Bab I
Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam sejarah perkembangan dunia, hubungan antara agama dan politik merupakan sebuah persoalan yang sangat dilematis hingga saat ini. Dikatakan demikian karena dalam perkembangannya, agama dan politik saling mempengaruhi dalam berbagai aspek, sehingga berdampak pula pada worldview-nya masing-masing. Bahkan dalam berbagai realitas, terdapat fenomena bahwa agama dan politik saling menguasai. Fenomena ini didasarkan pada anggapan bahwa penonjolan terhadap salah satu pihak dalam kekuasaan negara, justru akan berpengaruh positif maupun negatif terhadap perkembangan dan stabilitas suatu negara.1 Kesimpulannya, ada berbagai pemaknaan terhadap relasi antara agama dan politik. Di satu pihak agama dan politik dikatakan sebagai satu-kesatuan yang hakiki, di pihak lain agama dan politik dilihat sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif. Ironisnya, kedua-duanya tidak pernah berhasil dilakukan.2 Dalam konteks Indonesia, ditemukan pula fenomena yang sama, bahkan Indonesia memiliki kekhasan tersendiri tentang relasi agama dan politik dalam ideologi Pancasila. Menurut ideologi Pancasila, Indonesia bukan negara sekular melainkan negara beragama. Tetapi Indonesia juga bukan negara suatu agama tertentu, melainkan negara yang
1
Bernard Adeney-Risakotta, “Agama dan Politik: Interaksi dalam Sejarah Dunia Umumnya dan Indonesia Khususnya” dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana edisi 59 Tahun 2004: Teologi dan Politik, (Yogyakarta: Fakultas Teologi UKDW, 2004), hlm. 10-17. Uraian ini didasarkan pada sisi dilematis relasi agama dan politik dalam konteks perkembangan agama-agama dunia, misalnya relasi agama dan politik dalam pemerintahan ‘Kekaisaran Roma Suci’ di era Konstantinus, konteks agama Yahudi, maupun dualisme agama dan politik dalam konteks negara-negara Islam di Timur Tengah. 2 Bernard Adeney-Risakotta, hlm. 7.
1
mendukung lima agama.3 Ideologi Pancasila tidak menyatukan agama dan politik, tetapi tidak memisahkannya juga. Inilah awal dari krisis keagamaan di Indonesia, akibat dari ketidakjelasan relasi agama dan politik. Di Indonesia, agama diidentikkan sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Hal ini dilakukan melalui upaya politisasi keagamaan. Upaya politisasi agama ini dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melalui formalisasi konstitusi. Bahkan dalam banyak hal, sesuatu dinyatakan keabsahannya kalau “diagamakan”, sebuah contoh dari abad kegelapan di Eropa masa pertengahan (dark middle ages).4 Logika tersebut (agama pro kekuasaan), bisa juga dibalik. Ketika yang terjadi adalah sebaliknya, itu berarti ada pihak-pihak tertentu yang ingin mempertahankan eksistensi identitas dan kekuasaannya dengan meraih simpati agama. Ironisnya, politisasi keagamaan dalam konteks Indonesia yang pluralistik ini hanya dilihat sebagai sebuah keniscayaan belaka, tanpa memperhitungkan kenyataan sosial di tengah-tengah masyarakat yang memperlihatkan adanya ‘relasi dominasi’ di bidang keagamaan. Fenomena-fenomena yang digambarkan di atas pun merupakan sebuah gambaran realitas dalam konteks Papua.5 Bahkan saat ini, muncul sebuah permasalahan baru ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari berniat untuk menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) berbasis Injil menjadi Peraturan Daerah (Perda),6 untuk menjadikan Manokwari sebagai “Kota Injil.” Hal ini memicu reaksi pro-kontra dari berbagai kalangan di Papua maupun di seluruh Indonesia, baik dari kalangan masyarakat, agama maupun instansi pemerintah. Berbagai reaksi yang timbul terhadap kebijakan ini, tentunya 3
Di zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu mendapat pengakuan, namun sampai saat ini belum ada kejelasan tentang penetapan tersebut; lihat E.G. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks di Awal Millenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 100-101. 4 Benny Susetyo, Politik, Agama & Kekuasaan, (Malang: Averoess Press, 2007), hlm. 56-58. 5 Sebagai contoh misalnya keputusan bersama Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua tahun 2000 bahwa Hari Peringatan Injil Masuk Tanah Papua setiap tanggal 5 Pebruari ditetapkan sebagai hari libur khusus. 6 Untuk memudahkan dalam penulisannya, Rancangan Peraturan Daerah selanjutnya disebut “Raperda” dan Peraturan Daerah disebut “Perda”.
2
didasarkan pada ideologi tertentu. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya melihat permasalahan ini secara holistik, tanpa terjebak dalam ideologi dominan yang berkembang di masyarakat.
B. PERMASALAHAN 1. Kontroversi Raperda Berbasis Injil di Manokwari: Titik Berangkat Seperti diuraikan sebelumnya, fenomena politisasi agama juga turut terjadi dalam konteks Papua, khususnya di Kabupaten Manokwari. Politisasi agama ini terjadi dalam bentuk formalisasi konstitusi, yaitu pembuatan Raperda tentang Manokwari sebagai “Kota Injil.” Fenomena ini tidak terlepas dari pemaknaan masyarakat Papua terhadap kota Manokwari, karena Manokwari adalah tempat untuk pertama kalinya Injil diberitakan di atas Tanah Papua, tepatnya pada tanggal 5 Pebruari 1855. Berdasarkan peristiwa historis ini, masyarakat Papua mengakui bahwa Allah sendiri yang memulai tindakan penyelamatan dan pembebasan dalam kehidupan manusia dan bangsa Papua. Alasan ini yang menyebabkan sehingga peristiwa ini selalu diperingati dengan perayaan secara besar-besaran. Bahkan sejak tahun 1990 diadakan “wisata rohani” atau “ziarah rohani” di Manokwari dan pulau Mansinam, yang melibatkan ribuan warga gereja dari seluruh pelosok Papua maupun wisawatan domestik dan mancanegara, untuk mengikuti kegiatan akbar ini.7 Melihat betapa pentingnya pemaknaan masyarakat terhadap peristiwa bersejarah ini, maka pada bulan Agustus tahun 2000 Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua membuat keputusan bersama yang isinya menetapkan bahwa Hari Peringatan masuknya Injil di Tanah Papua setiap tanggal 5 Pebruari ditetapkan sebagai hari
7
M.Th. Mawene, Ketika Allah Menjamah Papua, (Jayapura: Panitia Perayaan Tingkat Provinsi 148 Tahun Injil Masuk di Tanah Papua, 2003), hlm. 51-52.
3
libur khusus bagi seluruh masyarakat Papua dan seluruh instansi pemerintah maupun swasta. Kenyataannya pemaknaan terhadap peristiwa historis tersebut menimbulkan efek multiinterpretasi. Tampaknya opini dominan yang dikembangkan di masyarakat, lebih mengarah ke sikap konfrontasi terhadap kemunculan Raperda berbasis Injil ini.8 Bahkan kemunculan Raperda ini (awal Maret 2007) semata-mata dipandang bermuatan politik, karena dianggap sebagai kebijakan tandingan untuk mendobrak dominasi kelompok tertentu.9 Secara umum, tema utama dalam Raperda tersebut mengandung aspirasi masyarakat Papua untuk menjadikan Manokwari sebagai “Kota Injil.” Sebagai konsekuensi dari status tersebut, maka diperlukan pembinaan mental spiritual berbasis nilai Kristiani, misalnya (a) Penataan Asesoris, Simbol, dan Tata Peribadatan (bab V bagian ketiga pasal 19 s/d 21); (b) Penataan Aktivitas Publik, Pembangunan Sarana Pendidikan dan Peribadatan serta Tata Busana (bab V bagian keempat pasal 22 s/d 27); (c) Penataan Kegiatan Usaha Perhotelan, Restoran, Panti Pijat, Salon, Rumah Sewa, dan Tempat Rehabilitasi Sosial (bab V bagian kelima pasal 28); serta (d) Penertiban Pekerja Seks Komersial, Minuman Beralkohol serta Penanggulangan Narkotika dan Obat Terlarang (bab V bagian keenam pasal 29 s/d 32).10 Namun tampaknya maksud tersebut diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga kemudian dianggap kontroversial dan diskriminatif. 8
KWI & PGI Tolak Raperda Berdasarkan Injil, http://swaramuslim.net/galery/papua diakses tanggal 6 Maret 2008 jam 11.46 wib. Kemunculan Raperda ini mendapat reaksi negatif dari KWI dan PGI dengan alasan akan menimbulkan diskriminasi, serta tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan Pancasila. 9 Asrori S. Karni, Draft Perda Agama: Bola Panas Serambi Yerusalem, http://swaramuslim.net/galery/papua diakses tanggal 6 Maret 2008 jam 11.46 wib. Dalam artikel ini tertulis sebuah pernyataan sbb: Jika Aceh di ujung barat berjuluk “Serambi Mekkah”, maka kini kota Manokwari di Papua, dideklarasikan sebagai “Serambi Yerusalem”. 10 Pemerintah Daerah Kab. Manokwari, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penataan Manokwari Sebagai Daerah Injil, (Manokwari: Setda Kab. Manokwari cq Bagian Hukum dan HAM, 2008), hlm. 20-22. Uraian komposisi Raperda berbasis Injil ini belum dipublikasikan secara umum, serta masih terus direvisi untuk diusulkan ke pemerintah pusat di Jakarta. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, fenomena umum di masyarakat Papua menunjukkan bahwa secara de facto Manokwari telah menjadi “Kota Injil”, walaupun secara yuridis belum mendapat legalisasi hukum formal.
4
2. Manokwari “Kota Injil”: Gambaran Ide Umat Pilihan dalam konteks Papua Dari segi historis-teologis, Manokwari merupakan kota yang sangat penting dalam perkembangan sejarah Kekristenan di Papua. Perkembangan ini dimulai ketika dua orang zendeling Jerman utusan Utrechtse Zendings Vereniging (UZV) yaitu Carl William Ottow dan Johan Gottlob Geissler tiba di pulau Mansinam, sebuah pulau kecil yang terletak di Teluk Doreh, Manokwari, untuk memberitakan Injil. Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Mansinam, kedua zendeling ini mendasari misi mereka dengan mengucapkan pernyataan: “Dalam nama Allah kami menginjakkan kaki di atas tanah ini.”11 Pernyataan ini diinterpretasikan sebagai sebuah doa sulung, sekaligus merupakan sebuah credo yang mendasari misi pemberitaan Injil di Papua. Makna teologis yang dibangun menyiratkan pengertian bahwa melalui Manokwari, Papua “dibaptis” dan menjadi milik Allah.12 Dari segi politik, kota Manokwari memiliki catatan sejarah yang lebih tua dibandingkan dengan sejarah Kekristenan di Papua. Sejarah Manokwari di bidang politik dimulai ketika bangsa Portugis pertama kali mengunjungi Papua pada tahun 1551 di Manokwari. Ekspansi ini tidak terlepas dari konteks imperialisme yang berkembang di Eropa pada waktu itu. Terkait dengan persoalan historiografi kota Manokwari di atas, penulis melihat kemunculan Raperda berbasis Injil di Manokwari sebenarnya merupakan indikasi dari munculnya ide “umat pilihan” dalam konteks Papua, dengan bertitik tolak dari identitas keagamaan. Indikasi ini sesuai dengan beberapa catatan dari E.G. Singgih sekitar kemunculan ide umat terpilih, yaitu: Pertama, pemahaman bahwa perkembangan karakter
11
F.C. Kamma, Ajaib Di Mata Kita Jilid I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), hlm. 87. Dari segi analisa bentuk sastra (form criticism), makna ucapan ini ditafsirkan dari segi “rumus penaklukan” dan dari segi “rumus votum.” Dari segi rumus penaklukan, ucapan ini berarti mulai saat itu tanah dan penduduknya resmi menjadi milik Allah, hanya Allah yang berkuasa di atas tanah ini. Dari segi rumus votum, ucapan ini berarti mulai saat itu di atas tanah Papua berlangsung kebaktian (ibadah) kepada Allah yang hidup; lihat M.Th. Mawene, Ketika Allah Menjamah Papua, hlm. 54-55. 12
5
suatu agama dari tahap partikular ke tahap universal bukan bertolak dari kenyataan yang ada, karena banyak aliran religius yang justru berkembang terbalik (dari universal ke partikular). Dengan demikian perkembangan ide umat terpilih ini tidak bisa ditentukan secara evolusionistik, tetapi menurut berbagai macam dinamika pasang surut. Kedua, ide umat terpilih biasanya diasosiasikan dengan kelompok-kelompok minoritas untuk mengatasi fakta minoritasnya. Meskipun demikian, menurut E.G. Singgih, asosiasi ini tidak sepenuhnya benar, karena dalam kenyataannya agama-agama mayoritas di dunia pun sangat menekankan partikularitasnya. Ketiga, apabila suatu agama mayoritas menekankan partikularitasnya (karena jumlahnya yang banyak), maka yang terjadi justru partikularitas dalam bentuk “universalisme”.13 Merujuk kepada catatan-catatan E.G. Singgih di atas, dapat dilihat bahwa kemunculan ide umat pilihan ini sangat sejalan dengan fenomena umum di kalangan masyarakat di Papua yang mencoba memahami pemberitaan gerejawi berdasarkan kerangka berpikir (frame of reference) mereka yang bertemakan “pembebasan.” Hal ini tidak terlepas dari konteks masyarakat Papua yang mengalami berbagai penderitaan, sehingga kemudian menjadi sebuah rangkaian memoria passionis (ingatan penderitaan)14 yang mendorong mereka untuk keluar dari tekanan pihak penindas. Usaha untuk keluar dari ketertindasan ini dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk melalui pemberitaan gereja (perspektif teologis). Dalam pemberitaan gerejawi maupun pemaknaannya di dalam masyarakat, Alkitab (Kitab Suci) dilihat sebagai sebuah “jendela” yang dapat memberi sebuah harapan atau kemungkinan untuk melihat dunia baru yang lebih baik daripada yang mereka hayati sehari-
13
E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam era Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 128-129. Untuk selanjutnya, analisis E.G. Singgih ini akan penulis gunakan sebagai salah satu rujukan utama guna menganalisis pertemuan dialogis idea umat pilihan dalam teks Ulangan 7:1-26 dengan konteks Papua. 14 Theo van den Broek – J. Budi Hermawan, Memoria Passionis di Papua, (Jakarta: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan [LSPP] Jakarta, 2001), hlm. 74-77.
6
hari. Dunia yang baru ini terkadang oleh masyarakat Papua diidentikkan dengan Papua Baru, yaitu Papua (Barat) yang merdeka.15 Konsekuensinya, pemberitaan firman yang diwartakan oleh Gereja sering berfungsi untuk (a) menyerap aspirasi pembebasan rakyat untuk Papua Baru yang merdeka, sekaligus (b) menjadi sarana dan sumber inspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa Allah mendukung bangsa Papua Barat untuk merdeka.16 Pemaknaan terhadap pemberitaan Gereja sebagaimana diuraikan di atas melahirkan sebuah keyakinan iman yang kuat, yang pada akhirnya menempatkan pemberitaan Gereja sebagai sebuah pintu masuk menuju pembebasan, baik dalam perspektif teologis maupun politis. Berdasarkan keyakinan ini, maka masyarakat Papua kemudian mengidentifikasikan diri mereka sesuai dengan pengalaman dan perjuangan bangsa Israel keluar dari Mesir.17 Narasi Keluaran dari Mesir maupun teks-teks Kitab Suci, bahkan nyanyian-nyanyian gerejawi yang bertemakan kemerdekaan dan pembebasan, seolah menjadi inspirasi baru guna memupuk spiritualitas pembebasan.18 Di sini Kitab Suci dijadikan sebagai bahan hermeneutik analogi ala Papua, yang kemudian dijadikan sebagai sebuah pilar perjuangan menuju suasana kebebasan. Dalam kerangka Teologi Pembebasan, karakteristik penafsiran Alkitab seperti ini dipandang sebagai sebuah kewajaran, karena dalam penafsiran tersebut terjadi identifikasi nilai dari teks Alkitab ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, maupun sebaliknya.19
15
Benny Giay, Menuju Papua Baru, (Jayapura: Deiyai, 2000), hlm. 61. Benny Giay, hlm. 60. 17 Benny Giay, hlm. 61. 18 M.Th. Mawene, “Christ and Theology of Liberation in Papua” dalam EXCHANGE: Journal of Missiological and Ecumenical Research Vol. 33, editor Freek Bakker, (Leiden: Koninlijke Brill, 2004), hlm. 157-160. 19 Carlos Mesters, “The Use of the Bible in Christian Communities of the Common People” dalam The Bible and Liberation: Political and Social Hermeneutical, editor Norman K. Gottwald, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983), hlm. 128. 16
7
Berdasarkan keseluruhan uraian permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan yang terjadi tidak hanya bertumpu pada Raperda berbasis Injil di Manokwari. Persoalan yang timbul sebenarnya merupakan percampuran antara konsep Kekristenan yang fundamental dengan spiritualitas pembebasan, yang dipandang sebagai “identitas diri” yang hakiki. Sikap ini akhirnya berkembang menjadi ide umat pilihan dalam konteks Papua. Dengan demikian, menurut hemat penulis, Raperda Manokwari “Kota Injil” sebenarnya merupakan bentuk dari ideologi umat pilihan yang diekspresikan dalam konteks masyarakat Papua, dengan menekankan eksistensi identitasnya. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah ide umat pilihan ini masih relevan hingga saat ini? Jika masih memiliki relevansi teologis, maka bagaimana kita menempatkan ide umat pilihan ini dalam konteks Papua maupun dalam konteks Indonesia? Apakah ide umat pilihan dengan menonjolkan “identitas keagamaan” merupakan sesuatu yang ideal, atau justru menciptakan “relasi dominasi” di tengah masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini dikemukakan dengan maksud untuk mencoba memahami persoalan ide umat pilihan dalam bentuk Raperda berbasis Injil ini secara obyektif. Artinya, jangan sampai kemunculan Raperda Manokwari “Kota Injil” ini justru menciptakan “relasi dominasi” dalam konteks Papua. Sebaliknya, persoalan ini jangan dilihat dari sebuah sudut pandang saja secara negatif, sehingga bisa mengakibatkan timbulnya sikap konfrontasi terhadap identitas masyarakat Papua. Melalui tesis ini, penulis akan mencoba untuk melihat bagaimana masyarakat Papua memaknai ide umat pilihan ini, dalam bentuk tanggapan terhadap Raperda Manokwari “Kota Injil” sebagai sentrum permasalahannya. Langkah terpenting di sini adalah bagaimana menemukan ideologi yang dibangun di balik Raperda berbasis Injil tersebut. Hal ini, menurut hemat penulis, merupakan urgensi permasalahan yang harus ditemukan dan dianalisis, guna melahirkan sebuah ideologi baru sebagai alternatif pemaknaan yang lain.
8
C. TEKS ALKITAB Alkitab merupakan sebuah hasil karya yang dalam sejarahnya ternyata dipenuhi oleh berbagai intrik politik dan kepentingan berbagai kelompok. Perjanjian Lama, secara khusus, dalam sejarah peredaksiannya, justru berawal dari lingkungan penguasa.20 Karena berasal dari lingkungan penguasa, tidak mengherankan apabila berbagai dokumen dalam Perjanjian Lama bisa dikatakan merupakan bagian dari upaya para penguasa untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan.21 Dalam tesis ini penulis akan mencoba untuk menganalisis konsep ideologi umat pilihan dalam kitab Ulangan, khususnya dalam teks Ulangan 7:1-26. Kitab Ulangan merupakan kitab yang mengisahkan tentang keberadaan bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan, oleh sebab itu Israel harus menjaga identitasnya sebagai bangsa pilihan dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain. Secara umum struktur kitab Ulangan berisikan anjuran-anjuran maupun pemberian hukum-hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel, yang dikemas dalam bentuk pidato Musa.22 Secara khusus dalam teks Ulangan 7:1-26, dikisahkan tentang bagaimana Israel harus menjaga identitasnya berdasarkan perintah Tuhan, dan janji berkat yang akan diterima sebagai konsekuensi dari ketaatan kepada Tuhan. Teks ini dimulai dengan perintah Tuhan untuk menumpas bangsa-bangsa Kanaan (Ul. 7:1-2a,16-25), disertai dengan larangan untuk membuat perjanjian dan larangan perkawinan campur dengan bangsa-bangsa tersebut (Ul. 7:2b-3). Larangan-larangan ini dimaksudkan untuk melindungi Israel dari bahaya sinkretisme (Ul. 7:4-5,16,25-26), sebab Israel adalah “umat yang kudus, umat kesayangan
20
Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 8. 21 Robert B. Coote & Mary P. Coote, hlm. 9. 22 W. S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm.247-249; bnd. I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1 – 11, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 3-4.
9
yang dipilih oleh Allah dari segala bangsa di muka bumi” (Ul. 7:6). Oleh sebab itu Israel harus selalu hidup di dalam ketaatan kepada Tuhan, karena keterpilihan Israel semata-mata didasarkan atas kasih setia Tuhan yang tetap setia berpegang pada perjanjian-Nya (Ul. 7:710). Konsekuensi dari ketaatan tersebut akan membawa berkat bagi Israel, yang mencakup materi maupun jaminan penyertaan Tuhan (Ul. 7:12-15). Sebaliknya, jika Israel hidup di dalam ketidaktaatan kepada Tuhan, maka Tuhan akan menjadi murka terhadap orang-orang yang membenci Dia (Ul. 7:11,26). Dengan demikian Israel benar-benar dituntut secara total untuk memelihara identitasnya sebagai umat pilihan, dengan cara hidup di dalam kekudusan dan ketaatan kepada Tuhan. Setelah membaca teks Ulangan 7:1-26, maka dari sudut pandang yang lain, narasi tentang keberadaan Israel sebagai umat terpilih ini sebenarnya mengandung berbagai persoalan etis yang perlu dikritisi. Dalam teks ini, penulis kitab Ulangan justru menggambarkan adanya tindakan kekerasan dalam pendudukan tanah Kanaan (Ul. 7:12a,16-25), maupun keberpihakan Tuhan kepada Israel (Tuhan berperang bagi Israel) dalam proses pendudukan tanah Kanaan (Ul. 7:1-2a,16-25). Bahkan Israel dianjurkan bukan saja untuk menumpas bangsa-bangsa Kanaan, melainkan juga untuk memusnahkan berbagai sarana peribadatan dalam kultus bangsa-bangsa Kanaan (Ul. 7:5,25). Tampaknya kandungan makna maupun modus produksi dari teks di atas, menurut hemat penulis, diduga merupakan bagian dari ideologi umat pilihan dalam bentuk ideologi kerajaan23 yang imperialistis, yang ingin dikembangkan oleh penulis kitab Ulangan. Ideologi umat pilihan ini, justru merupakan sebuah persoalan etis. Berbagai instruksi yang digambarkan di dalam teks Ulangan 7:1-26 sangat menganut pandangan triumfalis, eksklusif 23
Ideologi Kerajaan bukan hanya dalam pengertian yang konkret, melainkan juga dalam bentuk-bentuk pemerintahan yang imperialistis. Jika memiliki ciri imperialistis, maka dapat dipastikan darinya akan lahir ideologi yang dominan; lihat Robert Setio, “Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja” dalam PENUNTUN: Jurnal Teologi dan Gereja Vol. 5 Nomor 20, 2004, (Jakarta: Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, 2004), hlm. 391-392.
10
dan intoleran24 sebagai keyakinan teologis, walaupun sarat dengan sikap resistensi keagamaan.25 Gerakan sentralisasi Israel sebagai umat pilihan seperti diutarakan di atas merupakan gerakan yang menindas. Sentralisasi Israel sebagai umat pilihan dilakukan dengan menjadikan keberpihakan Tuhan sebagai justifikasi, namun sebenarnya penuh dengan motif kepentingan kekuasaan dan identitas-nasionalistik yang terkesan konservatif dan hegemonik. Ideologi umat pilihan ini justru melahirkan tindakan yang represif. Walaupun demikian, penulis kitab Ulangan tampaknya menilai bahwa ideologi umat pilihan merupakan sesuatu yang tepat, karena Tuhan berpihak kepada Israel. Penilaian seperti ini justru menimbulkan permasalahan baru. Untuk itu dalam tesis ini akan dilakukan analisis kritis guna mengkritik ideologi umat pilihan di dalam kitab Ulangan, khususnya teks Ulangan 7:1-26, dalam bentuk analisis terhadap ideologi penulis, ideologi teks, maupun ideologi pembaca. Berdasarkan hasil analisis terhadap teks Ulangan 7:1-26, penulis kemudian mendialogkan teks dengan konteks masyarakat Papua, terkait kemunculan Raperda berbasis Injil di Manokwari. Harus diakui, perbedaan konteks merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini tidak terlepas dari persoalan sudut pandang dalam melihat “kewibawaan”26 Alkitab sebagai firman Tuhan. Namun, persoalannya kemudian adalah bagaimana memahami kewibawaan Alkitab dalam teks-teks yang mengandung persoalan etis seperti ini. Merujuk persoalan tersebut, maka sebagai pembaca Alkitab yang hidup di zaman ini dan dalam konteks tersendiri, kebutuhan warga Gereja akan pemaknaan baru
24
E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam era Reformasi di Indonesia, hlm. 133. Julianus Mojau, “Teologi Diskriminasi Vis A Vis Teologi Kemanusiaan” dalam Diskriminasi di Sekeliling Kita: Negara, Politik Diskriminasi dan Multikulturalisme, editor Suhadi Cholil, (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2008), hlm. 83. 26 Dengan mengutip serta menganalisis pendapat E. Jüngel tentang kewibawaan Alkitab, James Barr berpendapat bahwa konsep “kewibawaan” di dunia modern ini justru diidentikkan dengan “keotoriterian” yang memaksakan kewibawaan itu, sehingga orang ditundukkan tetapi tidak diyakinkan dengan konsep kewibawaan tersebut. Itu berarti konsep kewibawaan merefleksikan hubungan kekuasaan; lihat James Barr, Alkitab di Dunia Modern, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 37, 40-41. 25
11
terhadap teks ini juga merupakan suatu hal yang amat penting. Dengan menemukan jawaban terhadap persoalan etis dalam teks, maka makna kewibawaan Alkitab justru lebih bersifat dinamis.27 Oleh sebab itu penting sekali bagi kita untuk menyoroti teks ini secara fungsional,28 guna menjawab permasalahan kontekstual. Dalam konteks persoalan Raperda berbasis Injil di Manokwari, hal ini sangat diperlukan untuk melahirkan pemaknaan yang baru terhadap ideologi umat pilihan yang berkembang dalam konteks Papua, supaya masyarakat tidak terjebak dalam kebutaan ideologi.
D. PENDEKATAN HERMENEUTIS Berdasarkan analisis terhadap teks Ulangan 7:1-26 yang telah dikemukakan sebelumnya, ternyata ditemukan persoalan etis yang perlu dikritisi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ketika sebuah teks Alkitab memiliki permasalahan etis, maka permasalahan tersebut perlu dijelaskan guna memberi makna kepada pembaca. Ini merupakan sebuah tantangan bagi penafsir guna membongkar dan mengkritisi teks tersebut. Oleh sebab itu, ketika pembaca yang juga sekaligus sebagai penafsir berhadapan dengan persoalan etis seperti ini, maka pembaca dituntut untuk bertindak secara etis dan bertanggungjawab terhadap konstruksi makna dari teks tersebut.29 Bertolak dari persoalan etis tersebut, maka metode penafsiran yang akan digunakan oleh penulis sebagai bentuk pendekatan hermeneutis untuk menganalisis teks dan konteks 27
Walaupun melihat konsep “kewibawaan” merefleksikan hubungan kekuasaan, James Barr kemudian menyatakan bahwa konsep ini masih bisa dipertahankan jika diberi pengertian yang lebih “lunak” (bukan statis). Itu berarti (kaitannya dengan kewibawaan Alkitab) konsep ini tidak mengalami pemutlakan, serta terbuka untuk dikoreksi; lihat James Barr, hlm. 238-239. 28 Robert Setio, Membaca Alkitab Menurut Pembaca: Suatu Tafsir Pragmatis, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2006), hlm. 149-151. 29 Demikian Emanuel Levinas sebagaimana dikutip oleh Robert Setio: “When it comes to reading biblical text in particular and making sense of ideological discourse, struggles and conflicts of the Bible, the reader is faced with the challenge of and responsibility for ethical questioning and action” (Ketika membaca teks Alkitab serta bagaimana harus memahami wacana ideologis, pergumulan dan konflik yang ada dalam Alkitab, maka pembaca diperhadapkan pada tanggung jawab terhadap pertanyaan dan tindakan etis); lihat Robert Setio, “Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, hlm. 383; bnd. George Aichele (eds.), The Postmodern Bible, (Yale University Press, 1995), hlm. 275.
12
adalah metode kritik ideologi. Tafsir atau kritik ideologi merupakan salah satu pendekatan hermeneutik dari tipe/strategi Pragmatis, yang sekarang ini mulai banyak dipergunakan oleh para ahli Biblika untuk membahas keberadaan ideologi yang mempengaruhi proses penafsiran.30 Metode ini mulai berkembang sejak diperkenalkan pada tahun 1990 dalam konsultasi Society of Biblical Literature yang membahas tentang penggunaan kritik ideologi dalam penafsiran teks-teks Alkitab.31 Untuk memahami bentuk pendekatan hermeneutis ini, maka selanjutnya akan diuraikan pengertian ideologi dan kritik ideologi.
1. Ideologi Secara umum, istilah “ideologi” dimengerti sebagai seperangkat gagasan/idea atau kepercayaan yang membentuk teori ekonomi dan politik, atau gagasan/idea yang dipegang oleh seseorang atau kelompok tertentu.32 Dalam perkembangannya, terminologi ideologi mengalami beragam pemaknaan. Ideologi dapat mengandung makna negatif (peioratif), karena bersifat teorisasi atau spekulasi dogmatik yang tidak realistis, karena mencoba menutupi realitas yang sesungguhnya. Sebaliknya, ideologipun mengandung makna positif (melioratif) karena diartikan sebagai “sistem gagasan yang mempelajari keyakinankeyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial”.33
30
Robert Setio, “Ideologi Hamba: Menimbang guna tafsir Ideologis dalam konteks pergulatan politik di Indonesia dewasa ini” dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana edisi 59 Tahun 2004: Teologi dan Politik, (Yogyakarta: Fakultas Teologi UKDW, 2004), hlm. 91. 31 David Jobling (ed.) & Tina Pippin (guest ed.), Semeia 59, Ideological Criticism of Biblical Texts, (Atalanta: Scholars Press, 1992), hlm. vii. 32 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford University Press, 1995), hlm. 589. Istilah “ideologi” berasal dari kata Yunani “idea” yang artinya “ide, gagasan” dan “logos” yang artinya “kata/ajaran.” Dengan demikian ideologi diartikan sebagai ilmu (tentang terjadinya) cita-cita, gagasan atau buah pikiran. Istilah ini dipopulerkan oleh Antoine Destutt de Tracy; lihat J.B. Sudarmanto, Agama dan Ideologi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 11. 33 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 306.
13
Dari sudut pandang ilmu sosial, ideologi memiliki relasi yang sangat erat dengan kekuasaan.34 Karl Marx mengartikan ideologi sebagai ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal tidak sah. Ideologi hanya melayani kepentingan kelas penguasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi.35 Hal ini bertujuan untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan yang bersifat asimetris, yang oleh John B. Thompson disebut sebagai ‘relasi dominasi’. Oleh sebab itu untuk mengetahui ideologi apa yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan, maka diperlukan investigasi untuk mengetahui bagaimana makna dikonstruksikan untuk mempertahankan relasi dominasi tersebut.36 Dalam kaitannya dengan studi Alkitab, Walter Brueggemann memahami ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu (false consciousness), karena ideologi tidak lebih dari sebuah kepentingan yang dinyatakan sebagai kebenaran.37 Pendapat ini didasarkan pada penyelidikan Brueggemann terhadap Alkitab, dimana Brueggemann menemukan adanya perbedaan ideologi dengan ideologi yang dianut oleh para penulis Alkitab. Pemaknaan ideologi secara peioratif seperti ini juga sesuai dengan pandangan Norman K. Gottwald yang mendefinisikan ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu, di mana orang tidak bisa membedakan antara kenyataan sosial yang sesungguhnya dengan bayangannya sendiri. Bahkan ideologi terkesan dipahami secara fanatis, dogmatis atau ekstrim. Hampir sejalan dengan Brueggemann, Gottwald melihat gejala kesadaran palsu ini dalam teks-teks kenabian.38
34
John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 19. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 122. 36 John B. Thompson, hlm. 19. 37 G.A. Yee, “Ideological Criticism” dalam Dictionary of Biblical Interpretation Jilid 1 A-J, editor John H. Hayes, (Nashville: Abingdon Press, 1999), hlm. 534. 38 Norman K. Gottwald, “Ideology and Ideologies in Israelite Prophecy” dalam Prophets and Paradigms, editor Stephen B. Reid, (England: Sheffield Academic Press, 1996), hlm. 137-138. 35
14
Walaupun demikian, dari sisi yang lebih positif, Gottwald mendefinisikan ideologi sebagai sebuah sistem atau pola/susunan ide-ide atau keyakinan, yang dipadankan kepada filsafat atau cara pandang (worldview). Dalam kaitannya dengan studi Alkitab, istilah ideologi sering disinonimkan dengan “teologi” atau “agama”, teristimewa di kalangan penganut aliran pembebasan. Ideologi juga mengandung pengertian sebagai sistem atau ideide atau keyakinan yang dihubungkan dengan kondisi kehidupan dan kepentingan pribadi dari suatu kelompok masyarakat tertentu, yang juga mencakup kritik sejarah sosial maupun kebudayaan.39 Sementara itu, Terry Eagleton memaparkan ideologi sebagai sebuah fenomena khusus yang berbasis dalam bahasa atau sastra suatu masyarakat. Di sini ideologi tidak hanya dihubungkan pada produksi teks sastra, tetapi pada produksi sejarah di dalam suatu masyarakat.40 Juga bagi Eagleton, ideologi memiliki keterkaitan dengan diskursus dan kekuasaan. Ideologi dihadapkan pada diskursus setiap teks, yaitu pada apa yang dikatakan maupun apa yang tidak dikatakan dalam sebuah teks. Sejalan dengan Eagleton, François Houtart mengartikan ideologi sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaan.41 Dengan demikian ideologi dipahami sebagai bagian integral dari eksistensi masyarakat, serta representasi dari hubungan kekuasaan. Dalam tesis ini, penulis mencoba memahami pengertian ideologi secara lebih positif, dalam kaitannya dengan ideologi umat terpilih dalam teks Ulangan 7:1-26. Ideologi umat terpilih merupakan suatu ide atau gagasan atau keyakinan yang dihubungkan dengan kondisi sosial serta kepentingan kelompok tertentu, sebagaimana digambarkan dalam teks
39
Norman K. Gottwald, “Ideology and Ideologies in Israelite Prophecy”, hlm. 137; bnd. George Aichele (eds.), hlm. 289. 40 George Aichele (eds.), hlm. 273. 41 J.B. Sudarmanto, hlm. 11.
15
Ulangan 7:1-26. Tepatnya, ideologi umat terpilih yang digambarkan dalam teks merefleksikan eksistensi dan kepentingan suatu kelompok tertentu dalam kurun waktu sejarah tertentu.
2. Kritik Ideologi Kritik ideologi pertama-tama berangkat dari kesadaran bahwa ada berbagai ideologi (baik dari penafsir maupun penulis Alkitab) yang diarahkan pada kepentingan tertentu. Di sini ideologi tidak pernah netral. Akhir-akhir ini, mengacu pada Eagleton, kritik ideologi dipahami sebagai perjuangan kelas untuk mempertanyakan konsep mistifikasi kebenaran dan kekuasaan, yang tentunya sangat sejalan dengan konsep hermeneutik di kalangan aliran pembebasan.42 Oleh sebab itu untuk mengetahui ideologi apa yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan, maka diperlukan investigasi untuk mengetahui bagaimana makna dikonstruksikan untuk mempertahankan relasi dominasi tersebut. Dalam kerangka studi Alkitab, kritik ideologi harus menginvestigasi makna yang dibangun di balik teks. Oleh sebab itu, usaha untuk melakukan kritik ideologi terhadap teks Alkitab akan dilakukan dengan cara menganalisis beberapa variabel penting, yaitu: (1) produksi teks oleh penulis yang bekerja dalam suatu konteks sejarah tertentu; (2) proses pembentukan idelogi dalam teks itu sendiri; dan (3) konsumsi teks oleh pembaca dalam suatu situasi sosial yang berbeda.43 Dengan demikian yang akan dianalisis adalah penulis, teks dan pembaca. Dengan cara ini maka pembaca tidak hanya berfungsi sebagai “saluran” untuk menyampaikan ideologi teks yang bermasalah, tetapi justru pembaca diarahkan untuk memberi makna kepada teks dengan jalan mengkritisinya.
42 43
George Aichele (eds.), hlm. 276, 280-282. G.A. Yee, hlm. 535; bnd. George Aichele (eds.), hlm. 277.
16
Namun pekerjaan kitik ideologi tidak berakhir ketika kita menyelesaikan proses analisis terhadap penulis, teks maupun pembaca. Persoalan berikut yang dihadapi adalah bagaimana melahirkan solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, sebagaimana diusulkan oleh Sheila Briggs, perlu dilahirkan sebuah ideologi baru sebagai ideologi alternatif.44 Lahirnya ideologi alternatif ini adalah dalam rangka untuk melahirkan tanggapan etis terhadap ideologi teks yang kemungkinan berseberangan dengan nilai-nilai etis. Langkah pertama yang perlu diperhatikan dalam pembentukan ideologi alternatif adalah dengan membentuk komunitas alternatif, sebagaimana diusulkan oleh Walter Brueggemann.45 Pembentukan komunitas alternatif ini dimaksudkan untuk menyadarkan masyarakat terhadap persepsi ideologi dominan yang mempengaruhi masyarakat. Dalam Alkitab, ideologi dominan yang menindas nampak dalam sejarah Firaun dengan kisah Keluaran hingga pemerintahan monarkhi di Israel. Sementara keberadaan para nabi hingga zaman Yesus yang menggaungkan suara profetisnya, merupakan bentuk ideologi alternatif yang mencoba membongkar ideologi dominan.46 Dengan adanya pembentukan komunitas alternatif maka akan terjadi proses pembongkaran komunitas lama beserta ideologinya yang membentuk komunitas tersebut, kemudian digantikan dengan ideologi alternatif yang didasarkan pada politik keadilan dan belas kasih.47 Walaupun demikian, bisa muncul persoalan baru sebagai konsekuensi dari pendekatan di atas. Ketika terjadi proses pembongkaran ideologi dominan oleh ideologi alternatif, maka bisa saja ideologi alternatif tersebut kemudian terbentuk menjadi sebuah 44
Sheila Briggs, “The Deceit of The Sublime: An Investigation Into The Origins of Ideological Criticism in Early Nineteenth-Century German Biblical Studies” dalam Semeia 59, Ideological Criticism of Biblical Texts, hlm. 1820. 45 Walter Brueggeman, The Prophetic Imagination, (USA: Fortress Press, 1978), hlm.109-113. 46 George Aichele (eds.), hlm. 282-283, 293. 47 Walter Brueggeman, hlm. 112; bnd. Robert Setio, “Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, hlm. 391393.
17
ideologi dominan yang baru. Contohnya, keberadaan para nabi dengan suara profetisnya merupakan bentuk ideologi alternatif dalam Alkitab, namun bisa saja pemberitaan para nabi tersebut memiliki tendensi khusus.48 Untuk itu diperlukan sebuah counter ideologi, sebagaimana yang diusulkan oleh Robert Setio,49 sebagai langkah berikut dari proses pembentukan ideologi alternatif. Counter ini dimaksudkan untuk mencegah agar sebuah ideologi tidak menjadi ideologi yang buta. Adanya counter tersebut bisa menciptakan koreksi terhadap ideologi, baik ideologi dominan maupun ideologi alternatif, guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian, kritik ideologi bukan semata-mata mengusung kepentingannya, tetapi di pihak lain juga hendak melakukan counter terhadap ideologi itu sendiri. Tugas ganda kritik ideologi ini bukan saja diarahkan kepada penafsir tetapi juga terhadap Alkitab. Pendekatan penafsiran seperti ini dapat digolongkan dalam pendekatan yang bersifat terbuka terhadap Alkitab, karena berupaya untuk mengkritisi berbagai problematika dalam teks dan konteks secara pragmatis.
E. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas, maka rumusan permasalahan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Kepentingan siapakah yang ditekankan dalam teks Ulangan 7:1-26? 2. Rancangan ideologi alternatif seperti apa yang dapat ditawarkan terhadap teks Ulangan 7:1-26? 3. Dalam upaya merumuskan counter ideology terhadap ideologi umat pilihan dalam teks Ulangan 7:1-26 dan konteks Papua, maka pemikiran teologis seperti apa yang dapat 48
Misalnya nubuat nabi Amos tentang berita penghukuman di Israel Utara yang tampaknya hanya ditujukan kepada para elit penguasa, namun ternyata berita penghukuman tersebut dialamatkan kepada seluruh bangsa; lihat Robert Setio, “Carilah TUHAN Maka Kamu Akan Hidup” dalam Amos dan Krisis Fundamentalisme di Indonesia, penyunting E.G. Singgih, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000), hlm. 21-36. 49 Robert Setio, “Ideologi Hamba”, hlm. 98-99.
18
dihasilkan serta memiliki nilai relevansi teologis terkait dengan kemunculan Raperda berbasis Injil di Manokwari khususnya, maupun kemunculan ide umat pilihan dalam konteks Papua secara umum?
F. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mencari kepentingan siapa yang ditekankan dalam teks, dan menjadi ideologi dominan. Selanjutnya, akan diadakan upaya rekonstruksi ideologi alternatif terhadap ideologi dominan tersebut. Terkait dengan konteks Papua, maka dalam kerangka pertemuan ideologi umat pilihan dalam teks Ulangan 7:1-26 dengan konteks Papua, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu pemikiran teologis sebagai counter ideology terkait dengan kemunculan Raperda berbasis Injil di Manokwari khususnya, maupun kemunculan ide umat pilihan dalam konteks Papua pada umumnya.
G. HIPOTESIS 1. Ideologi umat pilihan dalam teks Ulangan 7:1-26 merupakan bentuk dari ideologi kerajaan yang sangat menekankan eksistensi identitas-nasionalistik yang radikalkonservatif. Ideologi ini digunakan oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dan politik di tengah masyarakat dengan cara melakukan politisasi keagamaan, yang mengakibatkan terjadinya penindasan dan segregasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Walaupun memiliki makna peioratif, ideologi umat pilihan dapat direkonstruksi menjadi ideologi yang lebih positif dengan cara memahaminya dalam kerangka ketegangan yang bersifat dialektis.
19
H. JUDUL TESIS Berdasarkan hipotesis di atas, maka penulis merancang penelitian ini dengan judul: IDEOLOGI UMAT PILIHAN Kritik Terhadap Ideologi Umat Pilihan Dalam Teks Ulangan 7:1-26 Dan Relevansinya Dalam Konteks Papua
I. METODOLOGI PENELITIAN Dalam rangka pengumpulan dan analisis data penelitian, maka metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah studi kepustakaan/literatur dengan pendekatan tafsir/kritik ideologi, guna menganalisis teks Ulangan 7:1-26. Pendekatan kritik ideologi terhadap teks Ulangan 7:1-26 akan ditekankan pada usaha untuk melahirkan kritik ideologi terhadap tiga variabel utama, yaitu teks, penulis, dan penafsir. Kritik terhadap ketiga variabel ini akan dilakukan dalam dua tahapan analisis sebagaimana yang dikembangkan oleh Gale A. Yee50 dalam tulisannya, Ideological Criticsm (diedit oleh John H. Hayes), yaitu analisis ekstrinsik dan analisis intrinsik. Pada tahap analisis ekstrinsik yang menggunakan pendekatan ilmu sosial dan sejarah, akan dilakukan lima langkah penafsiran. Kelima langkah tersebut adalah: 1. Menentukan modus produksi dominan dalam masyarakat yang menghasilkan teks. Langkah ini merupakan fokus utama dalam analisis ekstrinsik. 2. Menetapkan tipe struktur sosial, politik dan ekonomi yang memanfaatkan kekuasaan ketika teks ditulis. 3. Mencari kelompok yang menghasilkan dan memanipulasi ideologi untuk melegitimasi posisi mereka dalam masyarakat.
50
G.A. Yee, hlm. 535-536.
20
4. Membangun ideologi alternatif yang dapat menentang ideologi yang dominan. 5. Menganalisis ideologi penulis dan membandingkannya dengan ideologi yang berkembang pada saat penulisan dan mencatat apakah keterlibatan penulis mendukung atau menentang ideologi yang dominan. Sementara itu pada tahap analisis intrinsik yang ditekankan pada pendekatan/metode kritik literer, akan dilakukan tiga langkah penafsiran, yaitu: 1. Menguji bagaimana teks berasimilasi dalam kondisi sosial ekonomi untuk menghasilkan suatu ideologi khusus dan retorikanya. 2. Mencoba untuk menemukan hubungan yang tepat dari ideologi teks khusus dengan ideologi yang melingkupi dan mempengaruhi produksinya. 3. Mengadakan penelitian terhadap retorika teks dengan cara-cara literer yang dengannya suatu teks berusaha untuk meyakinkan pembacanya untuk memeluk suatu ideologi tertentu.
J. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk menganalisis pokok-pokok persoalan yang hendak dikembangkan dalam tesis ini, maka sistematika penulisan yang akan digunakan adalah sebagai berikut: o Bab I merupakan Pendahuluan yang akan menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, judul tesis, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. o Bab II merupakan pembahasan tentang pemanfaatan Kritik Ideologi bagi penafsiran Alkitab, dengan mengadakan Analisis Ekstrinsik terhadap kitab Ulangan. o Bab III merupakan kelanjutan uraian tentang pemanfaatan Kritik Ideologi, dengan mengadakan Analisis Intrinsik terhadap kitab Ulangan. 21
o Bab IV merupakan uraian dan analisis tentang Ideologi Umat Pilihan Dalam Konteks Papua, sehubungan dengan Raperda Manokwari “Kota Injil”. o Bab V merupakan upaya penulis untuk membangun Pertemuan Ideologi Umat Pilihan dalam teks Ulangan 7:1-26 dengan konteks Papua. o Bab VI merupakan Penutup, yang terdiri dari kesimpulan seluruh penelitian ini serta uraian pikiran rekomendatif.
"
22