja sama dengan LSM Lentera Anak Bali (LAB), Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Perusahaan Daerah (PD) Pasar Denpasar, serta Yayasan Rama Sesana untuk memberdayakan tukang suun anak-anak agar dapat mengenyam pendidikan secara gratis. Pihak PD Pasar kota Denpasar juga telah memasang pengumuman tertulis di beberapa tembok menuju lantai II Pasar
5
Badung yang menyatakan bahwa anak-anak yang belum berusia 18 tahun dilarang berjualan atau menjadi buruh pasar. Namun upaya tersebut terlihat belum efektif dalam menggerakkan tukang suun anak-anak untuk mengikuti kegiatan belajar gratis karena pada kenyataannya tukang suun anak-anak tersebut tetap melakukan pekerjaan seperti biasa dan berada di bawah eksploitasi orangtuanya. Pekerjaan sebagai tukang suun merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu kerja yang panjang serta kondisi fisik dan mental yang kuat sehingga pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anak-anak. Anak-anak seharusnya mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya seperti hak untuk mendapatkan perlindungan dan kasih sayang orangtuanya, pendidikan yang layak, beristirahat, ataupun hak untuk bermain dan bersosialisasi di lingkungan sekitarnya. Selain itu dalam pekerjaan yang dilakoninya, tidak jarang tukang suun anak-anak tersebut harus bekerja dalam waktu yang cukup panjang, menjunjung beban barang belanjaan pelanggan yang cukup berat, berada pada lokasi kerja yang sebagian besar dipenuhi oleh orang dewasa dengan bangunan pasar yang luas dan bertingkat, serta situasi pasar yang kotor dan bau. Melibatkan anak-anak dalam dunia kerja dengan kondisi perekonomian keluarga yang sangat mendesak diperbolehkan di Indonesia selama mengacu pada standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 tentang Anak-anak yang Terpaksa Bekerja yang menjelaskan bahwa boleh mempekerjakan anak diatas usia 14 tahun dengan ketentuan pekerjaan tersebut tidak di lokasi yang berbahaya, jam kerja tidak lebih dari empat jam per hari, dan anak tetap dibolehkan untuk sekolah (Sofian, 2012 : 47). Namun sebagai keluarga dengan
6
tingkat pendidikan dan perekonomian yang rendah, orangtua tukang suun anakanak tidak mengetahui peraturan dari Menteri Tenaga Kerja tersebut sehingga mereka melibatkan anak-anaknya untuk bekerja demi menunjang pendapatan keluarga tanpa mempedulikan peraturan yang telah ditetapkan. Fenomena tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung merupakan hal yang cukup memprihatinkan khususnya bagi tukang suun anakanak tersebut terkait dengan dampak negatif yang diakibatkan dari bekerjanya anak-anak di usia dini. Hal ini diutarakan oleh Woodhouse (dalam Suyanto, 2013 : 122-123) yang menyatakan bahwa isu sentral pekerja anak di Indonesia bukan terletak pada pekerjaannya, tetapi pada pengaruh negatif akibat terlalu dini bekerja, termasuk kurangnya kesempatan anak-anak itu untuk memperoleh pendidikan. Orangtua tukang suun anak-anak dan beberapa kalangan masyarakat justru tidak memandang hal tersebut sebagai masalah yang cukup serius dan lebih menganggapnya sebagai pekerjaan yang wajar bila dilakukan oleh anak-anak. Sebagai keluarga miskin dengan tingkat pendidikan rendah, anak-anak cenderung tidak mengetahui apa yang menjadi haknya, menganggap benar segala sesuatu yang diucapkan orangtuanya, dan menuruti apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Hal ini disebabkan karena anak-anak hanya memiliki pengetahuan dan kekuatan yang terbatas bila dibandingkan dengan orangtuanya. Walaupun anak-anak juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapat termasuk juga menyampaikan ketidaksetujuan akan suatu hal yang bertentangan dengannya, orangtualah yang tetap mengambil keputusan untuk anaknya karena orangtua dalam hal ini berkedudukan sebagai pemegang kuasa atas anak.
7
Adanya fenomena anak-anak yang bekerja untuk membantu orangtua di satu sisi merupakan sesuatu yang luhur, namun di sisi lain menjadi hal yang tidak manusiawi bila tidak memperhatikan standar peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 terlebih lagi bila anak-anak tersebut tidak mendapatkan pemenuhan atas
hak-haknya.
Bagaimanapun
juga
mempekerjakan
anak-anak
tanpa
memperhatikan batas kewajaran dan hak-hak anak serta standar peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 berarti telah menjamah hak-hak anak yang seharusnya wajib untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh setiap lapisan masyarakat terutama orangtua. Orangtua sebagai bagian dari sebuah keluarga seharusnya tidak mengeksploitasi anak-anak mereka untuk alasan apapun karena sebagai sebuah sistem sosial terkecil dalam suatu masyarakat, keluarga merupakan agen yang berperan penting bagi cerminan pribadi dan kehidupan anak di masa yang akan datang.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Apa yang melatarbelakangi kemunculan tukang suun anak-anak di Pasar Badung ? 2. Bagaimana bentuk eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung ? 3. Bagaimana dampak eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung ?
8
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui, mendeskripsikan, dan memahami permasalahan anak khususnya eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui dan mendeskripsikan latar belakang kemunculan tukang suun anak-anak di Pasar Badung. 2. Mengetahui dan
mendeskripsikan
bentuk-bentuk eksploitasi
orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. 3. Mengetahui dan mendeskripsikan dampak negatif dari eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut.
9
1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi, referensi, dan inspirasi bagi para pembaca serta dapat memberikan sumbangan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu Sosiologi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur dan menggugah minat peneliti selanjutnya untuk meneliti hal-hal yang belum dikaji pada penelitian ini baik pada lokasi dan subjek penelitian yang sama atau pada lokasi dan subjek penelitian lainnya. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memberikan informasi yang berguna kapada masyarakat luas untuk meminimalisir bentuk-bentuk eksploitasi anak. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tukang suun anak-anak agar mereka dapat memahami dan menikmati hal-hal yang seharusnya
menjadi haknya sehingga
mereka dapat
membantu orangtua dengan cara yang wajar. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka pola pikir orangtua tukang suun anak-anak terhadap dampak negatif dari bahaya anak yang bekerja di usia dini. 4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam membangkitkan perhatian pemerintah kota Denpasar termasuk juga pihak PD Pasar
10
kota Denpasar dan Sanggar Belajar Lentera Anak Bali (LAB) untuk mengatasi permasalahan tersebut dan meminimalkan berbagai bentuk tindak eksploitasi anak berkaitan dengan program kota Denpasar Menuju Kota Layak Anak pada tahun 2015.