www.ahmadiyya.or.id
SYARI’AT: HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK DALAM ISLAM Pidato yang disampaikan oleh: Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV di Inter-religious Consults, Suriname, 3 Juni 1991 1992 ISLAM INTERNATIONAL PUBLICATIONS LTD Hak Cipta: 1992 Islam International Publications Ltd. ISBN 1 85372 478 5 Diterbitkan oleh: Islam International Publications Ltd. Islamabad, Sheephatch Lane, Tilford, Surrey GU10 2AQ, U.K. Dicetak oleh: Raqeem Press, Islamabad, U.K. Penerjemah: M. A. Suryawan Sumber terjemahan: http://www.alislam.org/books/shariah/index.html
-1-
www.ahmadiyya.or.id
KATA SAMBUTAN DARI KETUA MENYAMBUT KEDATANGAN HAZRAT MIRZA TAHIR AHMAD
Suatu keistimewaan bagi saya untuk menyambut kedatangan Anda atas nama IRIS dan anggota masyarakat di dalam pertemuan ini. IRIS adalah singkatan dari 'Inter-Religiousraat In Suriname' atau 'Inter-Religious Consults in Suriname.' Selamat datang. Anda sudah berada di sini selama satu minggu dan seperti yang Anda alami dan rasakan, Anda benar-benar disambut dengan hangat di Suriname, negara dengan keramah-tamahan dan keceriaan. Kami sudah membaca beberapa hal mengenai diri Anda, pendidikan dan organisasi Anda. Juga mengenai misi Anda untuk Suriname dan untuk dunia. Dan seperti yang kami ketahui, misi Anda yang utama adalah membawa orang bersama-sama. Orang dari berbagai ras, bermacam bangsa dan berbagai budaya. Pesan yang Anda bawa adalah pesan untuk saling menghargai, untuk menghormati pemikiran, penerimaan dan pengertian yang membawa keadilan dan kedamaian bagi masyarakat. Dalam konteks ini, kami mengundang Anda malam ini bersama kami di sini, bersama IRIS dan anggota masyarakat untuk berbagi pandangan, wawasan, dan gagasan kami dengan Anda dalam topik kali ini. IRIS adalah sebuah kelompok para pemimpin agama di Suriname dan sudah berumur sekitar dua atau tiga tahun. Namun sampai sekarang, kami hanya fokus pada jalinan kerja bersama, namun belum sampai kepada dialog bersama. Kerja bersama untuk kemakmuran masyarakat Suriname, dan dalam kerja bersama ini, kami telah memiliki beberapa proyek. Namun sekarang, kami ingin terlibat dalam dialog, ingin berbagi pandanganpandangan dan agama kami satu dengan lainnya. Oleh karena itu, kami juga merencanakan untuk memanfaatkan bantuan dari tamu-tamu pembicara. Anda adalah tamu pembicara pertama dalam konteks program dialog antar-agama yang ada di Suriname. Kami berterima kasih atas kesediaan Anda untuk datang dan berbagi wawasan dengan kami. Dan, topik untuk malam ini adalah SYARI’AT: HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK DALAM ISLAM. Dan topik ini ini berseberangan dengan latar belakang terjadinya kerjasama berbagai agama di dalam suatu negara. Agenda kedua dalam pertemuan ini adalah pertanyaan mengenai AHMADIYAH. Lebih dalam mengenai latar belakang terjadinya persekusi terhadap kaum Muslim Ahmadiyah. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas kedatangan Anda di sini, dan kami mengharapkan dialog malam ini dapat menjadi dialog yang menyenangkan bagi Anda dan kita semua, menjadi sebuah pengalaman persaudaraan dan juga
-2-
www.ahmadiyya.or.id
pengalaman segar untuk meraih manfaat dalam suatu hubungan yang lebih baik antar berbagai agama di Suriname dan di dunia. Sekarang kami persilahkan Anda untuk menyampaikan pidato.
PIDATO HAZRAT MIRZA TAHIR AHMAD Yang mulia Bapak Uskup Agung; Yang mulia Sekretaris Jendral Asosiasi ini, yang kami hormati bapak dan ibu para tamu sekalian; Sungguh merupakan sebuah tanda kehormatan bagi saya diundang pada malam ini sebagai tamu pembicara pertama sepanjang sejarah Asosiasi ini. Ini merupakan peristiwa bersejarah bagi saya untuk bebas berbagi pengalaman dalam kedewasaan dialog tanpa adanya kehebohan, tanpa emosi, hanya untuk menyampaikan pandangan-pandangan kami seperti manusia normal lainnya, semuanya dalam bentuk kesopanan, agar diri kami bisa lebih dimengerti oleh orang lain, dan mencoba untuk lebih mengerti orang lain. Inilah tujuan dari dialog bebas, dan saya amat bersyukur bahwa Anda telah menjalankan tugas mulia ini, karena sekarang ini dunia benar-benar sangat memerlukan hal ini di setiap ruang lingkup kehidupan. Sejauh pertanyaan [mengenai persekusi Ahmadiyah] yang menghendaki saya untuk berbicara soal itu, sebelumnya saya mohon maaf, karena dua topik yang diajukan sangat luas pembahasannya, dan mungkin karena adanya keterbatasan waktu yang kami miliki, tidaklah mungkin membahas keduanya sampai tuntas. Jadi, saya mengusulkan setelah selesai pembahasan aspek pertama, yaitu syariat dan politik, hukum syari’at serta pengenaan hukum syari’at di suatu negara, jika kita masih memiliki waktu, saya akan beralih ke subyek lain; dan kita akan tinggalkan aspek pertama untuk memberikan kesempatan menyampaikan pandangan-pandangan Anda dan mengajukan pertanyaan yang Anda inginkan. Saya akan coba ringkaskan, namun harus komprehensif. Hukum Syari’at sekarang menjadi sebuah pertanyaan yang sedang panas-panasnya diperdebatkan di negaranegara Muslim. PENGUNDANGAN HUKUM SYARI’AT DI PAKISTAN Baru-baru ini Pakistan telah menjadi kursi panas, terkadang terjadi kontroversi sengit mengenai Syari’at. Secara umum telah diketahui, bahwa jika suatu negara mayoritas penduduknya beragama Islam, maka kaum Muslim lebih memiliki hak,
-3-
www.ahmadiyya.or.id
dibandingkan kewajibannya, untuk mengundang-undangkan hukum Syari’at. Hal ini berlandaskan argumentasi bahwa jika mereka percaya kepada Al-Qur’an dan jika mereka juga percaya Al-Qur’an adalah sebuah kitab komprehensif yang berhubungan kepada setiap wilayah aktifitas manusia dan mengarahkan manusia bagaimana seharusnya ia menjalani hidupnya sendiri pada tiap seginya, maka hal itu merupakan sebuah kepura-puraan untuk tetap puas dengan adanya klaim-klaim tersebut. Mereka harus mengikuti hasil olah logikanya, mengundang-undangkan hukum Syari’at, dan membuatnya sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di sebuah negara. Inilah yang sedang mereka katakan di satu sisi. Di sisi lainnya, timbul banyak kesulitan, seperti masalah-masalah legislatif yang diusulkan – masalah konstitusional yang sangat serius yang sama seriusnya dengan masalah pengundangan Syari’at. Oleh sebab itu, akan saya sampaikan dengan singkat mengapa hukum Syari’at tidak dapat dijalankan atau dipaksakan kepada orang yang pada praktek normalnya tidak dianggap sebagai Muslim yang ideal. Di dalam wilayah di mana mereka bebas untuk mempraktekkan Islam, dan ketika mereka ingin untuk tidak mempraktekkan Islam, bagaimana mungkin mereka diharapkan untuk dapat melakukan itu dengan paksaan dan kekuatan hukum. Hal ini dan di banyak tempat lainnya merupakan wilayah-wilayah di mana perdebatan panas sedang dilangsungkan dan diikuti, dan sekarang secara singkat akan saya sampaikan satu demi satu hal-hal yang dapat membuat Anda mengerti semua sisi dari masalah ini. Saya sendiri ikut berpartisipasi dalam debat yang terjadi di Pakistan, dan saya membantu banyak cendekiawan yang datang ke London atau yang menulis kepada saya untuk mendapatkan pengarahan. Meskipun saya tidak mendiktekan semua hal kepada mereka, namun sampai batas tertentu mereka terbantu oleh saya untuk mengerti masalah ini dari sudut pandang yang lebih luas. Banyak artikel yang telah terbit di Pakistan memuat dan mengungkapkan opini saya. Syari’at adalah hukum dan tidak ada keraguan mengenai hal ini; hukum Islam; hukum bagi umat Muslim. Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa jauh hukum ini dapat ditransformasikan ke dalam perundang-undangan untuk menjalankan politik pemerintahan. Di atas semua itu masih banyak masalah lainnya yang terlibat. Sebagai contoh, jika sebuah negara Muslim memiliki hak untuk mendiktekan hukumnya kepada seluruh penduduknya, maka dengan alasan dan logika yang sama, tiap negara lain yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu juga memiliki hak yang sama untuk mengundang-undangkan hukum-hukum [agama] mereka. Seluruh dunia akan menjadi sebuah dunia yang tidak hanya memiliki konflik politik saja namun juga lahir konflik agama-politik, di mana semua hukum dikaitkan kepada Tuhan, [hukum] yang masih menimbulkan pertentangan diametrikal satu dengan lainnya. Di sana akan muncul sebuah kebingungan karena orang akan mulai kehilangan keyakinannya kepada satu Tuhan yang berbicara mengenai suatu hal kepada suatu kaum, dan berbicara tentang hal lain kepada kaum yang lain, dan Dia
-4-
www.ahmadiyya.or.id
mengatakan kepada mereka untuk menjalankan hukum ini pada suatu kaum atau “mereka menjadi tidak setia kepada-Ku.” Seperti itulah, Anda dapat benar-benar membayangkan, sebagai contoh, apa yang terjadi di India jika hukum yang dimiliki oleh mayoritas Hindu diterapkan kepada minoritas Muslim. Seperti kenyataannya, sebagian besar masyarakat India secara bertahap sedang didorong ke arah permintaan pihak ekstrim ini – dengan cara yang reaksioner, saya menganggap ini yang sedang terjadi di beberapa negara Islam. Apa yang akan terjadi pada kaum Muslim dan minoritas lainnya di India? Selanjutnya hal ini bukanlah pertanyaan bagi India saja. Bagaimana jika Israel menerapkan hukum Yahudi – hukum Talmud – saya telah membacanya dan saya mengetahui adalah tidak mungkin bagi [hukum] non-Yahudi untuk tinggal di sana dengan layak dan normal. Dalam soal serupa, Kristen dan Buddha juga memiliki hak yang sama. PARTISIPASI DALAM PEMBUATAN UNDANG-UNDANG Pertimbangan selanjutnya adalah mengenai konsep negara: Ini adalah masalah paling fundamental yang harus diselesaikan dan diberikan kepada mereka yang bergulat dengan politik atau hukum internasional. Dalam konsep sekuler mengenai pelaksanaan perundangan dan pemerintahan, setiap orang yang lahir di suatu negara, apa pun agama atau warna kulitnya atau keyakinannya mendapatkan hak-hak sipil yang paling mendasar. Dan yang paling penting di antara hak-hak ini adalah kesempatan, paling tidak, untuk berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan. Tentu saja partai-partai datang dan pergi; hari ini menjadi partai mayoritas mungkin besok akan menjadi partai minoritas. Setiap orang berharap hal itu tidak terjadi atau sebaliknya. Namun dalam prinsipnya, setiap orang memiliki kesempatan yang adil dan setara untuk membuat suaranya didengar, paling tidak oleh pihak oposisi, dalam hal prinsip-prinsip yang umum. Namun apa yang terjadi jika suatu Syari’at atau suatu agama dijalankan sebagai hukum negara? Jika hukum Islam diterapkan di suatu negara, semua orang [non-Islam] yang tinggal tersisa sebagai penduduk di wilayah yang sama akan dianggap sebagai warga negara kelas dua, tiga atau empat dari negara yang sama tanpa memiliki [kesempatan] mengatakan ‘Tidak’ dalam hal perundang-undangan. Tetapi bukan itu semua masalahnya, selanjutnya ada [masalah] yang lebih rumit di dalam Islam itu sendiri: Karena Islam memiliki sebuah Kitab yang diwahyukan oleh Tuhan dan para cendekiawan Muslim menyatakan bahwa mereka berhak untuk menafsirkan Kitab itu.
-5-
www.ahmadiyya.or.id
BADAN LEGISLATIF BERADA DI BAWAH CENDEKIAWAN AGAMA Mengenai masalah perbedaan opini, badan legistatif berada di bawah opini akademis para cendekiawan yang secara khusus mengerti Al-Qur’an atau mereka yang mengklaim benar-benar memiliki pengertian atas Al-Qur’an. Apa yang menjadikan mereka saling berhubungan? Sebuah badan dibentuk untuk mengatur. Mereka mengatur dan kemudian Anda mendengar dari beberapa cendekiawan Islam bahwa ‘apa yang kamu usulkan untuk menjadi sebuah hukum/aturan adalah bertentangan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam tidak memiliki ruang bagi omong kosong seperti itu.’ Lalu suara siapa yang harus didengar? Di satu pihak tampaknya Tuhan sedang berbicara kepada mereka; tetapi hanya tampaknya saja, namun di sisi lain terdapat suara mayoritas penduduk di suatu negara, sehingga muncul dilema yang hampir tidak mungkin untuk dituntaskan. SEJALAN DENGAN WAKTU SEMUA AGAMA TERBAGI MENJADI SEKTE-SEKTE Setiap agama sumbernya adalah satu, tunggal dan tak terbagikan, namun seperti Anda yang berjalan melewati waktu, sebuah agama dari dalamnya mulai terbagi dan berbeda, berkembang biak dan jumlahnya menjadi bertambah dan bertambah, sama halnya dengan keyakinan, sebagai contoh, pada masa Yesus Kristus a.s. yang ada hanyalah satu kekristenan yang tunggal dan kemudian berubah menjadi ratusan kekristenan. Dilihat dari sudut pandang yang menguntungkan bagi berbagai sekte, satu sumber yang tunggal kemudian terlihat dalam berbagai warna. Berbeda kaca mata berwarna yang digunakan oleh berbagai macam pengikut dari beragam sekte. Hal yang sama juga terdapat dalam Islam. Hal ini tidak hanya sebuah pertanyaan dari Islam Sunni dan Islam Syiah saja bagaimana mereka menafsirkan Syari’at. Dalam Islam Syiah terdapat 34 sekte yang mengartikan Syari’at dengan berbeda satu dengan lainnya. Terdapat persoalan-persoalan yang tidak bisa disepakati oleh dua orang ulama dari sekte yang berbeda. Bukan hanya persoalan ringan saja, bahkan persoalan fundamental tidak dapat disepakati. Anda dapat membaca Munir Inquiry Report. Hakim Munir, seorang Kepala Hakim dari Pengadilan Tinggi adalah satu di antara dua orang hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki latar belakang, sebabsebab dan modus operandi dari kerusuhan anti-Ahmadiyah pada tahun 1953. Siapakah yang bertanggung jawab dan siapakah yang tidak bertanggung jawab? Bagaimana mendefinisikan seorang Muslim? Selama masa penyelidikan, hakim Munir menanyakan dengan jelas kepada setiap cendekiawan Muslim yang ditemuinya apakah ia mengetahui definisi Islam yang dapat diterima oleh sekte lainnya; hal yang sama dapat ditujukan kepada setiap orang dan dengan bantuannya dapat kita definisikan, “Ya, ini adalah Muslim,” dan “Itu bukanlah Muslim.” Dalam laporannya, hakim Munir menyampaikan bahwa tidak ada dua cendekiawan pun, dari semua cendekiawan Muslim yang ditanyainya, sepakat dengan sebuah definisi tunggal mengenai apakah Islam itu.
-6-
www.ahmadiyya.or.id
Dalam suatu kasus, seorang cendekiawan meminta waktu lebih banyak untuk memikirkan mengenai definisi Islam, dan hakim Kayani, seorang rekan hakim Munir, yang memiliki rasa humor yang istimewa, memberikan jawabannya: “Saya tidak dapat memberimu waktu lebih banyak, karena kamu telah memiliki waktu lebih dari seribu tigaratus tahun untuk merenungkan pertanyaan ini. Apakah hal itu tidak cukup?” “Jika tigabelas abad ditambah dengan beberapa tahun tidak cukup bagimu untuk dapat mendefinisikan hal yang paling pokok – apa itu definisi Islam – berapa banyak waktu lagi yang kamu inginkan?” Jadi, hal ini adalah masalah yang sangat genting. Jika interpretasi Syari’at dari sebuah sekte dijalankan, maka tidak hanya non-Muslim saja yang akan dicabut hak asasinya untuk berpartisipasi dalam perundang-undangan negara, dan dalam Islam juga ada banyak sekte yang akan dihilangkan haknya. TAFSIRAN SEKTE MANA YANG DITERAPKAN SEBAGAI HUKUM SYARI’AT? Selanjutnya masih terdapat banyak masalah lainnya: Sebagai contoh, menurut beberapa konsep Syari’at, hukuman bagi suatu kejahatan sangat berbeda pada konsep Syari’at di sekte lainnya, kemudian Islam akan dipraktekkan dengan sangat berbeda pada masalah yang sama di dunia ini, sehingga akan menciptakan sebuah kesan yang menakutkan bagi dunia non-Muslim. Keyakinan macam apa yang memberi hukuman untuk sebuah kejahatan yang sama di sini dan di tempat lainnya, dan di beberapa tempat lainnya hal itu hanya sedikit terjadi dan bahkan sama sekali bukan suatu kejahatan. Yang seperti ini dan masih banyak masalah lainnya menimbulkan pertanyaan atas hampir tidak mungkinnya pelaksanaan Syari’at. Lebih lanjut, hak-hak mendasar dari sekte-sekte lainnya juga dirusak atau dinjakinjak oleh banyak situasi yang mungkin terjadi. Sebagai contoh yaitu pertanyaan mengenai meminum [minuman] beralkohol. Benar, alkohol dilarang dalam Islam; namun pertanyaannya adalah apakah hal itu adalah sebuah pelanggaran yang dapat dihukum dan apakah hukumannya, jika ada, dilakukan oleh manusia di dunia ini atau apakah hal itu adalah sebuah masalah yang berubah-ubah. Hal ini merupakan sebuah masalah yang kontroversial dan belum disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Apakah hukuman minum [minuman beralkohol]? Al-Qur’an TIDAK menyebutkan hukuman apa pun. Ini [Al-Qur’an] adalah sebuah hukum pokok, Kitab hukum, dan diduga hukuman meminum [minuman beralkohol] berasal dari beberapa Tradisi yang oleh beberapa cendekiawan dianggap sebagai hukuman. Namun kesimpulannya adalah dibuat-buat dan Tradisi itu sendiri kemudian mendapat tantangan dengan dianggap sebagai tidak otentik oleh pihak lainnya.
-7-
www.ahmadiyya.or.id
Sehingga sebuah wilayah besar yang tidak hanya masyarakat Muslim saja, namun juga di wilayah besar di mana masyarakat non-Muslim akan dihukum untuk alasanalasan tersebut yang mana mereka sendiri masih penuh keraguan atas hal itu. Apakah hukuman itu merupakah hal yang sah atau tidak, inilah masalahnya. Bagaimanapun juga terdapat para ekstrimis di mana-mana dan khususnya mereka yang menginginkan Syari’at untuk dijalankan. Anda akan temukan banyak ekstrimis yang sangat tidak toleran terhadap pendapat dari pihak lain. Sebagai akibatnya, wilayah abu-abu itu juga akan dibuat sebagai wilayah “Yang Tidak Diragukan lagi” bagi para ekstrimis. Mereka akan mengatakan, “Ya, kami tahu; ini adalah pendapat kami. Pendapat yang didukung oleh seorang ulama abad pertengahan atau pemikiran kami, dan hal itu adalah hukum.” KESULITAN-KESULITAN YANG DIHADAPI OLEH PEMERINTAH PAKISTAN DALAM PENGUNDANGAN HUKUM SYARI’AT Sekarang perbedaan ini menghasilkan sebuah perdebatan di Pakistan baru-baru ini dan Perdana Menteri Nawaz Sharif telah memutuskan bahwa tidak ada Syari’at dari sekte apa pun yang akan diadopsi. Hukum yang disahkan di Pakistan adalah bahwa mereka akan menerima supremasi Al-Qur’an dan akan menyetujui bahwa tidak akan ada perundangan yang dibuat bertentangan dengan ajaran pokok Al-Qur’an. Namun di luar itu mereka tidak akan mengadopsi peraturan-peraturan yang bersumber dari undang-undang, seolah-olah mereka mendapat mandat dari Tuhan. Jadi, biarkanlah hal itu, yang masih ada pada Syari’at adalah prinsip umum sebagaimana dengan sangat jelas ditemukan dalam Al-Qur’an, mengenai adanya sebuah usaha yang dibuat untuk mengislamisasi undang-undang negara. Sejauh ini cukup baik. Saya pikir Perdana Menteri telah dapat melepaskan dirinya dari situasi yang sangat sulit, namun tidaklah lama. Para ulama telah berada di kerongkongannya. Mereka juga menuntut agar Pengadilan Syari’at tidak hanya untuk diteruskan, di sana sudah ada Pengadilan Syari’at yang harus bekerja, namun kekuasaannya harus ditingkatkan. Kekuasaan akhir untuk memutuskan mengenai apakah undang-undang sesuai dengan Islam atau tidak ada pada Mahkamah Agung Syari’at. Sebagaimana hal itu, keseimbangan kekuasaan akan bergeser dari anggota-anggota masyarakat yang dipilih ke Mullah-Mullah yang ekstrimis. Jadi, sekali Anda menerima sesuatu yang dalam prakteknya tidak untuk dijalankan, maka akan selalu bermunculan berbagai persoalan dan tidak mungkin bagi Anda untuk menjalankan tanpa adanya komplikasi.
-8-
www.ahmadiyya.or.id
GAYA HIDUP MUSLIM MASA KINI TIDAKLAH BENAR-BENAR ISLAMI Ini adalah wilayah yang banyak terdapat kesulitan. Namun masih ada wilayah kesulitan penting lainnya: Yaitu gaya hidup kaum Muslim di kebanyakan negara tidaklah benar-benar Islami. Anda lihat, bahwa Anda tidak memerlukan sebuah hukum Syari’at untuk mengucapkan sembahyang lima waktu Anda. Anda tidak memerlukan hukum Syari’at untuk membuat Anda berperilaku jujur. Anda tidak memerlukan hukum Syari’at untuk dijalankan agar membuat Anda bicara kebenaran dengan jujur dan menjadikan Anda sebagai saksi dalam pengadilan atau kapan pun Anda hadir menjadi saksi. Dalam sebuah masyarakat di mana perampokan menjadi hal yang biasa, di mana terdapat ketidak-aturan, kekacauan, perebutan kekuasaan atas hakhak orang lain, di mana pengadilan jarang menghadirkan seorang saksi yang jujur, di mana ucapan-ucapan kotor menjadi kebiasaan dalam berekspresi, di mana tidak lagi tersisa kesopanan dalam perilaku manusia, apa yang Anda harapkan, apa yang Syari’at dapat lakukan di sana? Bagaimana hukum Syari’at dapat secara murni diterapkan di suatu negara seperti itu? Inilah pertanyaannya. PENERAPAN HUKUM SYARI’AT MENSYARATKAN KEADAAN YANG TEPAT Saya telah memberikan sebuah bentuk yang berbeda kepada pertanyaan itu dan hal ini tentu saja telah dikemukakan, dan sejauh ini saya belum pernah mendengar jawaban yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah tersebut. Pertanyaannya adalah, bahwa setiap negara memiliki sebuah iklim dan tidak semua tumbuhan dapat tumbuh dengan subur. Kurma tumbuh subur di padang pasir, namun tidak tumbuh di sebelah Utara yang dingin. Sama halnya dengan buah ceri tidak dapat ditaburi di padang pasir; karena mereka membutuhkan iklim tertentu. Syari’at juga membutuhkan sebuah iklim tertentu. Jika Anda tidak dapat membuat iklimnya, maka Syariat tidak dapat dijalankan. Setiap nabi – tidak hanya Nabi Muhammad s.a.w. saja – pada awalnya membuat iklim yang sehat bagi hukum Tuhan untuk dijalankan dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Dan ketika masyarakat sudah siap, maka aturan-aturan mulai diperkenalkan dan lebih lanjut semakin menguat sampai semua aturan diwahyukan. Masyarakat yang seperti itu mampu untuk menjalankan hukum agama, apakah Anda menyebutnya sebagai hukum Syari’at atau hukum lainnya. Di dalam sebuah masyarakat, sebagai contoh, di mana pencurian adalah hal yang lumrah, di mana mengatakan kebohongan merupakan kegiatan sehari-hari, jika Anda menjalankan hukum Syari’at dan kemudian memotong tangan para pencuri, apa yang akan terjadi? Apakah itu merupakan tujuan dari Syari’ah? Hal itu bukan hanya sebuah pertanyaan sentimentil mengenai agama. Kehendak Tuhan akan
-9-
www.ahmadiyya.or.id
dilakukan tanpa keraguan, namun hal itu akan dilakukan sebagaimana Tuhan menginginkan kita untuk melakukannya. HUKUM SYARI’AT DIGUNAKAN SEBAGAI ALASAN UNTUK MERAIH KEKUASAAN Saya telah sampaikan saran kepada para pemimpin politik tertentu agar mereka sebaiknya mengundang semua cendekiawan Muslim untuk terlebih dahulu membentuk sebuah kota kecil di Pakistan, dan kemudian Syar’iat dijalankan di sana. Sebagai contoh, Faisalabad adalah sebuah kota kecil – atau sebuah kota besar – dari para pengusaha besar, terkenal untuk praktek-praktek korupsinya. Saya usulkan agar para Ulama dari seluruh Pakistan seyogyanya diundang untuk terlebih dulu memperbaharui masyarakat di kota itu. Ketika masyarakat di kota itu telah mampu untuk menanggung Syari’at, maka Pemerintah sebaiknya diundang untuk datang dan mengambil alih administrasi hukum Syari’at. Namun hal itu tidak akan terjadi. Mereka tidak perduli. Mereka tidak berkepentingan. Ini bukanlah kecintaan kepada Islam yang mendorong mereka untuk meminta hukum Syari’at. Ini hanyalah sebuah alat untuk meraih dan mendapatkan kekuasaan, serta untuk mengatur masyarakat dengan mengatasnamakan Tuhan. Masyarakat telah dijalankan oleh orang-orang yang korupsi, oleh orang-orang yang kejam namun hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan manusia; [dan] hal itu sampai suatu taraf yang dapat diterima. Akan tetapi ketika kekejian-kekejian dilakukan atas nama Tuhan, itu merupakan kemungkinan yang terburuk, suatu hal yang amat tidak pantas yang dapat terjadi pada manusia. Jadi, atas hal yang seperti itulah kita harus berpikir berulang kali sebelum kita dapat memulai mempertimbangkan pertanyaan, apakah di dunia ini, di mana pun berada hukum agama dapat digunakan seperti alat pembayaran yang sah. Secara pribadi, saya meragukan hal ini. Itulah di mana sekarang akan saya tinggalkan kasusnya untuk sementara. Jika Anda pikir masih ada waktu untuk beralih ke pertanyaan kedua, maka saya akan lakukan itu. Kalau tidak, kita akan duduk dan berdiskusi mengenai hal yang telah saya katakan sebelumnya. [Setelah pidato itu, banyak pertanyaan diajukan kepada pembicara dan berikut ini adalah beberapa jawaban dari pertanyaan mereka. Sayangnya, beberapa pertanyaan tidak terekam dengan baik, namun jawaban-jawaban yang ada mengindikasikan tentang apa pertanyaannya.] Tanya: Apakah terdapat kebingungan di dunia barat mengenai Syari’at?
- 10 -
www.ahmadiyya.or.id
Jawab: Terima kasih atas pertanyaannya. Namun saya pikir pertanyaan itu berada di luar wilayah diskusi. Apa yang sedang didiskusikan adalah, apakah dimungkinkan untuk mengambil hukum agama sebagai hukum di suatu negara. Saya percaya hal itu tidak dimungkinkan. Bahkan tidaklah mungkin jika Anda benarbenar berkeinginan meskipun itu adalah atas nama Tuhan. Kita telah pergi jauh dari agama. Kita menjadi orang yang munafik. Seluruh kemasyarakatan menjadi munafik. Di mana saja terdapat kemunafikan dalam berpolitik dan bermasyarakat, dan kemunafikan tidak membolehkan kejujuran untuk tumbuh subur. Kemunafikan juga tidak mengizinkan firman Tuhan berakar kuat. Itulah persoalan utamanya. Tanya: Saya merasa kalau kita benar-benar tidak dapat menjalankan sebuah hukum yang datang dari masa lampau yang jauh lebih tua ke masa moderen sekarang. Mohon penjelasannya. Jawab: Saya telah mendalami dan mempelajari pertanyaan ini. Saya percaya bahwa agama dapat menjadi permanen dan universal selama prinsip-prinsipnya mengakar dalam hati manusia. Hati manusia tidak dapat diubah. Dan itulah yang dengan tepat telah dikemukakan oleh Al-Qur’an Suci. Dikatakan hal itu adalah Diin-ul-Fitra: berarti sebuah keyakinan atau sebuah hukum yang didasarkan pada keadaan alami manusia. Dan juga ’La tabdiila likhalkilla’ yang berarti bahwa ciptaan Tuhan dan apa pun yang Dia ciptakan di dalam diri Anda, takdir, watak, dan sebagainya dan kecenderungan dasar untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, semuanya sama. Sebagai konsekuensinya, sebuah aturan/hukum yang berakar pada hati manusia, haruslah juga universal dan permanen. Namun, Al-Qur’an tidak berhenti sampai di sini saja. Al-Qur’an tidak memonopoli kebenaran ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa semua agama, pada tahap lahirnya dan tahap perkembangannya, secara fundamental adalah sama dan membawa kebenaran-kebenaran dasar yang berhubungan dengan sifat alami manusia. Hal ini disebut sebagai Dinul Qayyima dalam Al-Qur’an. Dikatakan terdapat tiga ciri pokok di dalam setiap ajaran agama: Pertama, untuk memperbaiki hubunganmu dengan Tuhan, berlaku jujur dan taat kepada-Nya; Kedua, untuk menyembah-Nya. Di dalam Al-Qur’an, ibadah tidak hanya berarti melakukan penyembahan di bibir saja, namun mencoba untuk mendapatkan atributNya.
- 11 -
www.ahmadiyya.or.id
Dan ketiga, melakukan pelayanan kepada manusia dan membelanjakan [harta] untuk yang membutuhkan. Inilah tiga cabang pokok, sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, yang biasa dimiliki oleh semua agama. Dengan berjalannya waktu dan melalui interpolasi [penambahan/penyisipan] bagaimanapun juga kemudian membuat hal itu berubah. Jadi, yang diperlukan adalah pembetulan dari perubahan, bukannya sebuah agama baru. Dan itulah yang terus terjadi dengan kedatangan setiap nabi. Sehingga hal itu merupakan sebuah pertanyaan yang rumit dan juga tidak berhubungan langsung dengan masalah yang sedang kita diskusikan. Saya harap hal ini lebih dari cukup. Sejauh mengenai pertanyaan apakah hukum Islam atau hukum agama lainnya dapat dijalankan dengan terpaksa. Saya katakan TIDAK. Karena hal itu bertentangan dengan semangat agama itu sendiri. Al-Qur’an mengatakan:
Laa ’ikraaha fiiddiyn (2:256) Memang ini adalah pernyataan dari Al-Qur’an; namun itu adalah sebuah pernyataan universal yang tidak akan pernah berubah. Ini adalah sebuah contoh bagaimana aturan-aturan dapat menjadi permanen dan universal. Dikatakan bahwa TIDAK ada paksaan dalam keyakinan atau dalam hal-hal yang terkait dengan keyakinan. Tanpa paksaan adalah dimungkinkan dan dibolehkan. Sehingga pertanyaannya di sini adalah: Jika satu agama menetapkan hukumnya pada suatu masyarakat yang di dalamnya hidup orang-orang dari agama dan golongan lainnya, bagaimana usaha pemaksaan akan berhadapan dengan ayat ini? Tidak hanya, yakni, orang-orang dari agama lain, namun orang dari agama yang sama juga tidak berkeinginan atas hal itu. Jadi, ini adalah pertanyaan yang fundamental. Oleh sebab itu kesimpulannya adalah bahwa pemaksaan/kekerasan bukanlah sebuah alat yang sah dalam agama. Satu-satunya otoritas dalam Islam, yang sejatinya mampu diberikan hak untuk memaksa, adalah Pendiri Islam, Nabi Muhammad s.a.w. Mengapa? Karena beliau adalah model yang hidup dari Islam dan karena, ketika ditanyakan mengenai karakternya, istri sucinya, Hazrat Aisyah mengatakan bahwa beliau adalah Qur’an yang hidup. Jadi, satu-satunya orang yang sejatinya dapat dipercaya dengan keyakinannya atas orang lain, dan juga diizinkan untuk menggunakan pemaksaan/kekerasan ketika ia merasa bahwa pembetulan (rektifikasi) untuk dijalankan dengan kekuatan, hanyalah Rasulullah s.a.w. Mengenai beliau s.a.w., Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
- 12 -
www.ahmadiyya.or.id
Innamaa anta mudzakkir lasta ’alayhim bimushaythir (88:22-23) Kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Tidak lebih. Kamu tidak diberikan otoritas untuk memaksa. Kamu bukanlah seorang polisi pengawas. Mudzakkir adalah sama seperti polisi pengawas. Jadi, itulah mengapa saya katakan bahwa pemaksaan adalah tidak dimungkinkan dan tidak diizinkan oleh Tuhan. Lebih lanjut, apa yang menghalangi seorang Muslim untuk mengikuti hukum Islam? Kenapa seyogyanya ia menunggu agar seluruh perundang-undangan berubah? Sebagian besar dari ajaran Islam, Kristen dan Hindu dapat dipraktekkan tanpa dijadikan sebagai hukum negara. Lebih banyak lagi sejak prinsip-prinsip umum diterima oleh para pemikir politik moderen bahwa agama sebaiknya tidak diizinkan untuk mencampuri politik, dan politik tidak diizinkan untuk mencampuri agama. Campur tangan adalah yang sedang saya bicarakan, BUKAN [mengenai] kerjasama. Kerjasama adalah bagian kedua dari persoalan yang sama. Jadi, jika sebuah masyarakat diizinkan untuk hidup sesuai dengan aspirasi-aspirasi keagamaan mereka, lalu mengapa kemudian hukum agama dijadikan hukum dari suatu negeri? Saya kutip sebuah contoh bagaimana hukum Syari’at telah gagal di Pakistan. Selama rejim mendiang Jenderal Zia, Pengadilan Syari’at Muslim juga telah dibentuk. Dan pilihannya diberikan kepada polisi untuk mendakwakan seorang kriminal apakah akan diajukan ke Pengadilan Syari’at Muslim atau ke pengadilan umum. Tahukah Anda apa hasilnya? Hampir setiap kasus tidak disidangkan oleh Pengadilan Syari’at Muslim karena polisi telah menaikkan harga uang suap dan mereka mengancam semua orang jika mereka tidak membayar dua kali lipat dari harga uang suap biasa, maka mereka akan mengajukan kasusnya melalui Pengadilan Syari’at. Itulah hasilnya. Dan Anda akan dikejutkan karena menemukan selain adanya ribuan pilihan yang dimungkinkan, hampir tidak ada dua atau tiga [kasus] pun yang diajukan melalui Pengadilan Syari’at dan [kalaupun ada], hal itu juga karena tekanan politik. Dikarenakan beberapa partai politik ingin menghukum musuh-musuhnya dan mereka ingin agar kasusnya dikerjakan oleh Pengadilan Syari’at. Jadi, inilah kenyataan dalam hidup. Bagaimana kita dapat mengubah hal itu? Tanya: Jadi, apa alasan untuk mengubah hukum seperti munculnya nabi-nabi baru?
- 13 -
www.ahmadiyya.or.id
Jawab: Pertama-tama, saya ingin katakan bahwa penyamarataan ini agak terlalu berani. Bukan itu masalahnya, karena ketika Anda mempelajari sejarah agama, setiap nabi yang datang tidak mengubah wahyu nabi sebelumnya. Kebanyakan para nabi datang untuk memperkuat dan memperbaiki hukum [yang ada] ketimbang mengubah hukum itu. Sebagai contoh, jika Anda mempelajari sejarah Yahudi, Anda akan terkejut karena menemukan bahwa sampai Yesus Kristus a.s. tidak ada hukum baru yang dibuat atau diperkenalkan. Hukum itu diubah atau diabaikan oleh masyarakat, dan kemudian usaha-usaha dilakukan oleh para nabi untuk memperbaikinya dan membuat masyarakat mempraktekkannya dan kembali menafsirkan hukum-hukum itu dalam nuansa aslinya. Jadi, sejarah agama sebagaimana yang diberikan kepada kita dengan mempelajari agama-agama utama di dunia ini, memberikan sebuah kisah yang benar-benar berbeda. Sebagai contoh, berputarlah ke Cina. Tao datang dengan sebuah ajaran. [Ajarannya] bukanlah sebuah catatan pengajaran yang telah diubah oleh Khong Hu Cu. Hal itu sebenarnya merupakan ajaran serupa yang diteguhkan dan ditafsirkan kembali oleh yang belakangan. Tapi saya setuju. Juga mengenai Al-Qur’an, secara nyata membicarakan bahwa terkadang hukum berubah. Namun pertanyaannya adalah, apakah hukum itu berubah secara fundamental (pokok/mendasar) atau superfisial (cabang/permukaan)? Dan bagaimana perubahannya? Apakah hukum itu meminta perubahan lebih lanjut atau tidak? Ini juga merupakan sebuah pertanyaan otentik dan sangat penting bagi saya untuk dijawab. Sekarang saya ambil tiga contoh dari sejarah, contoh perubahan hukum alam, yang berakhir pada Islam. Dalam agama Yahudi, karena adanya sejarah panjang penindasan yang dilakukan oleh Firaun (Pharaoh) kepada Bani Israil, belakangan telah mengakibatkan hilangnya kualitas keberanian dan tantangan manusia meskipun mereka [dalam posisi] yang benar. Untuk melakukan tindakan pembalasan yang sah adalah sesuatu yang melebihi kekuatan dan kekuasaan mereka, karena telah terlalu lama mereka diinjak-injak. Hal ini serupa dengan apa yang kadang-kadang terjadi pada orangorang Kashmir di India: Mereka yang diperlakukan dengan kejam mulai berbicara setelah beberapa lamanya, “Baiklah, kami maafkan musuh kami yang kuat, namun tidak kepada musuh yang lemah.” Jadi, ketika muncul penyimpangan seperti itu, maka hukum haruslah menjadi sebuah hukum temporal/sementara saja untuk memperbaiki kekeliruan yang terjadi. Dan hal itu benar-benar terjadi pada hukum Musa mengenai pembalasan: Gigi
- 14 -
www.ahmadiyya.or.id
untuk gigi; Mata untuk mata. Dan, hal itu ditegaskan begitu rupa, seolah-olah tidak terdapat ruang untuk memaafkan. Hukum yang demikian telah dijalankan dalam waktu yang lama. Kemudian hadir Yesus Kristus a.s., yang pada saat itu kaum Yahudi telah melupakan apa yang namanya pengampunan/memaafkan. Anda harus membaca bukunya Shakespeare mengenai Shylock untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Dan, jika Yesus Kristus a.s. juga mengijinkan mereka untuk melakukan pembalasan, orang-orang yang memiliki hati yang keras tidak akan pernah memaafkan. Untuk menentramkan penderitaannya, mereka akan mengatakan, ”Balas dendam juga dibolehkan; mengapa tidak melakukan pembalasan?” Jadi, Yesus telah menarik dari mereka hak untuk melakukan pembalasan, namun keputusan itu tidaklah dapat menjadi permanen. Ini adalah wilayah di mana ajaran-ajaran cabang (superficial/yang bukan pokok) terkadang diwahyukan, namun hanya untuk waktu dan periode tertentu saja, untuk masa lalu saja, dan TIDAK selamanya. Lalu kemudian datang Al-Qur’an, dan hukum sehubungan dengan hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah:
fa man ‘afaa wa ashlaha, fa ajruhu ‘alallah (Asy-Syuura: 41) Anda mempunyai hak untuk melakukan pembalasan. Seluruh ayat itu pada kenyataannya mengatakan: ”Kamu mempunyai hak untuk melakukan pembalasan ketika kamu teraniaya namun JANGAN melampaui batas.” Ini adalah sebuah prinsip. Yang kedua adalah, Anda juga dapat memaafkan namun jangan tanpa syarat. Anda hanya dapat memaafkan jika maaf Anda itu [dapat] mempromosikan reformasi. Jika [sebaliknya] hal itu mempromosikan kejahatan, maka Anda tidak dapat memaafkan. Inilah versi dari Al-Qur’an yang sekarang berada pada puncak perkembangan pemikiran yang sama. Dan saya telah membicarakan dengan beberapa teman dari [agama] Bahai, dengan beberapa cendekiawan lainnya dari berbagai belahan dunia; Saya telah melakukan banyak perjalanan dan selalu menyampaikan masalah ini kepada mereka: Silahkan coba untuk mengubah hukum ini sesuai dengan ketentuanketentuan yang baru. Sejauh ini, saya belum menemukan seorangpun yang mengusulkan adanya perubahan dalam hukum final ini.
- 15 -
www.ahmadiyya.or.id
Jadi, jika hukum memiliki kekenyalan, dapat menyesuaikan dan didasarkan atas prinsip-prinsip yang berakar pada nurani manusia, saya tidak berpikir hukumhukum itu perlu diubah. Namun sekali lagi, ini adalah diskusi yang berada di luar diskusi utama kita. Saya berharap hal ini sudah cukup dan kita akan berikan kepada pertanyaan lain. Tanya: Mohon dijelaskan perbedaan antara Syari’at dan Diyn? Jawab: Terima kasih. Diyn adalah sebuah kata yang dapat diaplikasikan kepada filsafat, isme atau apa pun yang Anda dapat ambil sebagai sebuah petunjuk atau cara dalam berperilaku. Sebagai contoh, menurut beberapa cendekiawan Muslim, penyembah berhala tidak memiliki ”peen” dan mereka akan dibenci karena memiliki gagasan bahwa mereka memiliki sebuah Diyn. Bagaimanapun juga Al-Qur’an telah membicarakan mengenai mereka:
Lakum diinukum wa liyadiyn. (Al-Kafirun : 7) “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Ketika dikatakan:
(Al-Baqarah : 257) Laa ikraaha fiddiyn. Kata Diyn mencakup tiap cara yang diambil orang untuk jalan hidup mereka. Hal itu tidak hanya sebuah keimanan kepada Tuhan saja. Bahkan sebuah pengingkaran kepada Tuhan dapat disebut sebagai sebuah Diyn. Di sisi lain, Syaria’t dibentuk atas konsep Tuhan. Jadi, di mana sebuah ‘Diyn’ dibentuk atas adanya kepercayaan bahwa: (i) (ii) (iii)
Terdapat satu Tuhan: Yang juga menampakkan kehendak-Nya bagaimana manusia membentuk takdirnya dan di mana kehendak itu didefinisikan dalam bentuk hukum-hukum atau aturan-aturan tertentu, yang disebut Syari’at. Tidak perlu Syari’at itu hanya dari Islam saja. Setiap agama memiliki Syari’atnya sendiri.
Sekarang, pertanyaannya adalah, dapatkah Syari’at diadopsi meskipun ia bukan bagian dari hukum di suatu negeri? Kita dapat mengutip sebuah contoh dari masyarakat kita bahwa hal itu tidaklah tidak dimungkinkan sama sekali.
- 16 -
www.ahmadiyya.or.id
Kenyataannya adalah bahwa hampir setiap negara di dunia ini mengizinkan anggota masyarakatnya untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka melalui arbitrasi. Dan sepengetahuan saya, di kebanyakan negara, arbitrasi sangat dihargai oleh hukum, bahkan jika arbitrasi yang tidak dapat diubah ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terlibat, keputusannya tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Kita telah membentuk sebuah Dewan Qadha (Qadha Board) dan sebuah Qadis di dalam Jemaat Ahmadiyah. Dan semua Ahmadi yang tidak ingin pergi ke [jalur] hukum biasa untuk menyelesaikan masalah dan sengketa mereka, mereka dapat datang kepada Qadha untuk menandatangani sebuah dokumen yang mana kami, tanpa kekerasan dan tanpa paksaan, meminta Anda untuk menyelesaikan sengketanya berdasarkan hukum Al-Qur’an. Dan dalam kasus seperti itu, pemerintah tidak pernah turut campur dan merintangi sehingga kasus itu berjalan dengan lancar. Sama halnya dengan, sepanjang ibadah merupakan hal yang jadi perhatian, hal itu di mana pun merupakan proses yang terus berjalan. Setiap orang seharusnya bebas atau bebas sesuka hatinya untuk beribadah kepada Tuhan, kecuali orang Ahmadi di Pakistan. Namun hal itu adalah sebuah masalah yang berbeda. Sebaliknya, di sana benar-benar tidak ada usaha yang dibuat oleh hukum untuk menghalangi kegiatan beribadah. Secara wajar saya katakan, di kebanyakan wilayah kehidupan, Syari’at dapat dipraktekkan tanpa menjadi sebuah hukum. Tanya: Anda menyatakan dalam ceramah Anda bahwa Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, telah memutuskan bahwa Syari’at akan menjadi hukum di Pakistan tanpa adanya peraturan dan ketetapan, namun merujuk kepada Al-Qur’an. Kemudian, Anda temukan bahwa hal ini bukanlah suatu cara yang bisa dipraktekkan. Saya telah memperhatikan bahwa Anda telah mempelajari subyek ini dengan sangat baik. Jadi, saya ingin menanyakan bagaimana opini Anda mengenai jenis perundang-undangan di suatu negara yang sebaiknya harus diambil. Haruskan Syari’at ditolak? Haruskah Syari’at dimodifikasi? Haruskan Syari’at dijadikan semacam perundangan sekuler? Apa sebaiknya jalan keluarnya? Jawab: Terima kasih atas pertanyaannya ini, yang sebaiknya saya sentuh dalam kesempatan saya ini. Kenyataannya adalah bahwa konsep pemerintahan dalam Islam merupakan suatu masalah yang sangat penting yang harus diselesaikan sebelum kita lanjut lebih jauh.
- 17 -
www.ahmadiyya.or.id
Saya telah mempelajari kasus ini secara mendalam. Saya telah pelajari bahwa para cendekiawan Muslim abad lalu yang telah berbicara mengenai masalah ini dan banyak menulis mengenai hal itu dan mereka TIDAK dapat menyelesaikan masalah ini dengan baik. Jika Islam mengusulkan adanya sebuah pemerintahan yang mewakili Tuhan, maka masalah ini dapat dilihat secara bersamaan dari sebuah sudut yang berbeda. Jika, di sisi lain, Islam mengusulkan sebuah sistem pemerintahan yang lazim bagi bermacam kelompok agama-agama dan masyarakat yang berbeda, maka secara keseluruhan pandangan yang muncul akan berlainan. Menurut pendapat saya, yang pertama BUKANLAH masalahnya. Karena Islam berpihak pada jenis pemerintahan sekuler lebih daripada agama apa pun dan lebih daripada sistem politik apa pun. Sekarang, hal ini mengejutkan buat beberapa orang, namun saya dapat mengutip dari Al-Qur’an dan membuktikan hal tersebut. Hal yang sangat pokok dari sekularisme adalah bahwa keadilan absolut harus dipraktekkan meskipun ada perbedaan-perbedaan dalam keyakinan, agama, warna kulit dan kelompok. Sebagai esensinya, hal ini merupakan definisi sejati dari sekularisme, dan ini adalah apa yang benar-benar Al-Qur’an peringatkan kepada kita untuk melaksanakan halhal sehubungan dengan negara, dan bagaimana hal-hal itu sebaiknya dilakukan serta bagaimana negara seyogyanya dijalankan. Al-Qur’an mengatakan:
Innallaaha yaa’muru bil ‘adli (An-Nahl : 91) Allah memerintahkan kamu agar selalu berlaku adil. Dan kemudian dari ayat itu berkembang dengan menyatakan:
Wa laa yajrimannakum syanaanu qawmin ‘alaa alla ta’diluw. I’diluw huwa akrabulit- taqwa (Al-Maaidah : 9). Jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mengizinkanmu untuk berlaku menyimpang dari keadilan mutlak (berbuat adil). Berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan taqwa. Ketika Anda menyelenggarakan tanggung jawab Anda sebagai sebuah pemerintahan, Anda harus menyalurkan tanggung jawab itu dengan penuh keadilan di hati Anda.
- 18 -
www.ahmadiyya.or.id
Sekarang, ketika keadilan absolut terbentuk sebagai tema sentral dari suatu pemerintahan, bagaimana bisa hukum Islam dijalankan bagi non-Muslim? Karena hal itu akan bertentangan dengan keadilan. Dan akan muncul banyak kontradiksi. Jadi, jika Anda mempelajari inti sentral ini secara mendalam, Anda akan dikejutkan karena juga menemukan bahwa interpretasi yang saya sedang berikan pada kesempatan ini atau yang saya mengerti sebagai interpretasi yang benar, adalah juga interpretasi yang disampaikan dari praktek Pendiri Islam s.a.w. Di Medinah, ketika beliau pindah ke sana setelah Hijrah, beliau menjalin hubungan dengan kaum Yahudi dan masyarakat lainnya yang menerimanya tidak hanya sebagai pemimpin agama mereka, namun sebagai seorang pemimpin politik. Mereka sepakat – dan inilah yang disebut dengan Piagam Medinah – untuk merujuk semua sengketa kepadanya dan mempercayakan keputusan mutlaknya untuk menyelesaikan semua pertikaian di antara berbagai pihak. Hukum Islam telah diturunkan pada waktu itu. Kaum Yahudi datang kepadanya untuk mendapat petunjuk atau meminta keputusan. Tanpa kegagalan, setiap kali beliau ditanya, ia menanyakan: ”Apakah perselisihan kalian mau diselesaikan sesuai dengan hukum Yahudi atau sesuai dengan hukum Islam atau sesuai dengan arbitrasi?” Tanpa kegagalan, beliau tidak pernah memaksakan hukum Islam kepada pihak yang tidak menyetujuinya, yang mana [hukum] itu bukanlah milik agama mereka. Inilah yang saya sebut keadilan absolut. Jadi, keadilan absolut harus dijalankan oleh sebuah pemerintahan Islam yang sejati, jika pemerintahan itu pernah bermimpi menyebut dirinya “pemerintahan Islami”, dan ini adalah istilah lain dari sebuah pemerintahan sekuler. Tanya: Jika Anda memutuskan untuk memiliki perundangan yang berbeda; perundangan untuk kaum Hindu, Kristen dan seterusnya, saya pikir hal itu akan sangat mengganggu di dalam masyarakat. Jawab: Tepat sekali, itulah yang sedang saya katakan. Saya tidak sedang mengusulkan kalau setiap pemerintahan politik sebaiknya memiliki sebuah perlengkapan dari perundangan yang dapat diaplikasikan kepada agama-agama yang berbeda. Hal itu tidaklah mungkin, dan tidak dapat dipraktekkan.
- 19 -
www.ahmadiyya.or.id
Komentar Penutup dari Ketua Kita di sini, masyarakat agama yang berbeda, kaum Kristen, Hindu, Muslim bekerja bersama, dan kelihatannya kita sedang bekerja sama atas dasar yang sangat baik, atas dasar saling kerja sama tanpa ikut campur di dalam masalah internal masingmasing, dan atas nama semua organisasi, saya secara tulus mengucapkan terima kasih dan saya berharap ketika Anda meninggalkan negara kami, Suriname, Anda akan meninggalkannya dengan ingatan yang baik, perasaan yang baik dan juga meninggalkan banyak sahabat di sini. Semoga selamat dan aman perjalanan Anda.
- 20 -