1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Media massa seperti halnya televisi dan film mempunyai dampak tertentu bagi para penontonnya. Dalam banyak penelitian tentang dampak serial televisi dan film terhadap masyarakat, hubungan antara televisi, film dan masyarakat selalu dipahami secara linier, artinya film, baik yang ditayangkan di televisi selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Selain itu, kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Namun seiring dengan kebangkitan film, muncul pula film-film yang mengandung seks, kriminal, kekerasan serta tayangan-tayangan film anak yang tidak mendidik bagi anak yang menontonnya. Dengan kata lain, film menjadi lebih bebas untuk memenuhi kebutuhan akan sajian yang berbau kekerasan, mengerikan dan pornografi.1 Jika didalam film tayangan kartun anak-anak menampilkan adegan-adegan yang tidak pantas serta tidak mendidik anak-anaknya dalam menonton, ini akan berdampak negatif bagi penontonnya terutama anak-anak karena bukan tidak mungkin mereka akan meniru apa yang dilihat di televisi.
1
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga,1987 hal.15
2
Fenomena yang berkembang saat ini adalah pesatnya tayangan anak yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku, contohnya adalah film kartun. Film kartun adalaah film yang umumnya ditujukan untuk anak-anak, tetapi tidak semua film kartun itu layak ditonton oleh anak-anak. Saat ini anak-anak semakin meningkat dalam menonton tayangan televisi khususnya film kartun, televisi saat ini sangat mendominasi waktu luang anak dan remaja. Realita ini menimbulkan semakin kuatnya bahwa televisi yang menimbulkan hubungan timbal balik diantara keduanya. Kita tidak menyadari bayang-bayang tayangan televisi sangat berpengaruh kepada perilaku dan sikap mulai dari kanak-kanak hingga dewasa nanti.
Sekitar tiga jam, anak-anak disihir layar kaca untuk menikmati sajian film serial dan kartun. Paket anak-anak ini tergolong laku, banyak iklan yang umumnya terisi penuh. Produk-produk yang ditawarkan juga tak jauh dari anakanak, seperti makanan ringan, susu, mainan dan kebutuhan keseharian anak-anak yang lain.2 Tidak semua film kartun yang ditayangkan ditelevisi mempunyai cerita dan karakter tokoh yang baik bagi anak-anak. Ada karakter dengan adegan kekerasan yang terkadang dibumbui oleh adegan seks serta adegan-adegan lainnya yang tidak mendidik. Padahal kalau kita soroti lebih jauh lagi, adegan tersebut tidak layak dan tidak pantas untuk ditonton oleh anak-anak, karena ini akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi mereka dan mereka adalah seorang peniru yang sangat baik, dan kita ambil contoh saja seperti tayangan film kartun Crayon Shin-Chan yang tayang ditelevisi. Tayangan tersebut memang 2
Ibid, hal.15
3
diperankan oleh anak-anak yang menjadi tokoh utama, tetapi film kartun ini banyak sekali menuai kontra karena isi dari film kartun tersebut disisipi oleh adegan-adegan atau hal-hal yang tidak baik untuk ditiru oleh anak-anak serta tidak mendidik apabila secara terus-menerus di tonton karena ini khawatirkan akan mempengaruhi mereka dan mereka akan terbiasa melihat adegan-adegan yang tidak mendidik menjadi lumrah ataupun biasa di kehidupan sehari-harinya.
Maraknya program televisi untuk anak yang justru tak layak ditonton anak-anak tentunya mengundang keprihatinan. Komisi Penyiaran Indonesia dan sejumlah penelitian menunjukan, tak sedikit acara televisi khusus anak yang mengandung unsur kekerasan dan seksual serta tayangan film kartun yang tidak mendidik anak-anak dalam menonton, sehingga tak pantas dikonsumsi anak. Salah satunya adalah peneliti dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA).3 yang menyebutkan daftar acara yang masuk dalam kategori Aman, Hati-hati, dan Bahaya untuk anak. Tayangan televisi yang Aman bagi anak bukan hanya tayangan yang menghibur, melainkan juga memberikan manfaat lebih. Manfaat tersebut, misalnya pendidikan, memberikan motivasi, mengembangkan sikap percaya diri anak, dan penanaman nilai-nilai positif dalam kehidupan.
Sementara itu, tayangan yang masuk kategori Hati-hati adalah tayangan anak yang dinilai relatif seimbang antara muatan positif dan negatif. Sering kali tayangan yang masuk kategori ini memberikan nilai hiburan serta pendidikan dan nilai positif, namun juga dinilai mengandung muatan negatif. Sedangkan
3
Media Kidia edisi Juni-Juli, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA)
4
tayangan yang masuk dalam kategori Bahaya merupakan tayangan yang mengandung lebih banyak muatan negatif, mistis, seks, kekerasan, bahasa kasar, serta perilaku yang bukan mengandung muatan pendidikan anak.
Menurut sumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Penayangan film kartun Crayon Shinchan dikatogorikan dalam muatan Bahaya, 4 karena dari isi cerita kartun tersebut terdapat hal-hal yang tidak mendidik bagi penontonnya, terutama anak-anak, dalam hal ini terdapat kekerasan dalam pendidikan anak mengenai penayangan Kartun Crayon Shinchan, seperti sikap kasar Mama Shinchan yang selalu menghukum Shinchan dengan hukuman fisik seperti menjewer, memukul kepala hingga Shinchan hingga benjol dan selalu memarahi Shinchan secara berlebihan, disamping itu sikap Shinchan terhadap orang tuanya yang tidak sopan, suka melawan dan tidak pernah mau mendengarkan perkataan Mamanya itu merupakan sebagian dari beberapa sikap Shinchan yang tidak baik kepada orang tuanya. Memang perlu diakui bahwa apa yang dilakukan Mama Shinchan tidaklah baik untuk anak seusia lima tahun seperti Shinchan, karena akan mempengaruhi perkembangan pada anak tersebut, sedangkan sikap Shinchan kepada orang tuanya pun dapat dikatakan tidak baik karena suka melawan orang tua dan tidak mau mendengarkan perkataan orang tua menandakan Shinchan bukanlah anak yang sopan serta penurut. Sikap lain yang ditunjukkan oleh Shinchan secara pribadi itu sendiri pun dapat dikatakan tidak wajar bagi anak seusianya, bahwa seharusnya seorang anak berumur lima tahun dapat memposisikan dirinya dengan baik dan bukan seperti Shinchan yang dibilang 4
www.kpi.go.id
5
bersikap layaknya orang dewasa, suka menggoda wanita dewasa dan menyukai majalah dewasa ditambah kenakalan Shinchan yang di luar kenakalan anak pada umumnya. Pada adegan-adegan seperti itu memang dapat disimpulkan bahwa tayangan film kartun Crayon Shinchan ini tidak mendidik, walaupun diperankan oleh anak kecil berumur lima tahun, disetiap filmnya Shinchan seolah-olah seperti orang dewasa yang tidak sopan. Dalam dunia pendidikan, jelas sebuah penayangan kartun yang baik adalah di mana sebuah kartun tersebut memberikan sebuah adanya pembelajaran anak, walaupun film kartun sifatnya menghibur tetapi baiknya lagi apabila diselingi oleh adegan-adegan yang membuat anak bukan hanya terhibur saja. Peneliti tertarik untuk menganalisa tayangan film kartun Crayon Shinchan ini karena ingin mengetahui bagaimana kekerasan terdapat pendidikan anak dikemas dalam tayangan film kartun Crayon yang mana film kartun ini menjadi tontonan favorit bagi anak-anak walaupun didalamnya ada indikasi yang tidak mendidik terhadap karakter anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Zamris Habib, Waldopo dan Indriyanti Ch dengan menggunakan responden dari 1069 orang responden, hampir sepertiga responden (31%) menyukai film kartun dengan judul Doraemon, disusul oleh Crayon Shin-chan (13%) serta Dragon Ball ( 8%).5
5
Zamrid Habib, Waldopo, Indriyanti Ch, Penelitian Film Anak-anak di Televisi Dalam Rangka Pengembangan Program Pendidikan Budi Pekerti, (http://www.teknodik.com), no.9, jilid 5, Oktober 2000
6
Dalam film kartun Crayon Shinchan ini terdapat kekerasan terhadap pendidikan anak, yang mana disini memperlihatkan kedua orang tua Shinchan terutama ibunya mendidik Shinchan dengan cukup keras sampai terjadinya adanya suatu stigma bahwa orang tua mendidik anaknya dengan cara tersebut dan seorang guru atau kepala sekolah yang terlihat bukan sebagai pendidik yang harusnya mengajarkan anak tentang bagaimana bersikap yang baik serta dikwatirkan bahwa anak akan dapat meniru Shinchan yang mana bila dimarahin orang tuanya ia akan melawan dan dimana seorang guru shinchan yang bernama Ibu guru sakura pun terkadang bersikap seperti wanita centil dan suka berantem dengan sesama guru disekolahnya. Secara spesifik peneliti mengambil sample dari tayangan film kartun Shincan pada edisi pertama yang berjudul “berberes itu repot sekali” dan “menonton pahlawan bertopeng” dimana terdapat adegan yang tidak sepantasnya ditampilkan dalam film kartun yang notabene menjadi tontonan yang digemari oleh banyak anak-anak. Banyak adegan-adegan yang disajikan tidak mendidik, baik yang dilakonkan oleh shinchan atau oleh ibunya yang berperan tidak baik dalam mendidik seorang anak dan memperlakukan shincan layaknya bukan anak kecil, pada kedua judul tersebut terdapat adegan yang menyisipkan beberapa adegan kekerasan yang tidak mendidik, seperti Mama shinchan yang memukul kepala Shinchan, menjewernya, serta memarahi Shinchan secara berlebihan, yang merupakan itu adalah termasuk kedalam kekerasan pendidikan anak baik verbal maupun non verbal yang dilakukan Mama Shinchan kepada Shinchan, tetapi disamping itu sikap Shinchan terhadap
7
Mamanya pun tidak sopan dan tidak layak untuk ditiru dan dicontoh, seperti suka melawan, dan tidak mau mendengarkan perkataan Mamanya. Tapi memang begitulah yang terjadi, shincan dengan karakter anak nakal yang sering membuat ibunya jengkel, begitupun ibunya yang tidak sepantasnya memperlakukan shinchan dengan memukul dan memarah-marahi secara berlebihan. Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika, karena semiotika sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui perangkat tanda. Teks media yang tersusun teks media selalu memiki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah sebagai berikut: “ Bagaimana kekerasan pendidikan anak dikemas dalam tayangan film kartun Crayon Shinchan pada edisi pertama?”.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti adalah untuk melakukan kritik pendidikan anak yang dikemas dalam tayangan film kartun Crayon Shinchan edisi pertama.
8
1.4 Signifikasi Penelitian: Signifikasi penelitian ada dua, yaitu signifikasi akademis dan signifikasi praktis. 1.4.2 Signifikasi Akademis Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan manfaat dalam bidang akademis yaitu sumbangan dan literatur bagi perkembangan Ilmu Komunikasi mengenai analisis semiotika, serta diharapkan dapat memberikan persepektif baru ketika menelaah produk komunikasi seperti film secara menyeluruh. 1.4.3 Signifikasi Praktisi Penelitian ini diharapkan memberikan adanya suatu informasi pada masyarakat dan juga kepada orang tua yang mempunyai anak kecil yang suka menyukai tayangan film kartun, bahwa tak semua film kartun dapat mendidik dengan setiap adegan yang di tampilkannya dan tidak semua tayangan film kartun aman untuk di tonton secara terus menerus