Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
KONSEP TASAMUH(TOLERANSI)DALAM ISLAM Samsuri (Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang) Abstrak: Tasamuh atau Toleransi dalam Islam adalahbukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda. Toleransi dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Esensi toleransi masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masingmasing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya. Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Kata Kunci:Toleransi Dan Islam.
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
A. Pendahuluan Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan secara individual maupun komunal, seakan terus terjadi yang mengindikasikan bahwa kekerasan, gampang tersinggung, dan tidak toleran kini telah menjadi karakter kebanyakan individu masyarakat Indonesia. Berbagai karakter baik dari setiap individu (dan komunal) bangsa Indonesia, seperti ramah, senyum, baik hati, suka membantu, dan toleran, seakan-akan dari hari ke hari terus memudar.Pembicaraan mengenai hal tersebut seakan hanya sekedar romantisisme saja. Karenanya wajar jika kemudian banyak kalangan melihat adanya proses tidak sadar ”pudarnya karakteristik bangsa Indonesia” pada segala dimensi karakter positif. Sekitar lima puluh tahun yang silam, sejarawan terkemuka, asal Inggris, Arnold J. Toynbee datanglah ke Indonesia. Di Indonesia, ia merasa melihat keadaan yang "baginya aneh." Bangsa Indonesia yang 90% persen adalah pemeluk Islam, namun ternyata adalah bangsa yang paling lapang dada atau toleran, begitu kesaksian Toynbee. Menurut Toynbee, toleransi Indonesia itu perlu dijadikan contoh bagi penduduk di belahan bumi lain. Sejarah toleransi bangsa Indonesia ini seakan sirna, terutama pasca-reformasi (1998) dan karena kasus-kasus teror-bom, yang ditudingkan kepada kelompok Islam radikal. Jika melihat falsafah negara, Indonesia merupakan negara religius yang ber”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Undang-Undang Dasar 1945 pasa 33 ayat (1 dan 2) menandaskan bahwa setiap agama dapat hidup-berkembang dan dijamin keberadaannya di bumi pertiwi ini. Demikian juga, semboyan negara Bhineka Tunggal Ika mempertegas bahwa keragaman suku, budaya, dan keyakinan merupakan kekayaan khazanah bangsa Indonesia yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar bagi pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya dan berperadaban. Demikian pula, jika melihat pada ajaran setiap agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, semuanya mengajarkan mengenai cinta-kasih, kesatu-paduan hati, persaudaraan, kerjasama, dan toleransi. Tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan atau menganjurkan untuk berperang, saling bunuh, saling memusuhi, atau bertindak anarkis. Dilihat dari norma-norma ini, bangsa Indonesia, terlebih kaum muslimin, seharusnyalah adalah bangsa yang paling toleran (tasamuh: lapang dada) di antara dan terhadap perbedaan suku, agama, dan budaya;sebab setiap agama dan semua bentuk aturan di Indonesia memang mengajarkannya demikian. Barangkali tidak ada sebuah bangsa yang begitu jelas, tegas, dan tuntas mengajarkan toleransi, sebagaimana halnya Indonesia; bahkan toleransi itu merupakan ciri bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah pemeluk agama Islam. Indahnya lagi, pelaksanaan praktek toleransi Islam ini terbukti dalam sejarah Islam Indonesia serta diakui dan dikagumi oleh banyak cendekiawan non-muslim di dunia Barat maupun Timur. Upaya untuk merekonstruksi aspek konseptual dari toleransi ini akan diupayakan bersumber dari salah satu ajaran agama, yaitu Islam, sebagai salah satu agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Dalam Islam, istilah toleransi dikenal dengan istilah tasamuh.Toleransimerupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam. B. Tasamuh [Toleransi] dalam Islam 1. Pengertian Tasamuh Toleransi (tolerance) ansich berasal dari kata ‘tolere’ (bahasa Latin) yang artinya memikul, atau mengangkat beban.Kata tolerasi dalam bahasa Belanda adalah "tolerantie", dan kata kerjanya adalah "toleran". Sedangkan dalam bahasa Inggeris, adalah"toleration" dan kata kerjanya adalah"tolerate". Toleran mengandung pengertian: ber-sikap mendiamkan. Adapun
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesamanya (Sulchan Yasin, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hal 389). Indrawan WS menjelaskan pengertian toleran adalah menghargai paham yang ber-beda dari paham yang dianutnya sendiri. Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri (Kamus Ilmiyah Populer, 1999: 144). Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikan toleransi: "sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelaku-an dsb.) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya). Kata tasamuh seringkali diidentikkan dengan kata toleran (toleransi). Namun, pengidentikkan tersebut tidak sepenuhnya memadai, karena jika ditelusuri secara mendalam, kedua kata tersebut mempunyai makna yang "agak" berbeda atau ditemukan sebuah kontekssituasi yang sama sekali sangat berbeda dari penggunaan kedua kata tersebut. Tidak ada kata bahasa Inggris dan Indonesia yang sepadan untuk mengartikan apa yang secara tradisional dipahami sebagai tasamuh dalam bahasa Arab. Namun demikian, kata yang dipergunakan untuk mendekatkan kata tasamuh ini adalah toleran(si), yang telah menjadi istilah mutakhir bagi tasamuh. Dalam bahasa Arab toleransi biasa disebut "ikhtimal, tasamuh" yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma) (al-Munawwir,1994:702). Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Bentuk akar dari kata ini mempunyai dua macam konotasi: 1. Jud wa karam (kemurahan hati) dan tasahul (kemudahan). Karena itu, ketika kaum muslimin berbicara tentang tasamuh alIslam dan tasamuh al-dini, keduanya sangat berbeda dengan toleran(si) yang dipahami oleh Barat. Dengan kata lain, konsep tasamuh dalam Islam jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di Barat. Dalam Islam kata “tasamuh” yang disepadankan dengan kata toleransi justru menunjukkan adanya kemurahanhati dan kemudahan dari kedua belah pihak atas dasar saling pengertian. Istilah itu selalu dipergunakan dalam bentuk resiprokal atau hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. Dengan demikian tasamuh (toleran) dalam Islam bisa dimaknakan membangun sikap untuk saling menghargai, saling menghormati, saling memberi, saling membantu, dan saling memberi kemudahan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, tasamuh (toleransi) adalah "Sikap (akhlak) dengan teraktualisasi dengan saling berlaku baik, lemah lembut, membantu, dan saling pemaaf." Dalam pengertian istilah umum, tasamuh adalah "sikap (akhlak) terpuji dalam pergaulan, yang didasari rasa saling memahami dan saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam dan kesepakatan bersama (kalimat al-sawa)." Yang dimaksud dengan kalimat al-sawa di sini adalah konvensi atau kesepakatan bersama di antara pemeluk agama atau setiap anggota masyarakat. Dalam sejarah Islam, kalimat al-sawa ini diwujudkan oleh Rasulullah dalam bentuk piagam Madinah. Kalimatal-Sawa ini juga dapat dimaknai sebagai ”kerelaan umat Islam ketika menghilangkan tujuh kata dalam Preambule UUD 1945 pada masa proses perumusan konstitusi Bangsa Indonesia. Dalam hal ini, toleransi dapat dimaknai sebagai ”kemauan untuk memahami dan menjalankan berbagai aturan dan kesepakatan yang dimaksudkan untuk menjaga kebersamaan, persaudaraan, kedamaian, kemanaan, dan keutuhan bangsa dan negara”. Dalam Islam pun, toleransi dapat dikaitkan dengan konsep hanifiyah al-samhah (mudah, lurus, dan lapang). Dalam sebuah hadits disebutkan mengenai konsep ini. Dari Ibnu Abbas ra,
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
Rasulullah saw. pernah ditanya, "Agama apa yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla? Beliau menjawab, "al-Hanifiyahal-Samhah" (lurusdan yang mudah). Oleh karena itu, Ibnu Abbas meriwayatkan, beliau ditanya tentang seorang lelaki yang meminum susu murni, apakah dia harus berwudlu? Beliau menjawab,"Bermudahlah niscaya engkau akan diberi kemudahan." Yakni gampangkanlah nicaya Allah akan memberi keringanan untukmu dan atasmu [Ibn Mandzur, t.t., 2/498] 2. Asas Tasamuh dalam Islam Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Pada bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”. Selanjutnya, dalam QS Yunus, Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan per-samaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’. Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu).Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindungi-nya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan saling berbuat baik antara sesama muslim dan kepada umat yang lain. Berdasarkan hal tersebut, keyakinan umat Islam bahwa: a. bahwa perbedaan manusia dalam memeluk agama adalah karena kehendak Allah, yang dalam hal ini telah memberikan kepada makhluknya kebebasan dan ikhtiyar (hak memilih) untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Allah SWT berfirman, “Jikalau Tuhanmu
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
b.
c.
d.
e.
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS Hud [11]:118). Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia”. AlBaidhawi ketika menafsir-kan ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyah al-samhah). Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. manusia itu adalah makhluk yang mulia apapun agama, kebangsaan, dan warna kulitnya. Firman Allah SWT: “Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam (manusia)” (QS. Al-Isra’ [17]:70), maka kemuliaan yang telah diberikan Allah SWT ini menempatkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk dihormati, dihargai, dan dilindungi. Imam Bukhari dari Jabir ibn Abdillah bahwa ada jenazah yang dibawa lewat dihadapan nabi Muhammad saw. lalu beliau berdiri untuk menghormatinya. Kemudian ada seseorang memberi-tahukan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu jenazah Yahudi.” Beliau menjawab dengan nada bertanya, “Bukankah ia juga manusia?”. orang muslim tidak diberikan tugas untuk menghisab orang kafir karena kekafirannya. Persoalan ini bukanlah menjadi tugasnya, itu adalah hak prerogatif Allah SWT. Hisab bagi mereka adalah di yaum al-hisab atau yaum al-qiyamah. Allah SWT berfirman: “Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selisih pendapat karenanya” (QS.al-Hajj [22]: 68-69). keimanan orang muslim bahwa Allah menyuruh berlaku adil dan menyukai perbuatan adil serta menyerukan akhlak yang mulia sekalipun terhadap kaum kafir, dan membenci kezaliman serta menghukum orang-orang yang bertindak zalim, meskipun kezaliman yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap seorang yang kafir. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kamu mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS al-Maidah [5]: 8). ajaran Islam tidak pernah memaksa umat lain untuk menjadi muslim apalagi melalui jalan kekerasan. Allah SWT berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah [2]: 256).1Islam memang agama dakwah. Dakwah dalam ajaran Islam dilakukan melalui proses
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut: ”Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dadanya, dan terang mata hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa. Ibnu Abbas mengatakan ayat "laikraha fi al-din" diturunkan berkenaan dengan seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah saw, maka Allah menurunkan ayat tersebut. Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa telah berkata bapakku dari Amr bin 1
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
yang bijaksana. Allah SWT berfirman, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. Al-Nahl [16]: 125). Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang toleran. Dalam artian, agama yang senantiasa menghargai, menghormati dan menebar kebaikan di tengah umat yang lain (rahmatli al’alamin). f. agama Islam diturunkan sesuai dengan kemampuan manusia. Hukum-hukum Islam dibangun di atas kemudahan dan tidak menyulitkan, norma-norma agama ini seluruhnya dicintai (oleh Allah) namun yang mudah dari itu semualah yang paling dicintai oleh Allah. Firman Allah, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS AlBaqarah [2]:185). Oleh sebab itu, tidak boleh mempersulit diri dalam menjalankan agama Allah dan tidak boleh pula membuat sulit hamba-hamba Allah. Tiada seorangpun yang mempersulit agama ini melainkan dia pasti akan kalah. Al-Qur’an menjelaskan bagaimana perbuatan Bani Israil, tatkala mereka mempersulit diri, Allah-pun mempersulit mereka. Kalau seandainya mereka mempermudahnya, niscaya mereka akan diberi kemudahan. 3. Komponen Dasar Tasamuh Sebagaimana dipaparkan di bawah bahwa tasamuh (toleransi) dalam Islam mempunyai dua komponen utama, yaitu kemurahan hati (judwakaram) dan kemudahan (tasahul). Dengan demikian, individu yang samhah/tasamuh (toleran)berarti individu yang memiliki kemurahan hati dan yang memberi kemudahan. Kedua komponen ini mempersyaratkan agar setiap individu a) Mengakui hak setiap orang, b) menghormati keyakinan orang lain, c). Lapang dada menerima perbedaan, d). Saling pengertian, dan e)Kesadaran dan kejujuran. Mengeksplorasi dua komponen tersebut, Salim bin Hilali memerinci lebih detail karakteristik individu yang samhah/tasamuh (toleransi) sebagai berikut, yaitu antara lain individu yang memiliki, 1) kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan, 2) kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan, 3) kelemah-lembutan karena kemudahan, 4) muka yang ceria karena kelapangan dan kegembiraan, 5) rendah hati (tawadhu’) dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan, tetapi karena saling menghargai dan ta’at kepada Allah 6) memberi kemudahan (tasahul) dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian, 7) Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa-basi, 8) Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan. Selanjutnya, menurut Salim alHilali, jika karakteristik tersebut itu dapat terpenuhi maka toleransi merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur. Ditanyakan, ’Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya,'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas, dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan, ’Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya, 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya,'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur." Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, "Aku dahulu adalah ’abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama Nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: la ikraha fi al-din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin" (Ibnu Katsir, t.t., I/383)
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (al-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (habl min al-nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablmin Allāh). Misalnya, Rasulullah bersikap toleran terhadap pada budak dari Habasyah. Dari Aisyah Radliyallahu 'anha dia menceritakan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggilku sementara anak-anak Habasyah bermain tombak di masjid pada hari raya, beliau menawariku: "Wahai Humairo ! Apakah engkau suka melihat permainan mereka ?" Jawabku: Ya !. Maka beliau menyuruhku berdiri di belakangnya, lalu beliau menundukkan kedua pundaknya supaya aku dapat melihat mereka, akupun meletakkan daguku di atas pundak beliau dan menyandarkan wajahku pada pipi beliau, lalu akupun melihat dari atas kedua pundak beliau, sementara itu beliau mengatakan: "Bermainlah wahai bani Arfadah !" Kemudian selang setelah itu beliau bertanya: "Wahai Aisyah ! Engkau sudah puas ?" Kataku : "Belum" Supaya aku melihat kedudukanku disisi beliau, hingga akupun puas. Kata beliau: "Cukup?" Jawabku: "Ya". Beliau berkata : "Kalau begitu pergilah!". Aisyah berkata : "Lalu Umar muncul, maka orang-orang dan anak-anak tadi berhamburan meninggalkan mereka (Habasyah), Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Saya melihat para syaithan manusia dan jin lari dari Umar". Aisyah mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu bersabda. "Artinya: Supaya orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada keleluasaan, aku diutus dengan Al-Hanifiyah (agama yang lurus) As-Samhah (yang mudah)". [Muttafaq 'Alaihi, kecuali lafadh yang dijadikan dalil yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/116 dan 233 dan Al-Humaidi 254 dengan sanad yang shahih]. 4. Batas Tasamuh (Toleransi) dalam Islam Hari ini, Islam dicurigai sebagai agama yang tidak toleran. Hari ini juga makna tasamuh dan toleran juga telah disalah-artikan sehingga akhirnya agama menjadi objek permainan. Tugas bersama bagi kita adalah memahamkan kembali tentang konsep tasamuh dan toleransi dalam Islam secara benar. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haq bil bathil (mencampuradukan antara hak dan batil), suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah tole-ransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh Islam. Setiap individu, terutama Muslim, harus mampu membedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah membenarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk Syirik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19). Sinkretisme mengandung talbisul haq bil bathil (mencampurkan yang haq dengan yang bathil). Sedangkan toleransi tetap memegang prinsip alfurqon bainal haq wal bathil (me-milah/memisahkan antara haq dan bathil). Toleransi yang disalahpahami seringkali mendorong pelakunya pada alam sinkretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih do-minan dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama. Sudah tentu sikap toleransi ini pun bukannya tanpa batas, sebab toleransi yang tanpa batas bukanlah toleransi namanya, melainkan"luntur iman." Batas toleransi itu ialah, pertama : apabila toleransi kita tidak lagi disambut baik atau ibarat "bertepuk sebelah tangan," di mana pihaklain itu tetap memusuhi apalagi memerangi Islam. Kalau sudah sampai"batas" ini, kita dilarang menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan. Firman Allah SWT,"Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zhalim." (Q.S. Al-Mumtahanah : 9). Akan tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa kita boleh langsung membalas, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk "memanggil" atau menyadarkan. Bukankah Islam mengajarkan ummatnya agar menolak kejahatan dengan cara yang baik? "Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan)dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia." (Q.S. Al-Fushshilat : 34). Apalagi kalau yang "memusuhi" aqidah kita adalah orang tua kitasendiri, maka penolakannya harus dengan cara yang lebih baik lagi dan tetap bersikap sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua (birru al-walidain). Dengan kata lain, sekali pun berbeda agama atau keyakinan dengan orang tua, namun dalam hubungan antar manusia (hablun min an-nas), harus tetap baik. Setiap anak harus berbakti kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi kalau orang tua memaksa anak untuk berbuat syirik, maka "fala tuthi'huma!" (jangan sekali-kali kamu ikuti), dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik -demikian firman Allah dalam surat Luqman: 15. C. Tipologi Tasamuh 1. Tipologi Tasamuh Berdasarkan Subjek Berdasarkan subjeknya, setidak-tidaknya terdapat tiga macam tasamuh, yaitu tasamuh kepada dirinya, antar sesama muslim, dan terhadap non-muslim. a. tasamuh terhadap Diri Sendiri. Jikan tasamuh telah melekat pada diri sendiri, maka ia akan bersifat toleran kepada dirinya, yakni ia akan memenuhi kebutuhan fisiknya secara baik, adil, dan proporsional, seperti makan makanan yang sehat, baik, dan proporsional; ia akan tidur, bekerja, olah raga, dan aktivitas lainnya yang membuat dirinya sehat dan kuat (basthahfialjism. Ia pun akan memenuhi kebutuhan ruhaninya (basthahfial-’ilm), seperti menuntut ilmu dengan berbagai cara, di mana pun, dan kapan pun. b. tasamuh pada sesama muslim (tasamuhfial-Islam). Kemalakatan tasamuh dalam dirinya pun akan diaktualisasikan kepada sesama muslim dengan sikap dan perilaku tolong menolong, saling menghargai, saling mengasihi, saling menyayangi, saling menasehati, dan saling tidak curiga-mencurigai. Sifat ini ekuivalen dengan ukhuwah fi al-Islam atau ukhuwah alIslamiyyah. Tolerasi ini yang biasa kita sebut (bagi kamu amalan kami dan bagi kalian amalan kalian). Misalnya; Ada yang shalat shubuh dengan membaca qunut dan ada yang tidak. Semua itu adalah alternatif. Dulu, para pemimpin Muhammadiyah dan NU itu tidak meributkan masalah qunut karena sama-sama ngerti, misalnya pada zaman Idham Khalid dan Buya Hamka. Sekarang, anak-anak Nu dan Muhammadiyah juga tidak ribut soal qunut karena sudah tidak shalat shubuh, berarti qunutnya lewat. Ini adalah tasamuh (toleransi) di antara muslimin. selama tidak ada inhiraf (keluar dari batas syari'at). Tasamuh bisa diartikan mau memegangi pendapat sendiri, akan tetapi mau mengerti pendapat saudaranya sesama muslim. Jadi, jangan memonopoli kebenaran, kecuali yang bersifat qath'iy. Kalau masih bersifat dzanny, yaitu sesuatu yang termasuk daerah pemikiran dan daerah ijtihad, maka harus ada keseimbangan di antara ilmu dan toleransi. c. tasamuh terhadap Non-Muslim (tasamuhfial-dini). Tasamuh terhadap manusia non muslim, seperti menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam satu negara. Dengan kata lain, individu yang toleransi menjalankan dasar dan prinsip-prinsip: 1. Ia mampu bertetangga secara baik; 2. Ia mampu saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; 3. Ia mampu membela mereka yang teraniaya; 4. Ia dapat saling menasehati, dan 5. Ia menghormati kebebasan beragama.
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
Ajaran Islam tentang toleransi beragama atau hubungan antar ummat beragama ini meliputi lima ketentuan, yakni. Pertama, ia tidak memaksa orang lain dalam beragama, "Tidak ada paksaan dalam agama karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah."(Q.S. Al-Baqarah: 256). Kedua, ia mengakui eksistensi agama lain serta menjamin adanya kebebasan beragama, sebagaimana digariskan dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 1-6. Ketiga, ia tidak mencela atau memaki sesembahan mereka (Q.S. Al-An'am: 108). Keempat, ia tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi (Q.S. Al-Mumtahanah 8-9; Q.S. Fushshilat: 34). Kelima, ia memberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Pesan Nabi SAW, "Barangsiapa menyakiti orang dzimmi berarti ia menyakiti diriku!" Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. 2. Tipologi Tasamuh berdasakan Level-Subjek Berdasarkan level-subjeknya, tasamuh dapat dibagi menjadai tiga bagian pula, yakni a) tasmuh pada level individu, b) tasamuh pada level umat beragama, dan c) tasamuh pada level bangsa atau negara. a. tasamuh pada Level Individual.Tasamuh jenis ini adalah sifat dan sikap toleran antar individu yang seagama, sesuku dan sebangsa, dan atau antar berbeda agama, suku, dan bangsa. Setiap individu, apapun warna kulit, bahasa, suku, bangsa, dan agamanya, mempunyai posisi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. Selama saling membantu, mengasihi, dan menyayangi, tidak saling bermusuhan, menindas, dan merugikan, mereka adalah satu dan wajib dayomi dan dilindungi. Mereka berhak untuk beraktivitas dan mencari kebahagian hidup di bumi Allah ini. b. tasamuh pada Level Ummat. Jika tasamuh telah tertanam pada setiap individu (mayoritas umat Islam), maka ia akan menjelma menjadi ummat yang toleran (ummatsamhah). Tasamuh pada tingkat ummat seringkali berkaitan dengan keberadaan pluralitas (Arab: ta’addud). Dalam tulisan ini, pluralitas dimaknai sebagai keberadaan toleransi keragaman kelompokkelompok etnis (psiko-biologis), pandangan hidup, sosial, dan budaya dalam suatu tatanan masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan dan atau sikap yang ada pada suatu badan, institusi, masyarakat, dan negara (bandingkan dengan Masykuri Abdullah, 1999:146).2 c. tasamuh antar bangsa dan negara. Jika pada level ummat telah terbentuk tasamuh (toleran), maka Indonesia akan menjelma menjadi bangsa dan negara yang memiliki al-samahah (bangsa dan negara yang toleran). Dalam hal ini, jika toleransi antar negara dan bangsa dapat terwujud, maka diharapkan tidak ada lagi intervensi, hegemoni, dan peperangan (militer, budaya, peradaban, aparthead, etniccleansing, konflik perbatasan). Kedamaian, ketentraman,
2 Salah satu kasus konflik internal umat Islam adalah antara Islam (ahl Sunnah wa al-Jama’ah)versus Jemaah Ahmadiyah. Pasca SKB 3 Menteri (Dalam Negeri, Kejaksaan dan Agama) Jema’ah Ahmadiyah Indonesia harus meluruskan kembali akidahnya secara benar dan jelas, tidak memberlakukan buku-buku panduan yang isinya penyimpangan dari ajaran Islam dan beralih ke kitab-kitab yang mu’tamad (yang layak diperpegangi oleh umat Islam dalam menafsirkan Alqur’an dan Hadits), membuka diri dan berbaur dengan umat Islam yang lain. Terakhir, pemerintah harus tetap aktif dalam mengkontrol efektifitas SKB agar berjalan maksimal.
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
dan keamanan dapat diwujudkan oleh setiap negara yang dibangun di atas kesepahaman, kepentingan bersama, persatuan, dan kesatuan dunia. 3. Tipologi Tasamuh Berdasarkan Sifatnya Dilihat dari sifatnya, tasamuh dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni a) tasamuh aktif-positif, serta b) tasamuh pasif-negatif, c) Tasamuh aktif-negatif. a. Tasamuh Aktif dan Positif. Toleransi yang diajarkan Islam bukanlah toleransi yang pasif yang hanya sekedar "menenggang-rasa, lapang dada, dan hidup berdampingan secara damai"; tetapi lebih luas lagi, yaknibersifat aktif dan positif, yakni untuk berbuat baik dan berlaku adil. Agama Islam juga mengakui adanya orang-orang ahli kitab yang baik dan perlunya perlindungan tempat-tempat ibadah agama lain (Q.S. Al-Ma'idah [5]: 82; Q.S. Al-Hajj [22]: 40). b. Tasamuh Pasif dan Negatif. Tasamuh pasif adalah tasamuh yang tidak menggerakkan seseorang untuk berbuat baik pada sesamanya. Sedangkan, tasamuhnegatif adalah tasamuh terhadap perbuatan buruk atau salah dari orang lain; atau dengan term lain, tasamuh negatif ini adalah sikap permisif. Dalam Islam, sikap permisif dapat dikatakan sebagai dayus. c. Tasamuh aktif-negatif. Tasamuh ini adalah jenis tolernasi terhadap perbuakan buruk dan bahkan aktif melindungi atau membantu mewujudkannya. Misalnya, toleransi terhadap keberadaan lokalisasi, tempat perjudian legal dan illegal; merupakan contoh dari toleransi aktif-negatif yang diperagakan baik oleh individu, komunitas, suku, atau negara. Tasamuh jenis pertama adalah tasamuh yang dikehendaki dalam Islam atau tasamuh yang islami dan positif. Sedangkan Tasamuh jenis kedua dan ketiga, adalah jenis tasamuh yang dilarang dalam Islam. Dengan kata lain, tasamuh kedua dan ketiga adalah tasamuh yang negatif dan keluar dari aturan Islam D. Signifikansi Tasamuhdalam Kehidupan Sehari-Hari 1. Tasamuh dalam Kehidupan Sehari-Hari Keistimewaan ajaran Islam tentang toleransi ini ialah bahwa toleransi Islam bukanlah toleransi yang pasif, melainkan aktif dan positif. Ia bukan sekedar untuk "hidup berdampingan secara damai," melainkan lebih dari itu aktif dan positif, yakni berbuat baik dan berlaku adil sekali pun terhadap keyakinan orang lain. Di samping itu Islam juga memberi perlindungan kepada mereka dari ancaman penindasan. Secara konseptual, Islam memberi landasan toleransiyang merupakan "kata kunci" bagi terwujudnya kehidupan heterogen yang harmonis –sebagai salah satu sifat dan ciri yang menonjol ajaran Islam, dan sekaligus merupakan kekuatan Islam. Secara historis, sikap toleran dari kalangan Muslim terhadap agama lain, Islam dapat berkembang dengan pesat ke berbagai benua. Berkat toleransi Muslim ini pun, maka pemeluk agama lain di negeri Muslim, termasuk Indonesia, dapat hidup tenteram, sebab mendapat perlakuan baik dari pemerintah Muslim. Toleransi dibutuhkan untuk menjamin kehidupan individual yang aman, bebas mengeluarkan pendapat positif-konstruktif, dan perilaku ketaatan terhadap ajaran agama dan norma positif kehidupan masyarakat. Toleransi juga merupakan salah satu katalisator bagi penyelesaian perselisihan dan konflik. Karena Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan. Sikap ini meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) al-‘afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) al-shafhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) al-maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, misalnya, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri dan anak kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan. Hubungan komunikatif, dialogis, dan musyawarah yang harus dikedepankan dalam keluarga dan masyarakat harus dilandasi pula oleh dua sikap dasar, yaitu sikap lemah lembut dan pemaaf sebagaimana tercermin dalam QS. al-Baqarah (2):233 dan QS Âli Imrân (3):159. Pertama, yaitu sikap lemah lembut. Keluarga sakinah adalah keluarga harmonis yang menerapkan sikap lemah lembut dalam bermusywarah. Sebab sikap ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Umumnya anak-anak yang hidup dalam keluarga yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi cenderung memiliki harga diri yang tinggi, percaya diri, mudah menerima kritikan, mandiri, dan optimis.3 Hal ini berbeda dengan anak yang hidup dalam suasana keluarga yang otoriter dalam arti bahwa orang tua selalu memaksakan kehendak, bersikap keras dan kasar serta tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut dalam menetapkan sikapnya, maka anak tersebut, umumna, akan memiliki harga diri yang rendah, pesimis, tidak suka dikritik, dan tidak mandiri. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Maaf secara harfiah berarti menghapus. Dengan demikian, memaafkan berarti menghapus bekas luka di ahti akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal ini berarti bahwa dalam berkomunikasi khususnya dalam bermusyawarah dibutuhkan sikap pemaaf dengan tidak membesar-besarkan hal yang sepele yang dilakukan oleh anggota keluarga. Kehidupan suami-istri tidak luput dari berbagai kelemahan, kesalahpahaman dan pertengkaran kecil. Hal-hal ini akan dapat merenggangkan hubungan persahabatan satu sama lain. Pada saat salah seseorang dari suamiistri melakukan sesuatu hal yang menimbulkan kemarahan, maka langkah yang perlu disuburkan oleh yang lainnya adalah menahan marah dan mudah saling memaafkan. Saling memaafkan satu sama lainnya adalah kunci untuk memelihara persahabatan antara suami-istri. 2. Tasamuh dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Untuk bersikap toleran itu sama sekali bukan hal yang mudah, tetapi bukan hal yang mustahil. Dibutuhkan pembiasaan dan rahmat ilahi untuk mampu mempertahankan sikap toleransi ini, terutama bila orang harus bersikap toleran terhadap pendapat, budaya, atau keyakinan yang memang terasa sangat asing – apalagi yang jelas-jelas bertentangan – dengan apa yang menjadi milik diri atau kelompok sendiri yang telah diyakini sejak dini. Dalam keluarga sendiri misalkansemua anggotanya menganut agama A. Bila kemudian ada seorang saja yang pindah ke agama B, maka pastilah ia akan mendapat ‘tentangan keras’ dari yang keluarganya.Kerapkali ia bahkan dikucilkan dari pergaulan dalam keluarga besar. Ia dianggap sebagai ‘tidak ada’ secara sosial. Sanksi sosial seperti ini selalu menjadi beban berat bagi mereka yang berpindah agama. Terutama bila penentangan itu berasal dari pihak orang tua yang sangat dikasihi dan mengasihinya.Gara-gara perpindahan agama atau perbedaan agama, maka ‘kasih sayang’ antara orang tua dan anak menjadi sangat terganggu, bahkan tidak mustahil malah hilang sama sekali. Dalam keluarga besar kemungkinan untuk berbeda agama atau aliran politik sangat besar.Dalam sejarah Indonesia, kita masih ingat pada ekses G 30 S/ PKI pada era 1965-1975 banyak keluarga menjadi ‘tercerai berai’ karena faktor perbedaan politik dan agama.Terdapat kisah-kisah tentang 3
Salah satu tujuan musyawarah dalam al-Qur'an adalah untuk mengangkat martabat seseorang. Lihat Muhammad Fakhr al-Dîn bin Dhiya al-Dîn al-Razi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî, Beirut, Dâr al-Fikr, 1994, jilid IX, halaman 69.
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
orang yang dilaporkan kepada penguasa oleh saudara kandungnya sendiri karena ia terlibat ke dalam ormas atau orpol yang terlarang. Dalam keadaan damai dalam keluarga besar (keluarga adat atau suku) jarang terjadi konflik yang tajam karena perbedaan pandangan politik atau agama.Hal ini karena dalam keluarga besar seperti itu, sedikit banyaknya,masih sangat berperan unsur‘ikatan darah’ dan ‘kasih filial’ dalam sistem kekeluargaan pada bangsa Indonesia. Dalam masyarakat tradisional yang masih terikat oleh sejarah kekerabatan yang panjang nilai toleransi juga masih kental.Bagaimanapun juga para tokoh yang mendirikan kawasan tertentu menjadi cikal bakal pada trah besar tertentu.Sebaliknya situasi di perkotaan dapat sangat berbeda. Penduduk perkotaan – terutama kota besar – datang dari berbagai daerah dan memiliki keyakinan yang sangat heterogen.Dengan demikian, kadar toleransi di perkotaan sangat tergantung kepada faktorkemampuan para warganya sendiri untuk berbaur satu sama lain.Kesenjangan kemakmuran selalu berpotensi menjadi ‘faktor penghalang’ bagi intimasi pembauran. Akibatnya masyarakat desa cenderung lebih guyub (menyatu) dan lebih toleran dibandingkan dengan masyarakat kota besar. Dalam hal ini faktor kepemimpinan daerah yang tidak partisan--tetapimenjunjung tinggi nilai toleransi-- akan sangat berpengaruh pada terbinanya sikap toleransi para warganya juga. Gejala umum yang dapat diobservasi di masyarakat Indonesia, saat ini, adalah bila terjadi masalah atau keributan sosial di suatu daerah, maka para provokator biasanya berasal dari “kampung lain”.Mereka berkolaborasi dengan “warga baru” di kawasan tersebut yang ‘tidak konek’ (unconnected) dengan akar sejarah dan budaya guyub masyarakat setempat.Ketidakpuasan “warga baru”inilah yang mencetuskan ide kolaborasi dengan “pihak luar” sehingga terjadi huru-hara sosial di tempat tersebut.Istilah yang kerap dipakai ialah bahwa demonstrasi atau vandalisme dilakukan oleh “kelompok yang tidak dikenal”.Tentu saja “tidak dikenal”karena mereka berasal dari daerah lain.Namun ‘aktor intelektual’ dapat saja berasal dari kampung sendiri atau bahkan secara diam-diam “disetujui” para oknum dari tatanan sosial kedaerahan yang lebih luas. Dalam masyarakat heterogen–bhinneka tunggal ika–di negara kita unsurnilai toleransi merupakan prasyarat mutlak untuk kelangsungan hidup ‘nationstate’ ini. Bila hal ini gagal dilakukan maka negara Indonesia terancam bakal terpecah-belah seperti negara Yugoslavia atau USSR tempo dulu. Ironis sekali karena Jerman dan Korea justru terus berambisi untuk bersatu kembali sebagai satu bangsa. E. Pembelajaran dan Pembiasaan Tasamuh bagi Anak Nilai tasamuh (toleransi) itu tidak ‘jatuh dari langit’ seperti titik-titik air hujan. Nilai toleransi harus dilatih sejak kecil; artinya nilai toleransi terbentuk karena peneladanan dan pembiasaan. Yang pasti, tasamuh (toleransi) tidak bakal terbentuk lewat sekedar wacana atau ‘drilling’ dari atas. Anak-anak tidak mungkin mengadopsi nilai toleransi bila orang tua mereka sendiri bersikap sangat tidak toleran, baik di kalangan keluarga sendiri maupun di masyarakat. Dalam skala tertentu, nilai tasamuh (toleransi) juga dapat dimaknai sebagai semacam warisan keturunan keluarga besar.Seseorang sukar sekali bersikap tasamuh (toleran) bila dalam ‘memori kolektif’ keluarga besarnya tidak ada panutan yang mengadopsi nilai toleransi tersebut.Jika suatu kaum terkenal dengan mentalitas premanisme, maka mereka cenderung bersikap ‘semau gue’ dan selalu ‘mau menang sendiri’; atau mereka cenderung ‘memakai kekerasan’ untuk menyelesaikan setiap masalah, maka hampir dapat dipastikan akan jarang sekali terbentuk nilai toleransi dalam diri anak-anak tersebut.Namun demikian-untungnyapengadopsian suatu nilai tidak tergantung pada faktor keturunan melainkan berdasarkan ‘pilihan pribadi’ yang paling bebas. Walaupun kebanyakan orang mau bersikap tidak toleran bila kita
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
sendiri memilih untuk mengadopsi nilai toleransi maka langitpun tidak mampu menghalanghalanginya. Pembelajaran dan pembiasaan yang paling awal, pertama, dan utama adalah keluarga. Keluarga yang demokratis, dialogis, komunikatif, dan toleran merupakan keluarga yang mudah menanamkan dan membiasakan pada anak untuk tumbuh berkembang menjadi sosok anak yang memiliki karakter ”toleran”. Hanya persoalan umumny adalah bagaimana seorang anak dapat tumbuh berkembang menjadi pribadi berkarakter toleran dan berkarakter positif lainnya, yang secara naluriah menjalankan kebaikan dan menampik keburukan? Perlukah anak diberi pendidikan budi luhur di sekolah untuk menjadi pribadi berintegritas moral tinggi? Menurut Franz Magnis-Suseno berjudul "Menjadi Manusia, Belajar dari Aristoteles", hal tersebut tidak mutlak diperlukan. Bangsa Indonesia hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik dari suku, agama maupun budaya. Untuk hidup damai dan berdampingan tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Rasa toleransi ini perlu ditanamkan pada anak-anak sedini mungkin. Lebih cepat diajarkan bertoleransi lebih baik bagi perkembangan jiwa anak-anak. Saat anak mulai bergaul dengan teman-temannya ia akan mulai merasakan perbedaan. Jika ia tidak diajarkan bertoleransi, maka nantinya ia bisa berkonflik dengan teman-temannya karena perbedaan. Sebagaimana penanaman nilai lainnya, sosialisasi dan internalisasi sifat tasamuh (toleran) harus ditempuh melalui berbagai metode. Metode yang dimaksud terdiri dari 1) Metode pembelajaran komunikatif, 2) Metode keteladanan, 3) Metode pembiasaan, 4) Metode pembelajaran langsung, dan 5) metode penghargaan dan hukuman. Metode lainnya adalah sebagaimana dirumuskan oleh al-Nahlawi, yakni 1) Metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi, 2) metode kisah Qur’ani dan Nabawi, 3) metode amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi, 4) metode keteladanan, 5) metode pembiasaan, 6) metode ibrah dan mau’izah, dan 7) metode targhib dan tarhib (halaman 135). Setiap metode tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, penggunaan metode tersebut harus diversifikasi (dicampur atau silih berganti) dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan materi. Selain itu, berbagai metode tersebut harus didukung oleh instrument pembelajaran yang variatif pula. Selain itu pula faktor inisiatif, kreatifitas, dan inovasi guru diperlukan dalam pendidikan dan pengajaran tersebut. Sebagai contoh, pendidikan dapat disampaikan melalui metode pupujian (halaman 148) dan metode wirid (halam 149). Setidaknya dalam makalah ini terdapat empat cara bagaimana mengajarkan toleransi pada buah hati. 1. Perkenalkan keragaman Orang tua atau guru dapat mulai dengan memberi pengertian bahwa ada beragam suku, agama dan budaya. Beritahukan pada buah hati (peserta didik) meskipun orang lain memiliki agama, bahasa, suku, atau warna kulityang berbeda, manusia sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. Memperkenalkan keraga-man sedini mungkin nantinya dapat memupuk jiwa toleransi buah hati agar lebih memandang perbedaan yang ada secara lebih bijak, ‘Keragaman dan perbedaan itu harus ditanamkan dan dipandang sebagai keindahan dan bukan untuk menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sikap ini dapat direfleksikan melalui, misalnya pada hal-hal berikut: a. Menerima keberadaan anak dan fikirannya, dan siap mendengarkan keluh-kesah anak tanpa ragu dan malu. Untuk itu, maka kedua orang tua harus mengerti satu permasalahan penting, yaitu bahwa Allah ta'alaa menciptakan anak kecil dengan kepribadian dan kemampuan yang masing-masing berbeda. Apabila kita mendapati seorang anak tersinggung karena cemoohan anak lain, atau mungkin takut sekali. Maka, pada saat itu tidak ada gunanya orang tua
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
mengatakan kepada anaknya "kamu mudah tersinggung" atau "kamu penakut" atau "Si Fulan lebih baik daripada kamu". Kedua orang tua harus bisa meyakinkan bahwa ia mencintai dan menerima keberadaan anak tersebut. Dan tidak menjadi syarat untuk mencintai anaknya, orang tua menjadi ahli motivator atau brilian, akan tetapi yang dibutuhkan adalah ia bisa membantu anaknya dalam menyelesai-kan masalah yang ditemuinya. b. Menerima seaneh apapun ide dan buah fikiran yang baru dari anak-anaknya. Banyak terjadi pada para orang tua memaksakan keinginan dan kesukaan dirinya. Hal ini bisa menghilangkan kesempatan bagi anak-anak untuk bisa mengambil manfaat dari pendapat dan pengalaman orang lain, dalam hal ini, maka seorang anak akan kehilangan kesempatan untuk memenuhi keinginan orang tuanya untuk memperhatikan diri dan pendapatnya. c. Mengundurkan pemberian sanksi di saat waktunya sempit. Ketika seorang anak berbuat salah, maka ia berhak untuk diajak diskusi dan memperoleh penjelasan tentang sanksinya. Sebab, sanksi yang akan diberikan tidak boleh dilaksanakan di bawah hitungan waktu. Misalnya, seorang ayah memulai diskusi tentang masalah yang terjadi itu 5 menit sebelum waktu tidur. Pada kejadian seperti ini, maka sebaiknya pembicaraan dilakukan besoknya saja, dengan tetap serius untuk tidak melupakan masalah itu berjalan tanpa ada penyelesaiannya. Maka, berfikir ulang di bawah hitungan waktu untuk memperoleh sanksi yang relevan adalah sesuatu yang sulit tercapai. Sebaliknya, mengakhirkan memberi kesempatan kepada semua untuk memikirkan apa yang seharusnya dikerjakan akan memberikan petunjuk dan hikmah yang besar. 2. Menjauhi Kebiasaan Membeda-bedakan Ajarkan pada buah hati kalau perbedaan yang ada tidak disikapi dengan kebencian. Karena, kebencian akan membuat sedih dan menyakiti hati orang lain. Cobalah ajak buah hati (peserta didik) untuk berandai-andai jika ia dibenci karena perbedaan, tentu akan merasa sedih. Dengan begitu ia lebih merasa empati dan bertoleransi dengan apa yang dirasakan orang lain.4 Setiap anak memiliki kemampuan yang tidak sama dalam menunjukkan ketidaksukaan. Terkadang ada yang sangat pandai menyembunyikan pengaruh kesalahannya daripada anak-anak lain anak dengan cara melakukan gerakan-gerakan yang dibuat-buat dan suka main-main. Jika terjadi masalah diantara kedua anaknya, maka kebanyakan kita cenderung menyalahkan anak kedua dan sebagai penyebab masalah tersebut sebagaimana kita ketahui dari perilakunya tanpa melihat kepada inti masalah yang terjadi. Hal ini adalah diantara pendorong anak pertama untuk selalu menipu karena ia merasa diuntungkan pada kasus ini, dan anak kedua merasa tertekan dan rugi karena didhalimi. 3. Beri Ketauladanan (modeling) Anak adalah duplikasi dari perilaku orang tua, guru, dan lingkungan lainnya. Jika orang tua, guru, dan lingkungan lainnya berbuat baik, maka anak biasanya juga akan mengikuti untuk berbuat baik. Dalam hal ini, orang tua atau guru jangan hanya memberi tahunya lewat kata-kata, 4
Menurut Lawrence E. Shapiro, Ph.D., secara naluriah anak sudah mengembangkan empati sejak ia bayi. Awalnya empati yang dimiliki sangat sederhana, yakni empati emosi. Misalnya pada usia 0-1 tahun, bayi bisa menangis hanya karena mendengar bayi lain menangis. Barulah di usia 1-2 tahun, anak menyadari kalau kesusahan temannya bukanlah kesusahan yang mesti ditanggung sendiri. Walaupun demikian, rasa empati pada anak harus diasah. Bila dibiarkan rasa empati tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak sepenuhnya hilang, tergantung dari lingkungan yang membentuknya. Banyak segi positif bila kita mengajarkan anak berempati. Mereka tidak akan agresif dan senang membantu orang lain. Karena empati berhubungan dengan kepedulian terhadap orang lain, tak heran kalau empati selalu berkonotasi sosial seperti menyumbang
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
tetapi juga contoh nyata. Jika bertemu seseorang menggunakan simbol agama yang cukup ekstrim atau seseorang yang memiliki warna kulit berbeda, jangan memandangnya dengan penuh keanehan apalagi mengatakan sesuatu bernada kebencian dan ledekan. Ingatlah bahwa orang tua atau guru adalah contoh bagi buah hati (peserta didik). Bersikaplah seperti biasa dan jika buah hati bertanya berikan penjelasan yang bijak. Misalnya, tunjukkan toleransi, empati, dan kepedulian dari orang tua dan guru terhadap orang-orang yang tak mampu. Komitmen dari orang tua dan guru yang yang kuat dalam membantu meringankan beban penderitaan orang lain insya Allah dapat menular kepada anak-anak. 4. Jangan batasi pergaulan anak Sering kali tetangga, teman, dan orang lain yang mendapat kesusahan dan perlu dibantu menjadi jembatan yang dapat membukakan mata terhadap hal-hal yang kurang dipedulikan. Seringkali, orang menganggap kemiskinan dan kesusahan itu berada di luar "dunia" dirinya.Tak jarang, seseorang tidak mengetahui kemiskinan dan kesusahan yang sebenarnya, sebelum ia melihat teman atau saudaranya sendiri mengalaminya. Dalam hal ini, biarkanlah anak berteman dengan siapa saja. Jangan batasi pergaulannya agar ia dapat mengenal temannya dari semua kalangan. 5. Ajaklah anak melihat sendiri atau mengalami kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan yang biasa ia jalani Ajaklah anak (peserta didik) untuk mengunjungi tempat di mana banyak orang susah yang berkumpul di sana. Dengan itu mereka akan melihat ada sisi lain dari kehidupan manusia.Anak pun dapat diberi pemahaman kepada mereka dengan menjelaskan mengapa ada gelandangan yang mengais-ngais sampah, atau makan makanan yang telah dibuang ke tempat sampah, dan sebagainya. Memberikan uang pada pengemis atau pengamen adalah salah satu cara agar anak bisa bertoleransi kepada orang lain. 6. Bertoleransi untuk kedamaian Beritahukan pada buah hati kalau sikap toleransi itu sangat dibutuhkan. Jika tidak ada sikap toleransi maka banyak orang yang akan bermusuhan dan saling membenci. Katakan juga padanya jika hal itu terjadi, ia tidak akan nyaman saat bersekolah ataupun bermain, karena akan selalu ada orang yang saling curiga atau menjadi lawan (musuh). Terdapat hal yang penting untuk dicatat bahwa yang diperlukan sekarang dalam upaya penanaman nilai-nilai tasamuh (toleransi) dan karakter baik lainnya, yaitu penciptaan suasana religius di dalam rumah dan institusi pendidikan formal dan non-formal. Secara khusus, perbaikan mutu pendidikan formal adalah memperbaiki kualitas sistemnya. Jika umat Islam menghendaki adanya sistem pendidikan yang Islami (berlandaskan pada tata nilai keislaman), bukanlah hanya terletak pada keberadaan bidang studi (mata pelajaran) agama yang banyak saja, sebagaimana terjadi pada madrasah pada masa lalu, tetapi haruslah diorientasikan untuk membangun sistem yang islami. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan sistem yakni seperangkat perencanaan, proses, dan eavaluasi pendidikan yang dibangun di atas tata nilai Islami. Hal ini ditempuh dengan upaya penciptaan suasana religius Islami di setiap lingkungan pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal, dan informal (Muhaimin, 2009:55-59). F. Contoh-Contoh Perilaku Tasamuh 1. Toleransi pada diri Rasulullah
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
Ajaran Islam tentang toleransi ini bukan hanya merupakan teori belaka, tapi juga terbukti dalam praktek sejarah, sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam dan diakui oleh para ahli nonmuslim. Sejak agama Islam berkembang, Rasulullah SAW sendiri memberi contoh betapa toleransi merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of Human Rights, agama Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama. Melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antar ummat agama di antara warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi kaum non muslim dan menghormati peribadatan mereka. Dalam kaitan dengan hal ini, sejarah Islam menunjukkan begitu tolerannya umat Islam terhadap non-Islam. Muhammad bin Al-Hasan murid imam Abu Hanifah pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah mengirim harta benda ke penduduk Makkah ketika mereka dilanda bahaya kelaparan untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang fakir mereka. Padahal penduduk Makkah pada waktu itu sikapnya sangat kejam dan sangat menentang Rasulullah dan pengikutnya. Begitu tolerannya Rasulullah Saw. Dikisahkan oleh Ibnul Ishak dalam "sirahnya" dan juga Ibnul Qoyyim dalam "Zaadul Ma'ad" adalah ketika Nabi saw kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang. Di antaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Alqamah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi saw dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasulullah saw tentang berbagai masalah agama. Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah saw. Berkata, ’Biarkanlah mereka!’ maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisahkan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warnawarni. 2. Sifat Tasamuh pada Sejarah Islam Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmat li al’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik. 3. Perilaku Tasamuh pada Konteks Kehidupan masyarakat Indonesia Toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini. Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya
Konsep Tasamuh(Toleransi)Dalam Islam
juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. G. Penutup Dari uraian di atas,dapat menarik kesimpulan bahwa pribadi yang toleran(si) menurut Islam adalah: 1). Ia menghargai dan menghormati keyakinan orang lain (agama lain) untuk melaksana-kan keyakinan tersebut, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip tauhid bahwa hanya Islam yang benar, 2) ia tetap berbuat baik kepada non-muslim dalam urusan duniawi, selama mereka tidak memerangi/memusuhi Islam dan tidak mengusir muslim. Unsur-unsur yang harus dipahami dalam mewujudkan tasamuh (toleransi) ini adalah a) ia mengakui hak setiap orang, b) ia menghormati keyakinan orang lain, c) ia Lapang dada menerima perbedaan d. Ia memiliki saling pengertian, e). Ia memiliki kesadaran dan kejujuran.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim. A. Tafsir. 2008. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya. Cetakan ke-8. ’Ali, Sa’id Isma’il. 2007. Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Salam. Baidhawi. T.T. Tafsir al-Baidhawi. Dar al-Fikr. Dawam Raharjo. 1996.Ensikloprdia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina. Espeland, Pamela. 2006. Buku Pintar Remaja Gaul. Bandung: Kaifa. Cetakan ke-4. Hilali, Salim bin ’Ied. Toleransidalam Islam Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Maktabah Salafi. Ihsan Ali Fauzi, dkk. 2007. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta:Paramadina. Imarah, Muhammad. 1995. Hal al-Islam Huwa al-Hal. Kairo: Dar al-Syuruq. Katsir, Ibn. T.T. Tafsir Ibn Katsir. Kairo: Dar al-Fikr. Komaruddin Hidayat. 1993. ”Menguak Batas-Batas Dialog Antar-Agama: Tuhan Pun Menyukai Dialog”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Volume IV Nomor 4 tahun 1993.Jakarta: LSAF dan ICMI. Halaman 8-13. M. Amin Abdullah. 1993. ”Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Volume IV Nomor 4 tahun 1993.Jakarta: LSAF dan ICMI. Halaman 1625. Madkur, ’Ali Ahmad. 2002. Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islami. Kairo: Dar al-Fikr. Mandzur, Ibn. T.T. Lisan al-’Arab. Dar al-Fikr. Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Grafindo. Munawwir, A.W. 1994. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Krapyak. Shawwaf, Muhammad Syarif. 2003. ABG Islami: Kiat-Kiat Efektif Mendidik Anak dan Remaja. Bandung: Pustaka Hidayah. Cetakan ke-3. Syamsu Yusuf, LN dan A. Jutnika Nurihsan. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: Rosda Karya. Cetakan ke-2. Zanatani, Abd al-Hamid Al-Shaidi. 1997. Usus al-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi al-Sunnah alNabawiyyah. Kairo: Al-Dar al-’Arabiyyah li al-Kitab.