MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM (Telaah terhadap Buku International Human Rights And Islamic Law Karya Mashood A Baderin). Moh Sholehuddin Penyuluh Agama Islam Kanmenag Kabupaten Sidoarjo Dan Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya Abstrak
Buku adalah hasil karya disertasi Mashood A. Baderin bidang hukum Islam di Universitas Nottingham tahun 2001. Ada tiga kegelisahan akademik yang melatarbelakangi penulisan buku karya disertasi ini. Pertama dan utama adalah isi pasal-pasal dalam HAM internasional itu compatible (harmonis) dengan syari’at Islam? Jika harmonis, maka berarti negara-negara Islam yang memakai syari’at Islam sebagai hukum negara itu – secara otomatis –telah melaksanakan poin-poin HAM internasional. Sebaliknya. jika tidak harmonis maka berarti negara-negara Islam yang menjalankan syari’at Islam sebagai hukum negara itu tidak peka – untuk tidak mengatakannya tidak melaksanakan– HAM internasional. Kedua, akademisi, aktivitis dan staf ahli PBB di bidang HAM internasional ini, melihat bahwa di dunia Barat dan benua Amerika masih bersemayam image public bahwa syari’at Islam itu belum selaras dengan nilai-nilai ideal dan cita-cita HAM internasional. Syari’at Islam dinilai belum menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan HAM seperti hukum rajam dan potong tangan. Ketiga, Baderin sangat prihatin dengan cara berfikir dan cara memahami Islam dari umat Islam itu sendiri. Banyak sekali dari mereka yang sesat pikir sehingga tidak mampu membedakan antara syari’at (universal dan tetap) dengan fikih (temporal dan rentan perubahan). Ciri khas karya Baderin ini adalah memaparkan tiap pasal tentang HAM internasional seperti yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dan The International Covenant on Civic and Politic Rights (ICCPR), dan the International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), menjelaskan maksudnya, lalu mendialogkannya dengan syari’at Islam, kutub alturats klasik atau implementasinya di negara-negara Islam. Ciri khas Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 69
Moh. Sholihuddin
itulah yang membedakan karya Baderin dengan karya Abdullah Ahmed An-Naim meskipun sama-sama membahas tentang syari’at Islam dengan HAM internasional. Olek karena ada ciri khas mendialogkan pasal-pasal tentang HAM internasional dengan syari’at Islam seperti dijelaskan di atas, maka Baderin menamakan pendekatan yang dia pakai dengan istilah ‘a dialogical approach’ (pendekatan dialogis). Agar teori-teori dalam fikih klasik itu compatible dengan semangat HAM internasional maka fikih klasik perlu ditinjau ulang atau direinterpretasi. Baderin mengajukan rumusam bahwa dalam mereinterpretasi fikih klasik perlu menjadikan mashlahah, al-kulliyah al-khamsah dan maqasid alsyariah sebagai basis landasan teoritik. Fikih perlu direinterpretasi karena fikih itu ranah human interpretation of syariah dan kerap berubah sesuai situasi dan konteks. Kata Kunci: HAM, Syari’at Islam Prolog
Citra Islam di mata masyarakat dunia Barat dan benua Amerika mayoritas masih belum mengembirakan umat Islam, meskipun di antara warga Eropa dan Amerika ada yang muslim. Islam di dua benua itu masih menjadi agama minoritas. Islam dimispersepsikan sebagai agama yang statis, sadis dan mengekang kebebasan wanita dan tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kesejahteraan dan keteraturan sosial, ekonomi, budaya dan sains tertinggal dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Faham akan ketertinggalan itu dan upaya untuk maju, umat Islam menempuh cara yang variatif yang dapat dipetakan dalam tiga kelompok. Pertama, sikap self-sufficiency. Mereka beranggapan bahwa kemajuan itu hanya ada dalam Islam saja. Tidak perlu meniru dan mengambil property kebudayaan lain. Sikap ini cenderung konservatif bahkan radikal dan puritan. Kedua, sikap sekularisme yaitu meniru Barat atau Amerika secara total dan meninggalkan tradisi Islam. Ketiga, sikap akomodatif-selektif. Mempertahankan tradisi Islam sambil mengadopsi property budaya luar yang bermanfaat.1 Ide-ide Hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang termaktub dalam ICCPR dan ICESCR merupakan ide-ide yang datang dari dunia 1
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Bandung: Bulan Bintang, 1992), 28 dan 90. Juga lihat John L. Esposito. Islam dan Politik (Bandung: Bulan Bintang, 1990), 55-56, 70-81.
70 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM internasional. Diantara isinya ada yang sejak awal sesuai dan selaras dengan ajaran Islam, namun sebagian lain ada yang belum selaras dengan Islam. Adanya ide dan tujuan HAM internasional itu tentunnya harus disikapi atau direspon oleh Umat Islam. Dalam merespon ide HAM internasional ini maka sikap umat Islam – sebagaimana dikatakan Baderin− terpola menjadi dua sikap. Pertama, kaum tradisionalis yang berpendapat bahwa hukum itu harus ‘back-looking’ (melihat ke belakang) terus menerus. Kaum tradisionalis ini bersikap konservatif, tekstualis, hardlinest, dan literalis. Kedua, kaum evolusionis yang berpendapat bahwa hukum itu harus “back and forward looking” (melihat ke belakang dan ke depan). Kaum kedua ini bersikap moderat, kontekstual. Mengidentifikasi hasil-hasil pemikiran para yuris klasik, menggali metodologinya dan kemudian mencoba mengkaitkan hasil pemikiran mereka itu dengan situasi dan konteks kontemporer.2 Tulisan ini mencoba untuk menggali pandangan Mashood A Baderin tentang HAM internasional dengan syari’ah Islam. Biografi Singkat Mashood A. Baderin adalah cendekiawan muslim dari Afrika dan bekerja sebagai professor bidang hukum pada SOAS (the School of Oriental And Affrican Studies) Universitas of London. Spesialisasi keahlianya adalah tentang HAM dan keterkaitannya dengan syari’at Islam (Islamic law). International Human Rights And Islamic Law adalah buku monumental Baderin. Buku tersebut berasal dari karya disertasi Ph.D yang ditempuh di Universitas Nottingham pada tahun 2001. Di samping menjadi professor hukum, Baderin juga aktif di berbagai even-even internasional terutama yang terkait dengan permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) dan dunia Islam. Pada 23 Maret 2012, Baderin terpilih menjadi The United Nations Independent Expert ( Penasehat atau staf ahli Independen PBB) untuk menangani situasi HAM di Sudan. Hasil tugas ini diserahkan Baderin ke majelis HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (the UN Human Rights Council/ HRC). Baderin produktif menulis karya tentang syari’at Islam dan HAM baik ditulisnya sendiri maupun berkolaborasi dengan orang lain. Karyakarya intelektualnya antara lain : International Human Right Law ditulis Baderin bersama Manisuli Ssenyojo (1 Nopember 2010), Internatiaonal Human Rights and Islamic Law (Oxford Monographs in International Law). Economic, Social, And Cultural Right in Action. Ditulis Prof. Robert 2
Mashood A. Baderin. International Human Rights and Islamic Law (New York: Oxford University Press, 2003), 44.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 71
Moh. Sholihuddin Mccorquodale bersama Mashood Baderin, International Law nad Islamic Law (Library of Essays in International Law). 28 April 2008, Islam and Human Rights (Collected Essays in Law). Ditulis bersama Abdullah AnNaim pada Januari 2010, Islam and Human Rights-Advocacy For Social Change in Local Contexts. Ditulis Baderin pada tahun 2006.3 Eksplorasi Tujuh Sudut Telaah 1. Kegelisahan Akademik Mashood A. Baderin tertarik mengkaji HAM internasional dan syari’at Islam dalam buku International Human Rights And Islamic Law karena dilatarbelakangi oleh beberapa kegelisahan akademik. Pertama dan utama adalah sebuah pertanyaan akademis yaitu apakah poin-poin (pasalpasal) dalam HAM internasional itu compatible (harmonis), rukun, dan sinergis dengan syari’at Islam? Jika harmonis, maka berarti negara-negara Islam yang memakai syari’at Islam sebagai hukum negara itu – secara otomatis –telah melaksanakan poin-poin HAM internasional. Sebaliknya. jika tidak harmonis maka berarti negara-negara Islam yang menjalankan syari’at Islam sebagai hukum negara itu tidak peka – untuk tidak mengatakannya tidak melaksanakan– HAM internasional.4 Kedua, dalam kedudukannya sebagai akademisi, aktivitis dan staf ahli PBB di bidang HAM internasional, Mashood A. Baderin melihat bahwa di dunia Barat dan benua Amerika masih bersemayam image public bahwa syari’at Islam itu belum selaras dengan nilai-nilai ideal dan cita-cita HAM internasional. Syari’at Islam dinilai belum mampu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan HAM seperti hukum rajam dan potong tangan.5 Ketiga, Baderin sangat prihatin dengan cara berfikir dan cara memahami Islam dari umat Islam itu sendiri. Banyak sekali dari mereka yang sesat pikir sehingga tidak mampu membedakan antara syari’at dengan fikih.6 Dua hal tersebut disamakan atau dicampuradukkan sehingga menjadi tumpang tindih antara al-din (agama, wahyu) dengan ‘ulum al-din’ (hasil pemahaman mujtahid tentang wahyu). Nilai-nilai idealitistik yang universal dalam Islam tercampur dengan aturan dan teori-teori praktis dan bersifat temporal. Kutub al-turats dalam bidang fikih, kalam, dan tasawwuf yang ditulis oleh para ulama zaman klasik diperlakukan sebagai sesuatu 3
http://www.soas.ac.uk/news/newsitem 75517. html. dan lihat juga Amazon.co.uk. 4 Mashood A. Baderin. International Human Rights…4-5 5 Ibid. 10-11 6 Ibid. 23.
72 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM yang sakral dan final seperti al-Qur’an sehingga tidak dapat dikritisi dan dikaji ulang. Sesat pikir yang menghasilkan sikap mensakralkan ilmu hasil pemikiran manusia inilah yang sangat ditentang oleh Baderin karena zaman terus berjalan dan peradaban hasil manusia dalam tiap zaman itu terus berkembang. Tidak semua masalah kehidupan manusia pada zaman yang kompleks sekarang itu tersedia jawaban solusinya dalam kutub al-turats klasik tersebut. al-nushush mutanahiyah wal waqi’ ghoiru mutanahibyah (teks-teks itu terbatas sedangkan realitas kehidupan sosiak itu tidak terbatas). Umat Islam, disarankan Baderin, untuk cerdas membedakan dua komponen dalam agama Islam yaitu komponen syariah dan komponen fikih. Bagi Baderin, syari’at adalah immutable divine revelation (wahyu dari Tuhan yang memuat nilai-nilai yang bersifat tetap dan abadi). Komponen yang pertama ini diistilahkan oleh Baderin dengan istilah Islamic Law.7 Pengertian syariah itu mengacu kepada corpus hukumhukum wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah (the authentic traditioanal of prophet). Juga mengacu kepada sumber-sumber hukum – yang secara tekstual– bersifat immutable (tetap) dan abadi. Fikih (komponen kedua) adalah human interpretation of syariah, interpretasi mujtahid terhadap syariah. Fikih mengacu kepada metode hukum. Fikih adalah pemahaman yang diperoleh dari syariah dan aplikasinya. Fikih dengan demikian rentan berubah sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. Ironis sekali, antara syariah dan fikih yang memiliki makna yang berbeda ini digebyah-uyah dan disamakan. Hukum-hukum fikih tentang konversi agama (riddah) atau relasi muslim dengan kafir atau dzimmi yang dirumuskan fuqaha’ abad pertengahan dianggap final dan tidak boleh dikaji ulang. 2.
Prior Researches (Kajian-Kajian Terdahulu) Baderin bukanlah cendekiawan muslim pertama yang mengkaji tentang syari’at Islam dan HAM. Ada beberapa orang yang terlebih dahulu mengkaji tentang tema tersebut. Antara lain adalah Abdullah Ahmed AnNaim, A.E. Mayer dan M. Monshipouri.8 7
Karena pemaknaan yang demikian, maka penulis cenderung mengartikan
Islamic Law dalam buku International Human Rights and Islamic Law dengan arti syariah Islam, bukan fikih karena fikih adalah bagian dari kecil dari syari’ah. 8
Karya-karya tiga cendekiawan tersebut dipaparkan oleh Baderin dalam
International Human Rights and Islamic Law halaman 3-4.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 73
Moh. Sholihuddin Buku popular An-Naim tentang Islam dan HAM adalah Toward
an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Raights and International Law 9 diterbitkan kali pertama oleh Syacuse Unibersity press tahun 1990.
Dalam buku ini, An Naim ingin menata ulang (merekonstruksi) tiga persoalan fikih yaitu kebebasan sipil, HAM dan hukum internasional. An Naim memcoba supaya qaul-qaul dalam fikih klasik tentang HAM, kebebasan sipil, persamaan di depan hukum, peran wanita itu ditinjau ulang supaya selaras dengan konteks kehidupan zaman modern sekarang yang plural, egaliter, dan berwawasan global internasional. An Naim mengajukan satu metode –yang diadopsi dari gurunya yaitu Mahmuod Thoha dari Sudan– yaitu membalik konsep nasakh mansukh dalam ilmu usul fikih dan ulumul qur’an. Pada awalnya, ayat-ayat Makkiyah yang biasanya bernuansa plural, humanis dan egaliter dimansukh oleh ayat-ayat Madaniyah. An-Naim mengusulkan agar sekarang ayat-ayat Madaniyah itu dimansukh oleh ayat-ayat Makkiyah karena ayat-ayat Makkiyah lebih mendekati semangat dan ruh kehidupan era global-modern.10 Konsep membalik nasakh dari An-Naim ini melahirkan sikap pro-kontra dalam pemikiran hukum Islam meskipun konsep ini memiliki sisi plus-minus. Tema-tema particular tentang HAM yang disorot oleh An Naim adalah tentang perbudakan (slavery) dan diskriminasi karena factor gender dan agama (discrimination on ground of gender and religion). A.E. Mayer –sebagaimana dikutip Baderin- menulis buku tentang HAM antara lain, Islam and Human Rights, Tradition and Politic (1999), Human Rights in Africa; Cross Cultural Perspectives (1999) dan beberapa artikel tentang HAM di berbagai jurnal. Fokus kajian Mayer menyentuh sisi politik, tradisi dan kondisi riil HAM di Afrika. M. Monshipouri menulis Islam, Secularisme, and Human Rights in the Middle East (1998) dan beberapa artikel tentang HAM di Jurnal The Muslim World dan Human Rights Quraterly. Buku International Human Rights and Islamic Law karya Baderin ini berbeda dengan karya-karya An-Naim, Mayer dan Moushipouri di atas. Titik bedanya terletak bahwa karya Baderin itu dalam mengkaji HAM dan relasinya dengan syari’at Islam langsung mencantumkan pasal-pasal dan ayat-ayat ‘Deklarasi’ HAM Internasional yang terumuskan dalam ICCPR (The International Covenant on Civil and Political Rights), yang berisi rentetan hak-hak sipil dan politik yang berlaku dalam skala internasional. 9
Abdullah Ahmed An Naim. Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Raights and International Law (New York: Syacuse University Press, 1990). 10 Ibid. 57-60
74 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM Tiap pasal dalam ICCPR langsung diulas dan didialogkan dengan syari’at Islam. Setelah itu, Baderin mencantumkan hak-hak asasi dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam ICESCR (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) kemudian mendialogkannya dengan syari’at Islam atau aplikasinya dalam negara Islam. Buku-buku An Naim dan Mayer serta Moushipouri tidak melakukan hal demikian. 3. Pendekatan (Approach) Berangkat dari tujuan utama ditulisnya buku ini –yaitu untuk mengetahui sejauh mana HAM internasional itu bisa diinterpretasikan dalam tinjauan syari’at Islam – dan karena watak penyajiannya – yaitu dimulai dengan memaparkan pasal-pasal dan ayat-ayat yang ada dalam ICCPR dan ICESCR kemudian disusul dengan komentar syari’at Islam tentang isi pasal tersebut – maka Baderin menamakan approach (pendekatan) yang ia gunakan dalam buku ini dengan istilah a dialogical approach (pendekatan dialogis).11 Untuk melakukan a dialogical approach tersebut diperlukan empat sikap yaitu 1) budaya toleransi; membuang parokhialisme dan rivalitas, 2) kemampuan untuk saling mendengar (capacity to listen), 3) sikap akomodatif (accomodite), dan 4) saling tukar (exchange). Apa yang ada dalam pasal-pasal HAM internasional dan apa yang ada dalam syari’at Islam harus didengar, dipahami secara objektif dan tidak saling dipermusuhkan. Keduanya harus saling mendengar. Baderin mengatakan, “a dialogical approach for archeiving a common understanding”, pendekatan dialogis itu untuk mencapai kesepahaman bersama. Budaya dialogis itu dianjurkan dalam konferensi dunia tentang HAM (World Conference on Human Rights) di Strausborgh tahun 1993 dan oleh simposium dunia tentang HAM Muslim World League (Liga Dunia Islam) tahun 2000. Kerangka Teoritik ( The Way to Think) Supaya substansi syari’at Islam itu bisa bertemu dan harmonis dengan ide dasar HAM internasional, maka Baderin menggunakan 5 (lima) konsep sebagai kerangka teori yaitu syari’at Islam (sources of Islamic law), maqashid al-syariah, fikih (methods of Islamic law), mashlahah (promotion of human welfare and prevention og harm ) dan tentang HAM. Lima konsep tersenut diinterpretasikan dengan segar oleh Baderin sehingga lima 4.
11
Mashood A. Baderin. International Human Rights…5
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 75
Moh. Sholihuddin konsep tersebut sinkron dan saling mendukung. Syari’at Islam Kata syari’at secara literal berarti jalan atau prosedur yang ditempuh untuk sampai pada tujuan. Juga berarti jalan lurus (right part). Kata syari’at juga mengacu (refer) kepada corpus hukum-hukum wahyu yaitu al-Qur’an dan sunnah( the authentic tradition of prophet). Syari’at sebagai sumber utama hukum Islam –yang jika dilihat dari sisi teks atau nash-nashnya – itu bersifat immutable (tetap) dan tidak berubah. Kandungan makna syari’at itu meng-cover aspek moral, hukum (legal), social dan spiritual dalam kehidupan manusia. Fikih merupakan bagian kecil dari syari’ah karena fikih hanya menyentuh aspek hukum (legal) saja. Ayat al-Qur’an yang digunakan Baderin dalam menjelaskan posisi syari’at dan fikih adalah Q.S. al-Maidah (5):48. Likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja. Setiap umat dari rasul-rasul Allah itu diberi syari’at (syir’at) dan metode impelemtasi syari’at (minhaj). Syir’at adalah syari’at, minhaj adalah fikih. Mengutip pernyataan Ramadhan, Baderin menyatakan bahwa “struktur syari’at Islam telah komplit sejak zaman Rasulullah. Syari’at itu ada dalam al-Qur’an dan sunnah”. Teks-teks al-Qur’an itu kekal. Dari teksteks itu lahir berbagai konsep tentang hukum. Karena teks-teks itu melahirkan ilmu-ilmu keislaman maka Nasr Hamid Abu Zayd menyebutnya sebagai hadharat al-nash (peradaban teks).12 Peradaban teks itu jika dilihat dari sisi popular dan dominasinya maka yang dominan adalah karya-karya fikih yang oleh karena itu Abed al-Jabiri menyebut peradaban klasik Islam adalah peradaban fikih (hadharat al-fikih).13 Teks-teks alQur’an itu bersifat devine (tetap), namun pemahaman terhadap teks dan pengaplikasian dalam kehidupan riil di dunia itu menggunakan interpretasi umat Islam itu sendiri. Dalam syari’at Islam ada dua aspek yaitu aspek spiritual dan aspek temporal. Aspek spiritual adalah berupa bagaian-bagian aturan ibadah, hubungan langsung antara individu dengan Tuhan. Aspek spiritual ini bersifat tetap, tidak berubah. Aspek temporal berupa hukum-hukum yang mengatur relasi antara manusia dengan urusan duniawi-temporalnya. Aspek temporal juga sering disebut dengan aspek mu’amalah. Umumnya, aspek temporal ini untuk menciptakan common good (public interest, manfaat 12
1987), 9
Nashr Hamid Abu Zayd. Mafhum al-Nash (Markaz al-Tsaqafi al-‘araby,
13
Muhammad Abed al-Jabiri. Takwin al-‘Aql al-‘Araby. (Maroko: Dar alBaidla’, 1991), l 96
76 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM public) bagi manusia. Aspek temporal bersifat dinamis, kerap berubah.14 Persoalan HAM itu masuk dalam kategori aspek temporal (mu’amalah) dalam syari’at Islam karena realitas kehidupan dan bentuk serta aturan interaksi sosial itu terus berkembang. Hak-hak manusia juga berkembang corak dan bentuknya. Sebagai contoh, pada era klasik, ulama menulis dan menciptakan karya-karya intelektual yang monumental dan mereka tidak repot memikirkan hak cipta intelektual mereka sebab hak cipta intelektual di era tersebut belum diperlukan dan juga karena budaya duplikasi (plagiat) masih sangat rendah. Namun, pada era modern sekarang persoalan hak cipta intelektual menjadi persoalan yang sangat penting. Maqasid al-Syari’at Syari’at –seperti yang dideskripsikan di atas – ditetapkan oleh alSyari’ (Allah dan rasul-Nya) untuk satu tujuan pokok yaitu menciptakan human welfare (mashlahah) dan membuang mafsadah (harmful). Interpretasi dan aplikasi terhadap syaria’t itu harus mengarah kepada terciptanya mashlahah dan menyingkirkan mafsadah bagi hidup umat. Pada poin ini, Baderin sependapat dengan teori maqasid al-syariah dari alSyatibi.15 Terkait dengan teori maqasid al-syari’at, Baderin memaparkan analisis Ramadhan tentang 5 karakteristik penting syari’at yaitu: 16 a. Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber formal syariah itu pada dasarnya memberikan aturan dalam garis besar (general rules), tidak membahas aturana-aturan teknis dan rinci. Hal itu memberi ‘ruang’ lebar bagi sumber dan metode syari’at selain al-Qur’an dan sunnah untuk merumuskan hal-hal yang termashlahah bagi kemanusiaan. b. Aturan bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang itu mubah. Ramadhan mengatakan, syariah itu tidak melumpuhkan manusia sehingga manusia tidak dapat bergerak dan berkreasi. Sebaliknya, al-Qur’an menyeru agar manusia memperhatikan alam semesta (sebagai ciptaan Tuhan untuk manusia) supaya alam raya itu dikelola dan dimanfaatkan untuk kemashlahatan hidup manusia. c. Dalam perkara-perkara yang dilarang, al-Qur’an kadang-kadang menempuh cara gradual (tadrij) untuk melarang hal-hal yang haram. Tujuannya adalah untuk menunggu kesiapan (readiness) masyarakat 14
Mashood A. Baderin. International Human Rights…39-40 Ahmad al-Risuni. Nadhariyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi (Riyadh: Dar al‘Alamiyah,1992), 87 16 Mashood A. Baderin. International Human Rights…41-42 15
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 77
Moh. Sholihuddin untuk meninggalkan perkara haram itu. d. Apa yang dilarang oleh al-Qur’an dan sunnah itu dapat berubah menjadi boleh bila ada faktor darurat. Ada ayat famanidthurra ghaira baghin wala a’adin dan kaidah al-dharauratu tubihul mahdurat. e. Terbuka lebar untuk mengadopsi hal-hal yang bermanfaat dari mana saja asalnya sepanjang tidak menentang teks-teks al-Qur’an dan sunnah. Lima karakter penting syari’at tersebut digali Ramadhan dari karya ibnu Qoyyim al-Jauzi (I’lam al-Muwaqi’in), Abd al-Wahhab Khallaf (Mashadir al-tasyri’ al-Islami fima la Nashha fihi). Fikih
Dalam pemahaman Baderin. Fikih –secara literal, lughat– berarti pemahaman (understanding). Fikih merupakan human interpretation of syariah, pemahaman manusia (mujtahid) tentang syariah dan aplikasinya. Jika syari’at –sebagaimana dikatakan Baderin– diantara maknanya itu mengarah kepada the sources of Islamic law, maka fikih itu mengarah kepada the methods of Islamic law. Jika fikih adalah pemahaman dan aplikasi manusia terhadap syari’at maka fikih tidak lain adalah produk kemanusiaan dan bisa berubah. Bukan produk Tuhan dan kebal dengan perubahan. Fikih itu meng-cover satu aspek saja (yakni aspek hukum, legal) dari aspek-aspek yang ada dalam syari’at. Fikih adalah secuil dari syari’at.17 Perkembangan zaman dan ekspansi Islam ke berbagai negara pasca wafatnya Rasulullah melahirkan banyak kasus baru yang belum dijelaskan secara langsung oleh al-Qur’an dan sunnah. Dalam otoritas kandungan makna hadits Rasul yentang langkah-langkah Mu’adz bin Jabal dalam memutuskan perkara dapat kita ketahui adanya konsep ijtihad (legal reasoning). Ijtihad, dalam hadits itu, dikembangkan sebagai metode hukum Islam. Dalam perkembangannya, konsep ijtihad mencakup metode-metode seperti ijma’ (juristic consensus), qiyas (legal analogy), istihsan (juristic preference), istishlah atau mashlahah (welfare), ‘urf (costum), dan darurah (necessity).18 Metode-metode dalam ijtihad di atas dikategorikan sebagai sumber sekunder (secondary sources) bagi hukum Islam dan sebagai produk nalar manusia. Metode-metode ini mengindikasikan bahwa sejak periode awak Islam, proses hukum Islam itu memperbolehkan penggunaan human reasoning. Metode ini diperkenankan untuk kasus-kasus baru yang tidak dicover secara langsung (secara jelas) oleh teks-teks al-Qur’an dan sunnah. 17 18
1987).
Mashood A. Baderin. International Human Rights…37 Wahbah al-Zuhayli. Ushul al-Fikih al-Islami Juz II (Beirut: Dar al-Fikr,
78 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM Syari’at adalah hukum Islam dari sumber-sumber wahyu, sedangkan metode ijtihad (fikih) adalah ‘kendaraan metodologis’ yang dipakai oleh para yuris untuk mentransformasikan syari’at ke realitas kehidupan manusia di bumi. Pada mulanya dalam fikih muncul sekitar 500 madzhab. Kemudian ada yang mati dan ada yang merger. Yang popular sejak abad ke 3 H. adalah empat madzhab yaitu madzhab Hanafi (yang banyak tersebar sekarang di Turki, Syiria, Lebanon, Jordan, India, Pakistan, Iraq dan Libya), madzhab Maliki (Afrika Utara, Afrika Barat, Kuwait), madzhab Syafi’i (Mesir Selatan, Afrika Timur, Arabia Selatan, Indonesia dan Melayu), dan madzhab Hanbali (Saudi Arabia dan Qatar). Semua madzhab di atas mengakui al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama syari’at. Perbedaan penafsiran di antara mereka tentang masalah-masalah particular (furu’iyah) syariah itu berasal dari perbedaan pemahaman mereka terhadap nash-nash wahyu. Perbedaan para yuris (hakim) tentang masalah-masalah tertentu dalam syari’at juga berasal dari perbedaan zaman, tempat dan kondisi sosial budaya yang ada diantara mereka. Pada abad ke-13 M, semangat ijtihad menjadi memudar. Sebaliknya terbuka pintu taqlid (legal conformism). Sejak itu, Islamic law (syari’at) menjadi hanya sebagai aplikasi hukum-hukum yang dibuat oleh yuris sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab dan risalah mereka pada madzhab-madzhab yang mapan. Muslim hanya menjadi pengikut satu madzhab hukum dan secara umum tidak mengijinkan berijtihad mandiri dalam beberapa persoalan. Baderin mengatakan: “Muslim became
restricted to conform or to follow the rulings of any one the schools of jurisprudence but were not generally allowed to exercise independent legal reasoning on any matter”. 19
Meskipun, ada banyak ulama kontemporer menyerukan penolakan pintu ijtihad tertutup, namum taqlid masih berlangsung hingga saat ini. Yang dipandang Baderin sebagai sesuatu yang menyedihkan adalah pandangan bahwa fikih (jurisprudence) yang tertulis dalam kitab-kitab rumusan tokoh-tokoh madzhab sejak abad 10 M hingga sekarang dianggap sebagai corpus syari’at (corpus of Islamic law) dan dipandang sebagai syariah yang abadi. Telaah ulang, kajian kritis dan upaya penyempurnaan terdapat ide-ide dalam kitab-kitab tersebut dianggap sebagai tindakan tercela. Baderin menyatakan: “ The jurisprudence (figh) of the established
schools found in their treatises dating from the tenth century are today held as the corpus of Islamic law and potrayed as the immutable syariah”. 20 19 20
Mashood A. Baderin. International Human Rights…38 Ibid.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 79
Moh. Sholihuddin Mashlahah Mashlahah –secara literal– adalah manfaat, kebaikan dan kemakmuran. Dalam madzhab Maliki, mashlahah diartikan sebagai hal-hal yang bermanfaat bagi public (public welfare) atau mashlahah mursalah, mashlahat ummah. Mashlahat untuk semua masyarakat Islam (muslim community as a whole). Pada awalnya, mashlahat diperkenalkan oleh alImam Malik, lalu dikembangkan ulama seperti al-Ghazali dan al-Thufi. Mashlahah merupakan variable yang paling efektif dalam membawa ide-ide Islam supaya dekat dengan realitas hidup di tiap zaman. Pada abad ke-14 M, tampil Abu Ishaq al-Syatibi, faqih dalam madzhab Maliki, mengembangkan mashlahah dan menjadikannya sebagai basis penalaran ijtihad. Mashlahah secara secara umum mencakup mashlahah syakhsiyah atau mashlahah individual untuk mendukung HAM manusia itu sendiri. Mashlahah merupakan teori yang paling rekevan untuk mendiskusikan HAM dalam perspektif syariah Islam. Al-Syatibi dan AlZuhayli membagi mashlahah menjadi tiga macam yaitu:21 a) Mashlahah dlaruriyah (indispensable benefits) yaitu, mashlahah yang tidak dapat didispensasi. Ia mencakup lima hal universal (al-kulliyah alkhamsah) yaitu hifdh al-nafs (menjaga nyawa), hifdh al-din (menjaga hak beragama), hifdh al-a’ql (menjaga akal sehat), hifdh al-nasl (menjada keturunan) dan hifdh al-mal (menjaga harta milik). Ulama muslim muslim kontemporer memandang bahwa al-kulliyah alkhamsah ini sebagai hak-hak fundamental manusia (al-huquq alfithriyah). HAM, secara khusus, bertujuaan untuk memproteksi hak-hak individu. Puncaknya, HAM bertujuan untuk memberi garansi manfaat dan mashlahah bagi manusia secara keseluruhan dimana pun mereka. Menjaga hak individu pada akhirnya adalah menjadi hak-hak public. b) Mashlahah hajjiyah (necessary (supppementary) benefits) yaitu mashlahah yang jika tidak dipenuhi karena adanya keterbatasan maka tidak mengakibatkan hancurnya kehidupan manusia. c) Mashlahah tahsiniyyah (improvement benefits) yaitu mashlahah yang bersifat pengembangan dari mashlahah hajjiyah. Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua manusia. HAM muncul karena pertimbangan menjaga kharisma-kemuliaan inhern hak-hak manusia (inhern dignity of human rights). Baderin mengatakan bahwa usia HAM itu seusia masyarakat itu sendiri, dan meskipun asal-usul HAM itu 21
Wahbah. Usul al-Fikih…Juz II. 1020-1022
80 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM merujuk kepada zaman klasik (ancient times), namun Perang Dunia I dan II telah memainkan babak yang sangat penting bagi lahirnya apa yang sekarang disebut sebagai teks-teks HAM atau ‘rejim’ HAM. Pasca Perang Dunia (PD) pertama ada upaya memberi proteksi kepada kelompok minoritas di Eropa Tengah dan Timur. Ada hak-hak individual untuk memproteksi hak-hak individu, dan hak-hak kolektif untuk memproteksi hak-hak kaum minoritas secara kolektif. Tahun 1929, The Institute of International Law mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia (kaum lelaki) supaya mendapat perlakuan yang sama dalam hidup (life), kebebasan (liberty), dan kepemilikian (property). Pasca PD II, berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membawa pengaruh bagi rumusan HAM. Dalam Preambule Piagam PBB ditulis bahwa anggota PBB menandaskan tekad untuk membela terhadap hak-hak fundamental manusia, kemuliaan dan harkat manusia, persamaan hak pria-wanita, dan negara besar dengan negara kecil (to reaffirm faith in
fundamental human rights, in dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small). Tahun 1948, majelis umum PBB menetapkan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen pertama PBB yang memuat poin-poin
tentang HAM internasional. UDHR dijadikan sebagai framework bagi risalah HAM internasional dan dokumen HAM regional-nasional. HAM yang terdapat dalam UDHR adalah: 1). Hidup, kebebasan dan keamanan diri, 2). Diakui sebagai person (manusia), 3). Persamaan di depan hukum, 4). Effective Legal Remidies, 5). Menjalani proses hukum, 6). Bebas melakukan pergerakan, 7). Bebas berfikir, kesadaran dan beragama, 8). Bebas berpendapat dan berekspresi, 9). Mendapat kedamaian, 10). Berpartisipasi dalam pemerintahan, 11). Keamanan social, 12). Bekerja dapat upah yang layak, 13). Istirahat dan bersenang-senang, 14). Hidup layak/ standar, 15). Memperoleh pendidikan, 16). Berkebudayaan, 17). Larangan perbudakan, 18). Larangan berkelahi, tawuran dan tindakan tidak manusiawi, dan 19). Larangan intervensi dalam proses hukum. Pada tahun 1976, ditetapkanlah The International Covenant on Civil and Politic Rights (ICCPR), perjanjian international tentang hak-hak sipil dan politik. ICCPR pada tahun 2002 telah diratifikasi oleh 149 negara, termasuk oleh 41 negara dari 57 negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam). Karena ICCPR hanya mencover hak-hak sipil dan politik, maka pada tahun yang sama ditetapkan, juga The International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), sebuah perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya. UDHR, ICCPR
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 81
Moh. Sholihuddin dan ICESCR itulah yang ‘membangun’ (constitute) The International Bill of Rights ( HAM internasional). HAM dalam ICCPR ada 24 hak yaitu 1) hak menentukan diri sendiri, 2) hak persamaan antara pria-wanita, 3) hak hidup, 4) hak bebas dari penaganiayaan, penyiksaan, dan perlakukan tidak manusiawi, 5) hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, 6) hak bebas dan keamanan pribadi, 7) hak sistem pemenjaraan yang manusiawi, 8) hak bebas dari hukuman penjara akibat melaksanakan perjanjian (contractual obligation), 9) hak bebas bergerak dan memilih tempat tinggal, 10) hak bebas dari pengusiran secara paksa, 11) hak hearing (mendengar) dalam proses hukum, 12) hak bebas dari hukum kriminal berlaku surut (retroactive criminal law), 13) hak diakui sebagai person/ individu di depan hukum, 14) hak privasi, 15) hak berfikir, berkesadaran dan beragama, 16) hak bebas berekspresi dan beropini, 17) larangan mempropagandakan perang dan menghasut untuk membenci, 18) hak damai, 19) hak bebas bersosialita, 20) hak menikah dan membangun keluarga, 21) hak memperoleh anak, 22) hak berpolitik, 23) hak sama di depan hukum, dan 24) hak etika, agama dan bahasa minoritas. HAM dalam ICESCR ada Sembilan (9) hak yaitu 1) hak untuk bekerja (untuk laki-laki dan wanita), 2) hak mendapat pekerjaan yang layak, 3) hak perkumpulan dagang, 4) hak jaminan keamanan social, 5) Hak-hak keluarga, 6) Hak hidup yang layak, 7) hak memperoleh kesehatan fisik dan mental yang layak, 8) hak memperoleh pendidikan,dan 9) hak memdapat manfaat dari perkembagan ilmu-sains dan kebudayaan. Sebagai catatan penting dalam sub pembahasan ini adalah bagaimanakah usaha intelektual Baderin untuk mempertemukan atau mengharmoniskan antara ide-ide substansial dalam ICCPR dan ICESCR dengan hukum fikih yang terdokumentasi dalam kutub al-turats sehingga hasil ‘ijtihad’ intelektual bidang HAM ini selaras dengan syari’at dan maqashidnya sehingga memberi konstribusi mashlahah bagi kemajuan dan kemakmuran umat Islam dalam konteks kehidupan era global sekarang? 5.
Dua Contoh Hasil ‘Ijtihad’ Baderin dalam Mengharmonikan Syari’at Islam-HAM Internasional Pertama: Persamaan Hak Pria-Wanita Pasal 3 ICCPR “ The states parties to the present covenant undertake to unsure the
equal right of men and women to enjoyment of all civil dan political rights set forth in the present covenant”. 22 22
Mashood A. Baderin. International Human Rights…58
82 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM “Negara-negara berpartisipasi menjalankan perjanjian ini untuk menguatkan persamaan hak pria-wanita untuk ikut serta dalam semua hak sipil dan politik yang tertuang dalam perjanjian (ICCPR)”. Baderin melihat bahwa persamaan dan anti diskriminasi adalah prinsip fundamental HAM dan starting point (pintu gerbang) bagi terbukanya hak-hak asasi. Tidak adanya persamanan dan diskriminasi adalah sumber kekacauan, kerusuhan, peperangan dan menjadi akar kolonialisme serta perlakuan yang tidak manusiawi. Tindakan diskriminatif muncul dari sikap membedakan ras, warna kulit, seks, bahasa, agama, politik, asal-usul sosial, kekayaan dan kelahiran. Bagi Baderin, pasal 3 di atas menyeru agar semua negara – dalam menetapkan dan mengaplikasikan kebijakan perundang-undangannya – harus mendukung persamaan (equality) hak antara pria dan wanita. Bagaimanakah Baderin mendialogkan antara pasal 3 ICCPR ini dengan syari’at Islam? Pada tataran ide besar tentang menghargai wanita, Baderin melihat bahwa antara syari’at Islam dengan HAM internasional ada titik temu. Syari’at Islam sejak 1.400 tahun silam menetapkan wanita sebagai makhluk bermartabat, memiliki persamaan hak dengan pria sehingga wanita menjadi counterpart dalam semua ranah kehidupan. Syari’at Islam mendukung persamaan (equal) wanita-pria tetapi tidak sama secara mutlak. Ayat-ayat Deklarasi HAM Islam di Cairo tahun 1990 menunjukkan hal yang demikian. Persamaan hak bagi wanita yang diakui Islam itu berdiri diatas prinsip ‘equal but not equivalent’ (setara tetapi tidak sama). Islam memberi deferensiasi fungsi dan peran antara wanita dan pria terutama dalam keluarga. Adanya deferensiasi peran gender inilah yang mungkin dipahami sebagai diskriminasi oleh HAM internasional. Sebaliknya, HAM ICCPR memberi persamaan hak antara wanita-pria secara mutlak. Sayang sekali, ternyata ide besar dalam menghargai wanita ini terkadang kandas dalam tataran teknis-konseptual dan impelementasi dalam kehidupan riil kaum muslimin. Hanya karena pola pikir patriarchal conservatism (konservatif-patriarkhis), illiteracy (keterbelakangan pendidikan), dan proverty (kemiskinan) maka wanita-wanita di beberapa negara muslim di dunia ini masih menderita sehingga merasakan diskriminasi gender. Seraya mengutip pernyataan A.E. Mayer, Baderin mengatakan bahwa hasil ijtihad klasik tentang hak-hak wanita kerap menghasilkan beberapa kerugian (disadventages) bagi wanita untuk
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 83
Moh. Sholihuddin berpartisipasi dalam hak-hak sipil dan politik. Hasil observasi di Republik Islam Iran tahun 1993 ditemukan beberapa perlakukan yang tidak selaras dengan isi pasal 3 ICCPR antara lain: 1) hukuman dan ganguan terhadap wanita yang tidak memakai busana sesuai aturan yang sempurna, 2) kebutuhan wanita untuk minta ijin suami bila ia ingin meninggalkan rumah, 3) wanita disingkirkan dari jabatan kehakiman, 4) perlakukan diskriminasi dalam pembayaran kompensasi (diyat) akibat anggota keluarga yang menjadi korban pembunuhan, 5) larangan berolahraga di tempat umum (publik), dan pemisahan wanita dari pria di transportasi umum. Melihat fakta buruk kehidupan wanita di negara muslim, maka Baderin merasa perlu menyeru agar spirit Islam – yang sejak agama ini diturunkan di Mekkah- dalam membebaskan wanita dari belenggu ‘kejahiliyah-an’, diskriminasi dan bahkan pencabutan hak hidup sebagai manusia itu ditangkap kembali di era sekarang. Adalah sikap munafik, jika di satu sisi kaum lelaki memperoleh dan menikmati banyak hak dan kebebasan, sedangkan di sisi lain, pemberian hak-hak asasi bagi wanita menjadi stagnan karena mempertimbangkan pandangan-pandangan fikih klasik dari ulama madzhab. Rasullah bersabda bahwa wanita adalah saudara penuh (full sister atau akhun syaqiq) bagi laki-laki. Hadits tersebut mengekspresikan suatu persamaan peran bagi wanita.23 Oleh karena itu, Baderin memberi tawaran agar umat Islam mencontoh Tunisia. Negeri muslim di Arfrika itu menyepakati perjanjian wanita (The Women Convention) dan mengadopsi pendakatan liberal dalam menginterpretasikan Islamic law. Tujuan The Women Convention tersebut adalah 1) untuk menggerakkan perubahan peran tradisional pria sebaik peran wanita baik berperan dalam keluarga (family) maupun masyarakat (society)., dan 2) mencapai persamaan total antara peran wanita–pria (at achieving full equality between men and women). 24 Kedua : Larangan Menyiksa, Menganiaya, dan Memperlakukan atau Menghukum dengan Hukuman yang Tidak Manusiawi Pasal 7 ICCPR
“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishement. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”. 25 23
Ibid. 65 Ibid. 61-62 25 Ibid. 75 24
84 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM “Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran penyiksaan, penganiayaan, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi. Secara khusus, tidak seorang pun yang dapat dijadikan ‘objek’ percobaan ilmu kedokteran atau sains tanpa ada ijin tulus dari orang itu”. Larangan menyiksa, menganiaya dan tindakan yang tidak manusiawi itu menjadi norma kokoh hukum internasional. Pasal 7 ini ingin menjaga kemuliaan (dignity) fisik dan psikis serta integritas kepribadian tiap individu. Manusia dilarang dipaksa untuk menjadi ‘kelinci percobaan’ bagi eksperimen-eksperimen ilmu kedokteran maupun sains. Pada semangat ingin menjaga martabat dan kehormatan manusia ini maka HAM internasional dan syari’at Islam bertemu. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul yang melarang berbuat dhalim, kejam, dan lalim terhadap orang lain bahkan berbuat kejam terhadap binatang juga dilarang. Contohnya adalah QS “ janganlah kamu berbuat dhalim atau didhalimi”. Pasal 20 Deklarasi HAM Islam dalam OKI juga melarang manusia itu disiksa, dianiaya dan dijadikan ‘kelinci percobaan’ bagi sains. Yang menjadi masalah dalam pasal 7 ICCPR terkait dengan relasinya dengan syari’at Islam adalah bahwa dalam fikih terdapat beberapa bentuk hukuman tindak kriminal (pidana) – yang populer disebut hukuman hudud – yang sampai saat ini menjadi bahan perdebatan apakah hukum-hukum kriminal dalam fikih itu selaras dengan HAM ataukah bertentangan? Hudud (jamak dari kata tunggal hadd) adalah hukuman bagi tindak pidana tertentu yang bentuk dan ukuran hukumnya telah ditentukan dengan tegas dan jelas dalam wahyu (al-Qur;an dan al-sunnah). Tindak kriminal yang masuk dalam kategori hudud adalah 1) sirqah (pencurian), 2) hirabah (pemberontakan, gangguan keamanan),3) perzinahan yang bentuk dan kadar ,4) qadzf (menuduh wanita baik-baik melakukan tindak asusila tanpa bukti yang memadai) 5) riddah (murtad atau konversi agama) yang bentuk hukumnya dijelaskan dalam hadits “man baddala dinahu faqtuluhu”, dan 6) mengkonsumsi minuman keras (syurb al-khamr). Mayoritas fuqoha mengatakan bahwa yang disepakati sebagai tindak pidana hudud adalah tindak pidana 1-4 di atas. Sedangkan tindak kriminal nomor 5-6 masih diperselisihkan apakah salah satu atau keduanya dikategorikan sebagai hudud. Jumhur ulama memasukkan nomor 5-6 sebagai hudud, sedangkan ulama non jumhur memasukkannya sebagai
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 85
Moh. Sholihuddin tindakan ta’zir (bukan hudud). 26Ta’zir adalah tindak kriminalitas selain pencurian, hirabah, perzinahan, qadzf, riddah dan syurb al-khamr (menurut jumhur ulama). Bentuk dan kadar hukuman ta’zir tidak tertulis dalam teksteks wahyu. Pemerintah (ulul al-amr) diberi otoritas untuk menentukan bentuk dan kadar hukuman ta’zir sesuai dengan ijtihadnya. Negara dapat membuat kebijakan – tentu dengan pertimbangan syari’at – untuk menjatuhkan hukuman yang tingkat ‘keras’nya berada di bawah level hudud tetapi hukuman tersebut mempunyai efek jera bagi pelaku kriminalitas. Terkait dengan HAM internasional, Baderin menyitir pernyataan A.E. Mayer bahwa dalam perspektif HAM internasional, hukuman hudud di atas jelas inkonsisten dengan prinsip pidana modern (modern penological principles) dan norma HAM modern (modern human rights norms). Muslim –dalam kaitannnya dengan ‘konflik’ antara hukum hudud versus HAM internasional– seperti berada di persimpangan jalan: pada satu sisi, ia wajib iman dan taat kepada hukum Allah yang diantaranya adalah adanya hukum hudud, dan di sisi lain, ia adalah warga masyarakat yang hidup bersosialisasi dan bernegara di era global yang menuntutnya berfikir dan bertindak yang selaras dengan norma-norma hak asasi manusia internasional. Hukum hudud yang diteorikan dalam kitab-kitab fikih, ternyata, tidak cukup mudah untuk diterapkan (dilaksanakan) dalam kehidupan masyarakat di negara-negara Islam. Baderin menyebutkan dua kendala yaitu 27 a) Kendala psikologis. Kebanyakan umat Islam yang mengadvokasi implementasi hukum hudud di negara Islam itu masih mempunyai perasaan ambivalen (mendua) sebab bentuk dan kadar hukum hudud ini keras dan beresiko besar (severity of punishment). Meskipun fuqaha’ klasik tidak mengkategorikan hukuman hudud sebagai tindakan kejam (torture) dan tidak manusiawi (inhuman), namun para cendekiawan Islam baik yang klasik maupu kontemporer tidak menolak kerasnya hukuman yang ada dalam hudud (harshness of the punishment). Tujuan hukuman keras itu untuk mencegah agar tidak kriminal itu tidak dilakukan atau untuk efek jera. b) Untuk menerapkan hukum hudud itu memerlukan serangkaian alat-alat bukti yang valid dan yang mendukung bagi jatuhnya hukuman hudud tersebut. Syarat-syarat dan alat-alat bukti yang dibutuhkan tersebut 26
Lihat Ibnu Rusyd. Bidayat al-Mujtahid, Juz II (Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t), 296- dst 27 Mashood A. Baderin. International Human Rights…80
86 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM ternyata sangat sulit (arduous) untuk dipenuhi. Karena palaksanaan hukum hudud itu beresiko keras dan besar maka hukum hudud itu haram dijatuhkan secara gegabah. Hukum hudud tidak boleh ditegakkan di atas bukti-bukti yang masih bersifat syubhat (doubt). Rasulullah bersabda: idra’u al-hudud bi al-syubuhat ( singkirkan pelaksanaan hukum had bila bukti-buktinya tidak menyakinkan). Dalam hadits lain disebutkan bahwa “salah dalam mengampuni itu lebih baik daripada menerapkan hukum had tetapi salah”. Di tengah kendala menerapkan hukum hudud, Baderin berpendapat bahwa kriminalitas itu tetaplah kriminalitas. Pelaku tindak kriminalitas tetaplah manusia. Oleh karena itu, hukuman untuk pelaku tindakan kriminal hudud haruslah tetap memperhatikan dignity (kemuliaan) manusia. Tidak mesti harus kejam, keras dan tidak manusiawi serta menurunkan martabat dirinya sebagai manusia. Bagi Baderin, menerapkan hukum hudud harus mempertimbangkan konteks dan keadaaan-keadaan (circumstances). Sebab, selama terjadi peperangan di masa Rasulullah, hukum hudud tidak diterapkan. Pada masa khalifah Umar, di Madinah terjadi bencana kelaparan, dan dalam konteks tersebut hukum potong tangan bagi pencuri tidak dilaksanakan.28 Ada pernyataan menarik dari Abu Yusuf, tokoh fikih madzhab Hanafi, dalam Kitab al-Kharaj – seperti dikutip oleh El-Awa– bahwa konteks (circumstances) itu sangat penting dipertimbangkan untuk melaksanakan atau menundah pelaksanaan hukum hadd oleh pemerintah. Negara (pemerintah) tidak boleh menafikan faktor-faktor sosiologis dalam menerapkan hukum agar membawa mashlahah bagi rakyat. Baderin memaparkan contoh menarik. Republik Islam Pakistan ketika mengalami banyak kesulitan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan (alat-alat bukti) yang valid untuk menerapkan hukum hudud maka hukum hudud tersebut diturunkan menjadi ta’zir. Afzal Zullah (Chief Justice of Pakistan Supreme Court, Kepala Mahkama Agung Pakistan) melakukan penurunan hukum hudud – karena keadaan yang tidak mendukungg – menjadi hukum ta’zir. 6. Kontribusi bagi Ilmu Pengetahuan (Contribution to Knowlwdge) Al-Faraby dahulu sering mensyarahi kitab-kitab Aristoteles, menfilternya serta memasukkan filsafat Aristoteles ke dalam peradaban 28
Muhamamd Al-Madani. Nadzariyah fi Ijtihadat al-Faruq Umar ibn AlKhattab (Beirut: Dar al-Nafais,1990), 195
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 87
Moh. Sholihuddin Islam. Oleh karena itu, al-Farabi disebut dengan al-mu’allim al-tsani (guru kedua) dimana guru pertamanya adalah Aristoteles. Al-Farabi mengambil property kebudayaan Yunani lalu mendialogkan dan menyaringnya kemudian hasilnya masuk dalam peradaban Islam. Apa yang dilakukan oleh Mashood A. Baderin ini mirip dengan apa yang dilakukan al-Farabi. Bedanya hanya ada pada bidang kajiannya saja. Al-Farabi pada bidang filsafat, sedangkan Baderin pada bidang hukum dan HAM. Karya Baderin International Human Rigths and Islamic Law adalah buku yang luar biasa yang mampu menguraikan HAM internasional dengan perspektif syariah Islam. Dalam kajian HAM dengan Islam yang berurat nadi pada dokumen orisinil HAM internasional sperti ICCPR dan ICESCR, sepanjang pengetahuan penulis, hanya ada dalam karya Baderin ini. Epilog
Semua persolan substantive yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah hasil ‘ijtihad’ hukum Baderin tentang syariah Islam dan relasinya dengan HAM internasional. Sebagai hasil pemikiran tentu ada sisi positif dan tentu ada celah kelemahannya. Yang harus kita apresiasi adala spirit yang ada dalam hasil ‘ijtihad’ hukum ini. Spirit ini sesungguhnya dimaksudkan untuk menjadikan Islam sebagai agama yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Allahu A’lam bish Shawab. @
88 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
MERAJUT HARMONI ANTARA HAM INTERNASIONAL DENGAN SYARI’AT ISLAM Daftar Pustaka Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhum al-Nash (Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby). Baderin, Mashood A.. International Human Rights and Islamic Law (New York: Oxford University Press, 2003). Esposito, John L., Islam dan Politik (Bandung: Bulan Bintang, 1990). al-Jabiri, Muhammad Abed, Takwin al-‘Aql al-‘Araby (Maroko: Dar alBaidho’, 1991). Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz II (Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t). al-Madani, Muhamamd, Nadhariyah fi Ijtihadat al-Faruq Umar ibn alKhattab (Beirut: Dar al-Nafais,1990). An-Naim, Abdullah Ahmed, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Raights and International Law (New York: Syacuse University Press, 1990). Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Bandung: Bulan Bintang, 1992). al-Risuni, Ahmad, Nadhariyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi (Riyadl: Dar al-‘Alamiyah,1992). al-Zuhayli, Wahbah, Ushul al-Fikih al-Islami Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1987).
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013 89
Moh. Sholihuddin
90 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013