BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Hubungan antara film dengan masyarakat memiliki sejarah yang panjang. Oey Hong Lee menyebutkan film mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke19, dan merupakan alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia. (Sobur, 2006;126) Film dapat lebih mudah menjadi alat komunikasi yang sejati dibandingkan surat kabar dalam masa pertumbuhannya pada abad 18 dan permulaan abad 19. Film dapat menjadi alat komunikasi sejati karena tidak mengalami unsurunsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar. Oey Hong Lee selanjutnya menambahkan, film mencapai puncak kejayaannya di antara masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bila ditelurusi dari awal kemunculannya, film telah digunakan sebagai medium untuk merepresentasikan ideologi penciptanya. Pada 1915, D. W. Griffith mempersembahkan The Birth of a Nation (1915), film dengan ideologi rasis yang secara khusus membela supremasi kulit putih untuk melindungi kemurnian rasial. Meskipun untuk pertama kalinya memberikan tontonan yang memukau dan mencekam khalayak, karya Griffith terbilang kontroversial. Secara sederhana, film tersebut rasis, tetapi tetap berperan secara mendasar dalam sejarah perfilman, bahkan
dianggap sebagai karya yang memantapkan film sebagai bentuk seni bagi para pemirsa yang berbudaya (Danesi, 2010;137). Dalam perkembangannya, perempuan dalam konten film digambarkan sebagai citra seperti objek seks, korban atau perempuan penggoda (Gamble, 2010;117). Dalam teori film, karakter perempuan juga dipojokkan oleh kritikus yang mendukung sutradara seperti Alfred Hitchcock atau Douglas Sirk. Kedua sutradara ini sering menggambarkan tokoh perempuan yang rendah diri atau cengeng Beberapa karya Hitchcock menampilkan karakter-karakter perempuan seperti yang disebut di atas. Dalam North by Northwest (1959), Eve Kendall (diperankan Eva Marie Saint) adalah agen ganda yang tertangkap basah hingga hidupnya terancam bahaya saat ia hampir jatuh dari puncak gunung, ia diselamatkan oleh tokoh laki-laki. Selanjutnya terdapat tokoh Marnie (diperankan Tippi Hedren) dalam Marnie (1964), perempuan bermasalah yang memiliki ketidakpercayaan dan rasa takut yang tidak wajar pada laki-laki. Ia juga merupakan seorang penipu dan pencuri yang merampok perusahaan tempatnya bekerja. Ia dikisahkan terjebak dalam pernikahan yang dipaksakan, diperkosa, mencoba bunuh diri, dan memiliki ibu seorang pekerja seks komersial. Dalam The Birds (1963), digambarkan para tokoh perempuannya memiliki ketergantungan terhadap laki-laki. Mereka bahkan tidak bisa bersahabat karena terlampau sibuk memperebutkan laki-laki.
Gambar 1.1 Poster Film Marnie
Sumber: www.imdb.com
Film sering kali diperbincangkan sebagai bahan citra perempuan pada awal hingga pertengahan 1970-an di Amerika. Pendekatan ini telah membentuk berbagai anggapan umum tentang sebagian besar feminisme gelombang kedua. Molly Haskell dan Marjorie Rosen melakukan penelitian tentang kondisi tersebut dalam hubungannya dengan film pertengahan 1970-an. Rosen menyatakan film 'merefleksikan perubahan citra kemasyarakatan perempuan' dan juga menampilkan citra perempuan yang terdistorsi. 'Cinema Woman (perempuan dalam sinema) adalah Popcorn Venus (pemanis), hibrid distorsi budaya yang menyenangkan tetapi tidak substansial'. Rosen selanjutnya mengungkapkan citra feminim yang 'salah' ini mengisi kepala (kosong) para penonton perempuannya. Haskell berpendapat sama, film tidak hanya merefleksikan 'definisi peran yang diterima masyarakat' tetapi juga memaksakan definisi feminitas yang sempit ini: 'film adalah lahan yang kaya akan penggalian stereotipe perempuan ... Kalau kita melihat ada stereotipe dalam film, hal ini terjadi karena stereotipe ada dalam masyarakat' (Hollows, 2010: 55).
Sejak 1950-an film menjadi lebih merendahkan perempuan dibandingkan masyarakat sendiri. Sama buruknya, film pada tahun 1960-an menanggapi tuntutan perempuan akan kesetaraan dengan serangan balik, sinema menjadi semakin tidak lunak terhadap karakter perempuan. Bersamaan dengan itu pula, banyak feminis yang bergelut dengan film, media, dan kajian budaya yang mulai mengalihkan perhatiannya pada citra untuk perempuan sejak awal 1970-an dan seterusnya. Perjuangan tersebut diikuti dengan kemunculan Studi Film Feminis. Feminist Film Studies emerged from the dialogue between the women's movement and progressive film theory in the early 1970s. It is tempting to cast this as an encounter between the pleasures of cinephilia and the politics of feminism, but more accurate to point to the tensions and contradictions between pleasure and politics within film theory as well as feminist thinking at that time. In the 1970s and 1980s, feminism contained a spectrum of views on sexuality, ranging from sexual libertarianism to radical separatism (Butler, 2008: 391).
Pergelutan dengan film memunculkan karya Kate Millet Sexual Politics, Shulamith Firestone The Dialectic of Sex, Germaine Greer The Female Eunuch, dan antologi Robin Morgan, Sisterhood is Powerful. Beredar dua tahun setelah penerbitan karya tersebut, pada 1972 terbit edisi pertama jurnal Amerika Women and Film. Jurnal Women and Film mendeklarasikan diri sebagai bagian dari feminisme gelombang kedua. Proyek pribadi itu memiliki tujuan: mewujudkan transformasi dalam praktek pembuatan film, mengakhiri ideologi penindasan dan pen-stereotip-an, dan penciptaan sebuah estetika feminis kritis (Gamble, 2010;117).
Posfeminisme lahir pada awal 1990-an dengan menciptakan pergeseran konseptual di dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan ke debat yang berfokus pada perbedaan. Artinya tidak semua perempuan dalam posisi yang sama dengan kategorisasi perempuan dalam perkembangan wacana feminisme gelombang kedua. Posfeminisme menunjukkan bahwa wilayah kajian feminisme tidak hanya terfokus pada isu kehidupan perempuan kulit putih dengan persoalan penindasan patriarki. Pada tahun 90-an, posfeminisme dengan girl power menyampaikan suatu penolakan tersembunyi terhadap beberapa konsep yang umumnya diidentifikasi sebagai konsep feminisme gelombang kedua, seperti gagasan bahwa industri kecantikan dan fashion berperan dalam pengobjektivikasian perempuan. (Gamble, 2010;311). Ia berupaya menciptakan alternatif-alternatif dalam konstruksi-konstruksi kekuasaan patriarkal. Dalam bukunya, Semiotika Media, Danesi (2010:145) menyebutkan pada pertengahan 1990-an, pergi menonton film telah menjadi hal yang perlu dilakukan bagi khayalak. Film meraih statusnya sebagai pembuat tren pada budaya pop. Secara cerdas, film merepresentasikan tren girl power pada masyarakat luas yang menampilkan berbagai karya dengan pemeran wanita yang memiliki gambaran tangguh seperti berpakaian kulit, sepatu bot berhak tinggi, dengan pikiran setajam pisau dan tubuh yang sesuai. Representasi dapat diartikan sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat ini didefinisikan sebagai penggunaan tanda-
tanda (gambar, suara dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang dapat dicerap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik (Danesi, 2010;03). Representasi girl power dengan apik ditunjukkan dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2001) karya sutradara kawakan Ang Lee. Film ini merupakan fantasi bela diri yang berseting pada abad 19 di Cina, dengan pahlawan perempuan yang dapat menyapu satu gerombolan preman laki-laki, bahkan digambarkan tanpa bersusah payah sedikitpun. Tren yang ditampilkan ini masih berlanjut sampai saat ini. Banyak tokoh perempuan yang seringkali mengalahkan musuh laki-laki pada layar perak, yang mereka atasi dengan kombinasi ketangguhan dan kecantikan. Pembahasan mengenai pahlawan aksi perempuan sendiri muncul sejak permulaan 1990-an. Visualisasi pada layar perak dari penggambaran perempuan ini pada akhirnya mendorong teori feminis pada 1990-an untuk mengembangkan model baru dalam subyektivitas dan identitas perempuan. Feminist criticism's return to the question of the active female protagonist was prompted by the emergence of a new breed of female action hero in contemporary Hollywood films, as exemplified by the Alien films (Ridley Scott, UK, 1979; James Cameron, US/UK, 1986; David Fincher, US, 1992; Jean-Pierre Jeunet, US, 1997), the first two Terminator films (James Cameron, US, 1984; James Cameron, France/US, 1991), Blue Steel (Kathryn Bigelow, US, 1990), The Silence of the Lambs (Jonathan Demme, US, 1991), The Long Kiss Goodnight (Renny Harlin, US, 1996) and the Kill Bill films (Quentin Tarantino, US, 2003;2004)(Butler, 2008: 403).
Thelma & Louise (Ridley Scott, 1991) menjadi batu loncatan dari pemulihan gambaran perempuan di sinema Hollywood. Tren ini diikuti dengan produksi Stepmom (Chris Columbus, 1998), How to Make an American Quilt (Jocelyn Moorhouse, 1995), To Wong Foo, Thanks for Everything, Julie Newmar (Beeban
Kidron, 1995), dan Waiting to Exhale (Forest Whitaker, 1995) di antara film-film sejenis yang lain. Film Scott selalu berfitur perempuan tangguh. (Clarke, 2002;125-126). Seperti halnya Ridley Scott menggabungkan noir dengan fiksi ilmiah di Blade Runner dan horor dengan fiksi ilmiah di Alien, serta menempatkan karakter perempuan tangguh dalam esensi kedua film tersebut, pada Thelma & Louise dua karakter perempuan tangguh ditempatkan di genre laki-laki, road film. Penelitian terhadap film yang menggunakan karakter perempuan tangguh dilakukan. Penelitian dilakukan melihat adanya kecenderungan film dikonstruksikan sebagai penggambaran perempuan tangguh dalam bentuk dukungan maupun kritikan. Penelitian terhadap film dilakukan karena film didesain untuk memiliki efek pada pemirsanya. Film berhasil sebagai media komunikasi karena ia berinteraksi melalui kebutuhan imajinatif pemirsanya yang tidak dapat diterima melalui media lain (Bordwell & Thompson, 2010: 02). Prometheus (2012), sebuah film yang menjadi prekuel tidak langsung dari karya Ridley Scott pada 1979, Alien, menjadi film yang dipilih untuk menjadi subyek penelitian. Twentieth Century Fox sendiri adalah studio yang mengadaptasi naskah film ini ke layar perak dengan penulis naskah Jon Spaihts dan Damon Lindelof serta kembali disutradarai oleh Ridley Scott. Hal yang diutamakan dalam penelitian adalah bagaimana Prometheus mempresentasikan posfeminisme.
Banyak
film-film
produksi
Hollywood
bertema
fiksi
ilmiah
yang
menggunakan tokoh utama laki-laki, Prometheus sendiri menggunakan tema fiksi ilmiah dengan karakter utama perempuan. Prometheus dipilih sebagai subyek penelitian karena berbeda dengan film-film fiksi ilmiah Hollywood pada umumnya. Sepak terjang sang sutradara dalam industri perfilman memperkuat adanya unsur posfeminisme di dalam film Prometheus. Selanjutnya, Ridley Scott kembali memberikan gambaran karakter perempuan-perempuan tangguh dalam Prometheus. Adanya kemungkinan Prometheus diproduksi bukan sebagai film yang murni merepresentasikan posfeminisme sepenuhnya juga perlu diperhatikan. Tetap saja, bagaimana nilai-nilai posfeminisme direpresentasikan oleh film ini adalah hal yang menarik untuk dikaji. Ilmu semiotika dapat digunakan untuk meneliti representasi suatu ideologi dalam film. Pengamat film Van Zoestmen menilai bahwa menggunakan semiotika Charles Sanders Pierce memberikan perspektif pada penelitian tentang film karena penanganan terhadap konsep-konsep Pierce seperti 'ikon', 'indeks', dan 'simbol' lebih memberikan perspektif (Sobur, 2006;130). Hal tersebut disebabkan karena film merupakan medium seni audio visual di mana kontennya tersusun atas jalinan tandatanda yang bersifat ikonis, indeksial, dan simbolis. Pada dasarnya film dapat dikategorikan sebagai media komunikasi massa yang memiliki tempat penting dalam masyarakat kontemporer. Dengan memberi perhatian lebih pada karakteristik sosial sutradara, relevansi dengan ideologi yang terekspresi dalam film buatannya dapat dilihat (Tunstall, 1974;92-94).
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah dijabarkan pada latar belakang, masalah penelitian akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1. Apa
saja
tanda-tanda
pada
Prometheus
yang
merepresentasikan
posfeminisme? 2. Makna
apa
yang terkandung
dari
tanda-tanda
posfeminisme
yang
direpresentasikan Prometheus?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menemukan
tanda-tanda
pada
Prometheus
yang
merepresentasikan
posfeminisme. 2. Menjelaskan makna dari tanda-tanda posfeminisme yang direpresentasikan Prometheus.
1.4 Signifikansi Penelitian Signifikansi penelitian akan dibagi menjadi dua jenis, antara lain signifikansi akademik dan signifikansi praktis. 1.4.1 Signifikansi Akademis Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi tentang analisis atau penelitian mengenai teks media, dalam hal ini film, dengan teori semiotika yang berhaluan Pierce. Penelitian ini dapat memberikan gambaran
konsep dan analisis yang mampu menjadikan khalayak memahami bagaimana seperangkat tanda dikonstruksikan melalui media. Selanjutnya, hasil penelitian juga mampu digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian bagaimana film dapat melakukan konstruksi realitas melalui seperangkat tanda dan bagaimana hal ini dapat digunakan sebagai medium representasi ideologi. 1.4.2 Signifikansi Sosial Penelitian ini dapat memicu khalayak untuk memahami bagaimana film dapat digunakan sebagai medium untuk merepresentasikan suatu ideologi sehingga mampu berpikir kritis saat menonton film. Dengan pikiran kritis, khalayak tidak akan dengan mentah menerima apa yang disajikan oleh film, karena telah menyadari adanya tujuan tertentu di balik pembuatan film. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan untuk memahami karya film bukan hanya berperan sebagai media hiburan semata, tetapi juga sebagai alat yang efektif untuk merepresentasikan suatu ideologi. Film telah berkembang menjadi medium yang mampu berfungsi sebagai alat kritik sosial, bahkan dapat memicu suatu perubahan sosial.