Al-Mizan ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 Halaman 211-224 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
FIKIH TASAMUH: MERAJUT HARMONI DALAM KERAGAMAN PENDAPAT Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo Email: sofyan.ap.kau@ gmail.com; zulkarnain-suleman@ yahoo.com Abctract Interpretation and understanding of the authoritative sources of Islam (Qur'an and Hadith) are not single, but diverse. Therefore, the diversity and differences understanding are inevitable and historical. In the midst of diversity and difference are needed openness, respect and it don’t negate the different opinions, and distanced himself from the claim of truth single opinion is a moral imperative to harmony. This paper offers five principles for knitting harmony intended, namely: mandatory precedence (Wajib) over the Sunnah; promoting scientific paradigm on religious, agreed on the principle (qath'iusul) and tolerant on the particulate matter (zhanni-furu'), emphasizes the relationship to the debate; and did not highlight his own opinion as he cornered a different opinion. These five principles of fiqh tasamuh (jurisprudence of tolerant). Keywords: fiqh (jurisprudence), deviation and tolerant A. Pendahuluan Orang yang mengakui dan kemudian menganut Islam sebagai agama disebut muslim. Pengakuan terhadap Islam ditandaawali dengan pernyataan verbal bahwa ”Tidak ada tuhan selain Allah, sedangkan Muhammad adalah utusan-Nya.” Karena itu, orang masuk Islam disyaratkan mengucapkan pernyataan verbal di atas (syahâdatain). Sementara kaum muslim sekarang tidak pernah mengucapkan syahâdatain, karena sejak lahir sudah menjadi muslim. Seseorang lahir dari rahim seorang ibu yang muslim dan dari keluarga keturunan muslim. Olehnya, orang tersebut disebut sebagai Islam keturunan. Seseorang lahir dan kemudian besar dalam lingkungan keluarga dan sosialmasyarakat Islam. Islamya orang terebut adalah Islam genetik dan Islam geografis. Perbedaan ini kemudian membentuk identitas keislaman seseorang. Bahkan ekspresi keberagamaan seseorang tidak dapat dilepaskan dari
211
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya. Ekspresi keberagamaan bukan hanya keyakinan, tetapi juga ide, pemahaman, dan sikap keberagamaan (penghayatan dan pengamalan). Karena itu, umat Islam tidak sama dalam mengekspresikan keberagamaannya. Tradisi dan budaya lokal turut mempengaruhi dan membentuk corak keberagamaannya. Islam yang diekspresikan orang Jawa berbeda dengan orang Padang; orang Gorontalo dengan orang Bugis. Perbedaan dalam mengekspresikan Islam ini kemudian melahirkan Islam budaya: Islam Jawa, Islam Bugis, Islam Padang, Islam Gorontalo, dan seterusnya, yaitu Islam yang dihayati dan diamalkan berdasarkan kultur dan budaya lokal.1 Dalam konteks ini, Muhammad Abduh pernah membedakan antara Islam dan penganut (al-Islâmu sya’un âkhar wa al-muslimûn sya’un âkhar).2 Islam adalah satu, tetapi ekspresi keberagamaan terhadap Islam yang berbeda. Yang disebut pertama bersifat normatif, sementara yang kedua bersifat historis. Disebut normatif, karena merujuk kepada sumber-sumber normatif (al-Quran dan hadis) dan berpegang teguh kepadanya. Islam demikian disebut Islam normatif, Islam ideal. Sementara Islam historis adalah Islam yang dipahami, dihayati dan diamalkan umat Islam. Sementara umat Islam satu dengan umat Islam lainnya, masing-masing memiliki tradisi dan budaya yang berbeda. Perbedaan tradisi dan budaya turut memberi warna terhadap pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap Islam. Sedangkan pemahaman terhadap Islam sepanjang sejarah tidak vakum, melainkan mengalami perubahan dan perkembangan. Itu berarti, dinamika merupakan salah satu unsur Islam historis. Sementara historisitas Islam dinamis meniscayakan pemahaman dan pemaknaan yang berbeda dan beragam. Karena itu, keragaman pendapat merupakan keniscayaan. Secara historis, sejarah dan dinamika pemikiran Islam menunjukkan adanya pemahaman ulama terhadap sumber normatif Islam (al-Quran dan hadis) tidak tunggal, melainkan jamak. Islam memang satu, tetapi pemahaman tentang Islam lebih dari satu. Al-Quran dan hadis adalah sama, tetapi hasil pemahaman terhadap al-Quran dan hadis tidak selalu sama; melainkan meniscayakan perbedaan. Perbedaan hasil pemahaman terjadi dikarenakan diantaranya metode dan pendekatan yang tidak sama. Sebagian memahami secara tekstual, dan sebagian lainnya memahami secara substansial-kontekstual. Kedua pendekatan ini kemudian melahirkan banyak mazhab hukum, aliran teologi dan corak penghayatan agama.
1
Sofyan A.P. Kau, Islam Responsif (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2013), h.
205. 2
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman, Metodologi Studi Islam Kontemporer (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2013), h. 368.
212
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
Dalam bidang hukum, dikenal lima mazhab besar Sunni: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri. Dalam Syiah, dikenal mazhab Ja’fari dan Zaidiyah. Dalam bidang teologi, muncul aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam bidang tasawuf, lahir berbagai coral penghayatan kegamaan. Ada yang bercorak sunni, yang kemudian dikenal memunculkan tasawuf yang bercorak syariati dan akhlaqi. Ada juga yang bercorak falsafi dengan berbagai paham, seperti Wihdatul Wujud-nya Ibnu ’Arabi, Insan Kamil-nya al-Jilli, Hulul-nya al-Hallaj, Ma’rifah-nya al-Ghazali, Hubub-nya Rabi’ah al-Adawiyah dan lain-lain. Di Indonesia, terdapat pula beberapa organisasi sosial keagamaan dengan berbagai corak dan pola pemahaman keberagamaannya. Nahdhatul Ulama (NU), yang dikenal dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan mengacu kepada rumusan teologi Asy’ari dan Maturidi; tasawufnya Imam Junaidi dan al-Ghazali; dan fikih imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) serta bertarekat kepada tarekat mu’tabarah, seperti tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, Riva’iyyah, Syatariyah, dan lain-lain. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak beramal kecuali berdasarkan kepada sunnah yang benar. Karena itu, mereka menjauhkan diri pada apa yang mereka kategorikan sebagai sesuatu yang inovatif dalam agama (bid’ah), khurafat dan tahayul. Islam historis dengan berbagai corak, pola pemahaman dan pengamalan Islam tersebut yang berbeda-beda di atas, itulah yang penulis maksudkan dengan Islam warna-warni, yaitu Islam yang dipahami dan dihayati oleh penganutnya dengan berbagai warna. Itulah warna-warni Islam. Setiap warna memberi arti kepada Islam. Tidak ada satu warna yang lebih baik dari warna yang lain, karena masing-masing warna memiliki corak dan kontribusi dalam memperindah bangunan Islam, dan indahnya bangunan, karena adanya warnawarni yang menghiasinya. B.
Menyikapi Perbedaan Pendapat
Bila warna-warni pemahaman dan pendapat di kalangan umat Islam sebagai realitas yang niscaya, maka itu harus diterima secara terbuka dan lapang dada. Di sini diistilahkan tasamuh atau toleransi adalah salah satu cara untuk menyikapinya. Untuk mengembangkan sikap tasamuh dalam beragama, ada lima prinsip yang dapat dijadikan pedoman, yaitu: 1.
Mendahulukan yang wajib atas yang sunnah
Wajib dan sunnah adalah titah Allah yang menuntut untuk dilaksanakan. Hanya saja, wajib tuntutannya bersifat instruktif (perintah), sementara sunah bersifat anjuran untuk dikerjakan. Karena wajib merupakan perintah, maka melaksanakannya memperoleh pahala dan berdosa
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
213
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
meninggalkannya (mâ yutsâbu ’alâ fi’lihi, wa yu’âqabu ’alâ rakihi).3 Karena sunnah merupakan anjuran, maka boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Akan tetapi, mereka yang mengerjakannya diberi pahala, sementara yang meninggalkannya tidak berdosa (mâ yutsâbu ’alâ fi’lihi, wa lâ yu’âqabu ’alâ rakihi). 4 Seseorang seringkali meributkan amalan sunnah, sehingga melupakan kewajiban menjaga persaudaraan sesama muslim. Menjaga persaudaraan adalah wajib, sementara apa yang diperdebatkan adalah perbuatan sunnah; yang jika ditinggalkan pun tidak berdosa. Dalam konteks ini, Imam Hasan al-Banna menuturkan contoh menarik dan baik untuk dicermati dan diikuti: Di suatu masjid di Mesir, pada awal Ramadhan aku menemukan jamaah terbagi ke dalam dua kelompok. Saling berhadap-hadapan, kedua kelonpok ini berdebat dan bertengkar dengan suara keras. Satu kelompok dengan lantang menjelaskan bahwa salat taraweh yang bersesuaian dengan sunnah Nabi adalah sebelas rakaat. Kelompok lain membantah, dan menyatakan bahwa salat taraweh yang lebih utama adalah dua puluh tiga rakaat. Kepada kedua kelompok ini, aku bertanya: ”Apa hukumnya salat taraweh?”. Keduanya sepakat menjawab: ”hukumnya sunat”. Aku bertanya lagi: ”Apa hukumnya bertengkar di Rumah Tuhan dengan suara keras”?. Dengan suara risih, keduanya menjawab: ”hukumnya haram.” Kemudian aku (Hasan al-Banna) bertanya: ”Mengapa kalian lakukan yang haram untuk mempertahankan yang sunnah?5 2.
Mengedepankan paradigma ilmiah atas paradigma diniyah
Al-Quran adalah wahyu Tuhan. Sedangkan pemaknaan terhadap alQuran adalah hasil pemikiran manusia. Al-Quran memang satu, tetapi hasil pemahaman atasnya lebih dari satu. Al-Quran adalah suci (sakral), tetapi hasil penafsiran ulama atas al-Quran adalah profan (tidak suci dan sakral). Keyakinan atas al-Quran sebagai wahyu, suci dan tunggal adalah keyakinan agama. Sementara hasil pemahaman dan penafsiran ulama atas al-Quran yang tidak tunggal adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah tidak tunggal, melainkan jamak. 6 Kemajemukan pendapat ulama niscaya karena mereka mengembangkan paradigma ilmiah. Sebab, pemahaman deduktif mereka terhadap al-Quran 3
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1996), h. 223. Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Juz 3 (Cet. 8; Padang: Nusantara, 1954, h. 17. 5 Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih (Bandung: Mizan, 2007), 4
h. 67-68 6
Sofyan A.P. Kau, Islam Responsif, h. 209-210.
214
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
maupun hadis baik dalam rangka penemuan hukum atau penyingkapan pesan dan nilai-nilai kebenaran-universal adalah kerja intelektual (ijtihad). Karena itu, betapa pun tajamnya perbedaan pendapat di kalangan mereka, namun ia tetap berada dalam wilayah pemikiran ijtihadiyah. Sulit ditemukan klaim kebenaran tunggal dan penegasian pendapat yang berbeda. Sebaliknya, yang banyak dijumpai adalah berbagai mazhab hukum Islam baik di lingkungan Islam Sunni maupun di kalangan Islam Syi’ah; aliran teologi dan pemikiran, serta corak penghayatan spritual keagamaan. Dengan demikian, keragaman mazhab dan aliran dalam Islam adalah sebagai konsekuensi logis atas penalaran terhadap al-Quran dan hadis. Setiap pendapat mazhab dan aliran didasarkan kepada argumentasi al-Quran dan hadis. Setiap mazhab dan aliran berhak atas kebenaran mazhabnya, sebagaimana ia berhak mengakui kebenaran di luar mazhab dan alirannya. Karena kebenaran ijtihadiyah adalah kebenaran jamak. Di tingkat ulama, kebenaran jamak bukan problem. Di tingkat awam, hanya ada kebenaran tunggal. Orang awam tidak tahu dan tidak mau tahu keniscayaan ilmiyah-diniyah keragamaan pendapat; yang mereka ketahui bahwa kebenaran hanya satu, yaitu kebenaran mazhab dan pendapatnya. Sementara bagi ulama, kebenaran yang dihasilkan atas pembacaan terhadap al-Quran dan hadis adalah pemahaman yang plural. Bagi ulama, alQuran dan hadis laksana cermin yang menampilkan banyak wajah sejumlah wajah yang bercermin. Orang yang bercermin akan melihat dirinya dalam banyak keragaman. Sementara yang tidak pernah bercermin, hanya mengetahui bahwa dirinya tunggal. Ketika ada wajah pendapat lain yang muncul, maka ia cenderung menafikannya. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, mempersalahkannya. Ia hanya membenarkan pendapatnya, dan kebenaran pendapatnya itulah kebenaran agama, dan yang dibenarkan oleh agama; selainnya adalah salah. Ini adalah paradigma awam, paradigma diniyah. Paradigma diniyah adalah cara pandang yang tidak membedakan mana agama dan mana hasil pemahaman agama. Paradigma diniyah, memandang hasil pemahaman agama sebagai agama.7 Karena itu, wajib dipertahankan. Sementara dalam paradigma ilmiah, agama bersifat normatif, sedangkan hasil pemahaman terhadap agama bersifat historis. Tegasnya, paradigma ilmiah membedakan mana yang sakral dan mana yang profan. Pemahaman terhadap agama beserta sumber-sumber otoritatifnya bersifat historis dan profan. Karena itu, kebenaran yang dihasilkannya bukan bersifat absolut, tetapi nisbi dan alternatif. Dikatakan alternatif, karena setiap orang berhak dan berpeluang memilih satu pendapat ditengah keragaman pendapat tanpa merasa bahwa pendapatnya yang paling absah, sementara lainnya salah. Secara historis, 7
Menurut Jalaluddin Rahmat, paradigma diniyah ditandai oleh tiga ciri: kebenaran tunggal, asas mazhab tunggal, dan fikih sebagai ukuran kesalehan. Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, h. 42.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
215
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
Rasulullah saw. telah merekomendasikan pilihan alternatif atas hasil pemahaman sahabat berbeda terhadap satu persoalan. Berikut contohnya: Dua orang sedang dalam perjalanan. Ketika waktu shalat sudah masuk, mereka tidak menemukan air (untuk berwudhu). Mereka lalu melakukan tayamum dan shalat. Kemudian mereka menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada. Salah seorang mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan yang lain tidak. Mereka mendatangi Nabi saw. dan menceritakan tentang hal ini. Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalat: “Kamu telah melakukan sesuai dengan Sunnah, atau syari’ah yang diwajibkan, dan cukup shalat bagimu.” Sedangkan terhadap orang yang mengulang wudhu dan shalat, Nabi bersabda: “Kamu mendapat pahala dua kali, karena mengerjakan suatu perintah dua kali.”8 3.
Sepakat pada yang qath’î, dan siap berbeda pada yang zhannî
Semua pengamalan ajaran agama merujuk kepada al-Quran dan hadis. Bila al-Quran dan hadis tidak menegaskan secara eksplisit (sharih), maka para ulama mengembangkan penalaran rasional (ijtihad). Hasil penalaran rasional (ijtihad) ulama tidak sama. Dengan paradigma ilmiah yang mendasarinya, maka terjadi ikhtilâf (perbedaan pendapat dan pemahaman). Masing-masing memperkuat dan mempertahankan pendapatnya dengan berbagai alasan dan argumen. Maka betapa pun lemahnya alasan dan argumen, tidak seorang pun berhak memaksakan pendapatnya. Setiap orang berhak memilih pendapat yang diyakini kebenarannya. Pemaksaan pendapat dan menganggap pendapatnya yang paling benar akan melahirkan konflik (khilâf). Konflik (khilâf) terjadi bukan disebabkan oleh ikhtilâf. Konflik terjadi (ikhilâf) karena masing-masing pihak merasa bahwa pendapat dan pemahamannya tentang Islam paling benar, 8
Imam Abu Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Kitâb al-Thahârah, Bâb fî alTayammum Wajid al-Mâ’ ba’da mâ Yushalli fî al-Waqt, Hadis ke-286.; dan Imam alNasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Ghusl wa al-Tayammum, Bâb al-Tayammum Ilman Yajid al-Mâ’ ba’da al-Shalâh, Hadis ke-430; dan Imam al-Syaukânî, Nayl al-Awthar, Jil. 1 (Bairut: Dâr al-Fikr, ), h. 256. ‘Athâ’ Ibn Yasar dari Abû Sa’îd al-Khudrî. Dia bercerita: “Dua orang sedang dalam perjalanan. Ketika waktu shalat sudah masuk, mereka tidak menemukan air (untuk berwudhu). Mereka lalu melakukan tayamum dan shalat. Kemudian mereka menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada. Salah seorang mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan yang lain tidak. Mereka mendatangi Nabi Saw. dan menceritakan tentang hal ini. Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalat: “Kamu telah melakukan sesuai dengan Sunnah, atau syari’ah yang diwajibkan, dan cukup shalat bagimu.” Sedangkan terhadap orang yang mengulang wudhu dan shalat, Nabi bersabda: “Kamu mendapat pahala dua kali, karena mengerjakan suatu perintah dua kali.”
216
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
sedangkan yang lainnya adalah salah. Klaim kebenaran sepihak ini kemudian melahirkan sikap fanatik buta sehingga tidak mampu melihat kebenaran pada pihak lain. Sementara apa yang diperdebatkan adalah hal-hal yang bersifat zhannî-ijtihâdî-furu’iyyât, dan bukan hal-hal yang bersifat qath’iyyâtushuliyyât. Dalam konteks ini Hasan al-Banna berpesan: ”Kita sepakat atas halhal yang bersifat univeral, dan toleran atas hal-hal yang bersifat partikuler”. 9 Karena itu, terhadap hal-hal yang bersifat qath’iyyât-ushuliyyât ulama tidak berbeda pendapat. Mereka berbeda terhadap rincian atas aspek-aspek zhanniyyât-furu’iyyât. Semua ulama sepakat bahwa takbiratul ihram adalah bagian dari rukun salat. Salat tidak sah tanpa mengucapkan Allahu Akbar (takbiratul ihram) saat memulai salat. Mereka hanya berbeda pada cara mengangkat tangan dan bagaimana meletakkan tangan kemudian dan dimana posisi tangan diletakkan: di atas dada, di atas pusat atau di bawahnya, dan atau menjulur lurus ke bawah. Masing-masing pendapat ini didasarkan atas argumen naqli dan aqli. Karena itu, perbedaan pendapat tidak dapat dihindari dan dijauhi. Dalam konteks ini, Jalaluddin Rahmat menawarkan konsep: ”Sepakat pada yang qath’î, dan siap berbeda pada yang zhannî.”10 4.
Mendahulukan silaturrahmi atas perdebatan
Kesiapan berbeda pendapat terhadap hal-hal zhannî berarti terbuka atas pendapat yang berbeda dengan pendapat kita. Kita tidak mungkin memaksakan kebenaran pendapat kita, sebagaimana orang lain tidak pantas pula memaksakan pendapatnya kepada kita. Kita juga tidak patut menyalahkan pendapat lain dan membenarkan secara tertutup pendapat kita. Demikian pula sebaliknya. Yang patut dilakukan adalah keterbukaan jiwa untuk menghargai kebenaran pendapat pihak lain. Keterbukaan dan penghargaan ini adalah bentuk dari sikap tasâmuh, yaitu sikap yang terbuka untuk saling menghargai perbedaan pendapat. Dengan demikian, sikap toleransi adalah sikap kesatria dalam menyikapi perbedaan dan keragaman pendapat. Ibnu Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi telah mendemonstrasikan contoh yang baik untuk umat Islam: Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa salat zuhur dan asar di Mina harus diqashar. Karena itu, ketika berada di Mina ia menjamak dan meng-qashar salat zuhur dan asar. Ini berlawanan dengan pendapat Utsman ibn ’Affan, yang tidak menjamak dan meng-qashar. Ustman ibn ’Affan salat empat rakaat saat berada di Mina. Ibnu Mas’ud tidak menyalahkan pendapat Utsman ibn ’Affan, atau menegurnya. Ketika ditanya, Ibnu Mas’ud hanya
9
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman, Metodologi Studi Islam Kontemporer, h. 374. 10 Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, h. 94.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
217
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
menjawab: ”Al-Khilâf syarrun kullahu” (perselisihan itu semuanya jelek).11 Agaknya Ibnu Mas’ud tidak menyalahkan pendapat Utsman ibn ’Affan yang tidak menjamak dan meng-qashar salat zuhur dan asar ketika berada di Mina. Ibnu Mas’ud sendiri berpendapat bahwa salat zuhur dan asar di Mina harus di-qashar. Boleh jadi Ibnu Mas’ud tidak mendebat pendapat Utsman ibn ’Affan, karena Ibnu Mas’ud menilai bahwa mempersoalkan perbedaan antara keduanya akan mendatangkan keburukan (syarr), seperti retaknya hubungan silaturrahim. Sikap toleran Ibnu Mas’ud menunjukkan bahwa beliau lebih memilih prinsip silaturrahim dalam beramal dan beribadah. 5.
Tidak menonjolkan pendapat golongan sendiri
Secara morfologis, tasamuh adalah saling menghargai antara satu pihak dengan pihak lain. Tidak dinamakan tasamuh, jika hanya satu pihak menghargai, sementara pihak lain mengabaikannya. Tasamuh meniscayakan terlibatan secara aktif kedua pihak dalam menghargai perbedaan, baik secara emosional maupun sosial. Itu berarti, orang memiliki sikap tasamuh tidak akan melukai perasaan orang lain dan tidak pula menodai praktek kepercayaan dan keyakinan agama lain. Tegasnya, ciri tasamuh adalah tegang rasa atas keragaman perbedaan. Karena itu, seorang mutasamih (pelaku tasamuh) tidak akan menonjolkan keyakinan dan bahkan pemahamannya kepada orang lain demi menjaga paham orang lain. K. H. Idham Khalid dan Prof. Hamka, dua tokoh besar NU dan Muhammadiyah telah mendemonstrasikan secara apik, sebagai berikut: K. H. Idham Khalid dan Prof Hamka pernah menjadi imam salat subuh di masjid Istiqlal Jakarta. Ketika itu, KH. Idham Khalid sebagai ketua PBNU dan Prof Hamka sebagai Pimimpinan Pusat Muhammadiyah. K.H. Idham Khalid tidak qunut ketika menjadi imam salat subuh. Ketika ditanya oleh Prof. Hamka, KH. Idham Khalid menjawab: ”Saya tidak qunut demi menghargai sampean orang Muhammadiyah yang tidak qunut pada salat subuh.” Besok harinya, Prof. Hamka yang menjadi imam salat subuh dan beliau membaca qunut. Ketika K.H. Idham Khalid menanyakannya, Prof. Hamka menjawab: ”Saya qunut demi menghargai sampean orang NU yang melazimkan qunut pada salat subuh”. 12 Praktek tasamuh K.H Idham Khalid dan Prof Hamka di atas 11
Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, h. 67; Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1991), h. 23. 12 Sofyan A.P. Kau, Islam Responsif, h. 215.
218
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
menunjukkan kebesaran jiwa keduanya. Jiwa besar mampu menampung perbedaan. Dalam jiwa yang besar tersedia ruang paham orang lain. Sedemikian besar dan luas jiwa tasamuh, penghargaan itu tidak hanya ditunjukkan kepada orang hidup, bahkan kepada yang sudah wafat sekalipun. Muhammad Idris alSyafi’i, telah mencontohkannya dalam hidupnya. Bahwa beliau tidak pernah qunut pada salat subuh di masjid di Baghdad, demi menghormati Imam Hanafi. Imam Hanafi dikuburkan di Baghdad, dan termasuk yang berpendapat qunut subuh bukan hal yang sunah. C. Membangun Keharmonisan Beragama yang Islami Harmonis berarti selaras, serasi dan cocok.13 Keselarasan, keserasian dan kecocokan terjadi karena adanya persamaan. Dalam bahasa Arab, harmonis semakna dengan kata ukhuwwah. Menurut M. Quraish Shihab, , semula kata ukhuwwah berarti memperhatikan, persamaan dan keserasian dalam banyak hal; sebelum kemudian berkembang menjadi persaudaraan. Itu berarti persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Perasaan bersaudara terjadi karena memiliki sifat yang sama. Karena itu, dalam Q. S. alIsrâ’/17: 27 disebutkan orang yang boros adalah saudara setan. Disebut saudara setan karena adanya kesamaan dan keserasian dalam sifat, yaitu sifat boros. Karena itu pula persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan. Semua bentuk persaudaraan dibenarkan, selama didasarkan kepada nilai-nilai dan ajaran Islam.14 Persaudaran yang disebut terakhir dikenal dengan istilah ukhuwwah Islâmiyyah, yaitu persaudaran yang Islami. Dikatakan Islami, karena sebutan Islamiyah dalam rangkaian kalimat ukhuwwah Islâmiyyah adalah bentuk ajektif (kata sifat). Karena itu, istilah ukhuwwah Islâmiyyah lebih tepat diartikan sebagai persaudaraan yang islami, yaitu persaudaraan yang didasarkan kepada ajaran Islam atau nilai-nilai universal Islam; bukan persaudaraan antara sesama Islam atau persaudaraan kaum Muslimin an sich. Persaudaraan sesama umat Islam hanya bagian dari ukhuwwah Islâmiyyah. Persaudaraan sesama muslim termasuk dalam kategori ukhuwwah diniyyah (persaudaraan karena agama). M. Quraish Shihab menyebutnya dengan istilah ukhuwwah fi din al-Islâm (persaudaraan di dalam agama Islam).15 Yang disebut terakhir biasa disebut dengan istilah kerukunan internal umat Islam. Kerukunan internal ini bersifat kedalam, karena ia terjalin hanya sesama muslim. Kebalikannya adalah kerukunan eksternal, yaitu jalinan persaudaraan antar umat Islam dengan umat lain. Kerukunan eksternal ini bersifat keluar, 13
Pius A. Partanto dan M. dahlan al-Barry, Kamus Pupuler (Surabaya: t.p., t.h.), h. 214. 14 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 486. 15 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), h. 359.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
219
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
karena persaudaran yang dibangun adalah bukan persaudaraan sesama penganut agama tertentu, tetapi antar penganut agama tertentu dengan penganut agama lain di luar agama yang diyakininya. Kerukunan eksternal, lazim disebut sebagai kerukunan antar umat beragama. Keharusan membangun kerukunan antar umat beragama karena adanya persamaan keturunan dan kebangsaan, yaitu sama-sama satu bangsa, bangsa Indonesia; berasal dari keturunan yang sama, keturunan Adam dan Hawa. Keduanya dikategorikan sebagai ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan karena satu bangsa) dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan karena sama-sama manusia). Baik ukhuwwah diniyah, ukhuwwah wathaniyah maupun ukhuwwah basyariyah, ketiganya harus mengacu kepada nilai-nilai yang diajarkan Islam. Dalam pandangan Islam, realitas suku-bangsa, bahasa dan budaya yang plural bukan sebuah perbedaan, melainkan sebuah keberagaman yang niscaya. Q. S. al-Hujarât/49: 13 menegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin, suku dan bangsa dimaksudkan bukan untuk saling menegasikan, melainkan untuk saling mengenal dan memahami perbedaan tersebut.16 Itu berarti, setiap orang, sukubangsa dapat saling bersilaturrahim, berdialog, bertukar pikiran bahkan menjalin kerjasama. Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya (Q. S. al-Hujarât/49: 11-12),17 maka keragaman tersebut bukan untuk saling merendahkan, memberi pelabelan 16
Teks ayatnya: ﱠ َر َوأُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا إِ ﱠن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ﱠ . ﷲِ أَ ْتقَا ُك ْم إِ ﱠن ﷲَ َعلِي ٌم َخبِي ٌر ٍ يَا أَيﱡھَا النﱠاسُ إِنﱠا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذك “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. 17 Teks ayatnya: ٓ ٰ َسى اَ ۡن يﱠ ُك ۡونُ ۡوا خ َۡيرًا ﱢم ۡنھُمۡ َو َال نِ َسآ ٌء ﱢم ۡن نﱢ َسآ ٍء ع ٓ ٰ ٰۤياَيﱡھَا الﱠ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡوا َال يَ ۡس َخ ۡر قَ ۡو ٌم ﱢم ۡن قَ ۡو ٍم ع َسى اَ ۡن يﱠ ُك ﱠن خ َۡيرًا ﱢم ۡنھ ﱠُن ۚ◌ َو َال ٓ ٰ ۡ ٰ ۡ ّ ﱠ َ ﱠ ُ س ِاال ۡس ُم الفُس ُۡو َ يَا أيﱡھَا ال ِذين. َك ھُ ُم الظلِ ُم ۡون َ ان ۚ َو َم ۡن لمۡ يَتُ ۡب فَاُول ِٕٮ َ ب◌ؕ بِ ۡئ ِ ق بَ ۡع َد ِ ت َۡل ِم ُز ۡۤوا اَ ۡنفُ َس ُكمۡ َو َال تَنَابَ ُز ۡوا بِ ۡاالَ ۡلقَا ِ اال ۡي َم ْ ﱠ َ َ َ َ ْ ض ُك ْم بَ ْعضًا أيُ ِحبﱡ أ َح ُد ُك ْم أ ْن يَأ ُك َل لَحْ َم أ ِخي ِه ُ ْض الظنﱢ إِث ٌم َوال تَ َج ﱠسسُوا َوال يَ ْغتَبْ بَ ْع َ آ َمنُوا اجْ تَنِبُوا َكثِيرًا ِمنَ الظﱠنﱢ إِ ﱠن بَع ﷲَ إِ ﱠن ﱠ َر ْھتُ ُموهُ َواتﱠقُوا ﱠ . ﷲَ تَوﱠابٌ َر ِحي ٌم ِ َم ْيتًا فَك “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim (11); “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
220
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
negatif, prasangka buruk, mencari-cari cela keburukan dan kelemahan serta mempergunjingkannya. Secara tekstual kelima larangan ini diserukan kepada kaum beriman agar mereka menjauhinya. Karena sejatinya sesama mukmin adalah bersaudara dan menjaga persaudaraan (Q. S. al-Hujarât/49: 10).18 Dalam hadis Nabi ditegaskan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Orang yang bersaudara tidak akan menzalimi saudaranya; menyerahkannya kepada musuh; membantu keperluannya; mengatasi kesulitannya; menutup aibnya; tidak mengkhianatinya dan membohonginya. Larangan dan anjuran di atas menunjukkan pentingnya persaudaraan. Yang tidak kalah penting, persaudaraan dikaitkan dengan keimanan. Seakan iman menjadi jiwa dan menjiwai persaudaraaan. Persaudaraan tanpa kesadaran iman adalah persaudaraan yang palsu. Untuk menumbuhkan rasa persaudaraan, Nabi saw. mengibaratkannya laksana satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya akan merasakan sakit yang sama. Diakui bahwa Islam adalah satu, tetapi pemahaman tentang Islam lebih dari satu. Sepanjang sejarah, pemahaman tentang Islam telah melahirkan banyak mazhab fikih, aliran teologi dan corak penghayatan keberagamaan serta model-model pemikiran. Semua bentuk pemahaman Islam ini adalah refleksi serius dan tulus ulama atas zamannya. Karena itu, kehadiran keragaman pendapat ulama sejatinya memperkaya wawasan keberagamaan; dan bukan ajang perdebatan untuk saling menegasikan. Keragaman pendapat (ikhtilâf) diyakini mendatangkan rahmat, karena umat memperoleh pilihan dan jawaban alternatif. Konflik (khilâf) terjadi bukan karena perbedaan pendapat, karena perbedaan pendapat adalah keniscayaan dan konsekuensi logis atas pemaknaan serius sumber normatif Islam (al-Quran dan hadis). Secara historis, perbedaan pendapat (ikhtilâf) bukan hal yang baru. Sejak zaman Nabi Saw. ikhtilâf sudah terjadi. Ikhtilâf terjadi karena secara instrinsik teks-teks sendiri (terutama dalam bidang hukum) memberikan ruanggerak bagi munculnya ikhtilâf. Contoh klasik yang sering dikedepankan adalah riwayat Imam al-Bukhârî dan Muslim tentang Nabi saw. yang mengutus beberapa sahabat untuk mendeteksi daerah musuh pada perang Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan agar: “Tidak seorang di antara kalian yang daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (12 ). 18 Teks ayatnya: إِنﱠ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َوةٌ فَأَصْ لِحُوا بَيْنَ أَ َخ َو ْي ُك ْم َواتﱠقُوا ﱠ . َﷲَ لَ َعلﱠ ُك ْم تُرْ َح ُمون “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
221
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Berangkatlah para sahabat. Namun sebelum mereka tiba di tempat tujuan (Bani Quraizhah), waktu shalat Ashar telah masuk. Terjadilah perselisihan pendapat. Sebagian memahami secara tekstual; sebagian lainnya memahaminya secara substansial. Bagi mereka yang memahami perintah Nabi secara tekstual-literalis, berpendapat bahwa shalat ashar dilakukan di Bani Quraizhah, sebagaimana instruksi Nabi. Adapun waktu salat, bukan menjadi ukuran. Yang menjadi ukuran adalah tempat, yaitu di Bani Quraizhah. Karena itu, meskipun sudah tiba waktu salat, tetapi karena belum sampai di Bani Quraizhah, maka salat Ashar pun tidak dapat dilaksanakan. Jika dilaksanakan, jelas secara tekstual menyalahi perintah Nabi. Sebab, Nabi menegaskan untuk tidak salat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah. Karena itu, akhirnya mereka mengakhirkan ashar hingga setelah isya. Sedangkan bagi mereka yang memahami hadis Nabi di atas secara substansial berpendapat bahwa yang menjadi ukuran bukan tempat, melainkan waktu salat. Karena itu, mereka salat ashar meskipun tidak di tempat Bani Quraizhah. Menurut mereka, secara substansial perintah Nabi di atas (agar tidak salat Ashar kecuali di Bani Quraidzah) mengandung arti “mempercepat perjalanan”, sehingga ketika tiba di Bani Quraidzah tepat waktu ashar, atau maksimalnya sebelum maghrib. Tetapi karena kenyataannya waktu Ashar telah tiba, sementara belum sampai di tempat yang dituju, Bani Quraidzah, maka shalat Ashar pun harus dilakukan di perjalanan. Kasus di atas kemudian dilaporkan kepada Nabi saw. Mendengar peristiwa ini, beliau hanya diam. Diamnya beliau ini pertanda bahwa keduanya adalah benar. Yang tidak benar adalah mereka yang tidak salat ashar; baik di tengah perjalanan maupun setelah tiba di Bani Quraidzah.19 Riwayat ini
19
Teks hadis di atas adalah:
ض َي ﱠ َح ﱠدثَنَا َع ْب ُد ﱠ ُﷲ ِ ﷲِ بْنُ ُم َح ﱠم ِد ب ِْن أَ ْس َما َء َح ﱠدثَنَا ج َُوي ِْريَةُ بْنُ أَ ْس َما َء ع َْن نَافِ ٍع ع َْن اب ِْن ُع َم َر َر َ ﱠ ﱠ ﱠ ْ ﱠ َ َُصلﱢيَ ﱠن أَ َح ٌد ْال َعصْ َر إِ ﱠال فِي بَنِي قُ َر ْيظَة َ ب َال ي َ ال النبِ ﱡي َ َال ق َ ََع ْنھُ َما ق ِ صلى ﷲُ َعل ْي ِه َو َسل َم يَوْ َم األحْ زَ ا ْ صلﱢي لَ ْم ُ ال بَ ْع ُ ال بَ ْع ُ فَأ َ ْدرَكَ بَ ْع َ ُضھُ ْم بَلْ ن َ َصلﱢي َحتﱠى نَأتِيَھَا َوق َ ُضھُ ْم َال ن َ َيق فَق ِ ضھُ ْم ْال َعصْ َر فِي الطﱠ ِر ﱠ ﱠ ﱠ ُ ْ ﱠ َ َ َ ﱢ َ َ ْ احدًا ِمنھ ُْم َ ي ُِر ْد ِمنﱠا َذلِكَ فذ ِك َر ذلِكَ لِلنبِ ﱢي ِ صلى ﷲُ َعل ْي ِه َو َسل َم فل ْم يُ َعنف َو “‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Asmâ’ menceritakan kepada kami, Juwairiyah ibn Asmâ’ menceritakan kepada kami dari Nâfi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu anhumâ, ia berkata: Nabi Saw. bersabda ketika perang Ahzab: “Janganlah salah seorang kamu salat asar kecuali di Bani Quraizhah. Waktu asar tiba sementara sebagian mereka masih di tengah perjalanan. Berkata sebagian mereka: Jangan kita salat kecuali setelah sampai di bani Quraizhah. Sebagian lagi berpendapat: “Tidak, bukan itu yang dimaksud. Kita harus salat meskipun belum sampai di bani Quraizhah”. Kejadian ini kemudian diceritakan kepada Nabi Saw., dan Nabi pun tidak menyalahkan salah seorang dari mereka”. Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, Vol. 7, h. 313; Imam al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Maghâzî, Bâb Marji’ al-Nabiyî Shallallâh ‘alaih wa sallam
222
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Fikih Tasamuh: Merajut Harmoni dalam Keragaman Pendapat
menunjukkan bahwa ikhtilâf terjadi, disebabkan oleh faktor internal teks dan tingkat dan kemampuan daya intelegensia fuqahâ yang tidak sama. Perbedaan pendapat sangat banyak dalam bidang hukum atau fikih. Oleh karena itu, fikih sering diidentik dengan perbedaan (ikhtilâf). Sebab membicarakan fikih tidak lepas dari perbedaan pendapat. Pepatah Arab mengatakan, “man lam ya’rif alkhilâf lam yasum râihah al-fiqh, (siapa yang tidak tahu perbedaan pendapat, ia tidak akan mencium aroma fikih).20 Karena itu perbedaan pendapat bersifat alamiah, tetapi juga dapat dipandang ilmiah. Alamiah karena secara fitri cara pandang manusia itu tidak selalu sama. Ilmiah, karena teks-teks syari’ah (alQuran dan al-sunnah) memberikan ruang-gerak bagi kemungkinan untuk berbeda pendapat- (yang tentu harus) didasarkan kepada orientasi kebenaran, landasan etis dan dengan seperangkat metodologi. 21 Bila terjadi konflik (khilâf), maka penyebabnya bukan ikhtilâf. Konflik terjadi (ikhilâf) karena masing-masing pihak merasa bahwa pendapat dan pemahamannya tentang Islam paling benar, sedangkan yang lainnya adalah salah. Klaim kebenaran sepihak ini kemudian melahirkan sikap fanatik buta sehingga tidak mampu melihat kebenaran pada pihak lain. Sementara apa yang diperdebatkan adalah hal-hal yang bersifat zhannî-ijtihâdî-furu’iyyât, dan bukan hal-hal yang bersifat qath’iyyât-ushuliyyât. D. Penutup Perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap sumber otoritatif Islam (al-Quran dan hadis) adalah niscaya. Sulit menemukan pendapat tunggal dalam pemikiran ulama atas persoalan hukum, kecuali persoalan itu bersifat prinsipil dan fundamental. Tetapi terhadap hal-hal partikuler, niscaya pandangan mereka selalu beragama. Karena itu, yang dibutuhkan bukan klaim dan monopoli kebenaran, melainkan kesediaan untuk memahami bahwa di luar dirinya ada hamparan kebenaran. Dengan kata, yang dibutuhkan adalah fikih tasamuh, fikih harmoni.
min al-Ahzâb wa Makhrajihi ilâ Banî Quraizhah wa Muhâsharatihi iyyâhum, Hadis ke3810. 20 Ahmad Qodri A. Azizi, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 122-123. 21 Sofyan A.P. Kau, Fikih Alternatif (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), h. 31.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
223
Sofyan A.P. Kau dan Zulkarnain Suleman
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karîm. Abdul Hamid Hakim. 1954. Al-Bayan, Juz 3. Padang: Nusantara. Al-Asqalânî, Ibnu Hajar. Fath al-Bâri fî Syarh Sahîh Beirût: Dâr al-Fikr.
al-Bukhârî. Juz 10.
Azizi.Ahmad Qodri A. 2000. Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar. Yogyakarta: LKiS. Al-Bukhârî. Abî ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ‘îl Ibrâhîm al-Imâm. 1990 M/1410 H. Shahîh al-Bukhârî, Jil. 3. Kairo: Lajnah Ihyâ’ Kutub alSunnah. Dawud, Al-Imâm al-Hâfizh Sulaimân al-Asy’ats al-Sajastânî Abû. 1999 M/1420 H. Sunan Abî Dâwud. Komentar dan Tahqîq Muhammad ‘Abdul Qâdir ‘Abdul Khair, Sayyid Muhammad Sayyid dan al-Ustâdz Sayyid Ibrâhîm. Jil. 1. Kairo: Dâr al-Hadîts. Haroen. Nasrun. 1996. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos. Kau Sofyan A.P., dan Zulkarnain Suleman. 2013. Metodologi Studi Islam Kontemporer. Gorontalo: Sultan Amai Press. Kau. Sofyan A.P. 2013. Islam Responsif. Gorontalo: Sultan Amai Press. _______. Fikih Alternatif. 2013. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Partanto Pius A., dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Pupuler. Surabaya. Rahmat. Jalaluddin. 1991. Islam Aktual. Bandung: Mizan. _______. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Bandung: Mizan. Shihab. M. Quraish. 1992. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan. _______. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan. Al-Syaukânî, Imam. Nayl al-Awthar, Jil. 1. Beirut: Dâr al-Fikr.
224
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am